VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

34
VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017

Transcript of VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

Page 1: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017

Page 2: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

JURNAL PRIMATOLOGI INDONESIA(The Indonesian Journal of Primatology)

ISSN 1410-5373

Volume 14, Nomor 2, Juli 2017

PENANGGUNG JAWABHuda S. Darusman

(Kepala Pusat Studi Satwa Primata LPPM-IPB)Chairul Saleh

(Perhimpunan Ahli dan Pemerhati Primata Indonesia)

KETUA EDITORSri Supraptini Mansjoer

ANGGOTA EDITORIrma H. Suparto, Dyah Perwitasari,

Entang Iskandar, Audrey Maria Ungerer,Hendra Adijuwana

EDITOR TEKNIKVallen Sakti MaulanaFhady Risckhy Loe

SEKRETARIAT DAN SIRKULASIRahayu Sulistina, R.M. Maulana,

Tita Ratnasari

ALAMAT REDAKSIPusat Studi Satwa Primata LPPM-IPBJalan Lodaya II No. 5, Bogor 16151

Telepon (0251) 8324358, 8313637, 8320417Faks. (0251) 8360712

Surat Elektronik: [email protected]: http://journal.ipb.ac.id/index.php/primata

PENERBITPusat Studi Satwa Primata LPPM-IPB

(PSSP LPPM-IPB)bekerja sama dengan

Perhimpunan Ahli dan Pemerhati Primata Indonesia

(PERHAPI)

Editorial

Satwa primata Indonesia merupakan salah satu kekayaan kita yang perlu dipelajari dan digali keunikannya sehingga kita akan lebih mencintainya. Sudahkah kita mengetahui suara berbagai jenis satwa primata yang ada? Perilaku yang sama seperti manusia, jika mau mencari makanan pergilah kita ke pasar, di daerah Ciampea monyet ekor panjang juga selalu berkunjung ke tempat sampah di pasar Ciampea. Penelitian kultur sel pada beruk dapat menjadi harapan yang menjanjikan untuk pengobatan pada manusia, dalam perannya sebagai hewan model. Demikian pula satwa primata dapat dijadikan hewan model untuk berbagai penyakit menular antara lain tuberkulosis dan penyakit karena gangguan metabolik kronis di dalam tubuh antara lain obesitas dan hiperglikemia. Syukurlah para peneliti muda sudah mulai melakukan penelitian pada satwa primata Indonesia, dengan berbagai latar belakangnya. Diharapkan di masa yang akan datang lebih banyak informasi yang dapat disosialisasikan perihal kebijakan konservasi, karakteristik habitat, pakan, perilaku yang berkaitan dengan sifat-sifat biologisnya, serta perannya yang dapat mendukung penelitian di bidang biomedis.

Jurnal Primatologi Indonesia (JPI) merupakan jurnal ilmiah primatologi yang diterbitkan dua kali dalam setahun oleh Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (PSSP LPPM-IPB) bekerjasama dengan Perhimpunan Ahli dan Pemerhati Primata Indonesia (PERHAPPI). Tujuan dan ruang lingkup penelaahan: 1) satwa primata sebagai model dalam pencegahan dan penyembuhan penyakit manusia, 2) patologi, imunologi, parasitologi, mikrobiologi dan kedokteran hewan primata, 3) morfologi, fisiologi, reproduksi, taksonomi, pertumbuhan dan perkembangan, evolusi dan sistematika serta genetika satwa primata, 4) penangkaran, penanganan, metodologi eksperimen serta manajemen koloni dan laboratorium satwa primata, 5) ekologi, demografi, pelestarian dan manajemen kawasan konservasi satwa primata, 6) neurologi, tingkah laku, sosiologi, komunikasi, psikologi dan kesejahteraan satwa primata, dan 7) kebijakan pemanfaatan, pelestarian dan pengembangan satwa primata.

Langganan per-tahun dapat dilakukan dengan penggantian biaya cetak Rp 60.000,-. Informasi lebih lanjut dapat diperoleh melalui Bagian Sekretariat dan Sirkulasi JPI.

Foto profil bilou diambil di Taman Safari IndonesiaCisarua, Jawa Baratoleh Klaus Rudloff

Erfurt Zoo dan Berlin TierparkE-mail: [email protected]

Page 3: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

Indonesian Primate ProfileHylobates klossiiCommon Names: English: dwarf gibbon; Indonesia: siamang kerdil, bilou

Dwarf siamang (Hylobates klossii) is an endemic primate of Mentawai Islands. Local people call it bilou. A bilou has a small body, black hair throughout its body, an arboreal life (preferring above the tropical forest canopy), arms much longer than its legs (Hollihn 1984), and body weight ranging from 5.5 to 7.5 kg for both males and females. A bilou communicates through vocalization, the males making alarm call before dawn and the females doing vocalization after dawn. This means that these primates do not perform duet songs (Whittaker 2005). Bilous are frugivores most of which eat fruits, sometimes small insects and some young leaves. Bilous live in pairs (monogamy) and are followed by their offsprings (infant-juvenille) under 8 years old. Those who have reached 8 years old, both males and females, separate themselves from their mothers (Supriatna and Ramadhan 2016). The distribution of bilous is limited to large islands in Mentawai, including Siberut, Sipora, North Pagai, and South Pagai. Bilous live in primary and secondary forests, from coastal areas to hills and mangrove forests. The existence of bilous belongs to the category of endangered species according to IUCN 2008, registered in CITES Appendix I/2001. The status of precarious/threatened is given because in the last 25 years, logging and hunting have increased in Mentawai, resulting in a reduction up to 50% of the bilous since the last survey

in 1980 (World Wildlife Fund 1980), which also resulted in reduced bilou habitats and population (Fuentes 1997). The bilou population is threatened by deforestation and continuous hunting. The total population of bilou is around 20.000-25.000, 13.000-15.500 of which are in the Siberut National Park. The average density is 12 individuals/km2 (Whittaker 2005). The highest density (26-31 individuals/km2) is in North Siberut Peleonan forest and the lowest density is in Taileleu, South Siberut (4-5 individuals/km2) (Tenaza 1988).

References

Fuentes A. 1997. Current status and future viability for the Mentawai primates. Primate Conservation 17: 111-116.Hollihn U. 1984. Bimanual suspensory

behavior: Morphology, selective advantages and phylogeny. Di dalam: Preuschoft H, Chivers DJ, Brockelman WY, dan Creel N, editor. The Lesser Apes: Evolutionary and Behavioral Biology. Edinburgh(UK):Edinburgh University Press.

Rudloff K. 2013. Hylobates klossii in Taman Safari Indonesia Bogor. Berlin. (online). https://www.biolib.cz/en/image/id274966. Diakses tanggal 4 Juni 2017.

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 2, Juli 2017, hlm. 1-2ISSN 1410-5373

Figure 1 Dwarf gibbon/bilou (source: Klaus Rudloff 2013)

Page 4: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

Supriatna J, Ramadhan R. 2016. Pariwisata Primata Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Tenaza R. 1988. Status of primates in the Pagai Islands, Indonesia: A progress report. Primate Conservation 9: 146-149.

Whittaker DJ. 2005. Evolutionary Genetics

of Kloss's Gibbons (Hylobates klossii): Systematics, Phylogeography, and Conservation. [disertasi]. Michigan State University.

World Wildlife Fund. 1980. Saving Siberut: A Conservation Master Plan. Bogor (ID) : WWF Indonesia Programme.

2 Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 2, Juli 2017, hlm. 1-2

Page 5: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 2, Juli 2017, hlm. 3-7ISSN 1410-5373

Kajian Fungsi Kantung Udara (Air Sac) terhadap Vokalisasi Siamang dan Bilou di Taman Safari Indonesia, Cisarua, Bogor

The Study of the Function of Air Sac on Vocalitations of Siamang and Bilou at Taman Safari Indonesia, Cisarua, Bogor

Nugroho DAA1

1Program Studi Primatologi, Program Multidisiplin, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor

Korespondensi: [email protected]

Abstract. In the research domain of the air sac function on vocalization, this study offers a comparative method between two species of non-human primates which have close kinship and resemblance in air sacs. The method was adopted by comparing the dynamics of the fundamental frequency (F0), and the distance between the fundamental frequency and the frequency of formant maximum (F0-Fmax) in vocalizations of siamang and bilou, with three analyses: a) Sonogram by using Cool Edit Pro V2 in Blackman-Harris scale, b) Descriptive statistics and one way ANOVA by using SPSS 17, c) Graphical analysis with Microsoft Word 2010. The results of graphic analysis showed two things, firstly, pitch dynamic in siamang was more melodious preceded by a low tone at the beginning and then rising on the pre-trill and first trill, decreased in the second trill, slightly up in the third trill, and dropped back on the fourth trill, and again rising with the highest tone on the fifth trill, while the pitch dynamic in bilou was monotonous. Secondly, the maximum resonance in siamang’s vocals was at the pre-trill and first trill, but the maximum resonance in bilou‘s vocals was at the sixth trill. These results may explain the function of the air sac in siamang as a tone device or singing (song) and as a producer of resonance at the beginning of the notes of a song.

Key words: air sac, bilou, siamang, vocalization

Pendahuluan

Penelitian mengenai fungsi kantung udara terhadap kekhasan vokalisasi verbal pada satwa primata siamang dan Alouatta seniculus telah dimulai de Boer (de Boer 2009). Fungsi psikososial vokalisasi pada spesies-spesies tersebut untuk menarik perhatian, mempertahankan teritorial, mempertahankan pasangan, dan memberi dukungan kepada pasangan (Ahsan 2001; Cowlishaw 1992; Terleph et al. 2015). Vokalisasi didefinisikan sebagai getaran suatu selaput yang dihasilkan tekanan udara yang mengalir dan diperbesar di pita suara di dalam laring. Udara dari paru-paru yang melewati dan diperbesar pita suara akan menghasilkan banyak spektrum frekuensi. Jumlah getaran per satuan waktu gelombang pita suara yang memiliki amplitudo terbesar didefinisikan sebagai frekuensi fundamental (F0). Kelipatan integral frekuensi fundamental disebut harmonik. Frekuensi-frekuensi spektrum yang memiliki amplitudo terbesar di antara harmonik-harmonik tersebut disebut formant (Hawkins 1994; Bowling et al. 2017; Fitch 2010; Titze 2000; Rendall et al. 2005). Individu yang memiliki tingkat androgenitas yang lebih tinggi akan menghasilkan F0 yang lebih tinggi (Barelli et al.2013). Terkait dengan fungsi akustik anatomi kantung udara terhadap vokalisasi, dapat

diperoleh dengan membandingkan perbedaan anatomi kantung udara. Sebagai contoh: kantung udara pada spesies siamang terhubung dengan pita suara di dalam laring oleh ventrikel lateral, sementara kantung udara pada spesies Alouatta seniculus terletak di bawah tulang hyoid terhubung dengan pita suara di dalam laring oleh kanal di dalam ligamen kelenjar tiroid (de Boer 2009) (Gambar 1). Kajian de Boer (2009) untuk menemukan efek kantung udara terhadap vokalisasi kedua spesies tersebut dengan menggunakan metode pemodelan paralon akrilik, dan penelitian tersebut menemukan bahwa kantung udara hanya dapat beresonansi di frekuensi rendah di bawah 2000 Hz (Gambar 2).

Gambar 1 Anatomi kantung udara Alouatta seniculus dan siamang (Sumber: de Boer 2009)

Page 6: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

4 Nugroho, Kajian Fungsi Kantung Udara (Air Sac) Terhadap Vokalisasi Siamang dan Bilou

Gambar 2 Model proses fisiologis kantung udara siamang dengan paralon akrilik (Sumber: de Boer 2009)

Dalam rangka melanjutkan penelitian fungsi kantung udara terhadap vokalisasi, maka penelitian ini menawarkan metode alternatif melalui metode komparatif antar dua spesies satwa primata berkantung udara yang memiliki kedekatan kekerabatan. Cara yang ditempuh dengan membandingkan dinamika frekuensi fundamental (F0) dan jarak antara frekuensi fundamental ke frekuensi formant maksimum (F0-Fmak) vokal pada spesies siamang dengan bilou. Metode ini diajukan, karena belum adanya informasi mengenai analisis persamaan dan perbedaan dinamika frekuensi fundamental (F0) dan jarak antara frekuensi fundamental ke frekuensi formant maksimum (F0-Fmak) antara vokalisasi siamang dan bilou. Penelitian ini bertujuan menemukan fungsi kantung udara terhadap vokalisasi ditinjau dari persamaan dan perbedaan dinamika frekuensi fundamental (F0) dan jarak antara frekuensi fundamental ke frekuensi formant maksimum (F0-Fmak) vokal siamang dengan bilou. Model komparatif ini diharapkan kelak dapat diaplikasikan untuk penelitian prospektif dalam rangka menjelaskan keragaman dinamika vokalisasi pada spesies-spesies verbal akibat perbedaan anatomi dan fisiologi vokal. Metode ini dapat digunakan untuk menentukan spesiasi sebagai hasil proses evolusi genetika. Hipotesis pertama yang diajukan adanya kemiripan dinamika frekuensi fundamental (F0) dan jarak antara frekuensi fundamental ke frekuensi formant maksimum (F0-Fmak) pada vokal siamang dengan bilou dengan alasan kedua spesies ini masih memiliki kedekatan spesiasi. Hipotesis kedua adanya perbedaan dinamika frekuensi fundamental (F0) dan jarak antara frekuensi fundamental ke frekuensi formant maksimum (F0-Fmak) pada vokal siamang dan bilou karena masing-masing spesies memiliki perbedaan anatomi kantung udara.

Materi dan Metode

Definisi operasional peubah yang diukur Vokalisasi yang diistilahkan dengan call secara operasional dibagi dalam tahap introduction, pre-trill, dan trill (Geissmann 1993). Frekuensi fundamental (F0) adalah jumlah getaran per satuan waktu dari gelombang bunyi yang memiliki amplitudo terbesar. Jarak antara frekuensi fundamental ke frekuensi formant maksimum (F0-Fmak) adalah selisih jumlah antara frekuensi fundamental dan frekuensi spektrum harmonik yang memiliki amplitudo (desibel) tertinggi.

Tempat dan waktu pengambilan sampel data Tempat penelitian di Taman Safari Indonesia di Cisarua Bogor pada hari Senin siang pukul 10.00-12.00 WIB pada tanggal 19 Juni 2017.

Subjek Subjek penelitian terdiri dari dua kelompok siamang dan satu kelompok bilou. Satu kelompok siamang terdiri dari satu induk jantan, satu induk betina, dan satu anak. Kelompok bilou terdiri dari satu jantan muda dan satu betina dewasa.

Prosedur pengambilan sampel vokal Peneliti berdiri di samping kandang dengan jarak 5 hingga 10 m dari subjek. Sampel data diambil dengan kamera video Canon A2300 secara oportunistik dan acak setiap saat, ketika ada subjek yang melakukan vokalisasi secara spontan dengan metode ad libitum.

Prosedur pengolahan sampel data vokal Sampel data yang berhasil diambil dengan kualitas bersih dari noise, yaitu sampel yang dipilih dari beberapa call individu siamang jantan, karena dalam konteks duet ternyata vokal jantan mengikuti di belakang vokal betina, sehingga hanya vokal jantan yang akan dapat ditangkap secara lebih jelas tanpa ada interupsi vokal betina. Sementara sampel data call bilou diambil dari subjek betina, karena hanya subjek betina yang melakukan vokalisasi pada jam pengambilan data. Sampel data yang diambil dengan kamera video Canon A2300 dari beberapa call seekor siamang jantan dan seekor bilou betina diubah ke format Wave dengan perangkat lunak Audio Cool Edit Pro V2. Satu call siamang

Page 7: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 2, Juli 2017, hlm. 3-7 5

jantan memiliki 7 tahapan nada (pitch), sehingga satu call bilou betina yang terdiri lebih dari 7 nada harus dipotong untuk menyeimbangkan analisis.

