FORMULASI ADOPSI UNITED NATIONS GUIDING PRINCIPLE …

104
FORMULASI ADOPSI UNITED NATIONS GUIDING PRINCIPLE ON BUSINESS AND HUMAN RIGHTS DALAM GOOD CORPORATE GOVERNANCE OLEH PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh : Muhamad Raziv Barokah NIM : 1112048000031 KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2016 M

Transcript of FORMULASI ADOPSI UNITED NATIONS GUIDING PRINCIPLE …

FORMULASI ADOPSI UNITED NATIONS GUIDING PRINCIPLE ON

BUSINESS AND HUMAN RIGHTS DALAM GOOD CORPORATE

GOVERNANCE OLEH PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Muhamad Raziv Barokah

NIM : 1112048000031

KONSENTRASI HUKUM BISNIS

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H/2016 M

i

LEMBAR PERNYATAAN

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar strata I pada Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber data yang saya cantumkan dalam penelitian ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa hasil karya saya ini merupakan hasil dari

tindakan plagiat atau jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

ii

ABSTRAK

Nama : Muhamad Raziv Barokah

Program Studi : Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis

Judul : “Formulasi Adopsi United Nations Guiding Principle on

Business and Human Rights dalam Good Corporate

Governance oleh Perseroan Terbatas di Indonesia”

Skripsi ini bertujuan untuk meneliti dan menganalisis status hukum United Nations

Guiding Principle on Business and Human Rights (UNGP) dalam tatanan hukum

Indonesia dan merumuskan formulasi yang tepat untuk mengadopsi dokumen

tersebut agar menjadi hukum nasional. Mengingat PT sebagai entitas bisnis sering

kali melanggar hak asasi manusia dalam setiap kegiatan operasional mereka, namun

pelanggaran tersebut belum terjangkau oleh perangkat hukum nasional. Baik sanksi

maupun mekanisme pemulihan bagi korban. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa

UNGP merupakan resolusi PBB yang tidak perlu diratifikasi sehingga statusnya

bersifat morally binding dan formulasi yang tepat untuk mengadopsinya adalah

membuat peraturan presiden yang mengambil prinsip-prinsip dari UNGP tersebut

serta mendorong OJK untuk membuat aturan pelaksana peraturan presiden dengan

mewajibkan seluruh perusahaan yang terdaftar menerapkan UNGP dan

mengumumkan ke publik dalam laporan tahunannya.

Kata Kunci :

UNGP, Bisnis dan HAM, Formulasi, Adopsi, PT, Perseoran Terbatas, Ruggie’s

Principle, human rights due diligence, Good Corporate Governance.

iii

ABSTRACT

Name : Muhamad Raziv Barokah

Study Program : Law Science Concentration Business Law

Title : “Formulation of Adoption United Nations Guiding

Principle on Business and Human Rights in Good Corporate

Governance by Limited Company in Indonesia”

The purpose of this thesis is to investigate and analyse a legal status of United

Nations Guiding Principle on Business and Human Rights (UNGP) in order

Indonesian law and formulating to adopt it document to be national law. Remember

Limited Company as a business entity who often make human rights violation

relating it business operational. However, the violation has not spanded by

Indonesian law. Both sanction and remedy mechanism to the victims. The result of

this thesis show that UNGP is United Nations resolution which not must ratificate.

So that the legal status is morally binding and the appropriete formulation to adopt it

is make a president regulation which absorb UNGP’s principles and push OJK

(Otoritas Jasa Keuangan) to make implementating regulation with contains liability

to the Go Public Limited Company to conduct the UNGP’s principles and announce

it into annual report.

Key Word:

UNGP, Business and Human Rights, Formulation, Adoption, Ltd., Limited

Company, Ruggie’s Principle, human rights due diligence, Good Corporate

Governance.

iv

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt karena berkat rahmat dan

nikmat-Nya lah penulis mampu menyelesaikan sebuah karya berupa skripsi dalam

rangka syarat mendapatkan gelar sarjana ini. Shalawat serta salam tak lupa penulis

curahkan untuk junjungan besar Nabi Muhammad saw sebagai manusia suci

sehingga penulis bisa merasakan nikmat Islam sekarang.

Skripsi yang berjudul “Formulasi Adopsi United Nations Guiding Principle

on Business and Human Rights dalam Good Corporate Governance oleh

Perseroan Terbatas di Indonesia” penulis susun sebagai syarat untuk mencapai

gelar Sarjana Hukum pada Konsentrasi Hukum Bisnis Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Keberhasilan penulis menyusun skripsi ini, serta melewati berbagai proses di

Fakultas tercinta tentu tidak terlepas dari kontribusi setiap orang di sekitar penulis

yang sangat memotivasi. Penulis ingin mempersembahkan ucapan terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.

2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat., S.H., M.H dan Drs. Abu Tamrin., S.H.,

M.Hum. Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

v

3. Ayahanda dan Ibunda tercinta, Bapak Rokib dan Ibu Siti Nur Laela, Ayah dan

Mama yang tidak pernah lepas pengawasan, nasehat, doa, dan motivasi yang

diberikan kepada penulis. Tanpa ayah dan mama, penulis tidak akan pernah

berada di tempat sekarang ini. Semoga Allah swt membalas segala apa yang telah

ayah dan mama berikan kepada penulis. Penulis tak akan sanggup membalas

semua jasa-jasa ayah dan mama selama ini.

4. Abang-abang dan adik-adik ku, Muhamad Reza Maizar., S.Kom. Muhamad

Ridwan Novizar., S.S. Arrafi Bima Guswara, Kartika Eka Pertiwi, dan Citra

Kirana Dwi Pertiwi yang telah memberikan kehangatan dalam keluarga kita,

sehingga penulis selalu semangat menyelesaikan skripsi ini.

5. Ismail Hasani., S.H., M.H. dan Irfan Khairul Umam., S.Hi., LLM. Dosen

pembimbing yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

dengan memberikan arahan yang konstruktif.

6. Fitria., S.H., MR., Nur Rohin Yunus., S.H., LLM., Indra Rahmatullah., S.Hi.,

M.H., Hidayatullah., S.Hi., M.H., Izhar Hilmi., S.Hi., M.H., sebagai pembina dan

pembimbing bagi delegasi dalam menghadapi setiap kompetisi nasional, dan

umumnya mendampingi Mootcourt Community yang penulis ketuai selama

periode 2015-2016. Semoga rahmat Allah swt senantiasa menyelimuti.

7. Saudari Riskita Heriana Putri yang selama ini menemani penulis baik dalam duka

maupun suka, senantiasa memberikan motivasi dan menguatkan penulis hingga

selesai skripsi ini dibuat.

vi

8. Kepada sahabat-sahabatku Murtadlo Baedlowi, Baghdady Zamjani Al Misbakh,

Muchtar Ramadhan, Khairul Atma, Muhamad Yusuf serta seluruh mahasiswa

Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2012 yang tidak bisa saya sebutkan satu-

persatu.

9. Seluruh pengurus dan anggota Mootcourt Community periode 2015/2016 Teguh

Triesna Dewa, Abdulatief Zainal, Nur Jannah, Hamalatul Qur’ani, Muhamad

Reza Baihaqi, Nur Rahmi, Muhamad Sidiq, Syah Ul Haqq, Reinaldo Riyanto,

Dalilah Hazimah, Zul Amirul Haq, Muhamad Edy Kurniawan, Nila Tari,

Muhamad Faiz Putra Syanel, dan yang lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu

persatu.

10. Serta setiap orang yang pernah terlibat dalam kegiatan proses akademis dan non

akademis penulis selama menempuh jenjang strata 1 di Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Semoga skripsi ini tidak hanya menjadi lembaran formalitas syarat meraih gelar,

namun juga berkontribusi bagi kemajuan dunia bisnis dan hak asasi manusia di

Indonesia agar kesejahteraan dapat tersebar merata ke setiap lapisan masyarakat.

Ciputat, 6 Juni 2016 M

1 Ramadhan 1437 H

Penulis

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ i

ABSTRAK .................................................................................................................. ii

KATA PENGANTAR ............................................................................................... iv

DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii

INDEKS ..................................................................................................................... ix

BAB I ........................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah .............................................................................................. 5

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................................................... 5

D. Kerangka Konseptual ........................................................................................... 5

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................... 6

F. Metode Penelitian .................................................................................................. 8

G. Tinjauan Kajian Review Terdahulu ................................................................. 10

H. Sistematika Penulisan ......................................................................................... 13

BAB II ....................................................................................................................... 15

TINJAUAN UMUM PERSEROAN TERBATAS DAN GOOD CORPORATE

GOVERNANCE DI INDONESIA ........................................................................... 15

A. Perseroan Terbatas ............................................................................................. 15

B. Tanggung Jawab Perseroan Terbatas ............................................................... 20

1. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan .......................................................... 21

2. Tanggung Jawab Perdata .................................................................................... 22

3. Tanggung Jawab Pidana ..................................................................................... 23

4. Tanggung Jawab Perseroan menerapkan Good Coporate Governance .......... 24

viii

BAB III ...................................................................................................................... 28

TINJAUAN UMUM TENTANG UNITED NATIONS GUIDING PRINCIPLE

ON BUSINESS AND HUMAN RIGHTS (UNGP) ................................................. 28

A. Sejarah Lahirnya UNGP .................................................................................... 28

B. Prinsip Umum UNGP.......................................................................................... 37

1. Kewajiban Negara Untuk Melindungi Hak Asasi Manusia ............................. 37

2. Tanggung Jawab Perusahaan Menghormati Hak Asasi Manusia .................. 35

3. Akses atas Pemulihan .......................................................................................... 37

BAB IV ...................................................................................................................... 39

FORMULASI IMPLEMENTASI UNITED NATIONS GUIDING PRINCIPLE

ON BUSINESS AND HUMAN RIGHTS DALAM GOOD CORPORATE

GOVERNANCE OLEH PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA .............. 39

A. Status dan Implementasi UNGP di Indonesia .................................................. 39

B. Formulasi Implementasi United Nations Guiding Principle on Business and

Human Rights dalam Good Corporate Governance oleh Perseroan di Indonesia 45

BAB V ........................................................................................................................ 55

PENUTUP ................................................................................................................. 55

A. Kesimpulan .......................................................................................................... 55

B. Saran ..................................................................................................................... 56

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 57

LAMPIRAN .............................................................................................................. 61

ix

INDEKS

APP : Asian Pulp and Paper

BAPEPAM-LK : Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan

CSO : Civil Society Organization

CSR : Corporate Social Reponsibility

DUHAM : Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

EU : European Union

GCG : Good Corporate Governance

HAM : Hak Asasi Manusia

HRDD : Human Rights Due Diligence

HRRCA : Human Rights Resources Center ASEAN

HP : Hawlett-Packard

ICCPR : International Convention of Civil and Political Rights

ICESCR : International Convention of Economic, Social, and Cultural

Rights

IGCN : Indonesia Global Compact Network

IMF : International Monetery Fund

IWGIA : International Work Group for Indigenous Affairs

KNKCG : Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance

KUHD : Kitab Undag-Undang Hukum Dagang

KUHper : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

MNC : Multi National Corporations

NAP : National Actio Plan

NCP : National Contact Point

NV : Namelooze Venotschaap

NGO : Non Government Organization

x

OECD : Organization Economics Co-operation Development

OJK : Otoritas Jasa Keuangan

PBB : Persatuan Bangsa-Bangsa

PT : Perseoran Terbatas

SOP : Standart Operating Procedure

TNC : Transnational Corpoations

UNGP : United Nations Guiding Principle on Business and Human

Rights

USA : United Stated of America

UUPM : Undang-Undang Pasar Modal

UNGC : United Nations Global Compact

UNHRC : United Nations Human Rights Committee

UUPT : Undang-Undang Perseroan Terbatas

VOC : Verenigde Oost Indische Compagnie

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hak asasi manusia merupakan standar pencapaian bersama bagi setiap orang

dan bangsa (a common standart achievment for all people and nations)1 dalam

menciptakan kesejahteraan yang merupakan tujuan utama dibentuknya sebuah

negara. Konsepsi ini memberikan tanggung jawab kepada negara untuk menghormati

(to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) setiap hak yang

melekat dalam diri setiap orang dalam segala aktivitas apapun. Pada awalnya,

aktivitas yang sarat pelanggaran HAM di dalamnya adalah aktivitas negara dalam

menertibkan rakyat, namun seiring perkembangan zaman muncul pihak lain yang

menjadi aktor utama pelanggar HAM di dunia, yakni perusahaan. Hal ini kurang

disadari oleh khalayak luas dan perlu di sosialisasikan lebih dalam.

Perusahaan sebagai entitas yang memiliki pengaruh signifikan dalam

pertumbuhan sebuah negara sering kali melakukan pelanggaran HAM dalam

operasionalisasi kegiatan bisnis, baik di bidang lingkungan hidup, kesehatan,

ketenagakerjaan, kemanusiaan, serta bidang lain. Peran dan pengaruh kekuasaan

korporasi transnasional dalam perekonomian dunia tidak dapat dipungkiri. Sebanyak

300 korporasi terbesar dunia diperkirakan menguasai sekitar seperempat aset

produksi di Bumi.

1 Mohammed Bedjaoui, The Difficult Advance of Human Rights Towards Universality, in

Universality of Human Rights in a Pluralistic World, dilaporkan oleh Dewan Eropa, 1990. h. 45.

2

Sebagai contoh, nilai penjualan mobil salah satu perusahaan transnasional

pertahunnya di atas Gross National Product (GNP) dari 178 negara termasuk Afrika

Selatan, Malaysia, Norwegia, dan Saudi Arabia. Mereka menguasai 90% semua

teknologi dan produk paten di seluruh dunia, terlibat dalam 60% perdagangan dunia,

secara langsung mempekerjakan 90 juta orang (dua puluh persen di negara

berkembang).2 Kemampuan ekonomi yang dimiliki perusahaan transnasional yang

melebihi kemampuan sebuah negara, dapat mengintervensi kekuatan politik. Hal ini

menjadi kombinasi yang sangat sempurna dalam terciptanya pelanggaran-

pelanggaran HAM, karena apa yang dilakukan oleh entitas bisnis tentunya mendasari

diri dengan pendekatan cost accounting yang menempatkan keuntungan sebagai

tujuan utama dengan mengenyampingkan kepentingan sosial.3 Bahkan tidak hanya

korporasi skala internasional. Perusahaan di Indonesia sendiri menempati posisi

kedua teratas dalam pelaporan yang diterima oleh Komnas HAM atas pelanggaran

hak asasi manusia.4

The International Bill of Rights tidak memasukkan perusahaan sebagai subjek

penghormatan HAM,5 sedangkan semakin banyak bukti yang menunjukan bahwa

2 Rudi M. Rizki. Tanggung Jawab Korporasi Transnasional dalam Pelanggaran Berat HAM.

(PT Fikahati Aneska, Jakarta: 2012). h. 2.

3 Nash June and Max Kirsch, Corporate Culture and Social Responsibility: The Case Toxic

Wastes in a New England Community. (University Press of America, Maryland: 1994) h. 367.

4 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, “Laporan Data Pengaduan Tahun 2015 Sub bagian

Penerimaan dan Pemilahan Pengaduan”, (Jakarta: Komnas HAM, 2016), h. 7.

5 Louis Henkin, “The International Bill Of Rights: The Universal Declaration and the

Covenants,” dalam R. Bernhardt dan JA. Jolowicz (eds), International Enforcement of Human Rights,

1987.

3

aktivitas perusahaan sering bergesekan bahkan mengaborsi hak asasi individu dan

masyarakat. Hingga akhirnya dibentuklah sebuah dokumen internasional yang

berupaya memasukkan korporasi sebagai subjek hukum hak asasi manusia bernama

the Draft Norms.6 Dokumen tersebut mendapat penolakan keras, sehingga batal

disahkan.

Pasca terbuang nya the Draft of Norms, Koffi Anan selaku Sekjen PBB saat itu

menunjuk John Ruggie untuk mempertemukan para stakeholder kembali membahas

tentang perkembangan bisnis dan hak asasi manusia dari pendekatan yang berbeda.

Pada akhirnya John Ruggie mampu membuat laporan kepada Dewan HAM PBB

berupa pedoman prinsip hak asasi yang bernama United Nations Guiding Principles

on Business and Human Rights, Implementing the United Nations “Protect, Respect,

and Remedy” Framework (UNGP) atau dikenal juga dengan nama Ruggie’s

Principles,7 yang diadopsi menjadi Resolusi Dewan HAM PBB No. 17/4 16 Juni

2011. UNGP tersebut menjadi panduan minimum mengenai hal-hal yang harus

dilakukan oleh perusahaan agar dapat dikatakan tidak melakukan pelanggaran HAM.

Perangkat hukum perseroan di Indonesia saat ini hanya meberikan kewajiban

etika melakukan Good Corporate Governance yang dibuat sebagai syarat bantuan

asing ketika krisis moneter pada tahun 1998. Peraturan yang mengatur mengenai

6 IWGIA European Network On Indigenous Peoples, Business And Human Rights;

Interpreting The Un Guiding Principles for Indigenous Peoples; Report 16, 2014. h. 11.

7 Business & Human Rights Initiative (2010), “How to Do Business with Respect for Human

Rights: A Guidance Tool for Companies,” The Hague: Global Compact Network Netherlands. H. 21-

22.

4

GCG mengadopsi dari nilai-nilai yang terdapat dalam Organization Economics Co-

operation Development yang memiliki 5 prinsip yakni8 transparency, accountability,

responsibility, independence, and fairness. Pasca dikeluarkanya UNGP, OECD

menambahkan 1 prinsip yakni human rights, sedangkan pengaturan GCG di

Indonesia saat ini masih mengacu kepada OECD yang lama, sehingga perlu adanya

penyesuaian agar perangkat hukum selalu hadir mengikuti perkembangan zaman.

Pelanggaran HAM oleh sektor bisnis telah nyata hadir dirasakan oleh

masyarakat, namun korban dan pemerintah cenderung tidak sadar bahwa perusahaan

menjadi aktor pelanggar HAM. Bahkan, pelanggaran HAM oleh perusahaan kepada

orang lain dapat berimbas kepada konsumen lain yang tidak terdampak secara

langsung. Sebagai contoh, perusahaan sawit yang melanggar hak atas lingkungan

melakukan pembakaran di Sumatera untuk menghasilkan produk minyak sawit yang

murah akibat cost yang sedikit karena membuka lahan dengan cara membakar.9 Hak-

hak masyarakat Sumatera tentu terlanggar karena tidak mendapat lingkungan yang

sehat, bahkan cenderung terampasnya hak atas kehidupan, namun dampak tersebut

tidak hanya sampai pada orang Sumatera, melainkan juga orang-orang di ibu kota,

karena akibat pelepasan emisi tersebut maka lapisan ozon semakin menipis, sehingga

dampaknya cuaca semakin menyengat. Sedangkan masyarakat dengan tanpa sadar

terus membeli produk minyak sawit tersebut karena harga yang murah. Padahal

8 Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi (I), (Bandung : Books Terrace & Library,

2007), h. 152.

9 http://setara-institute.org/kabut-asap-dan-urgensi-adopsi-united-nations-guiding-principles-ungpdalam-hukum-indonesia-2/, diakses pada Minggu, 22 Mei 2016. Pukul. 22.00.

