FORMULASI ADOPSI UNITED NATIONS GUIDING PRINCIPLE ON
BUSINESS AND HUMAN RIGHTS DALAM GOOD CORPORATE
GOVERNANCE OLEH PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Muhamad Raziv Barokah
NIM : 1112048000031
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016 M
i
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata I pada Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber data yang saya cantumkan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa hasil karya saya ini merupakan hasil dari
tindakan plagiat atau jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
ii
ABSTRAK
Nama : Muhamad Raziv Barokah
Program Studi : Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis
Judul : “Formulasi Adopsi United Nations Guiding Principle on
Business and Human Rights dalam Good Corporate
Governance oleh Perseroan Terbatas di Indonesia”
Skripsi ini bertujuan untuk meneliti dan menganalisis status hukum United Nations
Guiding Principle on Business and Human Rights (UNGP) dalam tatanan hukum
Indonesia dan merumuskan formulasi yang tepat untuk mengadopsi dokumen
tersebut agar menjadi hukum nasional. Mengingat PT sebagai entitas bisnis sering
kali melanggar hak asasi manusia dalam setiap kegiatan operasional mereka, namun
pelanggaran tersebut belum terjangkau oleh perangkat hukum nasional. Baik sanksi
maupun mekanisme pemulihan bagi korban. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa
UNGP merupakan resolusi PBB yang tidak perlu diratifikasi sehingga statusnya
bersifat morally binding dan formulasi yang tepat untuk mengadopsinya adalah
membuat peraturan presiden yang mengambil prinsip-prinsip dari UNGP tersebut
serta mendorong OJK untuk membuat aturan pelaksana peraturan presiden dengan
mewajibkan seluruh perusahaan yang terdaftar menerapkan UNGP dan
mengumumkan ke publik dalam laporan tahunannya.
Kata Kunci :
UNGP, Bisnis dan HAM, Formulasi, Adopsi, PT, Perseoran Terbatas, Ruggie’s
Principle, human rights due diligence, Good Corporate Governance.
iii
ABSTRACT
Name : Muhamad Raziv Barokah
Study Program : Law Science Concentration Business Law
Title : “Formulation of Adoption United Nations Guiding
Principle on Business and Human Rights in Good Corporate
Governance by Limited Company in Indonesia”
The purpose of this thesis is to investigate and analyse a legal status of United
Nations Guiding Principle on Business and Human Rights (UNGP) in order
Indonesian law and formulating to adopt it document to be national law. Remember
Limited Company as a business entity who often make human rights violation
relating it business operational. However, the violation has not spanded by
Indonesian law. Both sanction and remedy mechanism to the victims. The result of
this thesis show that UNGP is United Nations resolution which not must ratificate.
So that the legal status is morally binding and the appropriete formulation to adopt it
is make a president regulation which absorb UNGP’s principles and push OJK
(Otoritas Jasa Keuangan) to make implementating regulation with contains liability
to the Go Public Limited Company to conduct the UNGP’s principles and announce
it into annual report.
Key Word:
UNGP, Business and Human Rights, Formulation, Adoption, Ltd., Limited
Company, Ruggie’s Principle, human rights due diligence, Good Corporate
Governance.
iv
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt karena berkat rahmat dan
nikmat-Nya lah penulis mampu menyelesaikan sebuah karya berupa skripsi dalam
rangka syarat mendapatkan gelar sarjana ini. Shalawat serta salam tak lupa penulis
curahkan untuk junjungan besar Nabi Muhammad saw sebagai manusia suci
sehingga penulis bisa merasakan nikmat Islam sekarang.
Skripsi yang berjudul “Formulasi Adopsi United Nations Guiding Principle
on Business and Human Rights dalam Good Corporate Governance oleh
Perseroan Terbatas di Indonesia” penulis susun sebagai syarat untuk mencapai
gelar Sarjana Hukum pada Konsentrasi Hukum Bisnis Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Keberhasilan penulis menyusun skripsi ini, serta melewati berbagai proses di
Fakultas tercinta tentu tidak terlepas dari kontribusi setiap orang di sekitar penulis
yang sangat memotivasi. Penulis ingin mempersembahkan ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.
2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat., S.H., M.H dan Drs. Abu Tamrin., S.H.,
M.Hum. Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
3. Ayahanda dan Ibunda tercinta, Bapak Rokib dan Ibu Siti Nur Laela, Ayah dan
Mama yang tidak pernah lepas pengawasan, nasehat, doa, dan motivasi yang
diberikan kepada penulis. Tanpa ayah dan mama, penulis tidak akan pernah
berada di tempat sekarang ini. Semoga Allah swt membalas segala apa yang telah
ayah dan mama berikan kepada penulis. Penulis tak akan sanggup membalas
semua jasa-jasa ayah dan mama selama ini.
4. Abang-abang dan adik-adik ku, Muhamad Reza Maizar., S.Kom. Muhamad
Ridwan Novizar., S.S. Arrafi Bima Guswara, Kartika Eka Pertiwi, dan Citra
Kirana Dwi Pertiwi yang telah memberikan kehangatan dalam keluarga kita,
sehingga penulis selalu semangat menyelesaikan skripsi ini.
5. Ismail Hasani., S.H., M.H. dan Irfan Khairul Umam., S.Hi., LLM. Dosen
pembimbing yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
dengan memberikan arahan yang konstruktif.
6. Fitria., S.H., MR., Nur Rohin Yunus., S.H., LLM., Indra Rahmatullah., S.Hi.,
M.H., Hidayatullah., S.Hi., M.H., Izhar Hilmi., S.Hi., M.H., sebagai pembina dan
pembimbing bagi delegasi dalam menghadapi setiap kompetisi nasional, dan
umumnya mendampingi Mootcourt Community yang penulis ketuai selama
periode 2015-2016. Semoga rahmat Allah swt senantiasa menyelimuti.
7. Saudari Riskita Heriana Putri yang selama ini menemani penulis baik dalam duka
maupun suka, senantiasa memberikan motivasi dan menguatkan penulis hingga
selesai skripsi ini dibuat.
vi
8. Kepada sahabat-sahabatku Murtadlo Baedlowi, Baghdady Zamjani Al Misbakh,
Muchtar Ramadhan, Khairul Atma, Muhamad Yusuf serta seluruh mahasiswa
Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2012 yang tidak bisa saya sebutkan satu-
persatu.
9. Seluruh pengurus dan anggota Mootcourt Community periode 2015/2016 Teguh
Triesna Dewa, Abdulatief Zainal, Nur Jannah, Hamalatul Qur’ani, Muhamad
Reza Baihaqi, Nur Rahmi, Muhamad Sidiq, Syah Ul Haqq, Reinaldo Riyanto,
Dalilah Hazimah, Zul Amirul Haq, Muhamad Edy Kurniawan, Nila Tari,
Muhamad Faiz Putra Syanel, dan yang lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu.
10. Serta setiap orang yang pernah terlibat dalam kegiatan proses akademis dan non
akademis penulis selama menempuh jenjang strata 1 di Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semoga skripsi ini tidak hanya menjadi lembaran formalitas syarat meraih gelar,
namun juga berkontribusi bagi kemajuan dunia bisnis dan hak asasi manusia di
Indonesia agar kesejahteraan dapat tersebar merata ke setiap lapisan masyarakat.
Ciputat, 6 Juni 2016 M
1 Ramadhan 1437 H
Penulis
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ i
ABSTRAK .................................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................... iv
DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii
INDEKS ..................................................................................................................... ix
BAB I ........................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .............................................................................................. 5
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................................................... 5
D. Kerangka Konseptual ........................................................................................... 5
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................... 6
F. Metode Penelitian .................................................................................................. 8
G. Tinjauan Kajian Review Terdahulu ................................................................. 10
H. Sistematika Penulisan ......................................................................................... 13
BAB II ....................................................................................................................... 15
TINJAUAN UMUM PERSEROAN TERBATAS DAN GOOD CORPORATE
GOVERNANCE DI INDONESIA ........................................................................... 15
A. Perseroan Terbatas ............................................................................................. 15
B. Tanggung Jawab Perseroan Terbatas ............................................................... 20
1. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan .......................................................... 21
2. Tanggung Jawab Perdata .................................................................................... 22
3. Tanggung Jawab Pidana ..................................................................................... 23
4. Tanggung Jawab Perseroan menerapkan Good Coporate Governance .......... 24
viii
BAB III ...................................................................................................................... 28
TINJAUAN UMUM TENTANG UNITED NATIONS GUIDING PRINCIPLE
ON BUSINESS AND HUMAN RIGHTS (UNGP) ................................................. 28
A. Sejarah Lahirnya UNGP .................................................................................... 28
B. Prinsip Umum UNGP.......................................................................................... 37
1. Kewajiban Negara Untuk Melindungi Hak Asasi Manusia ............................. 37
2. Tanggung Jawab Perusahaan Menghormati Hak Asasi Manusia .................. 35
3. Akses atas Pemulihan .......................................................................................... 37
BAB IV ...................................................................................................................... 39
FORMULASI IMPLEMENTASI UNITED NATIONS GUIDING PRINCIPLE
ON BUSINESS AND HUMAN RIGHTS DALAM GOOD CORPORATE
GOVERNANCE OLEH PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA .............. 39
A. Status dan Implementasi UNGP di Indonesia .................................................. 39
B. Formulasi Implementasi United Nations Guiding Principle on Business and
Human Rights dalam Good Corporate Governance oleh Perseroan di Indonesia 45
BAB V ........................................................................................................................ 55
PENUTUP ................................................................................................................. 55
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 55
B. Saran ..................................................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 57
LAMPIRAN .............................................................................................................. 61
ix
INDEKS
APP : Asian Pulp and Paper
BAPEPAM-LK : Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
CSO : Civil Society Organization
CSR : Corporate Social Reponsibility
DUHAM : Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
EU : European Union
GCG : Good Corporate Governance
HAM : Hak Asasi Manusia
HRDD : Human Rights Due Diligence
HRRCA : Human Rights Resources Center ASEAN
HP : Hawlett-Packard
ICCPR : International Convention of Civil and Political Rights
ICESCR : International Convention of Economic, Social, and Cultural
Rights
IGCN : Indonesia Global Compact Network
IMF : International Monetery Fund
IWGIA : International Work Group for Indigenous Affairs
KNKCG : Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance
KUHD : Kitab Undag-Undang Hukum Dagang
KUHper : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
MNC : Multi National Corporations
NAP : National Actio Plan
NCP : National Contact Point
NV : Namelooze Venotschaap
NGO : Non Government Organization
x
OECD : Organization Economics Co-operation Development
OJK : Otoritas Jasa Keuangan
PBB : Persatuan Bangsa-Bangsa
PT : Perseoran Terbatas
SOP : Standart Operating Procedure
TNC : Transnational Corpoations
UNGP : United Nations Guiding Principle on Business and Human
Rights
USA : United Stated of America
UUPM : Undang-Undang Pasar Modal
UNGC : United Nations Global Compact
UNHRC : United Nations Human Rights Committee
UUPT : Undang-Undang Perseroan Terbatas
VOC : Verenigde Oost Indische Compagnie
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hak asasi manusia merupakan standar pencapaian bersama bagi setiap orang
dan bangsa (a common standart achievment for all people and nations)1 dalam
menciptakan kesejahteraan yang merupakan tujuan utama dibentuknya sebuah
negara. Konsepsi ini memberikan tanggung jawab kepada negara untuk menghormati
(to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) setiap hak yang
melekat dalam diri setiap orang dalam segala aktivitas apapun. Pada awalnya,
aktivitas yang sarat pelanggaran HAM di dalamnya adalah aktivitas negara dalam
menertibkan rakyat, namun seiring perkembangan zaman muncul pihak lain yang
menjadi aktor utama pelanggar HAM di dunia, yakni perusahaan. Hal ini kurang
disadari oleh khalayak luas dan perlu di sosialisasikan lebih dalam.
Perusahaan sebagai entitas yang memiliki pengaruh signifikan dalam
pertumbuhan sebuah negara sering kali melakukan pelanggaran HAM dalam
operasionalisasi kegiatan bisnis, baik di bidang lingkungan hidup, kesehatan,
ketenagakerjaan, kemanusiaan, serta bidang lain. Peran dan pengaruh kekuasaan
korporasi transnasional dalam perekonomian dunia tidak dapat dipungkiri. Sebanyak
300 korporasi terbesar dunia diperkirakan menguasai sekitar seperempat aset
produksi di Bumi.
1 Mohammed Bedjaoui, The Difficult Advance of Human Rights Towards Universality, in
Universality of Human Rights in a Pluralistic World, dilaporkan oleh Dewan Eropa, 1990. h. 45.
2
Sebagai contoh, nilai penjualan mobil salah satu perusahaan transnasional
pertahunnya di atas Gross National Product (GNP) dari 178 negara termasuk Afrika
Selatan, Malaysia, Norwegia, dan Saudi Arabia. Mereka menguasai 90% semua
teknologi dan produk paten di seluruh dunia, terlibat dalam 60% perdagangan dunia,
secara langsung mempekerjakan 90 juta orang (dua puluh persen di negara
berkembang).2 Kemampuan ekonomi yang dimiliki perusahaan transnasional yang
melebihi kemampuan sebuah negara, dapat mengintervensi kekuatan politik. Hal ini
menjadi kombinasi yang sangat sempurna dalam terciptanya pelanggaran-
pelanggaran HAM, karena apa yang dilakukan oleh entitas bisnis tentunya mendasari
diri dengan pendekatan cost accounting yang menempatkan keuntungan sebagai
tujuan utama dengan mengenyampingkan kepentingan sosial.3 Bahkan tidak hanya
korporasi skala internasional. Perusahaan di Indonesia sendiri menempati posisi
kedua teratas dalam pelaporan yang diterima oleh Komnas HAM atas pelanggaran
hak asasi manusia.4
The International Bill of Rights tidak memasukkan perusahaan sebagai subjek
penghormatan HAM,5 sedangkan semakin banyak bukti yang menunjukan bahwa
2 Rudi M. Rizki. Tanggung Jawab Korporasi Transnasional dalam Pelanggaran Berat HAM.
(PT Fikahati Aneska, Jakarta: 2012). h. 2.
3 Nash June and Max Kirsch, Corporate Culture and Social Responsibility: The Case Toxic
Wastes in a New England Community. (University Press of America, Maryland: 1994) h. 367.
4 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, “Laporan Data Pengaduan Tahun 2015 Sub bagian
Penerimaan dan Pemilahan Pengaduan”, (Jakarta: Komnas HAM, 2016), h. 7.
5 Louis Henkin, “The International Bill Of Rights: The Universal Declaration and the
Covenants,” dalam R. Bernhardt dan JA. Jolowicz (eds), International Enforcement of Human Rights,
1987.
3
aktivitas perusahaan sering bergesekan bahkan mengaborsi hak asasi individu dan
masyarakat. Hingga akhirnya dibentuklah sebuah dokumen internasional yang
berupaya memasukkan korporasi sebagai subjek hukum hak asasi manusia bernama
the Draft Norms.6 Dokumen tersebut mendapat penolakan keras, sehingga batal
disahkan.
Pasca terbuang nya the Draft of Norms, Koffi Anan selaku Sekjen PBB saat itu
menunjuk John Ruggie untuk mempertemukan para stakeholder kembali membahas
tentang perkembangan bisnis dan hak asasi manusia dari pendekatan yang berbeda.
Pada akhirnya John Ruggie mampu membuat laporan kepada Dewan HAM PBB
berupa pedoman prinsip hak asasi yang bernama United Nations Guiding Principles
on Business and Human Rights, Implementing the United Nations “Protect, Respect,
and Remedy” Framework (UNGP) atau dikenal juga dengan nama Ruggie’s
Principles,7 yang diadopsi menjadi Resolusi Dewan HAM PBB No. 17/4 16 Juni
2011. UNGP tersebut menjadi panduan minimum mengenai hal-hal yang harus
dilakukan oleh perusahaan agar dapat dikatakan tidak melakukan pelanggaran HAM.
Perangkat hukum perseroan di Indonesia saat ini hanya meberikan kewajiban
etika melakukan Good Corporate Governance yang dibuat sebagai syarat bantuan
asing ketika krisis moneter pada tahun 1998. Peraturan yang mengatur mengenai
6 IWGIA European Network On Indigenous Peoples, Business And Human Rights;
Interpreting The Un Guiding Principles for Indigenous Peoples; Report 16, 2014. h. 11.
7 Business & Human Rights Initiative (2010), “How to Do Business with Respect for Human
Rights: A Guidance Tool for Companies,” The Hague: Global Compact Network Netherlands. H. 21-
22.
4
GCG mengadopsi dari nilai-nilai yang terdapat dalam Organization Economics Co-
operation Development yang memiliki 5 prinsip yakni8 transparency, accountability,
responsibility, independence, and fairness. Pasca dikeluarkanya UNGP, OECD
menambahkan 1 prinsip yakni human rights, sedangkan pengaturan GCG di
Indonesia saat ini masih mengacu kepada OECD yang lama, sehingga perlu adanya
penyesuaian agar perangkat hukum selalu hadir mengikuti perkembangan zaman.
Pelanggaran HAM oleh sektor bisnis telah nyata hadir dirasakan oleh
masyarakat, namun korban dan pemerintah cenderung tidak sadar bahwa perusahaan
menjadi aktor pelanggar HAM. Bahkan, pelanggaran HAM oleh perusahaan kepada
orang lain dapat berimbas kepada konsumen lain yang tidak terdampak secara
langsung. Sebagai contoh, perusahaan sawit yang melanggar hak atas lingkungan
melakukan pembakaran di Sumatera untuk menghasilkan produk minyak sawit yang
murah akibat cost yang sedikit karena membuka lahan dengan cara membakar.9 Hak-
hak masyarakat Sumatera tentu terlanggar karena tidak mendapat lingkungan yang
sehat, bahkan cenderung terampasnya hak atas kehidupan, namun dampak tersebut
tidak hanya sampai pada orang Sumatera, melainkan juga orang-orang di ibu kota,
karena akibat pelepasan emisi tersebut maka lapisan ozon semakin menipis, sehingga
dampaknya cuaca semakin menyengat. Sedangkan masyarakat dengan tanpa sadar
terus membeli produk minyak sawit tersebut karena harga yang murah. Padahal
8 Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi (I), (Bandung : Books Terrace & Library,
2007), h. 152.
9 http://setara-institute.org/kabut-asap-dan-urgensi-adopsi-united-nations-guiding-principles-ungpdalam-hukum-indonesia-2/, diakses pada Minggu, 22 Mei 2016. Pukul. 22.00.
5
masyarakat membayar sangat mahal dari murahnya harga minyak sawit tersebut. Hal
ini menjadi dasar yang sangat kuat untuk segera menggencarkan desimenasi dan
mengadopsi UNGP.