Analisis akustik vokal Dari 7 tahapan nada tersebut kemudian dilakukan 3 langkah analisis meliputi: analisis sonogram, menggunakan perangkat lunak Audio Cool Edit Pro V2 dengan skala Blackman-Harris, analisis statistik deskriptif dan ANOVA satu jalur (one way) menggunakan perangkat lunak SPSS 17, analisis grafis dengan Microsoft Word 2010.

Hasil dan Pembahasan

HasilFrekuensi fundamental (F0) Analisis terhadap data primer (Tabel 1 dan 2 pada lampiran) memperlihatkan bahwa secara umum rerata F0 siamang = 835,24 Hz (SD = ±474,43, nilai keragaman = 225086,77 pada n = 7). Rerata F0 bilou = 1028,1514 Hz, SD = ±24,3599, nilai keragaman = 593,4034 pada n = 7). Analisis perbandingan F0 dengan ANOVA satu jalur memperlihatkan bahwa rerata F0 siamang dan bilou tidak berbeda secara signifikan F (1,12)= 1,154 dengan P > 0,05.

Jarak antara frekuensi fundamental ke frekuensi formant maksimum (F0-Fmak) Analisis terhadap data primer (Tabel 1 dan 2 pada lampiran) memperlihatkan bahwa secara umum rerata F0-Fmak siamang = 123,30 Hz (SD= ±45,32, nilai keragaman= 2054,39 pada n=7). Rerata F0-Fmak bilou = 96,8486 Hz, SD= ±24,36, nilai keragaman= 593,40 pada n=7). Analisis perbandingan F0 dengan ANOVA satu jalur memperlihatkan bahwa rerata F0-Fmak siamang dan bilou tidak berbeda secara signifikan F (1,12)= 1,85 dengan P > 0,05.

Hasil analisis grafis Dinamika call ditinjau dari F0 antara siamang dan bilou memperlihatkan bahwa pola nada (pitch) siamang lebih dinamis yaitu diawali dengan nada rendah pada bagian awal

kemudian naik di bagian pre-trill dan trill pertama, menurun di trill kedua, sedikit naik di trill ketiga, dan turun kembali di trill ke-empat, kembali naik dengan nada tertinggi di trill kelima. Sementara pola nada (pitch) bilou cenderung lebih monoton atau datar (flat) (Gambar 3).

Gambar 3 Perbedaan dinamika call ditinjau dari F0 antara siamang dan bilou

Dinamika call ditinjau dari F0-Fmak antara siamang dan bilou (Gambar 4) memperlihatkan bahwa bunyi vokal siamang beresonansi maksimal pada bagian pre-trill dan trill pertama sementara bunyi vokal bilou baru beresonansi maksimal pada bagian trill ke-enam.

Gambar 4 Perbedaan dinamika call ditinjau dari F0-Fmak antara siamang dan bilou

Page 8: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

6 Nugroho, Kajian Fungsi Kantung Udara (Air Sac) Terhadap Vokalisasi Siamang dan Bilou

Pembahasan

Secara umum hasil penelitian ini mengkonfirmasi temuan de Boer (2009) bahwa kantung udara hanya dapat beresonansi di frekuensi rendah, yaitu di bawah 2000 Hz. F0 terendah yang dapat dicapai oleh siamang adalah 345,66 Hz sedangkan bilou 978,52 Hz artinya kantung udara siamang membuat nada vokal mencapai frekuensi yang lebih rendah daripada bilou. Meskipun rerata F0 bilou memiliki kecenderungan lebih tinggi namun F0 rata-rata kedua spesies ini memiliki kemiripan (secara statistik tidak berbeda signifikan), begitu pula jarak antara frekuensi fundamental ke frekuensi formant maksimum (F0-Fmak) kedua spesies ini juga tidak berbeda signifikan, sehingga hipotesis pertama diterima bahwa kedua spesies ini masih memiliki kedekatan keluarga dan mendukung teori bahwa perilaku merupakan produk genetik atau sifat yang diwariskan secara evolusioner (Geissmann 1993).

Namun analisis grafis memperlihatkan bahwa ada perbedaan pola nada dan resonansi pada kedua spesies tersebut, karena perbedaan anatomi yang genetis. Secara umum perbedaan pola nada dapat merepresentasikan perbedaan fleksibilitas laring di antara kedua spesies, namun secara khusus dapat merepresentasikan fungsi fisiologis kantung udara siamang sebagai alat pembentuk pola nada-nada atau lebih dikenal sebagai lagu atau nyanyian (song) dan pola ini cenderung tidak dimiliki bilou yang memiliki kantung udara dengan ukuran yang lebih kecil (Whitten 1982). Fungsi fisiologis kantung udara siamang lain juga dapat dijelaskan sebagai alat produksi resonansi di awal lagu (dengan tingkat ketebalan hingga 165,70 Hz), fenomena ini tidak ditemukan pada awal lagu di bilou karena baru beresonansi pada trill ke lima dengan ketebalan yang lebih rendah yaitu 146,48 Hz.

Simpulan

Analisis grafis terhadap perbedaan dinamika frekuensi fundamental (F0) antara siamang dan bilou dapat menjelaskan fungsi kantong udara siamang sebagai alat pembentuk pola nada-nada atau nyanyian (song). Analisis grafis terhadap perbedaan dinamika jarak antara frekuensi fundamental ke frekuensi formant maksimum (F0-Fmak) antara siamang dan bilou dapat menjelaskan fungsi kantung udara siamang sebagai alat produksi resonansi pada nada-nada awal suatu nyanyian.

Penelitian ini merupakan kajian karakteristik suara yang menjadi identitas spesies, sehingga hasil analisis suara dapat dijadikan dasar perbedaan kegenetikan spesies satwa.

Daftar Pustaka

Ahsan MS. 2001. Socioecology of the hoolock gibbon (Hylobates hoolock) in two forests of Bangladesh. Di dalam: The Apes: Challenges for the 21st Century. Conference Proceedings. Brookfield Zoo. 286-299.

Barelli C, Mundry R, Heistermann M, Hammerschmidt K. 2013. Cues to androgens & quality in male gibbon songs. PLoS One. 8(12):e82748.

Bowling DL, Garcia M, Dunn JC, Ruprecht R, Stewart A, Frommolt KH, Fitch WT. 2017. Body size & vocalization in primates & carnivores. Sci. Rep. 7, 41070.

Cowlishaw G. 1992. Song function in gibbons. Behaviour 121 (1-2): 131-152.

Cowlishaw G, MacDonald D. 2001. Defense by Singing: Great calls & Song Bouts of the Gibbons. Di dalam: The Encyclopedia of Mammals, Vol 2. New York: Facts on File, Inc. hlm 404-405.

de Boer B. 2009. Acoustic analysis of primate air sacs & their effect on vocalization. J Acoust Soc Am. 126(6): 3329–3343.

Fitch WT. 2010. The Evolution of Language. Cambridge (UK): Cambridge University Press.

Geissmann T. 1993. Evolution of communication in gibbons (Hylobatidae)[PhD thesis]. Zürich (DE): Zürich University.

Hawkins S. 1994. Quantal theory of speech. Di dalam: Asher RE, editor. The Encyclopedia of Language & Linguistics. London (UK): Pergamon Pr.

Rendall D, Kollias S, Lloyd CN. 2005. Pitch & formant profiles of human vowels & vowel-like baboon grunts: The role of vocalizer body size & voice-acoustic allometry. J Acoust Soc Am. 117 (2).

Terleph TA, Malaivijitnond S, Reichard UH. 2015. Lar gibbon (Hylobates lar) great call reveals individual caller identity. Am J Primatol. 77(7):811-821.

Titze IR. 2000. Principles of voice production (National Center for Voice & Speech).

Whitten T. 1982. The ecology of singing in Kloss gibbons (Hylobates klossii) on Siberut Island, Indonesia. Int J Primatol 3: 33-51.

Page 9: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 2, Juli 2017, hlm. 3-7 7

Lampiran

Gambar 5 Vokal siamang dalam satu call

Gambar 6 Vokal bilou dalam satu call

Page 10: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 2, Juli 2017, hlm. 8-14ISSN 1410-5373

Kajian One Health: Perilaku Makan dan Preferensi Pakan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Hamparan Sampah Pasar Ciampea

Bogor sebagai Potensi Penyebaran Zoonosis

The Study of One Health: Feeding Behavior and Food Preference of Long-Tailed Macaque (Macaca fascicularis) at Ciampea Market’s Garbage Plain Bogor,

as a Potential of Zoonotic Spreading

Putra ARA1*, Lelana RPA1, Darusman HS1,2,

1Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor2Pusat Studi Satwa Primata-Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat-Institut Pertanian Bogor

*Korespondensi: [email protected]

Abstract. Wildlife exploration to other food resources due to climate and habitat changes makes it possible to increase human-animal conflict as well as zoonotic threats. This situation was observed with the descend of three groups of long-tailed macaque (Macaca fascicularis) from the Gunung Kapur forest to the Ciampea Market area in Bogor, especially at the garbage plain. This aim of the research was to identify the feeding behavior and food preference during food search at the garbage plain of Ciampea Market, in conjunction with zoonotic spreading. The behavior assessment was done by using the ad-libitum technique to list the type of eating behavior, continued by all-occurrence technique for to quantify the number of each type of feeding behavior as well as identify animal food preference. The result showed that within 15 minutes of roaming the garbage plain, approximately 39 items of food were preferred by three groups of macaques. Almost all of the food was taken directly from the garbage floor (99%) and only a little (1%) was grabbed from other macaques. Most food was masticated calmly in the garbage area (74.3%), while 22.3% was masticated in a rush, and 3.3% was saved in their cheek pouch. Based on the original category, the food consisted of 67% natural food, such as bananas, corn, oranges, snake fruit, and 11% was anthropogenic food, such as noodle, fritter, cake, and 22% was unidentified food. Based on the exposure category, the food consisted of covered (69%) food, such as bananas, corn, oranges, snake fruit, and uncovered food (31%), such as potatoes, fritter, noodles, cassava, carrots, and cucumber. Macaque preferential food could be driven by the palatability factor as well as the learning behavior factor. The evidence of getting food directly from the garbage floor, masticating calmly, and consuming uncovered food and anthropogenic food could be potential sources, of zoonotic spreading. This finding should be considered as a one-health challenge.

Key words: feeding behavior, feed preference, garbage plain, Macaca fascicularis, one health

Pendahuluan

Aktivitas satwa liar mencari sumber pakan lain di luar habitat aslinya yang diduga sebagai akibat perubahan habitat (habitat change) dan iklim (climate change), dapat memicu peningkatan konflik manusia-hewan (human-wildlife conflicts) maupun ancaman zoonosis (Wolfe et al. 2005). Situasi ini telah diamati dengan peristiwa turunnya tiga kelompok monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dari hutan Gunung Kapur Ciampea ke area Pasar Ciampea Kabupaten Bogor. Mereka menyasar hamparan sampah sebagai sumber pakan. Peristiwa ini gencar diberitakan melalui media masa dan media elektronik pada tanggal 8 September 2015. Dalam perkembangannya, monyet ekor panjang tersebut juga mencuri barang dagangan yang dapat dimakan, sehingga menimbulkan keresahan para pemilik kios di Pasar Ciampea Bogor. Kruse et al. (2004)

menyatakan bahwa keberadaan satwa liar di luar habitatnya menimbulkan keresahan masyarakat. Satwa liar juga berperan sebagai inang alami (reservoir) penyakit yang menular baik ke manusia (zoonosis) maupun ke hewan domestik. Hasil penelitian Nakayima et al. (2014) menyebutkan bahwa satwa primata yang hidup bebas memiliki peluang lebih besar menyebarkan zoonosis maupun menjadi sumber konflik manusia hewan, sehingga perlu kajian yang bersifat kesehatan semesta (one health). One health merupakan konsep yang dikembangkan sekitar tahun 1990 dalam rangka mengatasi kesehatan secara utuh dan menyeluruh dengan menyatukan organisasi pemerintah dan swasta yang bekerja dalam bidang kesehatan manusia, dan hewan, konservasi satwa liar, serta konservasi lingkungan (Zinsstag et al. 2011). Keilmuan kedokteran hewan sangat dekat dengan implementasi konsep one health, mengingat tanggung jawabnya terhadap

Page 11: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 2, Juli 2017, hlm. 8-14 9

masalah penyakit hewan yang menular ke manusia atau sebaliknya, maupun karena predisposisi kesehatan lingkungan yang buruk. Untuk mengetahui tingkat ancaman penyebaran zoonosis maupun konflik manusia-hewan, berbagai kajian one health dapat dilakukan pada monyet ekor panjang di Pasar Ciampea Bogor. Salah satunya dengan mengamati perilaku makan dan preferensi pakan yang disukai ketika berada di hamparan sampah, serta besarnya kompleksitas permasalahan yang berkaitan dengan konsep one health. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat diperoleh informasi sebagai bahan pertimbangan untuk menangani potensi konflik masyarakat.

Materi dan Metode

Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

Februari sampai Juni 2016. Pengamatan lapang dilakukan di hamparan sampah Pasar Ciampea, Kabupaten Bogor. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Kampus IPB Darmaga.

Alat dan bahanAlat dan bahan yang digunakan dalam

penelitian antara lain satu buah unit kamera digital, satu unit teropong monokuler, satu unit jam, dan satu unit laptop. Hewan yang diamati monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang turun dari hutan Gunung Kapur ke hamparan sampah Pasar Ciampea. Melalui pengamatan awal, dapat dilihat bahwa monyet terdiri dari tiga kelompok. Untuk memudahkan pengamatan, kelompok ini diberi nama kelompok A, B, dan C berdasarkan ciri khas pada individu masing-masing kelompok. Kelompok A memiliki ciri khas seekor monyet betina dewasa dengan pangkal ekor besar seperti bengkak. Kelompok B memiliki ciri khas seekor monyet jantan dengan ekor pendek, dan kelompok C memiliki ciri khas alpha male dengan bibir sumbing, dan rata-rata anggota kelompok sekitar 30 ekor termasuk anakannya.

Prosedur penelitianPenelitian didahului dengan habituasi,

agar monyet ekor panjang beradaptasi terhadap kehadiran pengamat/peneliti. Kegiatan selanjutnya mengamati ketiga kelompok monyet yang turun di hamparan sampah Pasar Ciampea dengan metode pengamatan ad-libitum dan all-occurrence. Kegiatan selanjutnya mengidentifikasi jenis pakan.

HabituasiSebelum melakukan pengamatan perilaku,

terlebih dahulu dilakukan habituasi, pembiasaan monyet ekor panjang terhadap kehadiran pengamat untuk mencegah perubahan perilaku, karena dampak metode penelitian yang dilakukan selama pengamatan (Engelhardt et al. 2004). Habituasi diperlukan guna mencegah terjadinya bias saat pengamatan perilaku. Identifikasi kelompok monyet dilakukan selama proses habituasi, untuk mengetahui jumlah kelompok yang datang ke hamparan sampah Pasar Ciampea. Identifikasi dilakukan berdasarkan ciri khas yang terdapat pada salah satu anggota kelompok.

Metode pengamatan ad-libitumPengamatan perilaku dimulai dengan

menggunakan metode ad-libitum. Selama pengamatan dengan metode ad-libitum, perilaku makan yang dilakukan monyet ekor panjang dicatat dan dilakukan selama empat hari. Hasil akhir metode ini berupa daftar perilaku makan yang muncul selama monyet ekor panjang berada di hamparan sampah Pasar Ciampea.