5

masyarakat membayar sangat mahal dari murahnya harga minyak sawit tersebut. Hal

ini menjadi dasar yang sangat kuat untuk segera menggencarkan desimenasi dan

mengadopsi UNGP.

Indonesia merupakan negara investasi yang dipenuhi oleh berbagai perusahaan

dalam maupun luar negeri. Ditambah penghormatan HAM merupakan pilar

konstitusi yang tidak dapat ditawar, maka adopsi terhadap UNGP dirasa penting

tidak hanya sebagai tuntutan bagi perusahaan untuk menghormati hak asasi, juga

sebagai daya tawar di dunia internasional, namun bentuk dari UNGP yang

merupakan resolusi yang didesign untuk tidak diratifikasi memunculkan persoalan

tentang bagaimana status hukum dokumen UNGP di Indonesia. Ketidakjelasan

tersebut juga memunculkan masalah lain mengenai bagaimana bentuk dan skema

untuk adopsi yang dapat dilakukan oleh perusahaan Indonesia agar UNGP dapat

terserap dengan baik dan dilaksanakan oleh para stakeholder di Indonesia.

Atas dasar latar belakang masalah itulah penulis tertarik untuk menjawab

permasalahan tersebut dalam skripsi yang berjudul “Formulasi Adopsi United

Nations Guiding Principle on Business and Human Rights dalam Good Corporate

Governance oleh Perseroan Terbatas di Indonesia”.

B. Identifikasi Masalah

Berbagai masalah yang ditemukan dari judul berikut antara lain:

1. Status keberlakuan UNGP di Indonesia.

2. Penerapan human rights due diligence di Indonesia.

3. Implementasi UNGP di Indonesia.

6

4. Dampak penghormatan hak asasi terhadap kegiatan bisnis perusahaan.

5. Pandangan dunia internasional terhadap penghormatan hak asasi manusia

oleh perusahaan.

6. Hubungan UNGP dengan berbagai dokumen internasional perlindungan hak

asasi manusia.

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Status UNGP di Indonesia.

b) Adopsi UNGP oleh perusahaan di Indonesia.

2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut:

a) Bagaimana Status United Nations Guiding Principle on Business and

Human Rights dalam Hukum Indonesia?

b) Bagaimana Formulasi Adopsi United Nation Guiding Principle on

Business and Human Rights dalam good corporate governance oleh

Perusahaan di Indonesia?

D. Kerangka Konseptual

Good Corporate Governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan

oleh organ perusahaan guna memberikan nilai tambah pada perusahaan secara

berkesinambungan dalam jangka panjang bagi pemegang saham, dengan tetap

7

memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundang-

undangan dan norma yang berlaku.10

Business and Human Rights atau Bisnis dan HAM merupakan isu dalam dunia

bisnis internasional yang menuntut perusahaan sebagai entitas yang memiliki

pengaruh dalam sebuah negara turut ambil bagian dalam penghormatan hak asasi di

negara di mana ia melakukan kegiatan bisnis. Penghormatan tersebut berupa upaya

untuk mencegah, meminimalisir, menghindari, serta tidak terlibat dalam pelanggaran

HAM.

Uji Tuntas Hak Asasi Manusia merupakan sebuah proses pengelolaan terus-

menerus yang perlu dilakukan sebuah perusahaan yang hati-hati, bijaksana, sesuai

dengan keadaannya (termasuk sektor, konteks operasi, ukuran, serta faktor serupa)

untuk memenuhi tanggung jawabnya untuk menghormati hak asasi manusia.

United Nations Global Compact adalah sebuah inisiatif dunia yang digagas oleh

Koffi Anan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa terdahulu, untuk

mempromosikan corporate citizenship, yang diluncurkan pertama kalinya pada 26

Juli, 2000.

Dampak Aktual HAM adalah dampak merugikan bagi hak asasi manusia yang

sedang terjadi atau telah terjadi.

Dampak Potensial HAM adalah dampak yang diperkirakan akan terjadi atas

sebuah kegiatan perusahaan.

10

Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance, Pedoman Komisaris Independen dan

Pedoman Pembentukan Komite Audit Yang Efektif, (Jakarta: Gugus Kerja Komite Nasional Kebijakan

Corporate Governance, 2004), h. 3.

8

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah untuk mendesimenasikan isu bisnis

dan hak asasi manusia demi menyadarkan kalangan bisnis serta pemerintah

untuk tetap menjaga hak asasi manusia sebagai hak kodrati yang melekat

pada setiap manusia, serta untuk berkontribusi dalam khazanah intelektual

mengenai perjuangan hak asasi manusia akibat aktivitas bisnis.

Tujuan khusus dari penelitian di atas adalah:

a. Untuk mengetahui status keberlakuan United Nations Guiding Principle

on Business and Human Rights di Indonesia.

b. Untuk mengetahui formulasi implementasi United Nations Guiding

Principle on Business and Human Rights dalam Good Corporate

Governance oleh perusahaan di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

Penelitian ini memberikan manfaat ilmiah berupa perluasan wawasan

mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum serta pihak lain mengenai kajian

teoritis pentingnya kegiatan bisnis di Indonesia untuk tetap sesuai dengan

koridor hak asasi manusia. Serta memberikan tambahan argumen bagi

stakeholder pada isu bisnis dan HAM untuk mendorong pemerintah

segera merespon secara nasional mekanisme uji tuntas hak asasi manusia.

b. Manfaat Praktis

9

Secara praktis, penelitian ini sangat bermanfaat untuk membuka peluang

menambah profesi di bidang disiplin ilmu hukum untuk menjadi seorang

konsultan atau penasehat hukum bagi perusahaan perikanan di bidang hak

asasi manusia. Serta merangsang setiap pembaca agar semakin peka

terhadap isu bisnis dan hak asasi manusia.

Selain itu, kajian ini diharapkan memberikan dorongan dan masukan

kepada pemerintah untuk segera meningkatkan status uji tuntas HAM

tidak hanya dalam tataran peraturan menteri, namun diangkat setidak-

tidaknya menjadi peraturan presiden, sehingga uji tuntas HAM tidak

hanya diwajibkan bagi bisnis perikanan, namun juga bagi seluruh

kegiatan bisnis di Indonesia.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian

Sarjono Soekanto mengatakan bahwa penelitian merupakan suatu kegiatan

ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara

metodologis, yakni berdasarkan metode tertentu. Dan sistematis, yakni

tersistem sehingga memiliki alur pemikiran yang jelas.11

Guna menemukan,

mengembangkan, dan menguji sebuah kebenaran.

11

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Ed-III (Universitas Indonesia Press,

Jakarta: 1986) h. 42.

10

Tipe penelitian yang penulis gunakan pada skripsi ini adalah metode yuridis

normatif,12

yaitu penelitian hukum yang menitikberatkan pada kajian literatur

(kepustakaan) dan data sekunder yang bertujuan untuk meneliti asas-asas

hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah

hukum, dan perbandingan hukum.

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan pendekatan

perundang-undangan (statute approach), pendekatan historis (historical

approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach).

2. Sumber Data

a. Bahan Hukum Primer

Bahan-bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan,

catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan,

dan putusan-putusan hakim.13

Dalam penelitian ini, bahan hukum primer

yang digunakan adalah:

1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.

2) Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999

12

Soerjono Soekanto dan Marmudji, Pengertian Hukum Normatif Suatu Tindakan

Singkat,(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h. 14.

13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana, cet-IV : 2010) h. 141.

11

Nomor 165/Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3886)

3) Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106/

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756)

4) Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118/

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433)

5) International Convenant on Civil and Political Rights.

6) International Convenant on Economic, Social, and Cultural

Rights.

7) The Universal Declaration of Human Rights.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari literatur

hukum, artikel yang berasal dari jurnal, publikasi media dalam surat

kabar, internet, dokumen skripsi, tesis, disertasi, dan dokumen lain yang

berkaitan dengan penelitian, guna memberikan penjelasan lebih lanjut dan

mendalam mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

c. Bahan Non Hukum (Tersier)

Bahan Non Hukum dapat berupa publikasi non hukum yang memuat

data-data yang masih relevan atau berkaitan dengan tema penelitian ini.

3. Metode Pengumpulan Data dan Bahan Hukum

12

Pengolahan data dilakukan dengan metode kualitatif yakni

memberikan gambaran mengenai permasalahan dengan menganalisis rujukan

dalam setiap literatur dan bahan hukum yang disebutkan di atas.14

4. Metode Penulisan

Metode penulisan mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi

yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2012. Metode ini

lebih menekankan ke arah penulisan deduktif.

G. Tinjauan Kajian Review Terdahulu

Penelitian ini memiliki tinjauan kajian terdahulu yakni:

Nama Margaretha Quina

Fakultas/Prodi Universitas Indonesia/Fakultas Hukum/Konsentrasi

Hukum Internasional

Tahun 2012

Judul Skripsi Pelanggaran Terhadap Hak Asasi Manusia Atas

Lingkungan Hidup Oleh Perusahaan Transnasional

Dalam Hukum Internasional

Substansi Skripsi ini membahas pertanggung jawaban korporasi

transnasional dalam pertanggung jawaban terhadap hak

asasi manusia khususnya hak atas lingkungan. Penulis

menjadikan skripsi ini sebagai acuan karena memiliki

14

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004). h. 104.

13

kesamaan konsep mengenai kewajiban perusahaan dalam

menghormati hak asasi manusia.

Pembeda Terdapat pembedaan mengenai pertanggung jawaban

perusahaan. Dalam skripsi di atas, pembahasan concern

ke penegakan hukum ketika telah terjadi sebuah

peristiwa. Sedangkan penelitian ini membahas

mekanisme preventif untuk mencegah terjadinya

pelanggaran hak asasi manusia.

Nama Everet Brian S

Publisher Indonesia Business Links

Tahun 2002

Judul Buku Alat mengelola Hak Asasi Manusia dalam Bisnis

Substansi Buku ini merupakan salah satu kerangka pemikiran

terbentuknya United Nations Guiding Principle on

Business and Human Rights untuk mendorong perusahaan

menghormati hak asasi manusia

Pembeda Buku ini merupakan acuan dasar mengapa bisnis harus

menghormati hak asasi manusia yang telah ada sebelum

dibuatnya United Nations Guiding Principle and Business

and Human Rights. Sedangkan penulis akan membahas

14

UNGP tersebut dalam penelitian ini.

Nama Rizky Haryo Wibowo

Fakultas/Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahun 2014

Judul Skripsi Asas Kemanfaatan Hukum Holding Company di Bidang

Penyiaran

Substansi Skiripsi ini membahas mengenai ketidakjelasan

pengaturan mengenai holding company di Indonesia.

ketidakjelasan berimbas kepada monopoli pemilikan

media yang dikuasai oleh beberapa pihak saja, meskipun

tersebar ke dalam beberapa PT. Permasalahan muncul

mengenai tanggung jawab yang harus diemban oleh grup

perusahaan apabila anak perusahaan mereka melakukan

kejahatan atau pelanggaran HAM. Kaitannya dengan

skripsi penulis adalah media merupakan hal yang sangat

prinsip, ketika dikuasai oleh beberapa orang saja, maka

hak asasi rakyat untuk mendapat informasi yang

seimbang akan terlanggar.

Pembeda Perbedaan antara skripsi di atas dengan penelitian penulis

bahwa skripsi di atas fokus membahas bisnis di bidang

15

penyiaran, sedangkan penulis secara umum diseluruh

bidang bisnis.

Nama Asep Mulyana

Institusi Universitas Gadjah Mada

Tahun 2012

Judul Jurnal Jurnal HAM vol 8: Mengintegrasikan HAM

ke dalam Kebijakan dan Praktik Perusahaan

Substansi Artikel dalam jurnal ini membahas landasan filosofis

perlunya perusahaan untuk mengintegrasikan HAM

dalam manajemen internal bisnis mereka.

Pembeda Perbedaan mencolok terlihat dari pendekatan penelitian

yang hanya bersandar pada prinsip HAM, sedangkan

penulis menggunakan pendekatan hukum perusahaan

melalui Good Corporate Governance.

H. Sistematika Penulisan

Berdasarkan berbagai uraian di atas, maka penulis merumuskan sistematika

penulisan dalam penelitian ini sebagai berikut:

BAB I Pada bab ini penulis memaparkan latar belakang penelitian,

batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

16

tinjauan kajian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini,

metode penelitian dalam penelitian, serta sistematika penulisan

sebagai rancangan penelitian.

BAB II Bab ini berisikan tinjauan umum mengenai perseroan sebagai

subjek utama pelaksana UNGP dalam penghormatan HAM,

dan tinjauan mengenai Good Corporate Governance serta

legalitasnya.

BAB III Bab ini berisikan tinjauan umum United Nations Guiding

Principle on Business and Human Rights yang berisi tentang

sejarah terbentuknya UNGP dan pilar-pilar utama yang

menjadi prinsip dasar UNGP.

BAB IV Bab ini berisikan tentang status UNGP dalam hukum nasional

Indonesia, bentuk implementasi yang telah dilakukan oleh

beberapa perusahaan asing di Indonesia, dan kerangka

formulasi secara legal untuk diterapkan oleh perseroan di

Indonesia.

BAB V Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran. Bab ini

merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi, untuk itu

penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian

untuk menjawab rumusan masalah, serta memberikan saran-

saran yang dianggap perlu.

17

BAB II

TINJAUAN UMUM PERSEROAN TERBATAS DAN GOOD CORPORATE

GOVERNANCE DI INDONESIA

A. Perseroan Terbatas

Rechtpersoon atau badan hukum termasuk subjek hukum yang dibuat

berdasarkan aktivitas hukum (artifisial), sehingga keberadaannya sah, sejajar dengan

subjek hukum manusia dan memiliki kemandirian dalam melakukan kegiatan

hukum.15

Bentuk badan hukum yang paling populer dalam rangka kegiatan bisnis

adalah Perseroan Terbatas (PT).

Kata perseroan dalam pengertiannya secara umum adalah perusahaan, atau

organisasi usaha, atau badan usaha. Sedangkan perseroan terbatas adalah suatu

15

M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 36.

18

bentuk organisasi yang ada dan dikenal dalam sistem hukum dagang Indonesia.16

praktik yang ditemukan perseroan terbatas menjadi entitas yang mendominasi

kehidupan bisnis di dunia.

PT dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama corporation. Secara etimologis,

corporation merupakan bahasa serapan yang diambil dari bahasa Latin yakni corpus,

yang berarti suatu badan (a body of people), dalam Oxford English Dictionary

artinya adalah that is a group of people autorhized to act as an individual atau

sekelompok orang yang diberi kuasa untuk bertindak secara individu.17

Sedangkan

menurut Black’s Law Dictionary, corporation berarti:

“An entity (usu. A business) having authority under law to act a single person

distinct from the shareholders who own and having rights to issue stock and

axist indefinitely; a group of succession of persons established in accordance

with legal rules into a legal or juristic person that has legal personality distinct

from the natural persons who make it up, exists indefinitely apart for them, and

has the legal powers that its constitution gives it.”18

Di beberapa negara PT dikenal dengan bahasa masing-masing yang perlu kita

ketahui seperti berikut:

a. Dalam bahasa Inggris disebut Limited (Ltd.) Company, atau Limitied

Liability Company, atau Limited (Ltd.) Corporation.

b. Dalam bahasa Belanda disebut Naamlooze Vennotschap atau NV.

c. Dalam bahasa Jerman disebut Gesellschaft mit Beschrankter Haftung.

16

I.G Rai Widjaja, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Jakarta: Megapoin, 2000),

hlm.1.

17 David M. Walker, “Oxford Law Dictionary”. (Oxford: Clarendon Press. 1980), h. 54.

18 Black Henry Campbell, “Black’s Law Dictionary”, (New York: Minn West Publishing,

1968), h. 32.

19

d. Dalam bahasa Spanyol disebut Sociedad De Responsabilidad Limitada.19

e. Dalam bahasa Malaysia disebut Sendirian Berhad (SDN BHD).

f. Dalam bahasa Jepang disebut Kabushiki Kaisa.

g. Di Singapore disebut Private Limited (Pte Ltd.).20

Pada zaman Hindia-Belanda PT dikenal dengan nama “Naamloze Vennotschap”

(NV) yang berarti tanpa nama.21

Maksudnya adalah pemberian nama dari NV

berbeda dengan perusahaan pada umumnya saat itu, yang mana harus memakai nama

atau gabungan nama dari pendirinya (firma). Pemberian nama NV diberikan

berdasarkan tujuan usaha yang akan dijalankan.

Sebenarnya eksistensi PT sudah ada jauh sebelum berlakunya KUHD (Wetboek

van Koophandel) di Hindia-Belanda. Yakni pada masa pertama kalinya Belanda

datang ke Nusantara dalam bentuk VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie).

VOC merupakan kongsi perusahaan dagang Belanda yang berkuasa di Indonesia

selama ratusan tahun. Hal ini membuktikan bahwa pada masa itu perusahaan telah

memiliki sendi-sendi bisnis dan korporat yang dapat diandalkan.22

KUHD baru berlaku pada tahun 1848 di mana pada saat itu Belanda sudah

secara resmi menjajah Indonesia melalui penempatan gubernur jenderal sebagai

19

Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, cetakan ke-1, (Bandung: PT Citra

Aditya Bakti, 2003), h. 39.

20 Ahmad Yani dan Gunawan Widjadja, Seri Hukum Bisnis Perusahaan. (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 1999), h. 67.

21 Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, edisi pertama,

(Bandung: PT Alumni, 2004), h. 47.

22 Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, cetakan ke-1, (Bandung: PT Citra

Aditya Bakti, 2003), h. 42

20

pemimpin. Pengaturan mengenai NV terdapat dalam 21 pasal KUHD (pasal 35-56)

yang dianggap telah memberikan dasar hukum yang kuat untuk berbisnis. Pengaturan

yang belum ada dalam KUHD dapat dilengkapi oleh para pendiri di anggaran dasar

masing-masing NV.

Secara eksplisit, KUHD tidak memberikan definisi pasti mengenai NV, akan

tetapi melihat dari unsur yang terdapat dalam pasal 36, 40, 42, dan 45 dapat

disimpulkan bahwa NV memiliki unsur sebagai berikut:

a. Adanya kekayaan yang dipisahkan;

b. Adanya pemegang saham yang tanggung jawabnya terbatas hanya pada

jumlah uang yang disetorkan;

c. Adanya pengurus yang dinamakan direksi dan pengawas yang dinamakan

komisaris.

Bila diperhatikan, unsur-unsur tersebut telah memenuhi syarat sebuah entitas bisnis

dikatakan sebagai badan hukum.23

Pengertian yuridis mengenai PT yang terdapat dalam pasal 1 ayat (1) UUPT

adalah:

“Perseroan terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan

hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan

perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya

terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam

undang-undang ini serta peraturan pelaksananya”.

23

Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, edisi pertama,

(Bandung: PT Alumni, 2004), h. 48.

21

Pengertian di atas menggambarkan terdapat 6 unsur yang menjadi fondasi utama

mengenai definisi PT, yakni:24

a. Badan hukum (legal entity);

b. Persekutuan modal (alliance of capital);

c. Didirikan berdasarkan perjanjian (established pursuant to a contract);

d. Melakukan kegiatan usaha (carry on business activities);

e. Modal dasar terbagi atas saham (capital dividing into shares);

f. Memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang.