Indonesia merupakan negara investasi yang dipenuhi oleh berbagai perusahaan
dalam maupun luar negeri. Ditambah penghormatan HAM merupakan pilar
konstitusi yang tidak dapat ditawar, maka adopsi terhadap UNGP dirasa penting
tidak hanya sebagai tuntutan bagi perusahaan untuk menghormati hak asasi, juga
sebagai daya tawar di dunia internasional, namun bentuk dari UNGP yang
merupakan resolusi yang didesign untuk tidak diratifikasi memunculkan persoalan
tentang bagaimana status hukum dokumen UNGP di Indonesia. Ketidakjelasan
tersebut juga memunculkan masalah lain mengenai bagaimana bentuk dan skema
untuk adopsi yang dapat dilakukan oleh perusahaan Indonesia agar UNGP dapat
terserap dengan baik dan dilaksanakan oleh para stakeholder di Indonesia.
Atas dasar latar belakang masalah itulah penulis tertarik untuk menjawab
permasalahan tersebut dalam skripsi yang berjudul “Formulasi Adopsi United
Nations Guiding Principle on Business and Human Rights dalam Good Corporate
Governance oleh Perseroan Terbatas di Indonesia”.
B. Identifikasi Masalah
Berbagai masalah yang ditemukan dari judul berikut antara lain:
1. Status keberlakuan UNGP di Indonesia.
2. Penerapan human rights due diligence di Indonesia.
3. Implementasi UNGP di Indonesia.
6
4. Dampak penghormatan hak asasi terhadap kegiatan bisnis perusahaan.
5. Pandangan dunia internasional terhadap penghormatan hak asasi manusia
oleh perusahaan.
6. Hubungan UNGP dengan berbagai dokumen internasional perlindungan hak
asasi manusia.
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Status UNGP di Indonesia.
b) Adopsi UNGP oleh perusahaan di Indonesia.
2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut:
a) Bagaimana Status United Nations Guiding Principle on Business and
Human Rights dalam Hukum Indonesia?
b) Bagaimana Formulasi Adopsi United Nation Guiding Principle on
Business and Human Rights dalam good corporate governance oleh
Perusahaan di Indonesia?
D. Kerangka Konseptual
Good Corporate Governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan
oleh organ perusahaan guna memberikan nilai tambah pada perusahaan secara
berkesinambungan dalam jangka panjang bagi pemegang saham, dengan tetap
7
memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundang-
undangan dan norma yang berlaku.10
Business and Human Rights atau Bisnis dan HAM merupakan isu dalam dunia
bisnis internasional yang menuntut perusahaan sebagai entitas yang memiliki
pengaruh dalam sebuah negara turut ambil bagian dalam penghormatan hak asasi di
negara di mana ia melakukan kegiatan bisnis. Penghormatan tersebut berupa upaya
untuk mencegah, meminimalisir, menghindari, serta tidak terlibat dalam pelanggaran
HAM.
Uji Tuntas Hak Asasi Manusia merupakan sebuah proses pengelolaan terus-
menerus yang perlu dilakukan sebuah perusahaan yang hati-hati, bijaksana, sesuai
dengan keadaannya (termasuk sektor, konteks operasi, ukuran, serta faktor serupa)
untuk memenuhi tanggung jawabnya untuk menghormati hak asasi manusia.
United Nations Global Compact adalah sebuah inisiatif dunia yang digagas oleh
Koffi Anan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa terdahulu, untuk
mempromosikan corporate citizenship, yang diluncurkan pertama kalinya pada 26
Juli, 2000.
Dampak Aktual HAM adalah dampak merugikan bagi hak asasi manusia yang
sedang terjadi atau telah terjadi.
Dampak Potensial HAM adalah dampak yang diperkirakan akan terjadi atas
sebuah kegiatan perusahaan.
10
Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance, Pedoman Komisaris Independen dan
Pedoman Pembentukan Komite Audit Yang Efektif, (Jakarta: Gugus Kerja Komite Nasional Kebijakan
Corporate Governance, 2004), h. 3.
8
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah untuk mendesimenasikan isu bisnis
dan hak asasi manusia demi menyadarkan kalangan bisnis serta pemerintah
untuk tetap menjaga hak asasi manusia sebagai hak kodrati yang melekat
pada setiap manusia, serta untuk berkontribusi dalam khazanah intelektual
mengenai perjuangan hak asasi manusia akibat aktivitas bisnis.
Tujuan khusus dari penelitian di atas adalah:
a. Untuk mengetahui status keberlakuan United Nations Guiding Principle
on Business and Human Rights di Indonesia.
b. Untuk mengetahui formulasi implementasi United Nations Guiding
Principle on Business and Human Rights dalam Good Corporate
Governance oleh perusahaan di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini memberikan manfaat ilmiah berupa perluasan wawasan
mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum serta pihak lain mengenai kajian
teoritis pentingnya kegiatan bisnis di Indonesia untuk tetap sesuai dengan
koridor hak asasi manusia. Serta memberikan tambahan argumen bagi
stakeholder pada isu bisnis dan HAM untuk mendorong pemerintah
segera merespon secara nasional mekanisme uji tuntas hak asasi manusia.
b. Manfaat Praktis
9
Secara praktis, penelitian ini sangat bermanfaat untuk membuka peluang
menambah profesi di bidang disiplin ilmu hukum untuk menjadi seorang
konsultan atau penasehat hukum bagi perusahaan perikanan di bidang hak
asasi manusia. Serta merangsang setiap pembaca agar semakin peka
terhadap isu bisnis dan hak asasi manusia.
Selain itu, kajian ini diharapkan memberikan dorongan dan masukan
kepada pemerintah untuk segera meningkatkan status uji tuntas HAM
tidak hanya dalam tataran peraturan menteri, namun diangkat setidak-
tidaknya menjadi peraturan presiden, sehingga uji tuntas HAM tidak
hanya diwajibkan bagi bisnis perikanan, namun juga bagi seluruh
kegiatan bisnis di Indonesia.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian
Sarjono Soekanto mengatakan bahwa penelitian merupakan suatu kegiatan
ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara
metodologis, yakni berdasarkan metode tertentu. Dan sistematis, yakni
tersistem sehingga memiliki alur pemikiran yang jelas.11
Guna menemukan,
mengembangkan, dan menguji sebuah kebenaran.
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Ed-III (Universitas Indonesia Press,
Jakarta: 1986) h. 42.
10
Tipe penelitian yang penulis gunakan pada skripsi ini adalah metode yuridis
normatif,12
yaitu penelitian hukum yang menitikberatkan pada kajian literatur
(kepustakaan) dan data sekunder yang bertujuan untuk meneliti asas-asas
hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah
hukum, dan perbandingan hukum.
Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan historis (historical
approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach).
2. Sumber Data
a. Bahan Hukum Primer
Bahan-bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan,
dan putusan-putusan hakim.13
Dalam penelitian ini, bahan hukum primer
yang digunakan adalah:
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
2) Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
12
Soerjono Soekanto dan Marmudji, Pengertian Hukum Normatif Suatu Tindakan
Singkat,(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h. 14.
13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana, cet-IV : 2010) h. 141.
11
Nomor 165/Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3886)
3) Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106/
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756)
4) Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118/
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433)
5) International Convenant on Civil and Political Rights.
6) International Convenant on Economic, Social, and Cultural
Rights.
7) The Universal Declaration of Human Rights.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari literatur
hukum, artikel yang berasal dari jurnal, publikasi media dalam surat
kabar, internet, dokumen skripsi, tesis, disertasi, dan dokumen lain yang
berkaitan dengan penelitian, guna memberikan penjelasan lebih lanjut dan
mendalam mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
c. Bahan Non Hukum (Tersier)
Bahan Non Hukum dapat berupa publikasi non hukum yang memuat
data-data yang masih relevan atau berkaitan dengan tema penelitian ini.
3. Metode Pengumpulan Data dan Bahan Hukum
12
Pengolahan data dilakukan dengan metode kualitatif yakni
memberikan gambaran mengenai permasalahan dengan menganalisis rujukan
dalam setiap literatur dan bahan hukum yang disebutkan di atas.14
4. Metode Penulisan
Metode penulisan mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi
yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2012. Metode ini
lebih menekankan ke arah penulisan deduktif.
G. Tinjauan Kajian Review Terdahulu
Penelitian ini memiliki tinjauan kajian terdahulu yakni:
Nama Margaretha Quina
Fakultas/Prodi Universitas Indonesia/Fakultas Hukum/Konsentrasi
Hukum Internasional
Tahun 2012
Judul Skripsi Pelanggaran Terhadap Hak Asasi Manusia Atas
Lingkungan Hidup Oleh Perusahaan Transnasional
Dalam Hukum Internasional
Substansi Skripsi ini membahas pertanggung jawaban korporasi
transnasional dalam pertanggung jawaban terhadap hak
asasi manusia khususnya hak atas lingkungan. Penulis
menjadikan skripsi ini sebagai acuan karena memiliki
14
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004). h. 104.
13
kesamaan konsep mengenai kewajiban perusahaan dalam
menghormati hak asasi manusia.
Pembeda Terdapat pembedaan mengenai pertanggung jawaban
perusahaan. Dalam skripsi di atas, pembahasan concern
ke penegakan hukum ketika telah terjadi sebuah
peristiwa. Sedangkan penelitian ini membahas
mekanisme preventif untuk mencegah terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia.
Nama Everet Brian S
Publisher Indonesia Business Links
Tahun 2002
Judul Buku Alat mengelola Hak Asasi Manusia dalam Bisnis
Substansi Buku ini merupakan salah satu kerangka pemikiran
terbentuknya United Nations Guiding Principle on
Business and Human Rights untuk mendorong perusahaan
menghormati hak asasi manusia
Pembeda Buku ini merupakan acuan dasar mengapa bisnis harus
menghormati hak asasi manusia yang telah ada sebelum
dibuatnya United Nations Guiding Principle and Business
and Human Rights. Sedangkan penulis akan membahas
14
UNGP tersebut dalam penelitian ini.
Nama Rizky Haryo Wibowo
Fakultas/Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2014
Judul Skripsi Asas Kemanfaatan Hukum Holding Company di Bidang
Penyiaran
Substansi Skiripsi ini membahas mengenai ketidakjelasan
pengaturan mengenai holding company di Indonesia.
ketidakjelasan berimbas kepada monopoli pemilikan
media yang dikuasai oleh beberapa pihak saja, meskipun
tersebar ke dalam beberapa PT. Permasalahan muncul
mengenai tanggung jawab yang harus diemban oleh grup
perusahaan apabila anak perusahaan mereka melakukan
kejahatan atau pelanggaran HAM. Kaitannya dengan
skripsi penulis adalah media merupakan hal yang sangat
prinsip, ketika dikuasai oleh beberapa orang saja, maka
hak asasi rakyat untuk mendapat informasi yang
seimbang akan terlanggar.
Pembeda Perbedaan antara skripsi di atas dengan penelitian penulis
bahwa skripsi di atas fokus membahas bisnis di bidang
15
penyiaran, sedangkan penulis secara umum diseluruh
bidang bisnis.
Nama Asep Mulyana
Institusi Universitas Gadjah Mada
Tahun 2012
Judul Jurnal Jurnal HAM vol 8: Mengintegrasikan HAM
ke dalam Kebijakan dan Praktik Perusahaan
Substansi Artikel dalam jurnal ini membahas landasan filosofis
perlunya perusahaan untuk mengintegrasikan HAM
dalam manajemen internal bisnis mereka.
Pembeda Perbedaan mencolok terlihat dari pendekatan penelitian
yang hanya bersandar pada prinsip HAM, sedangkan
penulis menggunakan pendekatan hukum perusahaan
melalui Good Corporate Governance.
H. Sistematika Penulisan
Berdasarkan berbagai uraian di atas, maka penulis merumuskan sistematika
penulisan dalam penelitian ini sebagai berikut:
BAB I Pada bab ini penulis memaparkan latar belakang penelitian,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
16
tinjauan kajian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini,
metode penelitian dalam penelitian, serta sistematika penulisan
sebagai rancangan penelitian.
BAB II Bab ini berisikan tinjauan umum mengenai perseroan sebagai
subjek utama pelaksana UNGP dalam penghormatan HAM,
dan tinjauan mengenai Good Corporate Governance serta
legalitasnya.
BAB III Bab ini berisikan tinjauan umum United Nations Guiding
Principle on Business and Human Rights yang berisi tentang
sejarah terbentuknya UNGP dan pilar-pilar utama yang
menjadi prinsip dasar UNGP.
BAB IV Bab ini berisikan tentang status UNGP dalam hukum nasional
Indonesia, bentuk implementasi yang telah dilakukan oleh
beberapa perusahaan asing di Indonesia, dan kerangka
formulasi secara legal untuk diterapkan oleh perseroan di
Indonesia.
BAB V Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran. Bab ini
merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi, untuk itu
penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian
untuk menjawab rumusan masalah, serta memberikan saran-
saran yang dianggap perlu.
17
BAB II
TINJAUAN UMUM PERSEROAN TERBATAS DAN GOOD CORPORATE
GOVERNANCE DI INDONESIA
A. Perseroan Terbatas
Rechtpersoon atau badan hukum termasuk subjek hukum yang dibuat
berdasarkan aktivitas hukum (artifisial), sehingga keberadaannya sah, sejajar dengan
subjek hukum manusia dan memiliki kemandirian dalam melakukan kegiatan
hukum.15
Bentuk badan hukum yang paling populer dalam rangka kegiatan bisnis
adalah Perseroan Terbatas (PT).
Kata perseroan dalam pengertiannya secara umum adalah perusahaan, atau
organisasi usaha, atau badan usaha. Sedangkan perseroan terbatas adalah suatu
15
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 36.
18
bentuk organisasi yang ada dan dikenal dalam sistem hukum dagang Indonesia.16
praktik yang ditemukan perseroan terbatas menjadi entitas yang mendominasi
kehidupan bisnis di dunia.
PT dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama corporation. Secara etimologis,
corporation merupakan bahasa serapan yang diambil dari bahasa Latin yakni corpus,
yang berarti suatu badan (a body of people), dalam Oxford English Dictionary
artinya adalah that is a group of people autorhized to act as an individual atau
sekelompok orang yang diberi kuasa untuk bertindak secara individu.17
Sedangkan
menurut Black’s Law Dictionary, corporation berarti:
“An entity (usu. A business) having authority under law to act a single person
distinct from the shareholders who own and having rights to issue stock and
axist indefinitely; a group of succession of persons established in accordance
with legal rules into a legal or juristic person that has legal personality distinct
from the natural persons who make it up, exists indefinitely apart for them, and
has the legal powers that its constitution gives it.”18
Di beberapa negara PT dikenal dengan bahasa masing-masing yang perlu kita
ketahui seperti berikut:
a. Dalam bahasa Inggris disebut Limited (Ltd.) Company, atau Limitied
Liability Company, atau Limited (Ltd.) Corporation.
b. Dalam bahasa Belanda disebut Naamlooze Vennotschap atau NV.
c. Dalam bahasa Jerman disebut Gesellschaft mit Beschrankter Haftung.
16
I.G Rai Widjaja, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Jakarta: Megapoin, 2000),
hlm.1.
17 David M. Walker, “Oxford Law Dictionary”. (Oxford: Clarendon Press. 1980), h. 54.
18 Black Henry Campbell, “Black’s Law Dictionary”, (New York: Minn West Publishing,
1968), h. 32.
19
d. Dalam bahasa Spanyol disebut Sociedad De Responsabilidad Limitada.19
e. Dalam bahasa Malaysia disebut Sendirian Berhad (SDN BHD).
f. Dalam bahasa Jepang disebut Kabushiki Kaisa.
g. Di Singapore disebut Private Limited (Pte Ltd.).20
Pada zaman Hindia-Belanda PT dikenal dengan nama “Naamloze Vennotschap”
(NV) yang berarti tanpa nama.21
Maksudnya adalah pemberian nama dari NV
berbeda dengan perusahaan pada umumnya saat itu, yang mana harus memakai nama
atau gabungan nama dari pendirinya (firma). Pemberian nama NV diberikan
berdasarkan tujuan usaha yang akan dijalankan.
Sebenarnya eksistensi PT sudah ada jauh sebelum berlakunya KUHD (Wetboek
van Koophandel) di Hindia-Belanda. Yakni pada masa pertama kalinya Belanda
datang ke Nusantara dalam bentuk VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie).
VOC merupakan kongsi perusahaan dagang Belanda yang berkuasa di Indonesia
selama ratusan tahun. Hal ini membuktikan bahwa pada masa itu perusahaan telah
memiliki sendi-sendi bisnis dan korporat yang dapat diandalkan.22
KUHD baru berlaku pada tahun 1848 di mana pada saat itu Belanda sudah
secara resmi menjajah Indonesia melalui penempatan gubernur jenderal sebagai
19
Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, cetakan ke-1, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2003), h. 39.
20 Ahmad Yani dan Gunawan Widjadja, Seri Hukum Bisnis Perusahaan. (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1999), h. 67.
21 Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, edisi pertama,
(Bandung: PT Alumni, 2004), h. 47.
22 Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, cetakan ke-1, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2003), h. 42
20
pemimpin. Pengaturan mengenai NV terdapat dalam 21 pasal KUHD (pasal 35-56)
yang dianggap telah memberikan dasar hukum yang kuat untuk berbisnis. Pengaturan
yang belum ada dalam KUHD dapat dilengkapi oleh para pendiri di anggaran dasar
masing-masing NV.
Secara eksplisit, KUHD tidak memberikan definisi pasti mengenai NV, akan
tetapi melihat dari unsur yang terdapat dalam pasal 36, 40, 42, dan 45 dapat
disimpulkan bahwa NV memiliki unsur sebagai berikut:
a. Adanya kekayaan yang dipisahkan;
b. Adanya pemegang saham yang tanggung jawabnya terbatas hanya pada
jumlah uang yang disetorkan;
c. Adanya pengurus yang dinamakan direksi dan pengawas yang dinamakan
komisaris.
Bila diperhatikan, unsur-unsur tersebut telah memenuhi syarat sebuah entitas bisnis
dikatakan sebagai badan hukum.23
Pengertian yuridis mengenai PT yang terdapat dalam pasal 1 ayat (1) UUPT
adalah:
“Perseroan terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan
hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
undang-undang ini serta peraturan pelaksananya”.
23
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, edisi pertama,
(Bandung: PT Alumni, 2004), h. 48.
21
Pengertian di atas menggambarkan terdapat 6 unsur yang menjadi fondasi utama
mengenai definisi PT, yakni:24
a. Badan hukum (legal entity);
b. Persekutuan modal (alliance of capital);
c. Didirikan berdasarkan perjanjian (established pursuant to a contract);
d. Melakukan kegiatan usaha (carry on business activities);
e. Modal dasar terbagi atas saham (capital dividing into shares);
f. Memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang.
Perseroan sebagai badan hukum merupakan konsep dasar dalam pemahaman
subjek hukum yang berbeda dari subjek hukum natural (manusia). Seperti yang
dijelaskan oleh M.S Oliver dan E.A Marshall:
“The corporate legal person is very different from the natural or human legal
person. It has neither body, mind, nor soul. It was said that it is invisible,
immortal, and rest only in intendment law and consideration of the law”.25
Lebih lanjut dikatakan:
“They were nor born and so cannot die. They have been created by a process
of law and can only be destroyed by a process of law. They will exist even if
all their human members are dead (perpertual succesion), for every
corporation is a separate legal person from those legal persons who compose
it”.26
24
Man S. Sastrawidjaja dan Rai Mantili, Perseroan Terbatas menurut Tiga Undang-undang,
Jilid 1, (Bandung: PT Alumni, 2007), h. 14.