Metode pengamatan all-occurrenceSetelah dilakukan metode ad-libitum,

pengamatan dilanjutkan dengan all-occurrence. Setiap aktivitas makan yang muncul diamati kemudian dihitung frekuensi aktivitas yang muncul. Pengamatan dilakukan sebanyak 4 kali pada masing-masing kelompok selama 15 menit. Data yang didapatkan berupa frekuensi pada setiap aktivitas yang diamati.

Identifikasi pakanIdentifikasi pakan bertujuan untuk mengetahui

preferensi pakan yang dikonsumsi monyet ekor panjang. Metode ini dilakukan dengan mengamati secara langsung jenis pakan yang dimakan dengan atau tanpa bantuan teropong monokuler kemudian dicatat frekuensinya. Pengamatan dilakukan sebanyak 4 kali pada masing-masing kelompok selama 15 menit. Metode ini dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan metode all-occurrence.

Analisis dataHasil pengamatan perilaku makan dan

preferensi pakan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan tabel. Analisis preferensi pakan dikaitkan dengan kategori alami atau buatan manusia, maupun dengan kategori kemudahan kontak dengan kontaminan. Dengan demikian tergambar potensi pakan dan perilaku pakan terhadap penyebaran zoonosis.

Page 12: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

10 Putra et al., Kajian One Health: Perilaku Makan dan Preferensi Pakan Monyet Ekor Panjang

Hasil dan Pembahasan

Perilaku makanHasil pengamatan ditabulasi dan dianalisis kemudian selanjutnya diinterpretasi (Tabel 1).

Perilaku mengambil pakan ada dua pola, yaitu mengambil langsung pakan dari hamparan sampah menggunakan kedua tangan (98,7%) dan merebut dari monyet lainnya (1,3%). Pengambilan pakan tersebut dilakukan dengan mendatangi dan membaui, kemudian mengunyah (mastikasi) pakan. Perilaku mastikasi ini terdiri dari tiga pola, yaitu dilakukan dengan tenang (74,3%), tergesa-gesa (22,3%), atau menyimpan pakan dalam kantung pipi (cheek pouch) (3,3%). Sebagai pembahasan dapat dijelaskan bahwa etiologi monyet mendatangi hamparan sampah Pasar Ciampea Bogor, karena jumlah dan pola ketersediaan sumber pakan di habitat aslinya berubah dan/atau berkurang akibat perubahan iklim atau perubahan habitat. Sumber pakan yang terus tersedia di hamparan sampah, karena petugas kebersihan bekerja tidak tuntas menyebabkan monyet secara rutin mendatangi hamparan sampah meski kedatangannya tidak berpola. Dengan demikian, keberadaan monyet di hamparan sampah selain karena mendapat alternatif sumber pakan baru yang terus tersedia, juga karena adanya proses perilaku belajar (learning behavior).

Umumnya pada lingkungan yang terbatas, perilaku monyet untuk mendapatkan pakan cenderung berkompetisi dan bersifat agonistik. Perilaku monyet pada hamparan sampah Pasar Ciampea, meskipun menunjukkan perilaku agonistik, tetapi tidak mencapai tahap agresif. Melimpahnya ketersediaan pakan di hamparan sampah menyebabkan kegiatan kompetisi mencari pakan, sehingga monyet tidak perlu melakukan tindakan agresif terhadap monyet lain untuk mendapatkan pakan demi memenuhi kebutuhan energinya. Selain itu, dengan banyaknya pakan yang tersedia di hamparan sampah, monyet dengan hierarki sosial yang

rendah tidak perlu menunggu monyet dengan hierarki yang lebih tinggi selesai makan untuk mendapatkan pakan yang diinginkan. Perilaku yang disebutkan Saputra et al. (2014), bahwa monyet bersifat agresif terhadap monyet dengan hierarki lebih rendah yang hendak mengambil pakan terlebih dahulu jarang terjadi pada monyet di hamparan sampah Pasar Ciampea.

Perilaku mastikasi atau mengunyah umumnya dilakukan dengan tenang dan hanya sedikit yang tergesa-gesa. Perilaku tergesa-gesa ini dicirikan dengan gerakan celingukan, pandangan gelisah, dan menghindar bila ada monyet hierarki lebih tinggi lewat atau didekati manusia. Perilaku menyimpan pakan di cheek pouch paling sedikit, dan sebagian besar dilakukan monyet juvenile atau kanak-kanak. Tindakan menyimpan pakan pada cheek pouch diduga karena monyet merasa terancam dan khawatir apabila pakan yang ada pada genggaman direbut monyet lain yang memiliki hierarki lebih tinggi darinya (Putra et al. 2000). Sumber pakan yang melimpah di hamparan sampah memungkinkan monyet untuk lebih tenang dalam mengunyah pakan dan mengeksplorasi hamparan sampah dengan bebas tanpa perlu khawatir diserang monyet lainnya. Nasution (2012) menyebutkan bahwa pakan memiliki pengaruh terhadap perilaku hewan. Hasil pengamatan tersebut hanya menjelaskan persentase perilaku makan kelompok secara keseluruhan, namun tidak menjelaskan secara detail persentase perilaku makan berdasarkan hierarki kelompok. Metode all-occurrence hanya mengamati perilaku spesifik kelompok saja, sehingga untuk dapat memperoleh data hierarki monyet yang mendominasi perilaku makan dengan tenang, tergesa-gesa, atau menyimpan pakan di cheek pouch diperlukan metode yang lebih spesifik.

Page 13: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 2, Juli 2017, hlm. 8-14 11

Aktivitas mendapatkan pakan secara langsung dan mengunyah pakan dengan tenang, menunjukkan monyet sudah mulai terbiasa dengan kehadiran manusia yang berada di sekitar hamparan sampah, seperti petugas sampah maupun masyarakat yang hendak membuang sampah. Hal tersebut menunjukkan kemampuan daya adaptasi monyet yang tinggi, sehingga dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan di luar habitatnya (Vasquez dan Simberloff 2002). Daya adaptasi yang tinggi tersebut perlu diperhatikan, karena semakin tinggi interaksi antara manusia dengan satwa liar, maka resiko penyebaran zoonosis atau penyakit dari manusia ke hewan atau sebaliknya

semakin besar (Wolfe et al. 2005). Peristiwa monyet yang turun untuk mendapatkan pakan di hamparan sampah, memungkinkan tingginya interaksi antara monyet dengan manusia. Beberapa penelitian telah menyebutkan bahwa monyet dapat menjadi host terhadap berbagai penyakit zoonosis, seperti tularemia (Matz-Rensing et al. 2007), tuberkulosis (McMurray 2000), dan hepatitis (Dupinay et al. 2013). Penelitian Karim et al. (2014) menunjukkan bahwa monyet positif terinfeksi Enterocytozoon bieneusi dan berpotensi menular pada manusia.Beberapa studi telah menjelaskan bahwa tingginya kontak antara manusia dengan monyet dapat meningkatkan risiko penyebaran zoonosis baik virus, bakteri, maupun parasit. Jones-Engel et al. (2006) menyebutkan bahwa manusia yang kontak dengan monyet di Swoyambhu, Kathmandu Nepal rentan terpapar virus asal primata seperti Cercopithecine herpesvirus

Monyet mengonsumsi 39 jenis pakan yang dibagi menjadi tiga kelompok besar berdasarkan keasliannya, yaitu pakan alami, pakan antropogenik, dan pakan yang tidak dapat diidentifikasi. Pakan alami seperti pisang, jagung, jeruk dan salak masih menjadi pilihan utama monyet saat mencari makan di hamparan sampah, ketimbang pakan antropogenik seperti gorengan, mi, maupun kue. Pakan yang tidak dapat diidentifikasi, sebab keterbatasan pengamat dalam mengamati jenis pakan, maupun monyet mengambil pakan dari plastik yang bentuk pakannya sulit untuk diamati. Jenis pakan yang dikonsumsi monyet dapat diamati pada Tabel 3. Faktor palatabilitas dapat menjadi alasan monyet ekor panjang mengonsumsi berbagai jenis pakan di hamparan sampah Pasar Ciampea (Wiseman dan Cole 1990).

1 (CHV-1), simian virus 40 (SV40), simian retrovirus (SRV), simian T-cell lymphotropic virus (STLV), simian immunodeficiency virus (SIV), dan simian foamy virus (SFV). Lanedegraaf et al. (2014) menyebutkan bahwa masyarakat Padangtegal Bali berpotensi tertular parasit gastrointestinal dari monyet ekor panjang.

Preferensi PakanHasil pengamatan jumlah dan persentase

jenis pakan yang dikonsumsi monyet ekor panjang di hamparan sampah berdasarkan keaslian pakan disajikan pada Tabel 2.

Page 14: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

12 Putra et al., Kajian One Health: Perilaku Makan dan Preferensi Pakan Monyet Ekor Panjang

Hasil tersebut menunjukkan bahwa meskipun berada di tempat yang bukan merupakan habitat alaminya, monyet tetap mencari dan memilih pakan alami seperti buah-buahan, daun-daunan, maupun umbi (Yeager 1996, Cowlishlaw dan Dunbar 2000, Supriatna dan Wahyono 2000). Persentase di atas menunjukkan bahwa komposisi pakan hamparan sampah mendekati komposisi pakan di habitat alami monyet. Hal ini berbeda dengan monyet di Telaga Warna Bogor, pakan antropogenik lebih banyak dikonsumsi dibandingkan dengan pakan alami (Nugraheni

2016). Konsumsi pakan antropogenik, karena monyet mampu untuk beradaptasi dengan pakan di sekitarnya, termasuk pakan yang berada di hamparan sampah (Hadi et al.2007). Meskipun memiliki persentase rendah, keberadaan pakan antropogenik, serta akibat kemampuan adaptasi monyet yang tinggi perlu diperhatikan, karena pakan antropogenik berpotensi menjadi media penyebaran zoonosis. Penelitian Suld et al. (2014) menunjukkan bahwa anjing rakun (Nyctereutes procyonoides) yang mengonsumsi pakan antropogenik, membawa agen-agen zoonosis, seperti tungau, rabies, trichinelosis, maupun

Page 15: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 2, Juli 2017, hlm. 8-14 13

alveolar echinococcocis. Potensi serupa dapat terjadi pada monyet yang mengonsumsi pakan antropogenik di hamparan sampah, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai akibat mengkonsumsi pakan antropogenik yang dilakukan monyet di hamparan sampah.

Jenis pakan yang dikonsumsi berdasarkan risiko keterpaparan terhadap kontaminan yang ada di hamparan sampah dapat dilihat pada Tabel 4.

Sebanyak 69% monyet mengonsumsi pakan tertutup seperti pisang, jagung, jeruk, dan salak, sedangkan 31% monyet mengonsumsi pakan terbuka seperti gorengan, kentang, dan singkong. Tingginya konsumsi pakan tertutup, karena sebagian besar pakan yang banyak dipilih monyet seperti pisang, jagung, jeruk, dan salak, merupakan pakan yang perlu usaha lebih untuk dapat dikonsumsi, dan termasuk dalam kategori pakan tertutup yang masih menyerupai pakan alami.

Pakan terbuka berpotensi membawa agen zoonosis lebih besar dibandingkan pakan tertutup, karena pakan terbuka lebih mudah terpapar mikroorganisme infeksius. Monyet yang mengonsumsi pakan tertutup, harus membuka kulit atau kemasan pakan tersebut sebelum dikonsumsi. Kondisi pakan di hamparan sampah yang penuh dengan parasit seperti lalat, protozoa, dan cacing (Graczyk et al. 2001), maupun mikroorganisme lainnya seperti kapang dan bakteri (Hagemeyer et al. 2013) juga dapat berpotensi menginfeksi monyet ketika mengonsumsi pakan tersebut, ketika melakukan perawatan diri (grooming), atau menghirup udara di sekitar sampah dan dapat menularkan agen penyakit ke masyarakat setempat.

Simpulan dan Saran

Pola perilaku monyet ekor panjang mengambil pakan sendiri, mengunyah pakan dengan tenang, mengonsumsi pakan

antropogenik dan pakan terbuka berpotensi menyebarkan penyakit zoonosis. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perilaku makan dengan metode focal animal sampling untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, serta penelitian terhadap kondisi habitat asli dan daya jelajah monyet ekor panjang, yang turun ke hamparan sampah di Pasar Ciampea. Perlu dilakukan analisis mikroorganisme

maupun ektoparasit serta penelitian terkait dampak pakan di hamparan sampah terhadap status kesehatan monyet ekor panjang dan potensi risiko penularan penyakit dari monyet ekor panjang pada masyarakat Ciampea.

Daftar Pustaka

Cowlishaw G, Dunbar R. 2000. Primate Conservation Biology. Chicago (US): Chicago University Press.

Crockett CM, Wilson CL. 1980. The ecological separation of Macaca nemestrina and Macaca fascicularis in Sumatra. Di dalam: Lindburg DE, editor. The Macaque: Studies in ecology, behaviour and evolution. New York (US): Van Nostrand Reindhold.

Dupinay T, Gheit T, Roques P, Cova L, Chevallier-Queyron P, Tasashu S, Le Grand R, Simon F, Cordier G, Wakrim L, Benjelloun S, Trepo C, Chemin I. 2013. Discovery of naturally occurring transmissible chronic hepatitis B virus infection among Macaca fascicularis from Mauritius Island. Hepatology 58(5): 1610-1620.

Engelhardt A, Pfeifer JB, Heistermann M, Niemitz C, Van Hoff JARAM, Hodges JK. 2004. Assessment of female reproductive status by male long-tailed macaques (Macaca fascicularis), under natural conditions. Anim Behav 67(5): 915-24.

Page 16: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

14 Putra et al., Kajian One Health: Perilaku Makan dan Preferensi Pakan Monyet Ekor Panjang

Graczyk TK, Knight R, Gilman RH, Cranfield MR. 2001. The role of non-biting flies in the epidemiology of human infectious diseases. Microbes and Infection 3: 231-235.

Hadi I, Suryobroto B, Farajallah DP. 2007. Food preference of semiprovisioned macaques based on feeding duration and foraging party size. Hayati 14: 13-17

Hagemeyer O, Bunger J, Van Kampen V, Raulf-Heimsoth M, Drath C, Merget R, Bruning T, Broding HC. 2013. Occupational allergic respiratory diseases ingarbage workers: relevance of molds and actinomycetes. Neurobiol Respiration 788: 313-320.

Jones-Engel L, Engel GA, Heidrich J, Chalise M, Poudel N, Viscidi R, Barry PA, Allan JS, Grant R, Kyes RC. 2006. Temple monkeys and health implication of commensalism, Kathmandu, Nepal. Emerg Infect Dis 12(6): 900-906.

Karim MR, Wang R, Dong H, Zhang L, Li J, Zhang S, Rume FI, Qi M, Jian F, Sun M, Yang G, Zou F, Ning C, Xiao L. 2014. Genetic polymorphism and zoonotic potential of Enterocytozoon bieneusi from nonhuman primates in China. Appl Environ Microbiol 1893-1898.

Kruse H, Kirkemo AM, Handeland K. 2004. Wildlife as source of zoonotic infections. Emerg Infect Dis 10(12): 2067-2072

Lanedegraaf KE, Putra Arta IGA, Wandia IN, Rompis A, Hollocher H. 2014. Human behavior and opportunities for parasite transmission in communities surrounding long-tailed macaque populations in Bali, Indonesia. Am J Primatol 76: 159-167.

Matz-Rensing K, Floto A, Schrod A, Becker T, Finke EJ, Seibold E, Splettstoesser WD, Kaup FJ. 2007. Epizootic of tularemia in an outdoor housed group of cynomolgus monkeys (Macaca fascicularis). Vet Pathol 44: 327-334.