Perseroan sebagai badan hukum merupakan konsep dasar dalam pemahaman

subjek hukum yang berbeda dari subjek hukum natural (manusia). Seperti yang

dijelaskan oleh M.S Oliver dan E.A Marshall:

“The corporate legal person is very different from the natural or human legal

person. It has neither body, mind, nor soul. It was said that it is invisible,

immortal, and rest only in intendment law and consideration of the law”.25

Lebih lanjut dikatakan:

“They were nor born and so cannot die. They have been created by a process

of law and can only be destroyed by a process of law. They will exist even if

all their human members are dead (perpertual succesion), for every

corporation is a separate legal person from those legal persons who compose

it”.26

24

Man S. Sastrawidjaja dan Rai Mantili, Perseroan Terbatas menurut Tiga Undang-undang,

Jilid 1, (Bandung: PT Alumni, 2007), h. 14.

25 M.S Oliver, and E.A Marshall, Company Law; Handbooks, twelfth edition, (Singapore:

Pitman Publishing, 1994), h. 11.

26 M.S Oliver, and E.A Marshall, Company Law; Handbooks, twelfth edition, (Singapore:

Pitman Publishing, 1994), h. 14.

22

Berdasarkan penjelasan di atas, maka terdapat ciri yang menonjol terhadap

badan hukum antara lain adalah:27

a. Memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari ketentuan anggota

atau kekayaan pengurus;

b. Memiliki tujuan tersendiri yang terpisah dari tujuan para anggota atau

pengurus;

c. Memiliki kepentingan sendiri;

d. Memiliki organisasi yang teratur.

Prof. Dr. Soedjono Dirdjosisworo, S.H., M.B.A. memberikan pendapat

mengenai badan hukum adalah karena Ia tercipta oleh undang-undang. Badan hukum

dianggap sama dengan manusia buatan atau “artificial person”, namun secara

hukum dapat berfungsi seperti manusia biasa atau natural person atau natrulijk

persoon. Dia bisa menggugat ataupun digugat, bisa membuat keputusan dan bisa

mempunyai hak dan kewajiban, utang-piutang, mempunyai kekayaan layaknya

manusia, oleh karena itu PT juga disebut sebagai subjek hukum yang mandiri

(personastandi in judicio).28

Prinsip utama badan hukum yakni “separate legal entity”29

atau dalam

bahasa Indonesia dikenal dengan prinsip pertanggungjawaban terpisah. Maksudnya

27

Man S. Sastrawidjaja dan Rai Mantili, Perseroan Terbatas menurut Tiga Undang-undang,

Jilid 1, (Bandung: PT Alumni, 2007), h. 15.

28 Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Perusahaan mengenai Bentuk-Bentuk Perusahaan

(Badan Usaha) di Indonesia, Cetakan I, (Bandung: CV Mandar Maju, 1997), h. 52.

29 Sulistyowati, Aspek Hukum dan Realita Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:

Erlangga, 2010), h. 4.

23

adalah tanggung jawab yang dimiliki oleh PT sebagai subjek hukum tidak linier

dengan tanggung jawab para penggerak PT tersebut, karena PT sebagai subjek

hukum yang tidak memiliki tubuh dan jiwa, perlu subjek hukum natural yang

bertindak sebagai pelaksana dan penggerak PT tersebut. Dengan kata lain, tanggung

jawab PT merupakan hal yang berbeda dengan tanggung jawab yang diemban oleh

para pengurus PT tersebut.

Prinsip yang kedua adalah “limited liability”,30

atau dalam bahasa Indonesia

dikenal dengan prinsip tanggung jawab terbatas. Yang dimaksud dalam prinsip ini

adalah bahwa tanggung jawab dari para pendiri PT hanyalah sebatas harta pribadi

yang disetor dalam bentuk saham PT sebagai modal. Jika PT mengalami kerugian

dan memiliki utang, maka penagihannya tidak dapat dibebankan kepada harta pribadi

para pendiri.

B. Tanggung Jawab Perseroan Terbatas

Tanggung jawab menurut Roscoe Pound adalah suatu kewajiban untuk

menebus pembalasan dendam dari seorang yang terhadapnya telah dilakukan suatu

tindakan perugian (injury), baik oleh orang yang disebut pertama itu sendiri maupun

oleh sesuatu yang ada di bawah kekuasaannya.31

Black’s Law Dictioary mengartikan liability adalah:

“condition of being actually or potentially subject to an obligation;

condition of being responsible for a possible or actual loss, penalty,

30

M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011), h. 50.

31 Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, (Jakarta: Bhatara, 1996), h. 80.

24

evil expenses or burden; condition with create a duty to perform act

immediately or in the future”.32

Liability diartikan sebagai suatu kondisi yang benar-benar atau kemungkinan

besar merupakan persoalan dari sebuah kewajiban; keadaan pertanggung jawaban

pada kemungkinan kerugian ataupun yang dialami, hukuman, biaya dari kejahatan

atau beban; keadaan menciptkan sebuah kewajiban untuk melakukan perbuatan

dengan segera atau yang akan datang.

Pengertian etimologis dan penalaran dari tanggung jawab di atas menjadi sebuah

rangkaian pernyataan bahwa dari suatu kewajiban hukum timbul sebuah tanggung

jawab, kewajiban hukum berarti perbuatan dengan mana jika dilakukan berarti

menghindari delik, yaitu kebalikan dari perbuatan yang membentuk suatu kondisi

adanya sanksi.33

Tanggung jawab PT baik secara yuridis maupun secara etika bisnis terbagi ke

dalam 4 jenis yaitu:

a. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan;

b. Tanggung Jawab Perdata;

c. Tanggung Jawab Pidana;

d. Tanggung Jawab Good Corporate Governance.

32

Black Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, (New York: Minn West Publishing,

1968), h. 76.

33 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm.57.

25

1. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

Tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan tanggung jawab yang

wajib dilakukan oleh perseroan yang melakukan kegiatan usahanya di bidang sumber

daya alam, atau setidaknya berkaitan dengan sumber daya alam yang mana hal ini

merupakan amanat dari pasal 74 UUPT. Konsep wajib (legal mandatory) CSR yang

terdapat dalam UUPT terbonsai dengan cukup rapi dalam PP nomor 47 tahun 2012

tentang TJSL. Dalam pasal 4 ayat (1) PP tersebut menyerahkan penganggaran CSR

diserahkan kepada mekanisme internal PT dan melepaskan kewenangan negara

untuk mengintervensi, sehingga konsep legal mandatory berubah menjadi

voluntary.34

Akibatnya konsep CSR sangat bergantung pada iktikad baik PT untuk

memasukkan dana CSR atau tidak dalam anggaran tahunannya. Jikapun dimasukkan,

apakah nilainya sebanding untuk pemberdayaan masyarakat dan menjaga kualitas

lingkungan.

Konsep CSR saat ini sudah merupakan konsep pertanggungjawaban yang

ketinggalan zaman. Baik dalam memberikan manfaat kepada masyarakat maupun

terhadap lingkungan. Hal ini dikatakan oleh Mr. Yaya W. Januardy sebagai

President Indonesia Global Compact Network, karena CSR hanya merupakan

konsep filantropis (kedermawanan). Selain itu, penerapan CSR terbukti kurang tepat

dalam menjawab masalah terhadap imbas sosial dan lingkungan akibat beroperasinya

34

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt502d8a41c9e04/csr-tidak-lagi-wajib-broleh--

miko-kamal--phd, diakses pada 21 Maret 2016, pukul 01.12.

26

sebuah PT.35

Sebagai contoh, perseroan yang melakukan kegiatan usaha di bidang

perkebunan berpotensi menyebabkan kerusakan hutan yang mengakibatkan

pencemaran serta hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat. Dalam konsep

CSR, pertanggungjawaban sosial dan lingkungan dapat dilakukan dalam jenis

apapun seperti memberi sekolah gratis kepada sebagian masyarakat, bahkan tak

jarang CSR justru dilakukan di kota-kota jauh dari di mana kegiatan operasionalisasi

bisnis PT tersebut berjalan dan berimbas negatif kepada masyarkat lokal. Konsep

yang demikian tentulah tidak tepat dan tidak menjawab permasalahan yang ada.

Inilah yang menyebabkan sering munculnya konflik yang terjadi antara masyarakat

dan PT sehingga berujung kepada pelanggaran hak asasi manusia akibat sektor

bisnis.

2. Tanggung Jawab Perdata

Perseroan sebagai badan hukum memiliki personalitas hukum (legal entity)

sebagai subjek hukum,36

sehingga kapasitasnya setara dengan manusia pada

umumnya untuk melakukan perbuatan hukum. Begitu pula tanggung jawabnya.

Dalam hal tanggung jawab perdata, tidak ada permasalahan yang signifikan

mengenai tanggung jawab PT di bidang hukum perdata, karena jenis sanksi yang

dijatuhkan dalam bidang hukum privat ini berupa harta atau uang, sehingga PT juga

35

Materi disampaikan Yaya W. Januardy (President of Indonesia Global Compact Network)

pada konferensi nasional bisnis dan hak asasi manusia di FH UGM diselenggarakan oleh ELSAM

pada 15 November 2015.

36 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 116.

27

yang memiliki kekayaan dapat memenuhi tanggung jawab di bidang hukum perdata

seperti subjek hukum manusia.

Mengingat asas separate legal entity yang memisahkan badan hukum

perseroan dengan pengurus serta pemegang sahamnya, maka tanggung jawab perdata

yang dipikul oleh perseroan tidak menjadi kewajiban bagi pengurus dan pemegang

sahamnya. Sebagai contoh, seorang direksi tidak dapat dituntut akibat kontrak yang

dirinya buat untuk dan atas nama perseroan. Perseroan lah yang bertanggung jawab

atas kontrak tersebut.

Teori yang keluar untuk memberi penjelasan terhadap pertanggungjawaban

perdata perseroan adalah Teori Organ yang dikemukakan oleh von Gierke. Menurut

teori ini disamping perseoran tersebut terdapat organ-organ yang secara legal sebagai

representasi perseroan yang sah. Kehendak organ tersebut dianggap sebagai

kehendak perseroan sebagai badan hukum, 37

sehingga perseroan sebagai badan

hukum dapat bertanggung jawab secara kontraktual maupun akibat perbuatan

melawan hukum perseroan yang terepresentasi atas perbuatan organ perseoran atas

nama perseroan.

3. Tanggung Jawab Pidana

PT sebagai badan hukum memiliki konsekuensi juga wajib bertanggung

jawab seperti subjek hukum manusia, sehingga perlekatan tanggung jawab pidana

terhadap perseroan merupakan hal yang bukan tidak logis untuk dilakukan. Hal ini

37

MA Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pradnya Pramita, 1979),

h. 175.

28

dikatakan sebagai kejahatan korporasi yang mana didefinisikan oleh John

Braithwaite sebagai:

“…conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation,

which is proscribed and punishable by law”.38

Pada dasarnya, pertanggungjawaban pidana perseroan hanya dapat dikenakan

pidana denda jika tindak pidana yang dilakukan memang pantas diganjar dengan

denda, namun ada tindak pidana yang sulit untuk menjangkau PT dengan

menjatuhkan sanksi denda (fine), seperti pemerkosaan, pembunuhan, dan tindakan

sejenis lain. Untuk jenis pidana yang seperti ini perseroan ditempatkan sebagai pada

posisi membantu (aiding) dan bersekongkol (abetting) melakukan pidana,

berdasarkan konstruksi demikian berlaku sanksi denda terhadap PT, dan sanksi

pidana penjara kepada orang yang melakukan.39

Hukum positif Indonesia menyatakan peraturan perundang-undangan

telah menjangkau nomenklatur subjek hukum bukan perorangan seperti dalam

UU nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal memasukkan subjek hukum berupa

perusahaan. Dalam UU nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

menggunakan subjek berupa badan usaha. Dalam UU nomor 20 tahun 2002

tentang Ketenagalistrikan memuat subjek berupa badan usaha. Dalam UU nomor

13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menggunakan subjek badan usaha dan

badan-badan lainnya. Keberadaan peraturan di atas telah membuat terang bahwa

38

John Braithwaite, Corporations, Crime, and Accountability, (Cambridge: Cambridge

University Press, 1993), h. 132.

39 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 150.

29

perseroan sebagai badan hukum juga melekat tanggung jawab pidana pada

dirinya.40

4. Tanggung Jawab Perseroan menerapkan Good Coporate Governance

Good Corporate Governance atau sering disingkat GCG merupakan konsep

manajemen perusahaan yang wajib diimplementasikan oleh PT khususnya PT

terbuka agar teciptanya suasana kondusif dalam PT dan menihilkan tindakan curang

yang akan merugikan pihak-pihak yang beriktikad baik dalam PT, namun tidak

berarti membolehkan PT tertutup dapat bertindak di luar GCG dan berujung pada

merugikan pihak-pihak tertentu.

Kewajiban perusahaan dalam menerapkan GCG bukanlah murni berdasarkan

pemikiran legislator dalam negeri. Indonesia baru menerapkan GCG ketika desakan

International Monetery Fund (IMF), World Bank, dan Asian Development Bank

mensyaratkan implementasi GCG oleh PT di Indonesia pada semua sektor industri

dan usaha dalam menjalankan kegiatannya ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997-

1998.41

Desakan tersebut sebagai syarat mutlak apabila Indonesia ingin mendapat

kucuran dana pinjaman untuk keluar dari krisis moneter. Akhirnya pada tahun 1999

Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) yang dibentuk

berdasarkan Keputusan Menteri Kordinasi Ekonomi dan Keuangan Nomor:

40

Ibid, 152-158.

41 I Nyoman Tjager, Corporate Governace, Tantangan dan Kesempatan Bagi Komunitas

Bisnis Indonesia, (Jakarta: Prenhalindo, 2003), h. 71-72.

30

KEP/31/M.EKUIN/08/1999 mengeluarkan pedoman Good Corporate Governance

(GCG) sebagai acuan setiap perusahaan menerapkan GCG.

Meskipun banyak teori penyebab hal di atas terjadi, namun yang menjadi

fokus kajian ini adalah bahwa GCG telah menjadi kewajiban yang harus diterapkan.

Yang apabila tidak diterapkan, maka akan menghilangkan minat bisnis terhadap

pihak tersebut. Hal ini memberikan gambaran bahwa GCG dapat menjadi daya jual

perseroan dalam pasar saham sehingga keberadaannya sangat penting.

GCG didefinisikan sebagai suatu proses dan struktur yang digunakan oleh

organ perusahaan guna memberikan nilai tambah pada perusahaan secara

berkesinambungan dalam jangka panjang bagi pemegang saham, dengan tetap

memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundang-

undangan dan norma yang berlaku.42

Keberadaannya adalah untuk menjamin agar

perseroan dapat survive sesuai dengan maksud dan tujuannya.

Panduan atau standar sebuah perusahaan untuk menerapkan GCG

dikeluarkan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation & Development)

dengan nama Guidelines for Multinational Corporations and Principles of Corporate

Governance. Keberlakuannya memang masih voluntary binding, namun kehendak

bisnis menjadikannya seakan kewajiban. Faktanya perusahaan-perusahaan yang tidak

menerapkan GCG tidak memiliki daya jual terhadap korporasi lain untuk melakukan

42

Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance, Pedoman Komisaris Independen dan

Pedoman Pembentukan Komite Audit Yang Efektif, (Jakarta: Gugus Kerja Komite Nasional Kebijakan

Corporate Governance, 2004), h. 3.

31

kerjasama. Di mana perseroan sebenarnya layaknya manusia yang membutuhkan

entitas lain untuk bertahan hidup (survive).

Penerapan GCG berpijak kepada 5 asas yaitu:43

a. Transparency (keterbukaan informasi), yaitu keterbukaan dalam

melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam

mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.

b. Accountability (akuntabilitas), yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem, serta

pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan

terlaksana secara efektif.

c. Responsibility (pertanggungjawaban), yaitu kesesuaian (kepatuhan) di dalam

pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan

perundangan yang berlaku.

d. Independency (kemandirian), yaitu suatu keadaan di mana perusahaan

dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau

tekanan dari pihak manajemen yang tidak sesuai dengan peraturan dan

perundangan-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang

sehat.

e. Fairness (kesetaraan dan kewajaran), yaitu perlakuan yang adil dan setara di

dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian

serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

43

Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi (I), (Bandung : Books Terrace & Library,

2007), h. 152.

32

Kewajiban PT untuk menerapkan GCG dalam hukum positif Indonesia masih

samar-samar. Ketentuan tersebut terdapat dalam penjelasan pasal 4 UUPT yang

menyatakan:

“Berlakunya undang-undang ini, anggaran dasar Perseroan, dan ketentuan

peraturan perundang-undangan lain, tidak mengurangi kewajiban setiap

Perseroan untuk menaati asas itikad baik, asas kepantasan, asas kepatutan,

dan prinsip tata kelola Perseroan yang baik (good corporate governance)

dalam menjalankan Perseroan.”

Selain UUPT, UU nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM) juga

telah memuat beberapa norma yang mengadopsi prinsip GCG. 44

Hal itu termuat

dalam pasal 82-84 mengenai memesan efek terlebih dahulu, benturan kepentingan,

penawaran tender, pengabungan, peleburan, serta pengambilalihan.45

44

M. Irsan Nasarudin & Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2004), h. 235-236.

45 Indra Surya & Ivan Yustiavanda, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta : PT Kencana

Prenada Media Group, 2006), h. 119.

33

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG UNITED NATIONS GUIDING PRINCIPLE

ON BUSINESS AND HUMAN RIGHTS (UNGP)

A. Sejarah Lahirnya UNGP

UNGP adalah sebuah referensi yang dikeluarkan dan disahkan oleh Dewan Hak

Asasi Manusia PBB untuk negara dan perusahaan agar mengintegrasikan

penghormatan, perlindungan, dan pemulihan HAM dalam setiap bisnis yang

beroperasi di dunia. Prinsip ini kemudian diterima dengan suara bulat dan diadopsi

menjadi Resolusi Dewan HAM PBB (UNHRC) No. 17/4 16 Juni 2011.46

Isu HAM bukan merupakan pembicaraan baru dalam kehidupan dunia.

Keberadaanya semakin dibutuhkan seiring semakin menguatnya kehendak individu

dan badan hukum untuk hidup sejahtera dan mengembangkan bisnisnya untuk

memperbesar keuntungan. Pararel dengan kehendak tanpa batas itulah pelanggaran

HAM seringkali mengikuti. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Multinational

Corporations (MNCs) atau Transnational Corporations (TNCs) bukanlah

kekhawatiran, melainkan telah terjadi nyata dan mengancam hak asasi manusia.

Studi yang dilakukan oleh International Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA)

46

Guiding Principles on Business and Human Rights, Implementing the United Nations

“Protect, Respect, and Remedy” Framework. UNHRC, 2011. h. iv.

34

menunjukkan bagaimana MNCs/TNCs beroperasi dan mengabaikan hak asasi

manusia.47

Tabel 1:

47

K Robert Hitchock. 1997. “Indegenous Peoples, Multinational Corporations and Human

Rights.” Indigenous Affairs, IWGIA, No.2. dalam Ifdhal Kasim. 2010. “Tanggungjawab Perusahaan

terhadap Pemenuhan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya” (paper dalam Lokakarya Nasional

Komnas HAM, tidak diterbitkan).

