VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

35
VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017

Transcript of VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

Page 1: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017

Page 2: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

JURNAL PRIMATOLOGI INDONESIA(The Indonesian Journal of Primatology)

ISSN 1410-5373

Volume 14, Nomor 1, Januari 2017

PENANGGUNG JAWABHuda S. Darusman

(Kepala Pusat Studi Satwa Primata LPPM-IPB)Chairul Saleh

(Perhimpunan Ahli dan Pemerhati Primata Indonesia)

KETUA EDITORSri Supraptini Mansjoer

ANGGOTA EDITORIrma H. Suparto, Dyah Perwitasari,

Entang Iskandar, Audrey Maria Ungerer

EDITOR TEKNIKWalberto Sinaga

Vallen Sakti MaulanaFhady Risckhy Loe

SEKRETARIAT DAN SIRKULASIRahayu Sulistina, R.M. Maulana,

Tita Ratnasari

ALAMAT REDAKSIPusat Studi Satwa Primata LPPM-IPBJalan Lodaya II No. 5, Bogor 16151

Telepon (0251) 8324358, 8313637, 8320417Faks. (0251) 8360712

Surat Elektronik: [email protected]: http://journal.ipb.ac.id/index.php/primata

PENERBITPusat Studi Satwa Primata LPPM-IPB

(PSSP LPPM-IPB)bekerja sama dengan

Perhimpunan Ahli dan Pemerhati Primata Indonesia

(PERHAPI)

Editorial

Indonesia memiliki 59 spesies dari 11 genus satwa primata yang ada di dunia. Populasi satwa primata Indonesia jumlahnya semakin menurun dan sebagian ada yang terancam punah antara lain orangutan dan tarsius. Penduduk Indonesia yang hidup menetap di sekitar hutan berjumlah 3,31%, yang hidupnya bergantung pada lahan dan sumber daya hutan, termasuk kawasan konservasi. Penyempitan habitat dan perburuan liar menjadi ancaman bagi kehidupan satwa primata kita. Dua puluh empat (24) spesies yang kita miliki merupakan satwa primata endemik, dan tersebar di berbagai pulau yang ada di Indonesia. Masih banyak satwa primata Indonesia tersebut yang belum diinventarisasi jenis dan sebarannya secara terperinci. Demikian pula karakteristik biologisnya pun banyak yang belum diketahui, sehingga masih perlu penelitian-penelitian untuk menyusun strategi pengembangannya. Selain itu, penurunan jumlah populasi juga dipengaruhi kondisi kesehatannya. Sudah menjadi tanggung jawab kita semua untuk lebih memberi perhatian agar harta kekayaan dunia yang ada di Indonesia harus dijaga keberadaannya.

Jurnal Primatologi Indonesia (JPI) merupakan jurnal ilmiah primatologi yang diterbitkan oleh Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (PSSP LPPM-IPB) bekerjasama dengan Perhimpunan Ahli dan Pemerhati Primata Indonesia (PAPPI). Tujuan dan ruang lingkup penelaahan: 1) satwa primata sebagai model dalam pencegahan dan penyembuhan penyakit manusia, 2) patologi, imunologi, parasitologi, mikrobiologi dan kedokteran hewan primata, 3) morfologi, fisiologi, reproduksi, taksonomi, pertumbuhan dan perkembangan, evolusi dan sistematika serta genetika satwa primata, 4) penangkaran, penanganan, metodologi eksperimen serta manajemen koloni dan laboratorium satwa primata, 5) ekologi, demografi, pelestarian dan manajemen kawasan konservasi satwa primata, 6) neurologi, tingkah laku, sosiologi, komunikasi, psikologi dan kesejahteraan satwa primata, dan 7) kebijakan pemanfaatan, pelestarian dan pengembangan satwa primata.

Langganan per-tahun dapat dilakukan dengan penggantian biaya cetak Rp 60.000,-. Informasi lebih lanjut dapat diperoleh melalui Bagian Sekretariat dan Sirkulasi JPI.

Foto profil dare diambil di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan

oleh Nurul Mukhlisah Program Studi Primatologi IPB

Jalan Lodaya II No. 5, Bogor 16151.E-mail: [email protected]

Page 3: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

Indonesian Primate ProfileMacaca mauraCommon Names: English: Moor Macaque, Celebes Macaque; French: Macaque maure; Spanish: Macaca mora; Indonesia: dare (IUCN 2008)

Macaca maura is one of the seven members of the genus Macaca that are endemic to South of Sulawesi Island. This species locally known as “dare”, which literally means monkey in the local language. This member of the Cercopithecidae family is found in Karaenta Forest, Bantimurung Bulusaraung National Park. The animals are distributed only in the southern and western peninsular of Sulawesi Island (Okamoto et al. 2000). This species protected by the Indonesian law and declared as critically endangered by the International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). The populations of this animal are fragmented and limited to the karst areas, where they are constantly threatened by cement quarry activities (Supriatna et al. 2008). The population density in Karaenta Forest was once estimated 70 individuals per km2 in 1998 (Okamoto et al. 2000), but the number keeps decreasing at a high rate for at least three generations, halving the population density to 25-50 individuals per km2.

Supriatna (2000) reported that on average, adult Moor macaques weigh 5-6 kg, 500-690 mm in body length, and 30-55 mm in tail length. Moor macaques are coated with light brown, blackish brown, to grey fur. The fur color varies from light brown to dark grey as the animal grows older. They have the characteristic of ischial callosity, an anogenital

pad that may swell and change in color to pink or red in females, according to the reproductive state of the animal. Sexual maturity is generally reached at 6-7 years of age. Interbirth interval is about 32 months (Okamoto et al. 2000).

Feeding is one of the most prominent activities in this species. Their diet consists of fruits, leaves, young leaves, insects, mushrooms, plant stems, and flowers (Lee et al. 2001). They usually gather food from one food resource and then take it to another tree where they feel safer to consume it. They use their cheek pouches to store and carry the food before eating it. All activities of this species are performed quadrupedally. In other words, they use their four limbs when they are either arboreal or on land.

The main threats to this species are habitat destruction and fragmentation (Evans et al. 2001). Occasionally, these animals are captured and eliminated by the local farmers where they are considered as intruders and a threat to the crops. The rapid human population growth has been pushing the Moor macaques aside, forcing them to move to the karst areas where the ecology is heavily exploited and cannot provide adequate food and shelter for the animals. This has been a very challenging problem, not only for the Moor macaques, but for every wildlife that is forced to survive in the karst areas of South Sulawesi.

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 1, Januari 2017, hlm. 1-2ISSN 1410-5373

Figure 1 Macaca maura (dare) at Bantimurung National Park, South Sulawesi (source: Nurul Mukhlisah 2015)

Page 4: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

References

Evans BJ, Supriatna J, Melnick DJ. 2001. Hybridization and population genetics of two macaque species in Sulawesi, Indonesia. Evolution 55(8): 1686-1702.

Lee RJ, Riley J, Merrill R. 2001. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi di Sulawesi Bagian Utara. Jakarta (ID): Wildlife Conservation Societies (WCS), Natural Resources dan Departemen Kehutanan.

Okamoto K, Matsumura S, Watanabe K. 2000. Life history and demography of wild Moor macaques (Macaca maurus): Summary of ten years of observations. American Journal of Primatology 52: 1-11.

Supriatna J. 2000. Primates of Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor.

Supriatna J, Froehlich JW, Erwin JM, Southwick CH. 1992. Population, habitat and conservation status of Macaca maurus, Macaca tonkeana and their putative hybrids. Tropical Biodiversity 1: 31-48.

Supriatna J, Shekelle M, Burton J. 2008. Macaca maura. The IUCN Red List of Threatened Species2008:e.T 1 2 5 5 3 A 3 3 5 6 2 0 0 . H t t p : / / d x . d o i .org/10.2305/IUCN.UK.2008.RLTS.T12553A3356200.en. Downloaded on 09 June 2016.

2 Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 1, Januari 2017, hlm. 1-2

Page 5: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 1, Januari 2017, hlm. 3-8ISSN 1410-5373

Spesies dan Sebaran Satwa Primata di Indonesia Species and Distribution of Primates in Indonesia

Ruskhanidar12*, Maulana VS2, Loe FR2

1Staf Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Pantekulu, Banda Aceh2Program Studi Primatologi, Program Multidisiplin, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor

*Korespondensi: [email protected]

Abstract. There are 59 primate species of 11 genera in Indonesia, that can be found in four major islands of Indonesia, i.e. Sumatra, Kalimantan, Java, Sulawesi and surrounding islands. Of these islands, Sumatra has the highest number of primates species which accounted for 24 species, followed by Sulawesi 16 species, and Kalimantan 14 species. Some of these species are categorised as critically endangered, endangered and vulnerable, for 7, 22, and 15 species respectively, according to the CITES.

Key words : Indonesia, primate, species

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara kepulauan yang jumlahnya lebih kurang 17.000 pulau tersebar di sepanjang garis katulistiwa. Posisi geografinya diapit dua benua dan dua samudera, sehingga mendorong terciptanya kekayaan alam yang berlimpah dan beragam. Hal itu yang menyebabkan Indonesia mendapat julukan sebagai salah satu negara megabiodiversitas dunia. Indonesia memiliki 12% satwa dari total satwa dunia. Khusus satwa primata (non human primate) saat ini diketahui 59 spesies dari 11 genus satwa primata mendiami berbagai tipe habitat alaminya (Roos et al. 2014). Sampai saat ini belum diketahui jumlah populasi satwa primata tersebut secara pasti, namun dari waktu ke waktu populasi berbagai jenis satwa primata ini terus menurun. Bahkan ada diantaranya yang terancam punah, seperti orangutan dan beberapa jenis tarsius.

Pertambahan populasi penduduk yang terus terjadi pada setiap tahun, merupakan salah satu tekanan terhadap habitat satwa primata. Peningkatan jumlah penduduk harus pula diikuti dengan kebutuhan lahan untuk perumahan dan pengembangan sektor ekonomi yang mendukung kehidupan manusia di sekitarnya. Jumlah penduduk Indonesia saat ini tercatat 261,1 juta jiwa, dan penduduk yang menetap di sekitar kawasan hutan berjumlah 8.643.228 jiwa (BPS 2017), dengan demikian kebutuhan lahan juga meningkat. Masyarakat di sekitar hutan, hidupnya sangat bergantung pada lahan dan sumber daya hutan, baik itu hutan berstatus kawasan konservasi atau bukan (Kadir et al. 2012).

Selain penyempitan habitat, perburuan liar oleh pihak – pihak yang tidak bertanggung jawab memperpanjang kasus kelangkaan berbagai satwa primata di Indonesia. Perburuan liar merupakan kasus yang belum dapat dihentikan sampai saat ini, karena beberapa spesies satwa primata dijadikan sumber protein hewani sebagian besar penduduk, terutama di kepulauan Sulawesi (Santosa 2015). Disisi lain hewan ini kerap menjadi hama bagi petani, karena memakan tanaman pertanian, sehingga banyak diantara mereka yang dibunuh dengan berbagai cara baik secara tradisional maupun menggunakan peralatan moderen (Alikodra 1990).

Sehubungan dengan permasalahan tersebut pemerintah telah berupaya untuk menyelamatkan satwa primata, bahkan beberapa diantara spesies satwa primata tersebut telah ditetapkan sebagai satwa prioritas. Perlindungan terhadap habitat juga telah dilakukan pemerintah dengan menetapkan jutaan hektar lahan untuk kawasan konservasi, namun upaya ini belum memberikan hasil yang optimal. Hal ini karena sebagian besar satwa primata hidupnya berada di luar kawasan konservasi.

