daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

125
MAGISTER PEDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Implikasi Sosiolinguistik dalam Pemertahanan Bahasa Daerah Sabtu, 24 September 2016

Transcript of daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

Page 1: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

iPengajaran dan Pembelajaran... oleh Zamri Mahamod

MAGISTER PEDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIAPROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS SYIAH KUALA

ProsidingSeminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Implikasi Sosiolinguistik dalam Pemertahanan Bahasa DaerahSabtu, 24 September 2016

Page 2: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

ii Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

PROSIDINGSEMINAR PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIAPROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIAPROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SYIAH KUALA

IMPLIKASI SOSIOLINGUISTIK SEBAGAI UPAYA PERMERTAHANAN BAHASA DAERAHBANDA ACEH, 24 SEPTEMBER 2016

ISSN : 2541-3082

Copyright © MPBSI Universitas Syiah Kuala, 2016Diterbitkan oleh Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Sastra IndonesiaProgram Pascasarjana Universitas Syiah KualaJalan. Tgk Chik Pante Kulu No. 5 Komplek Universitas, Kopelma Darussalam, Banda AcehE-mail: [email protected]

EditorDr. Rajab Bahry, M.Pd.Muhammad Iqbal, S.Pd., S.H., M.Hum.

Tata LetakRahmad Nuthihar, S.Pd.

SampulMuhammad Rifki, S.Pd.

Cover + halaman vi − 119; 21 x 29,7 cmBanda Aceh, 2016

Page 3: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

iiiPengajaran dan Pembelajaran... oleh Zamri Mahamod

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita ucapkan atas kehadirat allah swt. yang telah melimpahkan rahmat kepada kita semuanya sehingga Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia terselesaikan dengan optimal. Selawat dan salam tidak lupa kita hanturkan untuk Nabi Besar Muhammad saw. yang telah membawa kita alam yang penuh ilmu pengetahuan.

Penerbitan prosiding ini telah lama diwacanakan oleh para dosen Progam Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (MPBSI). Akan tetapi, disebabkan oleh berbagai alasan yang tidak dapat terelakkan, penerbitan prosiding hanya dapat direalisasikan saat ini. Adapun tujuan utama penerbitan prosiding ini adalah media publikasi para dosen untuk penyebarluasan ilmu. Tentunya, jika hanya diseminarkan, informasi tersebut sifatnya terbatas, terutama jumlah peserta seminar. Berbeda halanya jika dipublikasikan dalam tulisan, dampaknya lebih luas dan dapat dibaca oleh setiap kalangan.

Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia merupakan terbitan berkala ilmiah yang digagas oleh Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala berkerja sama dengan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala. Prosiding ini merupakan edisi perdana yang diterbitkan Prodi MPBSI PPs Unsyiah dan di dalamnya memuat makalah yang diseminarkan dalam Seminar Internasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 24 Oktober 2016 di Auditorium FKIP Unsyiah, Lantai III. Selain daripada itu, dalam prosiding ini juga memuat makalah dari pemakalah yang tidak diseminarkan pada saat itu.

Penerbitan prosiding ini telah diusahakan semaksimal mungkin sempurna. Akan tetapi, di luar kesengajaan penerbit, penulis, dan editor mungkin masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penerbit meminta kritik dan saran dari pembaca agar prosiding ini di masa yang akan terbit lebih baik.

Banda Aceh, 10 Oktober 2016Ketua Prodi MPBSI PPs Unsyiah,

Dr. Rajab Bahry, M.Pd.

Page 4: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

iv Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Page 5: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

vPengajaran dan Pembelajaran... oleh Zamri Mahamod

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... iii

MAKALAH UTAMAPengajaran dan Pembelajaran Bahasa Melayudalam Sistem Persekolahan Abad Ke-21 di MalaysiaZamri Mahamod ............................................................................................................................. 1

Penelitian Sastra Etnik sebagai Warga Sastra DuniaMohd. Harun ................................................................................................................................. 19

Pengembangan Lembar Kerja Siswa (LKS) Berbasis Cerita Rakyatuntuk Siswa Kelas VII SMP di Kabupaten Aceh BesarRamli dan Siska Harliani ............................................................................................................... 27

Mendorong Kebijaksanaan Pemerintah AcehGuna Menunda Kepunahan Dini Bahasa Daerah di AcehDenni Iskandar .............................................................................................................................. 37

Upaya Pemertahanan Bahasa Acehsebagai Salah Satu Bahasa Ibu di NusantaraAzwardi ......................................................................................................................................... 45

Idiom Bahasa AlasRajab Bahry dan Mutia .................................................................................................................. 59

Strategi Kesantunan Berbahasa Mahasiswa di Banda Acehsebagai Kompetensi Pragmatik dalam Tindak Tutur DirektifSubhayni dan Muhammad Idham ................................................................................................. 73

Budaya Patriarkhi dalam Hikayat Indra BudimanKhadijah ......................................................................................................................................... 85

Retensi dan Inovasi Fonologis Protobahasa Melayikpada Bahasa Melayu TamiangMuhammad Toha .......................................................................................................................... 93

Mekanisme Ideal Perencanaan BahasaIskandar Syahputera ................................................................................................................... 109

Page 6: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

vi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Page 7: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

1Pengajaran dan Pembelajaran... oleh Zamri Mahamod

PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA MELAYU DALAM SISTEM PERSEKOLAHAN ABAD KE-21 DI MALAYSIA

oleh Zamri Mahamod

Universiti Kebangsaan [email protected]

ABSTRAK

Kertas konsep ini membincangkan konsep pembelajaran abad ke-21 dalam konteks pengajaran dan pembelajaran (P&P) Bahasa Melayu di Malaysia. Pendidikan abad ke-21 diberikan perhatian oleh Kementerian Pendidikan Malaysia (KPM) seiring dengan pelaksanaan Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia 2013-2025. Pendidikan Bahasa Melayu tidak terkecuali untuk sama-sama menjayakan P&P abad ke-21. Persoalannya, apakah peranan yang boleh dimainkan oleh guru Bahasa Melayu dalam P&P abad ke-21? Untuk itu, guru Bahasa Melayu perlu memiliki dan menguasai kemahiran abad ke-21 untuk diaplikasikan dalam P&P di dalam bilik darjah. Selain itu, guru Bahasa Melayu perlu memperkasakan pedagogi mengajar abad ke-21, terutamanya berkaitan dengan pengetahuan isi kandungan/kurikulum, pengetahuan pedagogi dan pengetahuan tentang kepelbagaian pelajar di dalam kelas Bahasa Melayu. Kertas konsep ini juga membincangkan ciri guru Bahasa Melayu abad ke-21, peranan guru Bahasa Melayu untuk membantu pelajar menguasai setiap kemahiran abad ke-21 dan perubahan yang perlu dibuat oleh guru Bahasa Melayu dalam P&P abad ke-21. Kesimpulannya, kemahiran abad ke-21 merupakan kemahiran yang perlu dikuasai oleh setiap pelajar dan guru Bahasa Melayu.

Kata kunci: Pengajaran dan pembelajaran, kemahiran abad ke-21, pendidikan Bahasa Melayu

PendahuluanBahasa dan pendidikan merupakan dua entiti yang penting dalam pembentukan negara bangsa, sekali gus membawa jati diri serta pembangunan manusia. Pendidikan menjadi satu wahana pelaburan yang sangat penting bagi sesebuah negara. Justeru, bahasa, pendidikan, perpaduan, dan pembangunan saling berkaitan dalam mencapai kemajuan sesuatu tamadun bangsa. Globalisasi dan perkembangan teknologi maklumat pada masa kini telah memberi kesan terhadap bidang pendidikan Bahasa

Page 8: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

2 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Melayu. Perubahan dasar membawa kepada penggubalan sukatan pelajaran Bahasa Melayu dalam Kurikulum Bersepadu Sekolah Rendah (KBSR) kepada Kurikulum Standard Sekolah Rendah (KSSR) mulai 2011 (Kementerian Pendidikan Malaysia-KPM 2011b) yang bertujuan untuk melengkapkan pelajar keterampilan berbahasa dan berkomunikasi bagi memenuhi keperluan diri dalam bidang pendidikan, pekerjaan dan urusan harian. Penggunaan Bahasa Inggeris dalam mata pelajaran Sains dan Matematik pada tahun 2003 telah dimansuhkan pada tahun 2009 dan seterusnya diperkenalkan dasar Memartabatkan Bahasa Melayu dan Memperkasakan Bahasa Inggeris (MBMMBI). Pada masa yang sama juga, rakyat Malaysia telah dihadapkan dengan cabaran Wawasan 2020 yang berhasrat untuk menjadikan Malaysia negara maju sepenuhnya menjelang tahun 2020.

Pengenalan Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia (PPPM) 2013-2015 (KPM 2013) memberikan penekanan tentang kepentingan Bahasa Melayu dalam anjakan dua, iaitu memastikan setiap pelajar profesien (cekap) dalam Bahasa Malaysia dan Inggeris. Perubahan semasa memerlukan guru bahasa mempunyai pengetahuan bahasa dan pedagogi yang mantap untuk digunakan di dalam bilik darjah. Kaedah pengajaran dan pembelajaran (P&P) yang baik adalah yang berpusatkan pelajar, di samping penyerapan kemahiran bernilai tambah, iaitu kemahiran berfikir dan teknologi maklumat serta komunikasi di dalam dan di luar bilik darjah.

Dalam usaha mencapai aspirasi yang tinggi dalam persekitaran persaingan global yang semakin sengit, kita tidak boleh lalai. Oleh itu, Malaysia perlu melaksanakan perubahan besar terhadap keseluruhan sistem pendidikan semasa untuk melonjakkan pencapaian semua pelajar. Tidak dinafikan bahawa proses pelaksanaan transformasi pendidikan memerlukan pendekatan dan strategi baharu agar setiap pelajar mampu memiliki dan menguasai kemahiran yang diperlukan dalam abad ke-21. Oleh yang demikian, transformasi pendidikan bukan sekadar menambah bilangan kakitangan dan kemudahan, malah perlu menjurus kepada usaha untuk memahami dan menambah baik proses P&P (KPM 2013). Menurut Zamri (2016a), dalam PPPM 2013-2025, guru bukan sahaja berpengetahuan dan inovatif, tetapi perlu berdisiplin, bermotivasi dan komited dalam menjalankan tanggungjawab mereka. Seterusnya, guru juga harus mengikut trend perubahan dalam dunia ledakan maklumat dan komunikasi (ICT) serta mengemas kini pengetahuan supaya pelajar menerima pengetahuan terkini untuk bersaing setanding dengan orang lain dalam dunia yang berteknologi tinggi. Laluan ke arah mencapai matlamat ini sudah pasti menemukan banyak isu dan cabaran dalam pembelajaran bahasa Melayu dalam abad ke-21. Cabaran-cabaran ini perlu ditangani oleh guru bagi menghasilkan kecemerlangan pendidikan yang kualitinya bertaraf dunia seperti yang dihasratkan oleh KPM.

Pendidikan Abad Ke-21Era milenium menyaksikan cabaran yang bersifat sejagat merentasi sempadan geografi mahupun sosiologi terpaksa dihadapi oleh semua negara. Malaysia turut menghadapi isu dan cabaran dalaman serta luaran akibat daripada era millenium tersebut. Kesan globalisasi, liberalisasi, dan perkembangan teknologi maklumat dan komunikasi (ICT) ini terpaksa ditempuh oleh negara bagi meralisasikan wawasan 2020. Salah satu cabaran tersebut ialah membangunkan satu sistem ekonomi yang berasaskan pengetahuan atau k-ekonomi bagi menghadapi persaingan negara lain. Cabaran ekonomi ini memerlukan sokongan padu daripada sektor pendidikan untuk

Page 9: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

3Pengajaran dan Pembelajaran... oleh Zamri Mahamod

melahirkan rakyat Malaysia yang berpengetahuan tinggi dalam pelbagai bidang.Thomas Friedman (2005) dalam bukunya The World Is Flat : A Brief History of the

Twenty-First Century, menyatakan pendidikan turut memainkan peranan penting dan menjadi kunci utama kepada kejayaan ekonomi dan kelestarian dunia dalam abad ke-21 ini. Alvin Toffler (1991) dalam bukunya Power Shift : Knowledge, Wealth and Power at the Edge of The 21st Century menyatakan bahawa ‘the illiterate of the 21st century are not those that cannot read or write, but those that cannot learn, unlearn and relearn.’

Oleh itu, pendidikan memerlukan transformasi dan penyesuaian dengan perubahan semasa. Pendidikan dalam era milenium perlu bercirikan unsur global dan pada masa yang sama tanpa meninggalkan yang asal yang bersifat lokal. Pendidikan perlu mampu melahirkan warganegara Malaysia yang berupaya merancang masa depan mereka, mampu menghadapi cabaran baru, berupaya membuat pilihan dengan masa depan mereka, berupaya membuat pilihan dengan bijak,tepat dan sesuai dengan cabaran semasa yang akan dihadapi. Sehubungan itu pendidikan perlu dikaitkan dengan senario semasa dan masa hadapan yang dapat dilihat daripada aliran pembangunan dan kemajuan teknologi semasa, khususnya ICT. Perancangan pendidikan umumnya perlu bersifat futuristik, fleksibel,dan dinamik supaya dapat menentukan corak masyarakat profil bangsa dan warganegara Malaysia yang diharapkan (KPM 2013).

Bagi menggerakkan semua potensi, kemahiran dan bakat seluruh rakyat Malaysia untuk menambah kecekapan dan daya pengeluaran negara menjelang abad ke-21. KPM telah mengenal pasti kemahiran dan kompetensi yang selaras dengan Falsafah Pendidikan Kebangsaan yang membolehkan pelajar Malaysia bersaing pada peringkat antarabangsa. Bagi merealisasikan Aspirasi Pelajar yang digariskan dalam PPPM 2013-2025), proses P&P perlulah disesuaikan dengan keperluan masa hadapan. Justeru, Malaysia melakukan pelbagai program transformasi dalam usaha untuk mencapai status negara maju menjelang tahun 2020. Eleman yang dititikberatkan dalam PPPM adalah seperti berikut:1. Pendapatan rakyat yang tergolong dalam rangking berpendapatan tinggi2. Mempunyai peranan yang penting dalam ekonomi global3. Mempunyai peranan yang penting dalam ekonomi global4. Menggerakkan semua potensi, kemahiran dan bakat seluruh rakyat Malaysia

untuk menambah kecekapan dan daya pengeluaran negara menjelang abad ke-21

KPM telah mengenal pasti kemahiran dan kompetensi yang selaras dengan Falsafah Pendidikan Kebangsaan yang membolehkan pelajar Malaysia bersaing pada peringkat antarabangsa. Bagi merealisasikan aspirasi pelajar yang digariskan dalam PPPM 2013-2025 (KPM 2013), proses P&P perlulah disesuaikan dengan keperluan masa hadapan. Justeru, pedagogi guru termasuk guru-guru Bahasa Melayu ditingkatkan untuk mengamalkan pembelajaran abad ke-21.

Definisi Pembelajaran Abad 21Kemahiran P&P abad ke-21 merujuk kepada beberapa kompetensi teras, iaitu kolaboratif, celik digital, kemahiran berfikir dan penyelesaian masalah. Mohamed Amin (2016) dan Nur Khazinatul Fateha (2016) menjelaskan pembelajaran abad ke-21 sebagai suatu bentuk pembelajaran yang memerlukan pelajar menguasai isi kandungan dan menghasilkan, mensintesiskan (penyatuan/penggabungan) dan

Page 10: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

4 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

menilai maklumat daripada pelbagai mata pelajaran dan sumber yang luas dengan memahami dan menghormati budaya yang berbeza. Pelajar diharap dapat mencipta, berkomunikasi, bekerjasama serta celik digital selain mempunyai tanggungjawab sivik.

Dalam pembinaan dan pembangunan negara kita sebagai negara baharu, iaitu sesudah 59 tahun dibelenggu penjajahan, Bahasa Melayu menjadi salah satu asas jati diri bangsa Malaysia yang berbilang kaum, menjadi bahasa perpaduan, menjadi lambang dan tanda kewujudan sebuah bangsa yang berdaulat (Awang Sariyan 2005). Oleh itu, Pelajar perlu disediakan dengan kemahiran menangani cabaran dunia pendidikan yang terdedah kepada pelbagai interpretasi dan kontroversi yang mencabar pemikiran individu. Semua mata pelajaran perlu menekankan ciri P&P abad ke-21, termasuklah mata pelajaran Bahasa Melayu.

Dengan kata lain, sekolah harus menyediakan peluang pendidikan dengan kurikulum berasaskan kehidupan sebenar di mana pelajar menangani dan menyelesaikan masalah kehidupan sebenar serta isu yang penting dalam kehidupan sejagat. Pendidikan yang diberikan harus meningkatkan pengetahuan dan kreativiti pelajar dan pada masa yang sama membolehkan pelajar berfikir, menaakul, membuat keputusan yang bijak, bekerja sebagai ahli pasukan dan melihat perhubungan dan perkaitan antara ilmu yang dipelajari merentas kurikulum.

Matlamat Pembelajaran Abad 21Dalam PPPM 2013-2025 (KPM 2013) menjelaskan bahawa matlamat utama penekanan pembelajaran abad ke-21 dalam semua kurikulum di peringkat sekolah rendah/dasar, sekolah menengah dan tinggi adalah jelas dan diberikan penekanan. Matlamat utama pembelajaran abad ke-21 ini adalah untuk:1. Pelajar yang produktif tinggi, mahir dalam komunikasi, mempunyai kemahiran

berfikir aras tinggi serta mahir dalam penggunaan teknologi maklumat dan komunikasi (ICT).

2. Membentuk pelajar mempunyai kemahiran pembelajaran abad ke-21 yang berdaya saing meliputi kemahiran berkomunikasi, kemahiran 3M (membaca, mengira dan menulis), kemahiran sains dan teknologi, kemahiran interpersonal dan intrapersonal dan sebagainya.

3. Bagi mencapai hasrat negara untuk membangunkan generasi yang mempunyai kemahiran abad ke-21, seseorang guru perlu menguasai pelbagai bidang, mengikuti perkembangan tentang dasar dan isu pendidikan, mahir dalam pedagogi (P&P),menggunakan teknologi terkini dan menerapkan nilai-nilai murni bagi tujuan pembentukan akhlak dan sahsiah yang baik pelajar dalam abad ke-21.

Hala Tuju Pendidikan Bahasa Melayu Abad Ke-21Berasaskan kepada transformasi pendidikan abad ke-21 ini juga, KPM telah mengatur strategi untuk Memartabatkan Bahasa Melayu dan Memperkukuhkan Bahasa Inggeris (MBMMBI). Strategi yang difokuskan untuk memartabatkan Bahasa Melayu ialah melibatkan penggunaan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar Sains dan Matematik di sekolah kebangsaan dan menengah serta penambahbaikan terhadap pendekatan P&P Bahasa Melayu (KPM http://www.moe.gov.my).

Memartabatkan Bahasa Malaysia bermaksud meletakkan Bahasa Melayu pada tempat yang sepatutnya, sesuai dengan kedudukannya sebagai bahasa kebangsaan

Page 11: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

5Pengajaran dan Pembelajaran... oleh Zamri Mahamod

seperti yang termaktub dalam Perkara 152 Perlembagaan Malaysia. Bahasa Melayu juga merupakan bahasa pengantar utama pendidikan berdasarkan Akta Pendidikan 1996. Tujuan utama memartabatkan Bahasa Melayu adalah kerana Bahasa Melayu merupakan bahasa kebangsaan yang menjadi alar perpaduan, bahasa perhubungan utama dan bahasa ilmu ke arah membina negara bangsa untuk mencapai hasrat 1MALAYSIA. Bagi memastikan hasrat memartabatkan Bahasa Melayu tercapai maka beberapa langkah telah diambil dengan menyusun strategi yang sistematik berkaitan pengajaran Bahasa Melayu di sekolah, antaranya termasuklah:1. Mengangkat martabat Bahasa Melayu dengan menggunakannya secara

meluas dan berkesan sebagai bahasa ilmu dalam P&P di sekolah kebangsaan dan sekolah menengah.

2. Memperuntukkan tambahan waktu P&P Bahasa Melayu iaitu, Peruntukan waktu Bahasa Melayu bagi sekolah jenis kebangsaan adalah di antara 30 minit hingga 90 minit. Masa sedia ada sekarang ini sebanyak 180 minit dirasakan tidak cukup untuk membantu mengukuhkan penguasaan Bahasa Melayu pelajar-pelajar bukan Melayu.

3. Memperkukuh penguasaan asas kemahiran berbahasa pelajar melalui pendekatan kurikulum modular yang bersepadu, seimbang dan holistik. Pendekatan ini dilakukan melalui modul P&P yang memberi tumpuan kepada perkara asas berbahasa, didik hibur, apresiasi bahasa melalui Modul Seni Bahasa dan Modul Tatabahasa yang memberi tumpuan kepada P&P secara bersepadu berasaskan sistem bahasa. Aktiviti ini disokong dengan bahan bacaan estetika seperti sastera kontemporari kanak-kanak, bahan program awal berstruktur dan bacaan ekstensif yang mendedahkan pelajar kepada bahan bacaan yang indah dan berkualiti. Memastikan Bahasa Melayu dan a Inggeris diajarkan oleh guru mengikut opsyen sepenuhnya. Sementara guru bukan opsyen Bahasa Melayu dan Inggeris akan ditempatkan semula mengikut keperluan opsyen di sekolah. Guru-guru bukan opsyen juga akan diberikan kursus tambah opsyen.

4. Meningkatkan kapasiti guru melalui pelaksanaan latihan guru praperkhidmatan dan Latihan Dalam Perkhidmatan (LADAP).

5. Memperluas perkongsian dan jaringan guru hingga ke peringkat global sebagai satu mekanisme guru berkongsi pengalaman dan pengetahuan tentang P&P yang terkini dan berkesan melalui forum/seminar/persidangan antarabangsa.

6. Memperluaskan integrasi ICT dalam P&P Bahasa Melayu dan Inggeris. Meningkatkan penguasaan Bahasa Melayu dan Inggeris pelajar melalui program peningkatan minat dan penyertaan pelajar dalam aktiviti bahasa. Penyertaan menyeluruh pelajar dalam aktiviti pengucapan awam seperti ucapan, syarahan, pidato, pidato umum perbahasan dan kepengacaraan (Dasar Pendidikan Kebangsaan, KPM 2012).

Kemahiran Abad Ke-21 dalam Pengajaran Bahasa MelayuKemahiran abad ke-21 merupakan kemahiran yang perlu diterap dalam proses pengajaran dan pembelajaran Bahasa Melayu. Tujuannya adalah untuk membangunkan potensi pelajar dengan kemahiran yang perlu pelajar kuasai sebagai persediaan menjadi

Page 12: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

6 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

individu yang berdaya saing. Terdapat tiga kemahiran utama yang perlu dikuasai oleh pelajar dalam pengajaran dan pembelajaran Bahasa Melayu abad ke-21, iaitu:1. Kemahiran pembelajaran dan inovasi2. Kemahiran maklumat, media dan teknologi3. Kemahiran hidup dan kerjaya

Kemahiran Pembelajaran dan Inovasi Pelbagai kaedah, pendekatan P&P Bahasa Melayu, olahan teknik dan penggunaan bahan alat bantu mengajar serta teknologi antara yang perlu guru ambil tindakan untuk merangsang dan menggalakkan pelajar berfikir secara kritis dan kreatif, berkomunikasi, berinteraksi, meluaskan pengetahuan pelajar, di samping mewujudkan kesedaran dalam diri pelajar tentang perlunya nilai-nilai yang baik sebagai amalan hidup dan mampu mengembangkan kebolehan pemikiran aras tinggi.

Guru perlu melaksanakan proses P&P Bahasa Melayu yang aktif dan efektif di mana memberi banyak peluang diberikan kepada pelajar untuk melakukan aktiviti yang membolehkan mereka berinteraksi, bersuara dan dirangsang untuk aktif membuat kritikan, bidasan, hujahan, pandangan dan cadangan.Menurut Zamri (2014), P&P seharusnya dijayakan dengan memberi peluang pelajar lebih bersuara agar guru dapat mengkaji ‘meta language’ pelajar, iaitu bahasa sebenar yang digunakan oleh pelajar untuk berkomunikasi sesama mereka sewaktu menerangkan sesuatu, memberi arahan kepada rakan, membuat pembetulan dan memberi pujian. Berdasarkan kemahiran pembelajaran inovatif, seharus melalui proses P&P yang dirancang oleh guru dapat menghasilkan:1. Individu yang ada harga diri sebagai pelajar dan manusia.2. Individu yang berkeupayaan untuk membuat keputusan dan menyelesaikan

masalah.3. Insan yang terarah kendiri dan prihatin terhadap diri sendiri, orang lain dan

persekitaran.4. Pelajar yang menguasai kemahiran proses menyelesaikan masalah,

berkomunikasi, hubungan interpersonal, bermasyarakat, bertanggungjawab dan membuat keputusan.

Kemahiran Maklumat, Media dan TeknologiPengalaman menggunakan komputer mempengaruhi sikap terhadap komputer. Kebanyakan guru tidak memahami bagaimana hendak menggabungkan kemahiran komputer dengan pengajaran di kelas. Penggunaan komputer dalam pengajaran menulis karangan dapat memberi kesan terhadap pencapaian pelajar. Antara kekangan guru Bahasa Melayu dalam melaksanakan pengajaran berbantukan komputer meliputi aspek kursus peningkatan, pelajar yang pelbagai kecerdasan teknologi komputer yang sering berubah, masa yang diperlukan untuk membuat persediaan pengajaran dan sebagainya boleh memberi kesan terhadap pengajaran.

Selain itu, faktor kebolehan guru dalam pengendalian komputer, penyediaan bahan pengajaran dan strategi yang sesuai digunakan menjadi kekangan yang sering dihadapi. Zamri (2014, 2015) menegaskan bahawa perancangan dan persediaan pihak pentadbir dalam menyediakan guru agar benar-benar menguasai kemahiran tersebut perlu dilakukan secara profesional. Sukatan Pelajaran Bahasa Melayu juga

Page 13: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

7Pengajaran dan Pembelajaran... oleh Zamri Mahamod

perlu dirujuk untuk melihat keperluan menggunakan dalam pengajaran. Di samping itu, penekanan pengajaran secara intergrasi dalam mata pelajaran lain juga mampu membantu pelajar mahir dalam sesuatu tajuk. Antara kekangan utama yang dihadapi oleh pelajar dalam penggunaan Internet ialah ketiadaan kemudahan Internet di rumah, pelajar tidak mempunyai masa yang cukup untuk melayari Internet, talian Internet sentiasa sibuk juga merupakan kekangan kepada pelajar untuk mengakses Internet. Analisis dapatan juga menunjukkan bahawa tahap penggunaan Internet sebagai strategi pembelajaran dalam kalangan pelajar sekolah menengah luar bandar pada tahap yang sederhana. Keadaan ini boleh membataskan penggunaanIinternet dengan meluas dalam kalangan pelajar

Kemahiran Hidup dan Kerjaya Kemahiran hidup dan kerjaya ini merupakan kemahiran yang perlu diterapkan dalam diri pelajar untuk menggalakkan perkembangan kemahiran insaniah pelajar. Pembangunan modal insan adalah begitu dititikberatkan seperti yang terkandung dalam Pelan Induk Pembangunan Pendidikan (PIPP). Modal insan yang diharapkan haruslah mempunyai kemahiran agar dapat meningkatkan pembangunan sesebuah negara iaitu negara kita Malaysia khususnya. Kemahiran insaniah atau dikenali sebagai kemahiran generik merupakan kemahiran yang perlu ada pada seseorang individu bagi menjadikannya modal insan yang berguna. The Conference Board of Canada (1996), ada menyatakan bahawa kemahiran generik adalah penting dan diperlukan oleh tenaga kerja sebelum memasuki alam pekerjaan. Antara kemahiran insaniah yang boleh diperoleh daripada proses pengajaran dan pembelajaran Bahasa Melayu ialah kemahiran komunikasi, interpersonal dan sosial, kemahiran berfikir dan menyelesaikan masalah, kemahiran teknologi maklumat (ICT), kemahiran bekerja secara berpasukan dan kemahiran memimpin (Alizah dan Zamri 2015).

Kemahiran insaniah merupakan kemahiran generik yang melibatkan elemen kognitif yang berkaitan dengan kemahiran bukan akademik seperti nilai positif, kepimpinan, kerja berpasukan, komunikasi dan pembelajaran berterusan (Alizah dan Zamri 2015). Menurut mereka, penerapan kemahiran insaniah mesti dilaksanakan secara menyeluruh dan diterapkan dalam P&P. Salah satu kaedah P&P yang dapat merangsang perkembangan kemahiran insaniah dalam kalangan pelajar ialah kaedah P&P berpusatkan pelajar.

Memperkasakan Pedagogi Guru Bahasa Melayu Abad Ke-21Masyarakat abad ke-21 merupakan masyarakat yang berorientasikan sains dan teknologi serta menggunakan prasarana teknologi maklumat terkini dalam kehidupan seharian (Zamri dan Mohamed Amin 2008). Kemajuan sains dan teknologi ini turut menerima tempiasnya dalam sektor pendidikan. Sistem pendidikan di seluruh dunia telah banyak mengalami perubahan seiring dengan perkembangan teknologi maklumat dan dunia globalisasi ini. Sebagai contoh, perubahan-perubahan dalam pendidikan ini turut tercatat dalam banyak dasar yang dilaksanakan oleh kerajaan Malaysia seperti dalam Rancangan Malaysia Ke-9 (RMK), Pelan Induk Pembangunan Pendidikan 2006-2010 (PIPP), Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia 2013-2025 (KPM 2013), Standard Guru Malaysia, dan lain-lain. Semua yang dihasratkan oleh KPM ini semuanya bermatlamat untuk melahirkan insan pelajar yang seimbang dan

Page 14: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

8 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

harmonis dari segi jasmani, emosi, rohani dan intelek (JERI) seperti yang terkandung dalam Falsafah Pendidikan Kebangsaan (KPM 1992).

Dalam menghasilkan guru Bahasa Melayu yang dapat menangani dan mendepani pendidikan Bahasa Melayu dalam abad ke-21, penulis berpendapat empat aspek berikut perlu dikuasai oleh setiap guru Bahasa Melayu, iaitu guru yang cemerlang, berkesan, inovatif dan kreatif dalam P&P. Hal ini sewajarnya diikuti dan diamalkan oleh guru, termasuk guru-guru Bahasa Melayu. Pengetahuan pedagogi kandungan bermaksud guru menterjemahkan pengetahuan isi kandungan secara pedagogikal dengan memahami konteks dalam persekitaran pembelajaran di dalam bilik darjah berdasarkan pengetahuan guru terhadap pengetahuan isi kandungan subjek, pengetahuan pedagogi subjek, pengetahuan ciri setiap pelajarnya, pengetahuan tentang kepercayaan terhadap pendekatan P&P yang digunakan.

Pengetahuan pedagogi kandungan banyak melibatkan cara penyampaian guru secara berkesan terhadap sesuatu idea, analogi kukuh, ilustrasi menarik, contoh-contoh tepat dan munasabah, penerangan jelas dan bermakna serta tunjuk cara berkesan agar sesuatu isi pelajaran itu dapat difahami pelajar dengan mudah. Bagaimanakah penggunaan pengetahuan pedagogi kandungan dapat memperkasa guru-guru Bahasa Melayu dalam abad ke-21? Pengetahuan pedagogi kandungan dapat memperkasa pengajaran guru Bahasa Melayu dari segi membimbing pelajar untuk memahami mata pelajaran Bahasa Melayu dengan lebih bermakna seperti dengan penggunaan bahasa yang mudah difahami, pertuturan yang lancar dan sistematik, perwatakan yang ceria dan meyakinkan ketika kelas Bahasa Melayu, penjelasan topik yang disusun, diolah, diubah suai dan disampaikan berdasarkan pelbagai kebolehan pelajar (Rozaiman dan Zamri 2016, Magdeline dan Zamri 2016). Dengan adanya Pengetahuan pedagogi kandungan ini, guru-guru Bahasa Melayu dapat menyampaikan isi pengajaran dengan lebih mudah dan berkesan.

Pengetahuan Isi KandunganGuru-guru Bahasa Melayu dalam abad ke-21 perlu mempunyai tahap pengetahuan isi kandungan Bahasa Melayu yang baik. Perkembangan terkini dalam kurikulum pendidikan Bahasa Melayu sewajar diketahui oleh setiap guru. Antara pengetahuan isi kandungan Bahasa Melayu yang perlu difokuskan ialah:1. Kesediaan guru Bahasa Melayu untuk menyampaikan bahan pengajaran merupakan

perkara terpenting dalam pengendalian sesi P&P. Hal ini bermakna pengetahuan guru Bahasa Melayu tentang isi kandungan Bahasa Melayu merupakan kesediaan terpenting untuk memastikan keberkesanan pengajarannya.

2. Pengetahuan substantif, iaitu pengetahuan tentang apa yang ada dalam fakta atau konsep yang digunakan untuk menyusun idea dan maklumat tentang sesuatu tajuk dalam mata pelajaran Bahasa Melayu berkenaan. Hal ini bermakna setiap guru Bahasa Melayu seharusnya memiliki pengetahuan substantif ini, terutamanya bagi tajuk-tajuk yang melibatkan isu-isu semasa.

3. Pengetahuan sintaktik, iaitu pengetahuan tentang cara bagaimana sesuatu perkara itu dibentuk dan dihasilkan berdasarkan prosedur, kaedah dan proses yang melaluinya di mana sesuatu kebenaran dan pengetahuan baharu dapat dibina. Hal ini bermakna setiap guru Bahasa Melayu perlu mengukuhkan kefahaman konseptual pelajar dengan menggunakan contoh, analogi, hujah secara logik dan

Page 15: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

9Pengajaran dan Pembelajaran... oleh Zamri Mahamod

berhujah menggunakan asas fakta yang tepat mengikut tahap pemikiran pelajar.4. Penguasaan ilmu, iaitu setiap guru Bahasa Melayu perlu menguasai ilmu tatabahasa

dan ilmu pedagogi Bahasa Melayu. Pengetahuan isi kandungan subjek yang berkaitan dengan sukatan, sama ada secara langsung atau tidak secara langsung merupakan faktor penentu kefahaman pelajar terhadap apa yang diajarkan oleh guru Bahasa Melayu berkenaan. Hal ini bermakna tanpa menguasai ilmu Bahasa Melayu, boleh mengganggu pemahaman dan pengetahuan pelajar tentang tajuk yang dipelajari.

Rumusannya, tahap keberkesanan pengajaran guru Bahasa Melayu banyak bergantung kepada pengetahuan isi kandungan subjek dan kemampuan guru mengurus masa untuk dimanfaatkan sepenuhnya dalam pengajaran. Pengetahuan isi kandungan Bahasa Melayu yang baik juga membantu guru merancang pengajaran harian, mingguan dan bulanan secara sistematik dan bertulis.

Pengetahuan PedagogiMenurut Magdeline dan Zamri (2016), pengetahuan pedagogi mengajar bermaksud setiap guru perlu mempunyai pelbagai pengetahuan berkaitan pedagogi mengajar. Dalam konteks pendidikan Bahasa Melayu, setiap guru Bahasa Melayu sewajarnya memahami dan menguasai pelbagai kemahiran mengajar/pedagogi terkini yang melibatkan kaedah, pendekatan, teknik dan strategi mengajar Bahasa Melayu. Dalam pengajaran, seharusnya pelajar merasai dan dapat memahami bahawa guru Bahasa Melayu mereka seharusnya lebih mahir dan lebih mengetahui sesuatu tajuk yang dibincangkan berbanding pelajar (Zamri 2014). Hal ini boleh dilihat antara lain melalui pedagogi mengajar yang guru gunakan seperti pendekatan, kaedah, teknik dan strategi pengajaran.

Pendekatan PengajaranDalam konteks pengajaran dan pembelajaran Bahasa Melayu, terdapat banyak pendekatan pengajaran yang boleh digunakan di dalam bilik darjah. Selalunya guru-guru Bahasa Melayu akan menggunakan pendekatan konvensional dan tradisi yang sudah biasa digunakan dalam pengajaran seperti deduktik, induktik dan komunikatif. Kini sepatutnya guru-guru Bahasa Melayu perlu meneroka kepada pendekatan pengajaran terkini dan sesuai dengan tahap kognitif, kepelbagaian pelajar, kesesuaian tajuk yang diajar dan sebagainya. Antara pendekatan terkini yang boleh digunakan ialah pendekatan masteri, kontekstual, konstruktif, koperatif, kolaboratif, penyebatian kemahiran, penggabungjalinan pelbagai disiplin ilmu dan pembelajaran berasaskan masalah.

Kaedah PengajaranTerdapat banyak kaedah pengajaran dan pembelajaran yang sewajarnya setiap guru Bahasa Melayu mengetahui dan menguasainya. Di dalam kelas kepelbagaian pelajar, kaedah mengajar berpusat pelajar seharusnya diberi penekanan oleh guru Bahasa Melayu. Antaranya ialah kaedah perbincangan, main peranan, penyelesaian masalah, pembelajaran atas talian, inkuiri, sumbang saran dan sebagainya. Kaedah pengajaran yang banyak berpusatkan guru dan bahan tidak digalakkan digunakan oleh guru.

Page 16: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

10 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Teknik PengajaranTeknik pengajaran adalah perincian daripada penggunaan sesuatu kaedah yang digunakan. Teknik pengajaran lebih kepada pelaksanaan bagaimana sesuatu kaedah pengajaran itu dapat dilaksanakan dalam sesuatu proses P&P. Teknik pengajaran merupakan kemahiran guru dalam mengelola dan melaksanakan kaedah mengajar dalam sesuatu aktiviti pengajaran dan pembelajaran. Antara teknik mengajar yang biasa digunakan ialah teknik bercerita, bersyarah, perbincangan, demonstrasi, latih tubi, penyoalan, sumbang saran dan permainan. Tujuan menggunakan pelbagai teknik mengajar dalam situasi pengajaran adalah untuk menarik minat pelajar, mengekalkan perhatian serta membangkitkan rasa ingin tahu pelajar supaya mencapai objektif pengajaran dan pembelajaran. Teknik-teknik pengajaran adalah kemahiran atau perkara-perkara khusus yang terdapat dalam sesuatu kaedah. Jika seseorang guru itu tidak dapat menguasai teknik-teknik yang ada pada sesuatu kaedah, maka kemungkinan besar matlamat kaedah itu akan tidak berhasil.

Strategi PengajaranPeranan strategi pengajaran adalah lebih penting lagi jika kita mengajar pelajar yang berbeza dari segi kebolehan, pencapaian, kecenderungan serta minat yang berbeza-beza. Kita perlu merancang pendekatan dan kaedah yang digunakan untuk mengajar kumpulan-kumpulan yang berbeza-beza itu. Contohnya, di dalam bilik darjah yang pelbagai tahap pencapaian, guru perlu memikirkan strategi pengajaran yang terdiri daripada pelbagai kaedah mengajar untuk memenuhi keperluan semua kumpulan. Di samping itu, setiap bilik darjah mempunyai halangan serta rintangan-rintangan yang tersendiri seperti keadaan fizikal, kemudahan bilik darjah, nilai, norma serta latar belakang sekolah dan pelajar. Lantaran itu, seseorang guru bukan sahaja mesti menguasai berbagai-bagai kaedah mengajar, tetapi yang lebih penting lagi ialah bagaimana mengintegrasikan serta menyusun kaedah-kaedah itu untuk membentuk strategi pengajaran dan pembelajaran yang paling berkesan dalam pengajarannya.

Rumusannya, dalam melaksanakan kepelbagaian kaedah P&P, guru Bahasa Melayu perlu memilih kaedah yang sesuai digunakan seperti kaedah praktis, perbincangan, soal jawab dan sebagainya. Selepas kaedah yang hendak digunakan dipilih, baharulah guru merancang teknik yang boleh melengkapi kaedah tersebut seperti teknik bercerita, latih tubi, menghafal dan seumpamanya. Usaha mengenal pasti dan memilih kaedah dan teknik yang sesuai dapat memenuhi pendekatan yang digunakan yang disebut sebagai strategi.

Pengetahuan tentang Kepelbagaian PelajarZamri, Ruslin dan Mohamed Amin (2016) berpendapat guru Bahasa Melayu yang baik ialah seorang guru yang bukan sahaja mempunyai kepelbagaian kemahiran mengajar, tetapi juga mempunyai pengetahuan yang mendalam terhadap setiap anak pelajar yang di dalam kelas yang diajarnya. Pengetahuan berkaitan ciri pelajar adalah amat diperlukan untuk membantu guru memilih pendekatan, kaedah dan teknik pengajaran dan pembelajaran yang sesuai dengan setiap ciri pelajarnya (Zamri 2015). Pengetahuan guru tentang ciri pelajarnya boleh menjadikan pengajaran guru menyeronokkan dan meninggalkan kesan positif dalam diri pelajar berkenaan. Dalam konteks pengajaran dan pembelajaran Bahasa Melayu, pengetahuan guru tentang pelajar-pelajarnya dilihat dari aspek berikut:

Page 17: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

11Pengajaran dan Pembelajaran... oleh Zamri Mahamod

1. Maklumat umum tentang pelajar berkenaan: Hal ini bermaksud setiap guru Bahasa Melayu bukan fungsinya untuk mengajar sahaja, tetapi juga mengambil berat akan hal-hal berkaitan dengan pelajar yang diasuhnya. Mengambil berat ini amat penting jika guru Bahasa Melayu berkenaan menjadi guru kelas pada setiap pelajar Bahasa Melayu tersebut.

2. Pengetahuan tentang tahap kognitif pelajar: Setiap pelajar adalah berbeza tahap kognitif. Demikian juga pelajar yang belajar Bahasa Melayu. Tahap penguasaan bahasa dan kemahiran berbahasa pelajar turut dipengaruhi tahap kognitif pelajar berkenaan. Oleh itu, guru-guru Bahasa Melayu perlu memahami setiap pelajarnya itu adalah berbeza tahap kognitif mereka. Sudah tentu apabila menyoal (aras soalan), memberi tugasan (mudah atau sukar), memberi arahan main peranan (sebagai ketua, pembentang, pencatat) dan sebagainya, maka guru-guru Bahasa Melayu perlu mengambil keupayaan pelajar tersebut untuk menjawab soalan, menyiapkan tugasan, kemampuan bertindak ketika main peranan dan sebagainya.

3. Pengetahuan tentang tahap sosioemosi pelajar: Kemampuan pelajar mempelajari Bahasa Melayu juga ada kaitan dengannya dengan tahap sosioemosi pelajar. Dalam hal ini, guru-guru Bahasa Melayu perlu kreatif dalam merancang aktiviti pengajaran dan pembelajarannya. Guru Bahasa Melayu perlu kira bahawa tahap sosioemosi pelajar Bahasa Melayu boleh mempengaruhi sesi pengajaran dan pembelajaran secara keseluruhannya.

4. Pengetahuan tentang masalah pembelajaran pelajar: Hal ini berkaitan dengan pembelajaran pelajar. Ada pelajar Bahasa Melayu yang tidak berminat untuk belajar Bahasa Melayu, atau mengambil mudah pembelajaran Bahasa Melayu, dan sebaliknya. Oleh itu, guru-guru Bahasa Melayu perlu mengenal pasti setiap masalah pembelajaran pelajar Bahasa Melayu. Melalui kaedah ini, guru Bahasa Melayu dapat merancang aktiviti pengajarannya, bahan pembelajaran, kaedah pengajaran dan aktiviti pengukuhan dan penilaian yang sesuai dengan kemampuan pelajar-pelajar yang bermasalah dalam pembelajaran Bahasa Melayu ini.

5. Pengetahuan tentang sikap pelajar: Faktor sikap amat penting dalam menentukan sama ada seseorang pelajar itu berminat atau tidak berminat mempelajari sesuatu mata pelajaran itu, guru yang mengajar, kaedah pengajaran yang digunakan dan sebagainya. Justeru, setiap guru Bahasa Melayu perlu memastikan pengajarannya menyeronokkan, dan mudah difahami pelajar. Kreativiti dan inovatif guru ketika mengajar boleh mempengaruhi sikap pelajar terhadap mata pelajaran Bahasa Melayu.

6. Pengetahuan tentang tahap kemahiran bahasa pelajar: Empat kemahiran setiap pelajar juga perlu diambil berat oleh setiap guru Bahasa Melayu. Demikian juga aspek tatabahasa, kosa kata, pemahaman dan komponen sastera. Apabila guru-guru Bahasa Melayu mengetahui tahap kemampuan setiap pelajarnya tentang kecekapan kemahiran bahasa dan aspek-aspek bahasa yang lain, maka guru dapat merancang pelbagai aktiviti pengajaran dan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan berbahasa pelajar-pelajarnya itu.