McMurray DN. 2000. A nonhuman primate model for preclinical testing of new tuberculosis vaccines. Clin Infect Dis 30: 210-212.

Nakayima J, Hayashida K, Nakao R, Ishii A, Ogawa H, Nakamura I, Moonga L, Hang’ombe BM, Mweene AS, Thomas Y, Orba Y, Sawa H. 2014. Detection and characterization of zoonotic pathogens of free-ranging non-human primates from Zambia. Parasites & Vector 2-14 (490): 1-7.

Nasution SP. 2012. Kecernaan pakan dan perilaku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) pada kondisi aklimasi temperature dan kelembaban [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Nugraheni LS. 2016. Food Preference of Long Tailed Macaques in Telaga Warna Bogor, West Java [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Putra Arta IGA, Fuentes A, Suaryana KG, Rompis ALT. 2000. Perilaku Makan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Wenara Wana, Pedangtegal, Ubud, Bali. Di dalam: Konservasi Satwa Primata: Tinjauan Ekologi, Sosial Ekonomi, dan Medis dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Prosiding Seminar Primatologi Indonesia, 2000 Sept 7; Yogyakarta, Indonesia. Universitas Gadjah Mada (UGM).

Saputra KGW, Watiniasih NL, Ginantra IK. 2014. Aktivitas harian kera ekor panjang (Macaca fascicularis) di Taman Wisata Alam Sangeh, Kabupaten Badung, Bali. J. Biol 18(1): 14-18.

Suld K, Valdmann H, Laurimaa L, Soe E, Davison J, Saarma U. 2014. An invasive vector of zoonotic disease sustained by anthropogenic resources: the raccoon dog in Northern Europe. Plos one 9(5): 1-9

Supriatna J, Wahyono HE. 2000. Primata Indonesia: Panduan Lapangan. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia

Vasquez DP, Simberloff D. 2002. Ecological specialization and suspectibility to disturbance: conjectures and refutations. Am Nat 159: 606-623.

Wiseman J, Cole PJA. 1990. Feedstuff Evaluation. Cambridge (UK): Cambridge University Press.

Wolfe ND, Daszak P, Kilpatrick AM, Burke DS. 2005. Bushmeat hunting, deforestation, and prediction of zoonoses emergence. Emerg Infect Dis 11(12): 1822-1827.

Yeager CP. 1996. Feeding ecology of long-tailed macaques (Macaca fascicularis) in Kalimantan Tengah, Indonesia: Int J Primatol.17(1): 51-56.

Zinsstag J, Schelling E, Waltner-Toews D, Tanner M. 2011. From “one medicine” to “one health” and systemic approaches to health and well-being. Prev Vet Med 101(3-4): 148-156.

Page 17: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 2, Juli 2017, hlm. 15-20 ISSN 1410-5373

Kultur Primer Sel Endotelial Asal Darah Tepi Berinti Tunggal pada Beruk (Macaca nemestrina)

The Culture of Endothelial Primary Cell Derived from Peripheral Blood Mononuclear Cells (PBMCs) of Pig Tailed Macaque (Macaca nemestrina)

Mariya S1*, Lydwina2, Permanawati1, Iskandriati D1, Pamungkas J1

1Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor 2Fakultas Teknobiologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jalan Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930

*Koresponden: [email protected]

Abstract. The technique of animal cell culture has long been used for biomedical research. This technique can reduce the use of animal models which are often hampered by ethical issues and animal welfare. Endothelial cells have been used in biomedical research for in vitro assay but avaibility is limited and it is difficult to culture. The objective of this research was to obtain the culture of endothelial primary cells from peripheral blood mononuclear cells of Macaca nemestrina. Mononuclear cells were grown using specific endothelial media. Cell population showed endothelial-like in morphology, which was successfully subcultured to passage 3 and expressed the endothelial cells antigen specific gene markers such as CD31, vWF, and VE-cadherin. Collectively, these results indicate that our cell culture is a reliable model for acquiring a population of cells with endothelial properties, and that it can be used for further research for bioactive compound assay.

Key words: endothelial cells, Macaca nemestrina, peripheral blood mononuclear cells

Pendahuluan

Teknik kultur sel hewan merupakan cara yang telah banyak digunakan dalam penelitian, khususnya biomedis. Penggunaan teknik kultur sel hewan, dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti hewan model penelitian yang dalam penggunaannya sering dihadapkan masalah etika kesejahteraan hewan (animal welfare). Aplikasi kultur sel hewan dalam bidang biomedis, dengan teknik in-vitro tersebut di antaranya untuk menguji toksisitas suatu senyawa bioaktif yang nantinya diharapkan dapat menjadi obat ataupun vaksin. Sel endotelial banyak digunakan dalam uji toksisitas senyawa bioaktif yang berkaitan dengan angiogenesis dan pembuluh darah. Ketersediaan sel endotelial masih sedikit dan cukup sulit didapatkan. Sumber sel endotelial yang umum digunakan adalah pembuluh darah vena tali pusat manusia dan American Type Culture Collection (ATCC). Namun kedua sumber tersebut memiliki kendala dalam hal waktu dan biaya. Progenitor sel endotelial (endothelial progenitor cell/EPC) dapat dijadikan sebagai alternatif sumber sel endotelial, karena progenitor sel endotelial dapat dikembangkan menjadi sel endotelial matang, serta dapat diperoleh dari darah tepi (Lachman et al. 2012).

Satwa primata banyak digunakan sebagai hewan model penelitian, karena memiliki persamaan anatomi dan fisiologinya. Oleh karena itu, kultur sel endotelial asal satwa primata dapat mewakili ketersediaan endotelial asal manusia untuk kepentingan uji senyawa

bioaktif yang nantinya akan diaplikasikan untuk pengembangan pengobatan pada manusia (Bailey 2005). Tujuan penelitian ini untuk memperoleh kultur primer sel endotelial darah tepi berinti tunggal pada beruk (Macaca nemestrina), yang nantinya dapat ditransformasikan menjadi stok kultur sel endotelial dan dapat digunakan untuk uji senyawa bioaktif kandidat obat.

Materi dan Metode

Isolasi darah tepi M. nemestrinaDarah tepi dikoleksi dari vena femoralis

(pangkal paha) dalam tabung darah dengan antikoagulan EDTA. Koleksi darah dilakukan dokter hewan mengikuti prosedur yang telah disetujui Komisi Pengawasan Kesejahteraan dan Penggunaan Hewan Penelitian, Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat IPB KPKPHP PSSP IPB No. 06-A003-IR (Adendum).

Isolasi dan kultur sel punca mesenkimal darah tepi

Sampel darah tepi sebanyak 10 mL dimasukkan ke dalam tabung yang berisi antikoagulan EDTA, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 700 x g selama 15 menit. Plasma dikoleksi, kemudian lapisan buffy yang mengandung sel berinti diambil. Kemudian diresuspensi menggunakan 10 mL PBS steril, lalu ditambahkan pada larutan Ficoll dengan metode overlayer. Tabung disentrifugasi dengan kecepatan 1100 x g selama 30 menit. Lapisan cincin putih yang mengandung sel-

Page 18: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

16 Mariya et al., Kultur Primer Sel Endotelial Asal Darah Tepi Berinti Tunggal

sel berinti tunggal diambil dan dipindahkan ke tabung baru, serta ditambahkan media tanpa serum, kemudian disentrifugasi kembali pada kecepatan 700X g selama 10 menit. Supernatan dibuang, dan ke dalam pelet sel ditambahkan media tanpa serum. Tabung kembali disentrifugasi dengan kecepatan 700X g selama 10 menit. Supernatan dibuang kembali. Pelet sel ditambahkan 5 mL media tanpa serum, kemudian jumlah sel dihitung menggunakan hemasitometer. Sel ditumbuhkan pada pelat kultur jaringan 6 sumur dengan konsentrasi 107 sel per sumur dalam media endotelial (LonzaTM). Sel diinkubasi pada inkubator dengan suhu 37oC dan konsentrasi CO2 5%.

Subkultur selSubkultur sel dilakukan setelah kultur

mencapai 80% konfluensi. Media dibuang dan sel dicuci dengan 2 mL PBS. Ke dalam setiap sumur ditambahkan 1 mL tripsin 0,25% untuk melepaskan sel dari sumur. Pelat kultur diinkubasi di dalam inkubator dengan suhu 37oC dan konsentrasi CO2 5% hingga sel lepas. Ditambahkan 1 mL media pertumbuhan untuk menginaktivasi tripsin. Sel diresuspensi

dan dipindahkan seluruhnya ke dalam tabung sentrifuse 15 mL. Suspensi sel disentrifugasi pada kecepatan 700x g selama 10 menit. Supernatan dibuang lalu pelet sel diresuspensi menggunakan media pertumbuhan. Sel dihitung dengan hemasitometer. Sel ditumbuhkan kembali dengan konsentrasi 106 sel per sumur, sedangkan sisa sel ditampung pada tabung mikro. Suspensi sel pada tabung mikro disentrifugasi pada kecepatan 4000x g selama 1 menit. Supernatan dibuang lalu ke dalam tabung mikro tersebut ditambahkan 1 mL PBS untuk mencuci sisa media dan disentrifugasi kembali pada kecepatan 4000x g selama 1 menit. Proses pencucian sel dilakukan sebanyak dua kali. Pelet sel disimpan pada suhu -20oC untuk proses ekstraksi mRNA.

Pertama dilakukan proses pre-PCR yang bertujuan mengaktifkan enzim polimerase pada suhu 94oC selama 10 menit. Kemudian dilanjutkan tahapan PCR yang terdiri atas denaturasi pada suhu 94OC selama 30 detik; annealing pada suhu 54oC selama 30 detik; dan elongasi pada suhu 72oC selama 30 detik. Tahapan amplifikasi PCR diulang sebanyak 40 siklus. Setelah siklus terakhir selesai, ditambahkan proses elongasi selama 10 menit pada suhu 74oC.

Setelah proses amplifikasi selesai, dilakukan proses visualisasi hasil PCR dengan elektroforesis gel agarosa konsentrasi 2% mengandung etidium bromida 0,1 µg/mL. Marker DNA 100 bp dan hasil PCR ditambahkan penyangga loading (1:5), kemudian dimasukkan

Ekstraksi mRNA sel punca mesenkimalEkstraksi mRNA dilakukan menggunakan

kit Rneasy (Qiagen, USA) mengacu pada prosedur perusahaan.

PCR sampel sel punca mesenkimalReverse transcriptase. Proses reverse

transcriptase dilakukan untuk memperoleh cDNA sampel RNA yang sudah dimurnikan, dengan menggunakan kit Superscript III RT (Invitrogen, USA) yang mengacu pada prosedur perusahaan.

Amplifikasi DNA dengan teknik PCRAmplifikasi PCR dilakukan untuk melihat

ekspresi gen sel endotelial, yaitu CD31, vWF, VE-cadherin, VEGFR-2, Flk-1. Ekspresi gen gliseraldehida-3-fosfat dehidrogenase (GAPDH) digunakan sebagai kontrol cDNA dari masing-masing sampel. Disiapkan pereaksi PCR yang terdiri atas penyangga PCR 10x, MgCl2 50mM, dNTPs, Taqgold, air bebas nuklease, primer (forward dan reverse) dan sampel cDNA. Daftar primer yang digunakan terdapat pada Tabel 1.

Page 19: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 2, Juli 2017, hlm. 15-20 17

ke dalam sumur gel. Proses elektroforesis dijalankan pada tegangan listrik 100 volt selama 45 menit. Hasil elektroforesis divisualisasi menggunakan Gel Doc.

Analisis data Analisis data yang dilakukan meliputi

morfologi dan deteksi ekspresi gen penanda permukaan sel endotelial.

Hasil dan Pembahasan

Sel endotelial telah berhasil diisolasi dari darah tepi beruk dan ditumbuhkan dalam media endotelial. Sel mulai tumbuh dan dapat diamati menempel pada substratnya pada hari ke 12. Pertumbuhan sel pada Pasase 0 telah menunjukkan morfologi endothelial-like dengan bentuk menyerupai cobblestone (Gambar 1). Subkultur dilakukan setelah

sel mencapai konfluensi 80% dan berhasil disubkultur sampai Pasase 3. Populasi sel pada Pasase 3 menunjukkan pertumbuhan yang lambat dan tidak dapat mencapai konfluensi 80%, diduga sel ini mengalami senesens, suatu peristiwa pada sel yang tidak tertranformasi mengalami pemendekan telomer, karena tidak aktifnya enzim telomerase, sehingga mengakibatkan apoptosis yang mempengaruhi

(256 bp), vWF (582 bp), VE-cad (597bp), VEGFR-2 (585 bp), dan Flk-1 (537 bp), serta GAPDH (352 bp) yang digunakan sebagai kontrol cDNA.

Pada Pasase 0, hasil visualisasi menunjukkan ekspresi CD31 dan VE-cad, sedangkan vWF, VEGFR-2, dan Flk-1 tidak diekspresikan (Gambar 2A). Ekspresi CD31, vWF, dan VE-cad tampak pada visualisasi

penurunan jumlah sel. Senesens juga dipacu kerusakan DNA, induksi stres dan kondisi kultur. Salah satu faktor yang mempengaruhi senesens dalam kultur sel adalah konsentrasi oksigen. Terbentuknya Reactive Oxygen Species (ROS) dapat terjadi karena tinggi oksigen yang diketahui dapat memacu senesens, sebaliknya kultur dengan konsentrasi oksigen lebih rendah dapat memperlambat proses senesens (Guadamillas et al. 2011).

Bersamaan dengan pasase sel, sebagian sel dijadikan pelet yang digunakan untuk deteksi molekul penanda permukaan sel endotelial. Ekstraksi mRNA dilakukan untuk pelet sampel sel dari setiap pasase. Hasil ekstraksi mRNA kemudian ditranskripsi balik agar menghasilkan cDNA yang merupakan DNA utas ganda, salinan dari mRNA tersebut. cDNA tersebut diamplifikasi menggunakan primer spesifik penanda permukaan sel endotelial, yaitu CD31

Page 20: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

18 Mariya et al., Kultur Primer Sel Endotelial Asal Darah Tepi Berinti Tunggal

produk PCR sampel sel endotelial Pasase 1, sedangkan VEGFR-2 dan Flk-1 tidak diekspresikan (Gambar 2B). Seperti pada Pasase 1, ekspresi penanda permukaan CD31, vWF, dan VE-cad juga tampak pada visualisasi hasil PCR sampel sel Pasase 2 dan 3, sedangkan VEGFR-2 dan Flk-1 kembali tidak diekspresikan pada kedua pasase ini (Gambar 3). Ekspresi GAPDH muncul pada visualisasi semua pasase sampel sel (Gambar 2 dan 3).

Sel-sel darah tepi berinti tunggal dari beruk yang diisolasi dengan menggunakan teknik sentrifugasi gradien, sel darah akan terpisah berdasarkan densitasnya dan sel darah berinti tunggal akan berada pada satu lapisan yang sama (Koerner et al. 2006).

Sel darah tepi berinti tunggal yang mengandung progenitor sel endotelial ditumbuhkan pada media endotelial yang mengandung beberapa faktor tumbuh (growth factor) guna membantu seleksi dan pertumbuhan

Pada penelitian ini, sel endotelial yang berasal dari darah tepi berhasil dikulturisasi. Berdasarkan pengamatan mikroskopik, koloni sel endotelial Pasase 0 baru mulai tampak setelah hari ke-12 inkubasi. Pertumbuhan sel ini tergolong lambat. Hal ini karena jumlah progenitor sel endotelial dalam darah tepi cukup sedikit, sekitar 0,01%. Selain itu, adanya perubahan lingkungan tumbuh yang awalnya in vivo menjadi in vitro menyebabkan sel harus beradaptasi, sehingga proliferasi sel lebih lambat (Smadja et al. 2007). Namun populasi sel yang

sel endotelial. Growth factor yang terkandung dalam media sel endotelial tersebut, di antaranya vascular endothelial growth factor, epidermal growth factor, fibroblast growth factor-b, insulin like growth factor, serta fetal bovine serum. Dengan adanya growth factor, sel-sel selain sel endotelial yang terdapat dalam sel darah tepi berinti tunggal tidak dapat bertahan hidup, sehingga hanya sel endotelial yang dapat tumbuh dan berkembang.