Jenis dan sebaran satwa primata IndonesiaJenis satwa primata di Indonesia sangat

beragam, mulai dari yang terkecil sampai pada yang terbesar ukurannya. Diketahui ada 59 spesies satwa primata dari 11 genus yang mendiami habitat hutan Indonesia. Satwa primata yang dijumpai hidupnya pada berbagai tipe habitat alami di Indonesia dapat diklasifikasikan seperti yang tertera pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut ini.

Page 6: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

4 Ruskhanidar et al., Spesies dan Sebaran Satwa Primata di Indonesia

Tabel 1. Genus dan spesies satwa primata IndonesiaGenusa,b Spesiesa,b Pulaua,b Status Konservasib

Nycticebus

Nycticebus coucang Boddaert, 1785 Sumatera RentanNycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812 Jawa Kritis

Nycticebus bancanus Lyon, 1906 Sumatera dan Kalimantan Belum dievaluasi

Nycticebus borneanus Lyon, 1906 Kalimantan Belum dievaluasiNycticebus cayan Munds et al. 2013 Kalimantan Belum dievaluasiNycticebus managensis Trouessart, 1893 Kalimantan Rentan

Tarsius

Tarsius tarsier Erxleben, 1777 Sulawesi RentanTarsius fuscus Ischer, 1804 Sulawesi Belum dievaluasiTarsiun dentatus Miller & Hollister, 1921 Sulawesi RentanTarsius pelengensis Sody, 1949 Sulawesi TerancamTarsius sangirensis Meyer, 1987 Sulawesi TerancamTarsius tumpara Shekelle et al. 2008 Sulawesi KritisTarsius pumilus Miller & Hollister 1921 Sulawesi Informasi kurangTarsius lariang Merker & Groves, 2006 Sulawesi Informasi kurangTarsius wallacei Merker et al. 2010 Sulawesi Informasi kurang

Cephalopachus Cephalopagus bancanus Horsfield, 1821 Sumatera dan Kalimatan Rentan

Macaca

Macaca nemestrina Linnaeus, 1766 Sumatera dan Kalimantan Rentan

Macaca siberu Fuentes & Olson, 1995 Sumatera Rentan Macaca pagensis Miller, 1993 Sumatera Kritis Macaca nigra Desmarest, 1822 Sulawesi KritisMacaca nigrescens Temminck, 1849 Sulawesi Rentan Macaca tonkeana Meyer, 1899 Sulawesi RentanMacaca ochreata Ogilby, 1841 Sulawesi RentanMacaca hecki Matschie, 1901 Sulawesi RentanMacaca maura Schinz, 1825 Sulawesi TerancamMacaca fascicularis Rafflles, 1821 Sumatera Beresiko rendah

Hylobates

Hylobates lar Linnaeus, 1771 Sumatera TerancamHylobates agilis F. cuvier, 1821 Sumatera TerancamHylobates albibarbis Lyon, 1911 Kalimantan TerancamHylobates muelleri Martin, 1841 Kalimantan TerancamHylobates abbotti Kloss, 1929 Kalimantan TerancamHylobates funereus I.Geoffroy, 1850 Kalimantan TerancamHylobates klossii Miller, 1903 Sumatera TerancamHylobates moloch Audebert, 1798 Jawa Terancam

Sumber : a. Roos et al. 2014; b. IUCN, 2018`

Page 7: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

Tabel 1 menunjukkan jenis satwa primata yang tertinggi dari genus Presbytis sebanyak 15 spesies, disusul Macaca 10 spesies, Tarsius 9 spesies, Hylobates 8 spesies dan genus Nycticebus 6 spesies. Tingginya genus Presbytis karena genus ini merupakan genus yang paling awal menyebar keberbagai penjuru dunia sejak masa Pliosen dan Pleistosen. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya fosil genus Presbytis di Siwaliks India utara dan Pakistan sekitar 6 juta tahun lalu. Genus Presbytis sudah terpisah dengan nenek moyangnya Semnopithecus sejak 12 juta tahun yang lalu (Harrison et al. 2006). Mereka memisahkan diri dari nenek moyangnya colobinae Afrika dan menyebar ke wilayah Asia selatan dan Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Semenanjung Malaysia.

Genus Presbytis di Indonesia ditemukan dominan di Pulau Sumatera yang hidup pada wilayah yang berbeda, dan setiap wilayah hanya ditemukan satu spesies saja. Berbeda dengan Pulau Kalimantan, Presbytis ditemukan hidup tumpang tindih

dengan Presbytis yang lain. Perbedaan ini kemungkinan karena di Sumatera komponen penyusun habitat terutama pohon pakan lebih beragam dibandingkan di Pulau Kalimantan.

Sebaran satwa primata di IndonesiaJenis satwa primata di Indonesia tersebar

di 4 pulau besar, meliputi Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi, dengan jumlah spesies masing – masing Sumatera 24 spesies, termasuk satwa primata Kepulauan Mentawai (4 spesies satwa primata yang endemik). Kalimantan 14 spesies, Sulawesi 16 spesies, sedangkan Jawa dan Bali hanya 5 spesies (Ross et al. 2014). Jenis satwa primata pada masing-masing pulau seperti dijelaskan dalam Tabel 1 tersebut di atas.

Sumatera merupakan pulau yang memiliki satwa primata yang cukup tinggi. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh zoogeografi satwa itu sendiri. Potensi satwa primata yang hidup dan diklasifikasikan berdasarkan pulau tempat ditemukannya dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 1, Januari 2017, hlm. 3-8 5

Tabel 2. Genus dan spesies satwa primata IndonesiaGenusa,b Spesiesa,b Pulaua,b Status Konservasib

Presbytis

Presbytis thomasi Collett, 1892 Sumatera RentanPresbytis melalophos Raffless, 1821 Sumatera TerancamPresbytis sumatrana Muller & Schlegel, 1841 Sumatera TerancamPresbytis bicolor, Aimi & Bakar 1992 Sumatera Informasi kurangPresbytis mitrata Eschscholtz, 1821 Sumatera RentanPresbytis comata Desmarest, 1822 Jawa TerancamPresbytis potenziani Bonaparte, 1886 Sumatera TerancamPresbytis siberu Chasen & Kloss, 1928 Sumatera TerancamPresbytis femoralis Martin, 1838 Sumatera Hampir terancamPresbytis siamensis Muller & Schiegel, 1841 Sumatera Hampir terancam Presbytis natunae Thomas & Hartert, 1894 Kalimantan RentanPresbytis chrisomelas Muller, 1838 Kalimantan KritisPresbytis rubiicunda Muller, 1838 Kalimantan Beresiko rendah Presbytis hosei Thomas, 1889 Kalimantan Rentan Presbytis cranicus Miller, 1834 Kalimantan Terancam

Trachypithecus

Trachypithecus auratus E. Geoffroy, 1812 Jawa RentanTrachypithecus mauritius Griffith, 1821 Jawa Rentan

Trachypithecus cristatus Raffless, 1821 Sumatera dan Kalimantan Hampir terancam

Nasalis Nasalis larvatus Wurmb, 1787 Kalimantan TerancamSymphalangus Simphalangus syndactilus Raffless, 1821 Sumatera Terancam

Simias Simias concolor G.S. Miller 1930 Sumatera Kritis

PongoPongo abelii Lesson, 1827 Sumatera KritisPongo pygmeus Linnaeus, 1760 Kalimantan Kritis *Pongo tapanuliensis Nurcahyo et al. 2017 Sumatera Kritis

Sumber : a. Roos et al. 2014; b. IUCN, 2018Keterangan : * Spesies Pongo tapanuliensis merupakan spesies yang baru ditemukan.

Page 8: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

6 Ruskhanidar et al., Spesies dan Sebaran Satwa Primata di Indonesia

Penyebaran satwa primata meliputi Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi sementara Pulau Papua dan Kepulauan Maluku tidak ditemukan jenis satwa primata. Hal ini berkaitan erat dengan sejarah distribusi fauna pada zaman dahulu. Terisolasinya pulau-pulau di Nusantara menyebabkan banyak jenis satwa primata Indonesia menjadi satwa primata endemik. Satwa primata yang ada saat ini diyakini sebagai hasil evolusi dari satwa primata zaman dahulu, yang berasal dari satu benua yang dikenal dengan Pangea (http://people.wku.edu/charles.smith/wallace/S494.htm).

Penjelasan tentang tingginya keragaman spesies tersebut di Sumatera, tidak terlepas dari sejarah geologi pembentukan bumi. Terkait dengan sejarah pembentukan geologi ini, Wallacea membagi 6 wilayah sebaran fauna di dunia (Harrison et al. 2006), masing-masing menjadi sub bagian, Paleartik (Eropa, Afrika Utara, Rusia, Asia Tengah, Asia Barat kecuali Semenanjung Arab, dan Asia Timur), Ethiopian (Afrika Tengah, Afrika Selatan, Afrika Barat, Afrika Timur, Madagaskar, dan Semenanjung Arab), Oriental (Asia Selatan, Asia Tenggara kecuali Sulawesi dan Papua), Australis (Australia, Selandia Baru, Sulawesi, Nusa Tenggara, Kepulauan. Maluku, Papua dan Oceania), Neartik, Amerika Serikat, Meksiko, dan Green Land), dan Neo Tropik (Amerika

Tengah, Kepulauan Karibia, dan Amerika Selatan).

Spesies satwa primata yang tersebar di Indonesia memiliki keunikannya masing-masing. Sumatera, Jawa, dan Kalimantan memiliki keragaman jenis primata yang tinggi, namun memiliki banyak kesamaan jenis diantara ketiga pulau besar tersebut (Harrison et al. 2006). Berbeda halnya dengan Sulawesi, satwa primata di Sulawesi lebih mirip dengan satwa primata Filipina (http://www.scricciolo.com). Hal ini sesuai dengan klasifikasi satwa primata Asia bahwa jenis satwa primata yang ada di Sumatera memiliki kesamaan dengan satwa primata yang ada di Malaysia dan Thailand, sementara spesies yang ada di Sulawesi hanya Tarsier yang memiliki kesamaan dengan satwa primata Philipina. Kesamaan spesies satwa primata ini dinyatakan bedasarkan temuan bukti adanya kesamaan genetik antara Presbytis yang ada di Jawa, Kalimantan, Sumatera, Malaysia, Thailand dan Filipina (Meyer et al. 2012; Aimi dan Bakar 1992).

Meskipun secara genetik ada kesamaan antara Presbytis Sumatera, Kalimantan dan Jawa, namun mereka tetaplah spesies yang memiliki keunikan dan kekhasannya masing-masing, demikian pula dengan spesies satwa primata yang ada di Sulawesi memiliki keunikannya sendiri. Hal ini mengacu pada

Page 9: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

penjelasan Wallace tentang sejarah sebaran fauna di dunia bahwa satwa itu berasal dari satu tempat, kemudian menyebar ke berbagai daerah (Harrison et al. 2006). Keunikan ini menurut Alejandro et al. (2006) di pengaruhi habitat yang terisolasi batasan ekologi maupun geografi. Isolasi dalam waktu yang terlalu lama dapat terjadi spesiasi melalui allopatry (Alejandro et al. 2006). Menurut Alejandro et al. (2006), secara teori biota hidup dan berkembang bersama–sama dengan batasan yang ada. Untuk melewati batasan tersebut hewan memiliki pola sebaran tersendiri dan merupakan salah satu strategi bertahan hidup dan berkembang di masa yang akan datang.

Status konservasi satwa primata IndonesiaMeskipun Indonesia memiliki satwa

primata sampai 59 spesies, namun keberadaan mereka cukup mengkhawatirkan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1, sejumlah besar spesies satwa primata Indonesia IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) ditetapkan status konservasinya diantaranya kritis, terancam dan rentan. Sementara CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora) menetapkan status primata Indonesia Apendix I dan Apendix II.