Rumusannya, pengetahuan yang mendalam tentang setiap pelajar amat penting bagi setiap guru Bahasa Melayu. Pengetahuan yang baik tentang pelajar-pelajarnya membolehkan guru Bahasa Melayu menyalurkan semua pengetahuan isi kandungan dan pengetahuan pedagogi kandungan dapat diterapkan secara penyebatian.

Page 18: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

12 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Pengetahuan KurikulumMenurut Rozaiman dan Zamri (2016), pengetahuan kurikulum bermaksud guru-guru Bahasa Melayu perlu memahami, mengetahui dan menguasai bagaimana kurikulum Bahasa Melayu itu dibina dan direka bentuk menjadi satu kurikulum yang sesuai untuk tahap kognitif pelajar. Antara elemen dalam pengetahuan kurikulum Bahasa Melayu itu ialah:1. Kesinambungan kurikulum: Hal ini bermaksud setiap kurikulum Bahasa Melayu

yang dibina perlu saling berkaitan antara satu sama lain. Sebagai contoh, kurikulum Bahasa Melayu menengah rendah ada kesinambungan dengan kurikulum Bahasa Melayu menengah atas. Tajuk tatabahasa misalnya, jika di peringkat sekolah rendah, penekanannya diberikan kepada tatabahasa yang mudah, pembinaan ayat-ayat yang mudah, maka sebaliknya di peringkat menengah rendah dan atas, sudah pasti tatabahasa yang digunakan jauh lebih sukar berbanding tatabahasa pelajar sekolah rendah. Begitu juga dengan pembinaan ayat dan sebagainya.

2. Orientasi kurikulum: Penekanan kurikulum Bahasa Melayu yang berorientasikan peperiksaan perlu dikurangkan. Hal ini bermaksud, apabila kurikulum Bahasa Melayu lebih berfokus kepada peperiksaan, maka matlamat utama untuk membantu pelajar menguasai kesemua kemahiran bahasa, kemahiran berkomunikasi dan lain-lain tidak tercapai. Pelajar hanya menguasai Bahasa Melayu untuk tujuan peperiksaan sahaja.

3. Pelaksanaan kurikulum: Guru-guru perlu memiliki pengetahuan bagaimana hendak melaksanakan pengajaran Bahasa Melayu dengan menyeluruh untuk membolehkan guru-guru membuat perancangan dan pelaksanaan pengajarannya mengikut tahap perkembangan dan kematangan pelajar. Apabila guru Bahasa Melayu memahami pelaksanaan kurikulum Bahasa Melayu tersebut, maka guru-guru dapat merancang pelaksanaan kurikulum Bahasa Melayu secara menyeluruh, terutamanya menangani perubahan-perubahan yang berlaku dalam pendidikan bahasa. Hal ini penting diketahui dan dikuasai setiap guru agar pelaksanaan kurikulum Bahasa Melayu yang dibuat dapat disesuaikan dengan keperluan dan tuntutan semasa seperti keperluan kemahiran abad ke-21.

4. Kandungan sukatan pelajaran: kandungan sukatan dalam mata pelajaran Bahasa Melayu juga perlu berubah mengikut perubahan semasa yang berlaku. Perkara-perkara berkaitan dengan TMK, penilaian dan pentaksiran, kemahiran abad ke-21, kepelbagaian kecerdasan dan sebagainya perlu dimasukkan ke dalam sukatan pelajaran Bahasa Melayu selain mengekalkan perkara-perkara sedia ada seperti kemahiran bahasa, penerapan nilai dan lain-lain. Sebaik-baiknya kesemua perkara ini disebatikan dalam sukatan pelajaran Bahasa Melayu.

Rumusannya, Pengetahuan Pedagogi Kandungan (PPK) perlu dikuasai oleh setiap guru Bahasa Melayu. Perubahan-perubahan yang berlaku dalam sistem pendidikan masa kini banyak mencabar keupayaan dan kebolehan guru Bahasa Melayu untuk mengajar dengan baik dan berkesan. Keadaan ini ditambah pula dengan kepelbagaian yang wujud dalam kalangan pelajarnya. Oleh itu, guru-guru Bahasa Melayu perlu bersedia dan lebih terkehadapan dalam banyak perkara agar proses pengajarannya menjadi lebih menarik dan menyeronokkan pelajar.

Page 19: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

13Pengajaran dan Pembelajaran... oleh Zamri Mahamod

Ciri Guru Bahasa Melayu pada Abad 21Dalam abad ke-21, banyak kemahiran yang perlu dikuasai oleh guru. Menurut Zamri (2014, 2016a), seringkali terdapat kegagalan pendidik untuk menerapkan pelbagai kemahiran yang diajar, terutamanya berkaitan dengan kemahiran abad ke-21. Di samping itu, para pendidik juga perlu beralih kepada beberapa aspek memandangkan proses pengajaran dan pembelajaran untuk abad 21 amat mencabar. Guru Bahasa Mekayu abad ke-21 memerlukan enam ciri tertentu seperti berikut:1. Guru Bahasa Melayu perlu menguasai kandungan kurikulum Bahasa Melayu.

Pengetahuan yang mendalam tentang kandungan kurikulum Bahasa Melayu membantu guru mengajar dengan baik.

2. Guru Bahasa Melayu perlu mahir dan berketerampilan dalam pedagogi semasa sesi P&P. Pengetahuan pedagogi kandungan Bahasa Melayu membantu guru mengajar dengan pelbagai kaedah pengajaran terkini.

3. Guru Bahasa Melayu perlu memahami perkembangan pelajar dan menyayangi mereka. Oleh kerana pelajar adalah pelbagai, maka kepelbagaian mereka boleh mempengaruhi pengajaran guru Bahasa Melayu.

4. Guru Bahasa Melayu perlu memahami psikologi pembelajaran, iaitu psikologi kognitif. Hal ini bermaksud, setiap pelajar berbeza dari segi tahap kognitif dan psikologi mereka. Oleh itu, guru Bahasa Melayu perlu memahami dan mengambil kira kepelbagai kognitif dan psikologi pelajar ini dalam merancang sesi P&P Bahasa Melayu.

5. Guru Bahasa Melayu perlu memiliki kemahiran kaunseling. Kemahiran kaunseling membolehkan guru Bahasa Melayu mengajar dengan penuh kasih sayang untuk menangani masalah kepelbagaian pelajar di dalam sesebuah bilik darjah.

6. Guru Bahasa Melayu menggunakan teknologi terkini tidak kira semasa sesi P&P mahupun di luar sesi tersebut. Pembelajaran abad ke-21 memerlukan guru mahir dan cekap menggunakan ICT. Banyak maklumat berkaitan dalam P&P Bahasa Melayu boleh diakses dalam Internet untuk kegunaan P&P Bahasa Melayu.

Kesimpulannya, guru Bahasa Melayu perlu memiliki ciri yang holistik dan seimbang. Guru Bahasa Melayu bukan sahaja perlu menguasai kurikulum dan pedagogi mengajar, tetapi juga aspek-aspek lin berkaitan P&P seperti pengetahuan ICT, pengetahuan keplebagaian pelajar, kemahiran kaunselin dan sebaginya.

Peranan Guru Bahasa Melayuuntuk Membantu Pelajar Menguasai Kemahiran Abad Ke-21Terdapat enam kemahiran abad ke-21 yang diberikan penekanan dalam PPPM 2013-2015 (KPM 2013). Dalam hal ini, guru Bahasa Melayu turut berperanan untuk membantu KPM menjayakan hasrat ini dengan memastikan setiap pelajar menguasai kesemua enam kemahiran abad ke-21 tersebut. Dengan membantu pelajar tersebut, guru Bahasa Melayu dapat menyediakan pelajar untuk bersaing di peringkat global dan antarabangsa.1. Pengetahuan: Sepanjang 11 tahun pembelajaran (6 tahun sekolah dasar, 5 tahun

sekolah menengah), diharapkan pelajar sudah menguasai kemahiran Bahasa Melayu. Dengan pengetahuan yang baik, dapat membantu pelajar dalam berkomunikasi dan menulis dengan lebih efektif dan berkesan.

Page 20: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

14 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

2. Kemahiran berfikir: Pembelajaran abad ke-21 banyak menerapkan kemahiran berfikir , terutamanya kemahiran berfikir aras tinggi (KBAT). Dalam P&P, guru Bahasa Melayu perlu mengaplikasikan KBAT tinggi dalam aktiviti P&P, terutamanya melalui aktiviti dan kaedah pernyoalan. Dengan cara ini, pelajar dapat berfikir aras tinggi dalam menyelesaikan sesuatu tugasan yang diberikan.

3. Kemahiran memimpin: Guru Bahasa Melayu juga boleh membantu kemahiran memimpin dalam P&P Bahasa Melayu. Banyak aktiviti pembelajaran bahasa yang memerlukan pelajar mengetuai aktiviti tersebut untuk disiapkan. Dalam hal ini, guru Bahasa Melayu perlu menerapkan kemahiran memimpin dalam aktiviti P&P Bahasa Melayu. Melalui kemahiran memimpin ini, pelajar Bahasa Melayu dapat mengurus pembelajaran mereka dengan mudah dan sistematik.

4. Kemahiran dwibahasa: Selain Bahasa Melayu, pelajar juga digalakkan menguasai lebih daripada satu bahasa, terutamanya Bahasa Inggeris. Kemahiran menguasai lebih satu bahasa selain Bahasa Melayu akan menghasilkan pelajar yang berdaya saing. Mereka dapat berkomunikasi dengan baik dalam Bahasa Melayu dan Inggeris, terutamanya apabila sudah tamat alam persekolahan.

5. Etika dan kerohanian: P&P Bahasa Melayu dapat membentuk etika dan kerohanian. Etika dan kerohanian ini boleh diterapkan secara langsung dalam P&P ataupun secara tidak langsung melalui tutur kata dan tingkah laku guru Bahasa Melayu. Elemen etika dan kerohanian ini menjadikan pelajar lebih bertanggungjawab sebagai seorang pelajar.

6. Identiti nasional: Jati diri pelajar diberikan keutamaan dalam pembelajaran abad ke-21. Mata pelajaran Bahasa Melayu dapat peranan sebagai agen dalam pembentukan identiti nasional dalam kalangan pelajar. Kurikulum Bahasa Melayu sememangnya kaya dengan elemen jati diri. Oleh itu, guru Bahasa Melayu dapat membantu pelajar menguasai dan mengukuhkan jati diri mereka melalui pelbagai aktiviti P&P di dalam bilik darjah.

Kesimpulannya, kesemua enam kemahiran abad ke-21 ini terdapat dalam P&P Bahasa Melayu. Oleh itu, setiap guru Bahasa Melayu berperanan untuk membantu pelajar untuk menguasai kesemua enam kemahiran abad ke-21.

Perubahan yang Perlu Dilakukan oleh Guru Bahasa Melayudalam Pengajaran dan Pembelajaran Abad Ke-21 Zamri (2014) menyatakan P&P Bahasa Melayu tidak akan berkembang dan berdaya saing (inovatif) jika guru Bahasa Melayu sendiri tidak membuat perubahan pada pengajarannya. Dalam kurikulum abad ke-21, terdapat empat perubahan yang perlu dibuat untuk memastikan kurikulum Bahasa Melayu dapat memenuhi pembelajaran abad ke-21. Justeru, guru Bahasa Melayu perlu mengetahui dan menguasai bagaimana perubahan yang dilakukan tersebut membantu guru Bahasa Melayu dalam proses P&P abad ke-21.1. Persediaan bilik darjah: Bilik darjah abad ke-21 tidak lagi sama dengan bilik darjah

konvensional yang ada ketika ini. Dalam hal ini, setiap guru Bahasa Melayu juga perlu memiliki pengetahuan dan kemahiran bagaimana hendak menyediakan bilik darjah abad ke-21. Suasana bilik darjah abad ke-21 boleh memberikan motivasi dan dorongan kepada pelajar untuk berminat belajar, termasuk dalam pembelajaran Bahasa Melayu.

Page 21: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

15Pengajaran dan Pembelajaran... oleh Zamri Mahamod

2. Persekitaran sekolah: Proses P&P Bahasa Melayu boleh dipengaruhi oleh persekitaran sekolah. Persekitaran sekolah yang kondusif, aman, ceria dan jauh daripada suasana bising dan hingar-bingar boleh memberikan motivasi, minat dan keseronokan kepada pelajar untuk belajar. Demikian juga dalam P&P Bahasa Melayu. Persekitaran sekolah yang kurang kondusif boleh menjejaskan P&P Bahasa Melayu. Seterusnya, hal ini boleh mengganggu pembelajaran pelajar dalam pembelajaran Bahasa Melayu.

3. Persiapan guru: Setiap guru Bahasa Melayu perlu membuat persiapan. Sebelum pengajaran, guru perlu menyediakan bahan bantu mengajar dan lain-lain persiapan yang boleh membantu P&P guru Bahasa Melayu berjalan dengan baik dan mencapai objektifnya. Sekiranya guru Bahasa Melayu tidak membuat persiapan, sudah tentu pengajaran guru tidak mengikut objektif dan tidak mencapai kemahiran bahasa yang ditetapkan dalam kurikulum. Justeru, persiapan guru Bahasa Melayu sebelum dan semasa P&P amat penting dalam pembelajaran abad ke-21.

4. Persiapan kepimpinan: Kepimpinan dalam P&P abad ke-21 juga diberikan perhatian. Aspek kepimpinan P&P Bahasa Melayu membolehkan guru Bahasa Melayu merancang dan menyusun aktiviti P&P dengan baik. Guru Bahasa Melayu perlu merancang pengajarannya. Apabila proses pengajaran dirancang dengan baik, maka aktiviti pembelajaran akan menjadi lebih mudah. Hal ini kerana di dalam kelas abad ke-21, jika P&P tidak dirancang dengan baik, maka guru akan ketinggalan.

Kesimpulannya, setiap guru Bahasa Melayu perlu mengambil kura perubahan yang banyak berlaku dalam abad ke-21. Pembelajaran abad ke-21 memerlukan guru Bahasa Melayu banyak membuat persiapan dan persediaan dalam P&P mereka. Guru Bahasa Melayu perlu mengikut perubahan yang berlaku dalam pembelajaran abad ke-21. Dengan cara ini, pengajaran guru Bahasa Melayu akan mencapai objektifnya, manakala pelajar dapat menguasai isi pelajaran dengan mudah dan berkesan.

Hasil yang Diharapkan dalam Kurikulum Bahasa Melayu Abad Ke-21Bahasa Melayu merupakan mata pelajaran teras dalam kurikulum abad ke-21. KPM memberikan penekanan akan kepentingan mata pelajaran teras (termasuk Bahasa Melayu) untuk membantu pelajar menguasai pelbagai kemahiran belajar dan inovasi, kemahiran hidup dan kerjaya serta kemahiran ICT. Dalam P&P Bahasa Melayu, kurikulum abad ke-21 mengharapkan pelajar:1. Kemahiran belajar dan inovasi: Sebanyak tiga kemahiran yang diharapkan dapat

dicapai pada akhir pembelajaran seseorang pelajar. Misalnya dalam mata pelajaran Bahasa Melayu, pada akhir pembelajaran pelajar, mereka diharapkan dapat: (i) menjadi seorang yang kreatif dan inovasi, (ii) berfikiran kritis dan dapat menyelesaikan masalah berkaitan pembelajaran, serta (iii) berkomunikasi dan berkolaborasi menggunakan Bahasa Melayu dengan baik.

2. Kemahiran teknologi maklumat dan komunikasi (ICT): Pada akhir sesi P&P Bahasa Melayu, pelajar diharapkan dapat menguasai kemahiran ICT dengan baik, sama ada berkaitan dengan literasi maklumat, literasi media mahupun literasi ICT tersebut. Dalam P&P Bahasa Melayu, kemahiran ICT banyak membantu pelajar dan guru mengakses pelbagai maklumat. Aktiviti P&P menjadi lebih menarik dan menyeronokkan jika kemahiran ICT digunakan sebagai alat atau bahan bantu

Page 22: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

16 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

mengajar. Maklumat yang diperoleh ini membantu pelajar mengakses, mengurus, mengintegrasikan dan menilai maklumat serta menjana maklumat baharu untuk tujuan berkomunikasi.

3. Kemahiran hidup dan kerjaya: Pada akhir sesi P&P Bahasa Melayu, pelajar dapat menggunakan kemahiran dan pengetahuan yang diperoleh untuk digunakan dalam kehidupan dan kerjaya.

Kesimpulannya, kurikulum Bahasa Melayu abad ke-21 perlu seiring dengan PPPM 2013-20125 dan Falsafah Pendidikan Kebangsaan. Dengan cara ini, pelajar Bahasa Melayu yang dihasilkan melalui kurikulum abad ke-21 dapat menjadi seorang pelajar yang mampu berdikari di atas kaki sendiri, berdaya saing, celik ICT dan mampu mengurus kehidupan dan kerjaya.

KesimpulanP&P abad ke-21 mempunyai ciri-ciri yang berbeza dengan pendidikan masa lampau. Oleh yang demikian bagi memastikan objektif pengajaran dapat dicapai, guru-guru perlu terlebih dahulu melengkapkan diri dengan kemahiran-kemahiran abad ke-21. Guru-guru juga berhadapan dengan pelajar yang lebih terdedah dengan maklumat diperoleh daripada pelbagai sumber dan mempunyai kecenderungan untuk mengetahui dan bertanya dengan lebih mendalam. Pelajar pada alaf baharu ini lebih mempunyai akses kepada maklumat kerana lebih terdedah kepada kepesatan teknologi. Justeru, guru yang berwibawa, perlu melengkapkan diri dengan kemahiran tertentu terutama ICT bagi memudahkan mereka menghadapi cabaran pendidikan abad ke-21.

Transformasi pendidikan negara haruslah diterima dengan positif dan sebagai kumpulan pelaksana haruslah menyediakan diri untuk menghadapi cabaran pendidikan. Setara dengan pendapat Zamri (2016a) yang menyatakan bahawa selaras dengan hasrat KPM untuk menghasilkan kecemerlangan pendidikan Bahasa Melayu pada abad ke-21 mestilah berperanan untuk memperkasa Bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan negara dan bahasa pengantar ilmu. Dalam usaha menjayakan pendidikan Bahasa Melayu dalam sistem persekolahan abad ke-21 ini, pendidikan hari ini tidak lagi hanya menggunakan kapur dan papan hitam (talk and chalk), sebaliknya lebih kepada teknologi multimedia yang mampu meningkatkan kreativiti dan inovasi guru dalam menghasilkan proses P&P yang menarik dan berkesan.

DAFTAR PUSAKA

Alizah Lambri & Zamri Mahamod. 2015. Pengajaran dan pembelajaran Bahasa Melayu berpusatkan pelajar dalam membentuk kemahiran insaniah. Prosiding Seminar Pascasiswazah Pendidikan Bahasa Melayu dan Kesusasteraan Melayu Kali Ke-4,45-56. Bangi: Penerbitan Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.

Awang Sariyan. 2005. Hakikat bahasa dan realisasi fungsinya dalam pembinaan dan peningkatan tamadun. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa & Pustaka.

Friedman, T.L. 2005. The world is flat: A brief history of the twenty-first century. New York: Hardcover.

Page 23: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

17Pengajaran dan Pembelajaran... oleh Zamri Mahamod

Kementerian Pendidikan Malaysia. 1992. Falsafah pendidikan kebangsaan. Kuala Lumpur: Bahagian Pembangunan Kurikulum.

Kementerian Pendidikan Malaysia. 2011a. Memartabatkan Bahasa Malaysia Memperkukuhkan Bahasa Inggeris. http//www.moe.gov.my (20 September 2016).

Kementerian Pendidikan Malaysia. 2011b. Kurikulum standard sekolah rendah (KSSR). Putrajaya: Bahagian Pembangunan Kurikulum.

Kementerian Pendidikan Malaysia. 2013. Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia 2013-225. Putrajaya: Bahagian Pembangunan Kurikulum.

Kementerian Pendidikan Malaysia. 2015. Pedagogi Bahasa Malaysia Abad 21: Memartabatkan Bahasa Malaysia Memperkukuhkan Bahasa Inggeris (MBMMBI). Kursus Peningkatan Profesionalisme Guru Bahasa Melayu. Putrajaya: Bahagian Pembangunan Kurikulum.

Magdeline anak Nor & Zamri Mahamod. 2016. Pengetahuan pedagogi kandungan guru Bahasa Iban. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.

Mohamed Amin Embi. 2016. Pemikiran dan mereka bentuk semula pengajaran dan pembelajaran abad ke-21. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.

Nur Khazinatul Fateha Kamarruddin. 2016. Sikap, motivasi dan kemahiran abad ke-21 dalam kalangan pelajar Bahasa Melayu sekolah menengah. Prosiding Seminar Pascasiswazah Pendidikan Bahasa Melayu dan Pendidikan Kesusasteraan Melayu Kali Ke-5, 373-392. Bangi: Penerbitan Fakulti Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia.

Rozaiman Makmum & Zamri Mahamod. 2016. Teknologi, pedagogi dan pengetahuan kandungan: Profesionalisme guru kesusasteraan Melayu. Bandar Sri Begawan: Penerbit Institut Pendidikan Sultan Hassanal Bolkiah, Universiti Brunei Darussalam.

Toffler., A. 1991. Powershift: Knowledge, wealth, and violence at the edge of the 21st Century. Boston: Mass Market Paperback

Zamri Mahamod & Mohamed Amin Embi. 2008. Teknologi maklumat dan komunikasi dalam pengajaran dan pembelajaran Bahasa Melayu. Shah Alam: Karisma Publication.

Zamri Mahamod, Ruslin Amir & Mohamed Amin Embi. 2015. Kepelbagaian pelajar dan perbezaan pembelajaran. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa & Pustaka.

Zamri Mahamod. 2013. Merekayasakan pendidikan Bahasa Melayu pada Abad ke-21. Prosiding Seminar Pascasiswazah Pendidikan Bahasa Melayu dan Pendidikan Kesusasteraan Melayu Kali Ke-2, 2015. Bangi: Penerbitan Fakulti Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia.

Zamri Mahamod. 2014. Inovasi P&P dalam pendidikan Bahasa Melayu. Cetakan Ketiga. Tanjung Malim: Penerbitan Universiti Pendidikan Sultan Idris.

Zamri Mahamod. 2015. Strategi pembelajaran: Inventori cara belajar Bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa & Pustaka.

Page 24: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

18 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Zamri Mahamod. 2016a. Memperkasakan pedagogi Bahasa Melayu abad ke-21. Prosiding Seminar Pascasiswazah Pendidikan Bahasa Melayu dan Pendidikan Kesusasteraan Melayu Kali Ke-5, 1-17. Bangi: Penerbitan Fakulti Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia.

Zamri Mahamod. 2016b. Psikolinguistik dan pengajaran bahasa. Bangi: Penerbitan Fakulti Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia.

Zamri Mahamod. 2016c. Sosiolinguistik dan pengajaran bahasa. Bangi: Penerbitan Fakulti Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia.

Page 25: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

19Penelitian Sastra Etnik... Oleh Mohd. Harun

PENELITIAN SASTRA ETNIK SEBAGAI WARGA SASTRA DUNIA

olehMohd. Harun

PPs Universitas Syiah [email protected]

ABSTRAK

Tulisan ini membahas seluk-beluk penelitian sastra etnik sebagai warga sastra dunia. Sebagai warga sastra dunia, sastra etnik tidak boleh dipandang marginal atau diremehkan keberadaannya, karena semua sastra yang diciptakan di berbagai belahan dunia memiliki nilai kearifan lokal dan universal. Karena itu, sastra etnik dalam konteks penelitian harus dilestarikan dan dikaji dengan berbagai pendekatan ilmiah, seperti seperti pendekatan ekspresif, pragmatik, objektif, mimesis, sosiologi sastra, semiotik, dan stilistika. Objek kajian sastra etnik dapat terdiri atas prosa fiksi, puisi, naskah drama, dan prosa liris. Dalam melaksanakan penelitian, peneliti sastra etnik harus memperhatikan langkah dan proses penelitian sesuai dengan kategori sastra etnik sebagai sastra lisan, tulis, atau cetak. Siapa pun peneliti, baik dari etnik bersangkutan maupun etnik lain wajib menggunakan kerangkan pikir analisis sesuai dengan kerangka pikir yang terdapat dalam sastra etnik tersebut.

Kata kunci: sastra etnik, sastra dunia

PendahuluanSastra etnik merupakan sastra yang lahir, hidup, dan berkembang dalam suatu kelompok etnik di sebuah daerah di negara tertentu. Beranalogi pada pendapat Darma (2004) mengenai wilayah studi sastra, semua karya sastra etnik dapat dijadikan sebagai objek kajian atau penelitian ilmiah dari sudut teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Dengan kata lain, dari aspek penelitian ilmiah, sastra etnik sebagai objek penelitian tidak berbeda dengan sastra lain, seperti sastra nasional dan sastra dunia (internasional). Sasrtra etnik bahkan dapat dijadikan sebagai objek kajian sastra perbandingan. Hal ini karena semua karya sastra di dunia pada dasarnya mengandung berbagai nilai dengan konvensi dan kriteria yang mungkin berbeda dan mungkin sama antara sastra etnik yang satu dengan sastra etnik yang lain.

Berkaitan dengan sastra etnik atau sastra tradisional, Teeuw (1984: 93—4) mengemukakan bahwa tidak ada hanya satu definisi universal untuk sastra. Dalam setiap

Page 26: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

20 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

masyarakat harus diteliti konvensi-konvensi (yang berbeda-beda macamnya) yang membatasi karya sastra secara khas dari tulisan dan atau tuturan lisan lain. Karena itu, kriteria dan konvensi yang berlaku dalam dunia modern tidak tepat diberlakukan untuk sastra konvensional dalam masyarakat tradisional. Di sisi lain, Teeuw juga menyebutkan bahwa bermacam ciri khas kebahasaan yang relevan untuk sastra Barat ternyata dimiliki juga oleh sastra bukan Barat. Ini berarti bahwa sastra itu pada dasarnya memiliki banyak kesamaan, meskipun lahir dari etnik yang berbeda.

Sebagian besar sastra etnik memang hidup dan berkembang secara lisan atau dikenal sebagai sastra lisan (oral literature) yang merupakan bagian dari folklor. Karena disampaikan dari mulut ke mulut, dalam dunia sastra yang terus bekembang kemudian ia dikelompokkan ke dalam sastra klasik, sesuatu yang berkonotasi “barang lama” atau “usang”. Padahal, dalam perkembangan selanjutnya, sastra etnik dapat hadir dalam wujud sastra tulis dan sastra cetak, bahkan sastra elektronik. Ini berarti bahwa daya hidup sastra etnik dapat berlangsung secara terus-menerus sesuai dengan perkembangan zaman, meskipun ruh atau substansi sastra merujuk budaya atau cara pandang etnik. Beberapa contohnya adalah puisi haiku yang terus hidup di Jepang, pantun yang terus hidup di wilayah kelompok etnik Melayu, dan tanggono yang terus hidup di Gorontalo.

Di sisi lain, pada awal peradaban manusia, sastra lahir dan berkembang secara lisan. Dalam konteks ini ada pernyataan yang menarik untuk dicermati, yaitu bahwa Hikayat Raja-Raja Pasai yang selama ini dikenal sebagai sastra tulis ternyata merupakan perpindahan dari sastra lisan. Pendapat ini disampaikan oleh Danandjaja (dalam Pudentia, ed. 1998:92) sebagai berikut.

…. Perlu ditegaskan bahwa berabad-abad sebelum zaman kolonial, ciptaan lisan dipindahkan kepada tradisi tulisan. Kita dapat melihat tanda-tanda proses pemindahan itu dalam beberapa hikayat yang tetap dianggap sebagai hasil tradisi sastra tradisional, yaitu yang terbit dari lingkungan pernaskahan istana. Contohnya ialah Silsilah Kutai, Hikayat Raja-Raja Pasai, dan Hikayat Pelanduk Jenaka.

Walaupun sastra etnik dikelompokkan oleh sebagian pakar sebagai sastra klasik, tetapi

menempatkan sastra tersebut sebagai sastra marginal dalam dunia kesastraan adalah pandangan yang keliru. Pandangan keliru tersebut pernah dilakukan oleh sejumlah sarjana Barat atau kolonialis, termasuk dalam menilai sastra Melayu. Sweeney (2011:24) mencatat kekeliruan kolonialis memandang karya sastra Melayu klasik sebagai karya yang sudah sekarat atau akhir hayat. Sebagai contoh adalah pandangan Overbeck pada awal abad kedua puluh yang menganggap sastra Melayu itu mati. Julukan klasik itu diberikan bukan sebagai penghargaan terhadap nilai sastra Melayu, tetapi menandakan berakhirnya sastra Melayu. Padahal gejala kematian yang dimaksudkan itu menunjuk pada peralihan media yang amat penting, yaitu perubahan dari kebudayaan manuskrip menjadi kebudayaan cetak.

Wilayah penelitian sastra etnik bagaikan mata air abadi yang tak pernah habis-habisnya. Namun, hingga saat ini banyak sekali objek sastra etnik yang belum dikaji atau belum tersentuh tangan peneliti. Seorang peneliti yang telah banyak melakukan penelitian sastra etnik di Nusantara adalah Amin Sweeney. Sebagian dari hasil penelitiannya kemudian dikumpulkan dalam buku Pucuk Gunung Es Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Kebudayaan Melayu-Nusantara (2011). Tulisan dalam buku tersebut antara lain (1) Gaya Bahasa Lisan dalam Kesusastraan Rakyat, (2) Kajian Tradisi Lisan dan Pembentukan

Page 27: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

21Penelitian Sastra Etnik... Oleh Mohd. Harun

Wacana Kebudayaan, (3) Wayang Kulit dan Cabarannya Masa Kini, (4) Some Observation on the Malay Sya’ir, dan (5) Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia.

Banyak hal yang terkait dengan penelitian sastra etnik, antara lain, adalah (1) macam-macam sastra etnik, (2) aspek penelitian sastra etnik, (3) wilayah penelitian sastra etnik, (4) langkah dan proses penelitian sastra etnik, dan (5) peneliti sastra etnik. Kelima hal tersebut diuraikan secara ringkas berikut ini.

Hasil dan Pembahasan(1) Macam-macam Sastra EtnikMacam-macam atau jenis sastra etnik sangat tergantung pada etnik tertentu. Artinya, jenis sastra etnik Aceh mungkin berbeda dengan etnik Jawa atau dengan etnik Karens di Birma atau etnik Toraja di Sulawesi Selatan. Sebagai contoh, penelitian Harun (2006 dan 2012) menyimpulkan bahwa sastra etnik Aceh terdiri atas (1) prosa fiksi rakyat atau cerita rakyat, (2) puisi, dan (3) prosa liris. Semuanya masih hidup dalam masyarakat Aceh.

Prosa fiksi rakyat atau lebih dikenal sebagai cerita rakyat, meliputi (a) dongeng, (b) mite, dan (c) legenda. Pembagian ini mengacu kepada teori Bascom (dalam Danandjaja, 1997). Artinya, secara teoretis, klasifikasi prosa fiksi rakyat yang diasaskan pada teori Bascom ditemukan dalam sastra etnik Aceh. Dongeng di Aceh terdiri atas berbagai bentuk, seperti dongeng biasa dengan tokoh utamanya manusia, dongeng binatang yang ditokohi binatang, dongeng dalam bentuk anekdot dan lelucon, serta dongeng berumus. Di antara keempat jenis dongeng tersebut, hanya dongeng berumus yang tidak banyak ditemukan di Aceh.

Secara teoretis, Harun (2012) menyebutkan bahwa puisi dalam sastra Aceh terdiri atas hadih maja sebagai ungkapan bijak, pantun (panton) yang terdiri atas berbagai bentuk seperti pantun nasihat dan pantun seumapa, syair (ca-e), peribahasa, pepatah, perumpamaan, tamsil, ibarat, pemeo; nazam (nalam), mantra (h’ong, mentra, neurajah), teka-teki (hiem), selawat (seulaweuet), lagu ninobobo (dodaidi), dan meurukon. Khusus puisi jenis nalam, meurukon dan seulaweuet merupakan puisi yang mengandung ajaran agama Islam. Beberapa nalam yang masih dinyanyikan oleh orang Aceh adalah nalam Ubat Hate oleh Teungku Mudawali al Khalidi. Nalam ini sudah tercetak dan masih menggunakan tulisan Arab-Malayu. Selain itu, ada nalam Wajeb Iman karya Syekh Abdullah yang dimuat dalam Harun (2012).

Prosa liris dalam sastra Aceh dikenal dengan sebutan hikayat. Dengan kata lain, semua hikayat dalam sastra Aceh berciri prosa liris, karena ditinjau dari segi bentuknya, hikayat Aceh digubah dengan bahasa puisi atau bahasa berirama, sedangkan ditinjau dari segi isi, hikayat Aceh berbentuk prosa fiksi yang lengkap dengan unsur-unsur plot, setting, tokoh dan penokohan, point of view, dan gaya bahasa. Prosa liris ini merupakan salah satu kekayaan sastra Aceh yang masih terus digubah hingga saat ini, termasuk yang digubah langsung dalam bahasa tulis-cetak. Beratus-ratus hikayat telah diciptakan oleh pengarang Aceh dalam wujud (1) hikayat cerita, (2) hikayat sejarah, (3) hikayat safari, (4) hikayat agama, dan (5) hikayat perang.

(2) Aspek Penelitian Sastra EtnikAspek sastra etnik yang dapat diteliti meliputi seluruh jenis karya sastra etnik sebagaimana terdapat dalam bagian macam-macam sastra etnik. Secara lebih eksplisit, aspek yang dapat diteliti meliputi (1) sejarah sastra etnik, (2) teori, karakteristik atau hakikat sastra

Page 28: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

22 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

etnik, (3) nilai-nilai yang terkandung dalam sastra etnik, yang dapat meliputi berbagai nilai kearifan lokal dan universal (4) penggunaan bahasa sastra etnik, (5) wilayah penyebaran sastra etnik, (6) mitologi dalam sastra etnik, (7) keterbacaan sastra etnik, (8) fungsi sastra etnik dalam masyarakat, dan (9) peralihan sastra lisan ke sastra tulis-cetak dan peralihan dari sastra tulis-cetak ke sastra lisan. Semua aspek sastra etnik tersebut dapat diteliti secara ilmiah dengan berbagai pendekatan yang tersedia.

Beberapa contoh hasil penelitian sastra etnik termutakhir di Indonesia yang kemudian dihadirkan dalam bentuk buku adalah (1) Sejarah Sastra Jawa, karya Purwadi (2005), (2) Tradisi Lisan Jawa oleh Endraswara (2005), dan (3) Pengantar Sastra Aceh oleh Harun (2012)). Kehadiran buku-buku semacam ini memberikan sumbangan berarti kepada kehidupan dan keberadaan sastra etnik di tengah derasnya arus pengaburan identitas etnik oleh sastra dunia yang belum tentu mencerahkan.

Satu hal amat menarik dan patut diapresiasi adalah apa yang telah dikerjakan Malaysia untuk melestarikembangkan sastra etnik Melayu dengan pengekalan serial animasi Upin dan Ipin serta serial Pada Zaman Dahulu. Penayangan Upin dan Ipin serta Pada Zaman Dahulu di beberapa televisi Indonesia memperlihatkan betapa sastra etnik Melayu dapat mengikat hati anak-anak Nusantara. Hal ini karena dalam sastra dimaksud terkandung watak dan keadaan sosial budaya yang sesuai dengan bangsa di Nusantara. Tentu saja banyak sekali cerita rakyat etnik lain di Nusantara yang dapat menarik perhatian anak Nusantara.

(3) Wilayah Penelitian Sastra EtnikMenurut Zaidan (2002:3—4), berdasarkan media yang digunakan, wilayah penelitian sastra etnik dapat dikelompokkan ke dalam tiga orientasi, yaitu (1) penelitian sastra lisan, (2) penelitian sastra tulis, dan (3) penelitian sastra cetak. Penelitian sastra lisan bertujuan menyelamatkan sastra lisan dari kemungkinan kepunahannya. Hal ini karena sastra lisan hidup secara lisan dalam masyarakat secara turun-temurun dengan mengandalkan ingatan pencerita. Untuk contoh dongeng, misalnya, Thompson (1977:429-430) menyebutkan bahwa sebagian dongeng yang sama dituturkan dalam versi yang berbeda. Karena itu, untuk mengabadikan dongeng tersebut perlu dilakukan penelitian.

Kegiatan utama yang dilakukan dalam penelitian sastra lisan adalah pencatatan dan atau perekaman. Hasil catatan dan atau perekaman tersebut kemudian dikembangkan menjadi teks tulis yang biasa disebut transkripsi. Penelitian sastra lisan ini sudah banyak dilakukan, terutama jenis cerita rakyat dalam berbagai bahasa di Nusantara. Bahkan, sebagian mahasiswa tingkat sarjana, magister, dan doktoral di Indonesia memilih penelitian sastra etnik sebagai tugas akhir mereka.

Penelitian sastra tulis (maksudnya tulisan tangan) pada awalnya berkaitan dengan studi filologi yang menempatkan naskah sebagai bahan utama. Dalam studi ini, naskah sastra yang diteliti diedit, ditransliterasi, dipatut-patutkan agar terjadi keasliannya. Dalam studi filologi dituntut ketekunan dan kesetiaan karena yang dihadapi adalah naskah yang terkadang sulit dibaca karena alat tulis yang digunakan sudah mengalami kerusakan (Zaidan, 2002:4). Salah satu penelitian naskah kuno (sebagian sastra) dalam konteks studi filologi mutakhir untuk kasus Aceh adalah Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee Aceh Besar (Fathurrahman, dkk. 2010). Salah sebuah contoh karya sastra yang termuat dalam katalog tersebut adalah Hikayat Balasan Sesudah Mati. Hikayat ini ditulis dalam bentuk sajak, bercerita tentang kejadian Nabi Adam, kejadian alam, tentang maut dan alam

Page 29: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

23Penelitian Sastra Etnik... Oleh Mohd. Harun

akhirat, tanda-tanda kiamat, neraka dan surga (Fathurrahman, dkk. 2010:88). Upaya ini sungguh sangat berharga, karena sebagian naskah Tanoh Abee sudah mulai lapuk dan digerayangi rayap. Pada tahun 1960-an bahkan sebagian naskah pernah dibakar oleh pengurus Dayah Tanoh Abee karena sudah tidak terbaca lagi akibat dimakan rayap.

Penelitian sastra etnik dalam bentuk cetak merupakan ranah penelitian yang lebih mudah dibanding penelitian sastra lisan dan tulis. Hal ini karena sastra cetak sudah dilakukan secara modern dalam jumlah massal. Karena itu, peneliti sastra cetak tidak mengalami kesulitan berarti dalam hal memperoleh data dan mengolahnya. Bahkan, seringkali orang memandang penelitian sastra yang sebenarnya adalah penelitian dengan objek sastra cetak. Padahal, dua penelitian sastra lain, yaitu sastra lisan dan sastra tulis juga sangat penting dilakukan. Selain itu, sebagian sastra etnik sudah memiliki budaya sastra cetak. Di Aceh, misalnya, ditemukan banyak hikayat yang tercetak (bukan sastra lisan dan tulis yang dicetak), terbitan tahun 1990 sampai dengan tahun 2015.

Berkenaan dengan orientasi kritik sastra sebagaimana pemikiran Abram (dalam Teeuw, 1984:5), penelitian sastra etnik dapat dilakukan dengan orientasi (1) karya sastra, (2) pengarang, (3) semesta, dan (4) pembaca. Pendekatan yang menitikberatkan karya itu sendiri disebut pendekatan objektif. Pendekatan yang menitikberatkan pengarang disebut pendekatan ekspresif. Pendekatan yang menitikberatkan semesta disebut pendekatan mimetik. Pendekatan yang menitikberatkan pembaca disebut pendekatan pragmatik. Di samping itu, dapat ditambahkan bahwa karya sastra etnik juga dapat dikaji melalui sosiologi sastra, semiotik, stilistika, dan resepsi.

(4) Langkah dan Proses Penelitian Sastra EtnikMenurut Zaidan (2002), ada beberapa langkah yang dilakukan peneliti sastra etnik (daerah). Langkah pertama adalah sasaran penelitian, apakah meneliti sastra lisan, tulis, atau cetak. Langkah kedua adalah menyusun rancangan penelitian dengan jalan menjabarkan kerja konkret penelitian. Dalam langkah ini, antara lain, perlu ditentukan masalah, tujuan, aspek, dan model penelitian. Langkah ketiga adalah menentukan tahap-tahap atau langkah kerja sesuai dengan kategori penelitian yang dipilih.Langkah kerja dan proses penelitian mungkin sama dan mungkin berbeda antara penelitian sastra lisan, tulis, dan cetak.

Langkah dan proses penelitian sastra lisan meliputi (1) inventarisasi, (2) pencatatan dan atau perekaman, (3) pentranskripsian, dan (4) penerjemahan. Dalam langkah inventarisasi perlu dilakukan pendeskripsian judul, isi (seperti tema), jenis, dan suasana penceritaan, sikap masyarakat pendukung, waktu sastra lisan dituturkan, berapa usia penutur, namanya, statusnya, pendidikan, dan dari siapa penutur memperoleh cerita tersebut. Pada saaat melakukan perekaman perlu dicatat hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh rekaman. Alat rekam diusahakan sebaik mungkin, minimal tape recorder yang berkualitas tinggi. Saat ini dianjurkan menggunakan rekaman berwujud audiovisual. Jika yang dimaksud adalah perekaman alami, maka yang dipilih adalah tape recorder atau kamera tersembunyi. Perekaman seperti ini tidak akan mengganggu narasumber sastra lisan. Namun, jika narasumber tidak keberatan, perekaman dengan audiovisual jauh lebih baik, karena peneliti dapat menyaksikan ulang semua aspek yang dituturkan secara audiovisual. Alat rekam yang digunakan sebaiknya lebih dari satu.

Langkah pentranskripsian harus dilakukan segera setelah perekaman selesai. Ini berarti peneliiti perlu segera memindahkan suara ke aksara, dari lisan ke tulis. Lalu, sastra berubah wujud dari sastra yang didengar menjadi sastra yang dibaca. Selain itu,

Page 30: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

24 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

penstranskripsian harus memperhatikan kekhasan bahasa etnik pemilik sastra. Sebab, penulisan bahasa Jawa mungkin berbeda dengan bahasa Aceh atau bahasa Makassar.

Langkah terakhir adalah menerjemahkan sastra lisan yang sudah ditranskripsikan itu ke dalam bahasa lain, baik bahasa nasional maupun bahasa internasional. Penerjemahan ke bahasa nasional akan memungkinkan sastra lisan etnik dibaca dan ditelaah oleh komunitas nasional. Demikian juga penerjemahan ke bahasa internasional akan membuka peluang sastra etnik itu dipopulerkan dan dikaji oleh masyarakat internasional.

Langkah penelitian sastra tulis meliputi (1) deskripsi naskah, (2) pentranskripsian, dan (3) penerjemahan. Kegiatan deskripsi naskah meliputi (a) nomor naskah, (b) ukuran naskah, (c) tulisan naskah, (d) keadaan kertas, (e) kolofon, dan (f) catatan lain. Deskripsi sering juga diikuti oleh ringkasan isi naskah. Proses pentraliterasian dan penerjemahan dalam sastra tulis sama dengan pada sastra lisan.

Langkah penelitian sastra etnik yang tercetak paling tidak ada dua, yaitu inventasisasi dan penerjemahan. Inventarisasi meliputi daftar judul, pengarang, dan data penerbitan dalam masing-masing genre: puisi, prosa fiksi, drama, dan genre khas sastra etnik. Penerjemahan ke bahasa nasional dan bahasa internasional dapat dilakukan baik sebelum maupun sesudah penelitian. Disarankan agar penerjemahan dilakukan kata per kata diikuti terjemahan bebas. Penerjemahan seperti ini dapat membantu peneliti selanjutnya untuk merekonstruksi makna pertama dari bahasa yang diterjemahkan.

(5) Peneliti Sastra EtnikPeneliti sastra etnik dapat terdiri atas anggota komunitas etnik bersangkutan dan etnik lain yang sebangsa atau orang asing/bangsa asing. Namun, peneliti sebagai pemilik sastra etnik jauh lebih baik dibandingkan dengan peneliti dari etnik lain, kecuali mereka sudah menguasai budaya dan bahasa etnik itu secara sempurna. Dalam kenyataan di lapangan ditemukan banyak sekali nilai rasa bahasa dan budaya yang sulit dipahami oleh peneliti luar etnik. Namun, yang paling penting adalah bahwa siapa pun peneliti sastra etnik, ia haruslah orang yang paham liku-liku penelitian lapangan dan kehidupan sosial budaya etnik tersebut. Faktor lain yang wajib diperhatikan peneliti sastra etnik adalah ia tidak membawa kerangka berpikir dirinya atau luar etnik untuk menganalisis cara berpikir dan sudut pandang yang terdapat dalam sastra etnik yang diteliti.