25 M.S Oliver, and E.A Marshall, Company Law; Handbooks, twelfth edition, (Singapore:
Pitman Publishing, 1994), h. 11.
26 M.S Oliver, and E.A Marshall, Company Law; Handbooks, twelfth edition, (Singapore:
Pitman Publishing, 1994), h. 14.
22
Berdasarkan penjelasan di atas, maka terdapat ciri yang menonjol terhadap
badan hukum antara lain adalah:27
a. Memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari ketentuan anggota
atau kekayaan pengurus;
b. Memiliki tujuan tersendiri yang terpisah dari tujuan para anggota atau
pengurus;
c. Memiliki kepentingan sendiri;
d. Memiliki organisasi yang teratur.
Prof. Dr. Soedjono Dirdjosisworo, S.H., M.B.A. memberikan pendapat
mengenai badan hukum adalah karena Ia tercipta oleh undang-undang. Badan hukum
dianggap sama dengan manusia buatan atau “artificial person”, namun secara
hukum dapat berfungsi seperti manusia biasa atau natural person atau natrulijk
persoon. Dia bisa menggugat ataupun digugat, bisa membuat keputusan dan bisa
mempunyai hak dan kewajiban, utang-piutang, mempunyai kekayaan layaknya
manusia, oleh karena itu PT juga disebut sebagai subjek hukum yang mandiri
(personastandi in judicio).28
Prinsip utama badan hukum yakni “separate legal entity”29
atau dalam
bahasa Indonesia dikenal dengan prinsip pertanggungjawaban terpisah. Maksudnya
27
Man S. Sastrawidjaja dan Rai Mantili, Perseroan Terbatas menurut Tiga Undang-undang,
Jilid 1, (Bandung: PT Alumni, 2007), h. 15.
28 Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Perusahaan mengenai Bentuk-Bentuk Perusahaan
(Badan Usaha) di Indonesia, Cetakan I, (Bandung: CV Mandar Maju, 1997), h. 52.
29 Sulistyowati, Aspek Hukum dan Realita Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:
Erlangga, 2010), h. 4.
23
adalah tanggung jawab yang dimiliki oleh PT sebagai subjek hukum tidak linier
dengan tanggung jawab para penggerak PT tersebut, karena PT sebagai subjek
hukum yang tidak memiliki tubuh dan jiwa, perlu subjek hukum natural yang
bertindak sebagai pelaksana dan penggerak PT tersebut. Dengan kata lain, tanggung
jawab PT merupakan hal yang berbeda dengan tanggung jawab yang diemban oleh
para pengurus PT tersebut.
Prinsip yang kedua adalah “limited liability”,30
atau dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan prinsip tanggung jawab terbatas. Yang dimaksud dalam prinsip ini
adalah bahwa tanggung jawab dari para pendiri PT hanyalah sebatas harta pribadi
yang disetor dalam bentuk saham PT sebagai modal. Jika PT mengalami kerugian
dan memiliki utang, maka penagihannya tidak dapat dibebankan kepada harta pribadi
para pendiri.
B. Tanggung Jawab Perseroan Terbatas
Tanggung jawab menurut Roscoe Pound adalah suatu kewajiban untuk
menebus pembalasan dendam dari seorang yang terhadapnya telah dilakukan suatu
tindakan perugian (injury), baik oleh orang yang disebut pertama itu sendiri maupun
oleh sesuatu yang ada di bawah kekuasaannya.31
Black’s Law Dictioary mengartikan liability adalah:
“condition of being actually or potentially subject to an obligation;
condition of being responsible for a possible or actual loss, penalty,
30
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011), h. 50.
31 Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, (Jakarta: Bhatara, 1996), h. 80.
24
evil expenses or burden; condition with create a duty to perform act
immediately or in the future”.32
Liability diartikan sebagai suatu kondisi yang benar-benar atau kemungkinan
besar merupakan persoalan dari sebuah kewajiban; keadaan pertanggung jawaban
pada kemungkinan kerugian ataupun yang dialami, hukuman, biaya dari kejahatan
atau beban; keadaan menciptkan sebuah kewajiban untuk melakukan perbuatan
dengan segera atau yang akan datang.
Pengertian etimologis dan penalaran dari tanggung jawab di atas menjadi sebuah
rangkaian pernyataan bahwa dari suatu kewajiban hukum timbul sebuah tanggung
jawab, kewajiban hukum berarti perbuatan dengan mana jika dilakukan berarti
menghindari delik, yaitu kebalikan dari perbuatan yang membentuk suatu kondisi
adanya sanksi.33
Tanggung jawab PT baik secara yuridis maupun secara etika bisnis terbagi ke
dalam 4 jenis yaitu:
a. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan;
b. Tanggung Jawab Perdata;
c. Tanggung Jawab Pidana;
d. Tanggung Jawab Good Corporate Governance.
32
Black Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, (New York: Minn West Publishing,
1968), h. 76.
33 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm.57.
25
1. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan tanggung jawab yang
wajib dilakukan oleh perseroan yang melakukan kegiatan usahanya di bidang sumber
daya alam, atau setidaknya berkaitan dengan sumber daya alam yang mana hal ini
merupakan amanat dari pasal 74 UUPT. Konsep wajib (legal mandatory) CSR yang
terdapat dalam UUPT terbonsai dengan cukup rapi dalam PP nomor 47 tahun 2012
tentang TJSL. Dalam pasal 4 ayat (1) PP tersebut menyerahkan penganggaran CSR
diserahkan kepada mekanisme internal PT dan melepaskan kewenangan negara
untuk mengintervensi, sehingga konsep legal mandatory berubah menjadi
voluntary.34
Akibatnya konsep CSR sangat bergantung pada iktikad baik PT untuk
memasukkan dana CSR atau tidak dalam anggaran tahunannya. Jikapun dimasukkan,
apakah nilainya sebanding untuk pemberdayaan masyarakat dan menjaga kualitas
lingkungan.
Konsep CSR saat ini sudah merupakan konsep pertanggungjawaban yang
ketinggalan zaman. Baik dalam memberikan manfaat kepada masyarakat maupun
terhadap lingkungan. Hal ini dikatakan oleh Mr. Yaya W. Januardy sebagai
President Indonesia Global Compact Network, karena CSR hanya merupakan
konsep filantropis (kedermawanan). Selain itu, penerapan CSR terbukti kurang tepat
dalam menjawab masalah terhadap imbas sosial dan lingkungan akibat beroperasinya
34
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt502d8a41c9e04/csr-tidak-lagi-wajib-broleh--
miko-kamal--phd, diakses pada 21 Maret 2016, pukul 01.12.
26
sebuah PT.35
Sebagai contoh, perseroan yang melakukan kegiatan usaha di bidang
perkebunan berpotensi menyebabkan kerusakan hutan yang mengakibatkan
pencemaran serta hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat. Dalam konsep
CSR, pertanggungjawaban sosial dan lingkungan dapat dilakukan dalam jenis
apapun seperti memberi sekolah gratis kepada sebagian masyarakat, bahkan tak
jarang CSR justru dilakukan di kota-kota jauh dari di mana kegiatan operasionalisasi
bisnis PT tersebut berjalan dan berimbas negatif kepada masyarkat lokal. Konsep
yang demikian tentulah tidak tepat dan tidak menjawab permasalahan yang ada.
Inilah yang menyebabkan sering munculnya konflik yang terjadi antara masyarakat
dan PT sehingga berujung kepada pelanggaran hak asasi manusia akibat sektor
bisnis.
2. Tanggung Jawab Perdata
Perseroan sebagai badan hukum memiliki personalitas hukum (legal entity)
sebagai subjek hukum,36
sehingga kapasitasnya setara dengan manusia pada
umumnya untuk melakukan perbuatan hukum. Begitu pula tanggung jawabnya.
Dalam hal tanggung jawab perdata, tidak ada permasalahan yang signifikan
mengenai tanggung jawab PT di bidang hukum perdata, karena jenis sanksi yang
dijatuhkan dalam bidang hukum privat ini berupa harta atau uang, sehingga PT juga
35
Materi disampaikan Yaya W. Januardy (President of Indonesia Global Compact Network)
pada konferensi nasional bisnis dan hak asasi manusia di FH UGM diselenggarakan oleh ELSAM
pada 15 November 2015.
36 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 116.
27
yang memiliki kekayaan dapat memenuhi tanggung jawab di bidang hukum perdata
seperti subjek hukum manusia.
Mengingat asas separate legal entity yang memisahkan badan hukum
perseroan dengan pengurus serta pemegang sahamnya, maka tanggung jawab perdata
yang dipikul oleh perseroan tidak menjadi kewajiban bagi pengurus dan pemegang
sahamnya. Sebagai contoh, seorang direksi tidak dapat dituntut akibat kontrak yang
dirinya buat untuk dan atas nama perseroan. Perseroan lah yang bertanggung jawab
atas kontrak tersebut.
Teori yang keluar untuk memberi penjelasan terhadap pertanggungjawaban
perdata perseroan adalah Teori Organ yang dikemukakan oleh von Gierke. Menurut
teori ini disamping perseoran tersebut terdapat organ-organ yang secara legal sebagai
representasi perseroan yang sah. Kehendak organ tersebut dianggap sebagai
kehendak perseroan sebagai badan hukum, 37
sehingga perseroan sebagai badan
hukum dapat bertanggung jawab secara kontraktual maupun akibat perbuatan
melawan hukum perseroan yang terepresentasi atas perbuatan organ perseoran atas
nama perseroan.
3. Tanggung Jawab Pidana
PT sebagai badan hukum memiliki konsekuensi juga wajib bertanggung
jawab seperti subjek hukum manusia, sehingga perlekatan tanggung jawab pidana
terhadap perseroan merupakan hal yang bukan tidak logis untuk dilakukan. Hal ini
37
MA Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pradnya Pramita, 1979),
h. 175.
28
dikatakan sebagai kejahatan korporasi yang mana didefinisikan oleh John
Braithwaite sebagai:
“…conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation,
which is proscribed and punishable by law”.38
Pada dasarnya, pertanggungjawaban pidana perseroan hanya dapat dikenakan
pidana denda jika tindak pidana yang dilakukan memang pantas diganjar dengan
denda, namun ada tindak pidana yang sulit untuk menjangkau PT dengan
menjatuhkan sanksi denda (fine), seperti pemerkosaan, pembunuhan, dan tindakan
sejenis lain. Untuk jenis pidana yang seperti ini perseroan ditempatkan sebagai pada
posisi membantu (aiding) dan bersekongkol (abetting) melakukan pidana,
berdasarkan konstruksi demikian berlaku sanksi denda terhadap PT, dan sanksi
pidana penjara kepada orang yang melakukan.39
Hukum positif Indonesia menyatakan peraturan perundang-undangan
telah menjangkau nomenklatur subjek hukum bukan perorangan seperti dalam
UU nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal memasukkan subjek hukum berupa
perusahaan. Dalam UU nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menggunakan subjek berupa badan usaha. Dalam UU nomor 20 tahun 2002
tentang Ketenagalistrikan memuat subjek berupa badan usaha. Dalam UU nomor
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menggunakan subjek badan usaha dan
badan-badan lainnya. Keberadaan peraturan di atas telah membuat terang bahwa
38
John Braithwaite, Corporations, Crime, and Accountability, (Cambridge: Cambridge
University Press, 1993), h. 132.
39 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 150.
29
perseroan sebagai badan hukum juga melekat tanggung jawab pidana pada
dirinya.40
4. Tanggung Jawab Perseroan menerapkan Good Coporate Governance
Good Corporate Governance atau sering disingkat GCG merupakan konsep
manajemen perusahaan yang wajib diimplementasikan oleh PT khususnya PT
terbuka agar teciptanya suasana kondusif dalam PT dan menihilkan tindakan curang
yang akan merugikan pihak-pihak yang beriktikad baik dalam PT, namun tidak
berarti membolehkan PT tertutup dapat bertindak di luar GCG dan berujung pada
merugikan pihak-pihak tertentu.
Kewajiban perusahaan dalam menerapkan GCG bukanlah murni berdasarkan
pemikiran legislator dalam negeri. Indonesia baru menerapkan GCG ketika desakan
International Monetery Fund (IMF), World Bank, dan Asian Development Bank
mensyaratkan implementasi GCG oleh PT di Indonesia pada semua sektor industri
dan usaha dalam menjalankan kegiatannya ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997-
1998.41
Desakan tersebut sebagai syarat mutlak apabila Indonesia ingin mendapat
kucuran dana pinjaman untuk keluar dari krisis moneter. Akhirnya pada tahun 1999
Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) yang dibentuk
berdasarkan Keputusan Menteri Kordinasi Ekonomi dan Keuangan Nomor:
40
Ibid, 152-158.
41 I Nyoman Tjager, Corporate Governace, Tantangan dan Kesempatan Bagi Komunitas
Bisnis Indonesia, (Jakarta: Prenhalindo, 2003), h. 71-72.
30
KEP/31/M.EKUIN/08/1999 mengeluarkan pedoman Good Corporate Governance
(GCG) sebagai acuan setiap perusahaan menerapkan GCG.
Meskipun banyak teori penyebab hal di atas terjadi, namun yang menjadi
fokus kajian ini adalah bahwa GCG telah menjadi kewajiban yang harus diterapkan.
Yang apabila tidak diterapkan, maka akan menghilangkan minat bisnis terhadap
pihak tersebut. Hal ini memberikan gambaran bahwa GCG dapat menjadi daya jual
perseroan dalam pasar saham sehingga keberadaannya sangat penting.
GCG didefinisikan sebagai suatu proses dan struktur yang digunakan oleh
organ perusahaan guna memberikan nilai tambah pada perusahaan secara
berkesinambungan dalam jangka panjang bagi pemegang saham, dengan tetap
memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundang-
undangan dan norma yang berlaku.42
Keberadaannya adalah untuk menjamin agar
perseroan dapat survive sesuai dengan maksud dan tujuannya.
Panduan atau standar sebuah perusahaan untuk menerapkan GCG
dikeluarkan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation & Development)
dengan nama Guidelines for Multinational Corporations and Principles of Corporate
Governance. Keberlakuannya memang masih voluntary binding, namun kehendak
bisnis menjadikannya seakan kewajiban. Faktanya perusahaan-perusahaan yang tidak
menerapkan GCG tidak memiliki daya jual terhadap korporasi lain untuk melakukan
42
Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance, Pedoman Komisaris Independen dan
Pedoman Pembentukan Komite Audit Yang Efektif, (Jakarta: Gugus Kerja Komite Nasional Kebijakan
Corporate Governance, 2004), h. 3.
31
kerjasama. Di mana perseroan sebenarnya layaknya manusia yang membutuhkan
entitas lain untuk bertahan hidup (survive).
Penerapan GCG berpijak kepada 5 asas yaitu:43
a. Transparency (keterbukaan informasi), yaitu keterbukaan dalam
melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam
mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.
b. Accountability (akuntabilitas), yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem, serta
pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan
terlaksana secara efektif.
c. Responsibility (pertanggungjawaban), yaitu kesesuaian (kepatuhan) di dalam
pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan
perundangan yang berlaku.
d. Independency (kemandirian), yaitu suatu keadaan di mana perusahaan
dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau
tekanan dari pihak manajemen yang tidak sesuai dengan peraturan dan
perundangan-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang
sehat.
e. Fairness (kesetaraan dan kewajaran), yaitu perlakuan yang adil dan setara di
dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian
serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
43
Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi (I), (Bandung : Books Terrace & Library,
2007), h. 152.
32
Kewajiban PT untuk menerapkan GCG dalam hukum positif Indonesia masih
samar-samar. Ketentuan tersebut terdapat dalam penjelasan pasal 4 UUPT yang
menyatakan:
“Berlakunya undang-undang ini, anggaran dasar Perseroan, dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lain, tidak mengurangi kewajiban setiap
Perseroan untuk menaati asas itikad baik, asas kepantasan, asas kepatutan,
dan prinsip tata kelola Perseroan yang baik (good corporate governance)
dalam menjalankan Perseroan.”
Selain UUPT, UU nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM) juga
telah memuat beberapa norma yang mengadopsi prinsip GCG. 44
Hal itu termuat
dalam pasal 82-84 mengenai memesan efek terlebih dahulu, benturan kepentingan,
penawaran tender, pengabungan, peleburan, serta pengambilalihan.45
44
M. Irsan Nasarudin & Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), h. 235-236.
45 Indra Surya & Ivan Yustiavanda, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta : PT Kencana
Prenada Media Group, 2006), h. 119.
33
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG UNITED NATIONS GUIDING PRINCIPLE
ON BUSINESS AND HUMAN RIGHTS (UNGP)
A. Sejarah Lahirnya UNGP
UNGP adalah sebuah referensi yang dikeluarkan dan disahkan oleh Dewan Hak
Asasi Manusia PBB untuk negara dan perusahaan agar mengintegrasikan
penghormatan, perlindungan, dan pemulihan HAM dalam setiap bisnis yang
beroperasi di dunia. Prinsip ini kemudian diterima dengan suara bulat dan diadopsi
menjadi Resolusi Dewan HAM PBB (UNHRC) No. 17/4 16 Juni 2011.46
Isu HAM bukan merupakan pembicaraan baru dalam kehidupan dunia.
Keberadaanya semakin dibutuhkan seiring semakin menguatnya kehendak individu
dan badan hukum untuk hidup sejahtera dan mengembangkan bisnisnya untuk
memperbesar keuntungan. Pararel dengan kehendak tanpa batas itulah pelanggaran
HAM seringkali mengikuti. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Multinational
Corporations (MNCs) atau Transnational Corporations (TNCs) bukanlah
kekhawatiran, melainkan telah terjadi nyata dan mengancam hak asasi manusia.
Studi yang dilakukan oleh International Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA)
46
Guiding Principles on Business and Human Rights, Implementing the United Nations
“Protect, Respect, and Remedy” Framework. UNHRC, 2011. h. iv.
34
menunjukkan bagaimana MNCs/TNCs beroperasi dan mengabaikan hak asasi
manusia.47
Tabel 1:
47
K Robert Hitchock. 1997. “Indegenous Peoples, Multinational Corporations and Human
Rights.” Indigenous Affairs, IWGIA, No.2. dalam Ifdhal Kasim. 2010. “Tanggungjawab Perusahaan
terhadap Pemenuhan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya” (paper dalam Lokakarya Nasional
Komnas HAM, tidak diterbitkan).
35
Pada dasarnya, isu bisnis dan hak asasi telah dimulai sejak lama dengan berbagai
inisiatif yang dilakukan oleh berbagai pihak dengan mengeluarkan kesepakatan-
kesepakatan yang diharapkan diakui secara universal yakni :48
a. UNGC (United Nation Global Compact);
b. OECD Guidelines for Multinational Corporations and Principles of
Corporate Governance;
c. The World Bank Policy on Indigenous Peoples and Draft Policy on
Involuntary Resettlement;
d. Amnesty International’s Human Rights Guidelines for Companies;
e. The Global Sullivan Principles;
f. The Australian Non- Government Organisations’ Principles for the Conduct
of Company Operations within the Minerals Industry; and
g. The German NGO network’s Principles for the Conduct of Company
Operations within the Oil and Gas Industry.