Status konservasi merupakan permasalahan besar bagi satwa primata Indonesia, karena belum dapat memanfaatkan satwa primata sebagai sumber daya alam untuk kepentingan pembangunan nasional. Keberadaan satwa primata sebagai salah satu sumber daya alam diharapkan dapat mendukung pembangunan nasional untuk kesejahteraan masyarakat. Pembangunan nasional mengikuti kebijakan Milenium Development Goal (MDG) untuk kecukupan pangan (food), kesehatan (health) dan energi (Alikodra 2015). Sejauh ini Indonesia belum dapat memanfaatkan semua jenis satwa primata untuk penelitian biomedis dalam menunjang pangan dan kesehatan bagi masyarakat. Hanya Macaca fascicularis yang sudah dimanfaatkan sebagai hewan model untuk penelitian biomedis (Sajuthi 2016). Spesies satwa primata yang lainnya baru dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata.

Status konservasi tersebut menjelaskan bahwa Indonesia tidak boleh berbangga atas spesies yang ada saat ini, tetapi harus bekerja keras untuk mempertahankan agar satwa primata ini dapat lestari di habitat alaminya. Sehubungan dengan status konservasi primata

tersebut, Indonesia sudah membuat berbagai langkah dan tindakan, dalam hal ini pemerintah sudah melakukan perlindungan terhadap spesies satwa yang terancam punah dengan cara membuat ketentuan sebagai berikut ini.1. menetapkan kawasan konservasi seperti

Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Marga Satwa, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya, dan Taman Buru. Kawasan konservasi ini diharapkan dapat menyediakan ruang yang tepat bagi satwa dalam mendapatkan semua kebutuhan hidupnya. Namun sejauh ini keberadaan kawasan konservasi belum membuat satwa terbebas dari perburuan liar, dan pembunuhan. Hal ini kemungkinan besar berkaitan dengan perilaku hewan itu sendiri yang selalu bergerak untuk mencari makan, dan bahkan banyak diantara satwa ini berada di luar kawasan konservasi sebagai habitat yang telah ditetapkan pemerintah;

2. melindungi spesies satwa dengan menetapkan Undang – Undang No 5 tahun 1990 tentang konservasi. Dari catatan yang ada satwa primata yang sudah ditetapkan sebagai hewan yang dilindungi adalah jenis orangutan, berbagai jenis lutung, tarsius, serta loris;

3. menetapkan spesies satwa prioritas untuk perlindungan; dan

4. melakukan penangkaran terhadap spesies–spesies satwa yang terancam, baik itu di habitat alami maupun di kawasan eks-situ. Spesies satwa primata yang mendapat perhatian khusus pemerintah untuk dilindungi, agar tidak sampai menuju pada titik kritis adalah orangutan, baik orangutan sumatera maupun orangutan kalimantan dan owa jawa. Di penangkaran eks-situ banyak spesies satwa primata yang dipelihara seperti di Taman Marga Satwa Ragunan Jakarta dan di Taman Safari Indonesia, serta di kebun binatang lainnya.

Simpulan

Potensi satwa primata Indonesia terdiri dari 11 genus dan 59 spesies. Presbytis merupakan spesies dengan jumlah tertinggi, diikuti Macaca 10 spesies, Tarsius 9 spesies dan Hylobates 8 spesies. Sebagian besar tersebar di 4 pulau besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi) serta pulau – pulau kecil di sekitarnya.

Sumatera memiliki jumlah spesies satwa primata tertinggi (24 spesies), Sulawesi 16 spesies, Kalimantan 14 spesies dan Jawa 5 spesies). Di Sumatera, Jawa dan Kalimantan

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 1, Januari 2017, hlm. 3-8 7

Page 10: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

8 Ruskhanidar et al., Spesies dan Sebaran Satwa Primata di Indonesia

cenderung seragam spesies satwa primatanya, sedangkan di Sulawesi memiliki satwa primata genus Macaca yang berbeda-beda spesiesnya dan merupakan satwa primata endemik.

Status konservasi dari spesies satwa primata Indonesia ada 9 spesies yang kritis, 20 terancam, 17 rentan, 3 hampir terancam, 4 informasi kurang, 4 belum dievaluasi, dan 2 beresiko rendah. Perlindungan terhadap status konservasi tersebut sudah ditetapkan undang-undang konservasi dan penetapan kawasan konservasi.

Daftar Pustaka

Aimy M, Bakar A. 1992. Taxonomi and distribution of Presbytis melalophos group in Sumatera Indonesia. J Primate: 33(2), 191-206, April 1992

Alejandro E, Paul AG, Mary SM Pavelka, Leandra L. 2006. Perspektif baru dalam studi primata mesoamerika: Distribusi, Ekologi, Perilaku dan Konservasi

Alikodra HS. 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Bogor (ID): Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati IPB.

Alikodra HS. 2015. Bekantan perjuangan melawan kepunahan. Bogor (ID): IPB Pr.

Asian Colobines (http://www.sciencedirect.com di akses 23 November 2017.

BPS. 2016. Laporan bulanan data sosial ekonomi september 2017. https://www.bps.go.id/ di akses 3 Oktober 2017 jam 9.30 WIB.

BPS. 2017. Jumlah dan persentase rumah tangga di sekitar kawasan hutan https://www.bps.go.i id/linkTabelStatis/view/id/1849. Di akses 3 Oktober 2017 jam 10.08 WIB

Harrison T, Krigbaum J, Manser J. 2006. Primate Biogeography and Ecology on the Sunda shelf Island: A Paleontogolical and Zooarchaeological Perspective dalam Primate Biogeography Progres and Prospects. Springer Science.

IUCN. 2018. The IUCN Red List of Threatened Species. www.iucnredlist.org

Kadir WA, Awang SA, Purwanto RH, Poedjirahajoe E. 2012. Analisis kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan. J Manusia dan Lingkungan 19(1), 1-11.

Lomolino MV, Riddle BR, Whittaker R, Brown JH. 2010. Biogeografi. Sinauer Associates, Inc. Publishers Sunderlan, Massachusetts.

Meyer D, Hodges JK, Rinaldi D, Wijaya A, Roos C, Hammerschmidt K. 2012. Acoustic structure of male loud-calls support moleculer phylogeny of Sumatran and Javanese Leaf Monkeys (Genus Presbytis). BioMed Central (BMC) Evolutionary Biology. 12-26.

Roos et al. 2014. An updated taxonomy and conservation status review of asian primate. Asian Primates Journal. 4 (1) 2014.

Sajuthi D. 2016. Bahan kuliah Primatologi Lanjut. Sekolah Pascasarjana IPB

Santosa Y. 2015. Strategi pemanfaatan satwa liar secara optimal dan berkelanjutan. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB.

Supriatna J, Hendra E. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.

Page 11: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

Studi Inventarisasi Jenis dan Sebaran Primata Endemik di Wilayah Pengelolaan Taman Nasional I dan II Taman Nasional Siberut,

Sumatera Barat, Indonesia

The Inventory Study of Species and Spread of Endemic Primates in the Management of National Park I and II of Siberut National Park,

West Sumatra, Indonesia

Sinaga W1,3*, Iskandar E1,2, Wahyudi I3, Sultan K3, Utomo D3, Paksi3, Dewa N3,Indra G4, Januardi5, Anwar F5, Sajuthi D1,2,3, Manangsang J3

1Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. Indonesia 2Staf Program Mayor Primatologi, Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Indonesia

3Taman Safari Indonesia, Cibereum Cisarua Bogor. Indonesia4Staf Universitas Muhamadiah Sumatera Barat. Indonesia

5Taman Nasional Siberut. Sumatera Barat. Indonesia

*Koorespondensi: [email protected]

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 1, Januari 2017, hlm. 9-13ISSN 1410-5373

Abstract. The study of species inventory and distribution of endemic primates in the management of National Park I and II of Siberut National Park was conducted in July 2017. It was conducted at the forests of Bekemen, Cimpungan, Matotonan and Sirisurak, in the District of North and South Siberut, Mentawai Islands. This study aimed to obtain data on the distribution and inventory of the existence of 4 species of endemic primates in Siberut Island, such as Hylobates klossii, Simias concolor, Presbytis potenziani, Macaca sp. Habitat conditions during preliminary study were former forest fields, logged-over forests and old secondary forests into indigenous forest that were abandoned nearly 44 years ago. The forests have overgrown large-diameter trees, which have become old secondary forests whose physical condition has begun to resume like primary forests. The preliminary study method used line transect sampling. In each location, 5-6 lines/transect of research were made, with the length of which was 1,2 km. The result of the research based on direct encounter at Cimpungan, was 4 species of endemic primates, while in Bekemen 3 species of endemic primates were found. In Matotonan, there were only 2 out of 4 species were identified and at Sirisurak were 2 species. Distribution of Hylobates klossii, Simias concolor, Presbytis potenziani are in Bekemen and Cimpungan forests. Their habitats are from hilly areas to valleys. This condition is strongly supported by the availability of sleeping trees and feed trees, while the distribution of Macaca pagensis in Bekemen, Cimpungan, and Sirisurak forests is from valleys to river banks (from young secondary forests to plantation). The distribution of endemic primates in Matotonan cannot be obtained because of the short time and unlikely weather.

Key words: distribution, endemic primates, inventory, Mentawai islands, Siberut National Park

Pendahuluan

Pulau Siberut merupakan pulau terbesar di antara gugusan Kepulauan Mentawai, di sebelah barat Pulau Sumatera. Pulau seluas 4,480 km persegi dalam gugusan Kepulauan Mentawai, dipisahkan oleh laut yang dalam dengan daratan Sumatera sejak 500,000 tahun lalu (Whitten 1980). Kondisi ini telah mempertahankan bentuk-bentuk kehidupan mahluk hidup yang terpisah dari daratan utama, sehingga di Kepulauan Mentawai banyak ditemukan jenis-jenis satwa endemik. Dari jenis mamalia yang ada 65% merupakan jenis endemik. Empat jenis satwa primata yang ada

merupakan endemik di Kepulauan Mentawai. Hylobates klossii (bilou), Simias concolor (simakobu), Presbytis potenziami (joja), dan Macaca pagensis (bokoi), termasuk kategori satwa yang dilindungi, dan dalam daftar IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) sebagai satwa terancam (vulnerable) (Whittaker 2005).

Habitat alami spesies ini terdapat di Pulau Siberut di kawasan Taman Nasional dan Cagar Biosfer Siberut. Perubahan habitat satwa primata terjadi seiring dengan adanya pertambahan penduduk dan kegiatan pemanfaatan hutan. Pada awalnya dalam 5 kecamatan dengan 20 desa di Pulau Siberut

Page 12: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

inventarisasi potensi hutan di Pulau Siberut dilakukan untuk kepentingan komersial ekonomi seperti pemanfaatan kayu dan non kayu. Kegiatan komersial ini mulai dilakukan pada tahun 1969/1970 dan tahun 1972/1973. Kondisi saat ini, Pulau Siberut terbagi dalam komposisi fungsi hutan berupa Taman Nasional dan Hutan Produksi. Taman Nasional Siberut seluas 190,500 ha dan ditetapkan sejak tahun 1993 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.407/KptsII/1993 dan hutan produksi terdiri dari hutan produksi terbatas 42,050 ha, hutan produksi tetap 95,900 ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi 74,450 ha, kawasan ini tercakup dalam Cagar Biosfer Siberut seluas 405,170 ha (Ditjen PHKA 2003).