Sebelum zaman kemerdekaan Indonesia atau pada masa penjajahan, penelitian sastra etnik di Indonesia kebanyakan dilakukan oleh sarjana Barat. Umumnya mereka berprofesi utama sebagai misionaris penyebar agama Nasrani (Hutomo, 32—38). Beberapa di antara mereka adalah C. Poensen yang meneliti sastra etnik Jawa khususnya wayang, P.N. Wilken mengumpulkan dan mendeskripsikan cerita rakyat Minahasa, D.K. Wielinga yang mendeskripsikan puluhan cerita rakyat Sumba dialek Kambera , dan M.J. van Baarda yang mendeskripsikan dan menerjemahkan cerita rakyat Halmahera. Perhatian sarjana Barat untuk meneliti sastra etnik Indonesia berlanjut hingga zaman kemerdekan. Nama-nama yang popoler untuk itu, antara lain adalah J.J. Raas dan Philip Frick McKean. Usaha-usaha yang dilakukan oleh sarjana Barat ini kemudian dilanjutkan oleh sarjana Indonesia dan calon sarjana di berbagai perguruan tinggi.

Simpulan dan SaranSimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, sastra etnik tidak boleh dipandang marginal atau diremehkan keberadaannya sebagai warga sastra dunia, karena semua

Page 31: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

25Penelitian Sastra Etnik... Oleh Mohd. Harun

sastra yang diciptakan di berbagai belahan dunia memiliki beragam nilai, baik berdimensi kearifan lokal maupun kearifan universal. Kedua, untuk menjaga kelestarian dan daya hidup yang dinamis, sastra etnik harus dikaji dengan berbagai pendekatan ilmiah. Ketiga, objek kajian sastra etnik dapat terdiri atas prosa fiksi, puisi, naskah drama, dan prosa liris. Keempat, sastra etnik dapat dikaji dengan berbagai pendekatan, seperti pendekatan ekspresif, pragmatik, objektif, mimesis, sosiologi sastra, semiotik, dan stilistika. Kelima, dalam melaksanakan penelitian, peneliti sastra etnik harus memperhatikan langkah dan proses penelitian sesuai dengan kategori sastra etnik sebagai sastra lisan, tulis, atau cetak. Keenam, siapa pun peneliti, baik dari etnik bersangkutan maupun etnik lain wajib menggunakan kerangkan pikir analisis sesuai dengan kerangka pikir yang terdapat dalam sastra etnik tersebut. Mengacu pada simpulan di atas, disarankan agar dilakukan penelitian secara kontinyu terhadap sastra etnik, baik sastra lisan, sastra tulis, maupun sastra cetak dengan berbagai pendekatan atau teori kritik sastra.

DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti.

Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departeman Pendidikan Nasional.

Endraswara, Suwardi. 2005. Tradisi Lisan Jawa Warisan Abadi Budaya Leluhur. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Fathurrahman, dkk. 2010. Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee Aceh Besar. Jakarta: Komunitas Bambu.

Harun, Mohd. 2006. Struktur, Fungsi, dan Nilai Hadih Maja: Kajian Puisi Lisan Aceh. Disertasi Universitas Negeri Malang.

Harun, Mohd. 2012. Pengantar Sastra Aceh. Bandung: Citapustaka Media Perintis.Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan Pangantar Studi Sastra Lisan.

Surabaya: Himpunan Sarjana Sastra Indonesia Komisariat Jawa Timur.Pudentia. 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan

Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.Purwadi. 2005. Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta: Gelombang Pasang.Sweeney, Amin. 2011. Pucuk Gunung Es Kelisanan dan Keberaksaraan dalam

Kebudayaan Melayu-Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan Majalah Sastra Horizon.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.Thompson, Stith. 1977. The Folktale. California: University of California Press.Zaidan, Abdul Rozak. 2002. Pedoman Penelitian Sastra Daerah. Jakarta: Pusat Bahasa

Departemen Pendidikan Nasional.

Page 32: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

26 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Page 33: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

27Pengembangan Lembar Kerja... oleh Ramli Dan Siska Harliani

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA (LKS) BERBASIS CERITA RAKYAT UNTUK SISWA KELAS VII SMP DI KABUPATEN ACEH BESAR

olehRamli dan Siska Harliani

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, PPs [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pengembangan LKS berbasis cerita rakyat Aceh. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan. Sumber data dalam penelitian ini adalah guru dan siswa kelas VII SMP di Kabupaten Aceh Besar. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah diskusi dengan pakar, kuesioner, wawancara, dan studi kepustakaan. Langkah penelitian dilakukan melalui tiga tahap, yaitu, 1) tahap studi pendahuluan berupa studi literatur, analisis bahan ajar yang pernah digunakan, dan deskripsi temuan kebutuhan bahan ajar guru dan siswa; 2) tahap studi pengembangan berupa tahap desain, koreksi para pakar, revisi desain, uji coba I, revisi produk I, uji coba produk II dan revisi produk II; dan 3) tahap studi evaluasi berupa tahap menguji kelayakan bahan ajar yang telah dibuat. Hasil penelitian di SMP Negeri I Darussalam menunjukkan bahwa (1) 92% siswa tuntas dalam menjawab tes yang diberikan, (2) hasil respon siswa baik kepada bahan ajar yang diberikan, (3) hasil evaluasi bahan ajar dengan indikator kelayakan isi, sajian, bahasa, dan grafik menunjukkan kategori baik dan layak untuk digunakan. Hasil penelitian massal juga menunjukkan 95% siswa bisa menjawab tes yang diberikan dan merespon dengan baik bahan ajar tersebut. Dengan demikian, LKS berbasis cerita rakyat Aceh yang telah dikembangkan dapat dan layak digunakan.

Kata Kunci: pengembangan, bahan ajar, cerita rakyat Aceh

Pendahuluan Salah satu masalah penting yang sering dihadapi oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar adalah mengembangkan bahan ajar atau materi pembelajaran. Mengembangkan bahan ajar merupakan tuntutan bagi guru dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini dipertegas dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 19 Tahun 2005, bahwa guru diharapkan mengembangkan materi pembelajaran. Dengan demikian, kewenangan untuk mengembangkan bahan ajar diberikan sepenuhnya kepada guru

Page 34: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

28 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

dengan mengedepankan prinsip-prinsip pengembangan bahan ajar. Karena kewenangan itulah, guru harus kreatif dalam mengembangkan bahan ajar. Oleh karena itu, melalui penelitian ini peneliti mengembangkan bahan ajar berbasis cerita rakyat dalam bentuk Lembar Kerja Siswa (LKS).

Ada beberapa alasan dikembangkan bahan ajar LKS. Pertama, LKS yang selama ini digunakan oleh guru sebagai pegangan dalam proses belajar-mengajar memiliki beberapa kekurangan. Kekurangan itu, antara lain belum mampu memenuhi keragaman kebutuhan pembelajaran. Kebutuhan pembelajaran yang berbeda-beda didasari oleh faktor geografis, etnografis, dan karakteristik bahan ajar yang baik adalah bahan ajar yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan penggunaannya, yaitu kebutuhan yang didasari oleh faktor geografis, etnografis, dan karakteristik daerah (Saputro, 2014:4). Kedua, LKS yang selama ini digunakan tidak berorientasi pada cerita rakyat Aceh, tetapi cenderung pada sastra-sastra yang terkenal di Nusantara sehingga siswa tidak mengetahui bahwa di wilayahnya juga terdapat cerita rakyat yang layak dipelajari. Selain itu, guru tidak pernah memberikan cerita rakyat dari Aceh karena tidak tersedianya bahan di perpustakaan sekolah untuk cerita dari Aceh. Hal inilah yang membuat guru tidak membuat bahan ajar berbasis cerita rakyat Aceh sehingga membuat siswa tidak mengetahui ada cerita rakyat yang juga memiliki pesan moral di Aceh.

Faktor lain yang memotivasi peneliti untuk mengembangkan bahan ajar berbasis cerita rakyat Aceh berbentuk LKS adalah untuk memberikan pengalaman mengolah sumber bahan ajar yang ada di daerah masing-masing menjadi bahan ajar. Melalui pengembangan LKS dapat menanamkan rasa cinta untuk daerah. Di samping itu, dengan pengembangan LKS membuat kegiatan belajar-mengajar lebih bervariasi, yang mengarah pada terciptanya standar kompetensi dan kompetensi dasar pada sekolah masing-masing. Hal ini sejalan dengan prinsip pengembangan bahan ajar, yaitu relevansi, konsisten, dan kecukupan (Prastowo, 2011:58).

Lembar kegiatan siswa ini berisi petunjuk, langkah-langkah untuk menyelesaikan tugas. Tugas diberikan kepada siswa dapat berupa teori. Adapun cakupan isi dalam LKS meliputi judul, petunjuk belajar (petunjuk siswa), kompetensi yang akan dicapai, informasi pendukung, tugas dan langkah kerja, dan penilaian (Mendiknas, 2008:24).

Pemilihan isi LKS ini harus mengikuti kurikulum yang ada. Untuk materi tentang cerita rakyat telah ditetapkan pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) jenjang SMP yang dijabarkan dalam silabus kelas VII berada pada Unit Mengapresiasi Dongeng Berdasarkan Kompetensi Dasar tentang cerita rakyat tersebut penulis mengembangkan LKS berbasis cerita rakyat dari Aceh. Mengingat dalam buku teks siswa banyak didapat cerita rakyat yang berasal dari daerah orang lain bukan daerah kita sendiri.

Kajian Pustaka Bahan pembelajaran adalah seperangkat materi yang disusun secara sistematis sehingga tercipta lingkungan suasana yang memungkinkan siswa belajar dengan baik. Menurut Prastowo (2011:17), “bahan ajar terbagi atas buku pelajaran, modul, handout, LKS, model atau maket, bahan ajar interaktif, dan sebagainya.”

Fungsi bahan ajar (Depdiknas, 2008:6) yaitu, (1) pedoman bagi guru yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan kepada siswa; (2) pedoman bagi siswa yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran,

Page 35: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

29Pengembangan Lembar Kerja... oleh Ramli Dan Siska Harliani

sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya dipelajari/dikuasainya; (3) alat evaluasi pencapaian /penguasaan hasil pembelajaran.

“Lembar kerja siswa (LKS) adalah materi ajar yang sudah dikemas sedemikian rupa, sehingga peserta didik diharapkan dapat mempelajari materi ajar terebut secara mandiri (Prastowo 2011:204). Adapun langkah-langkah menyusun LKS menurut Depdiknas (2008:23-24) berupa analisis kurikulum, menyusun peta kebutuhan, menentukan judul-judul LK, dan penulisan LKS. Struktur penulisan LKS secara umum menurut Mendiknas (2008:24) meliputi: judul, petunjuk belajar (petunjuk siswa), kompetensi yang akan dicapai, informasi pendukung, tugas-tugas dan langkah-langkah kerja, dan penilaian.

Folklor, secara etimologi terdiri atas dua kata, yaitu fokl dan lore. Folk berarti rakyat, bangsa (Echols dan Shadily, 2003:250) sedangkan lore berarti rakyat adat, pengetahuan (Echols dan Shadily, 2003:366). Kata folklor adalah pengindonesiaan kata Inggris foklore. Definisi folklor secara keseluruhan: folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (memonic device) (Danandjaja, 1997:2).

Rampan (2014:1) mengemukakan bahwa dalam kancah keilmuan, cerita rakyat dikenal dalam sebutan Inggris sebagai folklor yang merujuk bahwa cerita rakyat merupakan milik suatu masyarakat tertentu yang berbeda dari masyarakat lainnya. Di dalam masyarakat itu terdapat tradisi kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun dan dipelihara masyarakatnya secara kolektif di dalam varian-variannya yang sangat luas.

Metode Penelitian Sumber Data PenelitianPenelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini digunakan untuk menjelaskan hasil akhir yang berupa ulasan-ulasan yang diperoleh dari hasil penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian dan pengembangan (Research and Development R/D). Metode ini adalah metode yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan pengujian keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2010:407).

Merujuk pada pemilihan judul penelitian ini, pelaksanaan penelitian dilakukan di wilayah kerja Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Besar. Penelitian dilakukan di SMP Negeri 1 Darussalam. Uji meluas atau uji massal dilakukan pada dua SMP, yaitu di SMP Negeri 1 Baitussalam dan SMP Negeri 2 Mesjid Raya. Sumber data penelitian ini adalah guru bahasa Indonesia dan siswa kelas VII.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui diskusi dengan para pakar, kuesioner, wawancara, dan studi kepustakaan.

Teknik pengolahan data dalam penelitian disesuaikan dengan fokus tujuan penelitian (Sugiyono, 2010:408-427), yaitu tahap studi pendahuluan, tahap studi pengembangan, dan tahap studi evaluasi.

Hasil Penelitian Hasil penelitian pengembangan ini dijabarkan dalam beberapa langkah-langkah pengembangan. Adapun langkah-langkah pengembangannya meliputi pengumpulan informasi (identifikasi kebutuhan bahan ajar terhadap guru), desain produk, validasi

Page 36: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

30 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

desain (menganalisis produk oleh pakar ahli), perbaikan desain, uji coba produk I, revisi produk, uji produk II, penyempurnaan produk, produksi massal dan uji massal.

Tahap Pengumpulan DataIdentifikasi kebutuhan bahan ajar cerita rakyat pada guru dilakukan dengan memberikan kuesioner dan wawancara. Hasilnya menunjukkan bahwa guru mengetahui tentang bahan ajar dan guru menginginkan bahan ajar yang singkat, padat, lengkap, jelas dan sistematis. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut diketahui juga bahwa guru kelas VII belum pernah membuat bahan ajar cerita rakyat khusus dari Aceh. Guru kelas VII ini hanya mengajarkan cerita rakyat yang terdapat dari buku pegangan siswa dan guru. Hal ini menimbulkan pembelajaran monoton dan tidak ada kreativitas guru dan siswa pada saat belajar sastra khususnya tentang cerita rakyat. Selain itu tidak adanya perhatian dari sekolah dan pemerintah daerah untuk memberikan buku penunjang yang berorientasi pada daerah di Aceh.

Berdasarkan identifikasi kebutuhan bahan ajar di atas, penulis menindaklanjuti dengan perancangan desain bahan ajar cerita rakyat sesuai dengan apa yang diharapkan guru di SMP Negeri 1 Darussalam. Hasil rancangan ini adalah produk bahan ajar yang mampu menarik minat belajar siswa SMP Negeri 1 Darussalam, tahun ajaran 2015/2016.

Hasil identifikasi kebutuhan cerita rakyat terdapat dua cerita sering diperdengarkan guru kepada siswa, yaitu Amat Rhang Manyang dan Batu Belah. Kedua cerita tersebut sering diperdengarkan karena hampir sama dengan cerita rakyat dari daerah lain. Oleh karena itu, dalam pemilihan cerita rakyat untuk bahan ajar akan ditambah dengan beberapa cerita lain, di antaranya Naga Sabang dan Dua Raksasa Seulawah, Banta Seudang, dan Tuan Tapa dan Puteri Naga. Hal ini dilakukan agar siswa lebih banyak membaca cerita dari daerah sendiri.

Validasi PakarDalam kegiatan validasi, ahli yang menvalidasi bahan ajar cerita rakyat, yaitu Rahimah, S.Pd. (Tutor Bahasa Indonesia). Berdasarkan hasil validasi, beberapa masukan untuk perbaikan bahan ajar meliputi isi, kebahasaan, sajian, dan grafis.

Perbaikan Desain Produk LKSAdapun perbaikan yang dilakukan meliputi bentuk, ejaan, kosakata, gambar, dan evaluasi bahan ajar.

Uji Coba Produk IUji coba produk Lembar Kerja Siswa (LKS) dilakukan pada kelas VII SMP Negeri 1 Darussalam tahun ajaran 2015/2016.Uji coba produk dilakukan pada 25 siswa kelas VII SMP Negeri 1 Darussalam. Kegiatan uji coba I dilakukan pada hari Selasa tanggal 25 Agustus 2015, pukul 07.45 WIB sampai dengan pukul 09.05 WIB.

Hasil latihan dari LKS adalah sebagai berikut. Diketahui dari nilai latihan uji kompetensi I nilai rata-rata siswa adalah 65, sedangkan nilai latihan uji kompetensi II nilai rata-rata siswa 39. Dari kedua uji kompetensi tersebut diperoleh nilai rata-rata siswa adalah 53. Jumlah siswa tuntas hanya 3 siswa atau 12%, sedangkan 22 siswa atau 88% belum tuntas karena nilai yang diperoleh di bawah KKM, 70. Dari data tersebut diketahui masih banyak siswa yang belum memperoleh nilai di atas 70.

Page 37: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

31Pengembangan Lembar Kerja... oleh Ramli Dan Siska Harliani

Hasil respon siswa pada saat belajar diperoleh indikator pertama, 100% siswa senang, antusias, dan bersemangat dalam membaca atau menyimak cerita rakyat; indikator kedua, 100% siswa peduli terhadap cerita rakyat, sementara ada 3 siswa atau 20% belum menunjukkan respons terhadap bahan ajar cerita rakyat; indikator ketiga, 12 siswa atau 48% siswa optimis terhadap manfaat cerita rakyat Aceh dan 13 siswa atau 52% kurang optimis, siswa percaya manfaat membaca cerita rakyat sebanyak 10 siswa atau 40% sedangkan 15 siswa atau 60% belum menunjukkan keyakinannya terhadap manfaat dari membaca cerita rakyat; indikator keempat, 100% siswa serius dalam belajar sastra cerita rakyat Aceh, sedangkan siswa yang aktif belajar sastra sebanyak 13 siswa atau 52% dan 12 siswa atau 48% belum menunjukkan keaktifan dalam belajar sastra cerita rakyat. Siswa yang terlibat aktif sebanyak 17 siswa atau 68% dan 8 siswa atau 32% belum terlihat berperan aktif dalam belajar sastra cerita rakyat Aceh; pada indikator kelima, 100% siswa bersedia belajar cerita rakyat dan siswa yang merespons bahan ajar cerita rakyat 8 siswa atau 32% dan 17 siswa atau 68% belum merespons bahan ajar sastra berbasis cerita rakyat Aceh.

Ada pun hasil evaluasi pada uji produk I akan dijelaskan berikut ini. Pada kelayakan isi ada dua indikator dinilai “cukup baik”, yaitu manfaat wawasan pengetahuan dan sesuai dengan nilai, moral dan sosial, sedangkan untuk indikator lain seperti sesuai dengan SK dan KD, sesuai dengan kebutuhan siswa, sesuai dengan kebutuhan bahan ajar, dan kebenaran substansi materi dinilai “baik”.

Pada komponen kebahasaan, indikator sesuai dengan KBI dan bahasa efektif dan efisien dinilai “cukup baik”, sedangkan keterbacaan dan kejelasan informan dinilai “baik”. Pada komponen sajian, indikator stimulus dan kelengkapan informasi dinilai “cukup baik” sedangkan kejelasan tujuan, sistematis, dan pemberian motivasi dinilai “baik”. Komponen grafis, font, layout, desain, dan tampilan dinilai “baik”.

Perbaikan Produk Uji IBeberapa masukan yang diberikan guru bahasa Indonesia untuk bahan ajar, yaitu: pertama, ada beberapa pokok bahasan yang agak sulit dipahami siswa. Kedua, banyak kata-kata salah pengetikan sehingga siswa kesulitan dalam membaca. Ketiga, bentuk latihan agak sulit dipahami siswa. Masukan diberikan dari kelompok kecil siswa kelas VII SMP Negeri 1 Darussalam, yaitu pertama dan diperbanyak gambar dengan warna-warna yang menarik.

Uji Produk IIUji coba produk Lembar Kerja Siswa (LKS) dilakukan pada kelas VII SMP Negeri 1 Darussalam tahun ajaran 2015/2016.Uji coba produk dilakukan pada 23 siswa kelas VII SMP Negeri 1 Darussalam yang hadir dan 2 siswa tidak hadir karena sakit. Kegiatan uji coba I dilakukan pada hari Kamis tanggal 27 Agustus 2015, pukul 12.05 WIB sampai pukul 13.25 WIB.

Hasil latihan uji kompetensi I diperoleh nilai rata-rata siswa adalah 83 sedangkan nilai latihan uji kompetensi II nilai rata-rata siswa 78. Dari kedua uji kompetensi tersebut diperoleh nilai rata-rata siswa adalah 83. Jumlah siswa tuntas 23 siswa atau 100%, sedangkan 2 siswa lagi tidak hadir. Dari data tersebut diketahui bahwa siswa dinyatakan tuntas dalam materi ini karena mendapat nilai rata-rata di atas 70.

Berdasarkan data observasi diketahui, siswa kelas VII SMP Negeri 1 Darussalam, pada indikator pertama 100% siswa senang, antusias, dan bersemangat dalam membaca

Page 38: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

32 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

atau mendengar cerita. Pada indikator kedua, 100% siswa peduli terhadap karya sastra cerita rakyat. Siswa yang merespons cerita rakyat sebanyak 100% siswa. Pada indikator ketiga, 90% optimis dan percaya terhadap manfaat membaca karya sastra cerita rakyat Aceh. Pada indikator keempat, 100% serius, aktif, dan terlibat langsung dalam belajar sastra cerita rakyat Aceh. Pada indikator kelima, siswa yang bersedia belajar dan merespons bahan ajar sastra secara sesuai sebanyak 90% siswa.

Dari data evaluasi uji coba produk II dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada kelayakan isi ada satu indikator dinilai “sesuai”, yaitu manfaat wawasan pengetahuan sedangkan untuk indikator lain seperti sesuai dengan SK dan KD, sesuai dengan kebutuhan siswa, sesuai dengan kebutuhan bahan ajar, dan kebenaran substansi materi, dan sesuai dengan nilai, moral dan sosial dinilai “sangat sesuai”.

Pada komponen kebahasaan indikator keterbacaan, sesuai dengan KBI dan bahasa efektif dan efisien dinilai “sangat sesuai” sedangkan dan kejelasan informan dinilai “sesuai”. Pada komponen sajian, indikator kelengkapan informasi dinilai “sesuai” sedangkan kejelasan tujuan, sistematis, pemberian motivasi, dan stimulus dinilai “sangat sesuai”. Komponen grafis, font, layout, desain, dan tampilan dinilai “sangat sesuai”.

Kegiatan wawancara terhadap siswa dilakukan setelah pembelajaran selesai. Dari hasil wawancara ini diketahui semua siswa sangat menyukai bahan ajar yang telah dibagikan. Mereka menyukai bahan ajar tersebut karena terdapat banyak gambar di dalamnya sehingga membuat mereka bersemangat dalam membacanya. Tidak hanya itu mereka juga menyukai bahan ajar berbasis cerita rakyat Aceh karena cerita yang ada di buku belum pernah mereka baca. Mereka juga mengatakan bahwa bahan ajar ini membuat mereka mudah memahami isi materi yang disampaikan latihannya juga tidak sudah sulit.

Revisi ProdukPerbaikan yang dilakukan melingkupi perbaikan bentuk LKS, kosakata, pola kalimat, gambar, dan evaluasi bahan ajar, dengan mengubahnya sesuai dengan kesalahan.

Uji Massal/MeluasSMP Negeri 1 BaitussalamKegiatan uji produk (LKS) dilakukan di SMP Negeri 1 Baitussalam pada hari Kamis tanggal 3 September 2015 dengan subjek coba 20 siswa yang hadir. Berdasarkan data hasil latihan, diketahui nilai latihan uji kompetensi I nilai rata-rata siswa adalah 79 sedangkan nilai latihan uji kompetensi II nilai rata-rata siswa 80. Dari kedua uji kompetensi tersebut diperoleh nilai rata-rata siswa adalah 79. Jumlah siswa tuntas 17 siswa atau 85% sedangkan 3 siswa atau 15% siswa tidak tuntas karena nilai masih di bawah KKM.

Berdasarkan data observasi diketahui, siswa kelas VII SMP Negeri 1 Baitussalam, pada indikator pertama 100% siswa senang, antusias, dan bersemangat dalam membaca atau mendengar cerita. Pada indikator kedua, siswa peduli terhadap karya sastra cerita rakyat. Siswa yang merespons cerita rakyat sebanyak 20 siswa atau 100%. Pada indikator ketiga, 75% optimis dan percaya terhadap manfaat membaca karya sastra cerita rakyat Aceh. Pada indikator keempat, 100% serius, aktif, dan terlibat langsung dalam belajar sastra cerita rakyat Aceh. Pada indikator kelima, siswa yang bersedia belajar sebanyak 20 siswa atau 100% sedangkan merespons bahan ajar sastra secara sesuai sebanyak 15 siswa atau 75%.

Adapun hasil penilaian pada uji produk dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada

Page 39: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

33Pengembangan Lembar Kerja... oleh Ramli Dan Siska Harliani

komponen kelayakan isi dikategorikan “sangat sesuai” semua indikator dinilai sesuai, di antaranya indikator adalah sesuai dengan SK dan KD, sesuai dengan kebutuhan siswa, sesuai dengan kebutuhan bahan ajar, kebenaran substansi materi, manfaat wawasan pengetahuan dan sesuai dengan nilai, moral dan sosial.

Pada komponen kebahasaan dikategorikan “sesuai” karena beberapa indikator dinilai “sesuai”, di antaranya indikator kejelasan informan dan bahasa efektif dan efisien sedangkan indikator sesuai dengan KBI dan keterbacaan dinilai “sangat sesuai”.

Pada komponen sajian dikategorikan “sangat sesuai” karena hanya indikator stimulus dinilai “sesuai” sedangkan kejelasan tujuan, sistematis, pemberian motivasi, dan kelengkapan informasi dinilai “sangat sesuai”.

Komponen grafis dikategorikan “sangat sesuai” karena semua indikator font, layout, desain, dan tampilan dinilai “sangat sesuai”. Secara keseluruhan nilai yang diperoleh penulis “sangat sesuai”.

SMP 2 Mesjid RayaKegiatan uji produk (LKS) dilakukan di SMP Negeri 2 Mesjid Raya pada hari Kamis tanggal 15 September 2015 dengan subjek coba 24 siswa yang hadir. Berdasarkan data hasil latihan, diketahui nilai latihan uji kompetensi I nilai rata-rata siswa adalah 79 sedangkan nilai latihan uji kompetensi II nilai rata-rata siswa 78.Dari kedua uji kompetensi tersebut diperoleh nilai rata-rata siswa adalah 79. Jumlah siswa tuntas 21 siswa atau 87,5% sedangkan 3 siswa atau 12,5% siswa tidak tuntas karena nilai masih di bawah KKM.

Berdasarkan data observasi diketahui, siswa kelas VII SMP Negeri 2 Mesjid Raya, pada indikator pertama 100% siswa senang, antusias, dan bersemangat dalam membaca atau mendengar cerita rakyat pada bahan ajar sastra berbentuk Lembar Kerja Siswa.

Pada indikator kedua, siswa peduli terhadap karya sastra cerita rakyat. Siswa yang merespons cerita rakyat sebanyak 24 siswa atau 100% .Pada indikator ketiga, 75% optimis dan percaya terhadap manfaat membaca karya sastra cerita rakyat Aceh. Pada indikator keempat, 100% serius, aktif, dan terlibat langsung dalam belajar sastra cerita rakyat Aceh.

Pada indikator kelima, siswa yang bersedia belajar sebanyak 24 siswa atau 100% sedangkan merespons bahan ajar sastra secara sesuai sebanyak 75%. Dari hasil data tersebut dapat disimpulkan jika bahan ajar cerita rakyat yang digunakan sudah dapat dinyatakan layak guna dan siap digunakan.

Adapun hasil penilaian pada uji produk dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada komponen kelayakan isi dikategorikan ”sangat sesuai” hanya ada dua indikator dinilai “sesuai”, yaitu manfaat wawasan pengetahuan dan sesuai dengan nilai, moral dan sosial sedangkan untuk indikator lain seperti sesuai dengan SK dan KD, sesuai dengan kebutuhan siswa, sesuai dengan kebutuhan bahan ajar, dan kebenaran substansi materi dinilai “sangat sesuai”.

Pada komponen kebahasaan dikategorikan “sesuai” karena beberapa indikator dinilai “sesuai”, di antaranya indikator keterbacaan, kejelasan informan, dan bahasa efektif dan efisien sedangkan indikator sesuai dengan KBI dinilai “sangat sesuai”.

Pada komponen sajian dikategorikan “sangat sesuai” karena hanya satu indikator kelengkapan informasi dinilai “sesuai” sedangkan kejelasan tujuan, sistematis, stimulus dan pemberian motivasi dinilai “sangat sesuai”.

Komponen grafis dikategorikan “sangat sesuai” karena semua indikator font, layout, desain, dan tampilan dinilai “sangat sesuai”. Secara keseluruhan nilai yang diperoleh

Page 40: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

34 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

penulis “sangat sesuai”.Kegiatan wawancara dilakukan terhadap guru bahasa Indonesia SMP Negeri 1

Baitussalam dan SMP Negeri 2 Mesjid Raya. Adapun hasil wawancara sebagai berikut.Guru menyukai bahan ajar berbasis cerita rakyat karena mereka belum pernah

membuat bahan ajar berbasis cerita rakyat khususnya dari Aceh. Guru menyatakan bahwa bahan ajar berbasis cerita rakyat mampu membuat siswa aktif dalam belajar. Bahan ajar cerita rakyat juga mampu memotivasi serta mendukung dalam pembelajaran sastra khususnya cerita rakyat.

Berdasarkan hasil wawancara guru terhadap bahan ajar berbasis cerita rakyat bahwa LKS ini sudah bisa digunakan walaupun masih perlu revisi lebih lanjut. Hal ini dilihat dari hasil wawancara guru dan juga dari hasil jawaban uji kompetensi yang telah dikerjakan siswa.

Dari hasil wawancara yang diperoleh, semua siswa antusias dan senang dalam membaca bahan ajar yang diberikan. Mereka menyatakan bahwa bahan ajar berbasis cerita rakyat dari Aceh belum pernah mereka dapat sebelumnya. Bahan ajar ini sangat bagus karena terdapat gambar-gambar menarik yang membuat mereka bersemangat dalam mempelajari materi yang ada dalam bahan ajar. Akan tetapi, ada beberapa siswa yang menyatakan bahwa tidak banyak cerita yang bisa di baca dalam bahan ajar tersebut. Mereka menyarankan agar menambahkan banyak cerita ke dalam bahan ajar agar lebih menarik.

Berikut ini merupakan diagram rekapitulasi Evaluasi Bahan Ajar Berbasis Cerita Rakyat.

Diagram: Rekapitulasi Evaluasi Bahan Ajar Berbasis Cerita Rakyat

Berdasarkan hasil tersebut dapat penulis simpulkan bahwa hasil evaluasi bahan ajar berbasis cerita rakyat Aceh dapat dikategorikan layak dan sudah memenuhi kriteria yang diharapkan. Oleh sebab itu, bahan ajar tersebut sudah dapat dipergunakan.

Berdasarkan tujuan bahan ajar menurut Prastowo (2011:23), bahan ajar berbasis cerita rakyat Aceh dapat dikatakan layak guna bagi siswa dan guru. Berdasarkan teori Behaviorisme, bahan ajar berbasis cerita rakyat Aceh sudah memiliki kriteria di antaranya unsur atau bagian yang sangat baik pada bahan ajar (LKS) tersebut. Terdapat mekanisme yaitu mekanisme pengembangan bahan ajar berbasis cerita rakyat sehingga bahan ajar ini mampu mengefektifkan belajar siswa kelas VII SMP Negeri 1 Darussalam. Bahan ajar ini juga menekankan peran lingkungan yaitu sumber bahan ajar yang diambil dari lingkungan sekitar, yaitu cerita rakyat Aceh. Dalam proses perancangan serta pembuatan, LKS ini mementingkan respons subjek, yang diperoleh melalui kuesioner dan wawancara guru dan siswa. Bahan ajar berbasis cerita rakyat yang dikembangkan merupakan LKS yang di dalamnya terdapat banyak latihan.

Page 41: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

35Pengembangan Lembar Kerja... oleh Ramli Dan Siska Harliani

Penutup SimpulanBerdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, LKS yang dikembangkan layak digunakan. Hal ini terlihat dari pengembangan LKS berbasis cerita rakyat Aceh secara umum mampu memenuhi kebutuhan bahan ajar di SMP Negeri 1 Darussalam di Kabupaten Aceh Besar. Isi materi LKS berbasis cerita rakyat Aceh sesuai dengan kebutuhan siswa kelas VII SMP Negeri 1 Darussalam karena bahan ajar yang diambil berasal dari daerah Aceh. Kemudian, pengembangan bahan ajar berbasis cerita rakyat Aceh dikategorikan layak untuk digunakan. Hal ini terlihat dari hasil evaluasi bahan ajar yang telah diujicobakan bahan oleh guru di SMP Negeri 1 Baitussalam dan SMP Negeri 2 Mesjid Raya. Selanjutnya, pengembangan bahan ajar cerita rakyat Aceh dapat meningkatkan minat belajar siswa kelas VII terhadap cerita rakyat Aceh. Hal ini dapat dilihat dari hasil latihan dan respon siswa terhadap bahan ajar.

SaranMengingat pembelajaran bahasa Indonesia mata pelajaran yang di-UN-kan, guru bahasa Indonesia perlu membuat LKS yang menarik. LKS tidak perlu lagi dibeli, tetapi dapat dikembangkan sendiri dengan menggunakan potensi yang ada di lingkungan sekitar. Diharapkan LKS berbasis cerita rakyat Aceh ini dapat menjadi contoh dalam pengembangan bahan ajar lainnya.

Disarankan kepada semua guru bahasa agar selalu berinovasi untuk mengembangkan LKS bahasa Indonesia. Hal ini perlu dilakukan agar siswa tidak jenuh dalam mengikuti proses pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain. Jakarta: Grafiti.

Depdiknas. 2008. PerangkatPembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP SMA. Jakarta: Depdiknas

Prastowo, Andi. 2011. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogjakarta: DIVA Press.

Rampan, Korrie Layun. 2014. Teknik Menulis Cerita Rakyat. Bandung: Yrama Widya.

Sanjaya, Wina. 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pembela-jaran. Jakarta: Kencana.

Saputro, Edi. 2014. Pengembangan Bahan Ajar Menulis Berbasis Nilai-Nilai Kearifan Lokal untuk SMP Muhammadiyah 1 Tulang Bawang Tengah Kelas VII Semester 1. Tesis.Lampung: Program Pascasarjana Uniersitas Lampung.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta

Tomlinson, Brian. 1998. Material Develompment in Language Teaching. Cambridge: CU.

Page 42: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

36 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Page 43: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

37Mendorong Kebijaksanaan Pemerintah... oleh Denni Iskandar

MENDORONG KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH ACEH GUNA MENUNDA KEPUNAHAN DINI BAHASA DAERAH DI ACEH

olehDenni Iskandar

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP [email protected]

ABSTRAK

Makalah ini membahas sejumlah permasalahan terkait keberlangsungan eksistensi bahasa daerah di Aceh guna mendorong Pemerintah Aceh untuk proaktif menjadi pelopor upaya penyelamatan bahasa daerah dari kepunahan dini. Dari hasil kajian teridentifikasi Pemerintah Aceh dan jajarannya belum sungguh-sungguh membina dan melestarikan bahasa daerah di Aceh. Indikasi hal tersebut terlihat dari belum adanya qanun (perda) khusus tentang bahasa daerah, belum tersedianya kurikulum dan guru pendidikan bahasa daerah, belum diresmikannya ejaan dan tata bahasa daerah yang standar, dan minimnya alokasi anggaran untuk mendanai program-program kebahasadaerahan. Ketidakepedulian pemerintah berimplikasi pada kecendrungan sikap apatis masyarakat terhadap pelestarian bahasa daerah. Kebijaksanaan bahasa yang harus segera dilaksanakan Pemerintah Aceh adalah lahirkan qanun bahasa daerah, benahi kondisi pengajaran bahasa daerah, bakukan ejaan bahasa daerah, tingkatkan alokasi anggaran untuk berbagai program kebahasadaerahan, dan menstimulasi masyarakat untuk mencintai bahasa daerahnya.

Kata kunci: kebijaksanaan bahasa, pemerintah Aceh, bahasa daerah

PendahuluanAceh memiliki 13 suku bangsa asli. Yang terbesar adalah Suku Aceh yang mendiami wilayah pesisir, mulai dari Langsa di pesisir Timur Utara sampai dengan Trumon di pesisir Barat Selatan. Di wilayah pegunungan tengah Aceh terdapat Suku Gayo, Suku Gayo Lut, Suku Gayo Luwes, dan Suku Gayo Serbejadi. Di Aceh Selatan terdapat suku Aneuk Jamee dan Kluet. Suku Singkil dan Pakpak terdapat di Aceh Singkil dan Subulussalam, Alas di Aceh Tenggara, Tamiang di Aceh Tamiang, dan suku Sigulai di Pulau Simeulue.

Suku-suku yang ada di Aceh juga memiliki bahasa tersendiri. Bahasa Aceh paling banyak dipakai dan dituturkan oleh etnis Aceh di sepanjang pesisir dan sebagian pedalaman Aceh. Bahasa Gayo digunakan di Aceh bagian tengah, bahasa

Page 44: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

38 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Alas di Aceh Tenggara, bahasa Aneuk Jamee dan Kluet di Aceh Selatan, Bahasa Singkil dan bahasa Pakpak di Aceh Singkil, Bahasa Kluet di Aceh Selatan, Bahasa Melayu Tamiang di Aceh Tamiang. Di Simeulue bagian Utara dijumpai bahasa Sigulai dan bahasa Lekon dan di Selatan Simeulue dijumpai bahasa Devayan dan Haloban.

Bahasa-bahasa daerah Aceh saat ini tidak diketahui secara pasti keberadaan dan kondisinya baik secara geografis maupun demografis. Secara geografis, apakah bahasa-bahasa daerah Aceh masih berada pada daerah-daerah tersebut di atas? Secara demografis, berapa banyak penutur bahasa-bahasa daerah tersebut dan bagaimana sebarannya? Dari hasil Kongres Bahasa Daerah Tahun 2010 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Aceh terungkap bahwa semua peserta kongres sangat khawatir akan punahnya bahasa-bahasa daerah di Aceh. Mengutip Krauss (Darwis, 2011) sejumlah bahasa daerah, termasuk di Aceh tergolong dalam tipologi endangered languages, yaitu bahasa yang meskipun sekarang masih digunakan dan dipelajari, akan ditinggalkan penuturnya di masa yang akan datang.

Hasil pemetaan bahasa di Provinsi Aceh yang dilakukan oleh tim pemetaan bahasa Balai Bahasa Banda Aceh menunjukkan adanya gejala kepunahan bahasa, terutama bahasa daerah yang berada di Kepulauan Banyak, yaitu bahasa Devayan. Secara administratif, wilayah Kepulauan Banyak berada di bawah pemerintah Kabupaten Aceh Singkil. Hasil kajian yang dilakukan oleh Balai Bahasa Banda Aceh terhadap bahasa Devayan bukan tidak mungkin juga akan menjangkiti bahasa daerah lain yang ada di Provinsi Aceh. Tidak terkecuali bahasa Aceh yang memiliki wilayah pakai di hampir setiap wilayah di Provinsi Aceh (Santoso: 2013). Secara teori kelangsungan sebuah bahasa atau hidup matinya sebuah bahasa sangat bergantung pada penutur bahasa yang bersangkutan. Dengan demikian, bahasa daerah harus dikembangkan dan dibina dalam rangka kelangsungan hidupnya kelak apabila tidak menginginkan bahasa daerah tertentu hanya tinggal nama.

Mencermati fenomena dan realitas yang ada, sepertinya tinggal menunggu waktu kapan bahasa daerah di Aceh berpamitan meninggalkan kita. Penyebab yang menonjol antara lain perkawinan antarsuku yang berakibat pada keturunan mereka tidak lagi menggunakan bahasa daerah kedua orang tuanya. Kalaupun orang tuanya berasal dari suku yang sama, untuk kepentingan pendidikan, bahasa Indonesia dipilih sebagai bahasa pertama anak-anak mereka; migrasi antardaerah (lingkungan) lain, misalnya orang Aceh hijrah ke Medan atau Jakarta, sikap negatif penutur; kurangnya perhatian pemerintah; dan sebagainya.

Bahkan ada yang berpendapat kepunahan bahasa daerah di Aceh adalah sebuah keniscayaan karena ekspansi dan penetrasi bahasa Indonesia dalam skala besar di berbagai lini kehidupan. Language is habit (bahasa adalah kebiasaan), karena sebagian besar aktivitas yang kita lakukan dikomunikasikan dalam bahasa Indonesia, maka bahasa Indonesialah yang biasa kita gunakan, yang berarti bahasa daerah menjadi jarang digunakan.

Aktivitas formal yang kita lakukan di berbagai tempat umumnya menggunakan bahasa Indonesia. Rapat-rapat di kantor, ceramah hari-hari besar, apel pagi, seminar-seminar umumnya menggunakan bahasa Indonesia. Singkat kata, bahasa Indonesia sudah mendarah daging (internalize) dan kita akan kesulitan mengemukakan ide dalam bahasa daerah.

Kebijakan yang terkait dengan kebahasaan oleh pemerintah Aceh dinilai akan sangat menentukan kelangsungan bahasa daerah di Aceh. Pelindungan terhadap bahasa daerah didasarkan pada amanat Pasal 32 Ayat 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa negara

Page 45: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

39Mendorong Kebijaksanaan Pemerintah... oleh Denni Iskandar

menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Dengan ayat itu, negara diharapkan mengambil peran yang signifikan dan memberdayakan seluruh sumber daya yang ada guna memperkokoh eksistensi bahasa daerah Aceh.

Manisfestasi kebijakan bahasa diantaranya dapat diwujudkan melalui kebijaksanaan bahasa. Kebijaksanaan bahasa merupakan satu pegangan yang bersifat menyeluruh, untuk kemudian dibuat perencanaan cara membina dan mengembangkan satu bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang dapat digunakan secara tepat di seluruh wilayah, dan dapat diterima oleh segenap warga yang secara lingual, etnis, dan kultur berbeda (Chaer & Agustina, 2010). Lebih lanjut Syamsuddin (Warsiman, 2014) menyebutkan bahwa kebijaksanaan bertalian erat dengan masalah-masalah penting dan kadang-kadang mendesak untuk diambil suatu keputusan. Kebijaksanaan biasanya diambil apabila ketentuan teknis yang jelas belum ada bagi penyelesaian masalah.

Dalam konteks Aceh, kebijaksanaan itu dapat diartikan sebagai suatu pertimbangan konseptual dan politis dari Pemerintah Aceh untuk dapat menyusun perencanaan dan ketentuan-ketentuan (qanun) yang dapat dipakai sebagai dasar bagi kebijakan masalah kebahasaan. Fokus kebijakan bahasa di Aceh hendaknya mengacu pada; (a) mengapa pelestarian bahasa daerah Aceh perlu direncanakan, (b) apa yang direncanakan, (c) siapa yang merencanakan, dan (d) bagaimana merencanakannya. Jawaban dari persoalan di atas akan menjadi dasar pengambilan kebijaksanaan bahasa yang bersifat menyeluruh.

MasalahAda beberapa hal yang membuat kedudukan bahasa daerah di Aceh seperti terlantar dan tak terurus. Penulis menyimpulkan setidaknya ada tiga hal yang membuat bahasa Aceh terancam punah lebih dini. Ketiga hal itu ialah: (1) tidak adanya keseriusan dan keberpihakan Pemerintah Aceh dalam mengurus bahasa daerah di Aceh; (2) tidak memadainya alokasi anggaran untuk mendanai berbagai program dan kegiatan yang terkait dengan bahasa daerah di Aceh; dan (3) masih rendahnya kepedulian dan kesadaran unsur nonpemerintah seperti pakar bahasa, praktisi bahasa, seniman, wartawan, dan masyarakat umumnya terhadap pelestarian bahasa daerah di Aceh.