35

Pada dasarnya, isu bisnis dan hak asasi telah dimulai sejak lama dengan berbagai

inisiatif yang dilakukan oleh berbagai pihak dengan mengeluarkan kesepakatan-

kesepakatan yang diharapkan diakui secara universal yakni :48

a. UNGC (United Nation Global Compact);

b. OECD Guidelines for Multinational Corporations and Principles of

Corporate Governance;

c. The World Bank Policy on Indigenous Peoples and Draft Policy on

Involuntary Resettlement;

d. Amnesty International’s Human Rights Guidelines for Companies;

e. The Global Sullivan Principles;

f. The Australian Non- Government Organisations’ Principles for the Conduct

of Company Operations within the Minerals Industry; and

g. The German NGO network’s Principles for the Conduct of Company

Operations within the Oil and Gas Industry.

Upaya untuk itu kemudian dilanjutkan oleh sebuah badan di bawah PBB pada

tahun 1998 dengan mengeluarkan Rancangan Norma tentang Tanggung Jawab

Perusahaan terkait HAM. Rancangan itu diterbitkan pada 2003 bertajuk “Norms on

the Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises

48

Crish Ballard, “Human Rights and the Mining Sector in Indonesia: A Baseline Study”,

(Canberra: MMSD, 2001), h. 9.

36

with Regard to Human Rights,” yang dikenal dengan sebutan the Draft Norms.49

Perdebatan terjadi antara aktivis HAM yang mendukung draf tersebut dengan

kalangan bisnis yang menolaknya.

PBB batal mengadopsi draf tersebut padahal mereka sendiri mengatakan bahwa

draf adalah sebuah elemen yang berguna. Setelah perdebatan yang berujung pada

terbuangnya the Draft Norms, Koffi Anan selaku Sekretaris Jenderal PBB saat itu

menunjuk John Ruggie untuk mempertemukan para stakeholder kembali membahas

tentang perkembangan bisnis dan hak asasi manusia dari pendekatan yang berbeda.

Pada akhirnya John Ruggie mampu membuat laporan terhadap Dewan HAM PBB

berupa pedoman prinsip hak asasi yang bernama Guiding Principles on Business and

Human Rights, Implementing the United Nations “Protect, Respect, and Remedy”

Framework (UNGP) atau lebih dikenal dengan nama Ruggie’s Principles,50

yang

diadopsi menjadi Resolusi Dewan HAM PBB nomor 17/4 16 Juni 2011.

UNGP mendasari panduan prinsip untuk bisnis dan HAM dengan tiga pilar

yakni perlindungan, penghormatan, dan pemulihan hak asasi manusia sebagai

berikut:51

49

IWGIA European Network On Indigenous Peoples, Business And Human Rights;

Interpreting The Un Guiding Principles For Indigenous Peoples; Report 16, 2014. h. 11

50 Business & Human Rights Initiative (2010), “How to Do Business with Respect for Human

Rights: A Guidance Tool for Companies,” The Hague: Global Compact Network Netherlands. H. 21-

22.

51 Guiding Principles on Business and Human Rights, Implementing the United Nations

“Protect, Respect, and Remedy” Framework. UNHRC, 2011, h. 1.

37

a. Kewajiban negara untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi

manusia dan kebebasan dasar.

b. Peran perusahaan bisnis sebagai organ khusus dari masyarakat yang

melakukan fungsi-fungsi khusus, sehingga harus mengikuti peraturan yang

berlaku dan menghormati hak asasi manusia.

c. Kebutuhan akan hak dan kewajiban yang sesuai dengan pemulihan yang

layak dan efektif ketika dilanggar.

Pada dasarnya, keberadaan pedoman ini adalah untuk mengklarifikasi berbagai

tindakan negara dan perusahaan tentang apa yang harus dilakukan dalam

menjalankan bisnis yang selaras dengan HAM. Pedoman ini juga digunakan untuk

mengklasifikasi tindakan atau kondisi apa saja yang merupakan bentuk

penghambatan atas penghormatan, perlindungan, dan pemulihan HAM.

B. Prinsip Umum UNGP

1. Kewajiban Negara Untuk Melindungi Hak Asasi Manusia

Prinsip tanggung jawab negara merupakan prinsip umum pertama yang

dicantumkan dalam UNGP. UNGP tidak berusaha untuk menggeser tanggung jawab

negara sebagai pemangku utama kewajiban dalam menjaga hak asasi manusia

kepada perusahaan. Negara tetap diletakkan sebagai pihak yang paling bertanggung

jawab untuk menjaga hak asasi manusia masyarakatnya.

Terdapat dua panduan utama dalam UNGP yang menuntut kewajiban negara

untuk melindungi hak asasi manusia. Prinsip pertama adalah:

38

“Negara-negara harus melindungi dari pelanggaran hak asasi manusia oleh

pihak ketiga, termasuk perusahaan bisnis, di dalam wilayah dan/atau

yurisdiksi mereka. Hal ini membutuhkan diambilnya langkah-langkah yang

pantas untuk mencegah, menyelidiki, menghukum dan memulihkan

pelanggaran tersebut melalui kebijakan, legislasi, peraturan, dan sistem

peradilan yang efektif”.52

Tugas negara untuk melindungi hak asasi manusia merupakan standar

prilaku, maka negara tidak secara langsung bertanggung jawab atas pelanggaran hak

asasi manusia oleh sektor swasta, namun negara dapat dikatakan melakukan

pelanggaran HAM ketika mereka tidak melaksanakan fungsi pencegahan,

penindakan, dan pemulihan, dengan otoritas yang dimiliki oleh negara, negara

dibebankan kewajiban untuk merumuskan kebijakan, legislasi, peraturan perundang-

undangan, dan sistem peradilan yang mengakomodir perlindungan hak asasi manusia

akibat operasionalisasi sektor bisnis.

Panduan yang kedua adalah:

“Negara-negara harus menyampaikan secara jelas harapan atau ekspektasi

bahwa seluruh perusahaan bisnis yang berdomisili di dalam wilayah

dan/yurisdiksi mereka menghormati hak asasi manusia di seluruh operasi

mereka”.53

Titik tekan dari panduan ini adalah kewajiban negara untuk membuat

peraturan yang menjangkau perusahaan grup negaranya yang beroperasi di negara

lain. Baik dalam bentuk perusahaan anak atau bentuk lainnya. Panduan ini berharap

agar negara investor tuan rumah tidak mengeksploitasi HAM di negara lain demi

52

Terjemahan United Nation Guiding Principle on Business and Human Rights; Framework to

Protect, Respect, and Remedy. (Jakarta: 2012, ELSAM). h. 14.

53 Ibid, h. 16.

39

kepentingan negara dan perusahaan negaranya saja. Hal ini selaras dengan

perkembangan hak asasi manusia generasi ke empat yang dikemukakan oleh Karel

Vasak yakni hak atas pembangunan yang diperhatikan oleh negara maju kepada

negara berkembang.54

Hak ini menuntut negara maju dan adidaya, agar senantiasa menghormati

keberadaan hak asasi manusia di atas negara yang masih berkembang.55

Tuntutan

tersebut terpostulasi menjadi hak untuk pembangunan, hak atas perdamaian, hak atas

sumber daya alam sendiri, hak atas lingkungan hidup yang baik, serta hak atas

warisan budaya sendiri. Hak tersebut pantas untuk disodorkan oleh negara

berkembang terhadap negara maju, yang mana mekanisme pertanggungjawabannya

sangat tergantung atas hubungan dan kerjasama internasional negara-negara terkait.

Hal ini penting mengingat tidak semua negara memiliki aturan yang cukup

mapan mengenai penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, akibat tingkat

kesadaran yang masih minim mengenai HAM di negara berkembang yang

dipengaruhi oleh rendahnya kualitas pendidikan yang mereka terima. Dengan

panduan ini, maka negara maju (tuan rumah) yang dipastikan memiliki kesadaran

tinggi melakukan kontribusi mereka terhadap pemajuan HAM di dunia dengan

mewajibkan korporasi negara mereka yang beroperasi di negara lain yang minim

54

Karel Vasak, A 30-Year Struggle: The Sustained Efforts to Give Force of Law to the

Universal Declaration of Human Rights, (Unesco Courier, 1977), h. 29-32.

55 Philip Alston, A Third Generation of Solidarity Rights: Progressive Development or

Obfuscation of International Human Rights Law, (Amsterdam: Netherlands International Law Review

Vol 29. No. 3, 1982), h. 307-322

40

akan pengaturan dan implementasi perlindungan HAM tetap menjaga dan tidak

melanggar HAM masyarakat di mana tempat mereka beroperasi.

Panduan ini telah dilaksanakan oleh beberapa negara yang mewajibkan

perusahaan induk negara mereka yang memiliki dampak ekstrateritorial memberikan

laporan mengenai operasi global dari keseluruhan perusahaan, membuat instrumen

hukum lunak multilateral seperti Panduan untuk Perusahaan Multinasional dari

Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Guidelines for

Multinational Enterprises of the Organization for Economic Cooperation and

Development), dan standar performa yang dibutuhkan oleh institusi yang mendukung

investasi luar negeri. Pelaksanaan dari panduan di atas bahkan memungkinkan untuk

terjadi penuntutan berdasarkan kewarganegaraan pelaku kejahatan tanpa memandang

lokasi kejadiannya.56

UNGP memberikan 4 parameter negara dalam hal melindungi (protecting)

hak asasi manusia antara lain:57

a. Menegakkan hukum yang ditujukan kepada, atau memiliki dampak pada

keharusan perusahaan bisnis untuk menghormati hak asasi manusia, dan

56

Terjemahan United Nation Guiding Principle on Business and Human Rights; Framework to

Protect, Respect, and Remedy. (Jakarta: 2012, ELSAM). h. 18.

57 Terjemahan United Nation Guiding Principle on Business and Human Rights; Framework to

Protect, Respect, and Remedy. (Jakarta: 2012, ELSAM). h. 18-19.

41

secara periodik membuat penilaian atas kecukupan dari hukum tersebut

dan mengatasi kekurangan yang ada;

b. Memastikan bahwa hukum dan kebijakan yang lain mengatur

pembentukan dan operasi yang sedang berjalan dari perusahaan bisnis,

seperti hukum perusahaan, tidak menghambat tetapi membuat bisnis

menghormati hak asasi manusia;

c. Memberikan panduan yang efektif kepada perusahaan bisnis tentang

bagaimana menghormati hak asasi manusia dalam pelaksanaan operasi

mereka;

d. Mendorong, dan ketika pantas mensyaratkan perusahaan bisnis untuk

berkomunikasi tentang bagaimana mereka mengatasi dampak-dampak

hak asasi manusia.

2. Tanggung Jawab Perusahaan Menghormati Hak Asasi Manusia

Prinsip umum yang kedua dalam UNGP adalah meletakkan tanggung jawab

perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia di manapun ia berada. Meskipun

hukum nasional negara di mana tempat ia beroperasi tidak menjadikan isu hak asasi

sebagai hal yang utama, namun kembali ditegaskan bahwa panduan ini sama sekali

tidak berusaha menggeser beban pertanggungjawaban negara sebagai pemangku

utama perlindungan hak asasi manusia.

Dalam hal tanggung jawab perusahaan untuk menghormati hak asasi

manusia, perusahaan bukan hanya diharapkan tidak melanggar hak asasi manusia,

42

namun juga diharapkan menghindari keterlibatan pelanggaran hak asasi manusia

yang dilakukan oleh pihak ketiga yang memiliki hubungan bisnis dengan perusahaan

tersebut. Jikapun pelanggaran telah terjadi, maka perusahaan wajib mengatasi akibat

hak asasi manusia yang merugikan tersebut.

Keterlibatan perusahaan dalam pelanggaran HAM dapat dilakukan melalui 3

kondisi antara lain:58

a. Causing, yakni menyebabkan. Artinya perusahaan sebagai aktor langsung

yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Seperti

dengan melibatkan anak di bawah umur untuk bekerja dengan jam yang

tinggi, tenaga kerja tanpa upah, dan lain sebagainya.

b. Contributing, yakni berkontribusi. Maksudnya adalah perusahaan tidak

bertindak sebagai aktor langsung terjadinya pelanggar HAM, namun

memberi kontribusi melalui instruksi atau tekanan kepada perusahaan

penyebab. Sebagai contoh perusahaan yang membutuhkan bahan mentah

dari supplier akibat permintaan pasar yang menumpuk, perusahaan

memaksa supplier untuk memproduksi bahan baku lebih banyak dan lebih

cepat. Akibatya supplier menekan karyawannya untuk berkerja di luar

jam kerja dengan pemaksaan yang memunculkan pelanggaran HAM.

c. Link In, memiliki hubungan. Meskipun perusahaan tidak menyebabkan

dan tidak berkontribusi terhadap dampak merugikan hak asasi manusia,

58

United Nations Human Rights Office of the High Commissioner, Tanggung Jawab

Perusahaan untuk Menghormati Hak Asasi Manusia, diterjemahkan oleh Adila Alin Almanar,

(Jakarta: ELSAM, 2014), h. 22.

43

namun perusahaan dapat dikatakan melakukan hal itu melalui hubungan

bisnis perusahaan tersebut dengan perusahaan lain yang statusnya sebagai

menyebabkan dan berkontribusi. Hubungan tersebut dapat terjadi melalui

kegiatan, produk, serta jasa perusahaan yang memiliki hubungan. Sebagai

contoh, perusahaan memiliki kerjasama dengan perusahaan lain yang

melakukan pelanggaran HAM, namun perusahaan tidak menggunakan

daya tawar mereka agar perusahaan pelanggar tersebut mengehentikan

aktivitas nya. Kondisi ini perusahaan dikatakan memiliki hubungan dalam

pelanggaran HAM oleh pihak ketiga.

Panduan UNGP memberikan arahan bahwa perusahaan wajib

mempertimbangkan risiko hak asasi manusia yang terdefinisi dalam the International

Bill of Human Rights yang terdiri dari 3 dokumen utama hak asasi manusia yakni

DUHAM, ICCPR, dan ICESCR. Selain itu, aturan hak asasi manusia yang ada dalam

deklarasi organisasi buruh internasional juga harus dipertimbangkan.59

Perusahaan dapat dikatakan menjalankan tanggung jawab hak asasi

manusianya apabila melakukan 3 hal utama yakni 1) Memiliki kebijakan komitmen

hak asasi manusia yang tergambar dalam setiap SOP hingga ke anak perusahaan; 2)

Melaksanakan dengan sungguh-sungguh identifikasi, pencegahan, pengurangan,

serta menghitung dampak dan penyelesaian akibat buruk hak asasi manusia akibat

perusahaan (human rights due diligence); 3) Melakukan pemulihan atas dampak

59

Terjemahan United Nation Guiding Principle on Business and Human Rights; Framework to

Protect, Respect, and Remedy. (Jakarta: 2012, ELSAM). h. 38.

44

yang ditemukan dari HRDD.60

Ketiga hal tersebut akan dibahas secara detail dalam

bahasan selanjutnya.

3. Akses atas Pemulihan

Pemulihan adalah inti dari penyelesaian pelanggaran HAM yang memiliki 2

aspek penting yakni prosedural dan substansial. Secara substansial, pemulihan

bertujuan untuk menghilangkan atau menyelesaikan kerugian HAM yang telah

terjadi. Pemulihan dilakukan dengan cara yudisial, admisnistratif, legislatif, atau

lainnya. Yang dapat berupa permintaan maaf, restitusi, rehabilitasi, kompensasi

finansial atau non finansial, serta sanksi hukuman. Sedangkan secara prosedural,

ketentuan tata cara pemulihan harus imparsial, dilindungi dari politik, korupsi, serta

usaha apapun untuk menghalanginya.61

Dalam mekanisme pemulihan (access to remedy) Ruggie’s Principles

terdapat 3 mekanisme dalam pemulihan HAM, yaitu:62

a. Mekanisme Hukum Berbasis Negara.

Mekanisme ini disediakan oleh negara sebagai langkah untuk pemulihan

terhadap pelanggaran HAM melalui jalur hukum domestik seperti badan

60

Asep Mulyana, Jurnal HAM, Vol 8, Mengintegrasikan HAM ke Dalam Kebijakan dan

Praktik Perusahaan”, (Yogyakarta: FH UGM, 2012), h. 265-281.

61 Terjemahan United Nation Guiding Principle on Business and Human Rights; Framework to

Protect, Respect, and Remedy. (Jakarta: 2012, ELSAM). h. 67-68.

62 Terjemahan United Nation Guiding Principle on Business and Human Rights; Framework to

Protect, Respect, and Remedy. (Jakarta: 2012, ELSAM). H. 70-76.

45

peradilan, ataupun komisi. Negara juga wajib menjamin bahwa

mekanisme ini berjalan efektif dengan tidak ada hambatan.

b. Mekanisme Pengaduan Non Hukum Berbasis Negara.

Hal ini berupa proses berbasis mediasi, ajudikatif, atau mengikuti cara

lainnya sesuai dengan budaya dan cocok dengan hak atau melibatkan

beberapa kombinasinya tergantung dari isu terkait, setiap kepentingan

publik yang terlibat, dan kebutuhan potensial dari pihak-pihak. Dalam

mekanisme ini, institusi HAM nasional memiliki peran yang sangat

penting.

c. Mekanisme Pengaduan Bukan Berbasis Negara.

Satu kategori dari mekanisme pengaduan bukan berbasis negara

mencakup semua yang diatur oleh sebuah perusahaan bisnis sendiri atau

dengan pihak terkait, oleh sebuah asosiasi industri atau sebuah kelompok

pihak-pihak terkait. Mekanisme ini non hukum, tetapi dapat

menggunakan proses ajudikatif, dialog, atau lainnya sesuai dengan

budaya dan sesuai dengan hak. Mekanisme-mekanisme tersebut dapat

menawarkan benefit seperti kecepatan akses dan pemulihan, mengurangi

biaya dan/atau capaian transnasional.

46

BAB IV

FORMULASI IMPLEMENTASI UNITED NATIONS GUIDING PRINCIPLE

ON BUSINESS AND HUMAN RIGHTS DALAM GOOD CORPORATE

GOVERNANCE OLEH PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA

A. Status dan Implementasi UNGP di Indonesia

UNGP yang dibuat oleh John Ruggie seorang pakar hukum dari Harvard

University sebagai utusan utama Sekretaris Jenderal PBB teradopsi secara bulat

dalam bentuk Resolusi Dewan HAM PBB (UNHRC) nomor 17/4 16 Juni 2011.63

Dalam tataran hukum internasional, resolusi adalah suatu rekomendasi dari suatu

masalah yang telah disetujui melalui konsensus maupun pemungutan suara menurut

aturan dan tata cara yang telah ditetapkan oleh organisasi internasional atau badan

yang bersangkutan. Istilah resolusi sebagaimana yang digunakan oleh PBB memiliki

arti yang luas, yakni tidak hanya mencakup akan suatu rekomendasi melainkan juga

keputusan.64

Berbeda dengan konvensi yang keberlakuannya menuntut adanya proses

ratifikasi oleh negara, resolusi yang dikeluarkan Dewan HAM PBB ini bersifat

morally binding yang kekuatannya baru mengikat apabila negara yang bersangkutan

menyatakan diri mendukung resolusi tersebut dan melakukan aksi nyata berupa

63

Guiding Principles on Business and Human Rights, Implementing the United Nations

“Protect, Respect, and Remedy” Framework. UNHRC, 2011. h. iv.