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh populasi dan penyebaran empat jenis primata endemik di Pulau Siberut, H. klossii, S. concolor, P. potenziani, dan M. pagensis yang sangat tergantung pada kualitas dan potensi habitat. Lokasi penelitian berada di kawasan bekas tebangan, perkebunan dan hutan adat sekitar 44 tahun lalu di Cagar Biosfer atau daerah penyangga Taman Nasional Siberut wilayah SPTN I dan II. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk pengelolaan habitat primata endemik yang sesuai dengan prinsip pengelolaan cagar biosfer. Penelitian mengenai populasi, penyelamatan habitat dan populasinya di luar kawasan, serta untuk mendukung rencana pembuatan pusat rehabilitasi satwa primata di Pulau Siberut.

Materi dan Metode

Waktu dan tempat Survei dilakukan selama 10 hari pada

bulan Juli 2017, di kawasan hutan Taman Nasional Siberut dalam empat lokasi. Lokasi pertama di hutan Bekemen, lokasi kedua di hutan Cimpungan termasuk dalam wilayah SPTN II Siberut Utara, lokasi ketiga di hutan Matotonan, dan lokasi ke empat di hutan Sirisurak yang termasuk dalam wilayah SPTN I Seberut

10 Sinaga et al., Studi Inventarisasi Jenis dan Sebaran Primata Endemik

Selatan. Kawasan penelitian berupa vegetasi hutan sekunder tua, hutan bekas tebangan dan hutan bekas ladang, hutan Bekemen telah ditinggalkan lebih dari 44 tahun lalu.

Metode yang digunakan dalam survei inventarisasi satwa primata endemik menggunakan metode jalur (line transect sampling). Jalur transek untuk lokasi studi pendahuluan memanfaatkan jalur yang sudah ada, tetapi dipilih jalur yang melewati dan memotong lokasi penelitian. Jumlah jalur yang dibuat seluruhnya berjumlah 20 jalur, jarak antar jalur 500 m hingga 1 km, dengan menetapkan lebar jalur pengamatan 100 m (sebelah kiri selebar 50 m dan sebelah kanan selebar 50 m). Pada masing-masing lokasi survei dibuat 5 jalur pengamatan. Panjang masing-masing jalur pengamatan sejauh 1,2 km. Panjang total ke 5 jalur pada lokasi penelitian sepanjang 6 km. Perhitungan populasi dilakukan dengan menghitung jumlah masing-masing individu dan kelompok spesies satwa primata yang ditemukan sepanjang garis jalur. Bentuk unit contoh metode jalur garis disajikan pada Gambar 1.

Metode pengumpulan dataPenentuan luas areal pengamatan

dihitung berdasarkan lebar dan panjang jalur (panjang x lebar) pengamatan. Menurut beberapa penelitian pendahuluan dan sebaran kelompok satwa primata sebelumnya di lokasi penelitian, diketahui keberadaan kelompok keempat jenis satwa primata dapat dideteksi berdasarkan suara pada jarak 250-300 m (Bismark 2006) dan daerah jelajah (home range) sekitar 30 ha (Whitten 1980). Luas areal survei 12 ha. Pada jalur pengamatan ini dicatat jumlah individu dalam kelompok yang dapat dilihat langsung atau kelompok dan jumlah individu karakteristik jenis suara yang dapat didengar. Areal pengamatan luas lingkaran sesuai radius suara individu kelompok yang dapat didengar dengan baik. Suara P. potenziani dapat dideteksi dengan baik dalam radius 500 m (Tenzana 1985, Kawamura dan Megantara

Page 13: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 1, Januari 2017, hlm. 9-13 11

1986), suara H. klossii dapat didengar dengan baik sampai jarak 750 m, suara M. pagensis dan S. concolor 300 m (Bismark 2006).

Hasil dan Pembahasan

Areal survei Sebagian kecil areal berupa perkebunan

tua dan areal yang telah mengalami penjarangan tegakan untuk keperluan papan dan keperluan masyarakat, serta penjarangan untuk pembersihan lahan penanaman rotan manau dan komoditi pertanian. Areal berbukit bertopografi ringan sampai kelerengan lebih dari 50°, dan terdapat anak-anak sungai kecil. Di bagian yang landai tumbuh vegetasi hutan rawa air tawar. Semua lokasi survei di wilayah hutan Bekemen, Cimpungan, Matotonan dan Sirisurak, merupakan bekas tebangan yang sudah tidak beroperasi sejak 2005. Dengan demikian masih terdapat jalan utama dan jalan cabang yang terbuka. Sekitar jalan cabang sepanjang 2 km dan sebagian areal di tepi jalan utama terdapat ladang masyarakat yang baru dibuka, sedangkan di jalan cabang tidak ditemukan ladang. Jalan cabang berada pada areal berbukit dengan kelerengan ringan sampai lebih dari 60°. Di areal ini hanya terdapat sungai-sungai kecil yang cukup untuk sampan kecil (tuk-tuk). Letak kawasan Taman Nasional SPTN II Siberut Utara secara administratif berada di Desa Sikabaluan, Kecamatan Siberut Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Propinsi Sumatera Barat. Secara Geografis terletak antara 01º 05′ – 01º 45′ Lintang Selatan dan98º 36′ – 99º 03′ Bujur Timur (Gambar 2). Lokasi ke tiga dan ke empat terdapat di wilayah SPTN I Siberut Selatan.

Inventarisasi satwa primata endemikPulau Siberut menjadi kawasan

yang menarik dan unik, karena memiliki biodiversitas dengan tingkat endemisitas yang sangat tinggi, yaitu 15% untuk flora dan 65% untuk mamalia. Dari 29 mamalia yang tercatat di Pulau Siberut terdapat 21 spesies endemik. Hasil inventarisasi satwa primata yang ditemukan di Cagar Biosfer Taman Nasional Siberut wilayah SPTN I di Siberut Selatan

dan Utara, ditemukan sebanyak 4 spesies satwa primata endemik dari 2 famili. Famili Cercopithecidae sebanyak (3 spesies) terdiri dari lutung mentawai (P. potenziani), simakobu atau monyet ekor babi (S. concolor) dan bokkoi atau beruk mentawai (M. pagensis) dan siamang kerdil (H. klosii) dari famili Hylobatidae.

Gambar 2 Peta letak lokasi penelitian di Taman Nasional Siberut, SPTN I dan II Siberut (Foto: Google.com 2017)

Hasil pengamatanKondisi habitat hutan sekunder tua bagi

satwa primata endemik telah terganggu berbagai kegiatan manusia, seperti penebangan hutan, perburuan satwa, dan perambahan hutan untuk perkebunan. Jenis-jenis satwa primata endemik yang terdapat di Cagar Biosfer Taman Nasional wilayah SPTN II Siberut Utara telah mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Hal ini ditandai dengan ditemukannya satwa primata endemik di jalur pengamatan secara langsung. Adapaun jenis satwa primata endemik Siberut yang ditemukan disajikan pada Gambar 3.

Page 14: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

12 Sinaga et al., Studi Inventarisasi Jenis dan Sebaran Primata Endemik

Gambar 3 Empat spesies satwa primata endemik yang ditemukan di lokasi Bekemen, Cimpungan. Pengamatan di wilayah Taman Nasional Siberut wilayah SPTN II Siberut Utara. (Foto: Walberto Sinaga, tim survei TSI 2017).

SebaranDefinisi sebaran yang dimaksud adalah

sebaran spasial yaitu sebaran menurut ruang dalam skala yang tertentu. Sebaran spasial adalah sebaran individu dan kelompok dalam populasi jenis satwa liar. Pola penyebaran ini merupakan strategi individu dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (Alikodra 1990). Individu dalam populasi menyebar menurut tiga pola yaitu pola acak (random), pola mengelompok (agregatif), dan pola merata (uniform). Pola sebaran acak menunjukkan adanya keseragaman habitat dan adanya perilaku non selektif dari spesies tersebut terhadap lingkungannya. Pola sebaran merata karena pengaruh negatif dari persaingan makan diantara individu, dan pola mengelompok, karena sifat spesies yang suka menggerombol dan adanya keragaman habitatnya (Tarumingkeng 1994).

Pola sebaran seluruh spesies satwa primata di kawasan penelitian menunjukan sebarannya mengelompok. Hal ini sesuai dengan pola sebaran spesies satwa primata yang

mengelompok secara alami karena pola sebaran mengelompok menunjukan sifat spesies yang suka menggerombol dan adanya keragaman habitat di seluruh areal penelitian.

Bokkoi atau beruk mentawai (Macaca sp.) mempunyai sebaran individu jenis primata yang paling tinggi dengan kepadatan populasi sebesar 5-10 ekor per kelompok. Sebaran Macaca sp. sering menggunakan habitat tepi sungai (menggunakan habitat hutan sekunder muda sampai perkebunan) lebih dari 100%. Selanjutnya lutung mentawai (P. potenziani) dengan kepadatan populasi sebesar 2-5 ekor per kelompok. Sebaran populasi spesies satwa primata yang paling rendah yaitu simakobu atau monyet ekor babi (S. concolor) dan bilou (H. klossii) dengan kepadatan populasi sebesar 1-4 ekor per kelompok. Sebaran H. klossii, S. concolor, P. potenziani di areal penelitian 100% menggunakan habitat hutan sekunder tua di areal berbukit. Kondisi ini sangat mendukung ketersediaan pohon tidur dan pohon pakan. Semua mahluk hidup selalu berinteraksi dengan lingkungan atau habitat di sekitarnya, baik

Page 15: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Taman Nasional Siberut Sumatera Barat beserta staf, Balai Konservasi Sumberdaya Alam beserta staf, Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor beserta staf, Pemerintah Daerah Kepulauan Mentawai, Bapak Sulaeman, Sukarman, Dora, Kasman, Rukminto, dan para Porter TN atas bantuan dan kerjasamanya selama di lapangan.

Daftar Pustaka

Alikodra HS. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Jilid 1. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor.

Bismark M. 2006. Populasi primata endemik Mentawai di Kompleks Hutan Desa Tiniti Siberut Utara. Laporan Penelitian. C.I. Jakarta.

Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam. 2003. Buku Panduan 41 Taman Nasional di Indonesia. Kerjasama Dephut RI dengan UNESCO dan CIFOR.

Kawamura S, Megantara EN. 1986. Observation of primates in logged forest on Sipora Island, Mentawai. Studies on Asian Non-Human Primates, 5:1-12.

Tenaza RR. 1985. Songs of hybrid gibbons (Hylobates lar x H. muelleri). Am J of Primatol 8:249–253.

Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi: Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta (ID): Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana.

Whitten AJ. 1980. The Kloss Gibon in Siberut Rain Forest. PhD Disertation. Univ. Cambridge. UK.

Whittaker DJ. 2005. New population estimates for the endemic Kloss’s Gibbon Hylobates klossii on the Mentawai Islands, Indonesia. Oryx 39 (4): 458-467.

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 1, Januari 2017, hlm. 9-13 13

habitat yang masih alami maupun habitat yang sudah terganggu. Beberapa jenis satwa primata dapat melakukan adaptasi terhadap lingkungan, salah satunya dengan mengubah perilakunya. Salah satu jenis primata yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya adalah bokkoi atau beruk mentawai (M. pagensis). Hasil pengamatan menunjukan bokkoi sering mengkonsumsi buah-buahan, seperti pisang, jambu, bunga durian, tuk-tuk, bunga kelapa di perkebunan masyarakat sekitar hutan.