Apatisme para pemangku kepentingan bahasa di Aceh juga berimbas pada sikap berbahasa para penuturnya. Hasil penelitian Taib dan Denni Iskandar (2004) tentang sikap siswa SMU terhadap bahasa Aceh ditemukan 17,72% siswa dari 100 siswa yang diteliti bersikap negatif terhadap pemakaian bahasa Aceh di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sikap siswa tersebut terjadi pada tahun 2003 atau 13 tahun yang lalu dan diduga saat ini persentase sikap negatif tersebut bisa lebih besar. Sikap siswa itu juga tercermin dari perilaku yang ditunjukkan oleh orang atau individu orang Aceh khususnya para pejabat terkait. Sebagian pejabat sering kali berteriak-teriak akan pentingnya bahasa daerah, tetapi di sisi lain tidak ada aksi yang dilakukan, padahal dengan kewenangannya, banyak hal yang bisa dilakukan untuk melestarikan bahasa daerah Aceh. Oleh karena itu, makalah ini penulis fokus pada permasalahan peran atau kebijaksanaan pemerintah Aceh dan dalam pelestarian bahasa daerah di Aceh.

Hasil dan PembahasanDalam sistem ketatanegaraan otonomi daerah, pelestarian bahasa daerah tidak terlepas dari peran dan tanggung jawab pemerintah daerah, dengan tetap mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009, Tentang Bendera, Bahasa,

Page 46: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

40 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan. Regulasi ini diterjemahkan ke dalam peraturan daerah (perda) sebagai wujud apresiasi Pemda atas pelestarian budaya daerah. Selain itu, Perda tersebut dapat menjadi landasan hukum dan pedoman bagi pemerintah untuk melakukan upaya pembinaan dan pengembangan bahasa daerah. Hal ini didasari adanya kesadaran akan besarnya potensi dan keunikan bahasa yang dimiliki oleh masing-masing daerah, serta keprihatinan atas kelestarian bahasa daerah yang mulai terkikis oleh pengaruh globalisasi, serta kecenderungan penurunan penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan pergaulan dan keluarga yang semakin jarang dijumpai.

Berdasarkan kajian dan pengamatan yang penulis lakukan, ditemukan beberapa persoalan yang dihadapi bahasa daerah di Aceh.

1. Kestidakseriusan Pemerintah AcehPemerintah Aceh kelihatannya belum serius dalam upaya pelestarian bahasa daerah di Aceh. Sejauh ini kita belum melihat adanya perhatian dan terobosan yang dilakukan. Indikasi itu terlihat dari minimnya kegiatan-kegiatan yang terkait dengan bahasa daerah. Secara rinci, ada beberapa indikator yang menunjukkan ketidakseriusan Pemerintah Aceh dalam membina bahasa daerah.

Pertama, Aceh belum memiliki qanun atau regulasi yang khusus tentang bahasa daerah sebagaimana provinsi lain di Indonesia. Sebagai perbandingan, Provinsi Jawa Barat telah menerbitkan perda tentang bahasa Sunda, yaitu Perda Nomor 6 Tahun 1996 tentang Pelestarian, Pembinaan, dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda. Perda ini kemudian diperbaharui dengan Perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah. Pemprov Jawa Tengah menerbitkan Perda Nomor 17 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa. Kita mengharapkan agar Pemerintah Aceh segera mengusulkan Rancangan Qanun Bahasa Daerah Aceh ke DPRA agar dapat dibahas untuk selanjunya disahkan. Adanya Qanun tentang bahasa daerah ini akan membuka ruang aktivitas bahasa daerah karena anggaran yang mendanainya akan ada payung hukumnya. Keberadaan Qanun Bahasa Daerah juga akan mempermudah Pemerintah Aceh dalam menyusun perencanaan bahasa.

Kedua, Pemerintah Aceh belum pernah meresmikan ejaan standar (baku) bahasa daerah yang ada di Aceh. Kita ketahui, setiap bahasa memiliki dialek dan subdialek. Sebagai contoh, bahasa Aceh memiliki dialek Aceh Besar, Pidie, Peusangan, Aceh Barat, dan Aceh Selatan. Setiap daerah biasanya cendrung mengklaim bahasa daerahnyalah yang baku atau standar. Sebagaimana bahasa Indonesia yang memiliki Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan Tata Bahasa Indonesia Baku, kita berharap bahasa daerah di Aceh juga memiliki ejaan dan tata bahasa baku, sehingga kita akan menemukan ejaan dan tata bahasa baku bahasa Aceh, bahasa Gayo, bahasa Jamee, bahasa Alas, dan lainnya.

Hal di atas sejalan dengan pendapat Santoso (2013) yang menyatakan bahwa perencanaan bahasa Aceh sebaiknya dimulai dari perencanaan korpus bahasa, yaitu berbagai upaya yang terkait dengan pembentukan istilah, pembakuan ejaan, pembakuan tata bahasa, dan bagaimana aplikasinya di masyarakat. Perencanaan korpus tersebut dapat difokuskan terhadap bahasa daerah yang memiliki jumlah penutur paling banyak. Selanjutnya penerapan perencanaan korpus ini dilanjutkan

Page 47: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

41Mendorong Kebijaksanaan Pemerintah... oleh Denni Iskandar

terhadap bahasa-bahasa daerah lainnya sehingga setiap bahasa daerah di Aceh nantinya memiliki dokumen sebagai referensi pembinaan dan pengembangan bahasa daerah. Hal ini perlu dilakukan agar para pemangku kepentingan bidang bahasa akan menerapkan skala prioritas dalam perencanaan bahasa yang berkelanjutan.

Senada dengan Santoso, Azwardi (2014) menyatakan bahwa pembakuan bahasa Aceh mendesak dilakukan. Beliau mencontohkan, dalam kenyataan penggunaan bahasa Aceh sehari-hari, khususnya bahasa tulis pada media luar ruang dan media massa sering kita jumpai pemakaian yang salah atau tidak sesuai dengan kaidah bahasa tersebut, misalnya frasa Bedoh Beurata, Makmu Sejahtera (salah), seharusnya Beudöh Beurata, Makmu Sijahtra, contoh lain Rincoeng Meupucoek (salah), seharusnya Rincông Meupucôk.

Ketiga, pengajaran bahasa daerah di Aceh belum sungguh-sungguh dilaksanakan. Sebagai bukti, (1) baru bahasa Aceh dan bahasa Gayo yang diajarkan di sekolah (SD dan SMP), itupun tidak semua sekolah mengajarkannya karena bersifat pilihan (muatan lokal). Sementara itu, bahasa Alas, Jamee, Singkil, Kluet, Melayu Tamiang, Haloban dan Devayan belum masuk dalam dunia pendidikan formal. (2) Belum ada kurikulum bahasa daerah sehingga pengajaran bahasa daerah selama ini dilakukan suka-suka atau tanpa kurikulum, silabus, buku pegangan guru/siswa, apalagi RPP. (3) Belum ada guru khusus bahasa daerah Aceh karena memang belum ada lembaga pendidikan yang membuka jurusan atau program studi bahasa daerah sehinga selama ini pengajaran bahasa daerah diajarkan oleh guru yang ditunjuk oleh kepala sekolah.

Kondisi miris pengajaran bahasa daerah di Aceh seharusnya menjadi perhatian Pemerintah Aceh dalam hal ini Dinas Pendidikan Aceh dan Dinas Kebudayaan Aceh. Selama ini kedua lembaga tersebut sepertinya tidak berdaya. Pentingnya pengajaran bahasa disitir oleh Syamsuddin (Warsiman, 2014) yang menyebutkan tujuan pengajaran bahasa termasuk bahasa daerah di lembaga lembaga pendidikan adalah untuk memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa. Tujuan tersebut jika ditinjau dari sudut pemakai adalah; (1) tercapainya pemakaian bahasa daerah yang cermat, tepat, dan efesien dalam berkomunikasi; (2) tercapainya pemilikan keterampilan berbahasa daerah baik dalam penggunaannya sebagai alat komunikasi maupun dalam ilmu pengetahuan yang sahih; (3) tercapainya sikap positif terhadap bahasa daerah, yaitu sikap yang erat kaitannya dengan rasa tanggung jawab yang tampak dari perilaku sehari-hari.

2. Anggaran yang MinimTidak dapat dipungkiri bahwa dana adalah faktor penting dalam menggerakkan berbagai program, termasuk program pelestarian dan pembinaan bahasa daerah. Hasil pengamatan penulis, sangat minim program dan kegiatan yang terkait dengan bahasa daerah. Alasan klise yang kerap diungkapkan oleh pejabat pemerintah karena ketiadaan dana. Kondisi ini dapat dilihat dari kecilnya persentase anggaran pembinaan bahasa daerah Aceh di lembaga terkait, seperti Dinas Pendidikan dan Dinas Kebudayaan. Alokasi dana yang minim ini mempertegas sikap apatisme Pemerintah Aceh terhadap bahasa daerah. Dengan kata lain, Pemerintah Aceh tidak mengangap program-program dan kegiatan yang terkait dengan pembinaan bahasa dan sastra daerah sebagai prioritas.

Jika alokasi dana untuk pelestarian dan pembinaan bahasa/sastra daerah memadai, banyak program yang bisa dilakukan. Sejumlah program tersebut antara lain

Page 48: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

42 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

sebagaimana tertera pada tabel berikut.

Tabel Program/Kegiatan KebahasadaerahanNo. Program/Kegiatan1. Penyusunan qanun tentang bahasa daerah Aceh2. Pembakuan ejaan dan tata bahasa daerah Aceh3. Pembukaan Jurusan Bahasa Daerah Aceh di Perguruan Tinggi4. Penyusunan kurikulum dan silabus pengajaran bahasa daerah Aceh5. Penulisan dan pencetakan bahan ajar bahasa dan sastra daerah Aceh6. Pelatihan bagi guru yang mengajar muatan lokal bahasa daerah Aceh7. Penyelenggaraan kongres dan seminar bahasa dan sastra daerah Aceh8. Pemberian subsidi bagi berbagai pusat studi bahasa dan sastra daerah Aceh9. Mendanai penelitian-penelitian yang terkait dengan bahasa dan sastra

daerah Aceh10. Pemberian penghargaan dan apresiasi bagi orang-orang yang berjasa dan

mendedikasi hidupnya untuk kelangsungan bahasa dan sastra daerah Aceh11. Menstimulasi seniman dan sastrawan untuk menghasil karya seni lagu dan

film berbahasa daerah Aceh12. Sosialisasi dan advokasi insan pers untuk gencar meliput program-program

dan kegiatan bahasa dan dan sastra daerah.

Penganggaran sejumlah program dan kegiatan di atas secara langsung atau tidak langsung akan menggairahkan geliat aktivitas bahasa dan sastra daerah. Dengan adanya geliat ini diharapkan bahasa daerah Aceh bisa mewarnai berbagai sendi kehidupan orang Aceh. Dengan demikian, rasa memiliki terhadap bahasa daerah Aceh akan tumbuh dan berkembang di hati sanubari rakyat Aceh.

Sejumlah program di atas memang memerlukan dana yang cukup besar. Namun, apalah artinya uang demi menyelamatkan warisan budaya yang tidak ternilai harganya. Bayangkan, jika bahasa daerah di Aceh punah, akan sangat sulit dan hampir tidak mungkin untuk menumbuhkannya kembali. Apakah pemerintah Aceh mencintai warisan budaya leluhurnya? Jawabannya bergantung pada seberapa besar anggaran yang mereka sediakan untuk menjaga dan merawat eksistensi bahasa daerah Aceh.

3. Rendahnya Kepedulian MasyarakatFaktor ketiga yang menyebabkan kondisi bahasa daerah di Aceh terancam adalah masih rendahnya kepedulian elemen masyarakat seperti pakar bahasa, praktisi bahasa, dosen dan guru bahasa, seniman, sastrawan, dramawan, insan pers, dan masyarakat luas umumnya. Indikasi ini terlihat dari masih banyak masyarakat yang bersikap negatif terhadap bahasa daerah. Sikap negatif itu misalnya tercermin dari sikap tidak mau tahu tentang garis kebijakan yang sedang dijalankan. Sikap negatif tercermin pula dari ucapan bahwa persoalan kebahasaan hanya tanggung jawab pemerintah dan ahli bahasa. Sikap-sikap sepert ini sangat menghambat perencanaan dan kebijakan bahasa.

Sikap positif masyarakat Aceh terhadap bahasa daerah Aceh merupakan faktor pendukung optimalisasi peran dan kedudukan bahasa daerah sebagai penguat jati diri bangsa. Sikap positif terhadap bahasa daerah harus terus ditingkatkan. Sikap berbahasa

Page 49: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

43Mendorong Kebijaksanaan Pemerintah... oleh Denni Iskandar

mengandung keterpaduan antara sikap menghormati dan memuliakan secara nyata serta sikap taat pada kesepakatan bersama mengenai peran dan kedudukan bahasa daerah.

Sebagai masyarakat, paling tidak ada dua hal yang wajib dilakukan Pertama, meningkatkan rasa bangga memiliki dan menggunakan bahasa daerah secara proporsional dalam berbagai keperluan dan kemanfaatannya. Kebanggaan memiliki bahasa daerah terkait erat dengan pencerminan dan perwujudan cinta tanah air, cinta budaya, serta cinta terhadap keseluruhan nilai dan norma kehidupan bermasyarakat. Masyarakat hendaknya mampu memilih, memilah, dan berbagi kapan harus menggunakan bahasa Indonesia, bahasa asing, dan bahasa daerah.

Kedua, meningkatkan frekuensi pembiasaan penggunaan bahasa daerah dalam semua kesempatan dan aktivitas terutama dalam forum tidak resmi secara kenegaraan, mengingat dalam acara resmi kenegaraan kita wajib menggunakan bahasa Indonesia. Dari sudut pandang psikologi pendidikan, suatu keberhasilan bukan sekadar tercapai melalui pendidikan formal dan pelatihan, tetapi akan lebih efektif melalui pembiasaan penggunaan secara terus-menerus dalam lingkungan masyarakat dan keluarga.

Contoh kongkrit sumbangsih masyarakat terhadap pembiasaan bahasa daerah adalah drama komedi Eumpang Breuh yang berhasil mencuri simpati masyarakat Aceh dengan suguhan bahasa daerah yang kental. Banyak anak-anak begitu fasih menirukan ucapan tokoh Haji Umar, seperti aneuk manyak hana manfaat, yang kon-kon rakaat dipubuet. Begitu juga halnya seni lagu. Di pasaran banyak kita temukan lagu berbahasa Aceh. Lahan penggunaan bahasa daerah pada ragam ini harus terus dipertahankan dan dikembangkan karena sangat efektif diserap dan diresapi oleh generasi muda.

Simpulan Cepat atau lambat, mau tidak mau, suka tidak suka, peran bahasa daerah dari waktu ke waktu akan terus terdegradasi. Secara ekstrem dapat dikatakan kita tidak mungkin menghindarkan bahasa daerah di Aceh dari kepunahan. Yang paling mungkin adalah menunda dan memperlambat kepunahannya selama mungkin. Tanpa upaya pelestarian mungkin bahasa Aceh akan punah seratus tahun lagi, tetapi dengan upaya yang sungguh-sungguh bahasa Aceh mungkin masih bisa kita pertahankan sampai seribu tahun lagi. Kebijaksanaan Pemerintah Aceh merupakan faktor penting karena dari sanalah akan lahir regulasi (qanun) tentang bahasa daerah yang kemudian berimplikasi pada adanya alokasi anggaran yang memadai untuk menggerakkan berbagai program dan kegiatan kebahasadaerahan.

Kita jangan bermimpi bahasa Aceh bisa menggantikan peran bahasa Indonesia di berbagai sisi dan dimensi karena mustahil memaksakan bahasa daerah Aceh digunakan dalam semua ragam pemakaian. Dalam ragam-ragam tertentu seperti bahasa resmi kenegaraan, bahasa ilmu pengetahuan (ilmiah), bahasa pengantar pendidikan, dan bahasa jurnalistik (pers) sulit digeser perannya karena ragam ini sudah menjadi lahan bahasa Indonesia. Kalaupun kita paksakan akan sia-sia dan hanya buang energi. Tugas kita adalah mencermati ragam-ragam yang peran bahasa Indonesia relatif tidak begitu besar, misalnya, pada ragam budaya, seni, dan sastra daerah.

Page 50: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

44 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Azwardi. 2014. “Mendesak Pembakuan Ejaan Bahasa Aceh.” Bina Linguistika. Banda Aceh. Diunduh tanggal 18 Sepetember 2016, pukul 12.50 WIB.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Darwis, Muhammad. 2011. “Nasib Bahasa Daerah di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan.” Makalah (disampaikan pada Workshop Pelestarian Bahasa Daerah Bugis. Makasar: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin.

Taib, Rostina dan Denni Iskandar. 2004. “Sikap Siswa SMU Negeri Kota Banda Aceh terhadap Bahasa Aceh”. Mon Mata (Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial Bidang Pendidikan). Banda Aceh: Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala.

Santoso, Teguh. 2012. “Menggagas Qanun Bahasa Daerah”. Serambi Indonesia. Rabu, 7 November 2012. Banda Aceh.

-------------------. 2013. “Menatap Masa Depan Bahasa Daerah: Studi Kasus di Aceh.”Laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Diunduh tanggal 18 September 2016, pukul 13.30 WIB.

Warsiman. 2014. “Kebijakan dan Pengembangan Bahasa.”Laman Bahasa dan Sastra Indonesia. Malang: Universitas Brawidjaya. Diunduh tanggal 18 September 2016, pukul 20.30 WIB.

Page 51: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

45Upaya Pemertahanan Bahasa... oleh Azwardi

UPAYA PEMERTAHANAN BAHASA ACEH SEBAGAI SALAH SATU BAHASA IBU DI NUSANTARA

olehAzwardi

Universitas Syiah [email protected]

ABSTRAK

Makalah ini membahas problema pemertahanan bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa ibu di nusantara serta upaya atau solusi alternatif agar bahasa Aceh tetap terpelihara dengan baik. Dari hasil kajian teridentifikasi bahwa kepunahan bahasa daerah bahasa Aceh, antara lain, disebabkan oleh keengganan generasi muda untuk menggunakannya, keenganan orang tua untuk menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa ibu, dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap keberadaan bahasa daerah. Selain itu, dari hasil kajian akademik maupun kajian lapangan, upaya atau solusi alternatif membina dan mempertahankan bahasa Aceh sebagai salah satu bahasa ibu di nusantara, antara lain, sebagai berikut: (1) bersikap positif terhadap bahasa ibu BA, (2) mendirikan institusi tenaga kependidikan BA, dan (3) memproduksi dan mendistribusi dokumen akademik sebagai bahan bacaan dan referensi.

Kata kunci: pemertahanan bahasa, bahasa daerah, bahasa ibu, bahasa Aceh

PendahuluanBahasa menunjukkan bangsa. Hilang bahasa hilang pula penunjuk suatu bangsa. Demi mempertahankan eksistensi bahasa, khususnya bahasa daerah, secara konstitusional keberadaan bahasa daerah dijamin oleh Undang-Undang Dasar negara kita. Meskipun demikian, realitas dewasa ini menunjukkan bahwa bahasa-bahasa daerah di Nusantara telah berada dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan, diambang kepunahan. Beberapa bahasa daerah bahkan sudah punah dan beberapa lagi berada dalam proses kepunahan. Kepunahan bahasa daerah, antara lain, disebabkan oleh keengganan generasi muda untuk menggunakannya, keenganan orang tua untuk menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa ibu, dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap keberadaan bahasa daerah. Oleh karena itu, marilah sama-sama kita mencegahnya dari kepunahan, sebab bahasa daerah, selain merupakan penciri suku bangsa, ciri dari

Page 52: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

46 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

kebhinnekaan, pemerkaya kosakata bahasa Indonesia, pengandung sistem nilai dan ilmu pengetahuan, di dalamnya juga terdapat ungkapan-ungkapan yang berisi nilai-nilai luhur yang dapat memberi kontribusi terhadap pembentukan karakter anak bangsa.

Pemertahanan Bahasa Ibu Bahasa AcehMengingat fungsinya yang sangat strategis, yaitu (1) sebagai lambang kebanggaan daerah, (2) sebagai lambang identitas daerah, (3) sebagai alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, (3) sebagai sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, dan (5) sebagai pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia (Alwi dan Sugono, 2000:220), pemertahanan bahasa ibu perlu terus diupayakan, baik secara pribadi oleh penuturnya, maupun oleh negara. Pada saat ini fungsi-fungsi tersebut harus diakui semakin menurun pada bahasa ibu BA. Oleh karena itu, perlu dilalukan berbagai upaya agar bahasa tersebut dapat terus bertahan karena hal itu merupakan lambang identitas daerah dan sekaligus lambang kebanggaan daerah. Untuk itu, menurut Djunaidi (2004) tidak ada cara lain selain kita harus melakukan revitalisasi bahasa daerah agar eksistensi bahasa itu dapat dipertahankan.

Bahasa ibu atau bahasa pertama (B1) adalah bahasa yang berperan sebagai bahasa pertama bila masyarakat penuturnya mengenal bahasa itu sejak lahir yang diperoleh melalui proses pemerolehan. Ditinjau dari sudut pandang kebudayaan sebagai suatu produk masyarakat, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Secara lisan, ibu mengajari bayinya berkomunikasi melalui bahasa yang dimilikinya (Ohoiwutun, 2007:78). Sebagaimana bahasa-bahasa lainnya di dunia, bahasa ibu BA juga potensial mengalami pergeseran dan kepunahannya bila tidak dilakukan upaya-upaya yang stategis untuk menunda atau mempertahankannya dari kepunahan.

Pemertahanan bahasa ibu BA menjadi tanggung jawab kita bersama, khususnya bagi penutur asli bahasa ibu BA. Ketahanan bahasa ibu BA kian melemah dari masa ke masa. Sekitar 30 tahun yang lalu para peneliti BA telah melilis hasil penelitiannya menyangkut dengan pemertahanan BA. Saat itu, BA sebagai bahasa ibu di Aceh dapat dikatakan eksistensinya masih baik. Para peneliti mendeskripsikan lingkup antara pemertahanan BA di kota dan di desa. Pemertahanan BA di desa jauh lebih baik daripada di kota. Relatif sedikit didapati anak-anak desa yang tidak mampu berbahasa Aceh. Hal ini tentu saja terjadi karena orang tua dalam lingkungan keluarga berinteraksi dengan anak-anaknya menggunakan BA. Berbeda dengan kasus yang terjadi di kota yang cenderung lebih lemah. Banyak didapati anak-anak di kota yang tidak mampu berbahasa Aceh, padahal kedua orang tua mereka merupakan penutur asli BA. Faktor penyebabnya, antara lain, adalah tuntutan dunia pendidikan di sekolah.

Akhir-akhir ini, kondisi bahasa ibu BA semakin melemah. Baik di kota maupun di desa, pemertahanan bahasa ibu BA kian mengkhawatirkan. Melemahnya bahasa ibu BA ini diprediksikan lambat laun akan menuju kepada kepunahannya. Sebagaimana dikatakan Djunaidi (2004) bahwa kekhawatiran akan kepunahan itu tidak hanya ditakuti akan menimpa bahasa-bahasa daerah dengan penutur yang relatif kecil, tetapi juga perasaan serupa telah menghantui bahasa-bahasa daerah dengan penutur yang relatif besar, seperti BA.

Di sisi lain, kita salut dengan etnis Tionghoa yang ada di Banda Aceh. Meskipun sebagai masyarakat minoritas, mereka mampu mempertahankan eksistensi bahasa ibunya, bahasa Cina. Anak-anak etnis Tionghoa di Banda Aceh, seperti di Peunayong, meskipun sudah cukup lama tinggal di Aceh, mereka tetap berinterkasi dengan

Page 53: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

47Upaya Pemertahanan Bahasa... oleh Azwardi

menggunakan bahasa Cina. Dalam interaksi antaranggota keluarga mereka selalu menggunakan bahasa Cina. Lebih salut lagi, sebagian masyarakat etnis Tionghoa ini mampu menguasai BA dengan baik, bahkan ada yang tingkat kefasihannya mengalahkan penutur asli BA. Dalam pada itu, saat berinteraksi dengan masyarakat etnis Aceh, mereka menggunakan bahasa Indonesia atau BA sebagai perantara.

Rasa Memiliki Bahasa dan Budaya AcehBahasa dan budaya adalah dua khazanah sosial yang tidak mungkin berpisah. Bahasa adalah cerminan budaya, sedangkan budaya itu sendiri ada dan meleket dalam bahasa. Ketinggian atau kerendahan budaya suatu bangsa tercermin dari bahasa yang digunakannya. Namun siapakah yang memiliki bahasa dan budaya tersebut? Aceh memiliki sekurang-kurangnya sebelas bahasa ibu, yakni BA, bahasa Gayo, bahasa Alas, bahasa Tamiang, bahasa Aneuk Jamee, bahasa Kluet, bahasa Singkil, bahasa Haloban, bahasa Simeulue, bahasa Devayan dan bahasa Sigulai (Daud, 2004).

Pertanyaan Daud, “Siapa yang memiliki bahasa dan dan budaya...?” menggelitik saya berkontemplasi lebih jauh. Sudahkah kita merasa memiliki BA? Sudahkah kita berkompetensi memadai tentang BA? Sudahkah kita berperformansi yang baik dengan BA? Sudahkah kita bersikap positif terhadap BA? Sudahkah kita berkontribusi membina dan mengembangkan BA? Sudahkah kita ikut serta melestarikan BA? Sudahkah kita menghambat kepunahan BA? Idealnya, jawaban terhadap semua pertanyaan itu adalah sudah meskipun dalam takaran yang relatif berbeda; sudah dalam takaran perfektif atau sudah dalam takaran inkoatif. Sudah dalam takaran perpektif berarti kita sudah melaksanakan secara maksimal semua pertanyaan itu, sedangkan sudah dalam takaran inkoatif bermakna kita sedang melaksanakan semua itu.

Problem Pembinaan Bahasa Ibu Bahasa Aceh dan Solusi AlternatifKebertahanan bahasa ibu BA bagai salah satu khazanah budaya di Aceh akan terjaga bila ada upaya yang serius, baik dari masyarakat penutur asli bahasa tersebut, maupun pihak-pihak atau lembaga terkait yang membina bahasa ibu BA. Upaya tersebut harus dilakukan secara terencana, sistematis, dan kontinyu sehingga, di samping dapat bertahan sebagai penciri suatu bangsa, bahasa ibu BA juga dapat berperan sebagai kekuatan budaya lokal di Aceh. Berdasarkan berbagai hasil penelitian dan hasil kajian akademik, ada beberapa solusi alternatif yang patut dipertimbangkan untuk menjaga agar eksistensi bahasa ibu BA sebagai salah satu bahasa ibu di nusantara tetap terpelihara dengan baik. Solusi alternatif tersebut, antara lain, adalah sebagai berikut: (1) bersikap positif terhadap bahasa ibu BA, (2) mendirikan institusi tenaga kependidikan BA, dan (3) memproduksi dan mendistribusi dokumen akademik sebagai bahan bacaan dan referensi.

Bersikap Positif terhadap Bahasa AcehSikap pemakai BA terkesan tidak positif. Pengguna BA tampaknya tidak menganggap penting belajar dan menggunakan BA yang benar. Hal tersebut tecermin dari pemakaian BA sehari-hari yang cenderung tidak baik, tidak benar, tidak logis, dan tidak sistematis baik oleh masyarakat awam maupun masyarakat terpelajar. Dalam kenyataan penggunaan BA sehari-hari, baik dalam situasi resmi, maupun tidak sering kita jumpai pemakaian BA yang salah atau tidak sesuai dengan kaidah bahasa tersebut. Perhatikan, bagaimana kacaunya penulisan BA pada media-media di Aceh, baik media luar ruang maupun media

Page 54: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

48 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

dalam ruang. Perhatikan beberapa kasus pemakaian BA berikut (dikutip dari salah satu teks lagu Aceh) yang telah beredar luas dalam masyarakat Aceh berikut!

Sayang-sayang leupah that sayangBungoeng ban keumang hana harom leYoeh mantong putik uloen petimangJinoe troeh kumbang bungong ka laye

Padahal bungong ceudah koen wayangJinoe meulang lang hudep lam donyaTari bukoen le wate ta pandangOh wate malam angen peudoda

Hana so sayang hana so hiroeAkhe bak dudoe bungoeng binasaPatah bak tangke hana so pakoMeubaloet duroe racoen meubisa

Mungken ka naseb ka ehno wateJinoe ka laye katroek bak masaAwai phoen seunang jinoe ka maleBungoeng di tipe ngoen rayuan cinta

Kasep hai bungoengBek meu ulang leBut kumbang jahe sabe digoda

Jika diperhatikan secara saksama, dalam teks syair lagu tersebut terdapat beberapa tipe kesalahan, khususnya kesalahan penulisan. Kesalahan penulisan terjadi pada penulisan kata dan huruf/ortografi (bungoeng, harom, le, yoeh, mantong, uloen, petimang, troeh, laye, padahal, ceudah, loen, hudep, bukoen, wate, so, akhe, tangke, meubaloet, racoen, ehnoe, troek, phoen, male, di tipe, ngoen, kasep, bek meu ulang le, but, jahe, sabe). Kemudian, juga terdapat kesalahan penulisan persesuaian pronomina persona (ta pandang). Selain itu, kesalahan juga terjadi akibat pencampuran penggunaan bahasa Indonesia dalam BA (padahal, kumbang, di goda, rayuan). Selain itu, kesalahan juga sering terjadi akibat penerjemahan bahasa secara tekstual, padahal secara teori kebahasaan bahasa tidak boleh diterjemahkan secara tekstual, bahasa harus diterjemahkan secara kontekstual (dipadankan). Hal tersebut perlu dilakukan sehingga kekakuan hasil terjemahan dapat dihindari. Bandingkan dengan pemakaian berikut yang sesuai dengan kaidah keilmuan BA yang berlaku!

Sayang-sayang leupah that sayangBungong ban keumang hana harôm léYôh mantöng putik ulôn peutimangJinoe trôh kumbang bungong ka layèe

Page 55: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

49Upaya Pemertahanan Bahasa... oleh Azwardi

Padahai bungong cidah kön wayangJinoe meulanglang udép lam donyaTari bukön lé watè tapandang’Oh watè malam angen peudoda

Hana soe sayang hana soe hiroeAkhé bak dudoe bungong binasaPatah bak tangké hana so pakoMeubaloet duroe racoen meubisa

Mungken ka naseb ka ‘ehno watèJinoe ka layèe katrôk bak masaAwai phôn seunang jinoe ka malèeBungong jitipèe ngön rayuan cinta

Kasép hai bungongBèk me ulang léBuet kumbang jahé sabé digoda

Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa kesalahan penulisan BA yang umum terjadi adalah sebagai berikut: (1) kesalahan ejaan, yakni terkait dengan pelambangan fonem (konsonan dan vokal, khususnya vokal nasal, vokal tinggi, vokal tinggi-sedang, dan vokal rendah-sedang; pelambangan diftong dan pemakaian tanda diakritik; (2) kesalahan diksi yang meliputi pemakaian kata yang tidak baku, pemakaian istilah secara tekstual, penggunaan persesuaian pronomina secara terpisah, pencampuran penggunaan BA dan Bahasa Indonesia. Sehubungan dengan hal itu, dapat ditegaskan bahwa jangan menganggap berBA dengan baik dan benar itu mudah sehingga kita tidak merasa perlu belajar dan menggunakan bahasa tersebut secara sungguh-sungguh dan cermat. Jika kita menganggap berBA dengan baik dan benar itu mudah, kita tidak akan pernah sukses belajar BA atau tidak akan pernah terampil berBA, baik secara lisan maupun tulis.

“Bahasa menunjukkan bangsa”, “Mulutmu harimaumu”, “Bahasa adalah pedang”. Demikian, antara lain, ungkapan tentang bahasa. Ungkapan tersebut mengandung maksud bahwa bahasa merupakan identitas, dan kecermatan dalam berbahasa merupakan hal penting. Bahasa salah cermin pikiran kacau. Dalam pada itu, cermati lagi pemakaian BA sehari-hari dalam konteks berikut!

(1) Krue seumangat Persiraja! (2) Wareèh(3) Wareeh Wartel(4) Saweu Sabee(5) Ceuremén(6) Angel Springbed

Rasakan lumpoé nyang goétNeu periksa yooh goh lom neu bloëi

(7) Launching Balee Raihan(8) Rincoeng meupucoek

Page 56: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

50 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

(9) Aceh mulia sabee roe darah(10) ta peujeu-oh nyang bida-bida(11) ta puga buet bersama(12) na lom nyang peuduk honda meranggapat(13) Saleum Group

Jika kita perhatikan secara saksama, pada beberapa konteks tersebut terdapat beberapa kesalahan, khususnya kesalahan penulisan. Kesalahan penulisan terjadi pada penulisan kata dan huruf/ortografi (krue, wareeh, warèeh, saweu, sabee, ceureumén, lumpoé, goét, yooh, bloëi, balee, rincoeng, meupucoek, roe, peujeu-oh, peuduk, meranggapat, saleum). Kemudian, juga terdapat kesalahan penulisan persesuaian pronomina persona (neu periksa, neu bloëi, ta peujeu-oh, ta puga). Selain itu, kesalahan juga terjadi akibat pencampuran penggunaan struktur bahasa Inggris dalam BA (Wareeh Wartel, Lounching Balee, Saleum Group).

Dalam pada itu, kesalahan juga sering terjadi akibat penerjemahan bahasa secara tekstual, padahal berdasarkan teori kebahasaan, bahasa tidak boleh diterjemahkan secara tekstual, bahasa harus diterjemahkan secara kontekstual (dipadankan). Hal tersebut perlu dilakukan sehingga kekakuan hasil terjemahan dapat dihindari. Bandingkan dengan konteks berikut yang sesuai dengan kaidah keilmuan BA yang berlaku.

(1) Kru seumangat Persiraja! (2) Waréh(3) Wartel Waréh (4) Saweue Sabé(5) Ceurem’èn(6) Angel Springbed

neurasa lumpoe nyang götneupareksa yôh goh neubloe

(7) balèe Raihan(8) rincông meupucôk(9) Aceh mulia sabé rô darah(10) tapeujeu-ôh nyang bida-bida(11) tapuga buet bersama(12) na lom nyang peuduek honda barangkapat(13) Saleuem Group

Pascatsunami di Provinsi Aceh telah terjadi perbauran budaya dan bahasa. Perbauran budaya dan bahasa, khususnya bahasa Inggris, tidak dapat dibendung. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari tingginya solidaritas dan mobilitas masyarakat internasional dalam upaya rekonstruksi Aceh. Secara kebahasaan, akibat dari kondisi seperti itu, akhir-akhir ini penulisan BA pada media massa, khususnya media luar ruang cendrung mengebaikan kaidah bahasa.

Kesalahan berbahasa dapat terjadi pada bahasa ragam lisan dan ragam tulis. Kesalahan pada bahasa ragam tulis bersifat permanen. Akibatnya, kesalahan yang terjadi pada ragam tulis dapat memberi dampak negatif yang lebih luas dan permanen. Pembaca akan meniru tulisan yang dibacanya, menjadi skemata, dan menulis pada tempat dan

Page 57: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

51Upaya Pemertahanan Bahasa... oleh Azwardi

waktu yang lain. Kesalahan itu akan terus berulang jika tidak mendapat perhatian dan perbaikan yang semestinya. Oleh karena itu, kesalahan ragam tulis, termasuk kesalahan pada penulisan BA pada media luar ruang, perlu segera ditanggapi dan diatasi.

Degradasi sikap positif terhadap BA juga sangat kentara terlihat pada generasi muda. Generasi muda Aceh jangankan kemampuan menggunakan BA dengan benar, kemauan menngunakannya pun sudah sangat memudar. Ada kebanggaan tersendiri bila mereka dapat menggantikan BA-nya dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Dengan perkataan lain, mereka tidak mampu dan tidak bangga lagi menggunakan bahasa ibunya, BA sehingga banyak kosakata BA yang tidak pernah dipakainya atau tidak diketahui artinya, padahal kosakata tersebut masih aktif dipakai dalam komunikasi masyarakat Aceh secara umum. Begitu juga dengan ungkapan-ungkapan yang sarat akan makna yang cukup banyak terdapat dalam masyarakat Aceh, mereka jarang sekali atau bahkan tidak pernah mendengar, memakai, apalagi memahami hakikat makna yang terirat dalam berbagai ungkapan itu. Hal ini sungguh merupakan kemunduran komunikasi bagi generasi bangsa.

Dalam pada itu, sering saya amati selompok siswa atau mahasiswa yang lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan sesama temannya, padahal mereka semua sedang berada pada situasi yang tidak resmi, dan berbahasa ibu yang sama, yaitu BA. bila mereka kira hal itu demi prestise, itu salah kaprah. Fenomena ini bertolak belakang dengan teori sosiolinguistik. Mestinya, dalam konteks yang tidak resmi dan pesertanya homogen saharusnya kita menggunakan bahasa ibu karena lebih efektif dan komunikatif ketimbang menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal ini, berkomunikasi antarsesama dengan menggunakan bahasa ibu yang sama (sama-sama bahasa ibu BA) tangkapan pesannya lebih mantap karena dapat memahami dengan maksimal sampai kepada nuansa makna setiap unit kebahasaan yang diujarkan. Sebaliknya, bila peserta yang terlibat dalam obrolan bersama itu heterogen (berlatar belakang bahasa ibu yang berbeda-beda), sebaiknya gunakan bahasa Indonesia agar semua mengerti dengan hal yang dibicarakan. Dalam konteks seperti ini jangan pula sampai ada peserta yang menggunakan salah satu bahasa ibunya karena akan berakibat miskominikasi bagi peserta lainnya yang berbahasa ibu lainnya. Inilah yang dimaksud dengan menggunakan bahasa yang baik, yaitu pengunaan bahasa sesuai dengan konteks atau situasi dan tempat pemakaian. Meskipun demikian, berdasarkan temuan penelitian Alamsyah (2008) kecenderungan tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam berbahasa ibu BA karena sejak dini mereka juga tidak diutamakan menggunakan bahasa ibu BA oleh orang tuanya sebagaimana penjelasan berikut.

Lain lagi ceritanya dari pasangan suami-istri, khususnya pasangan-pasangan muda yang sama-sama berlatar belakang bahasa ibu yang sama, BA “memaksa” buah hatinya dengan “bahasa asing”, bahasa Indonesia. Umumnya terjadi bagi mereka yang tempat domisilinya di wilayah perkotaan atau salah seorang di antara pasangan itu atau kedua-dua berprofesi sebagai pegawai (periksa Alamsyah, 2008). Mereka begitu bangga mewarisi kepada anak-anaknya sejak dini bahasa keduanya, bahasa Indonesia, padahal itu sangat tidak disarankan. Mereka berasumsi spekulatif bahwa tindakannya itu dilakukan agar anak-anaknya lebih maju dan dapat menyesuaikan diri secara lebih baik dengan lingkungannya kelak, khususnya di lingkungan sekolah. Hal ini juga anggapan yang salah kaprah, yang berseberangan dengan teori sosiolinguistik. Supaya anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan lingkungan realitas sosial budayanya

Page 58: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

52 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

secara intensif, perkenalkan dan ajari dia bahasa yang paling ia pahami, yang paling dekat dengannya, yakni bahasa ibu sebagai bahasa pertama. Bahasa kedua akan diperolehnya dengan mudah secara otomatis pada saat dia berinterasi di luar rumah dalam kelompok sosialnya yang heterogen.

Berdasarkan kenyataan tersebut, sikap positif terhadap BA perlu dibina. Pembinaan tersebut, antara lain, membekali masyarakat, khususnya generasi muda dengan kompetensi kebahasaan (ilmu tentang BA) yang memadai, memupuk rasa bangga dan percaya diri yang tinggi bagi masyarakat, khususnya generasi muda menggunakan BA dalam berkomunikasi secara nonformal sehari-hari, dan menyarankan para orang tua agar mau mewarisi sejak dini kepada putra putrinya bahasa ibunya, BA. Dengan terbinanya sikap positif terhadap bahasa ibu BA, kompetensi kebahasaan yang memadai tentang bahasa ibu juga akan meningkat, dan akhirnya rasa bangga menggunakan bahasa ibu BA terlihat dalam setiap aktivitas interaksi sosialnya di tengah-tengah masyarakatnya. Dengan demikian, saat berbelanja di pasar tradisional seperti Pasar Aceh atau pasar-pasar modern di Aceh atau memesan tiket bus atau L300 di loket di Aceh atau membeli pulsa HP atau data selular tidak perlu menggunakan bahasa Indonesia karena umumnya pelaku bisnis tersebut adalah orang Aceh yang mengerti BA.

Mendirikan Institusi Tenaga Kependidikan Bahasa AcehPembinaan bahasa ibu secara berencana, sistematis, dan berkelanjutan melalui lembaga pendidikan formal sangat diperlukan. Wujud tindakan pembinaan tersebut, antara lain, melalului pendirian program studi atau jurusan pendidikan bahasa Aceh pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di tingkat perguruan tinggi. Dengan adanya Program Studi Pendidikan Bahasa Aceh di perguruan tinggi, secara berencana dan berkelanjutan dapat dipersiapkan guru yang akan mengajar bahasa ibu BA di sekolah-sekolah, khususnya di Aceh. Selain itu, segala macam kebijakan anggaran yang berkaitan dengan pembinaan dan pengembangan BA, seperti pelatihan guru, pengembangan kurikulum, dan penulisan buku dengan mudah dapat direncanakan dan dilaksanakan.

Berkaitan dengan hal itu, di usianya yang ke 54 tahun Universitas Syiah Kuala ternyata belum memasukkan rencana pendirian program studi pendidikan bahasa Aceh dalam rencana strategi (renstra) akademiknya. Hal ini sangat ironis. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa kebijakan akademik kampus “Jantông Até Rakyat Aceh” ini belum positif terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa daerah di Aceh, khususnya BA. Mestinya, para penentu kebijakan akademik di Universitas Syiah Kuala telah memikirkan jauh-jauh hari tentang rencana pendirian program studi bahasa Aceh itu, dan memasukkannya dalam renstra universitas. Di perguruan tinggi lainnya, seperti USU, Unpad, Undip, dan UGM program studi bahasa daerah mereka sudah eksis berkiprah. Itulah sebabnya, segala macam upaya yang berkaiatn dengan pembinaan bahasa daerah di Aceh, khususnya bahasa ibu BA tidak berjalan secara baik. Untuk itu, pendirian Program Studi Pendidikan Bahasa Aceh sebagai starting point pembinaan dan pengembangan bahasa daerah di Aceh, khususnya BA urgen dilakukan.Terkait dengan pendirian Program Studi Pendidikan Bahasa Aceh di LPTK Universitas Syiah Kuala, kini sudah ada sedikit titik terang. Beberapa waktu yang lalu, atas rekomendasi Tim Perumus Kongres Peradaban Aceh 2015, rektor Universitas Syiah Kuala telah menyambut baik dan memberi sinyal maju bagi upaya pendirian prodi bahasa Aceh tersebut. Alhamdulillah, terhitung mulai April 2015 Rektor Unsyiah telah menerbitkan Surat

Page 59: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

53Upaya Pemertahanan Bahasa... oleh Azwardi

Keputusan Tim Taskforce Pendirian Program Studi Pendidikan Bahasa Aceh di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala. Meskipun belum tertuang dalam renstra universitas, berdasarkan permohonan ketua tim taskforce, rektor akan melakukan upaya khusus dengan mengajukan permohonan pendirian Program Studi Pendidikan Bahasa Aceh kepada Kemristekdikti. Sambil menunggu pembukaan pendaftaran prodi baru oleh Kemristekdikti, tim taskforce yang telah terbentuk terus bekerja mempersiapkan segala dokumen akademik yang diperlukan. Selain itu, berdasarkan rekomendasi Lokakarya Pembakuan Ejaan Bahasa Aceh pada Desember 2015 di Darussalam, Banda Aceh, Tim Perumus Penyusunan Ejaan Bahasa Aceh juga sudah terbentuk dan sedang bekerja mempersiapkan aturan baku terkait dengan kaidah penulisan BA yang baku. Semoga segala upaya tersebut dapat berjalan dengan lancar, dan Program Studi Pendidikan Bahasa Aceh segera berdiri di universitas “Jantong Ate Rakyat Aceh” ini.