64 Marko Divac Oberg, The Legal Effect of Resolution of The UN Security Council and General

Assembly in The Jurisprudence of The ICJ , 16 Eur.J.Int’l.L.2006. h. 879.

47

adopsi resolusi ke dalam sistem hukum nasional. Sesuai dengan konvensi Wina yang

telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU nomor 1 tahun 1982, maka dokumen

internasional yang disepakati oleh negara berlaku mengikat secara moral menjadi

hukum kebiasaan internasional (Jus Cogen/Peremptory Norm) dan keberlakuannya

tidak menuntut adanya ratifikasi.65

Melalui Simposium Nasional mengenai Bisnis dan HAM, Direktorat Jenderal

Hak Asasi Manusia Kementerian Luar Negeri menyatakan spirit yang ada dalam

UNGP sejalan dengan apa yang dikehendaki Indonesia.66

Indonesia dalam menyikapi

UNGP menyatakan dukungannya untuk menjadikan prinsip tersebut sebagai acuan

bagi perusahaan di Indonesia untuk menghormati HAM.

Hukum Indonesia mengatur bahwa sebuah hukum internasional yang diakui oleh

Indonesia harus diimplementasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan

nasional. Setelah proses adopsi itu, barulah norma tersebut dapat berlaku efektif.

Begitu juga dengan UNGP. Prinsip-prinsip yang dikandung di dalamnya harus

diadopsi dalam berbagai peraturan-perundang-undangan di Indonesia barulah bisa

berlaku secara efektif. Pada dasarnya UNGP tidak membebankan tanggung jawab

65

Yang dimaksud dengan peremptory atau jus cogens adalah norma umum dalam hukum

internasional yang disepakati, diterima, dan diakui oleh negara-negara dalam masyarakat internasional

secara keseluruhan sebagai sebuah norma yang tidak boleh dilanggar dan atau dikurangi dan hanya

bisa dirubah jika lebih banyak negara-negara di dunia menyepakati, menerima, dan mengakui sebuah

norma lain yang subsekuen dengannya. Untuk lebih jelasnya, lihat Vienna Convention on the Law and

Treaties, 1958, Pasal 53.

66 http://ham.go.id/kegiatan/simposium-nasional-mengenai-bisnis-dan-ham diakses pada 12

September 2015, pukul. 22.11.

48

hukum atas pedoman yang ada di dalamnya, maka butuh langkah nyata dari negara

untuk merealisasikannya.

Seperti dalam laporan yang dikeluarkan oleh International Work Group on

Indigenous Affairs (IWGIA) bahwa lahirnya UNGP adalah berkat kejelian John

Ruggie mengambil pendekatan yang berbeda dengan pembahasan sebelumnya yakni

Draft Norm yang sama-sama berisi panduan hak asasi manusia dalam kegiatan bisnis

yang pada akhirnya ditolak. Penolakan tersebut akibat pendekatannya yang legally

binding sehingga mendapat penolakan keras dari berbagai pihak bisnis,67

maka dari

itu UNGP hadir sebagai panduan yang sifatnya voluntary binding atau mengikat

secara sukarela.

Laporan yang dirilis oleh HRRCA (Human Rights Resources Center ASEAN)

mengenai Indonesia, dikatakan bahwa Indonesia merespon dengan sangat positif

keberadaan UNGP. Indonesia meletakkan 2 isu utama yakni kewajiban negara dalam

mengambil pertimbangan dalam melakukan persetujuan bisnis dengan pihak ketiga.

Indonesia mengeluarkan pentingnya sistem peradilan yang independen.68

Respon

positif tersebut tentunya harus terimplementasi secara nyata sehingga Indonesia

dapat diperhitungkan dalam hubungan internasional karena bersikap responsif

terhadap isu perlindungan hak asasi manusia oleh perseroan.

67

IWGIA European Network on Indigenous Peoples, Business And Human Rights;

Interpreting The Un Guiding Principles For Indigenous Peoples; Report 16, 2014. h. 11

68 Human Rights Research Center ASEAN, Business and Human Rights in ASEAN A Baseline

Study. h. 95

49

Untuk mengukur tingkat kemauan negara terhadap adopsi UNGP dapat

dilakukan dengan melihat tingkat keselarasan peraturan perundang-undangan yang

ada dengan pedoman yang terdapat dalam UNGP. Hasil pengamatan penulis

terhadap beberapa Undang-undang terkait sektor yang bersinggungan langsung

dengan masyarakat dan menjadi sumber konflik adalah sebagai berikut:69

Pada dasarnya keselarasan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan

panduan yang ada dalam UNGP telah menyentuh ekspektasi yang cukup baik. Sesuai

dengan data yang di rilis oleh Setara Institute pada 1 November 2015

mengompilasikan beberapa peraturan yang bersentuhan dengan operasionalisasi

bisnis yang beririsan dengan kehidupan sosial. Setidaknya ada 11 undang-undang

yang telah sesuai (complience) dengan amanah yang ada dalam UNGP. Bahkan baru-

baru ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia mengeluarkan

produk hukum berupa Peraturan Menteri nomor 35/PERMEN-KP/2015 tentang

Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan yang secara tegas

menyatakan mengadopsi bahkan tindak lanjut dari adopsi UNGP dalam hukum

Indonesia.70

Aturan tersebut mewajibkan perusahaan perikanan yang ingin mendapat izin

berlayar harus memenuhi kriteria kepatuhan HAM yang di dapat dari human rights

due diligence atau pengecekan secara komprehensif mengenai pemenuhan hak asasi

69

Lihat Lampiran I.

70 http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20151130195247-92-95042/kkp-wajibkan

sertifikasi-ham-bagi-semua-perusahaan-ikan/, diakses pada 28 Maret 2016, pukul 01.59.

50

oleh perusahaan. Dalam aturan tersebut terdapat 7 bidang operasionalisasi yang harus

memiliki SOP (Standar Operasional Produksi) khusus dengan pendekatan

pemenuhan hak asasi manusia yakni 1) Keselamatan dan kesehatan kerja (K3); 2)

Sistem perekrutan awak kapal perikanan dan pekerja; 3) Sistem ketenagakerjaan; 4)

Tanggung jawab pengembangan masyarakat yang berkelanjutan; 5) Tenaga

keamanan; 6) Lingkungan; 7) Pengambilalihan lahan.71

Padatnya norma indah yang diatur dalam hukum tertulis Indonesia tetap tidak

memenuhi ekspektasi yang diamanahkan dalam UNGP, karena UNGP

mengamanahkan bahwa efektivitas penegakan hukum untuk mengimplementasikan

hukum materiil. Sayangnya penegakan hukum di Indonesia mengalami pasang surut,

bahkan penegakan hukum yang buruk mengakibatkan hukum kehilangan

kewibawaannya,72

sehingga hukum menjadi hiasan bernegara semata.

Selain tingkat keselarasan (compliency) antara norma peraturan perundang-

undangan dengan ekspektasi yang ada dalam UNGP. Kontribusi negara juga

diharapkan dalam hal hubungan bisnis negara dengan perusahaan asing dalam rangka

pelaksanaan public private partnership atau dalam Kontrak Karya. Dalam klausul

kontrak, negara diharapkan memasukkan nilai-nilai hak asasi manusia serta konsep

71

Lampiran Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor

35/Permen-Kp/2015 Tentang Sistem Dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan.

72 Imam Sukadi, Jurnal Risalah Hukum: Matinya Hukum dalam Proses Penegakan Hukum di

Indonesia, (Samarinda: FH Universitas Mulawarman, 2011), h. 41.

51

penerapannya yang ada dalam UNGP sebagai bagian dari syarat berjalannya kontrak

tersebut.73

Dalam tinjauan perusahaan, meskipun undang-undang tidak mengatur secara

jelas dan tegas mengenai kewajiban penghormatan hak asasi manusia dengan konsep

yang ada dalam UNGP, namun berbagai organisasi internasional terkait entitas bisnis

mampu membuat perseroan-perseroan besar yang menjalankan aktivitas bisnis di

Indonesia mengikuti aturan main yang ada dalam UNGP.

Pengamatan penulis menemukan sudah ada 5 perusahaan besar yang

memberlakukan komitmen kebijakan hak asasi manusia dan mempublikasikannya ke

dalam berbagai media. Kelima perusahaan tersebut adalah British Petroleum,

Ericsson, HP, MSD (PT MSD Sharp Dohme Pharma Tbk, dan PT Uniliver Tbk.74

Uniliver sebagai contoh telah mengeluarkan pernyataan kebijakan hak asasi

manusia dengan benar-benar mengadopsi UNGP sebagai dokumen utama. Hal itu

tercermin dalam paragraf yang berjudul “Kebijakan Kami”. Uniliver juga tergabung

dalam OECD (Organization for Economic and Cooperation Development) dan

menjadi anggota UNGC (United Nations Global Compact).

Uniliver memasukkan nomenklatur hak asasi manusia dalam kode prinsip bisnis

mereka yang berbunyi:

73

Imam Prihandono, Kerangka Hukum Pengaturan Bisnis dan HAM di Indonesia, (Jakarta:

ELSAM, tidak ada tahun), h. 8-9.

74 Tidak menutup kemungkinan masih banyak perusahaan selain 5 perusahaan yang penulis

jangkau yang mengadopsi UNGP dalam kegiatan bisnis mereka.

52

“Melakukan operasi dengan kejujuran, integritas, dan keterbukaan,

serta menghormati hak asasi manusia dan kepentingan karyawan.

Dan bahwa kami pun harus menghormati kepentingan resmi dari

siapa saja yang berhubungan dengan kami.”

Uniliver juga mewajibkan mitra bisnis untuk melakukan apa yang diterapkan oleh

mereka. Hal ini sesuai dengan amanah dari UNGP untuk menggunakan daya tawar

agar entitas bisnis yang memiliki rantai nilai dengan perseroan dapat menghormati

hak asasi manusia.

Dari kelima perseroan di atas yang menerapkan UNGP dalam kegiatan bisnisnya

dapat kita lihat kesadaran hak asasi manusia yang tinggi. Kesadaran ini nampaknya

tidak hanya berangkat dari kepentingan masyarakat sekitar yang terkena imbas dari

kegiatan bisnis. Kesadaran ini tampaknya juga untuk memenuhi ekspektasi dan

persaingan dalam pasar, karena pada dasarnya pemenuhan dan penghormatan

terhadap hak asasi manusia berpengaruh terhadap reputasi perseroan yang

berimplikasi pada diterima atau tidaknya produk mereka di pasar.75

Kesadaran hak asasi manusia oleh masyarakat eropa yang sangat tinggi

mempengaruhi implementasi dari UNGP meskipun keberlakuannya hanya voluntary

binding. Kesadaran membawa pasar yang mewajibkan UNGP diadopsi oleh

perseoran, bahkan oleh negara melalui undang-undang. Tidak hanya di Eropa,

Singapura juga telah memiliki kesadaran yang tinggi.

75

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cbea88c5cc4d/kepatuhan-ham-tentukan-

reputasi-korporasi , diakses pada 28 Maret 2016, pukul 07.26.

53

Baru-baru ini ketika terjadi kebakaran lahan yang sangat luas di Indonesia yang

terbukti melibatkan anak perusahaan APP (Asia Pulp and Paper), produk tissue PT

tersebut di boikot karena dianggap melanggar hak atas lingkungan hidup bagi

masyarakat Indonesia, Malaysia, dan Singapura.76

Mau tidak mau jika produk APP

ingin bersaing di pasar internasional maka mereka harus mengadopsi UNGP dalam

manajemen internal perseroan dan sebisa mungkin menjaga tidak terjadi pelanggaran

hak asasi manusia.

Kondisi di atas menggambarkan berjalannya pendekatan cost accounting yang

dikemukakan oleh Nash June dan Max Kirsch bahwa keuntungan merupakan

tujuan utama dari perseroan.77

Pasar merupakan sarana utama para perseoran dalam

mendulang keuntungan. Menciptakan konstruksi alamiah yang membuat pasar

mengharuskan terpenuhinya hak asasi manusia oleh perseroan yang memproduksi

sesuatu merupakan cara yang cerdas untuk menjadikan pedoman tersebut efektif.

Dalam konteks ini kita ditunjukkan bahwa legal culture yang dikemukakan oleh

Lawrence M. Friedman mampu menjadi tumpuan utama perlindungan HAM meski

di tengah minimnya penegakan hukum yang dilakukan oleh negara. Tingginya

kesadaran hukum maka otomatis tinggi pula tingkat kepatuhan manusia terhadap

norma-norma yang ada. Sebenarnya kesadaran ini di dorong oleh diadopsinya UNGP

76

http://www.cnnindonesia.com/internasional/20151012134544-11384416/supermarket-

singapura-boikot-produk-asia-pulp-paper/ , diakses pada 28 Maret 2016, pukul 05.59.

77 Nash June and Max Kirsch, Corporate Culture and Social Responsibility : The Case Toxic

Wastes in a New England Community. (University Press of America, Maryland: 1994) h. 367

54

oleh organisasi-organisasi bisnis internasional yang memiliki peran vital dalam dunia

bisnis internasional seperti UNGC dan OECD. Keduanya menambahkan prinsip hak

asasi manusia dalam ketetapan standar perusahaan yang dapat diterima sebagai

anggota.78

B. Formulasi Implementasi United Nations Guiding Principle on Business and

Human Rights dalam Good Corporate Governance oleh Perseroan di

Indonesia

Kita telah melihat bagaimana bentuk implementasi UNGP yang dilakukan oleh

beberapa perusahaan dalam bentuk pernyataan komitmen kebijakan hak asasi

manusia. Perusahaan-perusahaan tersebut melaksanakan amanah UNGP karena

mereka adalah perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia. Di mana negara asal

mereka terikat dalam OECD yang mewajibkan melaksanakan UNGP di setiap induk

dan anak perusahaan. Atau mendaftarkan diri di UNGC sebagai langkah pembukaan

jaringan bisnis internasional.

Implementasi UNGP oleh perusahaan dilakukan dengan sebuah proses yang

dikenal dengan Uji Tuntas Hak Asasi Manusia (Human Rights Due Diligence) yang

meliputi sebuah proses pengelolaan terus-menerus yang perlu dilakukan sebuah

perusahaan yang hati-hati, bijaksana, sesuai dengan keadaannya (termasuk sektor,

konteks operasi, ukuran, serta faktor serupa) untuk memenuhi tanggung jawabnya

untuk menghormati hak asasi manusia.

78

Elsam dan OECD, Panduan OECD bagi Perusahaan-Perusahaan Multinasional, Edisi

2011, (Jakarta: ELSAM, 2015). h. v.

55

Bagi perusahaan Indonesia yang merupakan anak perusahaan asing, atau yang

memiliki kepentingan pasar di Uni Eropa dan USA mau tidak mau harus harus

mengintegrasikan UNGP dalam kegiatan perusahaannya, karena wilayah pasar di

atas telah memberlakukan UNGP sebagai filter dalam pengadaan barang import.

Produk mereka akan tertolak masuk pasar eropa jika tidak memenuhi standar HAM.

Seperti yang terjadi di EU, UNGP telah memainkan peran penting terhadap

perdebatan atas CSR. Pengertian CSR di Eropa pada awalnya adalah “A concept

whereby companies integrate social and environmental concerns in their business

operations and in their interactions with their stakeholders on voluntary bases”,

pasca diadopsinya UNGP sebagai resolusi PBB terjadi perubahan signifikan di yang

di lakukan European Commission terkait CSR, hingga kemudian definisi CSR

berubah menjadi “…the responsibility of enterprises for their impacts on society”.79

Perubahan tersebut memiliki pemaknaan yang berbeda, di mana awalnya CSR

hanya sebagai proyek filantropis yang tidak menekankan pemulihan akibat impact

yang terjadi pada masyarakat terdampak. CSR dapat dilakukan kapanpun dan di

manapun dengan cara apapun. Berbeda kali ini ketika CSR mendasarkan pada

pendekatan HAM yang terdapat dalam UNGP, CSR harus dilakukan dengan

menitiktekankan pada pemulihan terhadap pemangku kepentingan terdampak. Saat

ini EU mewajibkan negara-negara anggota (state members) untuk membuat Rencana

79

Maddalena Neglia, The Implementation of U.N. Guiding Principles on Business and Human

Rights: Some Reflections on European and US Experiences, (Maastricht: The author, 2014). H, 3.

56

Aksi Nasional (NAP/National Action Plan) khusus hak asasi manusia sebagai

legalitas kewajiban penghormatan HAM dalam dunia bisnis.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengadopsi UNGP agar efektif di

Indonesia adalah dengan membuat Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM (NAP)

sebagaimana amanah UNGP. NAP tersebut dapat dibuat dalam bentuk hukum

peraturan presiden mengingat proses pembuatan dasar hukum yang tidak berbelit

serta aplikatif. Bentuk peraturan presiden dirasa juga paling ideal karena juga akan

turut menjawab kewajiban pemerintah untuk menjamin hak asasi manusia, karena

peraturan presiden merupakan peraturan yang dibuat dalam rangka

menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

Norma yang terdapat dalam peraturan presiden tersebut dapat menjadi dasar

lembaga seperti OJK (Otoritas Jasa Keuangan) untuk meningkatkan peraturan

mengenai GCG. Berkaca pada sejarah GCG yang merupakan kewajiban dari dunia

internasional terhadap Indonesia. GCG yang mengacu pada beberapa peraturan

bapepam dan panduan umum GCG yang dikeluarkan oleh Komite Nasional

Kebijakan Corporate Governance mengacu pada OECD dengan dokumen

Guidelines for Multinational Corporations and Principles of Corporate Governance.

Pada tahun 2011 telah terjadi perubahan terhadap dokumen OECD terkait GCG.

Perubahan dalam dokumen tersebut antara lain adalah:80

80 Elsam dan OECD, Panduan OECD bagi Perusahaan-Perusahaan Multinasional, Edisi

2011, (Jakarta: ELSAM, 2015). h. v.

57

a. Sebuah bab baru tentang hak-hak asasi manusia, yang sesuai dengan asas-

asas panduan tentang bisnis dan hak-hak asasi manusia: Melaksanakan

Kerangka Kerja “Melindungi, Menghormati, dan Pemulihan”

Perserikatan Bangsa-Bangsa.

b. Sebuah pendekatan yang baru dan menyeluruh terhadap pelaksanaan

pemeriksaan menyeluruh (due diligence) dan pengelolaan rantai pasokan

(supply chain) yang bertanggung jawab menunjukkan perkembangan

penting dibanding dengan pendekatan-pendekatan yang dipakai

sebelumnya.

c. Perubahan-perubahan penting di banyak bab-bab khusus, seperti tentang

Ketenagakaerjaan dan Hubungan Industrial; Pemberantasan Penyuapan,

Permintaan Suap dan Pemerasan, Lingkungan Hidup, Kepentingan

Konsumen, Keterbukaan dan Perpajakan.

d. Panduan atas prosedur yang lebih jelas dan diperkuat untuk menguatkan

peran NCPs, meningkatkan kinerja mereka dan memajukan fungsi yang

serupa.

e. Sebuah agenda implementasi yang proaktif untuk membantu perusahaan-

perusahaan memenuhi berbagai tanggung jawab mereka seiring dengan

munculnya tantangan-tantangan yang baru.