Upaya untuk itu kemudian dilanjutkan oleh sebuah badan di bawah PBB pada
tahun 1998 dengan mengeluarkan Rancangan Norma tentang Tanggung Jawab
Perusahaan terkait HAM. Rancangan itu diterbitkan pada 2003 bertajuk “Norms on
the Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises
48
Crish Ballard, “Human Rights and the Mining Sector in Indonesia: A Baseline Study”,
(Canberra: MMSD, 2001), h. 9.
36
with Regard to Human Rights,” yang dikenal dengan sebutan the Draft Norms.49
Perdebatan terjadi antara aktivis HAM yang mendukung draf tersebut dengan
kalangan bisnis yang menolaknya.
PBB batal mengadopsi draf tersebut padahal mereka sendiri mengatakan bahwa
draf adalah sebuah elemen yang berguna. Setelah perdebatan yang berujung pada
terbuangnya the Draft Norms, Koffi Anan selaku Sekretaris Jenderal PBB saat itu
menunjuk John Ruggie untuk mempertemukan para stakeholder kembali membahas
tentang perkembangan bisnis dan hak asasi manusia dari pendekatan yang berbeda.
Pada akhirnya John Ruggie mampu membuat laporan terhadap Dewan HAM PBB
berupa pedoman prinsip hak asasi yang bernama Guiding Principles on Business and
Human Rights, Implementing the United Nations “Protect, Respect, and Remedy”
Framework (UNGP) atau lebih dikenal dengan nama Ruggie’s Principles,50
yang
diadopsi menjadi Resolusi Dewan HAM PBB nomor 17/4 16 Juni 2011.
UNGP mendasari panduan prinsip untuk bisnis dan HAM dengan tiga pilar
yakni perlindungan, penghormatan, dan pemulihan hak asasi manusia sebagai
berikut:51
49
IWGIA European Network On Indigenous Peoples, Business And Human Rights;
Interpreting The Un Guiding Principles For Indigenous Peoples; Report 16, 2014. h. 11
50 Business & Human Rights Initiative (2010), “How to Do Business with Respect for Human
Rights: A Guidance Tool for Companies,” The Hague: Global Compact Network Netherlands. H. 21-
22.
51 Guiding Principles on Business and Human Rights, Implementing the United Nations
“Protect, Respect, and Remedy” Framework. UNHRC, 2011, h. 1.
37
a. Kewajiban negara untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi
manusia dan kebebasan dasar.
b. Peran perusahaan bisnis sebagai organ khusus dari masyarakat yang
melakukan fungsi-fungsi khusus, sehingga harus mengikuti peraturan yang
berlaku dan menghormati hak asasi manusia.
c. Kebutuhan akan hak dan kewajiban yang sesuai dengan pemulihan yang
layak dan efektif ketika dilanggar.
Pada dasarnya, keberadaan pedoman ini adalah untuk mengklarifikasi berbagai
tindakan negara dan perusahaan tentang apa yang harus dilakukan dalam
menjalankan bisnis yang selaras dengan HAM. Pedoman ini juga digunakan untuk
mengklasifikasi tindakan atau kondisi apa saja yang merupakan bentuk
penghambatan atas penghormatan, perlindungan, dan pemulihan HAM.
B. Prinsip Umum UNGP
1. Kewajiban Negara Untuk Melindungi Hak Asasi Manusia
Prinsip tanggung jawab negara merupakan prinsip umum pertama yang
dicantumkan dalam UNGP. UNGP tidak berusaha untuk menggeser tanggung jawab
negara sebagai pemangku utama kewajiban dalam menjaga hak asasi manusia
kepada perusahaan. Negara tetap diletakkan sebagai pihak yang paling bertanggung
jawab untuk menjaga hak asasi manusia masyarakatnya.
Terdapat dua panduan utama dalam UNGP yang menuntut kewajiban negara
untuk melindungi hak asasi manusia. Prinsip pertama adalah:
38
“Negara-negara harus melindungi dari pelanggaran hak asasi manusia oleh
pihak ketiga, termasuk perusahaan bisnis, di dalam wilayah dan/atau
yurisdiksi mereka. Hal ini membutuhkan diambilnya langkah-langkah yang
pantas untuk mencegah, menyelidiki, menghukum dan memulihkan
pelanggaran tersebut melalui kebijakan, legislasi, peraturan, dan sistem
peradilan yang efektif”.52
Tugas negara untuk melindungi hak asasi manusia merupakan standar
prilaku, maka negara tidak secara langsung bertanggung jawab atas pelanggaran hak
asasi manusia oleh sektor swasta, namun negara dapat dikatakan melakukan
pelanggaran HAM ketika mereka tidak melaksanakan fungsi pencegahan,
penindakan, dan pemulihan, dengan otoritas yang dimiliki oleh negara, negara
dibebankan kewajiban untuk merumuskan kebijakan, legislasi, peraturan perundang-
undangan, dan sistem peradilan yang mengakomodir perlindungan hak asasi manusia
akibat operasionalisasi sektor bisnis.
Panduan yang kedua adalah:
“Negara-negara harus menyampaikan secara jelas harapan atau ekspektasi
bahwa seluruh perusahaan bisnis yang berdomisili di dalam wilayah
dan/yurisdiksi mereka menghormati hak asasi manusia di seluruh operasi
mereka”.53
Titik tekan dari panduan ini adalah kewajiban negara untuk membuat
peraturan yang menjangkau perusahaan grup negaranya yang beroperasi di negara
lain. Baik dalam bentuk perusahaan anak atau bentuk lainnya. Panduan ini berharap
agar negara investor tuan rumah tidak mengeksploitasi HAM di negara lain demi
52
Terjemahan United Nation Guiding Principle on Business and Human Rights; Framework to
Protect, Respect, and Remedy. (Jakarta: 2012, ELSAM). h. 14.
53 Ibid, h. 16.
39
kepentingan negara dan perusahaan negaranya saja. Hal ini selaras dengan
perkembangan hak asasi manusia generasi ke empat yang dikemukakan oleh Karel
Vasak yakni hak atas pembangunan yang diperhatikan oleh negara maju kepada
negara berkembang.54
Hak ini menuntut negara maju dan adidaya, agar senantiasa menghormati
keberadaan hak asasi manusia di atas negara yang masih berkembang.55
Tuntutan
tersebut terpostulasi menjadi hak untuk pembangunan, hak atas perdamaian, hak atas
sumber daya alam sendiri, hak atas lingkungan hidup yang baik, serta hak atas
warisan budaya sendiri. Hak tersebut pantas untuk disodorkan oleh negara
berkembang terhadap negara maju, yang mana mekanisme pertanggungjawabannya
sangat tergantung atas hubungan dan kerjasama internasional negara-negara terkait.
Hal ini penting mengingat tidak semua negara memiliki aturan yang cukup
mapan mengenai penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, akibat tingkat
kesadaran yang masih minim mengenai HAM di negara berkembang yang
dipengaruhi oleh rendahnya kualitas pendidikan yang mereka terima. Dengan
panduan ini, maka negara maju (tuan rumah) yang dipastikan memiliki kesadaran
tinggi melakukan kontribusi mereka terhadap pemajuan HAM di dunia dengan
mewajibkan korporasi negara mereka yang beroperasi di negara lain yang minim
54
Karel Vasak, A 30-Year Struggle: The Sustained Efforts to Give Force of Law to the
Universal Declaration of Human Rights, (Unesco Courier, 1977), h. 29-32.
55 Philip Alston, A Third Generation of Solidarity Rights: Progressive Development or
Obfuscation of International Human Rights Law, (Amsterdam: Netherlands International Law Review
Vol 29. No. 3, 1982), h. 307-322
40
akan pengaturan dan implementasi perlindungan HAM tetap menjaga dan tidak
melanggar HAM masyarakat di mana tempat mereka beroperasi.
Panduan ini telah dilaksanakan oleh beberapa negara yang mewajibkan
perusahaan induk negara mereka yang memiliki dampak ekstrateritorial memberikan
laporan mengenai operasi global dari keseluruhan perusahaan, membuat instrumen
hukum lunak multilateral seperti Panduan untuk Perusahaan Multinasional dari
Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Guidelines for
Multinational Enterprises of the Organization for Economic Cooperation and
Development), dan standar performa yang dibutuhkan oleh institusi yang mendukung
investasi luar negeri. Pelaksanaan dari panduan di atas bahkan memungkinkan untuk
terjadi penuntutan berdasarkan kewarganegaraan pelaku kejahatan tanpa memandang
lokasi kejadiannya.56
UNGP memberikan 4 parameter negara dalam hal melindungi (protecting)
hak asasi manusia antara lain:57
a. Menegakkan hukum yang ditujukan kepada, atau memiliki dampak pada
keharusan perusahaan bisnis untuk menghormati hak asasi manusia, dan
56
Terjemahan United Nation Guiding Principle on Business and Human Rights; Framework to
Protect, Respect, and Remedy. (Jakarta: 2012, ELSAM). h. 18.
57 Terjemahan United Nation Guiding Principle on Business and Human Rights; Framework to
Protect, Respect, and Remedy. (Jakarta: 2012, ELSAM). h. 18-19.
41
secara periodik membuat penilaian atas kecukupan dari hukum tersebut
dan mengatasi kekurangan yang ada;
b. Memastikan bahwa hukum dan kebijakan yang lain mengatur
pembentukan dan operasi yang sedang berjalan dari perusahaan bisnis,
seperti hukum perusahaan, tidak menghambat tetapi membuat bisnis
menghormati hak asasi manusia;
c. Memberikan panduan yang efektif kepada perusahaan bisnis tentang
bagaimana menghormati hak asasi manusia dalam pelaksanaan operasi
mereka;
d. Mendorong, dan ketika pantas mensyaratkan perusahaan bisnis untuk
berkomunikasi tentang bagaimana mereka mengatasi dampak-dampak
hak asasi manusia.
2. Tanggung Jawab Perusahaan Menghormati Hak Asasi Manusia
Prinsip umum yang kedua dalam UNGP adalah meletakkan tanggung jawab
perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia di manapun ia berada. Meskipun
hukum nasional negara di mana tempat ia beroperasi tidak menjadikan isu hak asasi
sebagai hal yang utama, namun kembali ditegaskan bahwa panduan ini sama sekali
tidak berusaha menggeser beban pertanggungjawaban negara sebagai pemangku
utama perlindungan hak asasi manusia.
Dalam hal tanggung jawab perusahaan untuk menghormati hak asasi
manusia, perusahaan bukan hanya diharapkan tidak melanggar hak asasi manusia,
42
namun juga diharapkan menghindari keterlibatan pelanggaran hak asasi manusia
yang dilakukan oleh pihak ketiga yang memiliki hubungan bisnis dengan perusahaan
tersebut. Jikapun pelanggaran telah terjadi, maka perusahaan wajib mengatasi akibat
hak asasi manusia yang merugikan tersebut.
Keterlibatan perusahaan dalam pelanggaran HAM dapat dilakukan melalui 3
kondisi antara lain:58
a. Causing, yakni menyebabkan. Artinya perusahaan sebagai aktor langsung
yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Seperti
dengan melibatkan anak di bawah umur untuk bekerja dengan jam yang
tinggi, tenaga kerja tanpa upah, dan lain sebagainya.
b. Contributing, yakni berkontribusi. Maksudnya adalah perusahaan tidak
bertindak sebagai aktor langsung terjadinya pelanggar HAM, namun
memberi kontribusi melalui instruksi atau tekanan kepada perusahaan
penyebab. Sebagai contoh perusahaan yang membutuhkan bahan mentah
dari supplier akibat permintaan pasar yang menumpuk, perusahaan
memaksa supplier untuk memproduksi bahan baku lebih banyak dan lebih
cepat. Akibatya supplier menekan karyawannya untuk berkerja di luar
jam kerja dengan pemaksaan yang memunculkan pelanggaran HAM.
c. Link In, memiliki hubungan. Meskipun perusahaan tidak menyebabkan
dan tidak berkontribusi terhadap dampak merugikan hak asasi manusia,
58
United Nations Human Rights Office of the High Commissioner, Tanggung Jawab
Perusahaan untuk Menghormati Hak Asasi Manusia, diterjemahkan oleh Adila Alin Almanar,
(Jakarta: ELSAM, 2014), h. 22.
43
namun perusahaan dapat dikatakan melakukan hal itu melalui hubungan
bisnis perusahaan tersebut dengan perusahaan lain yang statusnya sebagai
menyebabkan dan berkontribusi. Hubungan tersebut dapat terjadi melalui
kegiatan, produk, serta jasa perusahaan yang memiliki hubungan. Sebagai
contoh, perusahaan memiliki kerjasama dengan perusahaan lain yang
melakukan pelanggaran HAM, namun perusahaan tidak menggunakan
daya tawar mereka agar perusahaan pelanggar tersebut mengehentikan
aktivitas nya. Kondisi ini perusahaan dikatakan memiliki hubungan dalam
pelanggaran HAM oleh pihak ketiga.
Panduan UNGP memberikan arahan bahwa perusahaan wajib
mempertimbangkan risiko hak asasi manusia yang terdefinisi dalam the International
Bill of Human Rights yang terdiri dari 3 dokumen utama hak asasi manusia yakni
DUHAM, ICCPR, dan ICESCR. Selain itu, aturan hak asasi manusia yang ada dalam
deklarasi organisasi buruh internasional juga harus dipertimbangkan.59
Perusahaan dapat dikatakan menjalankan tanggung jawab hak asasi
manusianya apabila melakukan 3 hal utama yakni 1) Memiliki kebijakan komitmen
hak asasi manusia yang tergambar dalam setiap SOP hingga ke anak perusahaan; 2)
Melaksanakan dengan sungguh-sungguh identifikasi, pencegahan, pengurangan,
serta menghitung dampak dan penyelesaian akibat buruk hak asasi manusia akibat
perusahaan (human rights due diligence); 3) Melakukan pemulihan atas dampak
59
Terjemahan United Nation Guiding Principle on Business and Human Rights; Framework to
Protect, Respect, and Remedy. (Jakarta: 2012, ELSAM). h. 38.
44
yang ditemukan dari HRDD.60
Ketiga hal tersebut akan dibahas secara detail dalam
bahasan selanjutnya.
3. Akses atas Pemulihan
Pemulihan adalah inti dari penyelesaian pelanggaran HAM yang memiliki 2
aspek penting yakni prosedural dan substansial. Secara substansial, pemulihan
bertujuan untuk menghilangkan atau menyelesaikan kerugian HAM yang telah
terjadi. Pemulihan dilakukan dengan cara yudisial, admisnistratif, legislatif, atau
lainnya. Yang dapat berupa permintaan maaf, restitusi, rehabilitasi, kompensasi
finansial atau non finansial, serta sanksi hukuman. Sedangkan secara prosedural,
ketentuan tata cara pemulihan harus imparsial, dilindungi dari politik, korupsi, serta
usaha apapun untuk menghalanginya.61
Dalam mekanisme pemulihan (access to remedy) Ruggie’s Principles
terdapat 3 mekanisme dalam pemulihan HAM, yaitu:62
a. Mekanisme Hukum Berbasis Negara.
Mekanisme ini disediakan oleh negara sebagai langkah untuk pemulihan
terhadap pelanggaran HAM melalui jalur hukum domestik seperti badan
60
Asep Mulyana, Jurnal HAM, Vol 8, Mengintegrasikan HAM ke Dalam Kebijakan dan
Praktik Perusahaan”, (Yogyakarta: FH UGM, 2012), h. 265-281.
61 Terjemahan United Nation Guiding Principle on Business and Human Rights; Framework to
Protect, Respect, and Remedy. (Jakarta: 2012, ELSAM). h. 67-68.
62 Terjemahan United Nation Guiding Principle on Business and Human Rights; Framework to
Protect, Respect, and Remedy. (Jakarta: 2012, ELSAM). H. 70-76.
45
peradilan, ataupun komisi. Negara juga wajib menjamin bahwa
mekanisme ini berjalan efektif dengan tidak ada hambatan.
b. Mekanisme Pengaduan Non Hukum Berbasis Negara.
Hal ini berupa proses berbasis mediasi, ajudikatif, atau mengikuti cara
lainnya sesuai dengan budaya dan cocok dengan hak atau melibatkan
beberapa kombinasinya tergantung dari isu terkait, setiap kepentingan
publik yang terlibat, dan kebutuhan potensial dari pihak-pihak. Dalam
mekanisme ini, institusi HAM nasional memiliki peran yang sangat
penting.
c. Mekanisme Pengaduan Bukan Berbasis Negara.
Satu kategori dari mekanisme pengaduan bukan berbasis negara
mencakup semua yang diatur oleh sebuah perusahaan bisnis sendiri atau
dengan pihak terkait, oleh sebuah asosiasi industri atau sebuah kelompok
pihak-pihak terkait. Mekanisme ini non hukum, tetapi dapat
menggunakan proses ajudikatif, dialog, atau lainnya sesuai dengan
budaya dan sesuai dengan hak. Mekanisme-mekanisme tersebut dapat
menawarkan benefit seperti kecepatan akses dan pemulihan, mengurangi
biaya dan/atau capaian transnasional.
46
BAB IV
FORMULASI IMPLEMENTASI UNITED NATIONS GUIDING PRINCIPLE
ON BUSINESS AND HUMAN RIGHTS DALAM GOOD CORPORATE
GOVERNANCE OLEH PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA
A. Status dan Implementasi UNGP di Indonesia
UNGP yang dibuat oleh John Ruggie seorang pakar hukum dari Harvard
University sebagai utusan utama Sekretaris Jenderal PBB teradopsi secara bulat
dalam bentuk Resolusi Dewan HAM PBB (UNHRC) nomor 17/4 16 Juni 2011.63
Dalam tataran hukum internasional, resolusi adalah suatu rekomendasi dari suatu
masalah yang telah disetujui melalui konsensus maupun pemungutan suara menurut
aturan dan tata cara yang telah ditetapkan oleh organisasi internasional atau badan
yang bersangkutan. Istilah resolusi sebagaimana yang digunakan oleh PBB memiliki
arti yang luas, yakni tidak hanya mencakup akan suatu rekomendasi melainkan juga
keputusan.64
Berbeda dengan konvensi yang keberlakuannya menuntut adanya proses
ratifikasi oleh negara, resolusi yang dikeluarkan Dewan HAM PBB ini bersifat
morally binding yang kekuatannya baru mengikat apabila negara yang bersangkutan
menyatakan diri mendukung resolusi tersebut dan melakukan aksi nyata berupa
63
Guiding Principles on Business and Human Rights, Implementing the United Nations
“Protect, Respect, and Remedy” Framework. UNHRC, 2011. h. iv.
64 Marko Divac Oberg, The Legal Effect of Resolution of The UN Security Council and General
Assembly in The Jurisprudence of The ICJ , 16 Eur.J.Int’l.L.2006. h. 879.