Simpulan dan Saran

Dari ke empat lokasi penelitian yang dilakukan survei pendahuluan, lokasi di wilayah Bekemen ditemukan ke empat spesies satwa primata endemik, pada jalur 2,4,5, sedangkan pada jalur 1,3 diidentifikasi ada 3 spesies. Untuk lokasi Cimpungan hanya ditemukan 1 spesies satwa primata endemik pada Jalur 1, pada jalur 2 (1 spesies), pada jalur 3 (1 spesies), dan jalur 4 (2 spesies). Pada lokasi Matotonan tidak ada spesies satwa primata endemik yang ditemukan, dan pada lokasi Sirisurak hanya ditemukan suara dari 2 spesies satwa primata saja. Sebaran H. klossii, S. concolor, P. potenziani di kawasan Bekemen dan Cimpungan 100% menggunakan habitat hutan sekunder tua di areal berbukit sampai lembah. Kondisi ini sangat didukung dengan ketersediaan pohon tidur dan pohon pakan, sedangkan sebaran Macaca sp. di kawasan Bekemen, Cimpungan, dan Sirisurak sering menggunakan habitat 100% di areal lembah sampai tepi sungai (menggunakan hutan sekunder muda sampai perkebunan). Untuk sebaran jenis satwa primata endemik di lokasi Matotonan belum dapat diperoleh dengan pasti karena waktu yang singkat dan cuaca yang tidak memungkinkan. Untuk penelitian lanjutan dapat difokuskan pada aspek habitat, populasi, distribusi, ekonomis, dan sosial budaya masyarakat mentawai, dan peneliti disarankan agar dilakukan penelitian di lokasi Bekemen.

Page 16: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

Strategi Adaptasi Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb 1787) dalam Aktivitas Harian dan Pemilihan Pakan di Habitat Terfragmentasi

Adaptation Strategy of Proboscis Monkey (Nasalis larvatus Wurmb 1787) on Daily Activities and Feed Preference in Fragmented Habitat

Atmoko T1*, Mardiastuti A2, Iskandar E3

1Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan2Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

3Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat- Institut Pertanian Bogor

*Korespondensi: [email protected]

Abstract. Disturbance and damage to the habitat of proboscis monkeys (Nasalis larvatus Wurmb 1787) has occurred widely; therefore these monkeys need to adapt to the environment for their fitness. The research on adaptation strategies of proboscis monkeys on their daily activities and feed selection in fragmented habitats was done in Kuala Samboja, East Kalimantan. The objective of this research was to recognize the behavior of bekantan to survive in limited resources. The results showed the monkeys daily activities were dominated by resting and sleeping (50,9 - 61,0%). There was a similarity of activity proportion between the proboscis monkeys group in natural habitats and the Zacky group (χ2= 8,55; db = 2; P<0,01) and the Raja group (χ2= 0,04; db = 2; P<0,01), but different from the Stan group (χ2= 15,48; db = 2; P<0,01). There are at least 21 species of plants used as the proboscis monkeys feed, four of which are unusual plants eaten in other habitats, namely Acanthus ilicifolius, Raphidophora sp., Flagelaria sp., and Oxyceros longiflora. The probability to survive on limited resources is to conserve energy by reducing mobile activity and unresponsive to human presence, using most of the time for resting and optimizing the existing feed resources even though it is not commonly consumed by proboscis monkeys elsewhere.

Key words: adaptation, daily activity, food plants, preferences, proboscis monkey

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 1, Januari 2017, hlm. 14-21ISSN 1410-5373

Pendahuluan

Adaptasi satwa adalah kemampuan khusus yang membantu untuk mampu bertahan hidup dan melakukan segala sesuatu untuk mendapatkan sumber daya yang dibutuhkannya. Menurut Alikodra (2010) satwa liar harus mengembangkan strategi adaptasi agar mampu bertahan hidup di suatu habitat. Tingkat adaptasi makhluk hidup pada dasarnya berpedoman pada hukum minimum Leibig dan hukum toleransi Shelford, yaitu adaptasi makhluk hidup dikendalikan sumber daya yang paling langka sebagai limiting factor yang secara minimum harus dipenuhi dan masih dalam rentang toleransi lingkungan yang optimal bagi makhluk hidup tersebut agar tetap mampu untuk bertahan (Shelford 1931; Odum 1998; Gorban et al. 2011). Adaptasi pada satwa liar bisa dalam bentuk adaptasi fisiologis, morfologi atau perilakunya. Beberapa penelitian menunjukkan adanya perilaku adaptasi satwa primata untuk menyesuaikan dengan lingkungannya, seperti pada orangutan (Pongo pygmaeus) (Niningsih 2017; Nawangsari 2014), Rhinopithecus bieti (Xiang 2014), owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), lutung budeng

(Trachypithecus auratus) (Tobing 2002), dan bekantan (Nasalis larvatus) (Soendjoto 2005).

Bekantan adalah salah satu satwa primata endemik Kalimantan yang kritis mengalami kepunahan (endangered) (Meijaard et al. 2015), sehingga termasuk dalam satwa yang dilindungi di Indonesia (Pemerintah-RI 1999). Akhir-akhir ini populasi bekantan dilaporkan terus mengalami penurunan (Meijaard et al. 2015). Penurunan populasi terutama akibat kerusakan dan fragmentasi habitat, sedangkan penyebab lainnya adalah masih terjadinya aktivitas perburuan liar di beberapa daerah (Boonratana 1993; Soendjoto 2004; Bennett 1988). Kerusakan dan fragmentasi habitat bekantan terus berlangsung terutama di luar kawasan konservasi. Gangguan tersebut seiring dengan konversi habitat menjadi permukiman, ladang, perkebunan kelapa sawit, sarana pendukung aktivitas pertambangan batubara, dan pembangunan areal tambak. Berbagai kerusakan dan gangguan tersebut akan berdampak terjadinya perubahan habitat, meliputi ketersediaan sumber pakan, perubahan struktur dan komposisi vegetasi, serta kontinuitas tajuk. Beberapa populasi bekantan melakukan adaptasi terhadap kondisi habitat yang telah mengalami kerusakan dan fragmentasi habitat, sehingga masih bisa bertahan sampai saat ini.

Page 17: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 1, Januari 2017, hlm. 14-21 15

Sekitar Sungai Kuala Samboja adalah salah satu habitat bekantan yang ada di Kalimantan Timur (Alikodra et al. 1995). Habitatnya berdekatan dengan permukiman dan berbagai aktivitas masyarakat, sehingga kondisinya terfragmentasi dan terisolasi dengan populasi bekantan lainnya (Atmoko 2012). Penelitian ini menjelaskan bagaimana adaptasi bekantan dalam beraktivitas dan pemilihan pakan pada habitat yang terfragmentasi.

Materi dan Metode

Waktu dan lokasi penelitianPenelitian dilakukan di hábitat bekantan

Sungai Kuala Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, mulai bulan September 2011 sampai dengan bulan Februari 2012.

Kelompok sampelBekantan yang diamati tiga kelompok

harem di Kuala Samboja yang mewakili tiga komunitas habitat, yaitu: kelompok Stan (1 jantan dewasa, 1 jantan remaja, 4 betina dewasa, 4 anak) mewakili komunitas habitat rambai laut (Sonneratia caseolaris); kelompok Zaky (1 jantan dewasa, 6 betina dewasa, 4 anak, 1 bayi) mewakili komunitas habitat rambai-riparian (komposisi vegetasi S. caseolaris dan jenis lainnya) dan kelompok Raja (1 jantan dewasa, 1 jantan remaja, 3 betina dewasa, 1 betina remaja, 3 anak) mewakili komunitas habitat riparian (komposisi vegetasi bervariasi dan tidak ada jenis S. caseolaris).

Pengamatan perilakuPengamatan aktivitas harian kelompok

bekantan menggunakan metode instantaneous sampling (Altmann 2009). Pencatatan dilakukan pada jantan dewasa dan betina dewasa yang menjadi target pengamatan setiap 30 menit dengan interval 1 menit mewakili aktivitas 12 jam (06.00-18.00). Pengamatan dilakukan pada tiga kelompok sampel, dengan total satuan pengamatan sebanyak 4.084 satuan waktu pengamatan (2.026 jantan dan 2.058 betina). Perilaku bekantan yang diamati adalah pemanfaatan strata pohon dan aktivitasnya. Aktivitas bekantan yang diamati meliputi aktivitas makan, bergerak, sosial, istirahat, dan tidur.

Pengamatan tumbuhan pakanPengamatan aktivitas makan dilakukan

bersama dengan pengamatan pemanfaatan ruang. Untuk mengetahui jenis tumbuhan dan bagian yang disukai bekantan dilakukan dengan metode IARF (individual activity records of feeding) (Yeager 1989). Pada metode ini, satu jenis tumbuhan yang dimakan oleh satu

individu bekantan yang teramati diberi nilai 1 (satu). Dicatat juga bagian dari tumbuhan yang dimakan, meliputi daun, pucuk daun, buah, bunga, batang, dan tangkai daun.

Analisis Data

Signifikansi proporsi aktivitas dibandingkan dengan lokasi lain dan preferensi jam aktivitas bekantan dianalisis menggunakan uji Chi-square (χ2) (Siegel 1990).

Hipotesis yang diuji.H0 : χ2

(hitung) < χ2(tabel),. 1) proporsi aktivitas

bekantan dengan lokasi lainnya berbeda; 2) tidak ada preferensi aktivitas harian bekantan pada jam-jam tertentu.

H0 : χ2(hitung) > χ2

(tabel),. 1) proporsi aktivitas bekantan dengan lokasi lainnya berbeda; 2) ada preferensi aktivitas harian bekantan pada jam-jam tertentu.

Jenis pakan yang digunakan oleh bekantan dijumlah skor masing-masing jenis tumbuhan dan bagian yang dimakan kemudian di ranking untuk mendapatkan jenis-jenis yang disukai.

Hasil dan Pembahasan

Proporsi aktivitasSecara umum aktivitas harian bekantan

pada siang hari didominansi aktivitas istirahat dan tidur (50,9 - 61,0%). Pola proporsi aktivitas (time budget) harian kelompok Stan dan Zacky hampir sama. Aktivitas makan tertinggi pada kelompok Stan (33,4%), aktivitas bergerak dan tidur paling banyak pada kelompok Raja (20,5% dan 28,1%), istirahat dan sosial tertinggi pada kelompok Zacky (37,0% dan 2,1%).

Berdasarkan analisis Chi square dengan didasarkan nilai frekuensi harapan menurut Bismark (1986) menunjukkan kesamaan proporsi aktivitas bekantan di TN Kutai dengan kelompok Zacky (χ2 = 8,55; db = 2; P<0,01) dan Raja (χ2 = 0,04; db = 2; P<0,01), sedangkan kelompok Stan proporsi aktivitasnya berbeda (χ2 = 15,48; db = 2; P<0,01).

Hal itu menunjukkan bahwa walaupun kelompok Stan beraktivitas di komunitas rambai yang didominansi jenis mangrove seperti halnya di TN Kutai, namun perbedaan kondisi kerapatan pohon, variasi jenis tumbuhan, dan ketersediaan pakan menyebabkan proporsi aktivitasnya berbeda. Pada komunitas rambai, hanya dijumpai satu jenis mangrove (S. caseolaris), sedangkan di TN Kutai terdiri dari Rhizophora mucronata, R. apiculata, Bruguiera sexangula, B. parvifolia, B. caryophylloides, Avicennia alba, dan Ceriops tagal (Bismark 1986). Selain itu komunitas mangrove di TN

Page 18: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

16 Atmoko et al., Strategi Adaptasi Bekantan

Kutai lebih rapat (311 pohon/ha) dan tajuknya kontinyu, sedangkan di lokasi penelitian ini kondisinya lebih jarang (158 pohon/ha) dan tajuk diskontinyu.

Berdasarkan jenis kelamin, betina memiliki aktivitas makan dan bergerak lebih tinggi (32,6% dan 11,5%) dibandingkan jantan (28,4% dan 10,6%), namun aktivitas istirahat (termasuk tidur) jantan lebih tinggi (61,0%) dari betina (53,3%). Proporsi aktivitas jantan dan betina tersaji pada. Aktivitas sosial hanya dilakukan oleh betina saja, yaitu sebesar 2,5%, meliputi aktivitas allogroomingdan menyusui. Allogrooming dilakukan oleh betina dewasa terhadap betina dewasa lain atau betina dewasa terhadap anaknya.