Perubahan yang ada dalam OECD dengan mengadopsi UNGP dapat menjadi

alasan tambahan untuk secepatnya Indonesia memberlakukan prinsip bisnis yang

58

menghormati HAM. Mekanisme tanggung jawab perusahaan untuk menghormati

HAM yang dilekatkan dalam tataran GCG khususnnya bagi perusahaan grup akan

memudahkan kontrol masyarakat terhadap kinerja perusahaan. Seperti dalam hal

publikasi laporan tahunan grup perusahaan yang diwajibkan oleh OJK berdasarkan

Peraturan BAPEPAM nomor X.K.1 tentang Keterbukaan Informasi yang Harus

Segera diumumkan Kepada Publik. BAPEPAM dapat memasukkan kewajiban

perusahaan untuk mengumumkan laporan mengenai dampak hak asasi manusia dan

upaya mitigasi dan remedi terhadap dampak potensial dan aktual HAM. Keterbukaan

ini akan mempermudah masyarakat dari berbagai pihak untuk melakukan kontrol

terhadap perusahaan mengenai bisnis yang menghormati HAM, karena saat ini

pemerintah sering lalai dalam melakukan kontrol terhadap perusahaan.

Dalam NAP, dapat dimasukkan tahap-tahap yang dikenal dengan nama Uji

Tuntas HAM yang harus dilakukan perusahaan termasuk perusahaan grup dalam

melakukan bisnis yang menghormati HAM sebagai berikut:

1. Kebijakan Hak Asasi Manusia “Mengatur Nada”

Salah satu unsur utama HRDD adalah adanya komitmen dan pengembangan

pernyataan kebijakan hak asasi manusia. Tahap ini tidak hanya bagaimana

menulis sebuah dokumen, melainkan butuh konsultasi dan langkah-langkah

perencanaan. Kebijakan hak asasi manusia harus menunjukan ekspresi tentang

komitmen untuk menghormati HAM dan memuat instruksi dan pedoman pada

59

pihak yang diharapkan menerapkan kebijakan ini (seluruh pihak terkait aktivitas

bisnis perusahaan).

Pokok dari pedoman unsur kebijakan HAM dalam HRDD adalah sebagai

berikut:

a. Melibatkan manajemen senior dan mencari persetujuan;

b. Mengidentifikasi dan mengevaluasi kebijakan dan komitmen yang ada;

c. Mempertimbangkan untuk melakukan pemetaan resiko hak asasi

manusia;

d. Melibatkan pemangku kepentingan internal dan eksternal dalam proses

tersebut;

e. Membuat pernyataan kebijakan mengenai hak asasi manusia.

Hasil dari uji tuntas tahap pertama ini adalah berupa kebijakan tertulis

atau pernyataan tentang komitmen terhadap hak asasi manusia.

2. Menilai Dampak “Dari Reaktif Menjadi Proaktif”

Unsur kedua dari HRDD membuat penilian resiko terhadap hak asasi

manusia. Unsur tersebut mempertimbangkan akibat-akibat negatif yang

mungkin muncul dari kegiatan-kegiatan yang direncanakan dan diusulkan untuk

individu dan masyarakat, dan menentukan prioritas tindakan yang harus

dilakukan untuk mengurangi resiko-resiko tersebut. Jika penilaian resiko tidak

berdasarkan identifikasi yang tepat, maka akan menghasilkan wilayah-wilayah

yang seharusnya prioritas dapat menjadi tak tersentuh. Berikut adalah ringkasan

tentang pokok panduan mengenai proses menilai dampak:

60

a. Memahami dampak-dampak pada hak asasi manusia;

b. Membedakan ragam proses dari penilaian dampak;

c. Melakukan pemetaan resiko hak asasi manusia;

d. Melibatkan fungsi manajemen resiko yang ada;

e. Mengidentifikasi resiko-resiko terhadap hak asasi manusia;

f. Memprioritaskan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko

tersebut;

g. Menggunakan hasil-hasil penilaian dalam operasi bisnis.

3. Integrasi “Tidak Sekedar Bicara”

Ketika harapan dibangun (kebijakan), dan area-area prioritas untuk uji

tuntas hak asasi manusia perusahaan diidentifikasi (penilaian dampak), elemen

yang berikutnya adalah mulai menyelenggarakan proses untuk bisa menangani

secara efektif dan mengurangi resiko-resiko yang ada. Pada intinya hal ini

merupakan penerapan hak asasi manusia pada sistem-sistem manajemen,

meliputi pelatihan, penilaian kinerja, sistem bonus, kebijakan dari manajemen

atas, sistem kontrol dan pengawasan, dan sebagainya.81

Berikut adalah pokok

panduan integrasi HAM dalam operasi bisnis perusahaan:

a. Memberikan tanggung jawab untuk hak asasi manusia;

b. Mengatur kepemimpinan dari atas;

81

Business & Human Rights Initiative (2010), “How to Do Business with Respect for Human

Rights: A Guidance Tool for Companies,” The Hague: Global Compact Network Netherlands. H. 79.

61

c. Melibatkan hak asasi manusia dalam proses perekrutan dan

pemberian kerja;

d. Membuat hak asasi manusia menjadi sebuah bagian yang tidak

terpisahkan dari budaya perusahaan;

e. Melatih manager dan karyawan utama;

f. Membangun insentif dan disinsentif;

g. Membangun kapasitas untuk menanggapi dilema dan kondisi yang

tidak bisa diperkirakan;

4. Melacak Kinerja “Mengetahui dan Menunjukan”

Unsur keempat dari uji tuntas hak asasi manusia adalah untuk melacak

bagaimana perusahaan memelihara komitmennya dalam menghormati hak asasi

manusia. Perusahaan harus melaporkan kinerjanya dan mengambil pelajaran

dari laporan tersebut bagi siklus atau proyek bisnis mendatang. Seperti halnya

penilaian dampak, proses ini digerakan oleh resiko-resiko aktual dan potensial

terbesar perusahaan terkait dengan hak asasi manusia. Hal ini, kemudian akan

diarahkan oleh kebijakan hak asasi manusia perusahaan, hasil dari penilaian

dampak, dan pelajaran yang didapat dari fase integrasi. Untuk sejumlah

perusahaan, melacak kinerja meliputi pengawasan dan audit terhadap pemasok,

pelanggan dan rekan-rekan bisnis lainnya.

Pokok utama dari unsur melacak kinerja ini adalah:

a. Memulai pelacakan dan pelaporan kinerja;

62

b. Membuat indikator kinerja utama yang spesifik bagi perusahaan;

c. Mempertimbangkan jenis-jenis indikator yang berbeda;

d. Melacak kinerja pemasok dan hubungan-hubungan lainnya;

e. Melakukan verifikasi kinerja dengan menggunakan beragam

instrumen;

f. Mempertimbangkan bagaimana melaporkan kinerja;

g. Mempertimbangkan bagaimana memperbaharui kinerja dan uji tuntas

hak asasi manusia.

5. Mekanisme Penanganan Keluhan “Peringatan Dini Solusi Efektif”

Ketika ada sesuatu yang salah dan orang-orang terkena dampaknya secara

negatif karena apa yang dilakukan oleh perusahaan, hal-hal tersebut harus

diperbaiki. Mekanisme untuk memperbaiki situasi-situasi seperti ini bukanlah

hal yang baru bagi perusahaan. Perusahaan mungkin menerapkan kebijakan

pelapor tindak pidana/pengungkap aib (whistleblower) di seluruh bagian, proses

penanganan keluhan, sistem orang kepercayaan, jejaring pendukung bisnis, dan

sebagainya. Akan tetapi, hal-hal tersebut kebanyakan untuk pemangku

kepentingan internal, sedangkan Ruggie telah menyatakan bahwa semua

pemangku kepentingan yang terkena dampak kegiatan-kegiatan perusahaan

harus mempunyai akses ke mekanisme penanganan keluhan, karena perusahaan

mempunyai peran yang penting untuk dimainkan dalam menyediakan akses ke

63

mekanisme ini, perusahaan bisa melakukan evaluasi ulang terhadap penggunaan

mekanisme penanganan keluhan mereka yang ada sekarang.82

Berikut adalah pokok unsur kelima dari HRDD:

a. Mengambil manfaat penuh dari mekanisme penanganan keluhan;

b. Membuat analisa kesenjangan tentang mekanisme penanganan

keluhan yang ada;

c. Menyesuaikan mekanisme penanganan keluhan dengan prinsip-

prinsip Ruggie;

d. Mempertimbangkan bagaimana berkontribusi pada mekanisme bagi

pemangku kepentingan eksternal;

e. Mengintegrasikan mekanisme penanganan keluhan pada manajemen

pemangku kepentingan;

f. Memperbaiki efektifitas mekanisme penanganan keluhan.

Uji Tuntas HAM oleh perusahaan yang ada dalam NAP tersebut dapat dijadikan

acuan oleh OJK untuk mewajibkan perusahaan grup menempatkan audit HAM

tersebut dalam setiap laporan tahunan sehingga masyarakat dan pemegang saham

mengetahui perbuatan perusahaan yang menghormati HAM.

Berikutnya hal yang luput dari perhatian para pemrakarsa implementasi UNGP

dalam oleh perusahaan Indonesia adalah bahwa semangat ini melibatkan perusahaan

82

Business & Human Rights Initiative (2010), “How to Do Business with Respect for Human

Rights: A Guidance Tool for Companies,” The Hague: Global Compact Network Netherlands. H. 113.

64

yang tolok ukur utama mereka adalah profit, sehingga persoalan HAM menjadi

nomor sekian, maka dari itu perlu upaya memasukkan HAM menjadi salah satu tolok

ukur perusahaan untuk mengejar profit. Perusahaan sangat bergantung pada pasar,

maka perubahan struktur pasar dengan menyisipkan penghormatan HAM dapat

menjadi jalan logis perusahaan menghormati HAM.

Perubahan struktur pasar tersebut dapat dilakukan dengan kampanye untuk

menyadarkan masyarakat mengenai bahaya perusahaan yang memproduksi suatu

barang dengan tidak memperhatikan hak asasi manusia. Produk yang dihasilkan

dengan cara tidak fair tentu dapat menekan cost produksi sehingga dapat ditetapkan

harga yang murah. Harga murah akan mendongkrak minat konsumen membeli

barang tersebut, namun perlu dipahami, bahwa penjatuhan minat pada produk yang

tidak menghormati HAM tersebut secara tidak langsung melanggengkan praktik

pelanggaran HAM yang dilakukan perusahaan kepada manusia dibelahan bumi lain.

Bahkan di daerah lain yang masih satu negara.

Selain itu, ketergantungan akan pembelian produk murah perusahaan pelanggar

HAM akan berimbas pada konsumen itu sendiri. Sebagai contoh perusahaan yang

bergerak di bidang pulp and paper dan menghasilkan tissue mengambil bahan baku

dari hutan Sumatera, Riau, dan Kalimantan. Produk tersebut dijual dengan harga

murah karena dilakukan dengan cara pembakaran hutan dan pembalakan liar.

Masyarakat yang hanya menjatuhkan indikasi harga murah untuk membeli, tanpa

sadar telah berkontribusi pada semakin menyengatnya panas terik matahari di

65

Indonesia. Pelepasan emisi yang dilakukan akibat operasionalisasi perusahaan

tersebut menjadi faktor menipisnya lapisan ozon sehingga terjadi pemanasan bumi

yang justru merugikan masyarkat.

Jika saja masyarakat diberikan kesadaran mengenai dampak akibat penjualan

produk yang melanggar HAM, maka minat konsumen untuk membeli barang dari

perusahaan pelanggar HAM akan berkurang. Jika pengurangan tersebut terjadi secara

masif, maka mau tidak mau perusahaan akan memberlakukan prinsip bisnis yang

menghormati HAM dalam kegiatan operasionalisasinya.

Upaya legal dengan melibatkan OJK dengan memanfaatkan kewajiban GCG

untuk memberlakukan prinsip bisnis yang menghormati HAM, serta upaya sosial

berupa kampanye penyadaran masyarakat dapat menjadi kombinasi efektif sebagai

roadmap menuju implementasi UNGP yang lebih praktis.

66

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan pada bab-bab di atas, penulis dapat menarik beberapa

kesimpulan sebagai berikut:

1. United Nations Guiding Principle on Business and Human Rights (UNGP)

merupakan dokumen internasional yang bersifat voluntary binding, sehingga

status hukumnya di Indonesia juga bersifat voluntary yakni berlaku secara

sukarela. Akibat kekuataan kesukarelaannya, UNGP saat ini masih hanya

menjadi sebuah pedoman standar tentang bagaimana bisnis yang

menghormati hak asasi manusia. Meskipun keberlakuannya masih sukarela,

telah terdapat beberapa perusahaan yang mengintegrasikan amanah UNGP

dalam bisnis mereka. Untuk meningkatkan keberlakuan UNGP menjadi

legally binding, maka diperlukan langkah pemerintah untuk menyerap atau

mengadopsi amanah yang ada dalam UNGP ke dalam peraturan perundang-

undangan di setiap tingkatan. Baik di undang-undang sampai ke peraturan

kementerian bahkan peraturan daerah. Dengan diadopsi menjadi hukum

nasional, maka keberlakuan UNGP berlaku mengikat dan wajib dijalankan

oleh setiap perusahaan di Indonesia.

67

2. Formulasi adopsi UNGP agar berlaku secara legal di Indonesia adalah dengan

mengadopsi nya dalam bentuk peraturan presiden. Peraturan presiden adalah

bentuk hukum paling baik untuk jangka pendek, karena mekanisme

pembuatannya yang tidak memerlukan proses politik yang rumit di DPR.

Selanjutnya, dari peraturan presiden tersebut memerintahkan kepada lembaga

negara terkait untuk membentuk aturan guna merealisasikan peraturan

presiden tersebut. Salah satunya adalah OJK. Mengingat OJK merupakan

lembaga yang berwenang di bidang pasar modal dan mengikat seluruh

perusahaan group di Indonesia, maka OJK dapat mengacu kepada peraturan

presiden tersebut untuk membuat peraturan OJK mengenai bisnis yang

menghormati manusia, dengan menyisipkannya menjadi bagian dari aturan

GCG. Untuk jangka panjang, UNGP dapat dimasukkan ke dalam beberapa

peraturan perundang-undangan. Seperti RUU Pertanahan, RUU CSR, dan

berbagai RUU lain yang terkait.

B. Saran

Dalam pembahasan pada bab-bab di atas, penulis memiliki saran sebagai berikut:

1. Pemerintah memrakarsai adopsi terhadap UNGP ke dalam peraturan

perundang-undangan Indonesia dalam bentuk peraturan presiden untuk

jangka pendek. Mendorong OJK sebagai pihak yang pertama kali

membuat aturan internal untuk mengikat semua perusahaan grup agar

terjangkau dari prinsip UNGP. Serta diikuti oleh lembaga lain baik

68

kementerian maupun non kementerian. Untuk jangka panjang, pemerintah

dan DPR harus menggunakan pendekatan HAM dalam merevisi dan

membuat UU yang terkait bidang bisnis seperti UU Pertanahan, UU

Pertambangan, UU CSR, dan lain sebagainya.

2. Tanggung jawab penghormatan HAM oleh dunia bisnis harus

dipublikasikan oleh perusahaan grup agar mudah dikontrol masyarakat,

sehingga masyarakat juga dapat menilai dan memberi insentif serta

disinsentif sosial terhadap perusahaan yang baik dalam penerapan prinsip

bisnis dan HAM.

3. Akademisi, aktivis, dan LSM yang bergerak di bidang HAM mendorong

agar diskursus tentang bisnis yang menghormati hak asasi manusia

semakin meluas agar pemahaman masyarakat terkait tema a quo semakin

mapan, sehingga adopsi kebijakan dapat lebih mudah diterima di

masyarakat.

69

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Almanar, Adila Alin. Tanggung Jawab Perusahaan untuk Menghormati Hak Asasi

Manusia. (Jakarta: United Nations Human Rights Office of the High

Commissioner ELSAM. 2014

Alston, Philip. A Third Generation of Solidarity Rights: Progressive Development or

Obfuscation of International Human Rights Law. Amsterdam: Netherlands

International Law. 1982

Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2004

Asshiddiqie, Jimly dan Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006.

Ballard, Crish. Human Rights and the Mining Sector in Indonesia: A Baseline Study.

Canberra: MMSD. 2001

Bedjaoui, Mohammed. The Difficult Advance of Human Rights Towards

Universality, in Universality of Human Rights in a Pluralistic World.

European Community. 1990.

Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary. New York: Minn West Publishing.

1968

Braithwaite, John. Corporations, Crime, and Accountability. Cambridge: Cambridge

University Press. 1993.

Dirdjosisworo, Soedjono. Hukum Perusahaan mengenai Bentuk-Bentuk Perusahaan

(Badan Usaha) di Indonesia. Cetakan I. Bandung: CV Mandar Maju. 1997

Djojodirdjo, MA Moegni. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pradnya Pramita.

1979

ELSAM. Terjemahan United Nation Guiding Principle on Business and Human

Rights; Framework to Protect, Respect, and Remedy. Jakarta: Elsam. 2012

Elsam dan OECD. Panduan OECD bagi Perusahaan-Perusahaan Multinasional.

Edisi 2011. Jakarta: ELSAM. 2015

Fuady, Munir. Perseroan Terbatas Paradigma Baru. Bandung: PT Citra Aditya

Bakti. 2003

Global Compact Network Netherlands. Business & Human Rights Initiative (2010),

How to Do Business with Respect for Human Rights: A Guidance Tool for

Companies. Amsterdam: The Hague. 2010

70

Harahap, M. Yahya. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika. 2011

Henkin, Louis. The International Bill Of Rights: The Universal Declaration and the

Covenants. International Enforcement of Human Rights. 1987.

Human Rights Research Center ASEAN. Business and Human Rights in ASEAN A

Baseline Study. Depok: HRRCA. 2011

Ifdhal Kasim. Tanggung Jawab Perusahaan terhadap Pemenuhan Hak-hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya. Komnas HAM. 2010

IWGIA European Network On Indigenous Peoples. Business And Human Rights;

Interpreting The Un Guiding Principles For Indigenous Peoples. Report

16. 2014

June, Nash and Max Kirsch. Corporate Culture and Social Responsibility: The Case

Toxic Wastes in a New England Community. Maryland: University Press

of America. 1994

Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance. Pedoman Komisaris Independen

dan Pedoman Pembentukan Komite Audit Yang Efektif. Jakarta: Gugus

Kerja Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance. 2004

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2010

Mulyana, Asep. Mengintegrasikan HAM ke Dalam Kebijakan dan Praktik

Perusahaan. Yogyakarta: FH UGM. 2012

Nasarudin, M. Irsan & Indra Surya. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta:

Kencana. 2004

Nasution, Bismar. Hukum Kegiatan Ekonomi (I). Bandung : Books Terrace &

Library. 2007

Neglia, Maddalena. The Implementation of U.N. Guiding Principles on Business and Human Rights: Some Reflections on European and US Experiences.