Memproduksi dan Mendistribusi Berbagai Dokumen Akademik sebagai Bahan Bacaan dan ReferensiTidak dapat dipungkiri bahwa ketersediaan dokumen akademik yang representatif dan update sebagai bahan bacaan dan referensi tentang BA sangat kurang. Hal ini tentunya terkait dengan kebijakan anggaran dan political will pemerintah, khususnya Pemerintah Aceh dalam melihat keurgenan pembinaan bahasa ibu BA. Wacana, isu, dan angin segar lainnya mengenai pembinaan bahasa daerah, khususnya bahasa ibu BA sepertinya hanya isapan jempol. Dalam beberapa kali kampanye pilkada pernah menguat isu pengutamaan pembangunan BA sebagai sarana komunkasi utama di Aceh di samping bahasa Indonesia. Para kontestan pemilu “berapi-api” mengembuskan “angin surga” tersebut, tetapi saat berhasil bertahta mereka memicingkan mata rapat-rapat. Pascatsunami yang begitu banyak dana segar yang tersedia untuk rehab-rekon, tetapi untuk sebuah proposal semiloka BA yang proyeksi anggaran biayanya sekitar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) merasa sangat besar bagi penguasa, dan singkat cerita semiloka itu pun gagal. Kemudian, seiring bangkitnya kembali Aceh pascakonflik dan tsunami, secara pribadi saya juga pernah mengusulkan kegiatan penulisan dan penyediaan dokumen akademik sebagai bahan bacaan dan referensi bagi masyarakat Aceh, khususnya bagi siswa sebagai generasi penerus bangsa kepada Pemerintah Aceh sampai saat ini tidak jelas juntrungannya.

Terkait dengan peran dan tanggung jawab Pemerintah Aceh, dalam penjelasan undang-undang dasar 1945, dalam Pasal 36 disebutkan bahwa negara akan menghormati dan memelihara bahasa-bahasa daerah yang masih digunakan oleh penuturnya karena bahasa-bahasa tersebut merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Kemudian, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan kemudian diikuti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom telah menambah lagi kekuatan untuk membina dan mengembangkan bahasa daerah. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Selain itu, dan Permen Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Perlindungan Bahasa dan Sastra serta Peningkatan Fungsi Bahasa. Keempat regulasi tersebut menegaskan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa dan budaya daerah merupakan kewenangan masing-masing daerah.

Kembali ke persoalan di atas, ketersediaan dokumen akademik yang representatif dan update sebagai bahan bacaan dan referensi tentang bahasa ibu BA sangat urgen bagi

Page 60: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

54 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

peyebarluasan nilai-nilai kearifal lokal yang beragan yang terdapat di Aceh. Pemerintah Aceh mesti menyadari bahwa ini penting sehingga kebijakan pembangunannya akan memihak juga kepada pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa daerah di Aceh, khususnya BA sebagai bahasa ibu yang dominan dipakai. Pemerintah Aceh perlu mengalokasikan anggaran biaya pembangunannya, antara lain, kepada pertemuan-pertemuan ilmiah yang menghasilkan kesepakatan bersama antarberbagai elemen masyarakat terkait dengan aturan atau kaidah bahasa tulis yang digunakan dalam BA, penelitian-penelitian bahasa dan sastra daerah di Aceh, penulisan buku-buku paket atau buku-buku referensi atau buku-buku bacaan siswa atau kamus-kamus BA.

Agar dokumen yang telah diproduksi dapat bermanfaat bagi masyarakat secara luas, pendistribusian secara merata dan memadai kepada lembaga-lembaga pemerintah, khususnya sekolah-sekolah perlu dilakukan secara berkelanjutan. Di samping itu, sosialisasi pemanfaatan buku-buku yang telah tersedia juga menjadi kegiatan penting yang perlu dilakukan. Untuk terealisasikan semua itu tentu membutuhkan dana yang memadai. Yang jelas, tanpa kebijakan anggaran dan political will yang positif dari pemerintah, khususnya Pemerintah Aceh, usah berharap BA sebagai bahasa ibu akan terbina dengan baik. Yang terjadi adalah terbinasanya BA secara pasti, dan akhirnya benar-benar punah seperti bahasa Yunani dan bahasa Latin itu.

Rekomendasi Kongres Bahasa Daerah Nusantara PertamaBerdasarkan berbagai kekhawatiran akan melemahnya fungsi dan kedudukan bahasa ibu sebagai penciri bangsa, Kongres Bahasa Daerah Nusantara (KBDN) pertama yang dilaksanakan pada 2-4 Agustus 2016 di Bandung telah merumuskan 14 rekomendasi yang urgen yang perlu menjadi perhatian kita dalam upaya dan tindakan nyata membina, megembangkan, dan mempertahankan bahasa ibu di Nusantara. Rumusan rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut:(1) UNESCO harus menetapkan secara tegas bahasa daerah sebagai bahasa ibu.

Mengingat kekayaan nilai budaya, etika, dan hikmat yang tercantum dalam setiap bahasa daerah, dan bahwa salah satu faktor kunci dalam kepunahan sebuah bahasa adalah orang tua yang tidak lagi mewariskan bahasa daerah kepada anak mereka, UNESCO harus mempromosikan manfaatnya penggunaan bahasa daerah oleh orang tua dengan anak mereka, dan oleh penutur bahasa daerah dengan sesama suku bangsanya.

(2) UU Nomor 24 Tahun 2009 belum secara khusus mengatur secara teknis terhadap perlindungan bahasa daerah. Oleh karena itu, KBDN mengusulkan kepada pemerintah untuk segera membuat undang-undang perlindungan bahasa daerah yang komprehensif, mengikat, dan mengimplementasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

(3) Perlu adanya perubahan pandangan masyarakat, yang hanya melihat bahasa daerah dari aspek ekonomis (kemanfaatan) menjadi bahasa daerah sebagai identitas, jatidiri, sumber sistem nilai dalam berperilaku, dan salah satu sumber sistem pengetahuan.

(4) Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus membuat peraturan perlindungan dan pengembangan bahasa daerah dengan ruang lingkup yang jelas dan rinci, mengikat terhadap dirinya sendiri, serta masyarakat umum sehingga bahasa daerah digunakan di lingkungan keluarga dan lingkungan yang lebih luas, seperti di sekolah,

Page 61: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

55Upaya Pemertahanan Bahasa... oleh Azwardi

di dalam mata pelajaran, kegiatan beragama, dan penamaan pemukiman, pertokoan atau perkantoran.

(5) Pelajaran bahasa daerah tidak hanya ditempatkan sebagai muatan lokal atau pilihan wajib, tetapi harus sejajar dengan mata pelajaran lain dalam kurikulum nasional.

(6) Untuk memenuhi kebutuhan guru bahasa daerah, perguruan tinggi harus membuat program studi bahasa daerah, dan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus menyediakan guru bahasa daerah dengan mengangkat lulusan program studi bahasa daerah dan secara terus-menerus meningkatkan kompetensinya.

(7) Dewasa ini buku teks mata pelajaran nonbahasa daerah untuk peserta didik di tingkat PAUD, TK, dan kelas 1 sampai dengan kelas 3 menggunakan bahasa Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di daerah yang anak anak didiknya lebih menguasai bahasa daerah daripada bahasa nasional, penyampaian materi di tingkat ini lebih efektif apabila dominan menggunakan bahasa daerah. Oleh karena itu, di daerah-daerah tersebut buku teks semua mata pelajaran di tingkat usia dini sebaiknya menggunakan bahasa daerah, dan para guru dilatih agar mendorong penggunaan bahasa daerah di ruang kelas, baik secara lisan maupun tertulis.

(8) Sehubungan dengan perlunya bahan tertulis dalam bahasa daerah, dan mengingat bahwa hanya sekitar sepertujuh dari semua bahasa daerah di Indonesia (atau sekitar 100 bahasa) sudah memiliki sistem ejaan, universitas-universitas di seluruh Nusantara harus mengadakan kuliah linguistik tentang proses pembuatan sistem ejaan (ortografi). Di daerah yang sistem ejaan bahasa daerahnya sudah ada, balai bahasa setempat wajib menyosialisasikan sistem ejaan bahasa tersebut, misalnya dengan cara mengadakan pelatihan guru yang dipimpin oleh linguis-linguis yang menguasai ortografi tersebut.

(9) Pemerintah perlu lebih meningkatan penerbitan buku pelajaran, buku sastra, dan buku teks berbahasa daerah lainnya, serta berkewajiban menyebarluaskannya.

(10) Pengadaan buku pengajaran dan buku bacaan bahasa daerah hendaknya tidak dilaksanakan oleh pemerintah sendiri. Peran pemerintah dalam penerbitan adalah sebagai penyedia dana dan pembentuk tim penilai yang kompeten dan kredibel.

(11) Setakat ini, belum ada kamus bahasa daerah yang lengkap. Pembuatan kamus dapat pula dipandang sebagai bentuk pelestarian bahasa, menggambarkan sejarah kata, serta memberi gambaran perbandingan antarbahasa di setiap daerah. Untuk itu, perlu dilakukan penyusunan kamus bahasa daerah yang lengkap dan dapat diakses oleh masyarakat.

(12) Sebagai negara dengan jumlah bahasa daerah terbanyak kedua di dunia, data keberadaan bahasa daerah di Indonesia belum akurat. Oleh karena itu, diperlukan program inventarisasi dan dokumentasi bahasa daerah untuk mengetahui keberadaan bahasa daerah, baik yang masih hidup, yang terancam punah, maupun yang sudah punah. Sebagian data tersebut dapat dikumpulkan dari sensus kependudukan lewat pertanyaan tentang bahasa yang dikuasai oleh responden secara lisan atau tertulis.

(13) Sejalan dengan upaya-upaya terhadap perlindungan bahasa daerah, perlu pula dilakukan upaya-upaya khusus di dalam perlindungan, pengembangan, dan penyebarluasan aksara daerah.

(14) Optimalisasi penggunaan teknologi informasi untuk pembelajaran, pendidikan, dan penyebarluasan bahasa daerah.

Page 62: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

56 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

PenutupCatatan penutup makalah terakhir Djunaidi (2004) yang disampaikan dalam Pekan Kebudayaan Aceh IV; sebelum beliau tutup usia pada 12 tahun yang lalu dalam prahara tsunami (allahummaghfirlahu...) masih sangat urgen untuk kita renungi bersama saat ini. Apakah kita, khususnya para pemangku kebijakan, sudah menindaklanjuti pesan-pesan terakhir beliau terakait dengan tindakan nyata yang harus kita lakukan dalam pembinaan dan pengembahanan bahasa, khususnya bahasa ibu, BA?

Globalisasi sering sekali digunakan sebagai benteng untuk membenarkan bahasa dan sastra daerah berada pada posisi subordinasi di dalam masyarakat pemakainya. Hal itu, terutama dikaitkan dengan ketidakberdayaan bahasa dan sastra daerah untuk mengimbangi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya modern. Jika keadaan demikian, yang memang tidak perlu dihindari, tidak diimbangi dengan kebijakan melestarikan bahasa dan sastra daerah melalui perencanaan sosial, status, dan korpus bahasa, bahasa dan sastra daerah pada suatu saat akan punah. Dalam lingkup Aceh, beberapa tindakan yang dapat dilakukan pada saat ini adalah (a) perlu ada sebuah kanun tentang kebijakan (policy) bahasa dan sastra daerah agar semua pihak terikat untuk melaksanakan kebijakan tersebut; (b) Balai Bahasa Banda Aceh, yang merupakan organisasi profesional milik Pemerintah di tingkat provinsi, diberi wewenang terus-menerus untuk bersama-sama dengan Pemerintah Daerah membina dan mengembangkan bahasa dan sastra daerah; (c) perlu disediakan di tingkat provinsi sebuah perpustakaan yang modern dan canggih yang memberikan informasi tentang bahasa, sastra, dan budaya daerah; (d) Pemerintah Daerah dan masyarakat perlu terus memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah berjasa melahirkan karya besar dalam bidang bahasa atau sastra daerah; (e) Pemerintah Daerah perlu menggalang kerja sama yang lebih terarah dan terencana dengan perguruan tinggi, lembaga penelitian, Balai Bahasa, organisasi profesi (Masyarakat Linguistik Indonesia dan/atau Himpunan Pembina Bahasa Indonesia), dan instansi terkait lain dalam membina dan mengembangkan bahasa dan sastra daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Teuku dkk. 2008. “Pemilihan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Pertama Anak dalam Keluarga Masyarakat Aceh Penutur BA di Nanggroe Aceh Darussalam”. Laporan Penelitian Fundamental Dikti Tahum 2008.

Azwardi. 2013. “Penggolong Boh dalam BA”. Makalah dalam Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia MPBSI PPs Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh.

Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University Press.

Daud, Bukhari. 2004. “Bahasa dan Sastra Aceh Milik Siapa”. Makalah dalam Pekan Kebudayaan Aceh IV di Banda Aceh.

Djunaidi, Abdul. 2004. “Revitalisasi Bahasa-Bahasa Daerah di Aceh”. Makalah dalam Pekan Kebudayaan Aceh IV di Banda Aceh.

Idham, Muhammad dan Azwardi. 2007. “Analisis Kesalahan Penulisan BA pada Media Luar Ruang di Kota Banda Aceh”. Laporan Penelitian Dikti Tahu 2007.

Page 63: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

57Upaya Pemertahanan Bahasa... oleh Azwardi

Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik: Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Kesain Blanc.

Subhayni, dan Azwardi. 2008. “Analisis Kesalahan Penulisan BA dalam Teks Syair Lagu Aceh pada Video Compact Disc Lagu Aceh”. Laporan Penelitian Dikti Tahu 2007.

Page 64: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

58 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Page 65: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

59Idiom Bahasa... oleh Rajab Bahry dan Mutia

IDIOM BAHASA ALAS

olehRajab Bahry dan Mutia

Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk, jenis, dan makna idiom dalam bahasa Alas. Sumber data penelitian ini adalah ujaran masyarakat penutur asli bahasa Alas yang yang berdomisili di daerah Kecamatan Semadam, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh. Data tersebut berbentuk data lisan. Penelitian ini mengunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik simak, teknik sadap, teknik catat, dan teknik introspektif. Teknik analisis data dilakukan dengan empat tahap, yaitu: (1) menyeleksi data, (2) mengklasifikasi data, (3) menganalisis data, dan (4) membuat simpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk idiom dalam bahasa Alas ada dua bentuk, yaitu idiom penuh dan idiom sebagian. Jenis idiom dalam bahasa Alas ditemukan 5 jenis, antara lain: (1) idiom dengan bagian tubuh, yaitu yang berkenaan dengan (a) bagian kepala, (b) bagian telinga, (c) bagian mata, (d) bagian mulut, (e) bagian bibir, (f) bagian lidah, (g) bagian darah, (h) bagian hati, (i) bagian perut, dan (j) bagian tangan, (2) idiom dengan nama binatang, yaitu yang berkenaan dengan (a) lintah, (b) tungau, (c) ayam, (d) anjing, (e) kancil, dan (f) kucing, (3) idiom dengan bagian tumbuh-tumbuhan, (4) idiom dengan nama benda-benda alam, yaitu yang berkenaan dengan (a) air, (b) angin, (c) gunung, dan (4) bumi, dan (5) idiom dengan kata bilangan. Makna idiom dalam bahasa Alas bermakna idiomatik.

Kata kunci : idiom, bahasa Alas, bahasa Indonesia

PendahuluaanBahasa merupakan salah satu sarana komunikasi yang sangat penting bagi manusia karena bahasa merupakan simbol yang mencerminkan jiwa dan keberadaan manusia dalam masyarakat. Selain itu, dengan adanya bahasa sebagai alat komunikasi, maka semua yang ada di sekitar manusia seperti peristiwa-peristiwa, binatang-binatang, tumbuh-tumbuhan, hasil cipta karya manusia dan sebagainya mendapat tanggapan dalam pikiran manusia, kemudian disusun dan diungkapkan kembali kepada orang lain sebagai bahan komunikasi. Dengan hal tersebutlah manusia saling berhubungan satu sama lain.

Page 66: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

60 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Bahasa sebagai sarana komunikasi bagi manusia membuat kedudukannya menjadi sangat penting dalam suatu masyarakat. Karena bahasa satu-satunya milik manusia yang tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia dan akan selalu ada dalam segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang manusia itu sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Dengan kata lain tidak ada satupun kegiatan manusia itu yang tidak disertai dengan bahasa.

Indonesia merupakan salah satu negara yang terkenal dengan keanekaragaman bahasanya, yaitu bahasa daerah. Masyarakat Indonesia selain berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bangsa Indonesia juga menggunakan bahasa daerah untuk berkomunikasi dengan masyarakat setempat. Tujuan penggunaan bahasa daerah ini untuk menjaga bahasa daerah tersebut agar tidak punah dan tetap digunakan secara turun temurun oleh masyarakat tersebut. Selain hal tersebut, bahasa daerah juga berperan penting dalam kebudayaan daerah Indonesia dan merupakan salah satu pendukung bahasa Indonesia. Pengembangan bahasa daerah sangat diperlukan agar bahasa tersebut tidak hilang. Perlunya pengembangan dan pemeliharaan bahasa daerah tercantum dalam pasal 36 UUD 1945 (dalam Depdiknas, 2000:10) menyatakan bahwa bahasa daerah yang dipelihara dengan baik oleh penuturnya akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara karena bahasa daerah tersebut merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.

Salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki ragam bahasa daerah adalah Aceh. Aceh memiliki bahasa daerah yang berbeda-beda hampir disetiap kabupaten yang terdapat di Aceh. Salah satunya di Kabupaten Aceh Tenggara yang masyarakatnya menggunakan bahasa Alas sebagai bahasa daerah di sana. Bahasa Alas ini, sebuah bahasa yang tergolong dalam kelompok bahasa Batak Utara bersama dengan bahasa Karo, Pakpak, dan Singkil. Bahasa ini digunakan dan dipelihara dengan baik oleh masyarakat penutur bahasa Alas yang mendiami daerah Kabupaten Aceh Tenggara. Selain itu, bahasa Alas ini juga digunakan sebagai alat komunikasi antaranggota keluarga dan antaranggota masyarakat penduduk setempat untuk mempererat tali silaturrahmi.

Kemudian, dalam berkomunikasi, masyarakat di sana sering menggunakan idiom untuk menyampaikan suatu maksud dengan arti kiasan yang mengandung suatu pengertian. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mereka dalam berkomunikasi dan juga tidak menyinggung langsung perasaan yang mendengarnya. Selain itu, tujuan penggunaan tersebut juga sengaja dilakukan untuk menyatakan suatu maksud dengan cara tidak langsung kepada lawan bicaranya. Pernyataan tersebut dilakukan hanya dengan menyatakan di luar konteks kata yang lebih mudah dicerna dan dimengerti oleh si pendengar tanpa adanya kesalahan persepsi antara penutur dan petutur. Oleh karena itu, masyarakat sudah paham jika mendengar hal-hal tersebut dan tahu maksud dari apa yang hendak dikatakan oleh si penutur, dalam artian makna dari idiom tersebut tersampaikan kepada pendengarnya.

Sehubungan dengan makna idiom, dikatakan bahwa Idiom termasuk dalam kajian ilmu semantik yaitu suatu ilmu yang mengkaji tentang makna. Yang mana Idiom tidak dapat diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa lain. Menurut Moeliono (dalam Muhibbuddin, 2005:11) idiom adalah ungkapan bahasa yang artinya tidak secara langsung dapat dijabarkan dari unsur-unsurnya. Makna idiom tidak dapat diketahui dari makna-makna kata yang membentuknya sehinggal terbentuklah makna baru dari idiom tersebut.

Page 67: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

61Idiom Bahasa... oleh Rajab Bahry dan Mutia

Namun dewasa ini, masyarakat sudah jarang menggunakan idiom untuk menyampaikan maksudnya dalam berbicara, bahkan masyarakat di Aceh Tenggara sudah jarang menggunakan bahasa Alas sebagai alat komunikasi mereka, terutama generasi-generasi muda yang sudah jarang didapati menggunakan bahasa Alas ketika berkomunikasi. Mereka lebih senang menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunukasi dengan sesama mereka. Jika hal tersebut dibiarkan, bahasa yang menjadi warisan nenek moyang kita akan hilang secara perlahan-lahan karena sudah jarang digunakan dan secara tidak sengaja ungkapan atau idiom dalam bahasa Alas juga akan turut hilang dan tidak digunakan lagi oleh pemakainya. Hal ini tidak baik bagi perkembangan bahasa daerah, karena akan membuat bahasa tersebut punah dan hilangnya jati diri dari daerah tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, hal yang menjadi dasar penelitian ini dilakukan pertama, karena idiom menarik untuk dikaji. Dibalik kata-kata yang menyusunnya terdapat makna-makna yang tidak sama dengan kata yang membentuknya sehingga menghasilkan sebuah makna baru. Kedua, penelitian mengenai idiom dalam bahasa Alas, sepengetahuan penulis belum pernah dilakuan sebelumnya. Peneliti ingin melihat bagaimana bentuk, jenis idiom dalam bahasa Alas dan bagaimana makna idiom tersebut. Meskipun penelitian tentang idiom sudah pernah dilakukan sebelumnya, namun dalam bahasa Alas belum pernah dilakukan sebelumnya.

Metode PenelitianPenelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Penggunaan pendekatan penelitian kualitatif karena penelitian ini fokusnya pada penunjukan makna, deskripsi, penjernihan, dan penempatan data pada konteksnya masing-masing dan sering kali melukiskannya dalam bentuk kata-kata daripada dalam angka (Mahsun, 2005:233). Penggunaan metode deskriptif karena metode ini meneliti suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, atau sesuatu yang terjadi pada masa sekarang (Nazir, 2005:54).

Sumber DataSumber data penelitian ini adalah ujaran masyarakat penutur asli bahasa Alas yang berdomisili di daerah Kecamatan Semadam, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh. Data penelitian diperoleh pada saat informan-informan berada disebuah perkumpulan bersama masyarakat. Jumlah informan dalam penelitian ini berjumlah empat orang.

Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simak, teknik sadap, dan teknik catat (Mahsun, 2005:126). Selain itu, penelitian ini juga menggunakan teknik introspektif. Teknik introspektif ini digunakan peneliti untuk menyediakan data yaang diperlukan dan memeriksa data ke dalam diri berdasarkan intuisi kebahasaan peneliti. Metode ini digunakan karena peneliti merupakan penutur asli bahasa yang diteliti.

Teknik Analisis DataData yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis. Data dianalisis menggunakan teknik analisis kualitatif. Menurut Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2007:248) analisis data kualitatif dilakukan dengan mengorganisasi data, memilah-milahnya menjadi satuan

Page 68: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

62 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

yang dapat dikelola, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, serta memutuskan apa yang akan diceritakan pada orang lain.

Hasil PenelitianBentuk Idiom dalam Bahasa AlasIdiom PenuhIdiom penuh adalah idiom yang maknanya sama sekali tidak tergambarkan lagi dari unsur-unsur yang membentuknya (Chaer, 2009:75). Unsur-unsur yang membentuknya merupakan satu kesatuan makna. Artinya, makna yang terdapat pada idiom tersebut merupakan makna baru. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh bentuk idiom dalam bahasa Alas sebagaimana terlihat dalam tabel berikut.

Tabel 1.1 Idiom Penuh dalam Bahasa AlasNo. Idiom Arti Per Gloss Makna 1. penambung gegoh penyambung tenaga menantu yang diharapkan2. buah lembaRe buah hati anak3. nangkih tuRun naik turun peminta-minta4. datang ate sampai hati tega5. pedang due mate pedang dua mata tak jujur6. mbalik be pudi mundur ke belakang bangkrut7. mekubang babah berlumpur mulut makan gratis8. mbelin takal besar kepala sombong9. gedang igung panjang hidung mencari kesalahan orang10. megedang uRat takal panjang urat kepala banyak akal11. sembeke mate sebelah mata memandang rendah12. bogoh ate dingin hati tenang13. mate ncagen mata tajam peracun14. cuping belang telinga lebar pembawa gosip15. medaRoh babah berdarah mulut segan untuk berbicara16. bibiR nipis bibir tipis cerewet17. gedang dilah panjang lidah suka mengadu18. daRoh daging darah daging anak kandung19. medaRoh mate berdarah mata berduka cita20. si bage ate yang macam hati kekasih21. setengah ate setengah hati tidak bersungguh-sungguh22. lekuh tiwen lelah lutut capek23. mbelin ate besar hati lapang dada24. gedang tangan panjang tangan pencuri25. mekubang tangan berlumpur tangan kerja26. tangan datas tangan di atas pemberi27. hangat ate panas hati marah28. mbelin tuke besar perut korupsi29. jaRi telunjuk jari telunjuk suka memerintah

Page 69: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

63Idiom Bahasa... oleh Rajab Bahry dan Mutia

30. jaRi manis jari manis tempat mengadu31. gedang langkah panjang langkah perantau32. tangan teRuh tangan di bawah peminta33. mate keRanjang mata keranjang suka main perempuan34. ngadungken diRi membuangkan diri tidak tahu malu35. macik ate busuk hati iri36. mate sembeke mata sebelah tidak dilihat37. mekong isang keras dagu bandel38. pegawe dunie pegawai dunia penjahat39. blek longgang kaleng kosong bodoh40. luaR mengket keluar masuk tidak betah sekolah41. lintah daRat lintah darat pemeras42. nikusiken tungeR dibisikkan tungau penyampai kabar43. biang pebuRu anjing pemburu mata-mata44. akal paes akal kelinci licik45. kucing belang kucing belang wanita piaraan46. kelaRe gantung anyaman daun kelapa

gantungorang kurus

47. Rumbiye tunggal rumbia tunggal anak satu banyak tingkah48. buah ate buah hati anak49. buah tangan buah tangan oleh-oleh50. kayu Rampak pohon rimbun tempat meminta bantuan51. kuRang acem kurang asam berbicara sembarangan52. salah bibit salah benih anak diluar nikah53. dedoh buluh

sembekememijak bambu sebelah berat sebelah

54. lawe monang air tenang hati seseorang tidak bisa diduga

55. ngeletoki lawe mengeruhi air membuat ricuh56. tatapan deleng menatap gunung cantik menipu57. namuR bagasi air tenang lagi dalam gudang ilmu58. nengkah lawe bacok air akur kembali59. mebadan due berbadan dua hamil60. bubung lime bubung lima rumah besar61. peR enem belas per enam belas bicara yang membuat dia

didenda62. lot saRi lot bongi ada siang ada malam susah senang silih berganti63. tandaine cawane kenalinya cawannya tahu diri64. langkah kemuhun langkah kanan mendapat rezeki 65. lancaR bahase Alas lancar bahasa Alas laku 66. meRok lawe alu memeras alu hidup melarat67. maceken nakan bacakan nasi kirim doa68. sambat langkah sambung langkah menggantikan orang pergi

Page 70: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

64 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

69. mido hukum meminta hukum ingin menikah70. gile meRante gila berantai sejenis penyakit yang

menyebabkan orang lain ikut

71. bage pokas seperti petir berbicara dengan suara keras

72. langkah kiRi langkah kiri tidak beruntung73. bage senteR seperti senter orang yang suka menasihati

orang lain sementara dirinya sendiri kurang nasihat

74. mbaRu mbelin baru besar belum berpengalaman

(1) penambung gegohpenyambung tenaga‘menantu yang diharapkan’

Idiom (1) bermakna seorang menantu yang diharapkan. Makna penambung dan gegoh tidak dapat menjelaskan makna penambung gegoh yaitu ‘menantu yang diharapkan’. Makna dari tiap unsur tersebut sudah melebur menjadi satu dan menjadi keseluruhan makna dari idiom tersebut. Data (1) ini merupakan bentuk idiom penuh, seperti yang sudah dijelaskan di atas, sebab makna penambung gegoh ‘penyambung tenaga’ sudah tidak tergambarkan lagi dari unsur yang membentuknya. Idiom ini sering dikatakan oleh seorang ibu/ayah mertua kepada menantunya yang bisa diharapkan untuk membantu dan menjaganya di masa tua. Kemudian, muncullah idiom bahasa Alas ini yang berbunyi penambung gegoh ‘penyambung tenaga’ yang bermakna ‘menantu yang diharapkan’. Jika salah satu unsur idiom tersebut diganti dengan unsur pembentuk lain, idiom tersebut menjadi tidak berterima. Perhatikan pemakaian idiom tersebut pada kalimat berikut ini!

Iyo-me hambin penambung gegoh-ku pagi.3 -Par. cuma penyambung tenaga 1 besok‘Hanya dia yang bisa aku harapkan untuk membantu dan menjagaku ketika tua nanti.’

(2) buah lembaRebuah hati‘anak’

Makna unsur pembentuk idiom (2) sudah melebur menjadi satu kesatuan sehingga makna yang ada dalam idiom tersebut berasal dari makna seluruh kesatuan unsur pembentuknya. Idiom (2) ini merupakan bentuk idiom penuh, sebab buah dan lembaRe tidak dapat digunakan untuk menjelaskan makna buah lembaRe ‘buah hati’ yaitu ‘anak’ seperti yang sudah dijelaskan di atas. Idiom ini tidak akan berterima jika salah satu unsur pembentuknya diganti dengan unsur lain. Idiom ini sering digunakan untuk sebutan anak tunggal atau untuk satu-satunya anak perempuan atau satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga itu. Perhatikan pemakaian idiom tersebut pada kalimat berikut ini!

Mutia edi buah lembaRe ame Rut uan -ne edi.mutia itu buah hati mamak sama bapak –Enk. itu‘Mutia anak ibu dan ayahnya.’

Page 71: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

65Idiom Bahasa... oleh Rajab Bahry dan Mutia

(3) nangkih tuRunnaik turun‘pengemis’

Idiom (3) bermakna seorang pengemis. Idiom (3) ini merupakan bentuk idiom penuh, sebab makna nangkih dan tuRun tidak dapat digunakan untuk menjelaskan makna nangkih tuRun ‘naik turun’ yaitu ‘pengemis’. Secara gramatikal nangkih tuRun ‘naik turun’, jika dipisahkan menjadi ‘naik’ bermakna bergerak ke atas atau ke tempat yang lebih tinggi dan ‘turun’ bermakna bergerak ke bawah atau ke tempat yang lebih rendah. Makna dari tiap unsur tersebut sudah melebur menjadi satu dan menjadi keseluruhan makna dari idiom tersebut. Hal ini menjelaskan bahwa ‘naik turun’ yang bermakna ‘pengemis’ jelas tidak ada kaitannya lagi dengan makna sebenarnya. Idiom ini ditujukan kepada peminta-minta atau pengemis yang selalu datang ke setiap rumah dengan membawa kantong kresek atau goni beras yang digunakan sebagai tempat untuk hasil yang mereka dapatkan. Nangkih tuRun ‘naik turun’ dianggap sama halnya dengan pengemis yang kerjanya datang dan pergi ke setiap pintu rumah untuk meminta sedikit beras atau uang dari pemilik rumah. Perhatikan pemakaian idiom tersebut pada kalimat berikut ini!

Pepelin nangkih tuRun ki-dah iye, mange ise pe me- Re kadang.asik naik turun 1 nampak 3, Asp. siapa Par. Pref. beri mungkin‘Dari tadi dia meminta-minta tetapi belum ada yang memberi.’

(4) datang atesampai hati‘tega’

Makna unsur pembentuk idiom (4) sudah melebur menjadi satu kesatuan sehingga makna yang ada dalam idiom tersebut berasal dari makna seluruh kesatuan unsur pembentuknya. Idiom (4) ini merupakan bentuk idiom penuh, sebab makna datang dan ate tidak dapat digunakan untuk menjelaskan makna datang ate ‘sampai hati’ yaitu ‘tega’. Secara gramatikal makna ‘sampai hati’ adalah hatinya sudah sampai, tetapi di sini makna yang dimaksud adalah ‘tega’ yang sudah tidak kaitannya lagi dengan unsur-unsurnya. Idiom ini digunakan untuk orang yang tidak menaruh belas kasihan atau tidak merasa sayang kepada orang lain. perhatikan pemakaian idiom tersebut pada kalimat berikut ini!

Datang-ne ate –mu bang-ku.sampai –Enk. hati 2 Prep. 1‘Tega sekali kamu kepadaku.’

(5) pedang due matepedang dua mata‘tak jujur’

Makna tiap kata yang membentuk idiom (5) sudah melebur menjadi satu kesatuan sehingga makna yang ada dalam idiom tersebut berasal dari makna seluruh kesatuan unsur pembentuknya. Idiom (5) ini merupakan bentuk idiom penuh, sebab makna pedang, due, dan mate tidak dapat menjelaskan makna dari pedang due mate ‘pedang dua mata’ yaitu ‘tak jujur’. Idiom ini akan menjadi tidak berterima apabila salah satu unsur pembentuknya diganti dengan unsur lain. Idiom ini digunakan kepada orang yang suka

Page 72: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

66 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

berbohong, apabila di depan lain yang dikatakannya, dan apabila di belakang juga lain yang dikatakannya sehingga membuat dia dibenci oleh orang. Perhatikan pemakaian idiom tersebut pada kalimat berikut ini!

Ulang bage pedang due mate, malot get ate kalak ngato -ne.jangan seperti pedang dua mata, Neg. suka hati orang melihat-Enk.‘Janganlah tidak jujur, di sana bicara lain di sini bicara lain, tidak suka orang melihatnya.’

Idiom SebagianIdiom sebagian adalah idiom yang maknanya masih tergambarkan dari salah satu unsur pembentuknya (Sudaryanto, 2008:80). Maksudnya adalah salah satu unsur pembentuknya masih tetap memiliki makna leksikal sendiri. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data sebagaimana terlihat dalam tabel berikut.

Tabel 1.2 Idiom Sebagian dalam Bahasa AlasNo. Idiom Arti Per Gloss Makna 75. ngelawan aRus melawan arus melawan aturan 76. anak angge anak angkat anak yang ditunjuk oleh orang

lain untuk dijadikan anak77. salah bene salah pangkal salah didikan78. daun tedoh obat rindu penawar rindu79. umuR gedang umur panjang sudah lama hidup tidak ada

ilmu80. kawin ndak meadat kawin tidak beradat kawin lari81. melayah lake lemah gemulai berjalan dengan sangat lemah

seperti tidak bertenaga82. tingkat lime tingkat lima rumah bertingkat lima83. tawaR ate tawar hati penyejuk hati84. mele kuduk malu belakang malu tapi mau85. melanteken bumi berlantaikan bumi lantai tanah86. singgah mate singgah mata memandang sebentar87. kabaR angin kabar angin kabar belum pasti88. sebudi sepakat sebudi sepakat seia sekata89. medem manuk tidur ayam tidur tapi tidak lelap90. tedoh ate rindu hati ingin jumpa91. manis ni bibiR manis di bibir bicara hanya di bibir tidak dari

hati92 sebuah ate satu hati satu prinsip93. ndak pilih kasih tidak pilih kasih tidak membeda-bedakan

(75) ngelawan aRusmelawan arus‘melawan aturan’

Idiom (75) bermakna seseorang yang melawan aturan. Idiom (10) ini merupakan bentuk idiom sebagian, sebab salah satu unsur pembentuknya yaitu ngelawan

Page 73: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

67Idiom Bahasa... oleh Rajab Bahry dan Mutia

‘melawan’ masih tetap bermakna melawan. Salah satu unsurnya yang lain sudah melebur menjadi makna lainnya, yaitu aRus yang sudah tidak lagi bermakna ‘arus’ namun sudah berubah maknanya menjadi ‘aturan’. Idiom ini ditujukan kepada seorang anak yang suka membangkang terhadap orang tuanya. Seorang anak yang tidak menurut, tidak mendengarkan kata orang tua, seperti halnya melawan arus air laut. Arus air laut jika kita ikuti, kita akan terbawa oleh ombaknya, tetapi jika dilawan membuat badan sakit karena terpukul ombaknya. Begitulah yang dirasakan orang tua juga. jika kita tidak menuruti perkataannya. Masyarakat Alas mengibaratkan ngelawan aRus ‘melawan arus’ sama dengan ‘melawan aturan’. Perhatikan pemakaian idiom tersebut pada kalimat berikut ini!

Kune kin ngelawan aRus-ne kau.bagaimana melawan arus -Enk. 2‘Melawan aturan sekali kamu dikasih tau.’

(76) anak anggeanak angkat‘anak yang ditunjuk oleh orang lain untuk menjadi anak pasangan yang baru menikah’

Sebagian makna unsur pembentuk idiom (76) masih berada dalam makna leksikalnya, yaitu anak ‘anak’. Salah satu unsurnya yang lain sudah melebur menjadi makna lainnya, yaitu angge yang tidak lagi bermakna ‘angkat’ namun sudah berubah maknanya menjadi ‘ditunjuk oleh orang lain untuk menjadi anak pasangan yang baru menikah’. Idiom (76) merupakan bentuk idiom sebagian, sebab idiom anak angge ‘anak angkat’ yang bermakna ‘anak yang ditunjuk oleh orang lain untuk menjadi anak pasangan yang baru menikah’ maknanya masih tergambarkan lagi dari salah satu unsur pembentuknya, yaitu pada kata anak ‘anak’ seperti yang sudah dijelaskan di atas. Idiom ini ditujukan kepada seorang anak remaja atau yang sudah dewasa untuk menjadi anak pasangan yagn baru menikah. Dalam hal ini, masyarakat alas mempunyai adat istiadat yang masih sangat kental hingga saat ini, salah satunya adalah mengenai anak angge ‘anak angkat’ ini. Masyarakat alas mempunyai tradisi, bagi mereka yang baru menikah atau yang baru menjadi pengantin baru akan ditunjukkan kepada mereka seorang anak remaja atau sudah beranjak dewasa. anak tersebut nantinya akan menjadi anak daripada pengantin baru tersebut. Jadi, anak angge ‘anak angkat’ dalam masyarakat alas, bukanlah anak yang diambil atau diadopsi dari panti asuhan atau saudara karena mereka sudah lama menikah dan belum mempunyai anak dengan tujuan untuk pancingan agar mereka segera memiliki anak, tetapi dalam masyarakat alas anak angge ‘anak angkat’ adalah anak yang ditunjuk oleh orang lain untuk menjadi anak sepasang pengantin baru, dan juga kebanyakan anak yang ditunjukkan sudah remaja atau sudah dewasa. Hal ini dilakukan sebagai tradisi dalam masyarakat alas. Jelas bahwa idiom dari anak angge ‘anak angkat’ maknanya masih tergambarkan dari salah satu unsurnya. Perhatikan pemakaian idiom tersebut pada kalimat berikut ini!

Ise anak angge Arif Rut Tuti?siapa anak angkat arif dan tuti‘Siapa yang diangkat menjadi anak Arif dan Tuti?’

Page 74: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

68 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

(77) salah benesalah pangkal‘salah didikan’

Idiom (77) tersebut salah satu unsurnya masih berada dalam makna leksikalnya yaitu kata salah ‘salah’. Namun, unsur pembentuk yang lainnya sudah berbeda dari makna sebenarnya yaitu bene ‘pangkal’, maknanya berubah menjadi ‘didikan’. Data (77) merupakan bentuk idiom sebagian, sebab idiom tersebut maknanya masih tergambarkan lagi dari salah satu unsur pembentuknya, seperti yang sudah dijelaskan di atas. Dalam bahasa Alas idiom ini digunakan untuk seorang anak yang dari kecil tidak diajarkan hal-hal yang baik kepadanya sehingga saat remaja atau dewasa dia memiliki perilaku yang kurang baik. Hal ini pula yang membuat idiom ini muncul dengan istilah salah bene ‘salah pangkal’ yang bermakna salah didik. Perhatikan pemakaian idiom tersebut pada kalimat berikut ini!

Enggo salah naRi bene -ne.Asp. salah Prep. pangkal-Enk.‘Dari awal sudah salah didikan.’

(78) daun tedohobat rindu‘penawar rindu’

Idiom (78) tersebut termasuk ke dalam bentuk idiom sebagian, sebab salah satu unsur pembentuknya yaitu kata tedoh tetap bermakna ‘rindu’, dan salah satu unsur lainnya sudah melebur menjadi makna lain, yaitu daun ‘obat’ yang berubah makna menjadi ‘penawar’. Idiom daun tedoh ‘obat rindu’ yang bermakna ‘penawar rindu’ ini diucapkan oleh seseorang kepada orang yang dirindukannya dengan maksud bahwa dialah yang menjadi penawar terhadap rindu yang dirasakannya tersebut. Perhatikan pemakaian idiom tersebut pada kalimat berikut ini!

Iye-me hamin daun tedoh-ku.3 -Par. cuma obat rindu 1‘Hanya dia penawar rinduku.’

PembahasanPenelitian mengenai idiom dalam bahasa Alas ini mengangkat mengenai tiga permasalahan, yaitu bentuk idiom, jenis idiom, dan makna idiom dalam bahasa Alas. Bentuk idiom dalam bahasa alas ada dua macam bentuk, yaitu bentuk idiom penuh dan bentuk idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan. Makna idiom tersebut tidak tergambarkan lagi dari unsur-unsur pembentuknya. Idiom sebagian adalah idiom yang maknanya masih tergambarkan lagi dari salah satu unsur pembentuknya. Bentuk idiom dalam bahasa Alas ini, sama halnya dengan bentuk idiom yang ada dalam bahasa Indonesia.

Bentuk idiom penuh yang ditemukan dalam bahasa Alas ada 74 idiom. Contoh idiom penuh dalam bahasa Alas diantaranya, pedang due mate ‘pedang dua mata’ yang bermakna ‘orang yang tak jujur’. Idiom tersebut ditujukan kepada orang yang di depan berbicara lain, di belakang berkata lain lagi. Idiom tersebut juga terdapat dalam bahasa Indonesia, bahkan dalam bahasa Indonesia ada beberapa idiom lain yang memiliki makna yang sama dengan idiom yang dimaksud di atas, yaitu idiom bermuka dua dan

Page 75: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

69Idiom Bahasa... oleh Rajab Bahry dan Mutia

ular kepala dua memiliki makna yang sama dengan idiom pedang due mate ‘pedang dua mata’ yang terdapat dalam bahasa Alas. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa terdapat idiom dalam bahasa Indonesia yang berbeda tetapi maknanya sama dengan idiom yang ada dalam bahasa Alas. Artinya, dari contoh idiom yang disebutkan di atas dalam bahasa Alas, di dalam bahasa Indonesia ada beberapa idiom yang menyatakan maksud yang sama dengan makna idiom tersebut.

Selanjutnya, idiom langkah kemuhun ‘langkah kanan’ yang bermakna ‘mendapat rezeki’. Idiom tersebut juga ada dalam bahasa Indonesia, yaitu langkah kanan juga bermakna ‘mendapat rezeki’. Idiom langkah kemuhun ‘langkah kanan’ memang terdapat juga dalam bahasa Indonesia, tetapi makna yang dimaksud dalam idiom bahasa Alas lebih khusus, yaitu nasib baik seseorang, misalnya orang datang ketiika si pemilik rumah sedang makan dan secara tidak sengaja orang tersebut mendapat rezeki karena ikut makan bersama-sama dengan pemilik rumah tersebut. Dalam idiom bahasa Indonesia, langkah kanan dimaknakan ‘mendapat rezeki’ tanpa ada kekhususan makna dalam idiom tersebut. Berdasarkan contoh idiom tersebut dapat dikatakan bahwa idiom dalam bahasa Alas dan bahasa Indonesia mempunyai idiom yang sama dan makna yang hampir sama.

Bentuk idiom sebagian yang ditemukan dalam bahasa Alas ada 19 idiom. Dari 19 idiom tersebut, ada idiom yang tidak ada dalam bahasa Indonesia, misalnya idiom anak angge ‘anak angkat’. Idiom anak angge ‘anak angkat’ merupakan bentuk idiom sebagian, karena kata ‘anak’ maknanya masih tetap melekat pada idiom tersebut. Idiom anak angge ‘anak angkat’ ini memiliki makna yang berbeda dengan idiom bahasa Indonesia yang bermakna ‘anak yang diadopsi’ dengan tujuan pancingan untuk memiliki anak. Anak angge ‘anak angkat’ pada masyarakat Alas, berarti seorang anak yang ditunjuk oleh orang lain untuk menjadi anak kepada pasangan pengantin baru. Biasanya, anak tersebut sudah remaja atau dewasa. Tujuan penunjukkan anak tersebut bukan sebagai pancingan untuk memiliki anak, tetapi lebih kepada tradisi yang sudah diterapkan oleh masyarakat Alas. Berdasarkan contoh idiom di atas, dapat dikatakan bahwa ada idiom dalam bahasa Alas tetapi tidak terdapat dalam bahasa Indonesia.

Selanjutnya, idiom umuR gedang ‘umur panjang’. Idiom umuR gedang ini juga ada dalam bahasa Indonesia dengan bentuk yang sama juga, akan tetapi dalam bahasa Alas idiom ini bermakna ‘orang yang sudah lama hidup tetapi tidak memiliki ilmu’, sedangkan dalam bahasa Indonesia idiom tersebut bermakna ‘orang yang sudah lama hidup’ saja. Hal ini menunjukkan bahwa idiom dalam bahasa Alas memiliki idiom yang sama dan maknanya hampir sama dengan idiom yang ada dalam bahasa Indonesia.