Aktivitas makan dan bergerak bekantan betina lebih tinggi dibandingkan jantan, namun aktivitas istirahatnya lebih rendah. Betina memerlukan makan yang lebih banyak untuk mendapatkan energi yang lebih untuk menyusui, merawat bayi, dan menunjang sistem reproduksinya. Jantan lebih banyak beristirahat sebagai upaya untuk menghemat energi. Bobot badannya yang lebih berat, sehingga pergerakannya juga memerlukan energi yang lebih tinggi, selain itu jantan memerlukan cadangan energi lebih untuk melindungi kelompoknya dari ancaman predator.

Selama penelitian tidak dijumpai adanya aktivitas seksual, padahal menurut Nowak (1999) bekantan tidak mengenal musim kawin, perkawinan terjadi sepanjang tahun. Kondisi tersebut dimungkinkan karena pada saat penelitian beberapa betina dewasa sedang menyusui bayi atau anaknya. Penelitian Agoramoorthy dan Hsu (2005) dalam populasi liar bekantan di Labuk Bay Sanctuary, Sabah menunjukkan betina dewasa yang sedang bersama dengan bayinya cenderung menghidar saat jantan akan mendekatinya. Gorzitze (1996) melaporkan bahwa puncak kopulasi bekantan terjadi pada bulan Oktober dan tidak dapat dilihat perilaku kopulasi selama kebuntingan sampai beranak pada bulan Nopember dan Desember. Kopulasi pada bekantan di habitat liar juga terjadi pada bulan Januari, Juni, Agustus, dan Nopember (Agoramoorthy dan Hsu 2005; Murai et al. 2007), sedangkan berdasarkan observasi yang penulis lakukan di Taman Safari Cisarua menunjukkan kopulasi terjadi juga pada bulan Desember (Atmoko 2011).

Aktivitas harianAktivitas makan kelompok Stan

meningkat mulai pagi hari pukul 06.00 sampai dengan 08.00, kemudian cenderung menurun pada siang hari sekitar pukul 10.00 - 13.00. Pada sore hari pukul 16.00 - 17.00 aktivitas

makan meningkat mencapai 69%. Aktivitas istirahat banyak dilakukan pada siang hari pukul 10.00 - 13.00 berkisar antara 71 - 90%. Aktivitas istirahat pada siang hari banyak dilakukan oleh bekantan untuk tidur, yaitu berkisar 34 - 78%. Aktivitas bergerak banyak dilakukan pada pukul 14.00 - 15.00, yaitu sebesar 20%. Berdasarkan analisis statistik aktivitas kelompok Stan mempunyai preferensi waktu tertentu untuk beraktivitas makan (χ2= 100,7; P<0,01; n = 479), bergerak (χ2= 104,8; P<0,01; n = 60) dan istirahat (χ2= 70,8; P<0,01; n = 873). Aktivitas sosial tidak ada preferensi waktu tertentu untuk beraktivitasnya (χ2= 13,6; P<0,01; n = 20).

Aktivitas makan kelompok Zacky mulai pagi hari sampai pukul 14.00 tidak banyak mengalami perubahan, hanya pada pukul 10.00 - 12.00 aktivitas makannya menurun seiring dengan aktivitas istirahat dan tidur yang tinggi. Pukul 14.00 aktivitas makan dan bergerak mulai meningkat kembali sampai pukul 17.00 menjelang istirahat di pohon tidur, dengan ditandai aktivitas istirahat diam yang meningkat. Aktivitas istirahat pada pagi hari banyak digunakan untuk tidur, sedangkan pada sore hari cenderung digunakan untuk istirahat diam. Aktivitas istirahat tidur mulai teramati sejak pagi hari sampai pukul 15.00, dan aktivitas tidur tertinggi terjadi pada tengah hari pukul 11.00 - 12.00, sebesar 24% saat kondisi matahari panas terik. Berdasarkan analisis statistik aktivitas kelompok Zacky menunjukkan adanya preferensi waktu tertentu untuk beraktivitas makan (χ2= 67,1; P<0,01; n = 403), bergerak (χ2= 44,6; P<0,01; n = 114), sosial (χ2= 60,8; P<0,01; n = 26), dan istirahat (χ2= 76,9; P<0,01; n = 757).

Aktivitas makan kelompok Raja dilakukan mulai pagi hari dan menurun pada pukul 10.00 - 12.00, kemudian cenderung meningkat lagi sampai sore pukul 17.00. Aktivitas bergerak kelompok Raja dibandingkan dua kelompok lainnya dapat dilihat tidak beraturan. Pada waktu tertentu aktivitasnya sangat tinggi mencapai lebih dari 70%, namun pada jam tertentu sama sekali tidak melakukan pergerakan. Berdasarkan analisis statistik aktivitas kelompok Raja menunjukkan adanya preferensi waktu tertentu untuk melakukan aktivitas makan (χ2= 130; P<0,01; n = 392), bergerak (χ2= 338,8; P<0,01; n = 286), dan istirahat (χ2= 168,9; P<0,01; n = 709), sedangkan aktivitas sosial tidak ada preferensi waktu tertentu (χ2= 16,6; P<0,01; n = 5).

Secara umum, waktu yang digunakan bekantan di Kuala Samboja untuk istirahat dan tidur siang lebih dari setengah dari aktivitas hariannya. Hal tersebut diperkuat oleh McDade (2005) yang menyatakan bahwa bekantan mencari pakan pada pagi hari, kemudian

Page 19: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 1, Januari 2017, hlm. 14-21 17

istirahat dalam waktu yang cukup lama untuk mencerna pakannya dan makan lagi menjelang petang. Sistem pencernaan bekantan mirip dengan kelompok satwa ruminansia (Matsuda et al. 2011). Seperti halnya jenis ruminansia, waktu istirahat yang panjang pada bekantan digunakan untuk mencerna pakannya, salah satunya adalah dengan melakukan remastication. Remastication adalah perilaku bekantan mengeluarkan kembali pakannya ke mulut kemudian mengunyahnya kembali sebelum benar-benar menelannya.

Aktivitas bergerak kelompok Raja paling tinggi sedangkan waktu istirahatnya paling rendah jika dibandingkan dengan dua kelompok lainnya. Hal itu berkaitan dengan kondisi habitat di komunitas riparian yang memanjang di tepi sungai dengan vegetasi lebih rapat dan sumber pakan tersebar. Pergerakan untuk mencapai pohon pakan yang satu ke pohon pakan lainnya harus terlebih dahulu melalui pohon-pohon lain yang ada di sekitarnya. Selain itu jenis yang banyak dan rapat menyebabkan diperlukan waktu yang lebih lama untuk mencari dan memilih pakan yang disukai (foraging). Selaras dengan penelitian Yang et al. (2007) pada subfamily Colobinae lainnya yaitu Trachypithecus francoisi menunjukkan bahwa pada habitat yang masih baik aktivitas bergerak dan foraging cenderung lebih rendah dan istirahatnya lebih tinggi dibandingkan pada habitat yang rusak.

Kelompok Stan dan Zacky sudah terhabituasi kehadiran manusia dengan segala aktivitasnya. Beberapa kali pengamatan pada pagi hari saat kelompok Zacky masih tidur di pohon yang berdekatan dengan jalan raya,dapat dilihat bekantan tidak terganggu kebisingan yang ditimbulkan kendaraan yang melintas. Demikian juga dengan kelompok Stan yang tetap tenang melakukan aktivitasnya, walaupun di sekitar lokasi tersebut ada aktivitas masyarakat yang sedang memancing, memasang atau memeriksa bubu, atau mengambil dan mengangkut daun nipah. Bekantan di lokasi lainnya lebih sensitif dengan kehadiran manusia. Menurut (Boonratana 2000), bekantan di Kinabatangan, Sabah Malaysia menggunakan sebanyak 27,8 – 30,0% dari waktu aktivitasnya untuk kewaspadaan. Bekantan di Lahan Basah Suwi, Kalimantan Timur juga menunjukkan perilaku dengan tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap kehadiran manusia (Atmoko et al. 2017).

Jenis pakan Sekurang-kurangnya terdapat 21 jenis

tumbuhan sumber pakan bekantan di Kuala Samboja. Sebanyak 12 jenis berhabitus pohon, 2 jenis pohon kecil, 5 jenis liana, 1 jenis paku-pakuan dan 1 jenis semak. Perhitungan IARF menunjukkan bahwa lima jenis tumbuhan paling disukai bekantanadalah rambai laut (Sonneratia caseolaris), laban (Vitex pinnata), Deris sp., karet (Hevea braziliensis) dan api-api (Avicenia cf. officinalis) (Tabel 1).

Tabel 1. Jenis tumbuhan sumber pakan bekantan di Kuala Samboja

Suku JenisBagian yang dimakan

IARF (%)da bu bng pu lainHabitat RambaiPohon Sonneratiaceae Sonneratia caseolaris √ √ √ 82 35,8Avicenniaceae Avicenia cf. officinalis √ √ 13 9,5Myrtaceae Syzygium sp √ 2 1,5Liana Leguminosae-pap. Deris sp. √ 18 6,6Araceae Raphidophora sp. √ 9 2,9Flagellariaceae Flagelaria sp. √ √ 4 1,5Semak Acanthaceae Acanthus ilicifolius √ 9 6,6

Page 20: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

18 Atmoko et al., Strategi Adaptasi Bekantan

Habitat Rambai-RiparianPohonSonneratiaceae Sonneratia caseolaris √ √ √ 82 37,5Verbenaceae Vitex pinnata √ √b √a 46 31,8Pohon Kecil Rubiaceae Oxyceros longiflora √ 3 3,4

Verbenaceae Teijsmanniodendron coriaceum √ 2 2,3

Liana Leguminosae-pap. Deris sp. √ 18 10,2Araceae Raphidophora sp. √ 9 5,7Leguminosae-pap. Derris trifoliata √ √ 6 6,8Flagellariaceae Flagelaria sp. √ √ 4 2,3Habitat RiparianPohonVerbenaceae Vitex pinnata √ √b √a 46 29,0Euphorbiaceae Hevea brasiliensis √ √b 17 27,4Elaeocarpaceae Elaeocarpus stipularis √a √b √ 5 8,1Malvaceae Hibiscus tiliaceus √ 4 6,5Dipterocarpaceae Vatica pauciflora √ 4 6,5

Anacardiaceae Buchanania arborescens √ √ √ 3 4,8

Euphorbiaceae Baccaurea motleyana √ 2 3,2Dilleniaceae Dillenia suffruticosa √ 1 1,6Meliaceae Sandoricum koetjape √ 1 1,6Liana Leguminosae-caes. Bauhinia sp. √ √ 6 9,7Paku-pakuan Blechnaceae Stenochlaena palustris √ 1 1,6

Keterangan : bagian dimakan : da = daun; bu = buah; bng = bunga; pu = pucuk; lain = lainnya; IARF = individual activity records of feeding

Sumber : a(Matsuda 2008); b(Soendjoto 2006)

Jumlah jenis pakan bekantan pada habitat yang berada di dekat muara (komunitas rambai) paling sedikit dan semakin meningkat pada habitat di daerah hulu sungai (komunitas rambai-riparian dan komunitas riparian). Hal itu karena semakin ke arah hulu sungai jenis tumbuhannya semakin beragam. Keberagaman jenis tumbuhan pada habitat akan memberikan variasi pilihan sumber pakan bekantan.