Maastricht: The Author. 2014

Oberg, Marko Divac. The Legal Effect of Resolution of The UN Security Council and

General Assembly in The Jurisprudence of The ICJ. 16 Eur.J.Int’l.L. 2006

Oliver, M.S, and E.A Marshall. Company Law; Handbooks, twelfth edition.

Singapore: Pitman Publishing. 1998

Prihandono, Imam. Kerangka Hukum Pengaturan Bisnis dan HAM di Indonesia.

Jakarta: ELSAM. Tidak ada tahun.

Pound, Roscoe. Pengantar Filsafat Hukum. Jakarta: Bhatara. 1996

Rizki, Rudi M. Tanggung Jawab Korporasi Transnasional dalam Pelanggaran Berat

HAM. Jakarta: PT Fikahati Aneska. 2012

71

Sastrawidjaja, Man S. dan Rai Mantili. Perseroan Terbatas menurut Tiga Undang-

undang. Jilid 1. Bandung: PT Alumni. 2007.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia

Press. 1986

Soekanto, Soerjono dan Marmudji. Pengertian Hukum Normatif Suatu Tindakan

Singkat. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2004

Sulistyowati. Aspek Hukum dan Realita Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia.

Jakarta: Erlangga. 2010

Sukadi, Imam. Jurnal Risalah Hukum: Matinya Hukum dalam Proses Penegakan

Hukum di Indonesia. Samarinda: FH Universitas Mulawarman. 2011

Surya, Indra & Ivan Yustiavanda. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta : PT Kencana

Prenada Media Group. 2006

Tjager, I Nyoman. Corporate Governance, Tantangan dan Kesempatan Bagi

Komunitas Bisnis Indonesia. Jakarta: Prenhalindo. 2003.

UNHRC. Guiding Principles on Business and Human Rights, Implementing the

United Nations “Protect, Respect, and Remedy” Framework. 2011

Usman, Rachmadi. Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. Bandung: PT

Alumni. 2004

Vasak, Karel. A 30-Year Struggle: The Sustained Efforts to Give Force of Law to the

Universal Declaration of Human Rights. Unesco Courier. 1977

Walker, David M. Oxford Law Dictionary. Oxford: Clarendon Press. 1980

Widjaja, I.G Rai. Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. Jakarta: Megapoin. 2000

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjadja, Seri Hukum Bisnis Perusahaan. Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada. 1999

Website

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt502d8a41c9e04/csr-tidak-lagi-wajib-

broleh--miko-kamal--phd

http://ham.go.id/kegiatan/simposium-nasional-mengenai-bisnis-dan-ham

http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20151130195247-92-95042/kkp-wajibkan

sertifikasi-ham-bagi-semua-perusahaan-ikan/

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cbea88c5cc4d/kepatuhan-ham-

tentukan-reputasi-korporasi

72

http://www.cnnindonesia.com/internasional/20151012134544-

11384416/supermarket-singapura-boikot-produk-asia-pulp-paper/

http://setara-institute.org/kabut-asap-dan-urgensi-adopsi-united-nations-guiding-

principles-ungpdalam-hukum-indonesia-2/

Peraturan Perundang-undangan

Undang Undang Dasar 1945 Republik Indonesia

Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165/Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3886)

Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106/ Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4756)

Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118/ Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4433)

Undang Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82/Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234)

International Convenant on Civil and Political Rights

International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights

The Universal Declaration of Human Rights

Vienna Convention on the Law Treaties 1961

Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 35/Permen-

Kp/2015 Tentang Sistem Dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan

(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1851)

DAFTAR UU & UN GUIDING PRINCIPLES

No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran

1 UU No. 22/ 2012

tentang Pengadaan

Tanah

a. Hak Ganti Kerugian

Dalam melaksanakan pengadaan tanah

demi kepentingan umum, pemerintah

wajib memberikan ganti kerugian dengan

nilai yang adil dan layak bagi para

pemegang hak yang dialihkan hak

milikinya untuk pembangunan.1

b. Hak atas Informasi

Pengadaan tanah juga mangharuskan

pihak pengadaan untuk memberikan akses

informasi dan sosialisasi yang seluas-

luasnya mengenai perencanaan

penyelenggaraan tanah. Serta informasi

tentang pengadaan tanah secara

keseluruhan. Hal ini penting untuk

memberikan masyarakat kondisi yang

sebenarnya terkait pengadaan tanah yang

akan mengambil hak mereka.2

a. Mekanisme penggantian ganti rugi

yang sepihak.3

b. Penetapan jumlah ganti rugi yang

sepihak.4

a. Tidak tersedia mekanisme pemuihan

(remedy) hak yang dirampas oleh

negara

2 UU No. 32/ 2009

tentang Perlindungan

dan Pengelolaan

a. Pengakuan hak atas lingkungan hidup

yang sehat dan baik.5

b. Pengakuan hak untuk mengakses

informasi, mendapat pendidikan

a. Pengecualian terhadap pembakaran

lahan, di mana demi kearifan lokal

boleh melakukan pembakaran

dengan batas maksimum 2 hektar

a. Masyarakat memiliki hak untuk

mengajukan pengaduan atas dugaan

terjadinya pencemaran lingkungan

hidup.12

1 Pasal 9 ayat (2) Undang-undang nomor 22 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah.

2 Pasal 55 Undang-undang nomor 22 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah.

3 Pasal 42 ayat (2) Undang-undang nomor 22 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah.

4 Pasal 43 Undang-undang nomor 22 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah.

5 Pasal 65 ayat (1) Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran

Lingkungan Hidup

lingkungan hidup, akses partisipasi, dan

akses keadilan atas lingkungan hidup yang

sehat.6

c. Pengakuan hak untuk mengajukan usulan

atau keberatan terhadap rencana usaha

atau kegiatan yang diperkirakan dapat

menimbulkan dampak negatif terhadap

lingkungan.7

d. Pengakuan hak masyarakat adat.8

e. Larangan pembukaan lahan dengan cara

pembakaran.9

f. Memberikan imunitas terhadap orang

yang yang memprjuangkan hak atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat

tidak dapat dituntut secara pidana atau

digugat secara perdata.10

perkepala keluarga dengan

pemberian batas sekat agar api tidak

menjalar.11

b. Hanya saja, dalam undang-undang ini

masih meletakkan instansi

pemerintah sebagai pihak yang harus

menerima pengaduan. Bukan

terhadap korporasinya. Namun,

pengaduan yang disampaikan oleh

masyarkat terhadap petugas tetap

akan diverifikasi kepada perusahaan

yang diduga sebagai sumber

pencemar lingkungan.13

3 UU No. 4/ 2009

tentang

Pertambangan

Mineral dan Batu

Bara

a. Hak atas tanah masyarakat :

Dalam undang-undang ini, hak atas tanah

masyarakat mendapat perlindungan

dengan mewajibkan perusahaan pemegang

izin IUP dan IUPK hanya dapat

melaksanakan kegiatan eksplorasi ketika

a. Mekanisme penanganan pelanggaran

HAM akibat industri pertambangan:

1) Mekanisme Hukum:

Masyarakat yang terkena

dampak negatif langsung dari

kegiatan usaha pertambangan

12 Pasal 65 ayat (5) dan (6) ) Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 6 Pasal 65 ayat (2) Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

7 Pasal 65 ayat (3) Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

8 Pasal 63 ayat (1) huruf t Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

9 Pasal 69 ayat (1) huruf h Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

10 Pasal 66 Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

11 Penjelasan pasal 69 ayat (2) Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

13 Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 9 tahun 2010 tentang Tata Cara Pengaduan dan Penanganan Pengaduan Akibat Dugaan

Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup.

No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran

telah mendapat persetujuan dari pemegang

hak atas tanah yang bersangkutan.

Sehingga dalam hal kegiatan usaha,

perusahaan tidak bisa serta merta

memohon hak atas tanah tanpa mendapat

persetujuan terlebih dahulu dari

masyarakat.14

b. Hak atas Lingkungan Hidup :

1) Pemegang Izin Usaha Pertambangan

dan Izin Usaha Pertambangan Khusus

wajib mematuhi batas toleransi daya

dukung lingkungan.15

2) Pemegang IUP dan IUPK wajib

menjamin penerapan standar dan

baku mutu lingkungan sesuai dengan

karakteristik suatu daerah.16

3) Pemegang IUP dan IUPK wajib

menjaga kelestarian fungsi dan daya

dukung sumber daya air yang

bersangkutan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.17

4) Setiap pemegang IUP dan IUPK

wajib menyerahkan rencana reklamasi

dan rencana pascatambang pada saat

mengajukan permohonan IUP

Operasi Produksi atau IUPK Operasi

Produksi.18

berhak :22

- Memperoleh ganti rugi yang

layak akibat kesalahan

dalam pengusahaan kegiatan

pertambangan sesuai dengan

ketentuan peraturan

perundang-undangan.

- Mengajukan gugatan kepada

pengadilan terhadap

kerugian akibat pengusahaan

pertambangan yang

menyalahi ketentuan.

2) Mekanisme non Hukum:

Pemerintah pusat dan Provinsi

memiliki kewenangan untuk

penyelesaian konflik masyarakat

di daerah yang menjadi

kewenangan pemerintah

mengeluarkan IUP. Namun,

tidak ditentukan secara pasti

bagaimana mekanisme

penyelesaian konflik tersebut.23

14

Pasal 135 Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 15

Pasal 95 Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 16

Pasal 97 Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 17

Pasal 98 Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 18

Pasal 99 ayat (1) Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran

5) Pemegang IUP dan IUPK wajib

menyediakan dana jaminan reklamasi

dan dana jaminan pascatambang.19

c. Hak Keselamatan Kerja :

1) Pemegang IUP dan IUPK wajib

melaksanakan ketentuan keselamatan

dan kesehatan kerja pertambangan.20

d. Hak atas Pemberdayaan Masyarakat :

1) Pemegang IUP dan IUPK wajib

menyusun program pengembangan

dan pemberdayaan masyarakat.21

4 UU No. 25/2007

tentang Penanaman

Modal

a. Penghormatan Tradisi Masyarakat

Setempat

Undang-undang penanaman modal

mewajibkan setiap penanam modal wajib

menghormati tradisi budaya masyarakat

sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman

modal. Meskipun secara eksplisit dalam

pasal 15 dinyatakan demikian, tetapi tidak

ada langkah konkrit yang dijelaskan

dalam undang-undang ini bagaimana

penghormatan tersebut dilakukan. Dan

dalam kondisi seperti apa penghormatan

terhadap tradisi budaya tersebut

dilanggar.24

a. Hak Atas Tanah

Undang-undang memberikan

kemudahan dalam akses terhadap

hak atas tanah bagi para investor.

Namun, pemberian kemudahan

tersebut tampaknya memiliki potensi

memunculkan pelanggaran HAM

akibat jangka waktu yang terlampau

panjang yang diberikan oleh undang-

undang. Bahkan melewati 1

generasi. Dalam pasal 22,

kemudahan perizinan tersebut

diberikan untuk HGU, HGB, dan

Hak Pakai. Di mana bentuk dari

kemudahan tersebut memberikan

hak kepada investor untuk

a. Tidak ada

22

Pasal 145 ayat (1) Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 23

Pasal 6 – 8 Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 19

Pasal 100 ayat (1) Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 20

Pasal 96 huruf a Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 21

Pasal 108 ayat (1) Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 24

Pasal 15 huruf d Undang-undang nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran

b. Hak atas lingkungan hidup

Dalam undang-undang ini, investor wajib

menjaga kelestarian lingkungan hidup dalam

menjalankan kegiatan usahanya. Bahkan

untuk investor yang melakukan kegiatan

usaha di bidang sumber daya alam, wajib

mengalokasikan dana secara bertahap untuk

pemulihan lokasi yang memenuhi standar

kelayakan lingkungan hidup.25

mendapatkan izin waktu yang cukup

panjang, dapat diperpanjang di

muka, serta dapat diperbaharui.

Untuk HGB, perizinan diberikan

untuk jangka waktu 95 tahun, dapat

diperpanjang di muka 60 tahun, dan

diperbaharui selama 35 tahun.

Sehingga total nya adalah 200 tahun.

Bayangkan bahkan ini melampaui 3

generasi rata-rata usia hidup orang

Indonesia. Untuk HGU, perizinan

diberikan selama 80 tahun,

perpanjangan di muka 50 tahun, dan

diperbaharui 30 tahun. Total 160

tahun. Sedangkan untuk hak pakai,

perizinan diberikan selama 70 tahun,

perpanjangan di muka 45 tahun, dan

dapat diperbaharui selama 25 tahun.

Total 140 tahun. Dalam kontrak

yang sangat amat panjang ini tentu

potensi pelanggaran HAM akan

sangat besar karena perusahaan akan

sangat kuat menancapkan kuku nya

di Bumi Indonesia. Dan pengetahuan

masyarakat dari generasi ke generasi

tentang penanaman modal tersebut

semakin kabur.26

Meskipun pasal tersebut telah diuji

materil ke Mahkamah Konstitusi,

25 Pasal 16 huruf d Undang-undang nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 26 Pasal 22 ayat (1) huruf a, b, dan c Undang-undang nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran

melalui putusannya nomor 21-

22/PUU-V/2007 hanya membatalkan

perpanjangan di muka. MK

menghendaki agar perpanjangan

harus diajukan melalui permohonan

kembali. Namun tidak mengurangi

lamanya hak-hak tersebut dimiliki

oleh perusahaan.

5 UU 22/ 2001 tentang

Minyak dan Gas

Bumi

a. Hak atas Lingkungan Hidup

Secara normatif, UU Migas

mengharuskan setiap badan usaha

untuk menjamin lingkungan hidup

yang lestari. Jaminan tersebut adalah

membebankan kewajiban bagi badan

usaha untuk melakukan pencegahan

dan penaggulangan pencemaran serta

pemulihan atas terjadinya kerusakan

lingkungan hidup.27

b. Hak Keselamatan Kerja

UU Migas juga mewajibkan badan

usaha untuk menjamin keselamatan

dan kesehatan kerja dan wajib

memanfaatkan tenaga kerja setempat

terlebih dahulu. Bahkan, kontraktor

diwajibkan memberikan peningkatan

kualitas hunian bagi pekerja dan

masyarakat setempat demi terciptanya

hubungan harmonis antara kontraktor

dan masyarakat.28

a. Hak atas Tanah

Negara mewajibkan setiap

pemilik hak atas tanah harus

memberikan izin kepada

perusahaan untuk melakukan

eksplorasi dan eksploitasi di atas

tanah pemegang hak milik

dengan menunjukan Kontrak

Kerja Sama atau salinannya.

Dengan terlebih dahulu

mendapat kesepakan dalam

penyelesaian hak atas tanah atau

jaminan penyelesaian.30

Hal ini

berpotensi menimbulkan

pelanggaran HAM di mana

seharusnya kesepakatan sudah

secara penuh dieksekusi barulah

ekplorasi dan eksploitasi bisa

dilakukan. Mengingat upaya

yang dapat ditempuh hanyalah

upaya hukum.

a. Tidak ada

27 Pasal 39 ayat (1) huruf b Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 28

Pasal 74 ayat (2) Pereturan Pemerintah nomor 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran

c. Hak Ulayat

Badan usaha pada dasar nya harus

melakukan penyelesaian terhadap hak

atas tanah di atas tanah negara.

Penyelesaian tersebut dapat dilakukan

dengan cara jual beli, tukar-menukar,

ganti rugi yang layak, pengakuan atau

bentuk lain yang disepakati.

Pengakuan termasuk ke dalam

pengakuan atas hak ulayat, sehingga

musyawarah pelepasan hak ulayat

daat dilakukan secara hukum adat

pihak yang berkepentingan.29

6 UU No. 30/ 2009

tentang

Ketenagalistrikan

a. Hak atas Lingkungan Hidup.

Setiap kegiatan usaha di bidang

ketenagalistrikan wajib memenuhi

segala pengaturan yang ada di

peraturan perundag-undangan di

bidang lingkungan hidup.31

Dengan

kata lain, hak-hak yang di atur dalam

UUPPLH juga terakomodir dalam

UU Ketenagalistrikan.

a. Perizinan atas kegiatan usaha

ketenagalistrikan di atas tanah

ulayat, penyelesaiannya sesuai

dengan peraturan perundang-

undangan dengan

memperhatikan hukum adat

setempat.32

Yang mana dalam

peraturan perundang-undangan

di bidang pertanahan, pasal hak

ulayat selalu manjadi semantik.

Karena tertutup oleh pasal

kepentingan umum dan

kepentingan nasional. Tentu hal

a. Tidak ada mekanisme khusus.

Hanya ada beberapa pasal yang

mengatur mengenai tindak

pidana disertai dengan ganti

kerugian bagi korban.

30

Pasal 35 Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 29

Penjelasan pasal 34 UU nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 31

Pasal 42 Undang-undang nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. 32

Pasal 30 ayat (6) Undang-undang nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran

ini berpotensi melanggar hak

ulayat bagi masyarakat hukum

adat demi mendapat tanah untuk

melakukan kegiatan usaha

ketenagalistrikan.

Untuk kepentingan umum pula,

perusahaan dapat menggunakan

tempat milik pribadi untuk

kegiatan usaha ketenagalistrikan

dengan perizinan oleh instansi.33

Namun, mekanisme perizinan

tersebut tidak sama sekali

menyinggung soal kesepakatan

orang yang memiliki hak pribadi

tersebut.

b. Dalam pemanfaatan tenaga

listrik untuk segala jenis

instalasi baik pembangkit hingga

rumah tangga, wajib disertai

dengan Sertifikat Laik Operasi

(SLO),34

jika tidak dengan SLO,

maka akan dipidana maksimal 5

tahun dan denda 500juta

rupiah.35

Namun, tidak ada

jaminan apapun atas SLO

tersebut jika pada suatu waktu

instalasi mengalami kerusakan

hingga menimbulkan kerugian.

Sehingga SLO tersebut seakan

33

Pasal 27 ayat (1) huruf d Undang-undang nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. 34 Pasal 44 ayat (4) Undang-undang nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. 35 Pasal 54 ayat (1) Undang-undang nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran

hanya sebagai hambatan bagi

setiap orang untuk dapat

menikmati listrik. Ketentuan

tersebut diajukan Judicial

Review, akan tetapi putusan

Mahkamah hanya

menghilangkan sanksi pidana

maksimal 5 tahun dengan hanya

memberikan sanksi denda

karena dengan pertimbangan

bahwa SLO adalah syarat

administratif sehingga tidak

tepat dikenakan ultimum

remedium berupa pidana.

Namun, putusan ini tidak

berdampak besar pada potensi

pelanggaran HAM yang ada

dalam norma tersebut.36

7 UU No. 1/ 2011

tentang Perumahan

a. Hak atas Lingkungan Hidup

Undang-undang ini mengamanahkan

pembangunan perumahan harus

memperhatikan keserasian manusia

dengan lingkungan hidup. Meskipun

pasal ini tidak secara kuat menjamin

lingkungan hidup.37

b. Hak atas Keterbukaan Informasi:

Setiap orang berhak untuk mendapat

informasi yang berkaitan dengan

a. Dalam pembangunan perumahan

demi kepentingan umum,

mengacu kepada undang-undang

pengadaan tanah yang mana kita

tahu banya permasalahan yang

ada di sana seperti penitipan

ganti kerugian ke pengadilan

negeri dan tidak ada upaya

hukum atau keberatan atas itu.40

Dalam hal tanah yang dikuasai

negara terdapat tanah garapan

a. Tidak ada mekanisme khusus

atas hal ini. Hanya saja undang-

undangn ini memberikan hak

untuk mengajukan gugatan

secara class action.42

36 Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 58/PUU-XII/2014. 37 Pasal 58 ayat (2) huruf e Undang-undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan.