Page 21: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 2, Juli 2017, hlm. 15-20 19

tumbuh menunjukkan morfologi endothelial-like dengan bentuk cobble stone (Gambar 1A). Setelah sel mencapai 80% konfluensi, sel disubkultur menjadi Pasase 1. Morfologi sel pada Pasase 1 juga menunjukkan morfologi endothelial-like. Pasase 2 yang merupakan hasil subkultur Pasase 1 menunjukkan perubahan morfologi sel, sebagian populasi sel tampak memanjang. Selain itu, proliferasi sel menjadi lebih lambat dan hampir tidak menunjukkan pertumbuhan, Hal ini dapat dilihat dari koloni sel yang tidak membesar ataupun bertambah. Koloni sel yang tumbuh mengalami penuaan tanpa penambahan jumlah sel, sehingga dilakukan subkultur sel dari Pasase 2 menjadi Pasase 3. Jumlah sel yang ditumbuhkan pada Pasase 3 menjadi lebih sedikit, karena sel pada Pasase 2 jumlahnya sedikit dan sebagian dijadikan pelet untuk proses uji PCR. Populasi sel pada pasase ini akhirnya mengalami finite ditunjukkan dengan menurunnya kemampuan proliferasi sel dan justru malah mengalami kematian. Finite sel terjadi, karena sel yang ditumbuhkan merupakan kultur primer, sehingga belum stabil pertumbuhannya, serta jumlah sel yang sedikit dapat menyebabkan pertumbuhan menjadi terhambat. Namun dari sel yang masih tersisa pada Pasase 3 tetap menunjukkan morfologi endothelial-like. Seluruh sel pada Pasase 3 dipanen dan dijadikan pelet untuk diuji penanda sel endotelialnya.

Selain pengamatan mikroskopik, dilakukan juga uji deteksi penanda permukaan sel endotelial, yaitu CD31, vWF, VE-cad, VEGFR-2, Flk-1, dan GAPDH sebagai kontrol cDNA, dengan menggunakan teknik PCR untuk sampel sel endotelial Pasase 0 sampai 3. Penanda permukaan CD31 diekspresikan pada seluruh pasase sel. CD31 sering disebut juga platelet endothelial cell adhesion molecule-1 (PECAM-1). CD31 merupakan penanda permukaan sel endotelial matang yang berperan dalam pelekatan-pelekatan sel endotelial dan dalam proses migrasi leukosit melalui jaringan interseluler sel-sel endotelial (Woywodt et al. 2006). Von Willebrand Factor (vWF) merupakan glikoprotein yang dapat dilibat dalam hemostasis primer. vWF berfungsi sebagai mediator penempelan (adhesi) platelet pada subendotelium yang rusak dan berperan dalam proses koagulasi darah. Ekspresi vWF hanya terbatas pada sel endotelial dan megakariosit. Oleh karena itu vWF sering digunakan sebagai penanda untuk membedakan sel endotelial dari sel tipe lainnya (Wang et al. 2004). Hasil deteksi vWF menunjukkan bahwa vWF diekspresikan pada Pasase 1, 2, dan 3,

sedangkan pada Pasase 0, pita hasil amplifikasi vWF tidak muncul. Hal ini karena vWF yang merupakan penanda permukaan sel endotelial matang belum diekspresikan pada Pasase 0 dan sel bersifat belum matang sepenuhnya. VE-cadherin bersama dengan CD31 merupakan molekul transmembran spesifik untuk kontak antar sel endotelial. VE-cadherin disebut juga cadherin-5 diekspresikan secara selektif oleh sel endotelial pada seluruh pembuluh darah. VE-cadherin mampu memediasi pelekatan homofilik antarsel pada sel yang telah ditransfeksi (Lampugnani et al. 1995). Ekspresi VE-cadherin tampak pada semua pasase, namun pita yang menunjukkan ekspresi VE-cad ini masih sangat tipis dan muncul pita lain yang tidak spesifik (non target). Pita yang tipis dan munculnya pita yang bukan target karena primer yang digunakan masih kurang spesifik dan suhu penempelan primer yang belum optimum. Vascular endothelial growth factor receptor-2 (VEGFR-2) dikenal juga sebagai Kinase Insert Domain Receptor (KDR). VEGFR-2 memiliki peranan sebagai mediator utama dalam stimulasi proliferasi, migrasi, dan pembentukan pembuluh darah baru (Sills et al. 2006). Fetal liver kinase-1 (Flk-1) dikenal juga sebagai VEGFR-2. Namun pada penelitian ini, digunakan primer yang berbeda antara VEGFR-2 dengan Flk-1. Kedua penanda permukaan sel endotelial ini tidak diekspresikan pada semua pasase sel. Tidak adanya ekspresi VEGFR-2 dan Flk-1 ini dimungkinkan, karena sel yang ditumbuhkan tidak mengalami vaskularisasi dan tidak terbentuknya reseptor VEGFR-2 sebagai respon terhadap VEGF sehingga proses translasi protein tidak terjadi. Menurut Shibuya (2006), VEGFR-2 tergolong dalam early marker dari progenitor sel endotelial, ekspresi molekul penanda ini akan menurun berkebalikan dengan peningkatan kematangan sel endotelial, dan juga dinyatakan bahwa ekspresi VEGFR-2 terbatas pada sel endotelial secara in vivo. Ekspresi kontrol cDNA, yaitu GAPDH yang merupakan housekeeping gene, muncul pada semua pasase sel, artinya pelet sel setiap pasase benar mengandung sel, dan proses ektraksi mRNA serta transkripsi balik menjadi cDNA berhasil dilakukan. Perbedaan ketebalan pita ekspresi GAPDH pada setiap pasase terjadi, karena adanya perbedaan jumlah sel yang diekstraksi. Hal ini dapat berpengaruh pada ketebalan pita ekspresi penanda-penanda permukaan sel endotelial. Semakin sedikit jumlah mRNA, maka jumlah molekul protein penanda permukaan juga semakin sedikit, dan sebaliknya.

Page 22: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

20 Mariya et al., Kultur Primer Sel Endotelial Asal Darah Tepi Berinti Tunggal

Simpulan dan Saran

Sel endotelial asal sel darah tepi berinti tunggal pada beruk berhasil diisolasi dan dikulturisasi. Sel endotelial tersebut menunjukkan morfologi endotelial-like menyerupai cobble Stone. Populasi sel yang dikulturisasi juga menunjukkan ekspresi penanda permukaan spesifik sel endotelial, seperti CD31, vWF, dan VE-cad.

Populasi sel endotel masih harus diperbanyak dengan mengkulturkan populasi sel tersebut menggunakan matriks ekstraseluler, yang dapat mendukung pertumbuhan sel endotel, sehingga dapat dihasilkan sel yang banyak untuk kepentingan uji senyawa bioaktif in-vitro.

Ucapan Terima Kasih

Penelitian ini didanai dan difasilitasi Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (PSSP, LPPM-IPB).

Daftar Pustaka

Bailey. 2005. Non human primates in medical research and drug development: a critical review. Biog Amine. 19: 235-255

Gerecht-Nir S, Osenberg S, Nevo O, Ziskind, Coleman R, Itskovitz-Eldor. 2005. Vascular development in Early Human Embryos and in Teratoma Derived Human Embryonic Stem Cells. Biol Reprod. 71:2029-2036

Guadamillas MC, Cerezo A, del Pozo MA. 2011. Overcoming anoikis – pathways to anchorageindependent growth in cancer. J Cell Sci 124:3189-3197

Kaufman DS, Lewis RL, Hanson ET, Auerbach R, Plendl J, Thomson JA. 2003. Functional endothelial cells derived from rhesus monkey embryonic. Blood 103: 1325-1332

Koerner J, Nesic D, Romero JD, Brehm W, Varlet PM, Grogan SP. 2006. Equine peripheral blood-derived progenitors in comparison to bone marrow-derived stem cells. Stem Cells 24: 1613-1619.

Lachman R, Lanuti P, Miscia S. 2012. Characterization of circulating endothelial cells (CECs) in peripheral blood. Cytometry Part A 81(7): 549–551.

Lampugnani MG, Corada M, Caveda L. Breviario F, Ayalon O, Geiger B, Dejana E. 1995. The molecular organization of endothelial cell to cell junctions: differential association of plakoglobin,b-catenin, and a-catenin with vascular endothelial cadherin (VE-cadherin). J Cell Biol 129:203-217

Levenberg S, Ferreira LS, Chen-Konak L, Kraehenbuehl TP, Langer R. 2010. Isolation, differentiation and characterization of vascular cells derived from human embryonic stem cells. Nat Protoc 5(6):1115-26.

Ricousse-Roussanne SL, barateau V, Conteres J, Boval B, Karaus-Berthier L, Tobelem G. 2004. Ex vivo differentiated endothelial and smooth muscle cells from human cord blood progenitors hoem to the angiogenic tumor vasculature. Cardiovasc Res 62:176-184.

Shibuya M. 2006. Vascular endothelial growth factor (VEGF)-Receptor2: its biological functions, major signaling pathway, and specific ligand VEGF-E. Endothelium 13(2): 63-69.

Sills AD, Blunden MJ, Mawdsley J, Bastin AJ, McAuley D, Griffiths M, Rampton DS, Yaqoob MM, Macey MG, Agrawal SG. 2006. New flow cytometic technique for the evaluation of circulating endothelial progenitor cell levels in various disease groups. J Immunol Methods 316:107-115.

Smadja DM, Cornet A, Emmerich J, Aiach M, Gaussem P. 2007. Endothelial progenitor cells: Characterization, in vitro expansion, and prospects for autologous cell therapy. Cell Biol Toxicol 23: 223–239.

Tian H, Bharadwaj S, Liu Y, Ma H, Ma PX, Atala A, Zhang Y. 2010. Myogenic differentiation of human bone marrow mesenchymal stem cells on a 3D nano fibrous scaffold for bladder tissue engineering. Biomaterials 31: 870–877.

Wang X, Peng Y, Ma Y, Jahroudi N. 2004. Histone H1-like protein participates in endhotelial cell-sprecific activation of the von Willebrand factor promoter. Blood 104:1725-1732.

Woywodt A, Kirsch T, Haubitz M. 2006. Immunomagnetic isolation and FACS competing techniques for the enumeration of circulating endothelial cells. Thromb Haemost 96:1-2.

Page 23: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 2, Juli 2017, hlm. 21-25ISSN 1410-5373

Deteksi Tuberkulosis pada Satwa Primata Berbasis Interferon Gamma Releasing Assay (IGRA) dengan Enzyme-Linked Immunosorbent Spot

(ELISpot)

Detection of Tuberculosis in Non-Human Primates Based on Interferon Gamma Releasing Assay (IGRA) using Enzyme-Linked Immunosorbent Spot (ELISpot)

Darmono GE1*, Pamungkas J2

1Program Studi Primatologi, Program Multidisiplin, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor2Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor

*Korespondensi : [email protected]

Abstract. Tuberculosis is a disease caused by the bacteria Mycobacterium tuberculosis complex. Tuberculosis is a zoonotic disease that can attack humans and animals, such as non-human primates. Tuberculosis can be controlled through proper and accurate detection. Detection of tuberculosis can be done with the examination of skin and blood. Skin examination was performed with the tuberculin skin test (TST), whereas the blood examination of the interferon gamma measurement based on interferon gamma releasing assay (IGRA) was performed with enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) or enzyme-linked immunosorbent spot (ELISpot) assay technique. ELISpot techniques have a higher level of sensitivity and specificity compared to other techniques.

Key words: ELISpot, interferon gamma, non-human primate, tuberculosis

Pendahuluan

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang disebabkan beberapa spesies dalam kelompok Mycobacterium tuberculosis complex (MTC) (Lecu dan Ball 2011). TB merupakan penyakit zoonotik yang dapat menyerang manusia dan hewan atau sebaliknya (Tjahajati et al. 2007). MTC memiliki kemampuan untuk menginfeksi satwa liar dengan kerentanan, patogenisitas dan respon imunitas yang sangat bervariasi antar MTC dan spesies satwa liar. Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis) dapat menginfeksi manusia dan satwa primata (Lecu dan Ball 2011; Scanga dan Flynn 2017). Outbreak TB dilaporkan terjadi pada monyet dunia lama, termasuk koloni tertutup monyet rhesus (Macaca mulatta) dan koloni semi tertutup monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) (Payne et al. 2011).

Tuberkulosis dapat menginfeksi prosimian, monyet dunia baru dan monyet dunia lama, seperti kera besar (Scanga dan Flynn 2017). Monyet dunia lama lebih sensitif dibandingkan great apes dan monyet dunia baru (Matz-Rensing et al. 2015). TB sering terjadi pada satwa primata dan umumnya karena galur bakteri TB pada manusia. TB dilaporkan terjadi pada pig-tailed macaque/beruk (Macaca nemestrina/beruk), stumptailed macaque (M. speciosa), squirrel monkey (Saimiri sciureus), rhesus monkey (M. mulatta) dan cynomolgus

monkey (M. fascicularis). TB pada orangutan (Pongo pygmaeus) belum banyak dilaporkan (Shin et al. 1995).

Tindakan kontrol TB diperlukan deteksi yang akurat, pengobatan yang efektif dan isolasi individu yang terinfeksi sangat penting. Deteksi TB harus dilakukan secara akurat dan tepat, sehingga diperlukan teknik deteksi TB dengan sensitivitas dan spesifisitas tinggi. Deteksi TB dapat dilakukan melalui pemeriksaan kulit dan darah. Pemeriksaan kulit yang sering dilakukan untuk deteksi TB melalui mantoux tuberculin test (MTT) atau tuberculin skin test (TST). TST dilakukan dengan injeksi intradermal 5 tuberculin unit (TU) turunan protein murni PPD-S atau protein purified derivate (PPD) atau 2 TU PPD RT23. Antigen PPD akan menyebabkan respon imunitas yang diperantarai sel (cell-mediated immune response) dan menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe delayed dalam 48-72 jam. Reaksi imunitas menyebabkan indurasi lokal pada kulit, khususnya tempat suntikan. TST dapat memberikan hasil false-negative tergantung pada kepekaan individu (Pai et al. 2014).

Deteksi TB pada satwa primata selain TST dapat dilakukan melalui pemeriksaan darah berdasarkan interferon gamma (IFN-γ) untuk mengukur reaksi sistem imunitas. Pengukuran IFN-γ dapat dilakukan dengan teknik interferon gamma releasing assay (IGRA). IGRA merupakan pemeriksaan

Page 24: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

22 Darmono dan Pamungkas, Deteksi Tuberkulosis pada Satwa Primata Berbasis IGRA

darah secara in vitro untuk mengetahui respon imunitas yang diperantarai sel (cell-mediated immune response) dengan mengukur pelepasan IFN-γ sel limfosit T. Respon imunitas diakibatkan stimulasi antigen spesifik M. tuberculosis complex, yaitu early secretory antigenic target 6 (ESAT-6) dan culture filtrate protein 10 (CFP-10). Pengembangan deteksi TB pada satwa primata menggunakan teknik IGRA perlu dilakukan dan diterapkan sebagai alternatif lain dari TST. Hal ini karena IGRA memiliki spesivisitas untuk deteksi TB di atas 95% dan tidak terpengaruh vaksinasi dengan vaksin bacillus calmatte-guerin (BCG) (Pai et al. 2014). Pang et al. (2015) sensitivitas IGRA dari cairan pleura dan darah sebesar 82% dan 80%, serta spesifisitas sebesar 87% dan 70%.