Jenis laban (Vitex pinnata) adalah pakan utama di komunitas riparian, sedangkan rambai laut (S. caseolaris) menjadi pakan utama di komunitas rambai dan komunitas rambai-riparian. Jenis bakau (mangrove) lainnya selain rambai laut adalah api-api (Avicenia cf. officinalis). Daun dan buah api-api dimakan kelompok bekantan yang berada di bawah komunitas rambai yang berdekatan dengan

muara sungai. Penyebaran jenis api-api hanya dijumpai di lokasi tersebut dengan kondisi kadar garam yang lebih tinggi. Penggunaan S. caseolaris sebagai sumber pakan utama bekantan juga di laporkan di Delta Mahakam (Alikodra dan Mustari 1994; Atmoko dan Sidiyasa 2008), Sungai Sepaku, dan Sungai Semoi, Kalimantan Timur (Atmoko et al. 2011), namun penelitian (Saidah et al. 2002) di kawasan mangrove Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, menunjukkan hal yang berbeda, bekantan sama sekali tidak memanfaatkan S. caseolaris baik sebagai sumber pakan maupun tempat beraktivitas. Hasil penelitian tersebut melaporkan bahwa sumber pakan utama bekantan Rhizophora mucronata dan Bruguiera parvifolia.

Page 21: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 1, Januari 2017, hlm. 14-21 19

Jenis tumbuhan bawah dan liana yang banyak dijumpai di ketiga lokasi ternyata juga digunakan bekantan sebagai sumber pakannya. Berdasarkan nilai IARF jenis Deris sp., Acanthus ilicifolius, Raphidophora sp., Bauhinia sp. dan Derris trifoliata sering dimakan bekantan. Acanthus ilicifolius, Raphidophora sp., Flagelaria sp., dan Oxyceros longiflora adalah jenis yang belum pernah dilaporkan sebagai sumber pakan bekantan pada penelitian di habitat bekantan lainnya (Salter et al. 1985; Bismark 1986; Bismark 1994; Yeager 1989; Yeager 1995; Alikodra dan Mustari 1994; Yeager et al. 1997; Alikodra 1997; Atmoko dan Sidiyasa 2008; Saidah et al. 2002; Soendjoto 2006; Kartono et al. 2008; Matsuda et al. 2009). Ada dua kemungkinan alasan penggunaan jenis tersebut sebagai sumber pakan. Pertama karena ketersediaan sumber pakan yang umum dimakan terbatas keberadaannya, sehingga bekantan beradaptasi dengan memakan jenis-jenis tersebut. Kedua untuk memenuhi kebutuhan mineral yang mungkin banyak terdapat pada tumbuhan tersebut.

Bekantan memakan beberapa jenis tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya, diantaranya mineral (Bismark 2009). Beberapa jenis tumbuhan yang sering tumbuh di hutan sekunder seperti suku Leguminosae sering dipilih primata, karena banyak mengandung N, P dan abu, sejauh kandungannya tidak menghambat pencernaan (Gupta dan Chivers 2004). Menurut (Waterman et al. 1988) primata yang memakan berbagai jenis tumbuhan dan bagiannya dengan variasi tinggi akan mengurangi peluang terkena efek racun yang ditimbulkan senyawa sekunder dalam tumbuhan tersebut. Memakan buah yang belum masak mencerminkan tingginya toleransi terhadap sumber pakan yang berserat tinggi atau menghindari agen antibiotik yang terkandung dalam buah masak (Garber 1987).

Bekantan di lokasi penelitian ini masih bisa bertahan hidup, karena kemampuan bekantan untuk beradaptasi dengan perubahan habitat. Adaptasi bekantan pada habitat yang berubah menjadi hutan karet di Kalimantan Selatan dilaporkan Soendjoto et al. (2005). Menurut (Soendjoto et al. 2005) pada waktu tertentu beberapa areal hutan karet milik masyarakat di konversi menjadi ladang, sehingga menciptakan mozaik-mozaik pada habitat bekantan. Mozaik inilah yang menjadi patch bagi bekantan, sehingga untuk mencapai patch tersebut bekantan beradaptasi dengan merubah pola jelajah hariannya.

Simpulan dan Saran

Simpulan Pola aktivitas bekantan di Kuala

Samboja dalam melakukan strategi adaptasi untuk bertahan hidup di habitat yang terisolasi dan terfragmentasi : 1) menghemat energi dengan mengurangi perilaku pergerakan dan tidak responsif terhadap kehadiran manusia; 2) menggunakan sebagian besar waktu aktivitas siangnya untuk istirahat atau tidur; 3) mengoptimalkan sumber daya yang ada dalam wilayah jelajahnya yang sempit, dengan menggunakan sumber pakan lain yang tidak biasa dimakan bekantan di tempat lainnya.

SaranHabitat bekantan di Kuala Samboja

dalam kondisi minimum menyediakan sumber daya bagi kehidupan bekantan, oleh karena itu perlu ditingkatkan kualitas habitatnya melalui pembinaan habitat. Pembinaan habitat diarahkan pada jenis pakan yang sudah umum digunakan bekantan di habitat yang masih baik.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Yayasan Alas Loa Taka yang telah mendanai kegiatan penelitian ini dan Bapak Mudakir yang telah membantu dalam mengumpulkan data di lapangan.

Daftar Pustaka

Agoramoorthy G, Hsu MJ. 2005. Occurrence of infanticide among wild proboscis monkeys (Nasalis larvatus) in Sabah, Norhern Borneo. Folia Primatology, 76, pp.177–179.

Alikodra HS, Mustari AH, Santosa N, Yasuma S. 1995. Social interaction of proboscis monkey (Nasalis larvatus Wurmb) group at Samboja Koala, East Kalimantan. Annual Report of Pusrehut, Vol. 6 Apr.

Alikodra HS. 1997. Populasi dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus) di Samboja Koala, Kalimantan Timur. Media Konservasi, 5(2), pp.67–72.

Alikodra HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwa Liar Dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor (ID): IPB Pr.

Alikodra HS, Mustari AH. 1994. Study on ecology and conservation of proboscis monkey (Nasalis larvatus Wurmb) at

Page 22: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

20 Atmoko et al., Strategi Adaptasi Bekantan

Mahakam River Delta, East Kalimantan: Behaviour and habitat function. Annual Report of Pusrehut, Vol. 5 Des.

Altmann J. 2009. Observational study of behavior : sampling methods. Behaviour, 49(3), pp.227–267.

Atmoko T, Sidiyasa K. 2008. Karakteristik vegetasi habitat bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 4(4), pp.307–316.

Atmoko T. 2011. Perilaku Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Taman Safari Indonesia, Cisarua Bogor. Laporan Observasi. Program Studi Primatologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor (tidak dipublikasikan).

Atmoko T, Ma'ruf A, Rinaldi SE, Sitepu BS. 2011. Penyebaran bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. In Nur Sumedi et al., eds. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian BPTKSDA. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, pp. 71–83.

Atmoko T. 2012. Bekantan Kuala Samboja, Bertahan dalam Keterbatasan, Melestarikan bekantan di habitat terisolasi dan tidak dilindungi 1st ed. M. Bismark et al., eds., Bogor: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.

Atmoko T, Mukhlisi, Priyono, Ingan. 2017. Survei bekantan dan habitatnya di Lahan Basah Suwi, Kec. Muara Ancalong, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam dan Yayasan Konservasi Khatulistiwa Indonesia. (Laporan tidak dipublikasi)

Bennett EL. 1988. Proboscis monkeys and their swamp forests in Sarawak. Oryx, 22(2), pp.69–74.

Bismark M. 1994. Ekologi makan dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di hutan bakau TN Kutai Kalimantan Timur. Desertasi tidak dipublikasikan. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Bismark M. 1986. Perilaku bekantan (Nasalis larvatus) dalam memanfaatkan lingkungan hutan bakau di TN Kutai Kalimantan Timur. [tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Boonratana R. 2000. A short note on vigilance exhibited by proboscis monkey (Nasalis larvatus) in the Lower Kinabatangan, Sabah, Malaysia. Tigerpaper, 27(4), pp.21–22.

Boonratana R. 1993. The Ecology and Behaviour of The Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) in The Lower Kinabatangan, Sabah. Ph.D. dessertation. Mahidol University.

Garber PA. 1987. Foraging strategies among living primates. Annual Reviews Anthropology, 16, pp.339–64.

Gorban AN, Pokidysheva LI, Smirnova EV, Tyukina TA. 2011. Law of the Minimum Paradoxes. Bulletin of Mathematical Biology, 73(9), pp.2013–2044.

Gorzitze AB. 1996. Birth-related behaviors in wild proboscis monkeys (Nasalis larvatus). Primates, 37(1), pp.75–78.

Gupta AK, Chivers DJ. 2004. Biomass and use of resources in south and south-east Asian primate communities. In J. G. Fleagle, C. H. Janson, & K. E. Reed, eds. Primate Communities. United Kingdom: Cambridge university press: Cambridge, pp. 38–54.

Kartono AP, Ginting A, Santoso N. 2008. Karakteristik habitat dan wilayah jelajah bekantan di hutan mangrove Desa Nipah Panjang Kecamatan Batu Ampar Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. Media Konservasi, 13(3), pp.1–6.

Matsuda I. 2008. Feeding and Ranging Behaviors of Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) in Sabah, Malaysia. Ph.D. dessertation. Hokkaido University.

Matsuda I, Tuuga A, Higashi S. 2009. The feeding ecology and activity budget of proboscis monkeys. American Journal of Primatology, 71, pp.478–492.

Matsuda I, Clauss T, Yamada M, Tomomi, Tuuga A, Bernard H, Higashi S. 2011. Regurgitation and remastication in the foregut-fermenting proboscis monkey (Nasalis larvatus). Biology Letter. doi:10.1098/rsbl.2011.0197.

McDade MC. 2005. Grzimek’s Student Animal Life Resource, Mammals. volume 1, Echidnas to Armadillos, Farmington Hills, MI: Gale Group.

Meijaard E, Nijman V, Supriatna J. 2015. Nasalis larvatus, Proboscis Monkey. The IUCN Red List of Threatened Species. Available at: www.iucnredlist.org/details/14352/0 [Accessed December 21, 2017].

Murai T, Mohamed M, Bernard H, Mahedi PA, Saburi R, Higashi S. 2007. Female transfer between one-male groups of proboscis monkey (Nasalis larvatus). Primates, 48, pp.117–121.

Page 23: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 1, Januari 2017, hlm. 14-21 21

Nawangsari VA. 2014. Teknik Pemeliharaan dan Perilaku Adaptasi Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus Owen, 1837) di Taman Satwa Cikembulan Garut. Institut Pertanian Bogor.

Niningsih L. 2017. Adaptasi Perilaku Orangutan (Pongo pygmaeus) di Kawasan Pertambangan Batubara di Kalimantan Timur. [disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Nowak RM. 1999. Primates of The World. Baltimore and London: The Johns Hopkins University Pr.

Odum EP. 1998. Dasar-Dasar Ekologi Terjemahan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr.

Pemerintah-RI. 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa,

Saidah S, Djoko M, Achmad S. 2002. Studi vegetasi habitat alternatif bekantan (Nasalis larvatus) di Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Agrosains, 15(118–29).

Salter RE, Mackenzie NA, Nightingale N, Aken KM, Chai PK. 1985. Habitat use, ranging behaviour, and food habits of the proboscis monkey (Nasalis larvatus Wurmb), in Sarawak. Primates, 26(4), pp.436–451.

Shelford VE. 1931. Some Concepts of Bioecology. Ecological Society of America, 12(3), pp.455–467.

Siegel S. 1990. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial Terjemahan. S. L. (penerjemah) Suyuti Z, ed. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.

Soendjoto MA. 2005. Adaptasi bekantan (Nasalis larvatus) terhadap hutan karet Studi kasus di Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan. [disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Soendjoto MA. 2006. Jenis dan komposisi pakan bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di hutan karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Biodiversitas, 7(1), pp.34–38.