Jenis idiom dalam bahasa indonesia dikelompokkan menjadi enam jenis, yaitu (1) idiom dengan bagian tubuh, (2) idiom dengan nama warna, (3) idiom dengan nama binatang, (4) idiom dengan bagian tumbuh-tumbuhan, (5) idiom dengan nama benda-benda alam, dan (6) idiom dengan kata bilangan (Sudaryat, 2009:81). Dalam bahasa Alas hanya dijumpai 5 jenis idiom, yaitu (1) idiom dengan bagian tubuh, (2) idiom dengan nama binatang, (3) idiom dengan bagian tumbuh-tumbuhan, (4) idiom dengan nama benda-benda alam, dan (5) idiom dengan kata bilangan. Jenis idiom dengan bagian tubuh dalam bahasa Alas ditemukan 42 idiom yang berkenaan dengan (a) bagian kepala, (b) bagian mata, (c) bagian telinga, (d) bagian mulut, (e) bagian bibir, (f) bagian lidah, (g) bagian darah, (h) bagian hati, (i) bagian perut, dan (j) bagian tangan. Selanjutnya, dalam bahasa Alas ditemukan jenis idiom dengan nama binatang ada 6 yang berkenaan dengan (a)

Page 76: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

70 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

lintah, (b) tungau, (c) ayam, (d) anjing, (e) kancil, dan (f) kucing. Kemudian, jenis idiom dengan bagian tumbuh-tumbuhan hanya ditemukan 9 idiom saja. Seterusnya, jenis idiom dengan nama benda-benda alam ditemukan 7 idiom. Masing-masing berkenaan dengan (1) air, (2) angin, (3) gunung, dan (4) bumi. Terakhir, jenis idiom dengan kata bilangan hanya dijumpai 5 idiom saja. Ada jenis idiom dalam bahasa Indonesia, yaitu idiom dengan nama warna tidak ditemukan pada idiom bahasa Alas. Hal ini menunjukkan bahwa idiom bahasa Indonesia dan idiom bahasa Alas, selain memiliki kesamaan juga memiliki perbedaan antara keduanya, yaitu dalam bahasa Indonesia ditemukan jenis idiom dengan nama warna, sedangkan idiom dalam bahasa Alas tidak ada.

Bagian terakhir dibahas mengenai makna idiomatik dalam bahasa Alas. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukan makna idiomatik atau idiomatikal dalam bahasa Alas, misalnya idiom peR enem belas ‘per enam belas’ yang bermakna ‘bicara yang membuatnya didenda’. Idiom ini ditujukan kepada orang yang setiap pembicaraan yang keluar dari mulutnya belum tentu kebenarannya sehingga orang tersebut dikenakan sanksi adat. Hal ini terjadi karena perkataan yang diucapkannya membuat orang sakit hati atas apa yang diucapkannya tersebut sehingga orang yang merasa seperti itu yang dituduh meminta untuk dikenakan sanksi adat terhadap orang yang mengatakan hal tersebut. Jika perkataannya tidak terbukti, orang yang mengatakan itu harus membayar denda atas apa yang telah diucapkannya tersebut. Idiom tersebut bermakna idiomatik atau idiomatikal karena makna leksikal atau gramatikal unsur-unsur yang menyusunnya sudah tidak ada kaitannya lagi dengan makna idiom tersebut. Dalam bahasa Alas makna idiomatik digunakan untuk mengungkapkan suatu maksud dengan tujuan memberitahu sesuatu, menasehati, menyindir, membandingkan, dan mengejek orang lain. Idiom peR enem belas ‘per enam belas’ ini merupakan salah satu idiom dalam bahasa Alas yang tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terlihat bahwa tidak semua idiom bahasa Alas terdapat dalam bahasa Indonesia demikian juga sebaliknya. Akan tetapi, ada persamaan dan ada perbedaan antara idiom bahasa Alas dan bahasa Indonesia tersebut. Dalam bahasa Indonesia dan Bahasa Alas, keduanya memiliki idiom yang sama dan maknanya juga sama, memiliki idiom yaang sama dan maknanya hampir sama, memiliki idiom yang berbeda tetapi maknanya sama, dan idiom yang hanya terdapat dalam bahasa Alas saja.

Penutup SimpulanBerdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa idiom dalam bahasa Alas pada umumnya sama dengan idiom dalam Bahasa Indonesia. Prinsip-prinsip yang dianut oleh idiom bahasa Indonesia dijadikan acuan dalam mendeskripsikan idiom dalam bahasa Alas. Berikut dideskripsikan hasil penelitan yang ditemukan.1) Bentuk idiom dalam bahasa Alas ada dua, yaitu bentuk idiom penuh dan bentuk

idiom sebagian.2) Jenis idiom yang terdapat dalam bahasa Alas, antara lain (1) idiom dengan bagian

tubuh, yaitu berkenaan dengan (a) bagian kepala, (b) bagian mata, (c) bagian telinga, (d) bagian mulut, (e) bagian bibir, (f) bagian lidah, (g) bagian darah, (h) bagian hati, (i) bagian perut, dan (j) bagian tangan, (2) idiom dengan nama binatang, yaitu

Page 77: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

71Idiom Bahasa... oleh Rajab Bahry dan Mutia

berkenaan dengan (a) lintah, (b) tungau, (c) ayam, (d) anjing, (e) kancil, dan (f) kucing, (3) idiom dengan bagian tumbuhan, (4) idiom dengan nama benda-benda alam, yaitu berkenaan dengan (a) air, (b) angin, (c) gunung, dan (d) bumi, dan (5) idiom dengan kata bilangan, yaitu berkenaan dengan angka dua, lima, dan enam.

3) Makna idiom dalam bahasa Alas bermakna idiomatik, contohnya tandaine cawane ‘kenalinya cawannya’ yang bermakna ‘tahu diri’. Idiom tersebut bermakna idiomatik karena makna leksikal atau gramatikal unsur-unsur yang menyusunnya sudah tidak ada kaitannya lagi dengan makna idiom tersebut.

SaranBerdasarkan simpulan yang telah dikemukakan di atas, peneliti menyarankan beberapa hal yang berkaitan dengan pembinaan dan pengembangan bahasa daerah khususnya bahasa Alas. Adapun saran-saran tersebut adalah sebagai berikut.1) Penelitian tentang idiom dalam bahasa Alas perlu dilakukan penelitian yang lebih

lanjut agar hal-hal yang dikemukakan dalam penelitian ini dapat lebih diperincikan lagi.2) Penelitian idiom dalam bahasa Alas ini perlu didokumentasikan dalam bentuk yang

relavan agar mendapat suatu gambaran yang umum sehingga dapat dijadikan usaha pembakuan bahasa tersebut dalam bahasa tulis yang baku. Tujuan pembakuan tersebut agar memudahkan penelitian-penelitian berikutnya dan bahasa tersebut dapat dikembangkan dan dilestarikan dengan cara tersebut, mengingat bahasa daerah sekarang ini kurang dipedulikan lagi oleh penuturnya.

3) Bahasa Alas ini jarang diteliti. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan agar peneliti-peneliti dalam bidang linguistik dapat ditingkat sehingga bahasa tersebut dapat dikembangkan dan dilestarikan oleh penutur bahasa Alas maupun penutur bahasa lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A Chaedar. 1983. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.

Alwi, Hasan. dkk.. 2014. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Chaer, Abdul . 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia: Pendekatan Proses. Jakarta: Rineka Cipta.

Depdiknas. 2000. Politik Bahasa Risalah Seminar Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa.

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Muhibbuddin. 2005. Idiom dalam Bahasa Inggris (Kajian Struktur dan Semantik). Banda Aceh: Depdiknas.

Nazir, Mohd. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Galia Indonesia.

Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sudaryanto, Yayat. 2008. Makna dalam Wacana. Bandung: Yrama Widya.

Page 78: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

72 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Page 79: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

73Strategi Kesantunan Berbahasa... oleh Subhayni dan Muhammad Idham

STRATEGI KESANTUNAN BERBAHASA MAHASISWA DI BANDA ACEHSEBAGAI KOMPETENSI PRAGMATIK DALAM TINDAK TUTUR DIREKTIF

olehSubhayni dan Muhammad Idham

Universitas Syiah Kuala

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba memperlihatkan jenis tindak tutur yang sering digunakan di kalangan mahasiswa Kota Banda Aceh dan menghubungkan realisasi tindak tutur pengancam muka dengan budaya orang Aceh yang tertuang di dalam prinsip bertutur, baik secara sadar maupun tidak sadar. Pengiventarisasian ini dianggap penting karena selama ini belum ada dokumentasi terbaru tentang nilai budaya dalam realisasi tindak tutur. Padahal banyak peneliti yang tertarik meneliti nilai budaya dalam bertutur khususnya pada kalangan mahasiswa, tetapi terkendala pada sumber data dan waktu penelitian. Oleh sebab itu, target penelitian ini untuk jangka panjang adalah dapat mendeskripsikan semua bentuk tuturan yang digunakan oleh mahasiswa dalam bertutur. Seperti diketahui bahwa tindak tutur dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis dan konteks tuturan. Untuk tahap awal penelitian ini hanya difokuskan pada kampus Negeri dan Swasta yang memiliki jumlah masiswa yang relayif banyak. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode dan teknik simak, libat, cakap dan rekam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesantunan dapat dilihat dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda.Selain itu, ada kecendrungan bahwa bahasa yang santun, lemah lembut, sopan sistematis, teratur, jelas, dan lugas dapat mencerminkan bahwa penuturnya berbudi atau memiliki kepribadian yang baik.

Kata kunci: kesantunan berbahasa, kompetensi pragmatik, tindak tutur direktif

PendahuluanStrategi kesantunan merupakan hal yang esensial dalam bertutur, dengan tujuan agar penutur tidak mengancam muka mitra tutur (Brown dan Levinson, 1987). Tindak tutur Pengancam Muka ini dapat dilihat dalam hubungan antara dosen dan mahasiswa, maupun hubungan antara mahasiswa dengan mahasiswa (teman sejawat). Tuturan mahasiswa seringkali menjadi perhatian masyarakat karena apa yang disampaikan melalui tuturannya adalah representasi dunia akademis yang akan berpengaruh

Page 80: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

74 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

kepada khalayak. Tuturan mahasiswa di kota Banda Aceh menjadi perhatian biasanya tertuang dalam percakapan sehari-hari. Percakapan mereka memuat strategi bertutur tertentu, salah satunya berupa strategi kesantunan. Penelitian strategi kesantunan pada percakapan sehari hari ini diperlukan karena selama ini, banyak anggapan yang mengatakan tutur kata di kalangan orang Aceh cenderung “kasar”.

Penelitian ini mencoba memperlihatkan jenis tindak tutur yang sering digunakan di kalangan mahasiswa Kota Banda Aceh dan menghubungkan realisasi tindak tutur pengancam muka dengan budaya orang Aceh yang tertuang di dalam prinsip bertutur, baik secara sadar maupun tidak sadar. Bahasa Indonesia sehari-hari yang dimaksud disini adalah bahasa Indonesia yang digunakan secara alami dalam kehidupan sehari hari, yang meliputi tindak tutur direktif. Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang menghendaki pendengar atau mitra tuturnya melakukan sesuatu “a speech-act that requires the listener to do something”.

penelitian ini bermaksud mendeskripsikan realisasi tindak tutur mahasiswa di Kota Banda Aceh secara ilmiah dengan berpegang pada konsep “muka” yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson (1987). Menurut Brown dan Levinson (1987), muka mempunyai dua komponen, yaitu (1) muka positif yang mengacu kepada citra diri setiap orang yang mempunyai keinginan agar apa yang dimiliki, dilakukan, dan dipercayainya selalu dihargai oleh orang lain; dan (2) muka negatif yang mengacu kepada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar ia bebas melakukan tindakan yang diingininya tanpa gangguan dari pihak lain dan bebas dari keharusan untuk melakukan sesuatu. Berdasarkan konsep muka yang dikemukakan oleh Goffman, Brown dan Levinson menunjukkan bahwa terdapat banyak cara untuk menghindari Tindak Pengancam Muka (TPM), yang dirumuskan menjadi lima strategi, yaitu: (1) bertutur terus terang tanpa basa-basi; (2) bertutur terus terang dengan basa-basi kesantunan positif; (3) bertutur terus terang dengan basa- basi kesantunan negatif; (4) bertutur secara samar-samar; dan (5) bertutur “di dalam hati” atau diam.

Bahasa sebagai alat komunikasi verbal, lebih sempurna dan lebih efektif digunakan jika dibandingkan dengan bahasa nonverbal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chaer dan Agustina (2004:15) yang menyebutkan bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi manusia, baik lisan maupun tulisan dengan sejumlah karakteristik yang sama atau berbeda. Alat komunikasi verbal dapat dilihat melalui intonasi (lemah lembutnya suara), nada bicara (situasi resmi atau tidak), pilihan kata (diksi), dan struktur kalimat. Alat komunikasi nonverbal, seperti gerak-gerik anggota tubuh, kepalan tangan, kerlingan mata, mimik, dan lain sebagainya.

Melalui penggunaan bahasa yang dipakai oleh penutur, kepribadian seseorang dapat dinilai, baik dari segi kesantunannya, wataknya,dan perilakunya. Karakter, watak, atau pribadi seseorang dapat diidentifikasi dari perkataan yang ia ucapkan. Penggunaan bahasa yang lemah lembut, sopan, santun, sistematis, teratur, jelas dan lugas mencerminkan pribadi penuturnya berbudi. Sebaliknya, melalui penggunaan bahasa yang kasar, olok-olok dan bersifat menyindir pedas, menghujat, memaki, memfitnah, mengejek atau melecehkan akan mencitrakan pribadi yang tidak berbudi. Seseorang dapat dikatakan memiliki kesantunan yang baik tatkala ia dapat berbahasa dengan orang lain secara santun.

Page 81: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

75Strategi Kesantunan Berbahasa... oleh Subhayni dan Muhammad Idham

Pengertian PrakmatikPragmatik merupakan ilmu bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya. Leech (1993: 8), mengemukakan pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi tutur (speech situations). Hal ini berarti bahwa makna dalam pragmatik adalah makna eksternal, makna yang terkait konteks, atau makna yang bersifat triadis (Wijana, 1996: 2-3). Makna-makna yang demikian itu kiranya dapat disebut sebagai maksud yaitu maksud penutur. Oleh karena itu, Gunarwan (1994: 83) mendefinisikan pragmatik itu sebagai bidang linguistik yang mengkaji maksud ujaran.

Teori Tindak TuturTeori tindak tutur adalah pandangan yang mempertegas bahwa ungkapan suatu bahasa dapat dipahami dengan baik apabila dikaitkan dengan situasi konteks terjadinya ungkapan tersebut. Austin mengidentifikasikan tiga tindakan yang terdapat dalam tuturan; locutionary acts (tindakan mengatakan sesuatu), illocutionnary acts (apa yang dilakukan penutur pada saat menuturkannya), dan perlocutionary acts(apa yang dilakukan penutur dengan menuturkannya). Austin (1976) memusatkan perhatian pada elemen tindak tutur illocutionnary acts yaitu fungsi dimana bahasa dimasukkan dalam masyarakat (society). Istilah speech act sendiri merujuk pada tindak tutur illocutionnary force. Austin (1976) mengklasifikasikan tindak tutur dengan berdasarkan pada maksud penutur ketika berbicara ke dalam lima kelompok besar, yaitu:a. Representatif: Tindak tutur ini mempunyai fungsi memberitahu orang-orang mengenai

sesuatu. Tindak tutur ini mencakup mempertahankan, meminta, mengatakan, menyatakan dan melaporkan.

b. Komisif: Tindak tutur ini menyatakan bahwa penutur akan melakukan sesuatu, misalnya janji dan ancaman.

c. Direktif: tindak tutur ini berfungsi untuk membuat petutur melakukan sesuatu, seperti saran, permintaan, dan perintah.

d. Ekspresif: Tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap mengenai keadaan hubungan, misalnya permintaan maaf, penyesalan dan ungkapan terima kasih.

e. Deklaratif: tindak tutur ini menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan misalnya ketika kita mengundurkan diri dengan mengatakan ’Saya mengundurkan diri’, memecat seseorang dengan mengatakan ’Anda dipecat’, atau menikahi seseorang dengan mengatakan ’Saya bersedia’.

Austin (1976) menyatakan bahwa maksud dilakukannya tindak tutur direktif adalah agar lawan tutur melakukan suatu tindakan. Termasuk di dalamnya tindakan meminta informasi, benda atau barang, layanan, dan izin. Dengan pendapat yang hampir sama Kasper (1994:26) mendefinisikan bahwa direktif adalah tindakan yang dilakukan sebagai alat agar lawan tutur melakukan suatu tindakan. Dalam pemerian bahasa Indonesia tindak tutur direktif merujuk kepada kalimat perintah atau kalimat suruh.

Dalam teori tindak tutur satu bentuk ujaran dapat mempunyai lebih dari satu fungsi. Kebalikan dari kenyataan tersebut adalah kenyataan di dalam komunikasi yang sebenarnya bahwa satu fungsi dapat dinyatakan, dilayani atau diutarakan dalam berbagai bentuk ujaran.

Page 82: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

76 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Kesantunan BerbahasaFraser (dalam Gunarwan, 1994:45) mendefinisikan kesantunan adalah “property associated with neither exceeded any right nor failed to fullfill any obligation”. Dengan kata lain kesantunan adalah properti yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya. Beberapa ulasan Fraser mengenai definisi kesantunan tersebut yaitu pertama, kesantunan itu adalah properti atau bagian dari ujaran; jadi bukan ujaran itu sendiri. Kedua, pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada pada suatu ujaran. Mungkin saja sebuah ujaran dimaksudkan sebagai ujaran yang santun oleh si penutur, tetapi di telinga si pendengar ujaran itu ternyata tidak terdengar santun, dan demikian pula sebaliknya. Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi. Artinya, apakah sebuah ujaran terdengar santun atau tidak, ini ”diukur” berdasarkan (1) apakah si penutur tidak melampaui haknya kepada lawan bicaranya dan (2) apakah di penutur memenuhi kewajibannya kepada lawan bicaranya itu.

Ketika seseorang ingin minta tolong pada orang lain, hendaknya dengan menggunakan bahasa yang santun. Jika permintaan tolong tersebut diajukan pada orang yang lebih tua atau orang yang dihormati, harus menggunakan kata-kata yang santun, halus, dan sopan seperti “mohon bantuan”, “sudilah kiranya”, dan “apakah Bapak berkenan” (Pranowo, 2009:5-6). Pranowo juga mengatakan bahwa agar pemakaian bahasa terasa semakin santun, penutur dapat berbahasa menggunakan bentuk-bentuk tertentu yang dapat dirasakan sebagai bahasa santun, sebagai berikut.

1) Menggunakan tuturan tidak langsung biasanya terasa lebih santun jika dibandingkan dengan tuturan yang diungkapkan secara langsung.

Berdasarkan pendapat di atas, kita dapat melihat contoh tuturan di warung bakso, sebagai berikut.

Seorang anak gadis sedang makan di warung bakso. Kebetulan di samping meja anak gadis tersebut ada seorang bapak yang sedang makan bakso dengan keluarganya. Di meja anak gadis itu kebetulan tisu sudah habis. Lalu anak gadis itu berujar pada si bapak, berikut ujarannya.(1a) “Pak, ambilkan tisu itu!( kurang santun)(1b) “Tolong ambilkan tisu itu, Pak” (penggunaan kata “tolong” lebih santun)(1c) “Maaf, Pak, tisu di meja saya sudah habis”(sambil menjulurkan tangan ke arah

mitra tutur).

Penggunaan kata “maaf”, tidak memerintah, tetapi menjulurkan tangan ke arah mitra tutur. Tuturan atau suruhan yang tidak langsung akan terasa lebih santun.

2) Pemakaian bahasa dengan kata-kata kias terasa lebih santun dibandingkan dengan pemakaian bahasa dengan kata-kata lugas.

Pernyataan tersebut dapat dilihat pada contoh tuturan sebagai berikut.

(2a) “Kalau sudah marah, dia langsung membesarkan suara” (kurang santun). (2b) “Kalau sudah marah, volume suaranya akan sedikit naik”(lebih santun).

Page 83: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

77Strategi Kesantunan Berbahasa... oleh Subhayni dan Muhammad Idham

Kalimat tuturan (2a) kurang santun karena memakai kata membesarkan suara. Kalimat tuturan (2b) akan terasa lebih santun karena memakai kata volume suaranya sedikit naik. Kalimat (2b) menunjukkan tuturan yang lebih santun karena pada tuturan (2b) tingkat kelangsungannya rendah.

3) Ungkapan memakai gaya bahasa penghalus terasa lebih santun dibandingkan dengan ungkapan biasa. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada contoh tuturan sebagai berikut.

(3a) “Mengapa sekarang kulitmu sudah hitam, rajin ke pantai, ya?” (kurang santun).(3b) “Mengapa sekarang kulitmu lebih gelap, rajin ke pantai, ya?” (lebih santun).

Tuturan (3a) kurang santun karena menggunakan ungkapan biasa dengan kata “hitam”. Tuturan (3b) terasa lebih santun menggunakan gaya bahasa eufemisme.

4) Tuturan yang dikatakan berbeda dengan yang dimaksudkan biasanya tuturan lebih santun. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada contoh tutturan sebagai berikut.

(4a) “Katanya kemarin kamu mau pulang ke Samalanga, kok sampai hari ini masih ada di Banda Aceh?”

(4b) “Katanya kemarin kamu mau pulang ke Samalanga, apa Samalanga sudah pindah ke Banda Aceh , ya?”

Tuturan (4a) terasa kurang santun karena yang dikatakan dengan yang dimaksud sama dengan teguran sehingga mempermalukan mitra tutur. Berbeda dengan tuturan (4b) terasa lebih santun karena yang dikatakan merupakan pertanyaan retoris, tetapi menyindir.

5) Tuturan yang dikatakan secara implisit biasanya lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang dikatakan secara eksplisit. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada contoh tuturan sebagai berikut.

(5a) “Katanya anak pejabat, kok beli sepeda motor saja tidak sanggup!”(terlalu vulgar, jadi kurang santun).

(5b) “Setiap anak muda, apalagi ayahnya orang berada pasti ingin membeli sepeda motor.”(sindiran untuk anak muda yang ayahnya orang berada, tetapi tidak sanggup membeli sepeda motor).

Orang yang berkomunikasi dengan menggunakan gaya bahasa yang dapat menghaluskan maksud yang ingin disampaikan akan mengakibatkan watak dan kepribadian menjadi santun dan halus. Hal ini dapat terjadi karena penutur selalu memperhatikan beberapa hal saat berkomunikasi, seperti (a) penutur berbahasa secara wajar dengan menggunakan akal sehat, (b) penutur selalu mengedepankan pokok masalah yang diungkapkan, (c) penutur selalu berprasangka baik kepada mitra tutur, (d) penutur jujur, bersikap terbuka dan tidak pernah menyakiti hati mitra tutur dalam setiap

Page 84: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

78 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

tuturannya. Sebaliknya, penutur akan menjadi kasar dan tidak santun sehingga memiliki kepribadian yang buruk. Hal demikian terjadi ketika bertutur selalu diliputi pikiran dan perasaan buruk seperti (a) selalu didorong rasa emosi ketika bertutur, (b) selalu ingin memojokkan mitar tutur dalam setiap tuturannya, (c) selalu berprasangka buruk kepada mitra tutur, (d) selalu bersikap protektif terhadap pendapatnya (Pranowo, 2009:10).

Metode PenelitianMetode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu objek penelitian sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan termasuk keabsahannya (Ruslan, 2003:24). Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini berkaitan dengan jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik pengolahan data.

Hasil PenelitianHasil penelitian ini berupa analisis kesantunan berbahasa mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Syiah Kuala sesuai dengan masalah yang diangkat dalam penelitian adalah tentang kesantunan berbahasa yang meliputi (1) kesantunan berbahasa mahasiswa, (2) penyimpangan prinsip kesopanan berbahasa antarmahasiswa, dan (3) penyimpangan prinsip kesopanan berbahasa antara mahasiswa dan dosen.

Menggunakan Tuturan Halus/Tidak Langsung ketika Berinteraksi dengan Dosen Penutur secara santun menggunakan kata-kata halus/tidak langsung saat berbicara/interaksi dengan dosen. Hal ini dapat dilihat pada data tuturan J antara RB, KH, MK,dan ZH sebagai berikut.

RB :“Bapak mau bertanya pada kalian. Menurut kalian bapak orang yang setuju adanya demo kenaikan BBM atau tidak?” Siapa yang mau menjawab?”

KH :“Menurut saya Pak, Bapak tidak setuju adanya demo karena demo dapat menimbulkan kerugian yang berdampak bagi kedua belah pihak, yaitu masyarakat pro dan kontra”.

MK :“Baik, saya akan mencoba menjawab pertanyaan dari Bapak. Menurut saya Bapak setuju adanya demo kenaikan BBM karena hal itu dapat membantu masyarakat khususnya mahasiswa untuk menyalurkan aspirasi mereka kepada pemerintah. Hanya saja cara yang dilakukan oleh para pendemo kurang tepat”.

ZH : “Terimakasih atas kesempatan yang Bapak berikan. Menurut pemahaman saya, sebenarnya demo memiliki dampak negatif dan positif. Demo akan berdampak negatif jika dilakukan dengan cara yang malah menghambat perkembangan dan kemajuan bangsa dan akan berdampak positif jika cara yang dilakukan akan menghasilkan keputusan yang sama-sama menguntungkan masyarakat dan bangsa”.

RB : “Bapak suka dengan jawaban kalian semua. Tapi jawaban kalian kurang tepat. Bapak adalah orang yang sangat setuju dengan adanya demo kenaikan BBM, asalkan haru dengan cara yang benur dan tidak ada

Page 85: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

79Strategi Kesantunan Berbahasa... oleh Subhayni dan Muhammad Idham

kekerasan. Jika ingin protes terhadap kebijakan kenaikan BBM, harus melalui cara-cara yang baik sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan”.

Penggalan tuturan tersebut terjadi dalam situasi formal yang berlangsung dalam ruangan kuliah, 1.09. Pada data tersebut, kesantunan berbahasa dapat dilihat pada tuturan yang dipakai oleh penutur ZH. Kesantunan berbahasa yang digunakan oleh penutur ZH tersebut terlihat pada pilihan kata dan tidak langsungnya sebuah tuturan. Data tuturan yang dituturkan oleh ZH menunjukkan bahwa si penutur memiliki kesantunan dalam berbahasa. Hal ini ditandai dengan adanya penggunaan kata terimakasih sebelum menjawab pertanyaan yang diajukan oleh si dosen. Tuturan seperti dalam data tersebut menunjukkan bahwa seorang mahasiswa tahu kapan dan dengan siapa bertutur dan menggunakan tuturan halus. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan berbahasa yaitu maksim permufakatan. Penutur dapat menyesuaikan diri dengan orang lain dalam arti lawan tuturnya.

Penggunaan kata terimakasih mencerminkan bahwa penutur (mahasiswa) menghargai seorang dosen saat menjawab pertanyaan yang diajukan. Selain masalah pemakaian diksi yang tepat, tingkat kelangsungan dalam sebuah tuturan juga dapat mempengaruhi kesantunan berbahasa seseorang. Perhatikan kembali tuturan ZH yang menunjukkan kesantunan berbahasa. Pada data tersebut, penutur ZH tidak mengatakan bahwa demo itu salah, tetapi penutur hanya memberikan alasan secara tidak langsung tentang dampak yang akan ditimbulkan dari aksi demo. Agar lebih jelas, bandingkan kedua tuturan berikut ini.

(1a) “Terimakasih atas kesempatan yang Bapak berikan. Menurut pemahaman saya, sebenarnya demo memiliki dampak negatif dan positif. Demo akan berdampak negatif jika dilakukan dengan cara yang malah menghambat perkembangan dan kemajuan bangsa dan akan berdampak positif jika cara yang dilakukan akan menghasilkan keputusan yang sama-sama menguntungkan masyarakat dan bangsa”.

(1b) “Bukan seperti itu jawabannya, menurut saya demo ada rugi ada untung. Demo akan merugikan kalau caranya salah dan akan menguntungkan jika caranya benar”.

Data di atas dengan jelas memperlihatkan bahwa tuturan (1a) lebih halus daripada tuturan (1b). Kehalusan tuturan (1a) terlihat pada pemakaian tuturan secara tidak langsung dan pilihan kata yang tepat (halus). Tuturan (1a) bermaksud mengatakan demo memiliki dampak positif dan negatif, tetapi tuturan tersebut terdengar halus/santun karena dituturkan secara tidak langsung (apa yang dimaksudkan berbeda dengan yang dituturkan. Oleh karena itulah, tuturan pada data (1a) terkesan lebih santun daripada tuturan pada data (1b). tuturan (1b) juga memiliki maksud yang sama seperti pada data tuturan (1a), tetapi tuturan (1b) dituturkan secara langsung dan dapat menyinggung persaan orang lain karena menjatuhkan lawan tutur. Hal ini ditandai dengan adanya tuturan yang mengatakan “Bukan seperti itu jawabannya!”. Implementasi dari tuturan tersebut kemungkinan menimbulkan prasangka yang tidak baik terhadap lawan tutur.

Penutur secara santun menggunakan kata-kata halus dan secara tidak langsung saat berinteraksi/bertutur dengan dosen. Hal ini dapat dilihat pada tuturan (K) yang berlangsung dalam situasi formal di RKU 4 antara ER, MK, RS, dan AY sebagai berikut.

Page 86: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

80 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

ER : “Minggu yang lalu sudah sampai dimana materi kita?”MK : “Minggu kemaren kita bahas tentang simpangan baku, Bu!”ER : “Ya, ada tugas?”“Kalau ada tugas silakan dikumpulkan!”RS : “Bu, masih boleh tanya nggak bu tentang materi minggu lalu. Saya ada

yang belum paham mengenai cara menghitung simpangan baku?”ER : “Ya, silakan. Mana yang belum dipahami?”RS : “Cara mengetahui mencari nilai tengahnya, Bu!”ER : “Ya, sebelum ibu jawab apakah ada yang bisa menjawab pertanyaan dari

teman kalian?”AY : “Saya Bu”.ER : “Ya, silakan”.AY : “Assalamu’alaikum. Saya akan menjawab bagaimana cara mencari nilai

tengahnya. Pertama kita tentukan data yang paling kecil sampai data yang paling besar. Lalu kita buat batas kelas dengan memakai rumus data besar dikurangi data paling kecil lalu hasilnya dilogkan. Setelah diketahui hasilnya lalu dipakai rumus mencari simpangan baku”.

ER : “Bagaimana, apakah sudah mengerti dari penjelasan temannya tadi?”MK : “Bu, maaf. Menurut saya penjelasannya sudah bagus, tapi lebih mudah

dipahami jika langsung dijelaskan sambil ditulis di papan tulis, Bu”.ER : “Ya, saran yang bagus. Coba kamu jelaskan dan tulis di papan tulis

caranya (menunjuk AY).

Penggalan tuturan di atas terjadi dalam situasi formal. Pada data tersebut, kesantunan berbahasa dapat dilihat pada tuturan yang dipakai oleh penutur RS, AY, dan MK. Kesantunan berbahasa yang digunakan oleh penutur RS tersebut terlihat pada nada bicara dan pilihan kata. Nada bicara yang digunakan oleh penutur RS adalah menurun (lembut). Nada bicara yang menurun saat bertutur menandakan penuturnya santun. Selain nada bicara, kesantunan berbahasa yang digunakan oleh penutur RS ditandai pada pilihan kata. Pilihan kata yang digunakan oleh penutur RS ditandai pada diksi boleh. Dengan digunakan diksi boleh, penutur tidak terkesan memaksa terhadap dosen. Kemungkinan jika penutur tidak menggunakan diksi boleh ketika bertutur dengan dosen, lawan tutur akan menganggap penutur tidak memiliki etika. Hal ini disebabkan usia penutur dan lawan tutur berbeda jauh. Faktor usia lawan tutur mempengaruhi kesantunan berbahasa seseorang. Bandingkan kedua contoh tuturan sebagai berikut.

(2a) “Bu, masih boleh tanya nggak bu tentang materi minggu lalu. Saya ada yang belum paham mengenai cara menghitung simpangan baku?”

(2b) “Bu, mau tanya tentang materi minggu lalu. Saya ada yang belum paham mengenai cara menghitung simpangan baku”.

Pada data tuturan (2a) dan (2b) jelas terlihat kesantunan berbahasa yang berbeda. Data tuturan (2a) terasa lebih santun karena menggunakan diksi boleh yang terkesan tidak memaksa dan tidak hormat terhadap seorang dosen. Artinya, penutur memiliki sikap kesopansantunan terhadap lawan tutur. Data tuturan (2b) terkesan kurang santun karena tidak ditandai dengan pemakaian diksi boleh yang dapat menjadikan sebuah tuturan menjadi lebih santun.

Page 87: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

81Strategi Kesantunan Berbahasa... oleh Subhayni dan Muhammad Idham

Kesantunan berbahasa juga dapat dilihat pada tuturan yang dituturkan oleh AY. Kesantunan berbahasa yang digunakan oleh penutur AY ditandai pada penggunaan diksi. Diksi yang digunakan oleh penutur AY ditandai pada diksi assalamu’alaikum. Penggunaan diksi assalamu’alaikum menunjukkan penutur menghargai seorang dosen sebagai gurunya dan tahu cara bertutur dalam situasi formal. Badingkan lagi kedua contoh yang telah disesuaikan berikut ini.

(3a) “Assalamu’alaikum. Saya akan menjawab bagaimana cara mencari nilai tengahnya. Pertama kita tentukan data yang paling kecil sampai data yang paling besar. Lalu kita buat batas kelas dengan memakai rumus data besar dikurangi data paling kecil lalu hasilnya dilogkan. Setelah diketahui hasilnya lalu dipakai rumus mencari simpangan baku”.

(3b) “Saya akan menjawab bagaimana cara mencari nilai tengahnya. Pertama kita tentukan data yang paling kecil sampai data yang paling besar. Lalu kita buat batas kelas dengan memakai rumus data besar dikurangi data paling kecil lalu hasilnya dilogkan. Setelah diketahui hasilnya lalu dipakai rumus mencari simpangan baku”.

Data pada tuturan (3a) terasa lebih santun karena diawali dengan pemkaian kata assalamu’alaikum sehingga penutur akan lebih dihargai oleh lawan tutur dan sebaliknya. Data tuturan (3b) merupakan tuturan yang sudah baik, namun terasa kurang santun karena penutur terkesan sombong. Hal ini ditandai dengan penggunaan diksi saya akan menjawab.

Kasus yang sama juga dapat dilihat pada penggalan tuturan yang sama. Kesantunan berbahasa dapat dilihat pada penutur MK. Kesantunan berbahasa pada penutur MK dapat dilihat pada penggunaan diksi. Diksi yang digunakan oleh penutur MK ditandai pada kata maaf. Dengan penggunaan kata maaf, penutur akan lebih dihargai karena tidak langsung menjatuhkan pendapat lawan tutur. Prinsip kesantunan yang digunakan dalam tuturan tersebut yaitu maksim kesederhanaan. Dalam kasus ini, penutur mengurangi pujian terhadap diri sendiri dan menambahkan cacian pada diri sendiri. Pernyataan ini dapat dibuktikan dengan memahami maksud penutur yang memberikan kata maaf sebelum mengatakan bahwa apa yang dilakukan (memberi penjelasan) lawan tutur kurang tepat. Kemungkinan jika penutur tidak memakai diksi maaf, lawan tutur akan menganggap penutur tidak memiliki etika dalam bertutur dan merasa dirinya paling benar. Selain pemakaian diksi maaf, kesantunan berbahasa pada tuturan MK juga dapat ditandai pada penggunaan struktur kalimat menurut saya penjelasannya sudah bagus. Dengan adanya pemakaian kalimat tersebut tuturan penutur MK menjadi lebih santun karena tidak menjatuhkan pendapat orang lain. Selain karena itu, dengan adanya pemakaian kalimat tersebut penutur juga telah menghargai lawan tutur dengan cara memuji terlebih dahulu meskipun penutur tidak setuju dengan cara penjelasan lawan tutur. Perhatikan kedua contoh tuturan berikut ini sebagai perbandingan.

(4a) “Bu, maaf. Menurut saya penjelasannya sudah bagus, tapi lebih mudah dipahami jika langsung dijelaskan sambil ditulis di papan tulis, Bu”.

(4b) “jangan seperti itu, lebih mudah dipahami jika langsung dijelaskan sambil ditulis di papan tulis, Bu”.

Data pada tuturan (4a) terasa lebih santun jika dibandingkan dengan tuturan (4b). Hal ini dapat dibuktikan dari diksi yang digunakan. Pada tuturan (4a) dapat ditandai

Page 88: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

82 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

pada diksi maaf dan menurut saya yang menunjukkan penuturnya memiliki kesantunan berbahasa yang baik yang tidak meremehkan pendapat orang lain. Pada tuturan (4b) dapat ditandai dengan penggunaan diksi jangan seperti itu yang terkesan kurang santun karena langsung memojokkan pendapat lawan tutur sehingga akan timbul kesalahpahaman dan lawan tutur akan merasa tersinggung.

Selanjutnya, perhatikan penggalan tuturan (L) yang terjadi dalam situasi formal di ruang kuliah 1.05.

DS :“Dalam menulis kreatif, harus menggunakan kata-kata yang baku. Jika kata-kata yang digunakan tidak baku, maka tulisan kita akan salah. Sekarang kita perhatikan kembali tulisan punya Ervina. Nah, di sini ada kata polemik. Ervina, apa artinya polemik?

EN :“nggak tau, pak!”DS : wah, dia saja tidak tahu arti polemik. Berbagai polemik, artinya apa. Siapa

yang tahu arti polemik?”SI :“masalah!”DS :“masalah itu problematika bukan polemik!”RS :”Saya , Pak. Polemik itu sesuatu yang bersifat khilafiah. DS :“Siapa tahu arti khilafiah. Tidak ada yang tahu? khilafiah itu berbeda

pendapat, ada yang pro dan ada yang kontra. DS :“Coba Herlinon , mana yang salah?”CT :“Itu pak, punya EN salah pak gak ada tanda titik”.DS : “Siapa lagi?”EN :“Tu pak, di paragraf pertama baris pertama, kurang cocok ja pak. DS : Harusnya jelaskan pengertian tambang duluSI :“Itu pak salah kata bahwah, seharusnya bahwa”.MY : “Salah tu pak baiknya guru tanpa tanda jasa, tidak perlu dipakai ‘tanda’

terus kata ‘menyikapi’, huruf ‘y’ nya huruf kapital”.DS :“Berbicara tentang Aceh sudah tentu pernah ada kerajaan yang sangat

terkenal. Ya itu sudah benar ya”.

Dari penggalan tuturan yang dituturkan oleh RS dapat dilihat kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa dari tuturan oleh RS dapat ditandai pada penggunaan saya. Penggunaan kata saya, artinya seorang mahasiswa tersebut sebelum menjawab pertanyaan yang diajukan oleh dosen mengatakan atau menunjukkan dirinya sebagai orang yang akan menjawab pertanyaan tersebut. Hal tersebut menandakan bahwa penutur RS masih menghargai dosennya dan memiliki etika saat berinteraksi dengan dosen. Hal ini sesuai dengan prinsip kesantunan, maksim permufakatan yaitu penyesuaian diri sendiri dengan orang lain. Artinya, dalam tuturan tersebut, penutur menyesuaikan tuturannya dengan lawan tuturnya, yaitu dosen. Tuturan yang dituturkan dengan lawan tutur yang lebih tua akan berbeda dengan tuturan yang dituturkan dengan lawan tutur yang lebih muda.

Simpulan Berdasarkan hasil olah data dan deskripsi yang telah dilakukan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa; (1) Kesantunan berbahasa dapat dilihat dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda verbal dan nonverbal; (2)Ciri-ciri kesantunan berbahasa

Page 89: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

83Strategi Kesantunan Berbahasa... oleh Subhayni dan Muhammad Idham

mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia meliputi penggunaan tuturan halus, penggunaan tuturan yang vulgar, penggunaan tuturan yang tidak langsung, dan penggunaan tuturan yang langsung; (3)Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Syiah Kuala secara umum masih menggunakan prinsip kesantunan berbahasa dan menggunakan tuturan halus ketika berinteraksi dengan dosen; (4)Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Syiah Kuala secara umum masih menggunakan tuturan yang menyimpang dari prinsip kesantunan berbahasa ketika berinteraksi dengan kalangannya sendiri (antarmahasiswa);(4)Penyimpangan prinsip kesopanan ketika berinteraksi dengan dosen hanya sebagian kecil mahasiswa bahkan jumlahnya relatif rendah;(5)Penyimpangan prinsip kesopanan ketika berinteraksi dengan kalanggannya sendiri (antarmahasiswa) meliputi penyimpangan prinsip penghargaan, kedermawanan, dan kesederhanaan; (6)Bahasa yang santun, lemah lembut, sopan, sistematis, teratur, jelas, dan lugas dapat mencerminkan bahwa penuturnya berbudi atau memiliki kepribadian yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Austin, J.L. 1976. “Performatif Utterences” dalam Martinich, A.P. (ed.) The Philosophy of Language. New York: Oxford University Press.

Brown, P., dan Levinson, S. 1987. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge University Press: Cambridge.

Chaer, Abdul, dan Agustina, Leonie. Juni 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Gunarwan, Asim. 1994. Dari Pragmatik ke Pengajaran Bahasa (Makalah Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah). IKIP Singaraja

Leech, Geoffrey. Terjemahan Oka, M.D.D. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Pranowo. 2009. Berbahasa Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: ANDI.

Page 90: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

84 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Page 91: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

85Budaya Patriarkhi... oleh Khadijah

BUDAYA PATRIARKHI DALAM HIKAYAT INDRA BUDIMAN

olehKhadijah

Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan [email protected]

ABSTRAK

Hikayat Indra Budiman adalah karya sastra mengekspresikan buah pikirannya dituangkan dalam bentuk prosa dengan menggunakan bahasa Aceh. Hikayat Indra Budiman ditulis menggunakan bahasa Aceh disusun dalam bentuk puisi sanjak, isinya bukan fiksi dan legenda semata. Hikayat Indra Budiman salah satu fungsinya sebagai estetis, hiburan, pendidikan Rumusan masalah : Bagaimanakah budaya patriarkhi dalam hikayat Indra Budiman? Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengungkapkan budaya patriakhi dalam hikayat Indra Budiman. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studio dokumentasi karena sumber data penelitian ini berupa dokumen. Istrumennya berupa instrument manusia, yakni diri peneliti dan pedoman pengumpulan data. Untuk menjaga kesahihan data dilakukan dengan mengunakan model interaktif-dialektis yang didalamnya melibatkan tiga kegiatan analisis yang dilakukan secara serempak, bolak-balik, dan berkali-kali, yaitu kegiatan reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan atau verikfikasi. Dari hasil penelitian terdapat budaya patriakhi dalam hikayat Indra Budiman sangat kuat. Istri tidak berdaya saat suaminya pergi untuk meninggalkanya.

Kata kunci: Hikayat Indra Budiman, Budaya Patriarkhi

PendahuluanHikayat Aceh menggunakan bahasa Aceh disusun dalam bentuk puisi yang bersajak, isinya bukan fiksi dan legenda semata, akan tetapi pendidikan moral dan ajaran agama, fungsinya sebagai pembangkit semangat jihad, estetis, hiburan, pendidikan dan pemberantasan buta huruf. Jarang ditemui di Indonesia yang menulis hikayat dalam bentuk puisi bersajak kecuali daerah Aceh sendiri. Aceh daerah unik dan pendobrak awal. Hamzah Fansuri perintis pertama bahasa Melayu di Nusantara, Ar-Raniry penulis ilmu perbandingan agama pertama di Nusantara Abdurrauf Singkil penulis tafsir pertama di Nusantara, dan Tgk. H. Mahjiddin Yusuf penerjemah Al-Qur’an bersajak bahasa, daerah pertama di Indonesia. Begitu pula sastra hikayatnya merupakan novel

Page 92: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

86 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

puisi atau novel bersajak yang jarang ditemui di daerah Indonesia lainnya.Hikayat Indra Budiman hingga tahun 1960-an masih aktif dibacakan di kalangan

masyarakat desa dan secara meluas. Penggunaan hikayat Indra Budiman di kalangan Masyarakat Aceh seperti pada acara berkumpulnya masyarakat Aceh pada suatu acara. Acara tersebut seperti syukuran pernikahan, syukuran kelahiran bayi, pertemuan di balai desa. Pembacaan hikayat dilakukan dengan cara memilih satu atau dua orang yang bagus suaranya untuk membaca hikayat ini. Masyarakat yang lain duduk mendengar bacaan dalam bentuk puisi bersajak dengan rangkaian kata yang indah disusul dengan pantun dan nadham berirama. Dalam lantunan dan iramanya itu, mereka tertarik dan terbenam hanyut tertancap lah dalam dada kandungan isinya, tanpa terasa ajaran-ajaran tersebut terbawa serta dalam tutur bahasa dan prilaku hidup sehari-hari.