Interferon gamma releasing assay (IGRA) yang tersedia di banyak negara dan digunakan pada manusia, yaitu kit QuantiFERON-TB Gold-in Tube (QFT) dan kit T-SPOT.TB Assay. Kit T-SPOT.TB assay memiliki sensitivitas lebih tinggi dibandingkan kit QFT assay atau TST (Pai et al. 2014). T-SPOT.TB memiliki sensitivitas sebesar 88,6% dan spesifisitas sebesar 83,1%. IGRA yang digunakan pada satwa primata selama ini kit PRIMAGAM assay. Kit PRIMAGAM assay memiliki sensitivitas rendah, namun spesivisitasnya tinggi dibandingkan dengan TST. Kit T.SPOT.TB merupakan IGRA yang dilakukan dengan teknik enzyme-linked immunosorbent spot assay (ELISpot). Deteksi TB dengan teknik ELISpot yang digunakan pada satwa primata belum banyak dilaporkan. Pemahaman mengenai teknik ELISpot sebagai salah satu alternatif deteksi TB berbasis IGRA perlu dijelaskan lebih lanjut. Dengan demikian, penggunakan IGRA dengan teknik ELISpot dapat digunakan dalam deteksi TB pada satwa primata dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.

Interferon Gamma Releasing Assay (IGRA)Interferon gamma (IFN-γ) releasing

assay (IGRA) telah banyak digunakan dalam deteksi beberapa penyakit, salah satunya TB. Penggunaan IGRA dalam deteksi TB telah banyak diterapkan pada manusia, dibandingkan pada hewan. Beberapa metode IGRA yang diterapkan dalam deteksi TB, diantaranya teknik enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan enzyme-linked immunosorbent spot assay (ELISpot). Antigen spesifik TB yang digunakan untuk menstimulasi pengeluaran IFN-γ oleh sel limfosit T pada IGRA, yaitu early secretory antigenic target 6 (ESAT-6) dan culture filtrate protein 10 (CFP-10) yang berasal dari M. tuberculosis complex, kecuali substrain bacillus calmette-guerin (BCG) (Pai et al. 2014).

Early secretory antigenic target-6 (ESAT-6) dan culture filtrate protein-10 (CFP-10) merupakan dua antigen spesifik utama pada M. tuberculosis dan memiliki peran utama sebagai faktor virulensi M. tuberculosis dan menyebabkan respon sel limfosit T yang kuat (Li et al. 2016). Gen Rv3875 yang mengkode ESAT-6 memiliki lokasi pada daerah region of difference 1 (RD1), yang terdapat pada semua Mycobacteria sp. patogenik, termasuk M. tuberculosis dan M. bovis. Mohmoudi et al. (2013) menyatakan ESAT-6 dan CFP-10 membantu proses translokasi M. tuberculosis dari fagosom dalam sitoplasma sel hospes pada tahap akhir infeksi. M. tuberculosis juga menganggu ekspresi molekul major histocompatibility complex (MHC) Kelas II melalui ESAT-6. ESAT-6 akan berinteraksi dengan Toll-receptor like 2 (TLR2) dan menstimulasi respon imunitas pada hospes. Pengenalan ESAT-6 oleh sel limfosit T yang diisolasi dari hewan terinfeksi M. tuberculosis, menunjukkan bahwa ESAT-6 merupakan antigen bagi sel limfosit T selama respon imunitas yang dimediasi sel (cell-mediated immune response) (Rai et al. 2012). Sementara itu, CFP-10 merupakan antigen target dominan untuk sel CD4+ T-helper1 pada hewan model tuberculosis dan manusia.

Secara normal, M. tuberculosis akan menstimulasi respon imunitas selular, terutama sel limfosit T untuk menghasilkan IFN-γ. IFN-γ merupakan salah satu sitokin yang diproduksi sel T-helper1. IFN-γ akan mengaktivasi makrofag untuk memfagositosis M. tuberculosis, sehingga apabila terjadi defisiensi IFN-γ yang diproduksi sel limfosit T akan menyebabkan TB (Fatah et al. 2017). IFN-γ berperan sebagai imunomodulator dalam respon imunitas selular, yaitu kemampuan dalam meningkatkan kapasitas antimikrobial dalam makrofag (Green et al. 2017). IFN-γ berperan penting dalam mengeliminasi M. tuberculosis untuk memperkuat potensi fagositosis dari makrofag dengan cara menstimulasi pembentukan fagolisosom. IFN-γ dapat digunakan untuk identifikasi TB dengan metode IGRA (Pai et al. 2014). IGRA dapat menjadi alternatif dalam deteksi TB, selain TST dan pemeriksaan radiografi thoraks.

Interferon gamma (IFN-γ) releasing assay (IGRA) yang telah banyak digunakan dalam deteksi TB pada manusia adalah dengan teknik ELISA menggunakan kit QuantiFERON-TB Gold In-Tube (QFT) assay pada manusia atau kit PRIMAGRAM assay pada satwa primata. Selain IGRA dengan teknik ELISA, IGRA dengan ELISpot memiliki sensitivitas

Page 25: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 2, Juli 2017, hlm. 21-25 23

dan spesifisitas tinggi dalam deteksi M. tuberculosis, seperti menggunakan kit T.SPOT-TB assay. Secara umum, IGRA memiliki spesifisitas untuk diagnosis TB diatas 95% dan tidak terpengaruh vaksinasi BCG (Pai et al. 2014). Vaksinasi BCG akan menyebabkan hasil negatif palsu (false negative). IGRA dengan teknik ELISpot menggunakan kit T-SPOT. TB assay memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kit QFT assay atau TST, yaitu sensitivitas secara berurutan sekitar 90, 80, dan 70% (Pai et al. 2014).

Interferon gamma (IFN-γ) releasing assay (IGRA) pada satwa primata dilakukan menggunakan kit PRIMAGAM assay dan hanya khusus untuk cynomolgus monkey (Macaca fascicularis) dan rhesus monkey (M. mulatta). Kit PRIMAGAM assay memiliki sensitivitas rendah, namun spesifisitasnya tinggi dibandingkan dengan TST (Lin et al. 2008). Sensitivitas kit PRIMAGRAM sebesar 68% dan spesifisitas sebesar 97% (Thoen et al. 2006). Penggunaan teknik ELISpot di Indonesia terbatas pada diagnosis TB pada manusia. Penelitian Adilistya et al. (2016) pada 48 pasien yang diduga TB di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dari Mei-September 2015 menunjukkan sensitivitas sebesar 100% dan spesifisitas sebesar 88,89%.

Enzyme-Linked Immunosorbent Spot (ELISpot)

Enzyme-Linked Immunosorbent Spot (ELISpot) assay merupakan pengujian yang memungkinkan mengenali sel dengan jumlah sedikit yang mensekresikan berbagai molekul. ELISpot dapat digunakan dalam banyak bidang penelitian, karena memiliki sensitivitas yang tinggi dan berpotensi sebagai alat diagnostik yang berharga. Deteksi TB menggunakan teknik ELISpot telah banyak diterapkan pada manusia. Sensitivitas dan spesifisitas teknik ELISPot dalam deteksi TB pada manusia, yaitu 45.5% dan 81.0% (Wu et al. 2014). Adapun penggunaan teknik ELISpot dalam deteksi TB pada hewan, terutama satwa primata belum pernah dilaporkan. Teknik ELISpot dengan kit T.SPOT.TB secara komersial digunakan pada manusia dan bukan merupakan kit komersial untuk satwa primata (Lerche et al. 2008). Teknik ELISpot menggunakan peripheral blood mononuclear cell (PBMC) yang diinkubasi dan distimulasi peptida ESAT-6 dan CFP-10. Hasil pengukuran ELISpot dilaporkan dalam bentuk spot forming cells (SFC) (Pai et al. 2014).

Prinsip kerja teknik ELISpot serupa dengan prosedur ELISA, yaitu mendeteksi aktivitas enzimatik dengan pemberian label terhadap antibodi yang telah ditentukan

antigennya yang telah difiksasi pada plat mikrotiter, sehingga hasil akhir adalah aktivitas antigen early secretory antigenic target 6 (ESAT-6) dan culture filtrate protein 10 (CFP-10), serta akan dapat dilihat sebagai titik (spot) (Pratomo dan Setyanto 2013). Ikatan tersebut akan divisualisasikan ELISpot dengan ukuran dan densitas spot yang mengambarkan produksi sitokin sel selama waktu pengukuran (Kalyuzhny 2005).

Keuntungan teknik ELIspot dalam deteksi TB antara lain, mudah dalam prosedur pengujian dan pengukuran hasil. ELISpot merupakan teknik yang masih memerlukan akurasi, pilihan yang menyeluruh terkait antibodi dan antigen, serta pemahaman mengenai prinsip-prinsip analisis data (Kalyuzhny 2005). Hasil ELISpot assay tergantung pada kualitas 4 (empat) komponen utama, yaitu (1) antibodi, (2) enzim konjugat, (3) substrat kromogenik dan (4) membran plate. Aktivitas sekresi sel pada ELISpot ditentukan dengan adanya spot-spot pada bagian bawah plate, sehingga keempat komponen tersebut harus dioptimalkan untuk memfasilitasi pembentukan spot-spot (Kalyuzhny 2005).

Secara umum, bahan utama yang diperlukan dalam deteksi TB berbasis IGRA) adalah peripheral blood mononuclear cell (PBMC), peptida early secretory antigenic target-6 (ESAT-6) dan culture filtrate protein-10 (CFP-10). PBMC merupakan sel darah yang memiliki bentuk nukleus bulat, yaitu limfosit, monosit atau makrofag. Sel-sel darah ini merupakan komponen penting dalam sistem imunitas sebagai pertahanan terhadap infeksi dan adaptasi terhadap antigen (Pourahmad dan Salimi 2015). PBMC memberikan respon imunitas yang selektif dan terdiri atas sel-sel yang utama dalam imunitas tubuh, seperti limfosit, monosit atau makrofag. PBMC dapat diekstraksi dari whole blood dengan menggunakan medium ficoll, senyawa polisakarida dan bersifat hidrofilik yang dapat memisahkan lapisan whole blood dan diikuti sentrifugasi berdasarkan gradien dengan kecepatan 400 x g selama 30 menit pada suhu 15-25oC. Sentrifugasi akan memisahkan darah menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu plasma (bagian atas), PBMC (tengah) dan sebagian kecil sel polimorfonuklear (neutrofil dan eosinofil), serta eritrosit pada bagian bawah. PBMC banyak dipergunakan dalam penelitian dan aplikasi pengujian toksikologi (Pourahmad dan Salimi 2015).

Tahapan pengukuran kadar IFN-γ dengan teknik ELISpot secara umum dapat dilihat pada Gambar 1. Secara khusus, pengukuran kadar interferon gamma (IFN-γ) dengan teknik

Page 26: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

24 Darmono dan Pamungkas, Deteksi Tuberkulosis pada Satwa Primata Berbasis IGRA

ELISpot menggunakan human T-SPOT.TB assay (Oxford Immunotec, Oxford, UK) (Wu et al. 2014) sebagai berikut: PBMC sebanyak 250.000 sel dimasukkan ke dalam 96 plate dan diinkubasi selama 18-20 jam, dan plate telah dilapisi dengan mouse anti-human IFN- γ. PBMC dalam plate dibagi dalam 4 kelompok, yaitu PBMC sebagai kontrol negatif (K-), PBMC sebagai kontrol positif (K+) yang distimulasi dengan PHA dan PBMC yang diaktivasi dengan peptida M. tuberculosis, yaitu ESAT-6 dan CFP-10. PBMCK+ distimulasi dengan PHA sebanyak 50 µL, sedangkan PBMC perlakuan distimulasi dengan 50 µL ESAT-6 dan CFP-10. Jumlah spot-forming cell (SFC) pada masing-masing plate dihitung secara otomatis menggunakan CTL-ImmunoSpot® S5 Versa Analyzer (Cellular Technology Ltd, USA). Respon terhadap kultur PBMC dinyatakan positif apabila dalam 1 (satu) plate paling sedikit terdapat 6 (enam) spot atau 2 kali lipat SFC kontrol negatif.

Simpulan

Teknik ELISpot merupakan teknik pemeriksaan darah berdasarkan pengeluaran molekul tertentu sel. Teknik ELISpot dapat digunakan dalam deteksi TB, baik pada manusia atau hewan. Deteksi TB menggunakan teknik ELISpot berdasarkan kadar IFN-γ yang disekresikan sel limfosit T. Sampel teknik ELISpot menggunakan PBMC yang diaktivasi dengan antigen spesifik Mycobacterium tuberculosis, yaitu early secretory antigenic target 6 (ESAT-6) dan culture filtrate protein 10 (CFP-10). Hasil pengukuran kadar IFN-γ ditampilkan dalam bentuk spot forming cell (SFC).

Daftar Pustaka

Adilistya T, Astrawinata DAW, Nasir UZ. 2016. Use of pleural fluid interferon-gamma enzyme-linked immunospot assay in the diagnosis of pleural tuberculosis. Acta Med Indones J Intern Med 48: 1.

Page 27: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 2, Juli 2017, hlm. 21-25 25

Fatah SRK, Juffrie M, Setyati A. 2017. Perbedaan kadar interferon gamma pada tuberkulosis anak. Sari Pediatri 18 (5).

Green DS, Young HA, Valencia JC. 2017. Current prospects of type II interferon γ signaling and autoimmunity. J Biol Chem 292(34):13925-13933.

Kalyuzhny AE. 2005. Handbook of ELISPOT: Methods and Protocols. New Jersey (US): Humana Press.

Lecu A, Ball R. 2011. Mycobacterial infections in zoo animals: relevance, diagnosis and management. Int Zoo Yb 45:183-202.

Lerche NW, Yee JL, Capuano SV, Flynn JL. 2008. New approaches to tuberculosis surveillance of nonhuman primates. ILAR J 49: 170–178.

Li F, Xu M, Zhou L, Xiong Y, Xia L, Fan X, Gu J, Pu J, Lu S, Wang G. 2016. Safety of recombinant fusion protein ESAT6-CFP10 as a skin test reagent for tuberculosis diagnosis: an open-label, randomized, single-center phase I clinical trial. Clin Vaccine Immunol 23:767-773.

Lin PL, Yee J, Klein E, Lerche NW. 2008. Immunological concepts in tuberculosis diagnostics for nonhuman primates: a review. J Med Primatol, 37 (1): 44-51.

Mahmoudi S, Mamishi S, Ghazi M, Sadeghi RH, Pourakbari B. 2013. Cloning, expression and purification of Mycobacterium tuberculosis ESAT-6 and CFP-10 antigens. Iran J Microbiol 5(4): 374-378.

Matz-Rensing K, Hartmann T, Wendel GM, Frick JS, Homolka S, Richter E, Munk MH, Kaup FJ. 2015. Outbreak of tuberculosis in a colony of rhesus monkeys (Macaca mulatta) after possible indirect contact with a human TB patient. J Comp Path. 153: 81-91.

Pai, M, Denkinger CM, Kik SV, Rangaka MX, Zerling A, Oxlade O, Metcalfe JZ, Cattamanchi A, Dowdy DW, Dheha K, Banael N. 2014. Gamma interferon release assays for detection of Mycobacterium tuberculosis infection. Clin Microbiol Rev 27 (1).