47
adopsi resolusi ke dalam sistem hukum nasional. Sesuai dengan konvensi Wina yang
telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU nomor 1 tahun 1982, maka dokumen
internasional yang disepakati oleh negara berlaku mengikat secara moral menjadi
hukum kebiasaan internasional (Jus Cogen/Peremptory Norm) dan keberlakuannya
tidak menuntut adanya ratifikasi.65
Melalui Simposium Nasional mengenai Bisnis dan HAM, Direktorat Jenderal
Hak Asasi Manusia Kementerian Luar Negeri menyatakan spirit yang ada dalam
UNGP sejalan dengan apa yang dikehendaki Indonesia.66
Indonesia dalam menyikapi
UNGP menyatakan dukungannya untuk menjadikan prinsip tersebut sebagai acuan
bagi perusahaan di Indonesia untuk menghormati HAM.
Hukum Indonesia mengatur bahwa sebuah hukum internasional yang diakui oleh
Indonesia harus diimplementasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan
nasional. Setelah proses adopsi itu, barulah norma tersebut dapat berlaku efektif.
Begitu juga dengan UNGP. Prinsip-prinsip yang dikandung di dalamnya harus
diadopsi dalam berbagai peraturan-perundang-undangan di Indonesia barulah bisa
berlaku secara efektif. Pada dasarnya UNGP tidak membebankan tanggung jawab
65
Yang dimaksud dengan peremptory atau jus cogens adalah norma umum dalam hukum
internasional yang disepakati, diterima, dan diakui oleh negara-negara dalam masyarakat internasional
secara keseluruhan sebagai sebuah norma yang tidak boleh dilanggar dan atau dikurangi dan hanya
bisa dirubah jika lebih banyak negara-negara di dunia menyepakati, menerima, dan mengakui sebuah
norma lain yang subsekuen dengannya. Untuk lebih jelasnya, lihat Vienna Convention on the Law and
Treaties, 1958, Pasal 53.
66 http://ham.go.id/kegiatan/simposium-nasional-mengenai-bisnis-dan-ham diakses pada 12
September 2015, pukul. 22.11.
48
hukum atas pedoman yang ada di dalamnya, maka butuh langkah nyata dari negara
untuk merealisasikannya.
Seperti dalam laporan yang dikeluarkan oleh International Work Group on
Indigenous Affairs (IWGIA) bahwa lahirnya UNGP adalah berkat kejelian John
Ruggie mengambil pendekatan yang berbeda dengan pembahasan sebelumnya yakni
Draft Norm yang sama-sama berisi panduan hak asasi manusia dalam kegiatan bisnis
yang pada akhirnya ditolak. Penolakan tersebut akibat pendekatannya yang legally
binding sehingga mendapat penolakan keras dari berbagai pihak bisnis,67
maka dari
itu UNGP hadir sebagai panduan yang sifatnya voluntary binding atau mengikat
secara sukarela.
Laporan yang dirilis oleh HRRCA (Human Rights Resources Center ASEAN)
mengenai Indonesia, dikatakan bahwa Indonesia merespon dengan sangat positif
keberadaan UNGP. Indonesia meletakkan 2 isu utama yakni kewajiban negara dalam
mengambil pertimbangan dalam melakukan persetujuan bisnis dengan pihak ketiga.
Indonesia mengeluarkan pentingnya sistem peradilan yang independen.68
Respon
positif tersebut tentunya harus terimplementasi secara nyata sehingga Indonesia
dapat diperhitungkan dalam hubungan internasional karena bersikap responsif
terhadap isu perlindungan hak asasi manusia oleh perseroan.
67
IWGIA European Network on Indigenous Peoples, Business And Human Rights;
Interpreting The Un Guiding Principles For Indigenous Peoples; Report 16, 2014. h. 11
68 Human Rights Research Center ASEAN, Business and Human Rights in ASEAN A Baseline
Study. h. 95
49
Untuk mengukur tingkat kemauan negara terhadap adopsi UNGP dapat
dilakukan dengan melihat tingkat keselarasan peraturan perundang-undangan yang
ada dengan pedoman yang terdapat dalam UNGP. Hasil pengamatan penulis
terhadap beberapa Undang-undang terkait sektor yang bersinggungan langsung
dengan masyarakat dan menjadi sumber konflik adalah sebagai berikut:69
Pada dasarnya keselarasan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan
panduan yang ada dalam UNGP telah menyentuh ekspektasi yang cukup baik. Sesuai
dengan data yang di rilis oleh Setara Institute pada 1 November 2015
mengompilasikan beberapa peraturan yang bersentuhan dengan operasionalisasi
bisnis yang beririsan dengan kehidupan sosial. Setidaknya ada 11 undang-undang
yang telah sesuai (complience) dengan amanah yang ada dalam UNGP. Bahkan baru-
baru ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia mengeluarkan
produk hukum berupa Peraturan Menteri nomor 35/PERMEN-KP/2015 tentang
Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan yang secara tegas
menyatakan mengadopsi bahkan tindak lanjut dari adopsi UNGP dalam hukum
Indonesia.70
Aturan tersebut mewajibkan perusahaan perikanan yang ingin mendapat izin
berlayar harus memenuhi kriteria kepatuhan HAM yang di dapat dari human rights
due diligence atau pengecekan secara komprehensif mengenai pemenuhan hak asasi
69
Lihat Lampiran I.
70 http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20151130195247-92-95042/kkp-wajibkan
sertifikasi-ham-bagi-semua-perusahaan-ikan/, diakses pada 28 Maret 2016, pukul 01.59.
50
oleh perusahaan. Dalam aturan tersebut terdapat 7 bidang operasionalisasi yang harus
memiliki SOP (Standar Operasional Produksi) khusus dengan pendekatan
pemenuhan hak asasi manusia yakni 1) Keselamatan dan kesehatan kerja (K3); 2)
Sistem perekrutan awak kapal perikanan dan pekerja; 3) Sistem ketenagakerjaan; 4)
Tanggung jawab pengembangan masyarakat yang berkelanjutan; 5) Tenaga
keamanan; 6) Lingkungan; 7) Pengambilalihan lahan.71
Padatnya norma indah yang diatur dalam hukum tertulis Indonesia tetap tidak
memenuhi ekspektasi yang diamanahkan dalam UNGP, karena UNGP
mengamanahkan bahwa efektivitas penegakan hukum untuk mengimplementasikan
hukum materiil. Sayangnya penegakan hukum di Indonesia mengalami pasang surut,
bahkan penegakan hukum yang buruk mengakibatkan hukum kehilangan
kewibawaannya,72
sehingga hukum menjadi hiasan bernegara semata.
Selain tingkat keselarasan (compliency) antara norma peraturan perundang-
undangan dengan ekspektasi yang ada dalam UNGP. Kontribusi negara juga
diharapkan dalam hal hubungan bisnis negara dengan perusahaan asing dalam rangka
pelaksanaan public private partnership atau dalam Kontrak Karya. Dalam klausul
kontrak, negara diharapkan memasukkan nilai-nilai hak asasi manusia serta konsep
71
Lampiran Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
35/Permen-Kp/2015 Tentang Sistem Dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan.
72 Imam Sukadi, Jurnal Risalah Hukum: Matinya Hukum dalam Proses Penegakan Hukum di
Indonesia, (Samarinda: FH Universitas Mulawarman, 2011), h. 41.
51
penerapannya yang ada dalam UNGP sebagai bagian dari syarat berjalannya kontrak
tersebut.73
Dalam tinjauan perusahaan, meskipun undang-undang tidak mengatur secara
jelas dan tegas mengenai kewajiban penghormatan hak asasi manusia dengan konsep
yang ada dalam UNGP, namun berbagai organisasi internasional terkait entitas bisnis
mampu membuat perseroan-perseroan besar yang menjalankan aktivitas bisnis di
Indonesia mengikuti aturan main yang ada dalam UNGP.
Pengamatan penulis menemukan sudah ada 5 perusahaan besar yang
memberlakukan komitmen kebijakan hak asasi manusia dan mempublikasikannya ke
dalam berbagai media. Kelima perusahaan tersebut adalah British Petroleum,
Ericsson, HP, MSD (PT MSD Sharp Dohme Pharma Tbk, dan PT Uniliver Tbk.74
Uniliver sebagai contoh telah mengeluarkan pernyataan kebijakan hak asasi
manusia dengan benar-benar mengadopsi UNGP sebagai dokumen utama. Hal itu
tercermin dalam paragraf yang berjudul “Kebijakan Kami”. Uniliver juga tergabung
dalam OECD (Organization for Economic and Cooperation Development) dan
menjadi anggota UNGC (United Nations Global Compact).
Uniliver memasukkan nomenklatur hak asasi manusia dalam kode prinsip bisnis
mereka yang berbunyi:
73
Imam Prihandono, Kerangka Hukum Pengaturan Bisnis dan HAM di Indonesia, (Jakarta:
ELSAM, tidak ada tahun), h. 8-9.
74 Tidak menutup kemungkinan masih banyak perusahaan selain 5 perusahaan yang penulis
jangkau yang mengadopsi UNGP dalam kegiatan bisnis mereka.
52
“Melakukan operasi dengan kejujuran, integritas, dan keterbukaan,
serta menghormati hak asasi manusia dan kepentingan karyawan.
Dan bahwa kami pun harus menghormati kepentingan resmi dari
siapa saja yang berhubungan dengan kami.”
Uniliver juga mewajibkan mitra bisnis untuk melakukan apa yang diterapkan oleh
mereka. Hal ini sesuai dengan amanah dari UNGP untuk menggunakan daya tawar
agar entitas bisnis yang memiliki rantai nilai dengan perseroan dapat menghormati
hak asasi manusia.
Dari kelima perseroan di atas yang menerapkan UNGP dalam kegiatan bisnisnya
dapat kita lihat kesadaran hak asasi manusia yang tinggi. Kesadaran ini nampaknya
tidak hanya berangkat dari kepentingan masyarakat sekitar yang terkena imbas dari
kegiatan bisnis. Kesadaran ini tampaknya juga untuk memenuhi ekspektasi dan
persaingan dalam pasar, karena pada dasarnya pemenuhan dan penghormatan
terhadap hak asasi manusia berpengaruh terhadap reputasi perseroan yang
berimplikasi pada diterima atau tidaknya produk mereka di pasar.75
Kesadaran hak asasi manusia oleh masyarakat eropa yang sangat tinggi
mempengaruhi implementasi dari UNGP meskipun keberlakuannya hanya voluntary
binding. Kesadaran membawa pasar yang mewajibkan UNGP diadopsi oleh
perseoran, bahkan oleh negara melalui undang-undang. Tidak hanya di Eropa,
Singapura juga telah memiliki kesadaran yang tinggi.
75
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cbea88c5cc4d/kepatuhan-ham-tentukan-
reputasi-korporasi , diakses pada 28 Maret 2016, pukul 07.26.
53
Baru-baru ini ketika terjadi kebakaran lahan yang sangat luas di Indonesia yang
terbukti melibatkan anak perusahaan APP (Asia Pulp and Paper), produk tissue PT
tersebut di boikot karena dianggap melanggar hak atas lingkungan hidup bagi
masyarakat Indonesia, Malaysia, dan Singapura.76
Mau tidak mau jika produk APP
ingin bersaing di pasar internasional maka mereka harus mengadopsi UNGP dalam
manajemen internal perseroan dan sebisa mungkin menjaga tidak terjadi pelanggaran
hak asasi manusia.
Kondisi di atas menggambarkan berjalannya pendekatan cost accounting yang
dikemukakan oleh Nash June dan Max Kirsch bahwa keuntungan merupakan
tujuan utama dari perseroan.77
Pasar merupakan sarana utama para perseoran dalam
mendulang keuntungan. Menciptakan konstruksi alamiah yang membuat pasar
mengharuskan terpenuhinya hak asasi manusia oleh perseroan yang memproduksi
sesuatu merupakan cara yang cerdas untuk menjadikan pedoman tersebut efektif.
Dalam konteks ini kita ditunjukkan bahwa legal culture yang dikemukakan oleh
Lawrence M. Friedman mampu menjadi tumpuan utama perlindungan HAM meski
di tengah minimnya penegakan hukum yang dilakukan oleh negara. Tingginya
kesadaran hukum maka otomatis tinggi pula tingkat kepatuhan manusia terhadap
norma-norma yang ada. Sebenarnya kesadaran ini di dorong oleh diadopsinya UNGP
76
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20151012134544-11384416/supermarket-
singapura-boikot-produk-asia-pulp-paper/ , diakses pada 28 Maret 2016, pukul 05.59.
77 Nash June and Max Kirsch, Corporate Culture and Social Responsibility : The Case Toxic
Wastes in a New England Community. (University Press of America, Maryland: 1994) h. 367
54
oleh organisasi-organisasi bisnis internasional yang memiliki peran vital dalam dunia
bisnis internasional seperti UNGC dan OECD. Keduanya menambahkan prinsip hak
asasi manusia dalam ketetapan standar perusahaan yang dapat diterima sebagai
anggota.78
B. Formulasi Implementasi United Nations Guiding Principle on Business and
Human Rights dalam Good Corporate Governance oleh Perseroan di
Indonesia
Kita telah melihat bagaimana bentuk implementasi UNGP yang dilakukan oleh
beberapa perusahaan dalam bentuk pernyataan komitmen kebijakan hak asasi
manusia. Perusahaan-perusahaan tersebut melaksanakan amanah UNGP karena
mereka adalah perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia. Di mana negara asal
mereka terikat dalam OECD yang mewajibkan melaksanakan UNGP di setiap induk
dan anak perusahaan. Atau mendaftarkan diri di UNGC sebagai langkah pembukaan
jaringan bisnis internasional.
Implementasi UNGP oleh perusahaan dilakukan dengan sebuah proses yang
dikenal dengan Uji Tuntas Hak Asasi Manusia (Human Rights Due Diligence) yang
meliputi sebuah proses pengelolaan terus-menerus yang perlu dilakukan sebuah
perusahaan yang hati-hati, bijaksana, sesuai dengan keadaannya (termasuk sektor,
konteks operasi, ukuran, serta faktor serupa) untuk memenuhi tanggung jawabnya
untuk menghormati hak asasi manusia.
78
Elsam dan OECD, Panduan OECD bagi Perusahaan-Perusahaan Multinasional, Edisi
2011, (Jakarta: ELSAM, 2015). h. v.
55
Bagi perusahaan Indonesia yang merupakan anak perusahaan asing, atau yang
memiliki kepentingan pasar di Uni Eropa dan USA mau tidak mau harus harus
mengintegrasikan UNGP dalam kegiatan perusahaannya, karena wilayah pasar di
atas telah memberlakukan UNGP sebagai filter dalam pengadaan barang import.
Produk mereka akan tertolak masuk pasar eropa jika tidak memenuhi standar HAM.
Seperti yang terjadi di EU, UNGP telah memainkan peran penting terhadap
perdebatan atas CSR. Pengertian CSR di Eropa pada awalnya adalah “A concept
whereby companies integrate social and environmental concerns in their business
operations and in their interactions with their stakeholders on voluntary bases”,
pasca diadopsinya UNGP sebagai resolusi PBB terjadi perubahan signifikan di yang
di lakukan European Commission terkait CSR, hingga kemudian definisi CSR
berubah menjadi “…the responsibility of enterprises for their impacts on society”.79
Perubahan tersebut memiliki pemaknaan yang berbeda, di mana awalnya CSR
hanya sebagai proyek filantropis yang tidak menekankan pemulihan akibat impact
yang terjadi pada masyarakat terdampak. CSR dapat dilakukan kapanpun dan di
manapun dengan cara apapun. Berbeda kali ini ketika CSR mendasarkan pada
pendekatan HAM yang terdapat dalam UNGP, CSR harus dilakukan dengan
menitiktekankan pada pemulihan terhadap pemangku kepentingan terdampak. Saat
ini EU mewajibkan negara-negara anggota (state members) untuk membuat Rencana
79
Maddalena Neglia, The Implementation of U.N. Guiding Principles on Business and Human
Rights: Some Reflections on European and US Experiences, (Maastricht: The author, 2014). H, 3.
56
Aksi Nasional (NAP/National Action Plan) khusus hak asasi manusia sebagai
legalitas kewajiban penghormatan HAM dalam dunia bisnis.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengadopsi UNGP agar efektif di
Indonesia adalah dengan membuat Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM (NAP)
sebagaimana amanah UNGP. NAP tersebut dapat dibuat dalam bentuk hukum
peraturan presiden mengingat proses pembuatan dasar hukum yang tidak berbelit
serta aplikatif. Bentuk peraturan presiden dirasa juga paling ideal karena juga akan
turut menjawab kewajiban pemerintah untuk menjamin hak asasi manusia, karena
peraturan presiden merupakan peraturan yang dibuat dalam rangka
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
Norma yang terdapat dalam peraturan presiden tersebut dapat menjadi dasar
lembaga seperti OJK (Otoritas Jasa Keuangan) untuk meningkatkan peraturan
mengenai GCG. Berkaca pada sejarah GCG yang merupakan kewajiban dari dunia
internasional terhadap Indonesia. GCG yang mengacu pada beberapa peraturan
bapepam dan panduan umum GCG yang dikeluarkan oleh Komite Nasional
Kebijakan Corporate Governance mengacu pada OECD dengan dokumen
Guidelines for Multinational Corporations and Principles of Corporate Governance.
Pada tahun 2011 telah terjadi perubahan terhadap dokumen OECD terkait GCG.
Perubahan dalam dokumen tersebut antara lain adalah:80
80 Elsam dan OECD, Panduan OECD bagi Perusahaan-Perusahaan Multinasional, Edisi
2011, (Jakarta: ELSAM, 2015). h. v.
57
a. Sebuah bab baru tentang hak-hak asasi manusia, yang sesuai dengan asas-
asas panduan tentang bisnis dan hak-hak asasi manusia: Melaksanakan
Kerangka Kerja “Melindungi, Menghormati, dan Pemulihan”
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
b. Sebuah pendekatan yang baru dan menyeluruh terhadap pelaksanaan
pemeriksaan menyeluruh (due diligence) dan pengelolaan rantai pasokan
(supply chain) yang bertanggung jawab menunjukkan perkembangan
penting dibanding dengan pendekatan-pendekatan yang dipakai
sebelumnya.
c. Perubahan-perubahan penting di banyak bab-bab khusus, seperti tentang
Ketenagakaerjaan dan Hubungan Industrial; Pemberantasan Penyuapan,
Permintaan Suap dan Pemerasan, Lingkungan Hidup, Kepentingan
Konsumen, Keterbukaan dan Perpajakan.
d. Panduan atas prosedur yang lebih jelas dan diperkuat untuk menguatkan
peran NCPs, meningkatkan kinerja mereka dan memajukan fungsi yang
serupa.
e. Sebuah agenda implementasi yang proaktif untuk membantu perusahaan-
perusahaan memenuhi berbagai tanggung jawab mereka seiring dengan
munculnya tantangan-tantangan yang baru.