No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran

penyelenggaraan perumahan dan

kawasan permukiman.38

c. Hak Hunian yang layak:

Terdapat pengaturan mengenai

alokasi dana untuk pembangunan

rumah bagi masyrakat berpenghasilan

rendah sehingga memenuhi

kebutuhan atas hunian bagi seluruh

masyarakat.39

masyarakat, maka hak terhadap

perusahaan diberikan setelah

melalui proses penyelesaian

dengan ganti rugi kepada

masyarakat. Namun, undang-

undang memberikan angin

potensi pelanggaran HAM

dengan menyatakan “apabila

tidak terjadi kesepakatan,

penyelesaian sesuai dengan

peraturan perundang-

undangan’.41

Ini membuktikan

pengaburan terhadap ganti

kerugian sangat berpotensi

terlanggarnya hak masyarakat.

8 UU No. 1/ 2014

tentang Perubahan

atas UU No. 27/ 2007

tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil

a. Hak masyarakat adat dan lokal.

Dalam Pemanfaatan ruang dan

sumber daya Perairan Pesisir dan

perairan pulau-pulau kecil pada

wilayah Masyarakat Hukum Adat

oleh Masyarakat Hukum Adat

menjadi kewenangan Masyarakat

Hukum Adat setempat.43

Dan jika

pihak lain ingin mengusahakan

wilayah pesisir, harus berdasarkan

izin menteri dengan pertimbangan

wilayah tersebut belum ada

40

Pasal 106 huruf f Undang-undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan. 42

Pasal 129 huruf f Undang-undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan. 38

Pasal 129 huruf c Undang-undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan. 39

Pasal 13 huruf g Undang-undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan. 41

Pasal 107 ayat (3) dan (4) Undang-undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan. 43

Pasal 21 ayat (1) Undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-pulau Kecil.

No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran

masyarakat lokal yang melakukan

pemanfaatan.44

9 UU No. 31/ 2004 dan

UU No. 45/ 2009

tentang Perikanan

a. Hak atas lingkungan hidup yang

lestari

Pengelolaan perikanan di wilayah

Republik Indonesia harus dilakukan

untuk tercapainya manfaat yang

optimal dan berkelanjutan, serta

terjaminnya kelestarian sumber daya

ikan.45

Hal ini dilakukan dengan

pemerintah membuat kebijakan yang

mengatur mengenai besaran jumlah

ikan yang bisa ditangkap, ketentuan

standar operasional penangkapan

ikan, batasan pemakaian alat

penangkap ikan, dan lain sebagainya.

b. Hak masyarakat adat.

Pengelolaan untuk kepentingan

penangkapan ikan dan

pembudidayaan ikan harus

mempertimbangkan hukum adat dan

kearifan lokal. Di mana hukum adat

dan kearifan lokal yang dimasksud

adalah yang tidak bertentangan

dengan kepentingan nasional.46

a. Penggunaan alat peledak, bahan

biologis, bahan kimia, serta alat

lain dalam penangkapan ikan

dan pembudidayaan ikan dapat

diperbolehkan untuk melakukan

penelitian.47

a. Pada dasar nya tidak ada

mekanisme khusus yang

disediakan dalam undang-

undang ini. Hanya mekanisme

pengadilan khusus yakni

pengadilan perikanan untuk

tindak pidana di bidang

perikanan.48

44

Pasal 26A ayat (1) juncto ayat (4) Undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 45

Pasal 6 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. 46

Pasal 6 ayat (2) dan Penjelasan pasal 6 ayat (2) Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan 47

Pasal 8 ayat (5) Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan.

No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran

10 UU No. 39/ 2014

tentang Perkebunan

a. Hak Ulayat

Usaha perkebunan yang diatur dalam

UU ini harus memperhatikan

keberlangsungan hak ulayat. Secara

normatif, telah di amanahkan dalam

UU bahwa setiap pelaku usaha yang

membutuhkan tanah untuk usaha

namun tanah yang dibutuhkan milik

hak ulayat, maka pengalihan tersebut

harus didasarkan kesepakatan dan

musyawarah dengan masyarakat

hukum adat disertai dengan

imbalan.49

Izin usaha perkebunan di

atas tanah ulayat tidak dapat

diterbitkan oleh pejabat yang

berwenang sampai dicapainya

kesepakkatan antara masyarakat

hukum adat dengan pengusaha.50

Bahkan jika izin tersebut tetap terbit,

sanksinya adalah pidana bagi pejabat

dengan maksimal penjara 5 tahun

atau dengan paling banyak 5 Milyar

Rupiah.51

Pelaku usaha juga dilarang

melakukan pembukaan lahan dengan

cara pembakaran.52

b. Hak atas Lingkungan Bersih

a. Kriminalisasi kawasan

perkebunan, serta memanen

dan/atau memungut hasil

perkebunan.56

Di mana sanksi

atas hal tersebut adalah pidana

maksimal 4 tahun dan denda

maksimal 4Milyar Rupiah.57

Norma ini tampak sangat luas

sehingga bisa dikatakan pasal

karet yang berpotensi

mengkriminasliasi masyarakat

sekitar wilayah perkebunan.

b. Kekerasan

Pelaku usaha perkebunan dapat

melaukan kemitraan dengan

dengan pihak lain dalam hal

menjaga keamanan,

kesinambungan, dan keutuhan

usaha perkebunan.58

a. Undang-undang ini hanya

memberikan mekanisme upaya

untuk melakukan tindakan jiak

terjadi kebakaran hutan, yakni

dengan wajib memiliki sistem,

sarana, dan prasarana

pengendalian kebakaran lahan

dan kebun.59

48 Pasal 71 undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. 49

Pasal 12 ayat (1) Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 50

Pasal 17 ayat (1) Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 51

Pasal 103 Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 52

Pasal 56 ayat (2) Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan.

No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran

Pelaku usaha perkebunan diberikan

kewajiban untuk memelihara

kelestarian lingkungan hidup.53

Memelihara kelestarian lingkungan

ini meliputi mencegah dan

menaggulangi pencemaran dan

pengrusakan lingkungan hidup yang

ditimbulkan oleh kegiatan usaha dari

pelaku usaha perkebunan. Pemerintah

baik pusat maupun daerah pun

diwajibkan memberikan pembinaan

dan memfasilitasi pemeliharaan

kelestarian tersebut.54

Usaha

perkebunan juga mewajibkan amdal

sebagai prasyarat untuk

diterbitkannya izin usaha yang

memiliki dampak besar terhadap

lingkungan.55

11 UU No. 41/ 1999

tentang Kehutanan

a. Hak masyarakat hukum adat.

Hutan yang masih terdapat

keberadaan masyarakat hukum adat,

maka masyarakat hukum adat berhak

untuk melakukan pemungutan hasil

hutan untuk pemenuhan kebutuhan

a. Pemerintah berhak untuk

melakukan penetapan kawasan

hutan dengan memberi

kompensasi terhadap pemegang

hak atas tanah yang tanahnya

dijadikan wilayah peruntukan

a. masih sama dengan beberapa

peraturan lain, UU kehutanan

menyediakan mekasinme

pengadilan untuk penyelesaian

sengketa. Namun, UU ini juga

mengharapkan penyelesaian di

56

Pasal 55 Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 57

Pasal 107 Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 58 Penjelasan pasal 57 ayat (1) Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 59

Pasal 56 ayat (2) Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 53

Pasal 67 ayat (1) Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 54

Penjelasan pasal 67 ayat (1) Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 55

Pasal 67 ayat (3) huruf a Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan.

No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran

hidup, dan juga melakukan kegiatan

pengelolaan berdasarkan hukum adat.

Namun pemberian hak ini tidak

sepenuh hati karena pengelolaan

tersebut harus sesuai dengan

peraturan peundang-undangan.60

b. Hak atas informasi.

UU kehutanan mengatur bahwa

masyarakat berhak mendapatkan

informasi rencana peruntukan lahan,

pemanfaatan hasil hutan, dan

informasi kehutanan lainnya.61

penetapan wilayah hutan.

Namun, mekanisme kompensasi

tersebut secara sepihak

ditentukan oleh pemerintah

tanpa adanya musyawarah dan

lain sebagainya.62

Selain itu juga terdapat norma

yang terlalu luas sehingga dapat

berujung kriminalisasi, hal itu

tergambar

bahwa msasyarakat dilarang

untuk menduduki hutan tanpa

izin, merambah kawasan hutan,

menabang pohon atau memanen

hasil di dalam hutan tanpa izin

pejabat yang berwenang,

membawa alat yang lazim

digunakan untuk menebang,

memotong, dan membelah

pohon di dalam kawasan hutan

tanpa izin. Bahkan sampai

menggembalakan hewan ternak

di hutan tanpa izin.63

luar pengadilan khusus untuk

sengketa yang tidak termasuk

tindak pidana dalam UU

tersebut. Dengan tujuan

pengembalian hak, ganti rugi,

dan pemulihan lain lebih di

kedepankan.64

60

Pasal 67 ayat (1) dan (2) Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 61

Pasal 68 ayat (2) huruf b Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 62

Pasal 68 Undang- undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 63

Pasal 50 Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 64

Pasal 74 Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

1

PERNYATAAN KEBIJAKAN HAK

ASASI MANUSIA UNILEVER

Kami meyakini bahwa bisnis hanya dapat berkembang dalam masyarakat yang melindungi

dan menghormati hak asasi manusia. Kami sadar bahwa bisnis memiliki tanggung jawab

dalam menghormati hak asasi manusia dan memiliki kapasitas untuk memberikan

pengaruh yang positif terhadap hak asasi manusia.

Ini merupakan wilayah pertumbuhan yang penting bagi karyawan, pekerja, pemegang

saham, investor, pelanggan, konsumen, dan masyarakat tempat kami beroperasi serta

kelompok masyarakat sipil. Oleh karena itu terdapat hal yang berkaitan dengan bisnis dan

moral untuk memastikan hak asasi manusia ditegakkan di dalam operasi dan rantai nilai

kami. Pernyataan Hak Asasi ini berisi prinsip-prinsip menyeluruh yang kami tanamkan ke

dalam kebijakan dan sistem kami.

Kebijakan Kami

Sejalan dengan Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Hak Asasi Manusia dan Bisnis, kami

mendasarkan komitmen kebijakan hak asasi manusia pada Undang-Undang Internasional

Hak Asasi Manusia(terdiri dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan

Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya) dan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan hak-hak dasar yang

diatur dalam Deklarasi Organisasi Buruh Internasional tentang Prinsip dan Hak Dasar di

Tempat Kerja. Kami mengikuti Pedoman OECD untuk Perusahaan Internasional dan

merupakan salah satu yang menandatangani pendirian Global Compact Perserikatan

Bangsa-Bangsa.Kami memiliki komitmen untuk menghormati semua hak asasi manusia

yang diakui secara internasional yang relevan dengan operasi kami.

Prinsip kami yaitu ketika terdapat hukum nasional dan hak asasi manusia internasional yang

berbeda, maka kami akan mengikuti standar hukum yang lebih tinggi; ketika mereka berada

dalam pertentangan, kami akan mematuhi hukum nasional sambil mencari cara untuk

menghormati hak asasi manusia internasional semaksimal mungkin.

Visi Kami

Visi unilever yaitu untuk melipatgandakan ukuran bisnis, sembari mengurangi jejak

lingkungan kami dan meningkatkan pengaruh sosial yang positif.

2

Kode Prinsip Bisnis kami menyatakan bahwa kami “melakukan operasi dengan kejujuran,

integritas dan keterbukaan, serta menghormati hak asasi manusia dan kepentingan

karyawan kami, dan bahwa kami pun harus menghormati kepentingan resmi dari siapa saja

yang berhubungan dengan kami.”

Dalam urusan bisnis, kami mengharapkan mitra kami mematuhi prinsip-prinsip bisnis yang

sesuai dengan yang kami terapkan. Kami melarang adanya pekerja di bawah umur,

diskriminasi, pemaksaan, perdagangan terhadap pekerja, serta berkomitmen terhadap

kondisi kerja yang aman dan sehat serta terhadap martabat individu para pekerja. Juga hak

kebebasan berserikat dan perundingan bersama serta prosedur informasi dan konsultasi

yang efektif.

Kami melakukan operasi Keamanan yang sejalan dengan Kerangka Kerja Keselamatan

Kelompok, persyaratan hukum nasional dan standar internasional. Kami menyadari

pentingnya hak atas tanah. Kami berkomitmen terhadap prinsip persetujuan bebas, dan

berdasarkan pengetahuan sebelumnya, serta mendukung implementasinya oleh otoritas

nasional.

Alih Daya yang Bertanggung Jawab

Kami memiliki rantai pasokan beragam yang luas dan kami menyadari peran penting yang

dimainkan oleh para pemasok kami dalam membantu untuk sumber yang bertanggungjawab

dan berkelanjutan. Kebijakan Alih Daya yang Bertanggung Jawab mengatur ekspektasi kami

yang berkaitan dengan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, termasuk hak

tenaga kerja dalam rantai pasokan kami.

Kami hanya akan bekerja sama dengan pemasok yang menerapkan Kebijakan Alih Daya

yang Bertanggung Jawab milik kami. Mereka harus setuju untuk menjamin transparansi,

untuk memperbaiki segala kekurangan, dan untuk mendorong perbaikan yang

berkelanjutan.

Kebijakan Alih Daya yang Bertanggung Jawab kami berisi persyaratan dan panduan yang

jelas mengenai mekanisme pengaduan.

3

Mengatasi Dampak Hak Asasi Manusia

Kami menyadari bahwa kami harus mengambil langkah-langkah untuk mengidentifikasi

dan mengatasi dampak aktual atau merugikan yang mungkin saja kami terlibat di

dalamnya secara langsung maupun tidak langsung dari aktivitas atau hubungan bisnis

kami.Kami mengelola risiko ini dengan mengintegrasikan tanggapan atas pemeriksaan

tuntas ke dalam kebijakan dan sistem internal, bertindak atas temuan, melacak tindakan

kami, serta berkomunikasi dengan para pemegang saham kami tentang cara kami

mengatasi dampak yang muncul.

Kami memahami bahwa pemeriksaan tuntas hak asasi manusia merupakan proses

berkelanjutan yang memerlukan perhatian khusus pada tahap tertentu dalam aktivitas

bisnis kami, karena perubahan tersebut dapat menciptakan dampak hak asasi manusia yang

aktual dan potensial, seperti ketika kami membentuk kemitraan baru atau perubahan

kondisi operasi.

Di negara tertentu tempat kami beroperasi, terdapat risiko yang tinggi dan sistemik

terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Kami memahami hal ini berarti bahwa kami

harus mengadakan pemeriksaan tuntastambahan untuk menilai risiko tersebut dan

mengatasinya secara efektif, jika sesuai, dengan menggunakan dana pinjaman kami untuk

bekerja dalam hubungan satu lawan satu atau kemitraan berbasis global.

Kami menyadari pentingnya dialog dengan karyawan, pekerja kami dan pemegang saham

dari luar yang dapat terpengaruh oleh tindakan kami. Kami memberikan perhatian khusus kepada individu atau kelompok yang mungkin berada pada risiko yang lebih besar dari dampak negatif hak asasi manusia disebabkan oleh kerentanan atau marginalisasi serta menyadari bahwa perempuan dan laki-laki menghadapi risiko yang berbeda.

Pemulihan

Kami menempatkan pentingnya penyediaan pemulihan yang efektif di mana saja terjadi

dampak hak asasi manusia melalui mekanisme pengaduan berbasis perusahaan.Kami

terus membangun kesadaran serta pengetahuan karyawan dan pekerja kami tentang hak

asasi manusia termasuk hak tenaga kerja, serta mendorong mereka untuk menyampaikan

suaranya mengenai keprihatinan yang mereka miliki melalui saluran pengaduan kami, tanpa

retribusi. Kami berkomitmen untuk terus meningkatkan kapasitas pengelolaan kami untuk

4

mengidentifikasi dan menanggapi masalah secara efektif. Kami juga mendorong

penyediaan mekanisme pengaduan yang efektif oleh pemasok kami.

Pemberdayaan Perempuan melalui Hak Asasi, Keterampilan, dan Peluang

Banyak perempuan di duniaberhadapan dengan diskriminasi dan kerugian, kurangnya

akses untuk keterampilan dan pelatihan, serta menghadapi beragam hambatan untuk

berpartisipasi aktif dalam bidang ekonomi. Mereka sering kekurangan perlindungan hak

dan hukum yang mendasar. Kemiskinan, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan

merupakan rintangan utama menuju peluang.

Perempuan adalah bagian yang tak dapat dipisahkan dalam model dan ambisi

pertumbuhan bisnis kami. Kami berusaha untuk mengelola dan mengembangkan bisnis

yang bertanggung jawab secara sosial di mana perempuan dapat berpartisipasi atas dasar

kesetaraan.Kami meyakini bahwa hak-hak perempuan dan inklusi ekonomi merupakan

prioritas dalam keberhasilan jangka panjang. Pendekatan

kami diawali dengan menghormati hak-hak perempuan kemudian meluas ke promosi

mereka dan juga membantu mengembangkan keterampilan serta membuka peluang,

semua hal tersebut berada dalam operasi dan rantai nilai kami.

Pemerintahan Kami

Pekerjaan kami di bidang ini diawasi oleh Direktur Eksekutif Unilever, didukung oleh

Eksekutif Kepemimpinan Unilever termasuk Direktur Rantai Pasokan, Direktur Sumber Daya

Manusia, Direktur Pemasaran dan Komunikasi serta Direktur Urusan Hukum dan juga

Direktur Ketahanan dan Wakil Presiden Global untuk Dampak Sosial. Hal ini menjamin

bahwa setiap bagian bisnis kami memiliki tanggung jawab yang jelas untuk menghormati

hak asasi manusia. Pengawasan pada tingkat dewan diberikan oleh Komite

Pertanggungjawaban Perusahaan Unilever PLC.

Masa yang Akan Datang

Kami meyakini bahwa produk kami memberikan banyak manfaat positif, terutama di bidang

kesehatan dan sanitasi. Sebagai bagian dari ambisi kami untuk Meningkatkan Penghidupan,

kami menyatakan komitmen kami untuk terwujudnya Keadilan di Tempat Kerja, Peluang

untuk Perempuan dan Bisnis Inklusif.

5

Kami mengevaluasi dan meninjau secara berkelanjutan tentang cara terbaik untuk

memperkuat pendekatan kami dalam mengatasi hak asasi manusia, termasuk hak tenaga

kerja. Kami percaya bahwa bekerja melalui program eksternal dan kemitraan, lebih

sering merupakan cara terbaik untuk mengatasi tantangan, misalnya dengan industri lain,

LSM, serikat buruh, pemasok dan mitra bisnis lainnya.

Kami akan melacak dan melaporkan perkembangan secara terbuka setiap tahun.

Pernyataan Kebijakan Hak Asasi Manusia ini menggabungkan komitmen yang ada dan

memberikan peningkatan akan kejelasan proses dan prosedur kami. Prinsip-prinsipnya

diterapkan melalui operasi dan rantai nilai kami.