Di antara ratusan hikayat, penulis mengangkat “Hikayat Indra Budiman” untuk objek penelitian ini. Dalam penelitian ini Hikayat Indra Budiman selanjutnya disingkat dengan HIB. HIB di tulis dalam bahasa Aceh oleh Tgk.Ti Hawa Arsyady pada tahun 1967. HIB ditulis dalam bentuk puisi jenis pantun. Hikayat Indra Budiman berjumlah enam jilid. Dalam penelitian ini penelitian hanya meneliti jilid satu dan dua.

HIB mengisahkan tentang perjuangan seorang raja yang bernama Indra Budiman yang sangat teguh pendiriannya, taat menjalani perintah Allah. Raja Indra Budiman disegani oleh seluruh kerajaan yang ada saat itu.

Raja Indra Budiman sangat percaya kepada mimpi-mimpinya yang ada saat beliau tidur. Sehingga raja tersebut rela meninggalkan istri dan anaknya untuk pergi mengejar mimpinya. Istri raja sangat sedih dan putus asa saat mendengar raja akan berangkat meninggalkannya. Sang istri tidak berdaya menghadapi hal tersebut. Raja Indra Budiman setiap mengajar mimpinya menikah lagi dengan perempuan yang lain di negeri kerajaan yang lain. Istri-istri yang Beliau tinggalkan sungguh merana jiwanya. Mereka hanya bisa menangis menahan rindu kepada suaminya yang tak kunjung kembali.

Isi HIB juga menggambarkan kehidupan suami dan Istri dalam masyarakat Aceh. Gambaran sikap suami berupa semua ekspresi mental dan tingkah laku yang diekspresikan oleh tokoh suami dalam penelitian ini di istilahkan dengan budaya patriakhi.

Landasan TeoriPatriarkhi adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Ayah memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki dan menuntut subordinasi perempuan. Barker (2005: 297) mengatakan subordinasi perempuan terjadi di berbagai lembaga dan praktik atau dengan kata lain, bahwa subordinasi bersifat struktural yang makna-makna turunannya tentang keluarga yang dipimpin lelaki, penguasaan, dan superioritas.

Chiris Weedon’s dalam Gamble (1999: 3) mengatakan the term ‘patriarchal’ refers to power relations in which women’s interests are subordinated to the interests of men. These power relations take on many form, form the sexual division of labour and the social organization of procreation to the internalized norm of femininity by which we live. Patriarchal power rests on social meaning given to biological sexual difference.

Page 93: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

87Budaya Patriarkhi... oleh Khadijah

Chiris Weedon’s mendefinisikan istilah patriakhi merujuk kepada hubungan kekuasaan. Hubungan kekuasaan tersebut kepentingan perempuan menjadi kelas subordinat dari kepentingan laki-laki. hubungan kekuasaan ini terjadi dalam beberapa elemen seperti pembagian pekerjaan berdasarkan gender (jenis kelamin) dan organisasi sosial yang mencakup nilai-nilai keperempuanan yang diatur dalam masyarakat. Kekuatan patriarkhi terletak pada makna sosial yang dibuat berdasarkan perbedaan biologis (kelamin).

Periode tahun 1550-1700 perempuan masih menuntut hak-hak dan posisi dalam Undang-Undang. Pada akhir periode ini perempuan mulai mendapatkan hak-hak formal dalam pemerintahan nasional termasuk hak untuk memilih mendapatkan suara (ring to vole). Pada saat itu kondisi pendidikan perempuan belum memuaskan banyak perempuan yang terhalang untuk masuk universitas dapat dikatakan pada saat itu kaum pria menikmati banyak prioritas dibandingkan dengan yang diperoleh para perempuan. Perempuan setelah menikah hanya mendapatkan hak melalui para suami. Sangat sulit bagi perempuan untuk mendapatkan kebebasan ekonomi karena itu solusinya hanyalah menikah dengan seorang laki-laki yang akan mendapatkan perlindungan secara sosial ekonomi dari suami.

Kebanyakan sistem patriarkhi juga adalah patrilineal. Patriarkhi adalah konsep yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial, terutama dalam antropologi dan studi referensi feminitas. Hace ke Distribusi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan di mana laki-laki memiliki keunggulan dalam satu atau lebih aspek, seperti penentuan garis keturunan (keturunan patrilineal eksklusif dan membawa nama belakang), hak-hak anak sulung, otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam status publik dan politik atau agama atau atribusi dari berbagai pekerjaan pria dan perempuan ditentukan oleh pembagian kerja secara seksual.

Nugroho (2008: 71) mengatakan suami dengan segala materi yang dimilikinya, menjadi seorang kepala keluarga, dan memberi nafkah kepada anak dan istri, sehingga terjadilah keluarga monogami, seorang istri menjadi milik pribadi suaminya. Dalam budaya patriarki secara eksplisit terungkap bahwa perempuan mempunyai kedudukan sebagai ‘milik’ kaum pria, pelayan/asisten (melayani/membantu memenuhi kebutuhan kaum pria), mainan (penghibur kaum pria) dan penghasil keturunan. Sangat tergambar dengan jelas bahwa perempuan tidak mempunyai kemandirian dan hidup hanya tergantung dari kaum pria. Hal ini terjadi secara turun temurun karena didukung tidak adanya kemampuan/daya saing seorang perempuan untuk bisa menunjukkan eksistensi diri.

Strinarti (2004: 187) mengatakan to same extent, the meaning of patriarchy will vary according to the theoretical framework within which it is used. Radical feminism sees it as the universal domination of women by men, whereas socialist feminism also stresses class and racial exploitation, though it values its explanatory power; a general concern of socialist feminism has been how to reconcile analyses of patriarchy with analyses of capitalism. Radikal feminisme not only views patriarchy as the most basic and universal structure of oppression, akin to the economy or mode of production.

Dalam hal ini feminisme radikal melihat budaya patriarkhi sebagai dominasi budaya universal kaum laki-laki terhadap perempuan. Feminisme sosialis menekankan atas eksploitasi kelas dan rasial. Sementara itu fokus utama feminisme sosialis adalah

Page 94: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

88 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

menghubungkan analisis budaya patriarkhi dengan analisis kapitalisme. Feminisme radikal tidak hanya menganggap budaya patriarkhi sebagai bentuk dasar yang universal yang mendominasi perempuan dalam bidang ekonomi dan produksi lainnya. Masmedia selalu berada di tangan atau kepemilikan laki-laki. mereka akan berbuat sesuai dengan kepentingan masyarakat patriarkhi. Kekuatan media massa akan mempengaruhi sikap laki-laki terhadap perempuan dan membuat perempuan memiliki persepsi atas dirinya sendiri.

Di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, masalah kemiskinan masih merupakan masalah besar di samping masalah sosial lainnya. Dalam pengertian yang sederhana, miskin artinya kurangnya pemilikan materi atau ketidakcukupan pendapatan. Sumber dari permasalahan kemiskinan perempuan dan banyak masalah sosial yang terkait dengan kesehjahteraan perempuan terletak pada budaya patriarkhi (Darwin, 2005: 166).

Sampai saat sekarang ini masih banyak yang disebabkan oleh budaya patriarkhi yang telah mengejala secara universal menembus lintas budaya, etnis, bangsa, agama, kelas ekonomi dan seterusnya. Budaya patriarkhi memungkinkan kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan perempuan mengalami ketidakstabilan jiwa karena terus menerus hidup dalam ketakutan dan kecemasan yang akhirnya mudah terserang berbagai penyakit. Masalah laiannya menyangkut keuangan keluarga yang dimonopoli oleh para suami. Sang istri tidak diberi kebebasan untuk mengelola keuangan rumah tangga. Dengan demikian banyak istri yang menjadi pasif di dalam keluarga ia hanya mampu mengurusi pengelolaan uang untuk urusan dapur.

Bagi perempuan-perempuan muslim taat dan patuh kepada suami diwajibkan oleh ajaran agama dengan balasan akan mendapatkan surga diakhirat. Secara logika semua ummat muslim akan diberi ganjaran pahala dan masuk surga jika patuh dan taat pada perintah Tuhan. Dengan alasan di atas banyak perempuan muslim yang rela mengorbankan sebagain besar kepentingan dalam kehidupannya untuk mematuhi semua perintah suaminya termasuk untuk tidak bekerja di luar rumah agar dapat memusatkan perhatian pada kebutuhan keluarganya. Jadi sebenarnya dominasi terhadap perempuan di dalam keluarga tidak ditentang oleh para istri dengan kesadaran bahwa mereka adalah subordinat dan harus mengikuti perintah atasan (suami)

Metode PenelitianPenelitian ini adalah penelitian kualitatif dinyatakan sebagai penelitian kualitatif. Beberapa konsep dan prinsip metodologis yang dimaksud adalah latar alamiah, manusia sebagai instrumen, metode kualitatif, analisis data induktif, teori dari dasar, deskriptif.

Digunakannya hermeneutika sebagai dasar untuk menafsirkan makna yang erlebnis dan verstehen dalam hikayat. Sebagai halnya dalam penelitian hermeneutik. Dalam ruang lingkup kesusasteraan, kebutuhan tentang hermeneutika sangatlah ditekankan karena tanpa interpretasi atau penafsiran, peneliti tidak akan mengerti atau menangkap jiwa zaman di mana kesusasteraan itu dibuat. Sumaryono (1993: 31) mengemukakan peneliti yang melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks, lalu ia harus meresapi isi teks. Kecerdasan dan ketelitian penafsir dalam menafsirkan makna suatu karya sastra sangat menentukan berhasil tidaknya telaah sastra tersebut.

Page 95: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

89Budaya Patriarkhi... oleh Khadijah

Temuan Hasil PenelitianHikayat Indra Budiman (HIB) adalah sebuah cerita keluarga kerajaan. . Indra Budiman adalah seorang raja yang sangat istiqamah menjalankan ibadah agama Islam. Raja Indra Budiman sangat baik tingkah lakunya dalam kehidupan bermasyarakat. Beliau berasal dari negeri Syarila. Keturunan raja Syahkubat. Raja Indra Budiman sangat mempercayai mimpi-mimpinya yang dalam tidur. Raja Indra Budiman rela meninggalkan istrinya untuk mengejar mimpi yang ada dalam tidurnya. Raja Indra Budiman setiap mengajar mimpinya selalu menikah lagi dengan perempuan di negeri lain. Perempuan-perempuan yang ditinggalkan oleh Raja Indra Budiman sangat sedih dan kecewa karena raja Indra Budiman sebelum pergi untuk selalu pamitan dengan istrinya dan berjanji untuk kembali lagi. Perjanjian Indra Budiman tidak pernah di tepati pada istrinya.

Faktor Mimpi Menjadi Masalah Bahasa Aceh Bahasa Indonesia

Ohban teukeujot Indra Budiman, Bungong pihak tanneu-Eu bak jari; Sosah lam hate syawe pikeran, Peuekeu makna nyan Tuhanku neubri. (HIB 1: 46)

Saat Indra Budiman terbangun dari mimpi bunga pun tidak terlihat di tangan pikiran selalu susahApakah makna mimpi tadi(HIB 1: 46)

Bahasa Aceh Bahasa IndonesiaMasa uroe jeh lon lumpoe bintang,Ka srot lam tangan di langet tinggi;Nibak malam nyoe ka bungong keumang,Pakon keuh meunan o ya Ilahy.(HIB 1: 47)

Masa dulu saya bermimpiSudah sampai tangan di langitDi malam ini sudah ada bungaMengapa demikian wahai Ilahi

Data di atas menunjukkan raja Indra Budiman suatu malam bermimpi mendapatkan bunga di tangannya, dan dengan tangannya ia dapat menggapai langit. Raja Indra Budiman sangat susah hatinya. Raja selalu terpikir akan mimpi-mimpinya yang telah terjadi itu. Pikiran raja sangat susah. Ia akan pergi untuk membuktikan mimpinya itu agar pikiran raja bisa tenang lagi seperti biasa.

Setiap orang pasti pernah bermimpi . Bagi sebagian orang mimpi dianggap sebagai bunga tidur sehingga kadang-kadang-kadang diabaikan begitu saja. Namun bagi raja Indra Budiman mimpi dianggap sebagai pertanda atau isyarat akan datangnya suatu kejadian, sehingga mimpinya harus ditafsirkan maknanya.

Dalam hikayat ini Indra Budiman masih terpengaruh dengan peradaban kuno. Indra Budiman mengkaitkan mimpinya dengan dunia supranatural. Artinya, dewa-dewa dan roh jahatlah yang muncul dalam mimpinya. Mimpi yang indah dan membahagiakan diartikan sebagai dewa atau Tuhan, sedangkan mimpi buruk dianggap sebagai pertanda kehadiran roh jahat atau saat manusia tidur.

Raja Indra Budiman memohon izin pada istrinya untuk pergi membuktikan mimpi. Raja Indra memohon keikhlasan hati istrinya untuk melepaskan dirinya pergi dengan wajah yang ceria. Seperti yang terdapat pada kutipan di bawah ini.

Page 96: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

90 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Bahasa Aceh Bahasa IndonesiaBeu raya idzin judo meutuah,Dengon ekheulaih bek masam muka;Cut Kandi Laila seuot le bagah,Hana peue salah e Po meukuta.(HIB 1:18)

Berikan izin wahai jodoh yang baikDengan ikhlas jangan masam mukaCut Kandi Laila menjawab dengan segeraTidak ada masalah wahai suamiku

Sikap seorang suami terhadap istri seperti yang dilakukan oleh raja Indra Budiman

sangat sesuai dengan aturan dalam kehidupan keluarga. Keluarga diakui dan dihormati sebagai basis masyarakat. Nilai-nilai luhur ditanamkan untuk memelihara hubungan-hubungan yang sehat dan harmonis dalam keluarga; peraturan-peraturan akhlaq mengenai hubungan-hubungan ini oleh karenanya menjadi sangat penting.

Kesedihan Istri Saat Ditinggalkan oleh SuamiBahasa Aceh Bahasa Indonesia

Ban Putroe deungo meunan kheun doli,Putroe kasummi ka masam muka;Hate cut Putroe bagoe geukiki,Cinta beurahi that bergelora.

Jiseumpom le droe Putroe Kasummi,Lam leumueng doli Budiman Indra;Deungon ie mata ile bak bibi,Tuan Putroe teknologi informasi hana suara.

Indra Budiman yohnyan tanyong kri,E bintang pari pakri jeuet rogha;Seuot le dudoe Putroe Kasummi,Dilon hay doli hanco that rasa.(HIB 2: 38)

Saat istri raja mendengar perkataan raja Istri raja sudah menampakkan wajah tidak senangHati istri raja bagikan diiris-irisCinta sedang bergeloraDirebahkan badan putri kasumiDalam pangkuan Indra BudimanDengan air mata jatuh di pipiTuan putra hanya diam saja

Indra Budiman saat itu bertanyaWahai bintang pari mengapa gelisahJawab kemudian oleh kasumiSaya merasa hancur semuanya wahai doli

Data di atas menunjukkan ketidaksetujuan seorang istri dengan menunjukkan

pada ekspresi wajahnya sangat tidak setuju saat suaminya memohon pamit untuk membuktikan mimpinya. Hati Kasumi istri raja sakit bagaikan diris-iris dengan benda tajam di sebabkan rasa cinta yang mendalam sedang bergelora. Kasumi merebahkan badan atas pangkuan Indra Budiman . Air mata terus bercucuran sampai di atas pipi. Indra Budiman hanya diam melihat kondisi istrinya yang terus menangis. Tak lama kemudian Indra Budiman bertanya pada Istrinya mengapa istrinya sangat sangat gelisah dan sedih mendengar keberangkatannya. Istri Indra budiman menjawab perasaannya hancur.

Dari data di atas juga menunjukkan Indra Budiman hanya bermusyawarah dengan dengan istrinya. Namun keputusannya tetap pada Indra Budiman. Indra Budiman tetap pada pendiriannya bahwa ia akan tetap pergi membuktikan mimpinya. Meskipun istrinya dalam keadaan rasah dan gelisah.

Page 97: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

91Budaya Patriarkhi... oleh Khadijah

Menurut budaya patriarkhi yang masih sangat kuat diterapkan pada masyarakat Aceh pada saat itu. Seorang istri harus patuh dan taat kepada perintah suami. Demikianlah tokoh utama tidak dapat membela dirinya sendiri dan menentukan jalan kehidupannya, karena tidak ada jalan lain hanya ada satu cara yaitu mengikuti tradisi dan budaya serta norma-norma ajaran agama yang mereka anut. Tokoh utama sangat jauh dari kehidupan yang berbahagia walaupun itu hanya di ranah domestik. Penulis menyimpulkan bahwa citra perempuan dalam novel ini masih mengikuti steriotipe perempuan yaitu pasif tidak agresif dan tidak kuat. Ciri-ciri perempuan seperti inilah yang diingini oleh masyarakat pada saat itu. Jika kita hubungkan dengan sejarah perempuan pada zaman dahulu sebenarnya banyak perempuan yang tidak puas dengan kehidupan keluarganya. Mereka tidak berdaya.

Para istri juga dapat menyimpan penderitaan dan harus berpura-pura bahagia di depan masyarakat untuk menjaga suami dan nama baik keluarganya. Mereka juga harus pasrah dan menerima nasibnya dengan alasan untuk menjadi umat yang taat kepada agama walaupun sebenarnya sangat sulit untuk menahan penderitaan bathinnya. Ia juga tidak dapat membagi penderitaannya kepada orang lain karena akan dianggap membuka ajaib keluarga.

Nurhayati (2012: xvi) mengatakan seluruh potensi kemanusiaan perempuan itu tenggelam atau ditenggelamkan atau dilupakan oleh dan dari pusaran sejarah sosial yang di dominasi oleh dunia patriarkhisme. Perempuan tidak bisa memberikan solusi pada masalah yang di hadapi. Laki-laki memandang dirinya yang berhak mengambil suatu keputusan. Akibat dari tindakan tersebut perempuan menjadi terabaikan dalam kegiatannya sehingga muncul macam-macam gerakan kaum feminis yang menentang anggapan bahwa perempuan hanya berperan dalam urusan domestik lokal hingga yang beranggapan bahwa pernikahan sebagai ‘’ladang subur’’ praktik patriarki bisa menghambat eksistensi seorang perempuan, nyata-nyata sangat bertentangan dengan kodrat dan budaya patriarki yang masih dianut hingga saat ini.

Hidup dalam budaya patriarki bukan berarti perempuan semata-mata hanya menjalankan kodrat dengan membiarkan diri sebagai perempuan konvensional yang tidak menyesuaikan diri dengan perubahan zaman hingga berlarut-larut terintimidasi oleh kaum pria yang sangat fatal akibatnya bagi psikologis pendidik generasi penerus. Namun hendaknya juga memandang kesetaraan laki-laki dan perempuan sebagai suatu jalan untuk lebih memantaskan diri bagi perempuan untuk tidak sekedar menjadi objek dan bukan memandang kedudukan antara laki-laki dan perempuan sama dalam makna yang sempit yaitu untuk menggantikan posisi kaum pria sebagai pemimpin tetapi untuk meningkatkan kualitas perempuan dalam posisinya yang sejajar dengan kaum pria. Untuk membuat kaum perempuan menjadi lebih mengetahui hak dan kewajibannya sebagai bekal untuk membentengi diri dari tindakan yang semena-mena.

Barker (2005: 297) mengatakan subordinasi perempuan terjadi di berbagai lembaga dan praktik atau dengan kata lain, bahwa subordinasi bersifat struktural yang makna-makna turunannya tentang keluarga yang dipimpin lelaki, penguasaan, dan superioritas. Chiris Weedon’s dalam Gamble (1999: 3) mengatakan

the term ‘patriarchal’ refers to power relations in which women’s interests are subordinated to the interests of men. These power relations take on many form, form the sexual division of labour and the social organization of procreation to the internalized norm of femininity by which we live. Patriarchal power rests on social meaning given to biological sexual difference.

Page 98: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

92 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Chiris Weedon’s mendefinisikan istilah patriakhi merujuk kepada hubungan kekuasaan. Hubungan kekuasaan tersebut kepentingan perempuan menjadi kelas subordinat dari kepentingan laki-laki. hubungan kekuasaan ini terjadi dalam beberapa elemen seperti pembagian pekerjaan berdasarkan gender (jenis kelamin) dan organisasi sosial yang mencakup nilai-nilai keperempuanan yang diatur dalam masyarakat. Kekuatan patriarkhi terletak pada makna sosial yang dibuat berdasarkan perbedaan biologis (kelamin).

PenutupkesimpulanBudaya patriakhi dalam hikayat Indra Budiman sangat kuat. Suami hanya meminta izin pada Istri namun keputusanya ada ditangan suami. Istri tidak berdaya saat suaminya pergi untuk meninggalkanya.

SaranHasil penelitian ini dapat memperkaya khazanah dalam pengajaran sastra, dalam hal pemikiran yang berkaitan dengan interdisipliner sastra dengan bidang ilmu yang lain. Tulisan ini diharapkan memberikan pemahaman yang lebih komprehensif dan dapat dijadikan referensi kajian yang mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyady, Nyak’Tihawa a. 1967.Hikayat Indra Budiman jilid 1. Bireueun:Pustaka Mahmudiyah

Arsyady, Nyak’Tihawa b. 1967.Hikayat Indra Budiman jilid 2. Bireueun:Pustaka Mahmudiyah

Baker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Praktik .Yogyakarta:PT. Bentang Pustaka.Darwin, Muhadjir M dan Tukiran (ed). 2001. Menggugat Budaya Patriarkhi. Yogyakarta:

Pusat Penelitian Kependudukan UGM.Gamble, Sarah. 1999. The Leon Dictionary of Feminism and Post Feminism. Great

Britain Leon Books Ltd.Nurhayati, Eti. 2012. Psikologi Perempuan Dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.Sumaryono, E. 1993. Herneuneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.Strinarti, Dominic. 2004. An Introduction to Theories of Popular culture. London:

Routledge.

Page 99: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

93Retensi dan Inovasi... oleh Muhammad Toha

RETENSI DAN INOVASI FONOLOGIS PROTOBAHASA MELAYIKPADA BAHASA MELAYU TAMIANG

olehMuhammad Toha

Balai Bahasa Provinsi [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan secara diakronis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk fonem PM yang mengalami retensi dan inovasi pada bahasa Melayu Tamiang ditinjau dari persepektif diakronis. Data yang digunakan sebanyak 400 kosakata. Pengumpulan data dilakukan di Kampung Durian Kec. Rantau, Desa Rantau Bintang Kec. Bandar Pusaka, Desa Sekerak Kanan Kec. Sekerak, dan Desa Bandar Khalifah Kec. Tamiang Hulu. Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan cakap dengan teknik catat dan rekam. Data dianalisis dengan menerapkan metode kualitatif. Hasil penelitian secara diakronis menunjukkan fonem vokal PM seperti /*a/, /*∂/, /*i/, dan /*u/ masih diwariskan oleh BMT hingga kini. Namun inovasi terjadi pada vokal *u < /U/ dan *a < /O/. Demikian pula dengan sejumlah fonem konsonan PM seperti /*b/, /*d/, /*g/, /*h/, /*j/, /*k/, /*l/, /*m/, /*n/, /*p/, /* r/, /*s/, /*t/, /*w/, /*y/, /*ñ/, /*ŋ/, dan /*ˀ/ masih dipertahankan oleh BMT sampai saat ini. Sedangkan fonem konsonan yang mengalami inovasi * h < Ø/ , * k < / ? /, * l < / ?/, * r < /R/ , * s < /h/ dan * t < / ?/.

Key words: Melayu Tamiang, dialektologi diakronis, retensi dan inovasi

PendahuluanMenurut Badan Bahasa tahun 2008, sebanyak 746 bahasa daerah terdapat di Indonesia. Keberadaannya diatur dalam sebuah Undang-Undang Kebahasaan Nomor 24/2009. Bab 1 Ketentuan Umum pasal 1 ayat 6 menyatakan bahwa bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan turun temurun oleh warga negara Indonesia di daerah-daerah di wilayah Negara Kesatuan Repubik Indonesia. Bahasa daerah, dalam penjelasan pasal 36, bab XV, Undang-Undang Dasar 1945, disebut sebagai salah satu unsur kebudayaan nasional yang perlu dipelihara dan dikembangkan. Menurut Mahsun (1999) upaya memelihara bahasa daerah perlu dilakukan karena sikap penutur bahasa daerah yang kurang positif terhadap bahasa daerahnya. Hal ini disebabkan penutur bahasa daerah (sebagian besar bahasa daerah yang ada di Indonesia) yang relatif kecil jumlahnya, karena itu

Page 100: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

94 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

mereka memandang dirinya sebagai kelompok minoritas yang kurang prestise. Selain itu, juga karena pemakaian bahasa Indonesia yang semakin dominan dalam berbagai aspek kehidupan. Upaya pengembangan dilakukan melalui penelitian bahasa-bahasa daerah seperti pada aspek kebahasaannya.

Salah satu bahasa daerah itu adalah Bahasa Melayu yang tersebar di hampir seluruh Indonesia. Sebaran bahasa Melayu juga sampai ke Provinsi Aceh. Di provinsi ini bahasa Melayu disebut bahasa Tamiang. Sejumlah pendapat mengatakan jika bahasa Tamiang merupakan bahasa Melayu khususnya Melayu Deli (lihat Akbar, dkk., 1985, Durie, 1985:1) serta Dado Meuraxa, (1956) dan Rusdi Sufi, et al., (2004) dalam melayuonline.com. Mungkin atas dasar itulah Lumban Batu (1998) menggunakan istilah Bahasa Melayu Tamiang dalam penelitiannya di Kabupaten Aceh Tamiang. Berdasarkan paparan di atas, bahasa Tamiang dalam artikel ini selanjutnya disebut Bahasa Melayu Tamiang (BMT). Penelitian lainnya dilakukan Balai Bahasa Provinsi Aceh (2007) yang mengelompokkan BMT sebagai bahasa sendiri yang berbeda dengan bahasa-bahasa daerah lainnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, di wilayah tuturnya di Kabupaten Aceh Tamiang, BMT digunakan sebagai alat komunikasi di dalam keluarga maupun di masyarakat. Selain itu, BMT sebagai lambang kebanggaan dan identitas daerah terrsendiri bagi etnis Tamiang. Demikian pula halnya dalam kebudayaan seperti pada acara perkawinan. BMT digunakan dalam pantun-pantun ketika menyambut calon mempelai pria di rumah calon mempelai wanita. Sayangnya, saat ini tradisi berpantun dalam adat perkawinan etnis Tamiang terbatas pada daerah tertentu saja.

Seperti yang dijelaskan di atas bahwa kajian yang pernah dilakukan terhadap BMT pada aspek kebahasaannya belum banyak dilakukan. Diantaranya yang dilakukan Lumban Batu (1998) yang meneliti pada aspek sintaksis. Balai Bahasa Provinsi Aceh (2007) mengkaji perbedaan pada unsur-unsur bunyi yang terdapat di dalam BMT. Penelitian itu dilakukan secara sinkronis, tanpa melibatkan perkembangan historis. Dengan demikian, diduga penelitian linguistik secara diakronis terhadap BMT belum pernah dilakukan.

Linguistik diakronis adalah subdisiplin lingusitik yang menyelidiki perkembangan suatu bahasa dari masa ke masa. Studi diakronis bersifat vertikal, misalnya menyelidiki perkembangan bahasa Indonesia yang dimulai sejak jaman adanya prasasti di Kedukan Bukit sampai kini. Penelitian linguistik secara diakronis dalam kajian ini menggunakan pendekatan top-down approach untuk menentukan unsur fonologi yang mengalamai inovasi. Dalam hal ini top-down approach dilakukan antara bahasa induk dengan BMT yang pernah menjalin kontak dengan penutur bahasa tersebut. Untuk itu bahasa induk yang digunakan adalah penelitian Melayik Purba atau Protobahasa Melayik (PM), Adelaar, (1992). Dalam penelitian ini, kajian secara diakronis dimaksudkan pada upaya membuat analisis inovatif dan retensif.

Menurut Mahsun, (1995:83) dalam ilmu linguistik unsur-unsur kebahasaan yang mengalami perubahan dalam bahasa, dialek/subdialek yang diteliti itu disebut inovasi. Kemudian Mahsun, (1995:84) menjelaskan, dalam kajian dialektologi inovasi mengandung pengertian bahwa unsur-unsur yang berupa inovasi itu merupakan unsur yang sama sekali baru, Jadi, bukan unsur pewarisan dari suatu bahasa purba yang telah mengalami adaptasi sesuai dengan kaidah perubahan bunyi yang berlaku. Djantra Kawi (dalam Mahsun, 1995:84) mencontohkan kata [iwak] ’ikan’ pada dialek Banjar.

Page 101: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

95Retensi dan Inovasi... oleh Muhammad Toha

Kata tersebut merupakan inovasi (pengaruh bahasa Jawa), karena distribusi kata itu terbatas pada dialek Banjar saja, tidak terdapat pada bahasa Melayu lain (dialek Banjar termasuk rumpun bahasa Melayu). Bahasa-bahasa Melayu lainnya menggunakan kata [ikan] untuk merealisasikan makna tersebut.

Selain dapat berubah, unsur-unsur kebahasaan dapat pula statis atau tidak berubah atau bertahan yang disebut retensi. Artinya pada bahasa, dialek/subdialek tertentu masih dapat ditemukan warisan unsur-unsur kebahasaan lama yang merupakan warisan dari bahasa purba yang menurunkan bahasa, dialek/subdialek tersebut.

Dengan demikian masalah yang dibicakarakan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah retensi dan inovasi yang terjadi dalam fonem BMT? Oleh sebab itu, tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk retensi dan inovasi fonem dari bahasa Protonya pada BMT.

Tinjauan Pustaka Penelitian ini dilatarbelakangi adanya sejumlah penelitian dan tulisan tentang bahasa-bahasa di Aceh. Diantaranya dilakukan: 1. Lumban Batu, (1998) yang mengkaji Sintaksis kalimatnya BMT. Penelitian ini

difokuskan pada ciri-ciri dan jenis-jenis kalimat BMT yang terdapat di Kecamatan Karang Baru. Cakupan daerah dalam penelitian ini dalam satu Kabupaten Aceh Tamiang dilakukan pada satu kecamatan saja.

2. Akbar, dkk, (1985) menulis Pemetaan Bahasa Aceh, Alas, dan Gayo. Penelitian ini menggunakan 350 kosakata yang terdiri dari 200 kosakata bahasa Indonesia yang sebagian termasuk dalam daftar kata Swadesh, 100 kata serapan dari bahasa Arab, dan masing-masing 25 kata serapan dari bahasa Belanda dan bahasa asing lainnya. Data yang dihimpun berasal dari 18 daerah kecamatan pada kantung masing-masing ketiga bahasa di atas. Perbandingan dilakukan antardialek masing-masing bahasa atau tidak sampai pada level antarbahasa.

3. Penelitian Voorhoeve, yang berjudul Critical Survey of Studies on the Languages of Sumatra (dalam Akbar, 1980:2) menyatakan adanya 4 bahasa di provinsi Aceh yakni bahasa Aceh, Gayo, Simalur, dan Sikhule. Penelitian ini tidak menjelaskan jumlah data yang dianalisis dan metode yang digunakan di dalamnya

4. Hasan, dkk. dalam Kesenian Gayo dan Perkembanganya, menyebut adanya BMT sebagai salah satu bahasa daerah yang terdapat di Provinsi Aceh. Penelitian tersebut memetakan daerah kediaman asli suku-suku bangsa di Aceh berdasarkan sumber Lembaga Sejarah dan Purbakala Departemen P & K (dalam Akbar, 1980:2-3).

5. Tim Pemetaan Bahasa Balai Bahasa Provinsi Aceh, (2007) dalam Hubungan Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-Bahasa di Provinsi Nanggore Aceh Darussalam mengkaji keberadaan bahasa-bahasa di Provinsi Aceh. Penelitian ini menggunakan 400 kosakata. Hasil dari penghitungan dialektometri menyatakan adanya 8 bahasa di Provinsi Aceh, yaitu, bahasa Aceh, Devayan, Sigulai, Gayo, Jawa, Minang, Batak, dan Melayu. Langkah

Metode PenelitianPenelitian ini menggunakan metode deksriptif kualitatif, yaitu mendeskripsikan inovasi dan retensi fonem vokal dan konsonan pada BMT. Kekualitatifan penelitian ini berkaitan dengan data yang dianalisis berupa fonem.

Page 102: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

96 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Sumber data berasal dari Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh pada empat daerah pengamatan yakni Desa Kampung Durian Kec. Rantau, Desa Rantau Bintang Kec. Bandar Pusaka, Desa Sekerak Kanan Kec. Sekerak, dan Desa Bandar Khalifah Kec. Tamiang Hulu.

Sumber data diperoleh melalui kegiatan pengumpulan data dari informan yang menetap di daerah pengamatan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa daftar tanyaan yang memuat 400 kosakata; 200 kosakata Swadesh (Revisi Blust, 1980) dan 200 kosakata Budaya Dasar yang meliputi Bagian Tubuh (52 kosakata), Sistem Kekerabatan (25 kosakata), Gerak Tubuh ( 98 kosakata), dan Kata Tugas (25 kosakata).

Penetapan jumlah 400 kosakata sebagai data karena dua alasan. Pertama, mengacu pada jumlah dan tipe data yang sama yang digunakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional atau Badan Bahasa dalam penelitian Hubungan Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia yang berlangsung sejak tahun 1992. Kedua, kosakata ini sudah teruji sebagai kosakata yang selalu memiliki berian pada semua isolek yang diteliti, (Riswara, 2011:33).

Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan metode cakap, Sudaryanto, (1988b:2). Metode simak diterapkan pengumpul data dengan menyimak penggunaan bahasa lisan yang dituturkan informan selama proses wawacara. Adapun metode cakap ditempuh dengan cara bercakap-cakap antara pengumpul data dengan informan. Dengan kata lain, terjadi kontak antara pengumpul data dan informan. Kontak ini terjadi di setiap daerah pengamatan.

Adapun alat yang digunakan untuk pengumpulan data adalah alat perekam, laptop dan daftar tanyaan.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode komparatif yang bersifat kualitatif. Langkah penggunaan metode ini adalah dengan merekonstruksi hubungan antarbahasa dengan cara merunutnya berdasarkan anasir warisan fonem dari peringkat yang lebih tinggi (PM) ke tingkat yang lebih rendah (BMT). Ini dilakukan untuk menentukan unsur-unsur yang mengalami inovasi dalam bahasa Melayu Tamiang yang digunakan pada saat sekarang. Adapun protobahasa yang digunakan dari hasil rekonstruksi bahasa Melayik Purba atau Protobahasa Melayik (PM) (Adelaar, 1992).

Pembahasan Retensi VokalFonem vokal yang mengalami retensi atau warisan yang masih dipertahankan BMT dari PM hingga kini ada 4 vokal, yaitu: /*a/, /*∂/, /*i/, dan /*u/.

Bukti adanya retensi vokal PM tersebut pada BMT dari dapat dilihat pada contoh berikut ini:1. *a > a / # -

Misalnya: PM BMT Gloss*akaR akOR ’akar’*anak anaˀ ’anak’ *asap asap ’asap’*aŋkat aŋkɛˀ ’angkat (me)’

Page 103: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

97Retensi dan Inovasi... oleh Muhammad Toha

2. *a > a / K - KMisalnya: PM BMT Gloss*hayam ayam ’ayam’*baisan bisan ’besan’*qatep atap ’atap’*ihekan ikan ’ikan’*jalan jalan ’jalan’*bulan bulan ’bulan’

3. *∂ > | / K - KMisalnya: PM BMT Gloss*t∂bel təbal ’tebal’*b∂li bəli ’beli’*p∂rut pəRu? ’perut’*d∂ŋ∂r dəŋOR ’dengar’*b∂rat bəRɛˀ ’berat’

4. *i > i / # -Misalnya: PM BMT Gloss*ikan ikan ’ikan’*qitem itam ’hitam ’*hi(ŋ)s∂p (ŋ) isap ’hisap’*ikur ikOR ’ekor’*ik∂t ikɛˀ ’ikat’

*i > i / K-KMisalnya: PM BMT Gloss*aŋin aŋiŋ ’angin’*inum minUm ’minum’*kilat kilɛˀ ’kilat’*dilah lidah ’lidah’

5. *i > i /- #Misalnya: PM BMT Gloss*hari aRi ’hari’*kaki kaki ’kaki’*gigi gigi ’gigi’

Page 104: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

98 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

*tali tali ’tali’*buni (bə) buni ’sembunyi’

6. *u > u / # - Misalnya: PM BMT Gloss*ul∂r ulOR ’ular’*uraŋ uRaŋ ’orang’*uap kuwap ’menguap’*ut∂k utaˀ ’otak’*urat uRɛˀ ’urat’

7. *u > u / - #Misalnya: PM BMT Gloss*tahu tau ’tahu’*malu malu ’malu’*bAharu baRu ’baru’*batu batu ’batu’*habu abu ’abu’

Retensi KonsonanFonem konsonan yang mengalami retensi atau warisan, yang masih dipertahankan BMT dari PM sampai kini sebanyak 16 konsonan, yaitu: /*p/, /*d/, /*b/, /*g/, /*h/, /*j/, /*k/, /*l/, /*m/, /*n/, /*s/, /*t/, /*w/, /*y/, /*~n/, dan /*G/.

Bukti adanya retensi konsonan PM tersebut pada BMT dari dapat dilihat pada contoh berikut ini:1) *p > p / # -

Misalnya:No PM BMT Glos1. *pərut pəRuˀ ‘perut’2. *putih putIh ‘putih’3. *pandak pɛndɛˀ ‘pendek’4. *pusat pusɛˀ ‘pusat’5. *pərəs pəRah ‘memeras’

2) *p > p / K - KMisalnya:No PM BMT Glos1. *əmpat əmpaˀ ‘empat’2. *rumput RumpUˀ ‘rumput’3. *impi mimpi ‘bermimpi’

Page 105: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

99Retensi dan Inovasi... oleh Muhammad Toha

3) *p > p / - #Misalnya:No PM BMT Glos1. *asap asap ‘asap’2. *hatəp atap ‘atap’3. *sayap sayap ‘sayap’4. *hidup idUp ‘hidup’5. *uap kuwap ‘menguap’

4) *d > d / # -Misalnya:No PM BMT Glos1. *dada dadO ‘dada’2. *duduk dudUˀ ‘duduk’3. *dari daRi ‘dari’4. *dagiŋ dagiŋ ‘daging’5. *darah daRah ‘darah’

5) *d > d / K - KMisalnya:No PM BMT Glos1. *hidung idUŋ ‘hidung’2. *hidup idUp ‘hidup’3. *mandi mandi ‘mandi’4. *tidur tidUR ‘tidur’5. *ludah (ŋə) ludah ‘meludah’

6) *b > b / # - Misalnya:No PM BMT Glos1. *buka bukO ‘buka’2. *bintaŋ bintaŋ ‘bintang’3. *buŋa? buŋO ‘bunga’4. *bulan bulan ‘bulan’5. *bərat bəRɛˀ ‘berat’

7) *b > b / K - KMisalnya:No PM BMT Glos1. *rambut RambUʸ? ‘rambut’2. *timbak tɛmbaˀ ‘menembak’3. *t/umb/uh tumbUh ‘bertumbuh’

Page 106: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

100 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

4. *tAr(ə)baŋ təRbaŋ ‘terbang’5. *kabut kabuˀ ‘kabut’

8) *g > g / # - Misalnya:No PM BMT Glos1. *gigi gigi ‘gigi’2. *garuk gaRu ‘menggaruk’

9) *g > g / K - KMisalnya:No PM BMT Glos1. *dagiŋ dagiŋ ‘daging’

10) *h > h / K - KMisalnya:No PM BMT Glos1. *paha pəhO ‘paha’2. *tahu tau ‘tahu’3. *lihər lɛhɛOR ‘leher’4. *jahit jaIˀ ‘menjahit’5. *jahat jɛhɛˀ ‘jahat’

11) *h > h / - #Misalnya:No PM BMT Glos1. *darah daRah ‘darah’2. *rumah Rumah ‘rumah’3. *bunuh bunUh ‘membunuh’4. *bəlah bəlah ‘membelah’5. *pilih pilih ‘memilih’

12) *j > j / # - Misalnya:No PM BMT Glos1. *jalan jalan ‘jalan’2. *jahat jɛhɛˀ ‘jahat’3. *jahit jaIˀ ‘menjahit’4. *jarum jaRum ‘jarum’5. *jauh jauh ‘jauh’

Page 107: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

101Retensi dan Inovasi... oleh Muhammad Toha

13) *j > j / K - KMisalnya:No PM BMT Glos1. *tajam tajam ‘tajam’2. *panjaŋ panjaŋ ‘panjang’3. *hujan ujan ‘hujan’4. *hijau ijO ‘hijau’

14) *k > k / # - Misalnya:No PM BMT Glos1. *kecil kəciˀ ‘kecil’2. *kulit kuliˀ ‘kulit’3. *kanan kanan ‘kanan’4. *kutu kutu ‘kutu’5. *kayu kayu ‘kayu’

15) *k > k / K - KMisalnya:No PM BMT Glos1. *buka bukO ‘membuka’2. *ihekan ikan ‘ikan’3. *kaki kaki ‘kaki’4. *akaR akOR ‘akar’5. *aŋkat aŋkɛˀ ‘angkat (me)’

16) *l > l / # -Misalnya:No PM BMT Glos1. *lihər lɛhɛOR ‘leher’2. *ludah (ŋə) ludah ‘meludah’3. *laut laəˀ ‘laut’

17) *l > l / K - KMisalnya:No PM BMT Glos1. *kulit kuliˀ ‘kulit’2. *tulaŋ tulaŋ ‘tulang’3. *mulut mulUˀ ‘mulut’

Page 108: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

102 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

18) *m > m / # - Misalnya:No PM BMT Glos1. *makan makan ‘makan’2. *malam malam ‘malam’3. *mata matO ‘mata’4. *mandi mandi ‘mandi’5. *mulut mulUˀ ‘mulut’

19) *m > m / K - KMisalnya:No PM BMT Glos1. *kami kami ‘kami’2. *rumah Rumah ‘rumah’3. *səmpit səmpIˀ ‘sempit’

20) *m > m / - #Misalnya:No PM BMT Glos1. *tikəm tikam ‘menikam’2. *ayam ayam ‘ayam’

21) *n > n / # - Misalnya:No PM BMT Glos1. *naik naɛˀ ‘naik’

22) *n > n / K - KMisalnya:No PM BMT Glos1. *bunuh bunUh ‘membunuh’2. *anak anaˀ ‘anak’

23) *n > n / - #Misalnya:No PM BMT Glos1. *tahun taUn ‘tahun’2. *taŋan taŋan ‘tangan’3. *turun tuRun ‘turun’4. *makan makan ‘makan’5. *ihekan ikan ‘ikan’

Page 109: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

103Retensi dan Inovasi... oleh Muhammad Toha

24) *s > s /# - Misalnya:No PM BMT Glos1. *sayap sayap ‘sayap’2. *səmpit səmpiˀ ‘sempit’3. *sakit sakiˀ ‘sakit’

25) *s > s /K - KMisalnya:No PM BMT Glos1. *asap asap ‘asap’2. *basah basah ‘basah’3. *bəsar bəsOR ‘besar’4. *busuk busuˀ ‘busuk’

26) *t > t /# - Misalnya:No PM BMT Glos1. *tulis tulih ‘tulis’2. *turun tuRun ‘turun’3. *taŋan taŋan ‘tangan’4. *takut takUˀ ‘takut’5. *tidur tidUR ‘tidur’

27) *t > t /K - KMisalnya:No PM BMT Glos1. *batu batu ‘batu’2. *kutu kutu ‘kutu’3. *kita? kitO ‘kita’4. *datəŋ dataŋ ‘datang’5. *bintaŋ bintaŋ ‘bintang’

28) *w > w / K - KMisalnya:No PM BMT Glos1. *awan awan ‘awan’

29) *y > y / K - KMisalnya:No PM BMT Glos1. *sayap sayap ‘sayap’

Page 110: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

104 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

2. *ayam ayam ‘ayam’3. *kayu? kayu ‘kayu’

30) *~ñ > ~ñ / # - Misalnya:No PM Dialek Hulu Glos1. *ñamuk ~ñamOˀ ‘nyamuk’

31) *~ñ > ~ñ / K - KMisalnya:No PM BMT Glos1. *kuñah ku~ñah ‘mengunyah’

32) *ŋ > ŋ / K - KMisalnya:No PM Dialek Hulu Glos1. *dəŋər dəŋOR ‘mendengar’2. *bəŋkak bəŋkaˀ ‘bengkak’3. *buŋa buŋO ‘bunga’4. *taŋan taŋan ‘tangan’5. *laŋit laŋiˀ ‘langit’

33) * ŋ > ŋ / - #Misalnya:No PM BMT Glos1. *datəŋ dataŋ ‘datang’2. *tulaŋ tulaŋ ‘tulang’3. *hiduŋ idUŋ ‘hidung’4. *uraŋ uRaŋ ‘orang’5. *caciŋ caciŋ ‘cacing’

Inovasi VokalFonem vokal yang mengalami inovasi BMT dari PM sebanyak 2, yaitu: /*a/ dan /*u/. Bukti adanya retensi vokal BMT dari PM dapat dilihat pada contoh berikut ini:refleks PM /*u/ < DTHu /U/ (/K-K) dan refleks PM /*a/ < DTHu /O/ (/- #)1. *u < U / K -K

Misalnya: PM DTHu Gloss*takut takUˀ ’takut’*mulut mulUˀ mulut’*labuh ləbUˀ ’jatuh’*hidung idUG ’hidung’

Page 111: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

105Retensi dan Inovasi... oleh Muhammad Toha

2. *a < O / - #Misalnya: PM DTHu Gloss*mata matO ’mata*dia diyO ’dia’*dua duwO ’dua’*tAliŋa təliŋO ’telinga’*buka bukO ’buka’

Inovasi KonsonanFonem konsonan yang mengalami inovasi BMT dari PM sebanyak 6, yaitu: /*h/, /* k/, /* l/, /* r/, /* s/, dan /* t/. Bukti adanya retensi vokal BMT dari PM dapat dilihat pada contoh berikut ini:refleks PM /* h/ < BMT /Ø/ (/ # -), refleks PM /* k/ < BMT /?/ (/- #), refleks PM /* l / < BMT / ?/ (/- #), refleks PM /* r/ < BMT /R/ (/# -), refleks PM /* r/ < BMT /R/ (/K-K), refleks PM /* r/ < BMT /R/ (/- #), refleks PM /* s/ < BMT /h/ (/- #) dan refleks PM /* t/ < BMT / ?/ (/- #).1) *h > Ø / # -

Misalnya:No PM BMT Glos1. *hidung idUŋ ‘hidung’2. *hidup idUp ‘hidup’3. *hati ati ‘hati’4. *habu abu ‘abu’5. *hi(ŋ)səp (ŋ) isap ‘mengisap’

2) *k > ? / - #Misalnya:No PM BMT Glos1. *pendek pɛndɛˀ ‘pendek’2. *anak anaˀ ‘anak’3. *bəŋkak bəŋkaˀ ‘bengkak’4. *biluk bɛlOˀ ‘belok’

3) *l > ? / - #Misalnya:No PM BMT Glos1. *kecil kəciˀ ‘kecil’

4) *r > R / # - Misalnya:No PM BMT Glos1. *rumput RumpUˀ ‘rumput’2. *rumah Rumah ‘rumah’

Page 112: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

106 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

3. *rambut RambUʸˀ ‘rambut’4. *rusuk Rusuˀ ‘rusuk’

5) *r > R / K - KMisalnya:No PM BMT Glos1. *pərut pəRuˀ ‘perut’2. *hari aRi ‘hari’3. *bAharu baRu ‘baru’4. *bərat bəRɛˀ ‘berat’5. *pərəs pəRah ‘memeras’

6) *r > R / - #Misalnya:No PM BMT Glos1. *dəŋər dəŋOR ‘dengar’2. *akaR akOR ‘akar’3. *ikur ikOR ‘ekor’4. *təlur təlUR ‘telur’5. *ulər ulOR ‘ular’

7) *s > h / - #Misalnya:No PM DBT Glos1. *tulis tulih ‘tulis’2. *atas atɛh ‘atas’3. *tikus tikUh ‘tikus’4. *nipis tipih ‘tipis’5. *pəras pəRah ‘memeras’

8) *t > ? / - #Misalnya:No PM BMT Glos1. *kulit kuliˀ ‘kulit’2. *sakit sakiˀ ‘sakit’3. *angkat aŋkɛˀ ‘angkat’4. *bərat bəRɛˀ ‘berat’

PenutupBerdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa Melayu Tamiang memiliki 17 konsonan yaitu /*b/, /*d/, /*g/, /*h/, /*j/, /*k/, /*l/, /*m/, /*n/, /*p/, /* r/, /*s/, /*t/, /*w/, /*y/, /*ñ/, /*ŋ/, dan /*ˀ/ dan 4 vokal yaitu /*i/, /*∂/, /*a/, dan /*u /.