Perubahan yang ada dalam OECD dengan mengadopsi UNGP dapat menjadi
alasan tambahan untuk secepatnya Indonesia memberlakukan prinsip bisnis yang
58
menghormati HAM. Mekanisme tanggung jawab perusahaan untuk menghormati
HAM yang dilekatkan dalam tataran GCG khususnnya bagi perusahaan grup akan
memudahkan kontrol masyarakat terhadap kinerja perusahaan. Seperti dalam hal
publikasi laporan tahunan grup perusahaan yang diwajibkan oleh OJK berdasarkan
Peraturan BAPEPAM nomor X.K.1 tentang Keterbukaan Informasi yang Harus
Segera diumumkan Kepada Publik. BAPEPAM dapat memasukkan kewajiban
perusahaan untuk mengumumkan laporan mengenai dampak hak asasi manusia dan
upaya mitigasi dan remedi terhadap dampak potensial dan aktual HAM. Keterbukaan
ini akan mempermudah masyarakat dari berbagai pihak untuk melakukan kontrol
terhadap perusahaan mengenai bisnis yang menghormati HAM, karena saat ini
pemerintah sering lalai dalam melakukan kontrol terhadap perusahaan.
Dalam NAP, dapat dimasukkan tahap-tahap yang dikenal dengan nama Uji
Tuntas HAM yang harus dilakukan perusahaan termasuk perusahaan grup dalam
melakukan bisnis yang menghormati HAM sebagai berikut:
1. Kebijakan Hak Asasi Manusia “Mengatur Nada”
Salah satu unsur utama HRDD adalah adanya komitmen dan pengembangan
pernyataan kebijakan hak asasi manusia. Tahap ini tidak hanya bagaimana
menulis sebuah dokumen, melainkan butuh konsultasi dan langkah-langkah
perencanaan. Kebijakan hak asasi manusia harus menunjukan ekspresi tentang
komitmen untuk menghormati HAM dan memuat instruksi dan pedoman pada
59
pihak yang diharapkan menerapkan kebijakan ini (seluruh pihak terkait aktivitas
bisnis perusahaan).
Pokok dari pedoman unsur kebijakan HAM dalam HRDD adalah sebagai
berikut:
a. Melibatkan manajemen senior dan mencari persetujuan;
b. Mengidentifikasi dan mengevaluasi kebijakan dan komitmen yang ada;
c. Mempertimbangkan untuk melakukan pemetaan resiko hak asasi
manusia;
d. Melibatkan pemangku kepentingan internal dan eksternal dalam proses
tersebut;
e. Membuat pernyataan kebijakan mengenai hak asasi manusia.
Hasil dari uji tuntas tahap pertama ini adalah berupa kebijakan tertulis
atau pernyataan tentang komitmen terhadap hak asasi manusia.
2. Menilai Dampak “Dari Reaktif Menjadi Proaktif”
Unsur kedua dari HRDD membuat penilian resiko terhadap hak asasi
manusia. Unsur tersebut mempertimbangkan akibat-akibat negatif yang
mungkin muncul dari kegiatan-kegiatan yang direncanakan dan diusulkan untuk
individu dan masyarakat, dan menentukan prioritas tindakan yang harus
dilakukan untuk mengurangi resiko-resiko tersebut. Jika penilaian resiko tidak
berdasarkan identifikasi yang tepat, maka akan menghasilkan wilayah-wilayah
yang seharusnya prioritas dapat menjadi tak tersentuh. Berikut adalah ringkasan
tentang pokok panduan mengenai proses menilai dampak:
60
a. Memahami dampak-dampak pada hak asasi manusia;
b. Membedakan ragam proses dari penilaian dampak;
c. Melakukan pemetaan resiko hak asasi manusia;
d. Melibatkan fungsi manajemen resiko yang ada;
e. Mengidentifikasi resiko-resiko terhadap hak asasi manusia;
f. Memprioritaskan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko
tersebut;
g. Menggunakan hasil-hasil penilaian dalam operasi bisnis.
3. Integrasi “Tidak Sekedar Bicara”
Ketika harapan dibangun (kebijakan), dan area-area prioritas untuk uji
tuntas hak asasi manusia perusahaan diidentifikasi (penilaian dampak), elemen
yang berikutnya adalah mulai menyelenggarakan proses untuk bisa menangani
secara efektif dan mengurangi resiko-resiko yang ada. Pada intinya hal ini
merupakan penerapan hak asasi manusia pada sistem-sistem manajemen,
meliputi pelatihan, penilaian kinerja, sistem bonus, kebijakan dari manajemen
atas, sistem kontrol dan pengawasan, dan sebagainya.81
Berikut adalah pokok
panduan integrasi HAM dalam operasi bisnis perusahaan:
a. Memberikan tanggung jawab untuk hak asasi manusia;
b. Mengatur kepemimpinan dari atas;
81
Business & Human Rights Initiative (2010), “How to Do Business with Respect for Human
Rights: A Guidance Tool for Companies,” The Hague: Global Compact Network Netherlands. H. 79.
61
c. Melibatkan hak asasi manusia dalam proses perekrutan dan
pemberian kerja;
d. Membuat hak asasi manusia menjadi sebuah bagian yang tidak
terpisahkan dari budaya perusahaan;
e. Melatih manager dan karyawan utama;
f. Membangun insentif dan disinsentif;
g. Membangun kapasitas untuk menanggapi dilema dan kondisi yang
tidak bisa diperkirakan;
4. Melacak Kinerja “Mengetahui dan Menunjukan”
Unsur keempat dari uji tuntas hak asasi manusia adalah untuk melacak
bagaimana perusahaan memelihara komitmennya dalam menghormati hak asasi
manusia. Perusahaan harus melaporkan kinerjanya dan mengambil pelajaran
dari laporan tersebut bagi siklus atau proyek bisnis mendatang. Seperti halnya
penilaian dampak, proses ini digerakan oleh resiko-resiko aktual dan potensial
terbesar perusahaan terkait dengan hak asasi manusia. Hal ini, kemudian akan
diarahkan oleh kebijakan hak asasi manusia perusahaan, hasil dari penilaian
dampak, dan pelajaran yang didapat dari fase integrasi. Untuk sejumlah
perusahaan, melacak kinerja meliputi pengawasan dan audit terhadap pemasok,
pelanggan dan rekan-rekan bisnis lainnya.
Pokok utama dari unsur melacak kinerja ini adalah:
a. Memulai pelacakan dan pelaporan kinerja;
62
b. Membuat indikator kinerja utama yang spesifik bagi perusahaan;
c. Mempertimbangkan jenis-jenis indikator yang berbeda;
d. Melacak kinerja pemasok dan hubungan-hubungan lainnya;
e. Melakukan verifikasi kinerja dengan menggunakan beragam
instrumen;
f. Mempertimbangkan bagaimana melaporkan kinerja;
g. Mempertimbangkan bagaimana memperbaharui kinerja dan uji tuntas
hak asasi manusia.
5. Mekanisme Penanganan Keluhan “Peringatan Dini Solusi Efektif”
Ketika ada sesuatu yang salah dan orang-orang terkena dampaknya secara
negatif karena apa yang dilakukan oleh perusahaan, hal-hal tersebut harus
diperbaiki. Mekanisme untuk memperbaiki situasi-situasi seperti ini bukanlah
hal yang baru bagi perusahaan. Perusahaan mungkin menerapkan kebijakan
pelapor tindak pidana/pengungkap aib (whistleblower) di seluruh bagian, proses
penanganan keluhan, sistem orang kepercayaan, jejaring pendukung bisnis, dan
sebagainya. Akan tetapi, hal-hal tersebut kebanyakan untuk pemangku
kepentingan internal, sedangkan Ruggie telah menyatakan bahwa semua
pemangku kepentingan yang terkena dampak kegiatan-kegiatan perusahaan
harus mempunyai akses ke mekanisme penanganan keluhan, karena perusahaan
mempunyai peran yang penting untuk dimainkan dalam menyediakan akses ke
63
mekanisme ini, perusahaan bisa melakukan evaluasi ulang terhadap penggunaan
mekanisme penanganan keluhan mereka yang ada sekarang.82
Berikut adalah pokok unsur kelima dari HRDD:
a. Mengambil manfaat penuh dari mekanisme penanganan keluhan;
b. Membuat analisa kesenjangan tentang mekanisme penanganan
keluhan yang ada;
c. Menyesuaikan mekanisme penanganan keluhan dengan prinsip-
prinsip Ruggie;
d. Mempertimbangkan bagaimana berkontribusi pada mekanisme bagi
pemangku kepentingan eksternal;
e. Mengintegrasikan mekanisme penanganan keluhan pada manajemen
pemangku kepentingan;
f. Memperbaiki efektifitas mekanisme penanganan keluhan.
Uji Tuntas HAM oleh perusahaan yang ada dalam NAP tersebut dapat dijadikan
acuan oleh OJK untuk mewajibkan perusahaan grup menempatkan audit HAM
tersebut dalam setiap laporan tahunan sehingga masyarakat dan pemegang saham
mengetahui perbuatan perusahaan yang menghormati HAM.
Berikutnya hal yang luput dari perhatian para pemrakarsa implementasi UNGP
dalam oleh perusahaan Indonesia adalah bahwa semangat ini melibatkan perusahaan
82
Business & Human Rights Initiative (2010), “How to Do Business with Respect for Human
Rights: A Guidance Tool for Companies,” The Hague: Global Compact Network Netherlands. H. 113.
64
yang tolok ukur utama mereka adalah profit, sehingga persoalan HAM menjadi
nomor sekian, maka dari itu perlu upaya memasukkan HAM menjadi salah satu tolok
ukur perusahaan untuk mengejar profit. Perusahaan sangat bergantung pada pasar,
maka perubahan struktur pasar dengan menyisipkan penghormatan HAM dapat
menjadi jalan logis perusahaan menghormati HAM.
Perubahan struktur pasar tersebut dapat dilakukan dengan kampanye untuk
menyadarkan masyarakat mengenai bahaya perusahaan yang memproduksi suatu
barang dengan tidak memperhatikan hak asasi manusia. Produk yang dihasilkan
dengan cara tidak fair tentu dapat menekan cost produksi sehingga dapat ditetapkan
harga yang murah. Harga murah akan mendongkrak minat konsumen membeli
barang tersebut, namun perlu dipahami, bahwa penjatuhan minat pada produk yang
tidak menghormati HAM tersebut secara tidak langsung melanggengkan praktik
pelanggaran HAM yang dilakukan perusahaan kepada manusia dibelahan bumi lain.
Bahkan di daerah lain yang masih satu negara.
Selain itu, ketergantungan akan pembelian produk murah perusahaan pelanggar
HAM akan berimbas pada konsumen itu sendiri. Sebagai contoh perusahaan yang
bergerak di bidang pulp and paper dan menghasilkan tissue mengambil bahan baku
dari hutan Sumatera, Riau, dan Kalimantan. Produk tersebut dijual dengan harga
murah karena dilakukan dengan cara pembakaran hutan dan pembalakan liar.
Masyarakat yang hanya menjatuhkan indikasi harga murah untuk membeli, tanpa
sadar telah berkontribusi pada semakin menyengatnya panas terik matahari di
65
Indonesia. Pelepasan emisi yang dilakukan akibat operasionalisasi perusahaan
tersebut menjadi faktor menipisnya lapisan ozon sehingga terjadi pemanasan bumi
yang justru merugikan masyarkat.
Jika saja masyarakat diberikan kesadaran mengenai dampak akibat penjualan
produk yang melanggar HAM, maka minat konsumen untuk membeli barang dari
perusahaan pelanggar HAM akan berkurang. Jika pengurangan tersebut terjadi secara
masif, maka mau tidak mau perusahaan akan memberlakukan prinsip bisnis yang
menghormati HAM dalam kegiatan operasionalisasinya.
Upaya legal dengan melibatkan OJK dengan memanfaatkan kewajiban GCG
untuk memberlakukan prinsip bisnis yang menghormati HAM, serta upaya sosial
berupa kampanye penyadaran masyarakat dapat menjadi kombinasi efektif sebagai
roadmap menuju implementasi UNGP yang lebih praktis.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab-bab di atas, penulis dapat menarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. United Nations Guiding Principle on Business and Human Rights (UNGP)
merupakan dokumen internasional yang bersifat voluntary binding, sehingga
status hukumnya di Indonesia juga bersifat voluntary yakni berlaku secara
sukarela. Akibat kekuataan kesukarelaannya, UNGP saat ini masih hanya
menjadi sebuah pedoman standar tentang bagaimana bisnis yang
menghormati hak asasi manusia. Meskipun keberlakuannya masih sukarela,
telah terdapat beberapa perusahaan yang mengintegrasikan amanah UNGP
dalam bisnis mereka. Untuk meningkatkan keberlakuan UNGP menjadi
legally binding, maka diperlukan langkah pemerintah untuk menyerap atau
mengadopsi amanah yang ada dalam UNGP ke dalam peraturan perundang-
undangan di setiap tingkatan. Baik di undang-undang sampai ke peraturan
kementerian bahkan peraturan daerah. Dengan diadopsi menjadi hukum
nasional, maka keberlakuan UNGP berlaku mengikat dan wajib dijalankan
oleh setiap perusahaan di Indonesia.
67
2. Formulasi adopsi UNGP agar berlaku secara legal di Indonesia adalah dengan
mengadopsi nya dalam bentuk peraturan presiden. Peraturan presiden adalah
bentuk hukum paling baik untuk jangka pendek, karena mekanisme
pembuatannya yang tidak memerlukan proses politik yang rumit di DPR.
Selanjutnya, dari peraturan presiden tersebut memerintahkan kepada lembaga
negara terkait untuk membentuk aturan guna merealisasikan peraturan
presiden tersebut. Salah satunya adalah OJK. Mengingat OJK merupakan
lembaga yang berwenang di bidang pasar modal dan mengikat seluruh
perusahaan group di Indonesia, maka OJK dapat mengacu kepada peraturan
presiden tersebut untuk membuat peraturan OJK mengenai bisnis yang
menghormati manusia, dengan menyisipkannya menjadi bagian dari aturan
GCG. Untuk jangka panjang, UNGP dapat dimasukkan ke dalam beberapa
peraturan perundang-undangan. Seperti RUU Pertanahan, RUU CSR, dan
berbagai RUU lain yang terkait.
B. Saran
Dalam pembahasan pada bab-bab di atas, penulis memiliki saran sebagai berikut:
1. Pemerintah memrakarsai adopsi terhadap UNGP ke dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia dalam bentuk peraturan presiden untuk
jangka pendek. Mendorong OJK sebagai pihak yang pertama kali
membuat aturan internal untuk mengikat semua perusahaan grup agar
terjangkau dari prinsip UNGP. Serta diikuti oleh lembaga lain baik
68
kementerian maupun non kementerian. Untuk jangka panjang, pemerintah
dan DPR harus menggunakan pendekatan HAM dalam merevisi dan
membuat UU yang terkait bidang bisnis seperti UU Pertanahan, UU
Pertambangan, UU CSR, dan lain sebagainya.
2. Tanggung jawab penghormatan HAM oleh dunia bisnis harus
dipublikasikan oleh perusahaan grup agar mudah dikontrol masyarakat,
sehingga masyarakat juga dapat menilai dan memberi insentif serta
disinsentif sosial terhadap perusahaan yang baik dalam penerapan prinsip
bisnis dan HAM.
3. Akademisi, aktivis, dan LSM yang bergerak di bidang HAM mendorong
agar diskursus tentang bisnis yang menghormati hak asasi manusia
semakin meluas agar pemahaman masyarakat terkait tema a quo semakin
mapan, sehingga adopsi kebijakan dapat lebih mudah diterima di
masyarakat.
69
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Almanar, Adila Alin. Tanggung Jawab Perusahaan untuk Menghormati Hak Asasi
Manusia. (Jakarta: United Nations Human Rights Office of the High
Commissioner ELSAM. 2014
Alston, Philip. A Third Generation of Solidarity Rights: Progressive Development or
Obfuscation of International Human Rights Law. Amsterdam: Netherlands
International Law. 1982
Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2004
Asshiddiqie, Jimly dan Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006.
Ballard, Crish. Human Rights and the Mining Sector in Indonesia: A Baseline Study.
Canberra: MMSD. 2001
Bedjaoui, Mohammed. The Difficult Advance of Human Rights Towards
Universality, in Universality of Human Rights in a Pluralistic World.
European Community. 1990.
Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary. New York: Minn West Publishing.
1968
Braithwaite, John. Corporations, Crime, and Accountability. Cambridge: Cambridge
University Press. 1993.
Dirdjosisworo, Soedjono. Hukum Perusahaan mengenai Bentuk-Bentuk Perusahaan
(Badan Usaha) di Indonesia. Cetakan I. Bandung: CV Mandar Maju. 1997
Djojodirdjo, MA Moegni. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pradnya Pramita.
1979
ELSAM. Terjemahan United Nation Guiding Principle on Business and Human
Rights; Framework to Protect, Respect, and Remedy. Jakarta: Elsam. 2012
Elsam dan OECD. Panduan OECD bagi Perusahaan-Perusahaan Multinasional.
Edisi 2011. Jakarta: ELSAM. 2015
Fuady, Munir. Perseroan Terbatas Paradigma Baru. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti. 2003
Global Compact Network Netherlands. Business & Human Rights Initiative (2010),
How to Do Business with Respect for Human Rights: A Guidance Tool for
Companies. Amsterdam: The Hague. 2010
70
Harahap, M. Yahya. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika. 2011
Henkin, Louis. The International Bill Of Rights: The Universal Declaration and the
Covenants. International Enforcement of Human Rights. 1987.
Human Rights Research Center ASEAN. Business and Human Rights in ASEAN A
Baseline Study. Depok: HRRCA. 2011
Ifdhal Kasim. Tanggung Jawab Perusahaan terhadap Pemenuhan Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Komnas HAM. 2010
IWGIA European Network On Indigenous Peoples. Business And Human Rights;
Interpreting The Un Guiding Principles For Indigenous Peoples. Report
16. 2014
June, Nash and Max Kirsch. Corporate Culture and Social Responsibility: The Case
Toxic Wastes in a New England Community. Maryland: University Press
of America. 1994
Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance. Pedoman Komisaris Independen
dan Pedoman Pembentukan Komite Audit Yang Efektif. Jakarta: Gugus
Kerja Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance. 2004
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2010
Mulyana, Asep. Mengintegrasikan HAM ke Dalam Kebijakan dan Praktik
Perusahaan. Yogyakarta: FH UGM. 2012
Nasarudin, M. Irsan & Indra Surya. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta:
Kencana. 2004
Nasution, Bismar. Hukum Kegiatan Ekonomi (I). Bandung : Books Terrace &
Library. 2007
Neglia, Maddalena. The Implementation of U.N. Guiding Principles on Business and Human Rights: Some Reflections on European and US Experiences.
Maastricht: The Author. 2014
Oberg, Marko Divac. The Legal Effect of Resolution of The UN Security Council and
General Assembly in The Jurisprudence of The ICJ. 16 Eur.J.Int’l.L. 2006
Oliver, M.S, and E.A Marshall. Company Law; Handbooks, twelfth edition.