Pang C, Shen Y, Tian Y, Zhu J, Feng M, Wan C, Wen F. 2015. Accuracy of the interferon gamma release assay for the diagnosis of tuberculous pleurisy: an updated meta-analysis. PerrJ 3:e951; DOI 10.7717/peerj.951.

Payne KS, Novak JJ, Jongsakul K, Imerbsin R, Apisitsaowapa Y, Pavlin JA, Hinds SB. 2011. Mycobacterium tuberculosis infection in a closed colony of rhesus macaques (Macaca mulatta). J Am Assoc Lab Anim Sci 50(1): 105-108.

Pourahmad J, Salimi A. 2015. Isolated human peripheral blood mononuclear cell (PBMC), a cost effective tool for predicting immunosuppressive effects of drugs and xenobiotics. Iranian J Pharmaceut Res 14(4):679-980.

Pratomo IP, Setyanto DB. 2013. Penggunaan kompleks antigen ESAT-6 dan CFP-10 untuk diagnosis tuberkulosis. J Respir Indo 33 (1).

Rai RC, Dwivedi VP, Chatterjee S, Prasad DVR, Das G. 2012. Early secretory antigenic target-6 of Mycobacterium tuberculosis: enigmatic factor in patogen-host interactions. Microbes and Infection 14: 1220-1226.

Scanga AC, Flynn JL. 2017. Modeling tuberculosis in nonhuman primates. Cold Spring Harb Perspect Med 2014;4:a018564.

Shin N, Kwon S, Han D, Bai G, Yoon J, Cheon D, Son S, Ahn K, Chae C, Lee Y. 1995. Mycobacterium tuberculosis infection in an orangutan (Pongo pygmaeus). J Vet Med Sci 57(5):951-953.

Thoen CO, Steele JH, Gilsdorf MJ. 2006. Mycobacterium bovis Infection in Animals and Humans. New York (US): Blackwell Publishing.

Tjahajati I, Asmara W, Soebono H. 2007. Pengembangan diagnosis tuberkulosis pada hewan kesayangan menggunakan antigen spesifik Mycobacterium tuberculosis ESAT-6 dan CFP-10. J Kedokteran Brawijaya 23(2).

Wu X, Ma Y, Wang L, Li D, Yang Y, Hu M, Liang Y, Xue H, Zhang J. 2014. Diagnostic value of ELISPOT technique for osteoarticular tuberculosis. Clin Lab 60:1865-1870.

Page 28: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 2, Juli 2017, hlm. 26-30ISSN 1410-5373

Efek Kronis Pakan Aterogenik IPB-1 terhadap Kondisi Obesitas dan Hiperglikemia pada Monyet Ekor Panjang

The Chronic Effect of IPB-1 Atherogenic Diet on Obesity and Hyperglycaemia in Cynomolgus Monkeys

Laila SR1,2*, Suparto IH3,4, Astuti DA3,5, Sajuthi D3,6

1Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokterah Hewan, Institut Pertanian Bogor2Program Studi Primatologi, Program Multidisiplin, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

3Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor4Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor

5Departemen Ilmu Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor6Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor

*Korespondensi: [email protected]

Abstract. The atherogenic diet IPB-1, which induces hypercholesterolaemia, has the potential to cause obesity and hyperglycaemia in cynomolgus monkeys. This study aimed to see the chronic effects of IPB-1 atherogenic diet on obesity and hyperglycaemia in cynomolgus monkeys. The experimental animals were 20 adult male cynomolgus monkeys which had previously been treated with a diet of IPB-1 atherogenic for one year. These monkeys were then continually fed with IPB-1 atherogenic for one more year (the second year), and then later observed for body weight and waist circumference as variables of obesity, and also fasting blood glucose and hemoglobin A1c as variables of hyperglycaemia. The results showed that body weight and waist circumference of 20 monkeys were in the normal range (4.1-6.9 kg and 27.0-34.5 cm) respectively, and that there was a trend to decrease during observation. The fasting blood glucose and hemoglobin A1c were also within the normal range (48-80 mg/dl and 3.9-4.5%). These results showed that the IPB-1 atherogenic consumed for two years did not cause obesity and hyperglycaemia in cynomolgus monkeys.

Key words: atherogenic diet, hyperglycaemia, Macaca fascicularis, obesity

Pendahuluan

Obesitas adalah kondisi kelebihan lemak tubuh yang dapat terjadi pada manusia maupun hewan dan kejadiannya di dunia terus meningkat 10 tahun belakangan ini (Klimentidis et al. 2011, Holst dan Gustavsson 2016). Kondisi obesitas erat kaitannya dengan hiperglikemia (Harwood et al. 2012). Obesitas dan hiperglikemia merupakan sindrom metabolik kronis di dalam tubuh yang mengindikasikan terjadinya gangguan kesehatan (Kopelman 2000). Pada hewan coba, kedua sindrom metabolik ini akan mempengaruhi proses dan hasil penelitian (Bauer et al. 2011).

Pakan aterogenik IPB-1 adalah pakan yang dibuat untuk menginduksi terjadinya hiperkolesterolemia pada hewan coba monyet ekor panjang (MEP), sehingga nantinya mampu menimbulkan lesio aterosklerosis pada arterinya. Pakan ini dibuat dari tepung beras, lemak hewan, tepung kedelai, gula, kuning telur, tepung ikan, minyak kelapa, minyak jagung, tepung jagung, mineral dan vitamin. Pakan aterogenik IPB-1 mengandung kolesterol 0,28 g/kal. Dari dua tahun pengamatan, pakan ini telah terbukti menimbulkan hiperkolesterolemia

pada hewan coba MEP (Astuti et al. 2014). Secara keseluruhan, pakan aterogenik IPB-1 mengandung 86,7% bahan kering (BK) yang terdiri atas protein 14,9%, karbohidrat 49,5%, lemak 19,8% dan serat 2,5%. Kandungan nutrien pada pakan ini hampir sama dengan kandungan nutrien pada pakan obes untuk MEP yaitu lemak 19,6%, protein 15,0%, serat 1,1% (Oktarina 2009). Sumber lemak pada pakan obes juga sama dengan sumber lemak pada pakan aterogenik IPB-1 yaitu lemak hewan, minyak kelapa dan kuning telur. Sumber utama karbohidrat pada pakan MEP biasanya berasal dari gandum (Oktarina 2009) yang memiliki indeks glikemik rendah, sedangkan sumber utama karbohidrat pada pakan aterogenik IPB-1 adalah tepung beras yang memiliki indeks glikemik lebih tinggi (ADA 2014), sehingga berpotensi menimbulkan hiperglikemia.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek pakan aterogenik IPB-1 terhadap kondisi obesitas dan hiperglikemia pada MEP. Harapannya pakan yang didisain untuk menimbulkan hiperkolesterolemia pada hewan model aterosklerosis MEP tidak menyebabkan obesitas dan hiperglikemia secara langsung yang dapat mempengaruhi hasil penelitian utama.

Page 29: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 2, Juli 2017, hlm. 26-30 27

Materi dan Metode

Penggunaan hewan coba dan perlakuan pada penelitian ini sudah mendapatkan persetujuan Animal Care and Use Committee (ACUC) dari Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (PSSP LPPM IPB) dengan nomor PRC-14-B003. Hewan yang digunakan 20 MEP (Macaca fascicularis) jantan dewasa (usia 7-8 tahun) dengan bobot badan 4,6-7,0 kg yang dipelihara pada kandang individu (0,6 x 0,6 x 0,9 m). Monyet ini sebelumnya sudah diinduksi dengan diet aterogenik IPB-1 selama satu tahun. Pada penelitian ini, monyet diberi perlakuan lanjutan diet aterogenik IPB-1 sebanyak 180-200 g per ekor per hari yang mengandung energi 120 Kal/kg bobot badan/hari selama satu tahun (tahun ke-2). Monyet diberi pakan dua kali sehari, yaitu pukul 08:00 WIB dan pukul 15:00 WIB ditambah satu potong pisang 70 g pukul 12:00 WIB. Peubah faktor risiko diamati pada 8 bulan terakhir perlakuan, meliputi morfometri tubuh (bobot badan dan lingkar perut), glukosa darah puasa, dan hemoglobin A1c untuk melihat efek kronis pakan IPB-1 terhadap kondisi obesitas dan hiperglikemia.

Pengukuran morfometri tubuh dan pengambilan darah dilakukan setiap bulan selama 8 bulan terakhir perlakuan pakan pada tahun ke-2. Prosedur dilakukan setelah hewan dipuasakan 12 jam lalu dibius dengan ketamin HCl dosis 10 mg/kg intramuskular.

Bobot badan diukur menggunakan timbangan digital. Lingkar pinggang diukur secara horisontal dari titik tengah antara puncak krista iliaka dan tepi tulang kosta terakhir pada garis tengah aksilaris dengan menggunakan kaliper (Kauffman et al. 2007). Menurut Rowe (1996), bobot badan normal MEP jantan dewasa berkisar 4,7-8,3 kg. Lingkar perut MEP dewasa normal berkisar 26-31 cm (Oktarina 2009). Darah untuk pemeriksaan glukosa dan HbA1c diambil dari vena femoralis sebanyak 5 ml lalu dimasukkan ke dalam tabung yang mengandung ethylenediamine tetraacetic acid (EDTA). Glukosa darah diukur menggunakan fotometer 5010 (RIELETM) dan analisis HbA1c dilakukan dengan metode spektrofotometri di Laboratorium Klinik Mandala. Hiperglikemia pada MEP terjadi jika glukosa darah lebih dari 100 mg/dl (normal 60-80 mg/dl) (Wang et al. 2016), ataupun HbA1c senilai lebih dari 6,5%. Analisis data morfometri, glukosa darah dan HbA1c dilakukan secara deskriptif menggunakan Software Microsoft Excel dan disajikan dalam bentuk grafik terhadap nilai reratanya.

Hasil dan Pembahasan

Hasil pengamatan bobot badan dan lingkar pinggang MEP di tahun ke-2 ditampilkan pada Gambar 1, dan hasil pengamatan kadar glukosa darah puasa dan hemoglobin A1c ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 1 Grafik perubahan rata-rata bobot badan dan lingkar perut MEP selama 8 bulan terakhir pada tahun ke-2 pemberian pakan aterogenik IPB-1.

Page 30: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

28 Laila et al. Efek Kronis Pakan Aterogenik IPB-1 Terhadap Kondisi Obesitas dan Hiperglikemia

Bobot badan 20 ekor MEP berkisar antara 4,1-6,9 kg dan lingkar perut berkisar 27,0-34,5 cm. Tiga dari 20 MEP memiliki lingkar perut di atas 32 cm yang mengindikasikan terjadinya kelebihan bobot badan, namun tidak mencapai obesitas. Pada Gambar 1 dapat dilihat terjadi penurunan bobot badan dan lingkar perut pada MEP selama pengamatan, namun masih dalam rentang nilai normal. Hal ini menunjukkan tidak terjadi kondisi obesitas pada hewan coba MEP yang diberi pakan aterogenik IPB-1 pada tahun ke-2 pemberian pakan.

Obesitas pada MEP dapat terjadi akibat pemberian pakan tinggi lemak dan karbohidrat serta pengaruh genetik (Ikemoto et al. 1996, Wagner et al. 2001, Bauer et al. 2011). Menurut Oktarina (2009), pakan yang potensial menyebabkan obesitas pada MEP adalah pakan yang mengandung energi tinggi (berasal dari karbohidrat dan lemak) serta rendahnya kandungan protein, mikronutrien, vitamin, mineral dan serat. Pada penelitian ini, MEP tidak mengalami obesitas karena pembatasan jumlah pakan, sehingga total energi per hari masih pada rentang kebutuhan normal MEP sebanyak 120 Kal/kg/hari (NRC 2003). Bray et al. (2002) dan Hession et al. (2009) juga menyatakan bahwa penurunan bobot badan dapat terjadi dengan menurunkan asupan energi harian. Pada penelitian Oktarina (2009), obes terjadi karena konsumsi bahan kering dan energi pakannya melebihi kebutuhan harian MEP. Selain itu, pakan aterogenik IPB-1 memiliki komponen minyak jagung sebagai sumber asam lemak tak jenuh (poly unsaturated fatty acid/PUFA) yang dapat berperan sebagai penyeimbang asam lemak jenuh minyak kelapa dan lemak hewan. Moussavi et al. (2012) menyatakan bahwa PUFA dapat mencegah obesitas karena (1) memiliki tingkat oksidasi yang tinggi, sehingga di dalam tubuh akan diubah menjadi energi; (2) penambahan PUFA pada pakan akan menurunkan tingkat penyimpanan lemak makanan di dalam tubuh dengan menghambat

sterol regulatory element–binding proteins (SREBPs). Selain itu, tambahan mikronutrien, vitamin, mineral dan serat juga menghambat efisiensi metabolisme energi pakan (Russel et al. 2016).

Penilaian hiperglikemia pada penelitian ini dilakukan dengan mengukur glukosa darah puasa dan hemoglobin A1c. Glukosa darah puasa menunjukkan nilai glukosa darah pada satu titik pengamatan, sedangkan nilai hemoglobin A1c dapat menggambarkan kadar glukosa darah selama jangka waktu 3 bulan. Hasil pengamatan nilai glukosa darah puasa selama pengamatan menunjukkan nilai glukosa pada 20 ekor MEP berkisar antara 48-80 mg/dl. Nilai ini masih dalam rentang normal (Wagner et al. 2001, Wang et al. 2016). Hasil glukosa darah juga ditunjang dengan hasil hemoglobin A1c yang berkisar antara 3,9-4,5%. Hal ini menunjukkan tidak terjadi hiperglikemia selama perlakuan pakan aterogenik IPB-1 pada tahun ke-2.

Berdasarkan pengamatan kedua peubah glukosa darah tersebut, pakan aterogenik IPB-1 pada penelitian ini ternyata tidak menimbulkan hiperglikemia pada MEP. Kandungan PUFA pada pakan aterogenik IPB-1 meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga bisa menjaga stabilitas kadar gula di dalam darah (Toledo et al. 2014). Pakan ini juga mengandung glukosa di bawah 10% dari total energi. Menurut Wheeler dan Pi-Sunyer (2008), penambahan 10% glukosa dari total energi tidak mempengaruhi nilai hemoglobin A1c pada individu.

Hiperglikemia dan obesitas merupakan faktor risiko aterosklerosis (Fruchart et al. 2004), sehingga akan sangat mempengaruhi penelitian terkait penyakit ini. Telah dilaporkan bahwa hiperglikemia kronis akan menimbulkan kerusakan endotel yang berpotensi mempermudah pembentukan lesio aterosklerosis (Ceriello 2004). Hiperglikemia pada MEP dilaporkan terjadi dalam jangka waktu bertahun-tahun (Wagner et al. 1996).

Gambar 2 Grafik perubahan rata-rata glukosa darah puasa dan hemoglobin A1c MEP selama 8 bulan terakhir pada tahun ke-2 pemberian pakan aterogenik IPB-1.

Page 31: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 2, Juli 2017, hlm. 26-30 29

Kondisi hiperglikemia dan diabetes pada MEP juga berkaitan erat dengan kondisi obesitas (Harwood et al. 2012). Peningkatan prevalensi diabetes terjadi pada populasi yang 85% mengalami obesitas (Weir dan Leahy 1994). Pada individu obes, asam lemak di dalam darah meningkat, sehingga menghambat kerja insulin dalam merubah glukosa menjadi glikogen (Boden 2003).