Sebagian besar fonem-fonem konsonan dan vokal PM masih dipertahankan

Page 113: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

107Retensi dan Inovasi... oleh Muhammad Toha

keberadaannya oleh BMT. Dengan kata lain, masih ada kesamaan BMT dengan bahasa protonya.

Sedangkan konsonan-konsonan yang mengalami inovasi berjumlah 6 konsonan yaitu * h < Ø/ , * k < / ˀ /, * l < / ˀ/, * r < /R/ , * s < /h/ dan * t < / ˀ/ dan fonem vokal yang mengalami inovasi sebanyak 2, yaitu: *u < /U/ , dan *a < /OO/.

DAFTAR PUSTAKA

Adelaar, K. Alexander. Proto Malayic: The Reconstruction of Its Phonology and Parts of Its Lexicon and Morphology. Department of Linguistics Research School of Pacific Studies The Australian National University.1992

Akbar, M. Osra dkk. Pemetaan Bahasa Aceh, Gayo, dan Alas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1985

Durie, Mark. A Grammar of Acehnese on the Basis of a Dialect of North Aceh. Foris Publication. Dordrecht-Holland/Cinnaminson-U.S.A. 1985

Lumban Batu, Tri Julianti. Jenis-Jenis Kalimat Dalam Bahasa Melayu Tamiang di Kecamatan Karang Baru. Medan: Universitas Sumatera Utara Fakultas Sastra Jurusan Sasatra Daerah Program Studi Bahasa dan Sastra Melayu. 1998

Mahsun. Dialektologi Diakronis Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti Press. 1995

---------------. Makalah. Seminar Politik Bahasa pada tanggal 8-12 November 1999 di Cisarua, Bogor.

Riswara, Yanti. Rekonstruksi Protofonem dan Inovasi Fonologis Bahasa Melayu Riau. Padang: Program Pasca Sarjana Universitas Andalas. 2011

Sudaryanto. Metode Linguistik Bagian Kedua: Metode dan Aneka Teknik Mengumpulkan Data. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1988b.

Tim Pemetaan Bahasa. Laporan Hubungan Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-Bahasa di Provinsi Nanggore Aceh Darussalam. Banda Aceh: Departemen Pendidikan Nasional Balai Bahasa Banda Aceh. 2008

http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2693/nyeraya-etika-pergaulan-sosial-masyarakat-melayu-tamiang-nanggroe-aceh-darussalam diunduh tanggal 11 April 2012

Page 114: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

108 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Page 115: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

109Mekanisme Ideal... oleh Iskandar Syahputera

MEKANISME IDEAL PERENCANAAN BAHASA

olehIskandar Syahputera

Balai Bahasa Provinsi [email protected]

ABSTRAK

Sebuah mekanisme yang ideal dari sebuah perencanaan bahasa mutlak diperlukan untuk menjaga status vitalitas sebuah bahasa dan menghindarkan tingkat vitalitas bahasanya turun pada tingkatan terancam atau bahkan pada tingkat kepunahan bahasa. Oleh karena itu, kajian literatur ini diharapkan menemukan sebuah formulasi baru atau mekanisme ideal dari perencanaan bahasa secara umum dan perencanaan bahasa daerah khususnya, yang pada saat bersamaan menjawab pertanyaan tentang bagaimana sebuah mekanisme yang ideal dalam sebuah perencanaan bahasa melalui sebuah analisis dan sintesis dari teori-teori dan konsep-konsep yang ada pada perencanaan bahasa. Setelah melalui proses analisis dan sintesis, ditemukan bahwa Alat Assesment Vitalitas Bahasa dapat menjadi sebuah mekanisme yang ideal dalam sebuah perencanaan bahasa yang digunakan sebagai langkah awal sebelum memulai langkah perencanaan bahasa berikutnya.

Kata kunci: mekanisme ideal perencanaan bahasa, alat assesment vitalital bahasa,

PendahuluanAncaman kepunahan bahasa daerah dari waktu ke waktu terus meningkat. Hal ini ditandai dengan turunnya tingkat vitalitas suatu bahasa yang diukur melalui skala pengukuran vitalitas bahasa. Seorang linguist dari universitas Cornell, Abby Cohn dalam Glaser1 mengatakan bahwa Indonesia yang memiliki 700 bahasa adalah sebuah bangsa yang paling multibahasa di dunia. Sayangnya, pada sebahagaian bahasa tersebut, jumlah penutur aslinya tinggal hanya beberapa ratus saja. Hal ini menunjukkan bahwa vitalitas bahasa ini jelas terancam. Sebagai ilustrasi, ada sebuah fakta menarik mengenai status kebahasaan yang ada di Indonesia ditambahkan oleh Abby Cohn, dan belum pernah diduga sebelumnya, bahwa meskipun bahasa Jawa yang memiliki penutur 10 jutaan lebih, tetapi hal ini perlu dipertimbangkan sebagai sebuah bahasa yang memiliki resiko terancam punah, “Jika generasi berikutnya tidak lagi belajar bahasa tersebut, maka akan terjadi penurunan jumlah penutur yang cepat.” Kenyataan ini dikarenakan kurangnya

Page 116: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

110 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

atau terbatasnya kesempatan pada proses perpindahan bahasa antar generasi. Hal ini sesuai dengan apa yang ditemukan oleh Cohn pada hasil penelitiannya.

Mengatasi masalah dan fenomena kebahasaan tersebut berbagai upaya pun telah banyak dilakukan dengan tujuan agar bahasa daerah tetap lestari dan memiliki vitalitas yang tinggi ditengah pengembangan bahasa Indonesia, sehingga pelestarian bahasa daerah akan terlaksana dengan sistematis dan tepat sasaran. Akan tetapi hal ini dapat terjadi apabila proses perencanaan bahasa dilakukan dengan melalui sebuah mekanisme atau tahapan-tahapan perencanaan bahasa yang benar, dengan bedasarkan kebutuhan dan fakta-fakta status kebahasaan di lapangan.

Adapun yang terjadi saat ini adalah perencanaan bahasa tidak berdasarkan pada skala prioritas, kebutuhan dan fakta-fakta mengenai status kebahasaan dari bahasa yang akan direncanakan dalam sebuah perencanaan bahasa. Untuk itu kajian ini merupakan sebuah kajian literature yang berusaha mengumpulkan pemikiran-pemikiran mengenai perencanaan bahasa yang kemudian dianalisis melalui teknik sintesis sehingga dapat menemukan sebuah mekanisme yang ideal dari sebuah tahapan perencanaan bahasa pada umumnya dan perencanaan bahasa daerah secara khususnya.

Berbicara mengenai perencanaan adalah berbicara mengenai langkah-langkah yang akan dilaksanakan dalam rangka mencapai suatu target atau tujuan tertentu. Dalam konteks kebahasaan, dikenal adanya konsep perencanaan bahasa. Perencanaan bahasa merupakan suatu upaya yang terencana dan sistematis dalam pengembangan dan pembinaan bahasa. Adapun fokus dari perencanaan bahasa yang akan dibahas dalam kajian literatur ini adalah pada tataran langkah-langkah, tahapan-tahapan atau mekanisme perencanaan bahasanya, baik pada tingkatan nasional secara umum danperencanaan bahasa daerah secara khusus. Sehingga akan diketahui sebuah mekanisme perencanaan bahasa yang mana dapat dijadikan pijakan awal bagi penentuan langkah perencanaan bahasa bahasa baik secara nasional maupun daerah.

Hal ini menjadi penting untuk dikaji mengingat akar bahasa dan budaya dari bangsa Indonesia ini tentu berasal dari daerah-daerah dan suku budaya yang berbeda-beda pula. Tentu hal ini memerlukan penanganan dan perencanaan bahasa yang terarah dan terukur sehingga target yang diharapkan dapat dicapai. Mengingat karateristik dan status bahasa yang dimiliki oleh setiap bahasa di masing-masing daerah tersebut berbeda sehingga perencanaan bahasa yang akan dirancang tentunya akan berbeda pula.

Kajian literatur ini berupaya untuk merestrukturisasi atau memformulasikan kembali pendapat atau kajian-kajian para ahli mengenai langkah-langkah perencanaan bahasa yang telah dikembangkan oleh para linguist atau perencana bahasa hanya berfokus pada skala yang luas atau pada tataran tingkat nasional yang tidak dapat menampung atau mengakomodir kebutuhan pengembangan dan pelindungan bahasa-bahasa yang ada di tingkat daerah.

Diharapkan melalui kajian literatur ini akan menghasilkan sebuah formulasi atau mekanisme ideal yang baru dari konsep perencanaan bahasa yang ada. Adapun permasalahan yang ingin dijawab melalui kajian ini adalah bagaimana mekanisme ideal perencanaan bahasa secara umum dan bahasa daerah khususnya ?

Sebagai ilustrasi tambahan, kita dapat melihat situasi kebahasaan yang ada di provinsi Aceh. Sesuai dengan hasil pemetaan bahasa yang dilakukan pada tahun 1985 (hasil Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Istimewa Aceh oleh Drs. Osra M. Akbar, et al. dalam Hanoum et al. ditemukan ada 9 bahasa daerah yang ada

Page 117: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

111Mekanisme Ideal... oleh Iskandar Syahputera

di provinsi Aceh yaitu: 1) Bahasa Aceh, 2) Bahasa Gayo, 3) Bahasa Alas, 4) 5) Bahasa Aneuk Jamee (Dialek Minang), 6) a. Bahasa Kluet, b. Bahasa Singkel, 7) Bahasa Melayu Tamiang, 8) Bahasa Pulo, dan 9) a. Bahasa Simeulu Timur, b. Bahasa Simeulu Barat.2

Secara umum diketahui bahwa jumlah penutur terbanyak dari bahasa-bahasa yang tersebut adalah bahasa Aceh yang dituturkan pada lebih dari 12 kabupaten dan kota yang ada di provinsi Aceh dari 23 kabupaten dan kota yang ada dan diikuti oleh bahasa Gayo, Alas dan seterusnya. Diantara bahasa-bahasa daerah tersebut maka bahasa Acehlah yang paling banyak penuturnya. Hal ini dianalisis baru pada indikator sensus jumlah penduduk yang ada pada setiap kabupaten kota yang ada. Sehingga perlu penelitian lebih lanjut sesuai dengan indikator yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya seperti yang disampaikan oleh Moseley bahwa kriteria tingkatan bahasa yang statusnya terancam punah dalam beberapa tingkatan seperti yang di gambarkan pada tabel di bawah ini:

Tabel.1 Tingkat Keterancaman Kepunahan Bahasa3

skorTingkat Keterancaman

Kepunahan Bahasa(degree of endangerment)

Perpindahan Bahasa Antar Generasi(intergenarational language transmission)

0 Aman (safe) Bahasa dituturkan oleh seluruh generasi; perpindahan bahasa antar generasi tidak terganggu; tidak termasuk di dalam peta bahasa terancam punah (map of endangered languages).

1 Rentan (vulnerable) Kebanyakan anak – anak masih menggunakan bahasa tersebut, akan tetapi penggunaannya masih terbatas pada tempat – tepat tertentu seperti; di (rumah).

2 Pasti Terancam Punah (definitely endangered)

Anak – anak tidak lagi belajar bahasa tersebut sebagai bahasa ibunya di rumah.

3 Terancam Punah dengan tingkatan parah (severely endangered)

Bahasa tersebut hanya digunakan oleh para kakek dan nenek dan generasi – generasi tua; sementara

4 Terancam Punah dengan tingkatan keritis (critically endangered)

Penutur yang paling muda yang menuturkan bahasa tersebut adalah seumuran kakek dan nenek dan bahkan lebih tua lagi, dan mereka menuturkan bahasa tersebut secara terpisah dan tidak sering

5 Punah (extinct) Tidak ada penutur yang tertinggal; dimasukkan dalam peta jika dinggap punah sejak tahun 1950

Sesuai dengan tabel 1 tingkat Keterancaman Kepunahan Bahasa di atas, dikatakan bahwa tingkat keterancaman kepunahan bahasa pada tingkatan yang pertama dengan skor (0) yaitu bahasa berada pada status aman dari kepunahan (safe); yang berarti bahwa bahasa tersebut aman dari kepunahan dan dituturkan oleh seluruh tingkatan generasi; perpindahan antar generasi tidak terganggu dan bahasa tersebut tidak termasuk dalam peta bahasa yang terancam punah.

Sesuai dengan fenomena yang terjadi lapangan maka yang terjadi sekarang adalah bahasa Aceh hanya dituturkan oleh sebahagian generasi yang berumur diatas 25 tahun,

Page 118: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

112 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

sementara tidak semua penutur yang berumur di bawah 25 tahun menuturkan bahasa Aceh dalam ranah-ranah seperti di sekolahan, di universitas bahkan sebahagian tidak lagi menuturkannya di rumah. Berdasarkan amatan penulis maka status keterancaman bahasa Aceh telah berpindah pada tingkatan yang ke 2 yaitu pada posisi rentan (vurnerabel) yang memiliki skor 1. Tentu untuk memastikan hal ini perlu ada penelitian lebih lanjut dengan mengunakan skala dan skala tambahan lainnya di atas.

Kenyataan tersebut tentu telah membawa konsekwensi logis terhadap urutan bahasa-bahasa daerah yang jumlah penuturnya berada di bawah jumlah penutur bahasa Aceh. Namun di sisi lain penggunaan bahasa Indonesia di kalangan generasi tersebut menunjukkan nilai yang positif meskipun hal ini membawa implikasi yang negatif terhadap keberlangsungan bahasa daerah. Merujuk pada fenomena kebahasaan di atas tentu perencanaan bahasa yang akan didesain harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut.

Selanjutnya tingkat keterancaman bahasa pada tingkatan yang ketiga dengan skor (2) adalah bahasa yang berada pada status pasti terancam punah (definitely endangered); yang berarti anak – anak tidak lagi belajar bahasa tersebut sebagai bahasa ibu. Tingkat keterancaman bahasa pada tingkatan yang keempat dengan skor (3) adalah bahasa yang berada pada status terancam punah yang parah (severely endangered); yang berarti bahasa itu hanya dituturkan oleh para orang tua dan generasi – generasi yang lebih tua, sementara generasi orang tua tersebut mungkin saja memahami bahasanya. Namun mereka tidak menuturkannya ke anak – anak atau di antara mereka sendiri.

Tingkat keterancaman bahasa pada tingkatan yang kelima dengan skor (4) adalah bahasa yang berada pada status terancam punah yang keritis (critically endangered); pada tingkatan ini penutur yang paling muda dari bahasa tersebut adalah para kakek –kakek dan nenek–nenek, dan mereka menuturkannya secara terpisah dan tidak secara sering. Tingkat keterancaman bahasa pada tingkatan yang keenam dengan skor (5) adalah status bahasa yang berada status punah (extinct); yang berarti tidak ada lagi penutur yang tertinggal atau tersisa sehingga bahasa ini dimasukkan kedalam peta bahasa yang terancam punah dengan status bahasa yang telah punah jika dianggap telah punah sejak tahun 1950.

Tabel.1 mengenai tingkat keterancaman pada kepunahan suatu bahasa di atas dapat dijadikan indikator untur mengukur apakah status suatu bahasa masih dalam keadaan aman atau menuju tingkatan yang berikutnya hingga tingkat punah. Sehingga dapat diketahui langkah – langkah apa yang akan disusun dalam perencanaan bahasa yang memuat langkah – langkah kajian apa yang akan dilakukan terlebih dahulu yang disesuaikan dengan status dan situasi kebahasaan tersebut.

Istilah perencanaan bahasa sebenarnya telah diperkenalkan pertama kali oleh Uriel Weinreich pada tahun 1957 pada sebuah seminar di Universitas Colombia seperti yang dikutip oleh Cooper dalam Garcia.4 Lalu Garcia menyebutkan bahwa Einar Haugen, seorang ahli bahasa Scandinafia yang pertama kali tercatat menggunakan istilah tersebut pada tahun 1959 yang merujuk pada “kegiatan penyiapan norma orthography, tata bahasa, dan kamus bagi bimbingan para penulis dan para penutur bahasa pada masyarakat tutur yang heterogen” Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa fokus kajian perencanaan bahasa Haugen adalah pada tataran penyiapan norma-norma atau tata bahasa dari sebuah bahasa.

Secara lebih rinci Haugen mendefinisikan perencanaan bahasa dalam empat aspek yaitu: 1) seleksi norma, 2) kodifikasi, 3) implementasi fungsi penebaran bahasa dan 4) pengelaborasian fungsi-fungsi untuk menyesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan bahasa. Secara umum dapat diketahui bahwa Haugen menekankan perencanaan

Page 119: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

113Mekanisme Ideal... oleh Iskandar Syahputera

bahasa pada aspek fungsi-fungsi bahasanya dalam konteks sosialnya. Masih menurut Garcia, sebuah artikel pernah diterbitkan oleh Joshua Fishman pada tahun 1965 yang berjudul“Who speaks what language to whom and when”. Pembahasan dalam artikelnya lebih terfokus sosiologi bahasa atau penggunaan bahasa dalam konteks sosial. .

Sehubungan dengan perencanaan bahasa daerah lebih lanjut diperkenalkan oleh Sugono yang mengatakan bahwa sebenarnya ada (6) tahapan perencanaan bahasa daerah di Indonesia yang terdiri dari; (1) penetapan kebijakan bahasa daerah, (2) penelitian bahasa daerah dalam berbagai aspek dan antar disiplin ilmu, (3) pengembangan (sandi) bahasa daerah, (4) pembinaan penutur bahasa daerah, (5) publikasi hasil – hasil penelitian pengembangan dan pembinaan bahasa daerah, serta (6) dokumentasi bahasa daerah. Dalam rancangannya Sugono menetapkan kebijakan bahasa daerah sebagai tahapan pertama dalam perencanaan bahasa daerah. Dalam langkah-langkah perencanaan bahasa yang disampaikan oleh Sugono, ia menyebutkan bahwa yang paling utama yang harus ditetapkan adalah kibijakan bahasa daerahnya terlebih dahulu dilanjutkan dengan langkah berikutnya yang berupa penelitian-penelitian dan seterusnya.5

Mengenai peran pemerintah dalam perencanaan bahasa seorang ahli bahasa Liddicoat dan Baldauf mengatakan berikut ini bahwa:

“Traditionally language planning research has focused on the actions of governments and similar macro-level institutions. Language planning as an academic discipline began in the context of nation-state formation following the end of colonialism”.6

Pernyataan di atas dipahami bahwa secara tradisional penelitian perencanaan bahasa hanya berfokus pada kegiatan–kegiatan yang bersifat pemerintahan atau pada lembaga-lembaga pada tingkatan makro atau dengan kata lain nasional. Dengan kata lain perencanaan bahasa yang merupakan sebuah disiplin akademis dimulai dari formasi yang tersusun dari konteks bangsa atau negara yang berakhir pada kolonialisme. Kolonialisme yang dimaksudkan adalah yang berakhir pada kolonialisme bahasa negara terhadap bahasa daerahnya sendiri.

Sebagai sebuah negara besar yang berdaulat harus menjaga keutuhan bahasa negaranya, namun di sisi lain juga tetap harus memberikan ruang terhadap pelestarian bahasa-bahasa daerahnya.

PembahasanBahasa Nasional dan Bahasa Daerah dalam Konteks Perencanaan BahasaIndonesia adalah sebuah negara kepulauan yang terbentang dari Sabang hingga Meuauke. Dengan kata lain Indonesia juga sering disebut sebagai sebuah negara kepulauan. Sebanding dengan jumlah sebaran pulau – pulau yang banyak dan sudah pasti Indonesia juga memiliki banyak suku yang memiliki banyak bahasa, adat dan budaya. Indonesia sendiri memiliki 746 bahasa daerah menurut Sugono. Dengan banyaknya jumlah bahasa dan budaya tersebut menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat multilingual dan multikultural. Sehingga bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia menjadi penting perannya sebagai alat pemersatu bangsa, penghubung (linguafranca) dan pembangunan bangsa.

Namun di sisi lain, fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional kadangkala menjadi penghalang terhadap pengembangan bahasa-bahasa daerah yang ada di

Page 120: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

114 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Indonesia. Ini bisa terjadi apabila terjadi kesalahan di dalam penetapan perencanaan bahasa daerah itu sendiri.

Selanjutnya Halim mengatakan bahwa konsep perencanaan bahasa di Indonesia dalam politik bahasa nasional meliputi dua hal pokok, yaitu pembinaan dan pengembangan bahasa. Pembinaan adalah merupakan suatu upaya meningkatkan mutu penggunaan bahasa dengan sasaran orangnya. Sementara yang dimaksud dengan Pengembangan adalah merupakan suatu upaya meningkatkan mutu bahasa dengan sasaran bahasanya. Secara lebih rinci perencanaan bahasa Indonesia, bahasa daerah dan bahasa asing telah dituangkan dalam “Rencana Induk Pengembangan dan Pembinaan Bahasa” tahun 1977.7

Dalam kaitannya dengan perencanaan bahasa, Halim menyatakan bahwa di dalam hubungannya dengan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai (1) pendukung bahasa nasional, (2) bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain, dan (3) alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah.

Sesuai dengan fungsi bahasa daerah di atas maka keberadaan bahasa daerah perlu untuk terus dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Mengingat bahwa bahasa daerah merupakan identitas bangsa, akar bahasa dan budaya bangsa ini.

Agar tidak terjadinya tumpang tindih antara kedudukan, dan fungsi masing – masing kelompok bahasa (bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing) maka secara nasional dipandang perlu untuk merancang politik bahasa nasional yang dituangkan dalam sebuah kebijakan bahasa nasional yang selanjutnya ditafsirkan dalam perencanaan dan kebijakan bahasa di daerah.

Mengenai perencanaan bahasa daerah Sugono telah menyampaikan pendapatnya yang menempatkan urutan penetapan kebijakan bahasa daerah pada urutan yang pertama. Sebuah kibijakan tidak dapat dibuat apabila tidak melalui sebuah proses assesment yang tercakup di dalamnya identifikasi masalah, penilaian, test, dan evaluasi menyeluruh. Sehingga ketika menetapkan suatu kebijakan dalam hal ini adalah kebijakan perencanaan bahasa daerah, akan memiliki dasar yang kuat dan sasaran yang jelas, terstruktur dan sistematis. Sehingga pada akhirnya diharapkan dapat memperoleh hasil yang maksimal.

Pola-pola perencanaan bahasa seperti yang diutarakan oleh Liddicoat dan Baldauf juga memiliki persamaan pola yang sama dengan apa yang disampaikan oleh Sugono yang masih memberikan begitu banyak otoritas kepada lembaga pemerintahan atau institusi pada tingkat makro atau skala nasional yang dalam hal ini sering melupakan bahwa penanganan kebahasaan pada setiap bahasa-bahasa yang ada di daerah perlu penangan yang berbeda pula. Pola penanganan yang akan dituangkan dalam perencanaan bahasa dalam hal ini bahasa daerah mestilah terlebih dahulu melalui sebuah proses assesment, evaluasi atau penilaian terhadap keadaan suatu bahasa tersebut yang pada akhirnya dapat dirumuskan sebuah formulasi prencanaan bahasa yang tepat.

Begitu juga dengan apa yang disampaikan oleh Cooper dan Haugen 1966 dalam Garcia bahwa mereka menuangkan perencanaan bahasa langsung pada hal-hal yang bersifat norma-norma atau aturan tata bahasa dan hal yang langsung bersifat teknis seperti documentasi bahasa, kodifikasi, penyebaran bahasa dan implementasi fungsi bahasa. Mereka juga melupakan hal yang paling penting sebagai tahapan awal perencanaan bahasa yaitu assessment dari sebuah bahasa yang akan dibuatkan perencaanaan bahasanya. Sehingga dapat ditentukan langkah-langkah prioritas penanganan yang terukur dan terarah.

Page 121: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

115Mekanisme Ideal... oleh Iskandar Syahputera

Mengenai mekanisme perencanaan dalam konteks nasional dan daerah dapat disesuaikan terhadap kebutuahan nasional yang juga tanpa mengesampingkan kebutuhan daerah. Seperti yang disampaikan oleh Halim bahwa konsep perencanaan bahasa di Indonesia meliputi dua hal pokok, yaitu pembinaan dan pengembangan bahasa. Pembinaan adalah merupakan suatu upaya meningkatkan mutu penggunaan bahasa dengan sasaran orangnya. Sementara yang dimaksud dengan Pengembangan adalah merupakan suatu upaya meningkatkan mutu bahasa dengan sasaran bahasanya. Hal ini memiliki dua target yang berbeda, yang satu berfokus pada pengguna bahasanya dan yang satu lagi berfokus pada bahasanya sebagai objek pengembangannya.

Sebagai gambaran sedikit dapat dilihat situasi kebahasaan bahasa daerah yang ada di provinsi Aceh, dalam hal ini adalah kasus bahasa Gayo sebagai salah bahasa dalam bahasa-bahasa daerah di provinsi Aceh. Menurut data yang di sampaikan dalam peta bahasa yang terancam punah dalam Languages of the World yang disampaikan oleh SIL bersumber pada etholoque bahwa status bahasa Gayo telah masuk dalam katagori 6b terancam (threatened) dengan kode ISO 639.8 Pengukuran ini menggunakan skala EGIDS (the expanded Intergenerational Disruption Scale) yang digunakan sebagai alat assesment sebuah vitalitas bahasa. Kode bahasa Gayo dalam tingkatan 6b ini diwarnai dengan warna kuning yang berarti bahasa sedang dalam gangguan (introuble) atau perpindahan bahasa antar generasi sedang mengalami proses kehancuran, tetapi generasi anak masih dapat menggunakan bahasa tersebut jadi ada kemungkinan bahwa usaha-usaha revitalisasi dapat merestorasi kembali perpindahan bahasa di dalam rumah (Intergenerational transmission is in the process of being broken, but the child-bearing generation can still use the language so it is possible that revitalization efforts could restore transmission of the language in the home).

Secara detail lihat skala pengukuran vitalitas bahasa yang dikeluarkan oleh SIL berikut ini.

Tabel 2. EGIDS (the Expanded Graded Intergenerational Disruption Scale)9

Page 122: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

116 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Sesuai dengan peta vitalitas bahasa di atas diketahui bahwa bahasa Gayo menduduki tingkat vitalitas bahasa pada tingkatan 6b yang bermakna “hanya orang-orang yang dewasa yang berumur di atas 30 tahun saja yang menggunakan bahasa tersebut”. Berdasarkan hasil assesment yang diungkapkan oleh SIL terhadap bahasa Gayo tersebut maka bahasa Gayo dalam status “terancam”.

Untuk itu pola perencanaan bahasa bagi program revitalisasi bahasa Gayo tersebut harus disesuaikan dengan statusnya terlebih dahulu. Dengan status bahasa pada tingkatan 6b ini, maka perencanaan program revitalisasi yang bisa ditawarkan seperti; program-program pembinaan yang (orangnya) menjadi target (penggunaa bahasanya) dan belum pada tahapan dokumentasi, kodifikasi bahasa dan lain sebagainya. Sehingga melalui pengetahuan akan status suatu bahasa yang diperoleh melalui asessment bahasa akan menghasilkan sebuah perencanaan yang terarah dan terukur dan sesuai dengan kebutuhan revitalisasi bahasa yang dimaksud. Namun sebenarnya pengukuran tingkat vitalitas bahasa tidaklah cukup hanya dengan menggunakan 1 skala pengukuran hal ini akan dibahas pada subbahasan berikut.

Langguage Vitality Assessments Toolssebagai Instrumen Utama Perencanaan BahasaBerbicara tentang Assesments adalah berbicara tentang evaluasi, penilaian, pengujian, pengukuran dan usaha mencari tahu tentang suatu kegiatan, keadaan atau situasi tertentu. Vitalitas bahasa yang dimaksudkan di sini adalah tingkat kekuatan bahasa yang diukur dari segi jumlah penutur, dokumen kebahasaan yang termasuk di dalamnya tata bahasa, kamus bahasa atau sistim ejaan dan penulisannya. Lebit lanjut vitalitas bahasa ini diterangkan oleh UNESCO sebagai berikut:

“The vitality of languages varies widely depending on the different situations of speech communities. The needs for documentation also differ under varying conditions. Languages cannot be assessed simply by adding the numbers; we therefore suggest such simple addition not be done. Instead, the language vitality factors may be examined according to the purpose of the assessment”.10

Menurutnya bahasa memiliki vitalitas yang berbeda-beda tergantung pada situasi atau kondisi kebahasaan dari komunitas penuturnya. Begitu juga halnya dengan kebutuhan terhadap dokumentasi bahasa yang juga berbeda sesuai dengan kondisi yang berbeda pula. Mereka menekankan bahwa penilaian atau asessment terhadap bahasa-bahasa yang ada tidak dapat dapat dilakukan hanya dengan sekedar menambahkan angka-angka. Dalam hal ini mereka menyarankan penambahan-penambahan angka yang sederhana tersebut untuk tidak dilakukan. Kecuali dengan mengikutkan faktor-faktor atau indikator lainnya yang disesuaikan menurut tujuan dari assessment tersebut.

Ketika hal ini dikaitkan dengan Language Assesment, maka kita tentunya akan berbicara tentang evaluasi dan pengukuran status atau keadaan suatu bahasa atau dengan kata lain mengukur vitalitas atau kekuatan bahasanya dari berbagai aspek atau indikator. Dalam hal ini, Dwyer mendefinisikan Language Assessment (LA) sebagai berikut:

“A language assessment is theprerequisite both to understanding language shift and to take measures to reverse it. Assessing the degree to which shift

Page 123: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

117Mekanisme Ideal... oleh Iskandar Syahputera

occurs invariably entails determining and applying arange of largely quantifiable sociolinguistic variables, such as the number and age of speakers, orwhether there is a writing system, educational materials, or media in the language”.11

Sesuai dengan definisi Dweyer di atas Language Assesment (LA) adalah suatu kebutuhan akan pemahaman perpindahan bahasa dan kebutuhan mengambil ukuran untuk memperbaikinya. Selanjutnya mengukur tingkatan perpindahan, penyimpangan atau interferensi bahasa yang sering muncul, yang diperlukan dalam penentuan dan penerapan serangkaian variabel-variabel yang dapat dihitung melalui pengukuran kuantitatif, seperti jumlah, dan umur para penutur bahasa, atau apakah tersedia sebuah sistim penulisan, bahan-bahan, pendidikan atau media dalam bahasa tersebut. Menurut pengertian yang disampaikan Dweyer ini dapat dipahami bahwa ada banyak variabel yang turut mempengaruhi kondisi atau status suatu bahasa. Sehingga LA suatu bahasa tidak cukup jika hanya menggunakan 1 skala ukuran saja atau sebagai contoh hanya dengan menggunakan Skala Penyimpangan Bahasa Antar Generasi Graded Intergenerational Disruption Scale (GIDS) yang diperkenalkan oleh Fishman dan diadopsi oleh para ahli seperti dalam Moseley dan diperbaharui oleh kelompok adhoc para ahli UNESCO.

Dengan tidak melupakan skala dari Fishman atau (ILT), selanjutnya Dwyer mengembangkan sebuah konsep LA yang menyeluruh yang melibatkan semua variabel yang bisa dijadikan indikator atau ukuran terhadap tingkat keterancaman sebuah bahasa yang dinamakan sebagai Alat-alat Assesment Vitalitas Bahasa Language Vitality Assessment Tools (LVAT). Dr. Arienne M. Dwyer sendiri adalah seorang Professor Associate di bidang antropologi linguistics dan pembantu direktur dari Institute for Digital Research pada bidang humaniora pada Universitas Kansas yang merupakan seorang spesialis pada bidang dokumentasi dan revitalisasi bahasa. Ia juga merupakan bagian dari salah satu komite ad hoc para ahli pada divisi Bahasa Terancam Punah (Language Endangerment) pada UNESCO tahun 2003.

Language Vitality Assesment Tools yang merupakan hasil pengembangan tim ad hoc para ahli UNESCO tersebut kembali diperkenalkan oleh Dwery yang terdiri dari 9 faktor skala yaitu,1) skala pergeseran bahasa antar generasi (intergeneration all language transmission), 2) angka pasti jumlah penutur (absolute number of speakers), 3) skala proporsi penutur dalam total populasi (proportion of speakers within the total population), 4) skala trend keberadaan ranah bahasa (trends in existing language domains), 5) skala respon terhadap ranah baru dan media (response to new domains and media), 6) skala materi ajar pendidikan bahasa dan baca tulis (materials for language education and literacy), 7) sikap bahasa pemerintah dan lembaga kebahasaan dan kebijakan, termasuk status resmi dan pengunaan bahasanya (governmental and institutional language attitudes and policies, including official status and use), 8) sikap anggota masyarakat terhadap bahasa mereka sendiri (community members’ attitudes toward their own Language), 9) jumlah dan kualitas dokumen kebahasaan (amount and quality of documentation).

Dapat diketahui dari penjabaran alat-alat penilaian vitalitas bahasa (Language Vitality Assesment Tools) di atas bahwa penilaian vitalitas bahasa harus mencakup semua faktor sehingga dapat mengasilkan sebuah penilaian yang konkrit tentang tingkat vitalitas sebuah bahasa apakah masih masuk pada tingkatan aman, rentan, terancam atau menuju kepada kepunahan bahasa yang pada akhirnya dapat menentukan sebuah langkah-langkah perencanaan bahasa yang tepat sasaran.

Page 124: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

118 Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Selanjutnya dapat direfleksikan dan disintesiskan tentang apa yang telah disampaikan dalam kajian literature sebelumnya bahwa konsep perencanan bahasa yang disampaikan oleh Fishman (1972) maupun Haugen (1966) hanya memfokuskan perencanaan bahasa pada fungsi sosialnya. Namun mereka tidak mengkonsepkan atau menyatakan secara tegas mana tahapan atau mekanisme awal yang harus dilaksanakan dalam sebuah tahapan perencanaan bahasa. Begitu juga dengan konsep yang disampaikan oleh Halim yang menekankan konsep perencanaan ke dalam fungsi bahasa yang dibagi menjadi dua bahagian yaitu pembinaan dan pengembangan bahasa. Pembinaan berfokus pada orangnya sementara pengembangan berfokus pada bahasanya. Dalam konsepnya Halim juga tidak mengatakan urutan, tahapan atau mekanisme mana yang terlebih dahulu dilaksanakan. Hal ini juga sama seperti apa yang diungkapkan oleh Sugono yang menetapkan kebijakan bahasa daerah pada urutan pertama pada perencanaan bahasa, namun Sugono tidak menyebutkan bahwa ada tahapan assesment sebelum membuat sebuah kebijakan dan perencanaan bahasa. Sementara Liddicoat dan Baldauf menjabarkan konsep perencanaan bahasa secara tradisional berarti segala kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah atau institusi makro yang berskala nasional yang berakhir dengan kolonialisme bahasa. Dan juga ia tidak menyampaikan secara khusus mengenai tahapan atau mekanisme perencanaan yang harus dimulai terlebih dahulu.

Dari segala uraian dikemukakan para ahli bahasa di atas maka ditemukan sebuah mekanisme perencanaan yang ideal yang dapat digunakan sebagai komonen utama dalam perencanaan bahasa yang sekaligus menjawab permasalahan dalam kajian literature ini. Adapun mekanisme ideal tersebut adalah alat-alat asessment vitalitas bahasa (Language assessment vitality tools) yang terdiri dari 9 faktor sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya dan telah diperkenalkan oleh UNESCO dan Dwery. Sebenarnya konsep LAVT ini merupakan pengembangan dari teori yang disampaikan oleh Fishman (1965) dan Haugen (1966) dalam Garcia yang memfokuskan fungsi bahasa dalam konteks sosialnya.

KesimpulanSetelah melalui proses analisis dan sintesis dari kajian literature yang ada maka dapat disimpulkan bahwa konsep Language Assessment Vitality Tools (LAVT) adalah sebuah mekanisme ideal dalam perencanaan bahasa. LAVT ini harus ditempatkan pada urutan pertama dalam sebuah perencanaan. Maka timbul pertanyaan berikutnya; mengapa harus (LAVT)? Jawabannya adalah bahwa melalui tahapan (LAVT) telah mengikut sertakan seluruh faktor atau unsur variabel yang berhubungan dengan penggunaan bahasa dalam konteks sosialnya. Sehingga akan diperoleh sebuah data atau informasi awal mengenai tingkat vitalitas suatu bahasa secara menyeluruh. Setelah perencana bahasa memperoleh data atau informasi vitalitas bahasa tersebut, maka akan dapat menentukan langkah, tahapan atau program perencanaan bahasa berikutnya. Hal ini diperlukan guna melihat apakah perencanaan bahasa tersebut akan memfokuskan targetnya pada program pembinaan bahasa (orang atau penutur bahasa yang menjadi targetnya). Dan dapat juga memfokuskan pada program pengembangan bahasa (yang targetnya adalah bahasanya seperti; pengembangan kamus bahasa, tata bahasa, atau ejaan yang termasuk dalam ranah (kodifikasi), perekaman (dokumentasi bahasa), dan pengembangan bahan ajar bahasa).

Page 125: daftar isi Prosiding Seminar Pendidikan Bahasa dan Sastra ...

119Mekanisme Ideal... oleh Iskandar Syahputera

RekomendasiMelalui reformulasi dari konsep perencanaan bahasa ini maka dapat direkomendasikan sebagai berikut:

Diharapkan para perencana bahasa dan para pengambil kebijakan dan perencanaan dibidang kebahasaan dapat menempatkan Language Assessment Tools (LAVT) dalam tahapan awal sebelum menentukan langkah perencanaan bahasa berikutnya.

Ucapan Terima KasihTerima kasih kepada para pengajar dan terutama pada pembimbing saya pada Pusbindiklat Peneliti LIPI gelombang XII telah memberikan banyak ilmu pengetahuan baru dan motivasi bagi pengembangan ilmu dan karir saya di masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Glaser, LB. 2014. Linguist shines light on endangered Indonesian languages (online). Available: www.news.cornell.edu.

Hanoum, S. 1986. Kata Tugas Bahasa Aceh. Banda Aceh: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah.

Moseley, Christopher (ed.). 2010. Atlas of the World’s Languages in Danger, 3rd edn (online). Paris. UNESCO Publishing. Available: www.unesco.org.

Garcia, Ofelia. 2015. Language Policy. A revision of the Previous edition article by J.A Fishman, volume 12, pp.8351-8355. Graduate Center, The City University of New York. New York: Elsevier Ltd.

Sugono, D. 2011. Perencanaan Bahasa Daerah di Indonesia. Salinka Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra. Vol 8 No 1 Edisi Juni. Padang: Balai Bahasa Padang.

Liddicoat, A.J. and Baldauf R.B. 2008. Language Planning and Policy Language Planning in Local Contexts. Clevedon: Multilingual Matters.

Halim, A. 1976. Politik Bahasa Nasional. Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Worldwide Languages of the World data from Ethnologue.com [Online] Available: http://www.sil.org/worldwide

Language Vitality EGIDS (the Expanded Graded Intergenerational Disruption Scale [Online]. Available: http://www.sil.org/about/endangered-languages/language-vitality

UNESCO Ad hoc expert group on endangered languages (Matthias Brenzinger, Arienne M.Dwyer, Tjeerd de Graaf, Collette Grinevald, Michael Krauss, Osahito Miyaoka, NicholasOstler, Osamu Sakiyama, María E. Villalón, Akira Y. Yamamoto, Ofelia Zapeda). 2003. Language vitality and endangerment. Document submitted to the International Expert Meeting on UNESCOProgramme Safeguarding of Endangered Languages, Paris, 10-12 March .2003. [Online]. Available: http://www.unesco.org/culture/ich/doc/src/00120-EN.pdf

Dwyer, Arienne M. 2011. Tools and techniques for endangered-language assessment and revitalization. In Vitality and Viability of Minority Languages.October 23-24, 2009. New York: Trace Foundation Lecture Series Proceedings. Preprint. [Online]. Available: http://www.trace.org/events/events_lecture_proceedings.html