Singapore: Pitman Publishing. 1998
Prihandono, Imam. Kerangka Hukum Pengaturan Bisnis dan HAM di Indonesia.
Jakarta: ELSAM. Tidak ada tahun.
Pound, Roscoe. Pengantar Filsafat Hukum. Jakarta: Bhatara. 1996
Rizki, Rudi M. Tanggung Jawab Korporasi Transnasional dalam Pelanggaran Berat
HAM. Jakarta: PT Fikahati Aneska. 2012
71
Sastrawidjaja, Man S. dan Rai Mantili. Perseroan Terbatas menurut Tiga Undang-
undang. Jilid 1. Bandung: PT Alumni. 2007.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia
Press. 1986
Soekanto, Soerjono dan Marmudji. Pengertian Hukum Normatif Suatu Tindakan
Singkat. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2004
Sulistyowati. Aspek Hukum dan Realita Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia.
Jakarta: Erlangga. 2010
Sukadi, Imam. Jurnal Risalah Hukum: Matinya Hukum dalam Proses Penegakan
Hukum di Indonesia. Samarinda: FH Universitas Mulawarman. 2011
Surya, Indra & Ivan Yustiavanda. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta : PT Kencana
Prenada Media Group. 2006
Tjager, I Nyoman. Corporate Governance, Tantangan dan Kesempatan Bagi
Komunitas Bisnis Indonesia. Jakarta: Prenhalindo. 2003.
UNHRC. Guiding Principles on Business and Human Rights, Implementing the
United Nations “Protect, Respect, and Remedy” Framework. 2011
Usman, Rachmadi. Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. Bandung: PT
Alumni. 2004
Vasak, Karel. A 30-Year Struggle: The Sustained Efforts to Give Force of Law to the
Universal Declaration of Human Rights. Unesco Courier. 1977
Walker, David M. Oxford Law Dictionary. Oxford: Clarendon Press. 1980
Widjaja, I.G Rai. Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. Jakarta: Megapoin. 2000
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjadja, Seri Hukum Bisnis Perusahaan. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. 1999
Website
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt502d8a41c9e04/csr-tidak-lagi-wajib-
broleh--miko-kamal--phd
http://ham.go.id/kegiatan/simposium-nasional-mengenai-bisnis-dan-ham
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20151130195247-92-95042/kkp-wajibkan
sertifikasi-ham-bagi-semua-perusahaan-ikan/
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cbea88c5cc4d/kepatuhan-ham-
tentukan-reputasi-korporasi
72
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20151012134544-
11384416/supermarket-singapura-boikot-produk-asia-pulp-paper/
http://setara-institute.org/kabut-asap-dan-urgensi-adopsi-united-nations-guiding-
principles-ungpdalam-hukum-indonesia-2/
Peraturan Perundang-undangan
Undang Undang Dasar 1945 Republik Indonesia
Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165/Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3886)
Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106/ Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4756)
Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118/ Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4433)
Undang Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82/Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234)
International Convenant on Civil and Political Rights
International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights
The Universal Declaration of Human Rights
Vienna Convention on the Law Treaties 1961
Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 35/Permen-
Kp/2015 Tentang Sistem Dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1851)
DAFTAR UU & UN GUIDING PRINCIPLES
No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran
1 UU No. 22/ 2012
tentang Pengadaan
Tanah
a. Hak Ganti Kerugian
Dalam melaksanakan pengadaan tanah
demi kepentingan umum, pemerintah
wajib memberikan ganti kerugian dengan
nilai yang adil dan layak bagi para
pemegang hak yang dialihkan hak
milikinya untuk pembangunan.1
b. Hak atas Informasi
Pengadaan tanah juga mangharuskan
pihak pengadaan untuk memberikan akses
informasi dan sosialisasi yang seluas-
luasnya mengenai perencanaan
penyelenggaraan tanah. Serta informasi
tentang pengadaan tanah secara
keseluruhan. Hal ini penting untuk
memberikan masyarakat kondisi yang
sebenarnya terkait pengadaan tanah yang
akan mengambil hak mereka.2
a. Mekanisme penggantian ganti rugi
yang sepihak.3
b. Penetapan jumlah ganti rugi yang
sepihak.4
a. Tidak tersedia mekanisme pemuihan
(remedy) hak yang dirampas oleh
negara
2 UU No. 32/ 2009
tentang Perlindungan
dan Pengelolaan
a. Pengakuan hak atas lingkungan hidup
yang sehat dan baik.5
b. Pengakuan hak untuk mengakses
informasi, mendapat pendidikan
a. Pengecualian terhadap pembakaran
lahan, di mana demi kearifan lokal
boleh melakukan pembakaran
dengan batas maksimum 2 hektar
a. Masyarakat memiliki hak untuk
mengajukan pengaduan atas dugaan
terjadinya pencemaran lingkungan
hidup.12
1 Pasal 9 ayat (2) Undang-undang nomor 22 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah.
2 Pasal 55 Undang-undang nomor 22 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah.
3 Pasal 42 ayat (2) Undang-undang nomor 22 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah.
4 Pasal 43 Undang-undang nomor 22 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah.
5 Pasal 65 ayat (1) Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran
Lingkungan Hidup
lingkungan hidup, akses partisipasi, dan
akses keadilan atas lingkungan hidup yang
sehat.6
c. Pengakuan hak untuk mengajukan usulan
atau keberatan terhadap rencana usaha
atau kegiatan yang diperkirakan dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan.7
d. Pengakuan hak masyarakat adat.8
e. Larangan pembukaan lahan dengan cara
pembakaran.9
f. Memberikan imunitas terhadap orang
yang yang memprjuangkan hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat
tidak dapat dituntut secara pidana atau
digugat secara perdata.10
perkepala keluarga dengan
pemberian batas sekat agar api tidak
menjalar.11
b. Hanya saja, dalam undang-undang ini
masih meletakkan instansi
pemerintah sebagai pihak yang harus
menerima pengaduan. Bukan
terhadap korporasinya. Namun,
pengaduan yang disampaikan oleh
masyarkat terhadap petugas tetap
akan diverifikasi kepada perusahaan
yang diduga sebagai sumber
pencemar lingkungan.13
3 UU No. 4/ 2009
tentang
Pertambangan
Mineral dan Batu
Bara
a. Hak atas tanah masyarakat :
Dalam undang-undang ini, hak atas tanah
masyarakat mendapat perlindungan
dengan mewajibkan perusahaan pemegang
izin IUP dan IUPK hanya dapat
melaksanakan kegiatan eksplorasi ketika
a. Mekanisme penanganan pelanggaran
HAM akibat industri pertambangan:
1) Mekanisme Hukum:
Masyarakat yang terkena
dampak negatif langsung dari
kegiatan usaha pertambangan
12 Pasal 65 ayat (5) dan (6) ) Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 6 Pasal 65 ayat (2) Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
7 Pasal 65 ayat (3) Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
8 Pasal 63 ayat (1) huruf t Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
9 Pasal 69 ayat (1) huruf h Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
10 Pasal 66 Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
11 Penjelasan pasal 69 ayat (2) Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
13 Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 9 tahun 2010 tentang Tata Cara Pengaduan dan Penanganan Pengaduan Akibat Dugaan
Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup.
No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran
telah mendapat persetujuan dari pemegang
hak atas tanah yang bersangkutan.
Sehingga dalam hal kegiatan usaha,
perusahaan tidak bisa serta merta
memohon hak atas tanah tanpa mendapat
persetujuan terlebih dahulu dari
masyarakat.14
b. Hak atas Lingkungan Hidup :
1) Pemegang Izin Usaha Pertambangan
dan Izin Usaha Pertambangan Khusus
wajib mematuhi batas toleransi daya
dukung lingkungan.15
2) Pemegang IUP dan IUPK wajib
menjamin penerapan standar dan
baku mutu lingkungan sesuai dengan
karakteristik suatu daerah.16
3) Pemegang IUP dan IUPK wajib
menjaga kelestarian fungsi dan daya
dukung sumber daya air yang
bersangkutan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.17
4) Setiap pemegang IUP dan IUPK
wajib menyerahkan rencana reklamasi
dan rencana pascatambang pada saat
mengajukan permohonan IUP
Operasi Produksi atau IUPK Operasi
Produksi.18
berhak :22
- Memperoleh ganti rugi yang
layak akibat kesalahan
dalam pengusahaan kegiatan
pertambangan sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan.
- Mengajukan gugatan kepada
pengadilan terhadap
kerugian akibat pengusahaan
pertambangan yang
menyalahi ketentuan.
2) Mekanisme non Hukum:
Pemerintah pusat dan Provinsi
memiliki kewenangan untuk
penyelesaian konflik masyarakat
di daerah yang menjadi
kewenangan pemerintah
mengeluarkan IUP. Namun,
tidak ditentukan secara pasti
bagaimana mekanisme
penyelesaian konflik tersebut.23
14
Pasal 135 Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 15
Pasal 95 Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 16
Pasal 97 Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 17
Pasal 98 Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 18
Pasal 99 ayat (1) Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran
5) Pemegang IUP dan IUPK wajib
menyediakan dana jaminan reklamasi
dan dana jaminan pascatambang.19
c. Hak Keselamatan Kerja :
1) Pemegang IUP dan IUPK wajib
melaksanakan ketentuan keselamatan
dan kesehatan kerja pertambangan.20
d. Hak atas Pemberdayaan Masyarakat :
1) Pemegang IUP dan IUPK wajib
menyusun program pengembangan
dan pemberdayaan masyarakat.21
4 UU No. 25/2007
tentang Penanaman
Modal
a. Penghormatan Tradisi Masyarakat
Setempat
Undang-undang penanaman modal
mewajibkan setiap penanam modal wajib
menghormati tradisi budaya masyarakat
sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman
modal. Meskipun secara eksplisit dalam
pasal 15 dinyatakan demikian, tetapi tidak
ada langkah konkrit yang dijelaskan
dalam undang-undang ini bagaimana
penghormatan tersebut dilakukan. Dan
dalam kondisi seperti apa penghormatan
terhadap tradisi budaya tersebut
dilanggar.24
a. Hak Atas Tanah
Undang-undang memberikan
kemudahan dalam akses terhadap
hak atas tanah bagi para investor.
Namun, pemberian kemudahan
tersebut tampaknya memiliki potensi
memunculkan pelanggaran HAM
akibat jangka waktu yang terlampau
panjang yang diberikan oleh undang-
undang. Bahkan melewati 1
generasi. Dalam pasal 22,
kemudahan perizinan tersebut
diberikan untuk HGU, HGB, dan
Hak Pakai. Di mana bentuk dari
kemudahan tersebut memberikan
hak kepada investor untuk
a. Tidak ada
22
Pasal 145 ayat (1) Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 23
Pasal 6 – 8 Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 19
Pasal 100 ayat (1) Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 20
Pasal 96 huruf a Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 21
Pasal 108 ayat (1) Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 24
Pasal 15 huruf d Undang-undang nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran
b. Hak atas lingkungan hidup
Dalam undang-undang ini, investor wajib
menjaga kelestarian lingkungan hidup dalam
menjalankan kegiatan usahanya. Bahkan
untuk investor yang melakukan kegiatan
usaha di bidang sumber daya alam, wajib
mengalokasikan dana secara bertahap untuk
pemulihan lokasi yang memenuhi standar
kelayakan lingkungan hidup.25
mendapatkan izin waktu yang cukup
panjang, dapat diperpanjang di
muka, serta dapat diperbaharui.
Untuk HGB, perizinan diberikan
untuk jangka waktu 95 tahun, dapat
diperpanjang di muka 60 tahun, dan
diperbaharui selama 35 tahun.
Sehingga total nya adalah 200 tahun.
Bayangkan bahkan ini melampaui 3
generasi rata-rata usia hidup orang
Indonesia. Untuk HGU, perizinan
diberikan selama 80 tahun,
perpanjangan di muka 50 tahun, dan
diperbaharui 30 tahun. Total 160
tahun. Sedangkan untuk hak pakai,
perizinan diberikan selama 70 tahun,
perpanjangan di muka 45 tahun, dan
dapat diperbaharui selama 25 tahun.
Total 140 tahun. Dalam kontrak
yang sangat amat panjang ini tentu
potensi pelanggaran HAM akan
sangat besar karena perusahaan akan
sangat kuat menancapkan kuku nya
di Bumi Indonesia. Dan pengetahuan
masyarakat dari generasi ke generasi
tentang penanaman modal tersebut
semakin kabur.26
Meskipun pasal tersebut telah diuji
materil ke Mahkamah Konstitusi,
25 Pasal 16 huruf d Undang-undang nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 26 Pasal 22 ayat (1) huruf a, b, dan c Undang-undang nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran
melalui putusannya nomor 21-
22/PUU-V/2007 hanya membatalkan
perpanjangan di muka. MK
menghendaki agar perpanjangan
harus diajukan melalui permohonan
kembali. Namun tidak mengurangi
lamanya hak-hak tersebut dimiliki
oleh perusahaan.
5 UU 22/ 2001 tentang
Minyak dan Gas
Bumi
a. Hak atas Lingkungan Hidup
Secara normatif, UU Migas
mengharuskan setiap badan usaha
untuk menjamin lingkungan hidup
yang lestari. Jaminan tersebut adalah
membebankan kewajiban bagi badan
usaha untuk melakukan pencegahan
dan penaggulangan pencemaran serta
pemulihan atas terjadinya kerusakan
lingkungan hidup.27
b. Hak Keselamatan Kerja
UU Migas juga mewajibkan badan
usaha untuk menjamin keselamatan
dan kesehatan kerja dan wajib
memanfaatkan tenaga kerja setempat
terlebih dahulu. Bahkan, kontraktor
diwajibkan memberikan peningkatan
kualitas hunian bagi pekerja dan
masyarakat setempat demi terciptanya
hubungan harmonis antara kontraktor
dan masyarakat.28
a. Hak atas Tanah
Negara mewajibkan setiap
pemilik hak atas tanah harus
memberikan izin kepada
perusahaan untuk melakukan
eksplorasi dan eksploitasi di atas
tanah pemegang hak milik
dengan menunjukan Kontrak
Kerja Sama atau salinannya.
Dengan terlebih dahulu
mendapat kesepakan dalam
penyelesaian hak atas tanah atau
jaminan penyelesaian.30
Hal ini
berpotensi menimbulkan
pelanggaran HAM di mana
seharusnya kesepakatan sudah
secara penuh dieksekusi barulah
ekplorasi dan eksploitasi bisa
dilakukan. Mengingat upaya
yang dapat ditempuh hanyalah
upaya hukum.
a. Tidak ada
27 Pasal 39 ayat (1) huruf b Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 28
Pasal 74 ayat (2) Pereturan Pemerintah nomor 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran
c. Hak Ulayat
Badan usaha pada dasar nya harus
melakukan penyelesaian terhadap hak
atas tanah di atas tanah negara.
Penyelesaian tersebut dapat dilakukan
dengan cara jual beli, tukar-menukar,
ganti rugi yang layak, pengakuan atau
bentuk lain yang disepakati.
Pengakuan termasuk ke dalam
pengakuan atas hak ulayat, sehingga
musyawarah pelepasan hak ulayat
daat dilakukan secara hukum adat
pihak yang berkepentingan.29
6 UU No. 30/ 2009
tentang
Ketenagalistrikan
a. Hak atas Lingkungan Hidup.
Setiap kegiatan usaha di bidang
ketenagalistrikan wajib memenuhi
segala pengaturan yang ada di
peraturan perundag-undangan di
bidang lingkungan hidup.31
Dengan
kata lain, hak-hak yang di atur dalam
UUPPLH juga terakomodir dalam
UU Ketenagalistrikan.
a. Perizinan atas kegiatan usaha
ketenagalistrikan di atas tanah
ulayat, penyelesaiannya sesuai
dengan peraturan perundang-
undangan dengan
memperhatikan hukum adat
setempat.32
Yang mana dalam
peraturan perundang-undangan
di bidang pertanahan, pasal hak
ulayat selalu manjadi semantik.
Karena tertutup oleh pasal
kepentingan umum dan
kepentingan nasional. Tentu hal
a. Tidak ada mekanisme khusus.
Hanya ada beberapa pasal yang
mengatur mengenai tindak
pidana disertai dengan ganti
kerugian bagi korban.
30
Pasal 35 Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 29
Penjelasan pasal 34 UU nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 31
Pasal 42 Undang-undang nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. 32
Pasal 30 ayat (6) Undang-undang nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran
ini berpotensi melanggar hak
ulayat bagi masyarakat hukum
adat demi mendapat tanah untuk
melakukan kegiatan usaha
ketenagalistrikan.
Untuk kepentingan umum pula,
perusahaan dapat menggunakan
tempat milik pribadi untuk
kegiatan usaha ketenagalistrikan
dengan perizinan oleh instansi.33
Namun, mekanisme perizinan
tersebut tidak sama sekali
menyinggung soal kesepakatan
orang yang memiliki hak pribadi
tersebut.
b. Dalam pemanfaatan tenaga
listrik untuk segala jenis
instalasi baik pembangkit hingga
rumah tangga, wajib disertai
dengan Sertifikat Laik Operasi
(SLO),34
jika tidak dengan SLO,
maka akan dipidana maksimal 5
tahun dan denda 500juta
rupiah.35
Namun, tidak ada
jaminan apapun atas SLO
tersebut jika pada suatu waktu
instalasi mengalami kerusakan
hingga menimbulkan kerugian.
Sehingga SLO tersebut seakan
33
Pasal 27 ayat (1) huruf d Undang-undang nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. 34 Pasal 44 ayat (4) Undang-undang nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. 35 Pasal 54 ayat (1) Undang-undang nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran
hanya sebagai hambatan bagi
setiap orang untuk dapat
menikmati listrik. Ketentuan
tersebut diajukan Judicial
Review, akan tetapi putusan
Mahkamah hanya
menghilangkan sanksi pidana
maksimal 5 tahun dengan hanya
memberikan sanksi denda
karena dengan pertimbangan
bahwa SLO adalah syarat
administratif sehingga tidak
tepat dikenakan ultimum
remedium berupa pidana.
Namun, putusan ini tidak
berdampak besar pada potensi
pelanggaran HAM yang ada
dalam norma tersebut.36
7 UU No. 1/ 2011
tentang Perumahan
a. Hak atas Lingkungan Hidup
Undang-undang ini mengamanahkan
pembangunan perumahan harus
memperhatikan keserasian manusia
dengan lingkungan hidup. Meskipun
pasal ini tidak secara kuat menjamin
lingkungan hidup.37
b. Hak atas Keterbukaan Informasi:
Setiap orang berhak untuk mendapat
informasi yang berkaitan dengan
a. Dalam pembangunan perumahan
demi kepentingan umum,
mengacu kepada undang-undang
pengadaan tanah yang mana kita
tahu banya permasalahan yang
ada di sana seperti penitipan
ganti kerugian ke pengadilan
negeri dan tidak ada upaya
hukum atau keberatan atas itu.40
Dalam hal tanah yang dikuasai
negara terdapat tanah garapan
a. Tidak ada mekanisme khusus
atas hal ini. Hanya saja undang-
undangn ini memberikan hak
untuk mengajukan gugatan
secara class action.42
36 Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 58/PUU-XII/2014. 37 Pasal 58 ayat (2) huruf e Undang-undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan.