Penelitian ini menunjukkan pakan aterogenik IPB-1 selama dua tahun tidak memiliki efek terhadap terjadinya obesitas dan hiperglikemia. Hal ini konsisten dengan penelitian Thompson et al. (2011) yang menunjukkan sangat sedikit kontribusi western atherogenic diet yang mengandung lemak tinggi terhadap risiko hiperglikemia dan obesitas. Tidak terjadinya kondisi sindrom metabolik obesitas dan hiperglikemia pada penelitian ini mengurangi faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya aterosklerosis pada hewan model MEP yang diberi pakan aterogenik IPB-1, sehingga faktor utama yang mempengaruhi aterosklerosis pada MEP ini karena kondisi hiperkolesterolemia.

Simpulan

Pakan aterogenik IPB-1 tidak memiliki efek terhadap sindrom metabolik berupa obesitas dan hiperglikemia pada hewan coba MEP, sehingga sesuai dengan disain pakan aterogenik IPB-1 yang tujuan utamanya untuk menginduksi hiperkolesterolemia.

Daftar Pustaka

American Diabetes Association [ADA]. 2014. Glycemic index and diabetes. Tersedia pada http://www.diabetes.org/food-and-fitness/food/what-can-i-eat/understanding-carbohydrates/ glycemic-index-and-diabetes.html. Diunduh tanggal 5 Maret 2017.

Astuti DA, Sajuthi D, Suparto IH, Kaplan J, Appt S, Clarkson TB. 2014. The development of diets to induce atherogenic lipid profiles for cynomolgus monkeys in their country of origin. World J Agri Res 2(5):247-251.

Bauer SA, Arndt TP, Leslie KE, Pearl DL, Turner PV. 2011. Obesity in rhesus and cynomolgus monkeys: A comparative review of the conditiimplications for research. Comp Med 61:514-526.

Boden G. 2003. Effects of free fatty acids (FFA) on glucose metabolism: significance for insulin resistance and type 2 diabetes. Exp. Clin. Endocrinol Diabetes 111 (3):121–124.

Bray GA, Lovejoy JC, Smith SR, DeLany JP, Lefevre M, Hwang D, Ryan DH, York DA. 2002. The influence of different fats and fatty acids on obesity, insulin resistance and inflammation. J Nutr. 132: 2488–2491.

Ceriello A. 2004. Impaired glucose tolerance and cardiovascular disease: The possible role of post-prandial hyperglycemia. Am Heart J 147(5):803–807.

Fruchart JC, Nierman MC, Stroes ES, Kastelein JP, Duriez P. 2004. New risk factors for atherosclerosis and patient risk assessment. Circulation 109: III15-III19.

Harwood HJ, Listrani P, Wagner JD. 2012. Nonhuman primates and other animal models in diabetes research. J Diabet Sci Tech 6(3):503-514.

Hession M, Rolland C, Kulkarni U, Wise A, Broom J. 2009. Systematic review of randomized controlled trials of low-carbohydrate vs. lowfat/low-calorie diets in the management of obesity and its comorbidities. Obes Rev 10:36–50.

Holst BS dan Gustavsson MH. 2016. Animal obesity: causes, consequences and comparative aspects. Acta Vet Scand 58(Suppl 1): 56.

Ikemoto S, Takahashi M, Tsunoda N, Maruyama K, Itakura H, Ezaki O. 1996. High-fat diet-induced hyperglycemia and obesity in mice: differential effects of dietary oils. Metabolism 45(12):1539-46.

Kauffman D, Mary AB, Igor S, Eric LP, Smith, Jeremy, Leonard AR, John GK. 2007. Early-life stress and development of obesity and insulin resistance in juvenile bonnet macaques. J Diabetes 56: 1382-1386.

Klimentidis YC, Beasley TM, Lin HY, Murati G, Glass GE, Guyton M, Newton W, Jorgensen M, Heymsfield SB, Kemnitz J, Fairbanks L, Allison DB. 2011. Canaries in the coal mine: a cross-species analysis of the plurality of obesity epidemics. Proc Biol Sci 278(1712):1626-1632.

Kopelman PG. 2000. Obesity as a medical problem. Nature 404:635–643.

Moussavi N, Gavino V, Receveur O. 2012. Could the quality of dietary fat, and not just its quantity, be related to risk of obesity. Obesity 16(1):7-15.

National Research Council [NRC]. 2003. Nutrient Requirement Consumtion of Nonhuman Primate Ed 2. Washington DC (US): The National Academic Press.

Page 32: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

30 Laila et al. Efek Kronis Pakan Aterogenik IPB-1 Terhadap Kondisi Obesitas dan Hiperglikemia

Oktarina R. 2009. Kajian pakan bersumber energi tinggi pada pembentukan monyet obes [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rowe N. 1996. The Pictorical Guide to the Living Primates. East Hampton, New York (US): Pongonias Press.

Russell WR, Baka A, Björck I, Delzenne N, Gao D, Griffiths HR, Hadjilucas E, Juvonen K, Lahtinen S, Lansink M, Van Loon L, Mykkänen H, östman E, Riccardi G, Vinoy S, Weickert MO. 2016. Impact of diet composition on blood glucose regulation. Critical Reviews in Food Science and Nutrition 56:541–590.

Thompson AK, Minihane AM, and Williams CM. 2011. Trans fatty acids, insulin resistance and diabetes. Eur J Clin Nutr. 65:553–564.

Toledo K, Aranda M, Asenjo S, Sáez K, Bustos P. 2014. Unsaturated fatty acids and insulin resistance in childhood obesity. J Pediatr Endocrinol Metab 27(5-6):503-510.

Wagner JD, Carlson CS, O’Brien TD. 1996. Diabetes mellitus in nonhuman primates: recent research advances on current husbandry practice. J Med Primatol 19:609-625.

Wagner JD, Cline JM, Shadoan MK, Bullock BC, Rankin SE, Cefalu WT. 2001. Naturally occurring and experimental diabetes in cynomolgus monkeys: a comparison of carbohydrate and lipid metabolism and islet pathology. Toxicol Pathol 29:142–148.

Wang B, Sun G, Liu Y, Qiao W, Qiao J. 2016. Blood glucose fluctuations during daily activities and stress procedures in cynomolgus monkeys monitored by implanted telemetry device. Endocrine Society's 98th Annual Meeting and Expo, April 1–4, 2016, Boston.

Weir GC, Leahy JL. 1994. Pathogenesis of non-insulin-dependent (type II) diabetes mellitus. Di dalam: Joslin’s Diabetes Mellitus, Kahn CR, Weir GC, editor. Pennsylvania (US): Lea & Febiger, Malvern.

Wheeler ML dan Pi-Sunyer FX. 2008. Carbohydrate issues: type and amount. J Amer Dietetic Ass. 108(4):S34–S39.

MITRA BESTARI JPI(Volume 14, Nomor 2, Juli 2017)

Prof Dr Ir Sri Supraptini Mansjoer (PSSP LPPM IPB)Prof Dr Ir Wiranda G. Piliang, MSc (Fapet IPB)

Prof drh Arief Boediono, PhD, PAVet (K) (FKH IPB)Prof Dr drh Retno Damayanti Soejoedono, MS (FKH IPB)

Dr Uus Saepuloh, SSi, MBiomed (PSSP LPPM IPB)drh Adi Winarto, PhD, PAVet (FKH IPB)

Dr Ir Entang Iskandar, MSi (PSSP LPPM IPB)Dr drh Diah Iskandriati (PSSP LPPM IPB)

drh Audrey Maria Ungerer (IPB)Ir Hendra Adijuwana, MST (IPB)

Page 33: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

1. Jurnal Primatologi Indonesia (JPI) menerima naskah dalam bentuk: a) hasil penelitian, b) catatan penelitian, c) ulasan atau tinjauan pustaka, d) laporan kasus, e) paparan program/kegiatan, dan f) resensi buku. Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia maupun Inggris.

2. Naskah tidak sedang dikirim ke atau dievaluasi oleh berkala ilmiah untuk penerbitan. Naskah yang dikirim ke JPI dan dinyatakan diterima oleh Redaksi JPI untuk dimuat dalam JPI menjadi milik JPI.

Naskah dikirim sebanyak tiga eksemplar kepada Dewan Editor JPI, dengan alamat:

Dewan EditorJurnal Primatologi Indonesia

Pusat Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada

Masyarakat Institut Pertanian BogorJalan Lodaya II No. 5 Bogor 16151

Telepon/Faks: (0251) 8313-637 / (0251) 8360-712Surat Elektronik: [email protected]

Website: http://journal.ipb.ac.id/index.php/primata 3. Naskah ditulis dengan Times New Roman

ukuran 12 pt, jarak dua spasi, dengan jarak pinggir dua centimeter dan dicetak pada kertas HVS ukuran A4. Gambar, grafik dan tabel disertakan bersama naskah di bagian akhir naskah pada lembar terpisah. Redaksi JPI akan meminta naskah pengetikan (dalam format word for windows: windows 2003/ME/XP) bagi naskah yang dinyatakan diterima untuk dimuat. Pengiriman naskah (file) dapat melalui e-mail atau compact disc (CD) melalui jasa kantor pos.

4. Naskah hasil penelitian disusun dengan urutan sebagai berikut ini.

a. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

b. Nama lengkap penulis. Bila penulis lebih dari satu orang perlu dibubuhkan angka secara berurutan untuk keterangan afiliasi lembaga/institusi tempat bekerja penulis.

c. Nama lembaga/institusi tempat penulis bekerja, disertai dengan alamat, kode pos, telepon, dan faksimili.

d. Nama penulis untuk korespondensi. Korespondensi hanya kepada salah satu penulis, maka perlu diberikan tanda khusus bagi yang bersangkutan.

e. Abstrak ditulis tidak lebih dari 300 kata dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pada abstrak tersebut dicantumkan kata kunci atau

key word yang tidak melebihi lima buah kata mengikuti huruf abjad.

f. Pendahuluan. g. Materi dan Metode. h. Hasil dan Pembahasan. i. Simpulan. j. Ucapan Terima Kasih (jika ada), dan k. Daftar Pustaka.

5. Artikel hasil penelitian ditulis maksimum 25 halaman, termasuk lampiran gambar, grafik dan tabel. Artikel lain ditulis maksimum 20 halaman dan diperbolehkan tidak mencantumkan subjudul sebagaimana tersebut di atas.

6. Penyertaan gambar dalam bentuk foto (hitam putih atau bewarna) harus jelas dan tajam, dengan kontras yang tinggi, berukuran standar kartu pos. Gambar yang dikehendaki dicetak bewarna akan dikenakan biaya tambahan yang dibebankan kepada pengirim naskah.

7. Daftar Pustaka disusun dengan mencantumkan semua nama penulis yang disusun secara berurutan abjad dan diikuti tahun penerbitan, judul, nama berkala ilmiah atau penerbit buku dan nomor halaman. Penyingkatan nama berkala ilmiah harus mengikuti singkatan yang berlaku.

Contoh Penulisan Daftar Pustaka:

Berkala ilmiahBenveniste RE, Morton WR, Clark EA, Tsai

CC, Ochs HD, Ward JM, Kuller L, Knott WB, Hill RW, Gale MJ, Thouless ME. 1988. Inoculation of baboons and macaques with simian immunodeficiency virus/Mne, a primate lentivirus closely related to Human Immunodeficiency Virus Type-2. J Virol. 62(2):2091-2101.

Suatu bab bukuBarker IK, Van-Dreumel AA, Palmer N. 1996.

The Alimentary System. Di dalam: Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N, editor. Pathology of Domestic Animals. Ed ke-4. New York (US): hlm 91.

BukuHunt TK. 1980. Wound Healing and Wound

Infection: Theory and Surgical Practice. New York (US): Appleton Century Crofts.

PEDOMAN PENULISAN NASKAH

Page 34: VOLUME 14 NO. 2 JULI 2017 - IPB University

Volume 13, Nomor 2, Juli 2016

DAFTAR ISI(Table of Contents)

Halaman(Pages)

3

8

14

19

24

Khakim MFR, Mardiastuti A, Iskandar EAktivitas Harian Orangutan Sumatera (Pongo abelii, Lesson 1827) di Hutan Batang Toru Blok Barat Sumatera UtaraDaily Activity of Sumatran Orangutan (Pongo abelii Lesson 1827) in West Batang Toru Forest Block

Kristiana V, Saepuloh U, Iskandriati D, Pamungkas JDiseminasi dan Mutasi Gen ENV GP70 Simian retrovirus Serotipe-2 (SRV-2) pada Jaringan Macaca fascicularisDissemination and Mutation of Simian retrovirus serotype-2 (SRV-2) env gp70 Gene in Macaca fascicularis Tissues

Priambada NP, Prameswari W, Sanchez KLKomplikasi MBD dan Urolithiasis pada Kukang Sumatera (Nycticebus coucang) di YIARI BogorComplications MBD and Urolithiasis of Sumatran Kukang (Nycticebus coucang) in YIARI Bogor

Hastuti YT, Mulia BH, Widianti A, Manansang J, Sajuthi D, Darusman HSThe Value of Hematological and Serum Chemistry of Orangutan (Pongo sp.) Among Ages Groups and Sex Differences – A Case Study in Taman Safari Indonesia

Pasetha A, Sandriliana D, Mulyana JS, Ummah RI, Anaktototy Y, Widayati KAPerilaku Harian Beruk (Macaca nemestrina) di Fasilitas Penangkaran Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian BogorBehavior of The Pig Tail Macaque (Macaca nemestrina) at The Ex-Situ Captive Breeding Facility, Primate Research Center Bogor Agricultural University

ARTIKEL ASLI(Original Articles)

Pusat Studi Satwa Primata,Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat - Institut Pertanian BogorJl. Lodaya II, No. 5Bogor, Jawa Barat - 16151

DAFTAR ISI(Table of Contents)

Volume 14, Nomor 2, Juli 2017

ARTIKEL ASLI(Original Articles)

Halaman(Pages)

Nugroho DAAKajian Fungsi Kantung Udara (Air Sac) terhadap Vokalisasi Siamang dan Bilou di Taman Safari Indonesia, Cisarua, BogorThe Study of the Function of Air Sac on Vocalitations of Siamang and Bilou at Taman Safari Indonesia, Cisarua, Bogor

Putra ARA, Lelana RPA, Darusman HSKajian One Health: Perilaku Makan dan Preferensi Pakan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Hamparan Sampah Pasar Ciampea Bogor sebagai Potensi Penyebaran ZoonosisThe Study of One Health: Feeding Behavior and Food Preference of Long-Tailed Macaque (Macaca fascicularis) at Ciampea Market’s Garbage Plain Bogor, as a Potential of Zoonotic Spreading

Mariya S, Lydwina, Permanawati, Iskandriati D, Pamungkas JKultur Primer Sel Endotelial Asal Darah Tepi Berinti Tunggal pada Beruk (Macaca nemestrina)The Culture of Endothelial Primary Cell Derived from Peripheral Blood Mononuclear Cells (PBMCs) of Pig Tailed Macaque (Macaca nemestrina)

Darmono GE, Pamungkas JDeteksi Tuberkulosis pada Satwa Primata Berbasis Interferon Gamma Releasing Assay (IGRA) dengan Enzyme-Linked Immunosorbent Spot (ELISpot)Detection of Tuberculosis in Non-Human Primates Based on Interferon Gamma Releasing Assay (IGRA) using Enzyme-Linked Immunosorbent Spot (ELISpot)

Laila SR, Suparto IH, Astuti DA, Sajuthi DEfek Kronis Pakan Aterogenik IPB-1 terhadap Kondisi Obesitas dan Hiperglikemia pada Monyet Ekor PanjangThe Chronic Effect of IPB-1 Atherogenic Diet on Obesity and Hyperglycaemia in Cynomolgus Monkeys

Pusat Studi Satwa Primata,Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat - Institut Pertanian BogorJl. Lodaya II, No. 5Bogor, Jawa Barat - 16151

3

8

15

21

26