No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran
penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman.38
c. Hak Hunian yang layak:
Terdapat pengaturan mengenai
alokasi dana untuk pembangunan
rumah bagi masyrakat berpenghasilan
rendah sehingga memenuhi
kebutuhan atas hunian bagi seluruh
masyarakat.39
masyarakat, maka hak terhadap
perusahaan diberikan setelah
melalui proses penyelesaian
dengan ganti rugi kepada
masyarakat. Namun, undang-
undang memberikan angin
potensi pelanggaran HAM
dengan menyatakan “apabila
tidak terjadi kesepakatan,
penyelesaian sesuai dengan
peraturan perundang-
undangan’.41
Ini membuktikan
pengaburan terhadap ganti
kerugian sangat berpotensi
terlanggarnya hak masyarakat.
8 UU No. 1/ 2014
tentang Perubahan
atas UU No. 27/ 2007
tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
a. Hak masyarakat adat dan lokal.
Dalam Pemanfaatan ruang dan
sumber daya Perairan Pesisir dan
perairan pulau-pulau kecil pada
wilayah Masyarakat Hukum Adat
oleh Masyarakat Hukum Adat
menjadi kewenangan Masyarakat
Hukum Adat setempat.43
Dan jika
pihak lain ingin mengusahakan
wilayah pesisir, harus berdasarkan
izin menteri dengan pertimbangan
wilayah tersebut belum ada
40
Pasal 106 huruf f Undang-undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan. 42
Pasal 129 huruf f Undang-undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan. 38
Pasal 129 huruf c Undang-undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan. 39
Pasal 13 huruf g Undang-undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan. 41
Pasal 107 ayat (3) dan (4) Undang-undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan. 43
Pasal 21 ayat (1) Undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil.
No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran
masyarakat lokal yang melakukan
pemanfaatan.44
9 UU No. 31/ 2004 dan
UU No. 45/ 2009
tentang Perikanan
a. Hak atas lingkungan hidup yang
lestari
Pengelolaan perikanan di wilayah
Republik Indonesia harus dilakukan
untuk tercapainya manfaat yang
optimal dan berkelanjutan, serta
terjaminnya kelestarian sumber daya
ikan.45
Hal ini dilakukan dengan
pemerintah membuat kebijakan yang
mengatur mengenai besaran jumlah
ikan yang bisa ditangkap, ketentuan
standar operasional penangkapan
ikan, batasan pemakaian alat
penangkap ikan, dan lain sebagainya.
b. Hak masyarakat adat.
Pengelolaan untuk kepentingan
penangkapan ikan dan
pembudidayaan ikan harus
mempertimbangkan hukum adat dan
kearifan lokal. Di mana hukum adat
dan kearifan lokal yang dimasksud
adalah yang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional.46
a. Penggunaan alat peledak, bahan
biologis, bahan kimia, serta alat
lain dalam penangkapan ikan
dan pembudidayaan ikan dapat
diperbolehkan untuk melakukan
penelitian.47
a. Pada dasar nya tidak ada
mekanisme khusus yang
disediakan dalam undang-
undang ini. Hanya mekanisme
pengadilan khusus yakni
pengadilan perikanan untuk
tindak pidana di bidang
perikanan.48
44
Pasal 26A ayat (1) juncto ayat (4) Undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 45
Pasal 6 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. 46
Pasal 6 ayat (2) dan Penjelasan pasal 6 ayat (2) Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan 47
Pasal 8 ayat (5) Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran
10 UU No. 39/ 2014
tentang Perkebunan
a. Hak Ulayat
Usaha perkebunan yang diatur dalam
UU ini harus memperhatikan
keberlangsungan hak ulayat. Secara
normatif, telah di amanahkan dalam
UU bahwa setiap pelaku usaha yang
membutuhkan tanah untuk usaha
namun tanah yang dibutuhkan milik
hak ulayat, maka pengalihan tersebut
harus didasarkan kesepakatan dan
musyawarah dengan masyarakat
hukum adat disertai dengan
imbalan.49
Izin usaha perkebunan di
atas tanah ulayat tidak dapat
diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang sampai dicapainya
kesepakkatan antara masyarakat
hukum adat dengan pengusaha.50
Bahkan jika izin tersebut tetap terbit,
sanksinya adalah pidana bagi pejabat
dengan maksimal penjara 5 tahun
atau dengan paling banyak 5 Milyar
Rupiah.51
Pelaku usaha juga dilarang
melakukan pembukaan lahan dengan
cara pembakaran.52
b. Hak atas Lingkungan Bersih
a. Kriminalisasi kawasan
perkebunan, serta memanen
dan/atau memungut hasil
perkebunan.56
Di mana sanksi
atas hal tersebut adalah pidana
maksimal 4 tahun dan denda
maksimal 4Milyar Rupiah.57
Norma ini tampak sangat luas
sehingga bisa dikatakan pasal
karet yang berpotensi
mengkriminasliasi masyarakat
sekitar wilayah perkebunan.
b. Kekerasan
Pelaku usaha perkebunan dapat
melaukan kemitraan dengan
dengan pihak lain dalam hal
menjaga keamanan,
kesinambungan, dan keutuhan
usaha perkebunan.58
a. Undang-undang ini hanya
memberikan mekanisme upaya
untuk melakukan tindakan jiak
terjadi kebakaran hutan, yakni
dengan wajib memiliki sistem,
sarana, dan prasarana
pengendalian kebakaran lahan
dan kebun.59
48 Pasal 71 undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. 49
Pasal 12 ayat (1) Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 50
Pasal 17 ayat (1) Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 51
Pasal 103 Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 52
Pasal 56 ayat (2) Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan.
No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran
Pelaku usaha perkebunan diberikan
kewajiban untuk memelihara
kelestarian lingkungan hidup.53
Memelihara kelestarian lingkungan
ini meliputi mencegah dan
menaggulangi pencemaran dan
pengrusakan lingkungan hidup yang
ditimbulkan oleh kegiatan usaha dari
pelaku usaha perkebunan. Pemerintah
baik pusat maupun daerah pun
diwajibkan memberikan pembinaan
dan memfasilitasi pemeliharaan
kelestarian tersebut.54
Usaha
perkebunan juga mewajibkan amdal
sebagai prasyarat untuk
diterbitkannya izin usaha yang
memiliki dampak besar terhadap
lingkungan.55
11 UU No. 41/ 1999
tentang Kehutanan
a. Hak masyarakat hukum adat.
Hutan yang masih terdapat
keberadaan masyarakat hukum adat,
maka masyarakat hukum adat berhak
untuk melakukan pemungutan hasil
hutan untuk pemenuhan kebutuhan
a. Pemerintah berhak untuk
melakukan penetapan kawasan
hutan dengan memberi
kompensasi terhadap pemegang
hak atas tanah yang tanahnya
dijadikan wilayah peruntukan
a. masih sama dengan beberapa
peraturan lain, UU kehutanan
menyediakan mekasinme
pengadilan untuk penyelesaian
sengketa. Namun, UU ini juga
mengharapkan penyelesaian di
56
Pasal 55 Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 57
Pasal 107 Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 58 Penjelasan pasal 57 ayat (1) Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 59
Pasal 56 ayat (2) Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 53
Pasal 67 ayat (1) Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 54
Penjelasan pasal 67 ayat (1) Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 55
Pasal 67 ayat (3) huruf a Undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan.
No. Undang-undang RI Compliance with UNGD Not Compliance with UNGD Mekanisme Penanganan Pelanggaran
hidup, dan juga melakukan kegiatan
pengelolaan berdasarkan hukum adat.
Namun pemberian hak ini tidak
sepenuh hati karena pengelolaan
tersebut harus sesuai dengan
peraturan peundang-undangan.60
b. Hak atas informasi.
UU kehutanan mengatur bahwa
masyarakat berhak mendapatkan
informasi rencana peruntukan lahan,
pemanfaatan hasil hutan, dan
informasi kehutanan lainnya.61
penetapan wilayah hutan.
Namun, mekanisme kompensasi
tersebut secara sepihak
ditentukan oleh pemerintah
tanpa adanya musyawarah dan
lain sebagainya.62
Selain itu juga terdapat norma
yang terlalu luas sehingga dapat
berujung kriminalisasi, hal itu
tergambar
bahwa msasyarakat dilarang
untuk menduduki hutan tanpa
izin, merambah kawasan hutan,
menabang pohon atau memanen
hasil di dalam hutan tanpa izin
pejabat yang berwenang,
membawa alat yang lazim
digunakan untuk menebang,
memotong, dan membelah
pohon di dalam kawasan hutan
tanpa izin. Bahkan sampai
menggembalakan hewan ternak
di hutan tanpa izin.63
luar pengadilan khusus untuk
sengketa yang tidak termasuk
tindak pidana dalam UU
tersebut. Dengan tujuan
pengembalian hak, ganti rugi,
dan pemulihan lain lebih di
kedepankan.64
60
Pasal 67 ayat (1) dan (2) Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 61
Pasal 68 ayat (2) huruf b Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 62
Pasal 68 Undang- undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 63
Pasal 50 Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 64
Pasal 74 Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
1
PERNYATAAN KEBIJAKAN HAK
ASASI MANUSIA UNILEVER
Kami meyakini bahwa bisnis hanya dapat berkembang dalam masyarakat yang melindungi
dan menghormati hak asasi manusia. Kami sadar bahwa bisnis memiliki tanggung jawab
dalam menghormati hak asasi manusia dan memiliki kapasitas untuk memberikan
pengaruh yang positif terhadap hak asasi manusia.
Ini merupakan wilayah pertumbuhan yang penting bagi karyawan, pekerja, pemegang
saham, investor, pelanggan, konsumen, dan masyarakat tempat kami beroperasi serta
kelompok masyarakat sipil. Oleh karena itu terdapat hal yang berkaitan dengan bisnis dan
moral untuk memastikan hak asasi manusia ditegakkan di dalam operasi dan rantai nilai
kami. Pernyataan Hak Asasi ini berisi prinsip-prinsip menyeluruh yang kami tanamkan ke
dalam kebijakan dan sistem kami.
Kebijakan Kami
Sejalan dengan Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Hak Asasi Manusia dan Bisnis, kami
mendasarkan komitmen kebijakan hak asasi manusia pada Undang-Undang Internasional
Hak Asasi Manusia(terdiri dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya) dan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan hak-hak dasar yang
diatur dalam Deklarasi Organisasi Buruh Internasional tentang Prinsip dan Hak Dasar di
Tempat Kerja. Kami mengikuti Pedoman OECD untuk Perusahaan Internasional dan
merupakan salah satu yang menandatangani pendirian Global Compact Perserikatan
Bangsa-Bangsa.Kami memiliki komitmen untuk menghormati semua hak asasi manusia
yang diakui secara internasional yang relevan dengan operasi kami.
Prinsip kami yaitu ketika terdapat hukum nasional dan hak asasi manusia internasional yang
berbeda, maka kami akan mengikuti standar hukum yang lebih tinggi; ketika mereka berada
dalam pertentangan, kami akan mematuhi hukum nasional sambil mencari cara untuk
menghormati hak asasi manusia internasional semaksimal mungkin.
Visi Kami
Visi unilever yaitu untuk melipatgandakan ukuran bisnis, sembari mengurangi jejak
lingkungan kami dan meningkatkan pengaruh sosial yang positif.
2
Kode Prinsip Bisnis kami menyatakan bahwa kami “melakukan operasi dengan kejujuran,
integritas dan keterbukaan, serta menghormati hak asasi manusia dan kepentingan
karyawan kami, dan bahwa kami pun harus menghormati kepentingan resmi dari siapa saja
yang berhubungan dengan kami.”
Dalam urusan bisnis, kami mengharapkan mitra kami mematuhi prinsip-prinsip bisnis yang
sesuai dengan yang kami terapkan. Kami melarang adanya pekerja di bawah umur,
diskriminasi, pemaksaan, perdagangan terhadap pekerja, serta berkomitmen terhadap
kondisi kerja yang aman dan sehat serta terhadap martabat individu para pekerja. Juga hak
kebebasan berserikat dan perundingan bersama serta prosedur informasi dan konsultasi
yang efektif.
Kami melakukan operasi Keamanan yang sejalan dengan Kerangka Kerja Keselamatan
Kelompok, persyaratan hukum nasional dan standar internasional. Kami menyadari
pentingnya hak atas tanah. Kami berkomitmen terhadap prinsip persetujuan bebas, dan
berdasarkan pengetahuan sebelumnya, serta mendukung implementasinya oleh otoritas
nasional.
Alih Daya yang Bertanggung Jawab
Kami memiliki rantai pasokan beragam yang luas dan kami menyadari peran penting yang
dimainkan oleh para pemasok kami dalam membantu untuk sumber yang bertanggungjawab
dan berkelanjutan. Kebijakan Alih Daya yang Bertanggung Jawab mengatur ekspektasi kami
yang berkaitan dengan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, termasuk hak
tenaga kerja dalam rantai pasokan kami.
Kami hanya akan bekerja sama dengan pemasok yang menerapkan Kebijakan Alih Daya
yang Bertanggung Jawab milik kami. Mereka harus setuju untuk menjamin transparansi,
untuk memperbaiki segala kekurangan, dan untuk mendorong perbaikan yang
berkelanjutan.
Kebijakan Alih Daya yang Bertanggung Jawab kami berisi persyaratan dan panduan yang
jelas mengenai mekanisme pengaduan.
3
Mengatasi Dampak Hak Asasi Manusia
Kami menyadari bahwa kami harus mengambil langkah-langkah untuk mengidentifikasi
dan mengatasi dampak aktual atau merugikan yang mungkin saja kami terlibat di
dalamnya secara langsung maupun tidak langsung dari aktivitas atau hubungan bisnis
kami.Kami mengelola risiko ini dengan mengintegrasikan tanggapan atas pemeriksaan
tuntas ke dalam kebijakan dan sistem internal, bertindak atas temuan, melacak tindakan
kami, serta berkomunikasi dengan para pemegang saham kami tentang cara kami
mengatasi dampak yang muncul.
Kami memahami bahwa pemeriksaan tuntas hak asasi manusia merupakan proses
berkelanjutan yang memerlukan perhatian khusus pada tahap tertentu dalam aktivitas
bisnis kami, karena perubahan tersebut dapat menciptakan dampak hak asasi manusia yang
aktual dan potensial, seperti ketika kami membentuk kemitraan baru atau perubahan
kondisi operasi.
Di negara tertentu tempat kami beroperasi, terdapat risiko yang tinggi dan sistemik
terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Kami memahami hal ini berarti bahwa kami
harus mengadakan pemeriksaan tuntastambahan untuk menilai risiko tersebut dan
mengatasinya secara efektif, jika sesuai, dengan menggunakan dana pinjaman kami untuk
bekerja dalam hubungan satu lawan satu atau kemitraan berbasis global.
Kami menyadari pentingnya dialog dengan karyawan, pekerja kami dan pemegang saham
dari luar yang dapat terpengaruh oleh tindakan kami. Kami memberikan perhatian khusus kepada individu atau kelompok yang mungkin berada pada risiko yang lebih besar dari dampak negatif hak asasi manusia disebabkan oleh kerentanan atau marginalisasi serta menyadari bahwa perempuan dan laki-laki menghadapi risiko yang berbeda.
Pemulihan
Kami menempatkan pentingnya penyediaan pemulihan yang efektif di mana saja terjadi
dampak hak asasi manusia melalui mekanisme pengaduan berbasis perusahaan.Kami
terus membangun kesadaran serta pengetahuan karyawan dan pekerja kami tentang hak
asasi manusia termasuk hak tenaga kerja, serta mendorong mereka untuk menyampaikan
suaranya mengenai keprihatinan yang mereka miliki melalui saluran pengaduan kami, tanpa
retribusi. Kami berkomitmen untuk terus meningkatkan kapasitas pengelolaan kami untuk
4
mengidentifikasi dan menanggapi masalah secara efektif. Kami juga mendorong
penyediaan mekanisme pengaduan yang efektif oleh pemasok kami.
Pemberdayaan Perempuan melalui Hak Asasi, Keterampilan, dan Peluang
Banyak perempuan di duniaberhadapan dengan diskriminasi dan kerugian, kurangnya
akses untuk keterampilan dan pelatihan, serta menghadapi beragam hambatan untuk
berpartisipasi aktif dalam bidang ekonomi. Mereka sering kekurangan perlindungan hak
dan hukum yang mendasar. Kemiskinan, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan
merupakan rintangan utama menuju peluang.
Perempuan adalah bagian yang tak dapat dipisahkan dalam model dan ambisi
pertumbuhan bisnis kami. Kami berusaha untuk mengelola dan mengembangkan bisnis
yang bertanggung jawab secara sosial di mana perempuan dapat berpartisipasi atas dasar
kesetaraan.Kami meyakini bahwa hak-hak perempuan dan inklusi ekonomi merupakan
prioritas dalam keberhasilan jangka panjang. Pendekatan
kami diawali dengan menghormati hak-hak perempuan kemudian meluas ke promosi
mereka dan juga membantu mengembangkan keterampilan serta membuka peluang,
semua hal tersebut berada dalam operasi dan rantai nilai kami.
Pemerintahan Kami
Pekerjaan kami di bidang ini diawasi oleh Direktur Eksekutif Unilever, didukung oleh
Eksekutif Kepemimpinan Unilever termasuk Direktur Rantai Pasokan, Direktur Sumber Daya
Manusia, Direktur Pemasaran dan Komunikasi serta Direktur Urusan Hukum dan juga
Direktur Ketahanan dan Wakil Presiden Global untuk Dampak Sosial. Hal ini menjamin
bahwa setiap bagian bisnis kami memiliki tanggung jawab yang jelas untuk menghormati
hak asasi manusia. Pengawasan pada tingkat dewan diberikan oleh Komite
Pertanggungjawaban Perusahaan Unilever PLC.
Masa yang Akan Datang
Kami meyakini bahwa produk kami memberikan banyak manfaat positif, terutama di bidang
kesehatan dan sanitasi. Sebagai bagian dari ambisi kami untuk Meningkatkan Penghidupan,
kami menyatakan komitmen kami untuk terwujudnya Keadilan di Tempat Kerja, Peluang
untuk Perempuan dan Bisnis Inklusif.
5
Kami mengevaluasi dan meninjau secara berkelanjutan tentang cara terbaik untuk
memperkuat pendekatan kami dalam mengatasi hak asasi manusia, termasuk hak tenaga
kerja. Kami percaya bahwa bekerja melalui program eksternal dan kemitraan, lebih
sering merupakan cara terbaik untuk mengatasi tantangan, misalnya dengan industri lain,
LSM, serikat buruh, pemasok dan mitra bisnis lainnya.
Kami akan melacak dan melaporkan perkembangan secara terbuka setiap tahun.
Pernyataan Kebijakan Hak Asasi Manusia ini menggabungkan komitmen yang ada dan
memberikan peningkatan akan kejelasan proses dan prosedur kami. Prinsip-prinsipnya
diterapkan melalui operasi dan rantai nilai kami.
Top Related