Soendjoto MA. 2004. New record on habitat of the proboscis monkey (Nasalis larvatus) and its problems in South Kalimantan, Indonesia. Tigerpaper, 31(2), pp.17–18.

Soendjoto MA, Alikodra HS, Bismark M, Setijanto H. 2005. Vegetasi tepi-baruh pada habitat bekantan (Nasalis larvatus) di hutan karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Biodiversitas, 6(1), pp.40–44.

Tobing ISL. 2002. Respon primata terhadap kehadiran manusia di Kawasan Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun. Berita Biologi, 6(1), pp.99–105.

Waterman PG, Ross JAM, Bennett EL, Davies AG. 1988. A comparison of the floristics and leaf chemistry of the tree flora in two Malaysian rain forests and the influence of leaf chemistry on populations of colobine monkeys in the Old World. Biological Journal of the Linnean Sosiety, 34, pp.1–32.

Xiang Z. 2014. Rhinopithecus bieti at Xiaochangdu, Tibet: Adaptations to a marginal Environment. In N. B. Grow, ed. High Altitude Primates, Developments in Primatology: Progress and Prospects. New York: Springer, pp. 183–210.

Yang L, Minghai Z, Jianzhang J, Ankang W, Shuangxi W, Shusen Z. 2007. Time budget of daily activity of francois’ langur (Trachypithecus francoisi) in disturbance habitat. Acta Ecologica Sinica, 27(5), p.1715−1722.

Yeager CP. 1995. Does intraspecific variation in social systems explain reported differences in the social structure of the proboscis monkey (Nasalis larvatus)? Primates, 36(4), pp.575–582.

Yeager CP. 1989. Feeding ecology of the proboscis monkey (Nasalis larvatus). International Journal of Primatology, 10(6), pp.497–530.

Yeager CP, Silver SC, Dierenfeld ES. 1997. Mineral and phytochemical influences on foliage selection by the proboscis monkey (Nasalis larvatus). American Journal of Primatology, 41, pp.117–128.

Page 24: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 1, Januari 2017, hlm. 22-27ISSN 1410-5373

Identifikasi Nematoda Gastrointestinal Macaca maura di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung,

Sulawesi Selatan

Identification of Gastrointestinl Nematodes in Macaca maura at Bantimurung Bulusaraung National Park,

South Sulawesi

Mukhlisah N1,2*, Rell F2, Muslimin L2

1Mayor Primatologi Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor 2Program Studi Kedokteran Hewan, Universitas Hasanuddin Makasar

*Korespondensi : [email protected]

Abstract. Macaca maura is one of the many endemic nonhuman primate species in South Sulawesi. Conservation of the species has become one of the government priorities, considering the species endangered status on the IUCN Red List. Health monitoring should be performed as one of the conservation measures, including health monitoring of the gastrointestinal tract. This research was conducted to detect the presence of gastrointestinal nematodes in Macaca maura at Bantimurung Bulusaraung National Park. Surveillance was performed on a group with 34 individuals that consisted of two adult males, seven adult females, 22 juveniles, and three infants. A total of 25 fecal samples were collected in a one-month period, and were processed using the fecal floatation method. Three species of nematodes were identified: Trichuris trichiura, Ascaris lumbricoides, and Ancylostoma duodenale. Most of the animals did not show any significant clinical findings related to the parasitic infestation, except for one watery fecal sample that was taken from an animal with diarrhea. This research provides evidence of gastrointestinal nematodes infecting Macaca maura that will be beneficial for the disease management in the National Park.

Key words: Bantimurung Bulusaraung National Park, Macaca maura, nematodes

Pendahuluan

Pulau Sulawesi merupakan salah satu pulau yang memiliki satwa primata yang endemik. Di Pulau Sulawesi terdapat tujuh spesies dari 19 spesies Macaca, yaitu Macaca maura di Sulawesi Selatan, M. tonkeana di Sulawesi Tengah, M. hecki di Sulawesi Tengah-Utara, M. nigrescens di dekat Gorontalo-Kotamubagu, M. nigra di Sulawesi Utara, M. ochreara di Sulawesi Tenggara, dan M. brunnescens di Pulau Muna dan Buton (Fooden 1969). Ketujuh jenis primata tersebut terdistribusi di Pulau Sulawesi pada geografis yang berbeda atau terpisah (Allopatric) dan dapat ditemukan di dataran rendah atau hutan pengunungan bawah (Supriatna 2000).

M. maura merupakan salah satu dari tujuh spesies Macaca yang tersebar di Pulau Sulawesi. Spesies ini merupakan primata endemik di Pulau Sulawesi Selatan yang telah dilindungi undang-undang. Salah satu ciri yang dapat membedakan M. maura dengan Macaca jenis lainnya terdapat pada ekor yang hampir tidak dapat dilihat. Hal ini menjadikan M. maura disebut sebagai monyet hitam ekor

pendek. Pada bagian anogenital dan ekor terdapat bantalan yang berwarna merah (lebih mencolok dari warna tubuhnya). Pada monyet betina, warna tersebut akan menjadi lebih jelas pada saat terjadi menstruasi dan kebuntingan.

Satwa primata ini mengalami penurunan populasi, sehingga dinyatakan terancam punah oleh IUCN (IUCN 2008). Salah satu usaha untuk menjaga kelestarian populasi tersebut, diperlukan pengelolaan yang baik agar usaha-usaha pemanfaatannya dapat tetap berlangsung. Salah satu alternatif yang perlu dikembangkan antara lain melalui program konservasi secara in-situ. Program konservasi didukung dengan manajemen pemeliharaan yang merupakan aspek penting untuk mendukung keberhasilan dalam program konservasi in-situ maupun eks-situ. Segala sesuatu yang berkaitan dengan usaha pelestarian satwa yang didukung dengan manajemen pemeliharan, dihubungkan dengan aspek kesehatan satwa. Kesehatan merupakan sesuatu yang perlu mendapatkan perhatian serius agar produktivitasnya semakin meningkat.

Dalam kesehatan terdapat penyakit yang merupakan faktor penting untuk diperhatikan. Satwa primata yang hidup di alam sangat memiliki resiko untuk terinfeksi penyakit

Page 25: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 1, Januari 2017, hlm. 22-27 23

baik yang berasal dari virus, bakteri maupun parasit. Pada penelitian ini, menunjukan aspek kesehatan yang disebabkan infeksi parasit dengan mengidentifikasi parasit di saluran pencernaan M. maura.

Beberapa genus nematoda yang dapat menginfeksi di saluran pencernaan diantaranya Strongyloides sp., Oesophagustomum sp., Trichuris sp., Mammomonogamus sp., Ancylostoma sp., Trichostrongylus sp., Enterobius sp., Ascaris sp., Ternides sp., Abbreviata caucasica, dan Strongylida sp. (Irene et al. 2004). Larva infektif dapat menginfeksi induk semang dengan cara termakan atau dengan menembus kulit induk semang. Saat larva berada di dalam induk semang, mereka segera menetap di dalam lokasi akhir, berkembang menjadi stadium dewasa dan akhirnya akan menimbulkan penyakit cacingan (Levine 1990). Jenis cacing tersebut umumnya menular melalui tanah, air dan makanan berupa hijauan atau buah-buahan pada saat melakukan aktivitas dan memperoleh makanan yang terkontaminasi telur cacing nematoda (Harjopranjoto et al. 1998).

Secara umum, tujuan penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan informasi dan data terkait jenis parasit nematoda pada saluran pencernaan M. maura. Informasi tersebut akan menjadi hal yang dapat dijadikan acuan terhadap pemeriksaan kesehatan baik pada penangkaran in-situ maupun eks-situ. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis parasit nematoda yang menginfeksi saluran pencernaan M. maura di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan.

Materi dan Metode

Penelitan ini dilaksanakan pada awal sampai akhir bulan Agustus tahun 2015. Lokasi penelitian bertempat di Hutan Karaenta Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan. Pengambilan sampel menggunakan metode convenience sampling. Pengambilan sampel feses dilakukan selama lima hari dalam satu bulan. Pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium Parasitologi Balai Besar Veteriner Maros, dan Laboratorium Program Studi Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin Makassar.

Koleksi sampelSampel feses segar diambil setelah satwa

melakukan defekasi. Proses defekasi terjadi dua jam setelah melakukan aktivitas makan. Sampel feses dikoleksi sebanyak 25 sampel kemudian

dimasukkan ke dalam tabung kontainer sampel dan diberi label nomor dan tanggal pengambilan sampel kemudian dimasukkan ke dalam kotak pendingin. Setelah sampel dikumpulkan selanjutnya sampel dibawa ke Laboratorium Parasitologi Balai Besar Veteriner Maros dan diperiksa kembali di Laboratorium Program Studi Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin Makassar.

Pemeriksaan jenis parasit nematoda gastrointestinal

Pada uji apung, sampel feses diambil sebanyak 2 g dan dimasukkan ke lumpang, ditambahkan aquades dan diaduk sampai homogen. Kemudian dituangkan ke dalam tabung sentrifus sampai setinggi ¾ tabung. Setelah itu, dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 5 menit. Selanjutnya, cairan jernih diatas endapan dibuang dan ditambahkan larutan NaCl jenuh. Tabung kembali disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 5 menit. Tabung diletakan di atas rak dengan posisi tegak lurus, diteteskan NaCl jenuh dengan pipet sampai permukaan cairan di dalam tabung menjadi cembung dan dibiarkan selama 3 – 5 menit, gelas obyek ditempelkan di atas permukaan yang cembung kemudian ditutup dengan cover glass dan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 40x (Soulsby 1982).

Hasil dan Pembahasan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung merupakan kawasan perlindungan secara in-situ terhadap M. maura dengan melepas satwa ke dalam hutan. Lokasi perlindungan monyet hitam ekor pendek ini berada di Hutan Karaenta yang merupakan kawasan hutan lindung sekaligus wilayah jelajah M. maura dengan luas 24 – 40 ha. Jumlah kelompok M. maura hingga saat ini 7 kelompok yang terdiri dari kelompok A sampai dengan kelompok G. Kelompok B merupakan salah satu kelompok yang dapat berinteraksi dengan manusia, sehingga dapat digunakan sebagai subyek penelitian. Hasil observasi lapang, jumlah M. maura pada kelompok B sebanyak 34 ekor yang terdiri dari 2 ekor jantan dewasa, 7 ekor betina dewasa, 22 ekor usia remaja dan tiga ekor bayi.

Total sampel feses yang ditemukan di Hutan Karaenta sebanyak 25 sampel. Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali untuk setiap sampel feses segar. Pengambilan feses dilakukan di pagi hari pada pukul 08.00 WITA sampai sore hari pada pukul 16.00 WITA. Wilayah pengambilan sampel terletak di beberapa tempat yang berbeda. Proses awal pengambilan sampel dimulai dari pemanggilan M. maura ke

Page 26: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

24 Mukhlisah et al. Identifikasi Nematoda Gastrointestinal Macaca maura

Tabel 1 Identifikasi telur cacing yang menginfeksi Macaca maura di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Sulawesi Selatan

Parasit Jenis Infeksi Jumlah Sampel Feses(buah)

Jumlah Positif(buah)

Trichuris trichiura Infeksi tunggal 25 17Ascaris lumbricoides + trichuris trichiura Infeksi ganda 25 3Ancylostoma duodenale + trichuris trichiura Infeksi ganda 25 5

wilayah pengumpulan yang telah ditentukan pada saat observasi lapang. Pemanggilan dan pengumpulan dilakukan dengan menggunakan biji jagung sebagai umpan untuk menuju wilayah tersebut. Sampel feses yang diambil dimulai pada lokasi pengumpulan yang berlanjut mengikuti jelajah dari M. maura. Pengambilan sampel feses dikoleksi setelah satwa primata melakukan proses defekasi dengan menunggu untuk berpindah tempat. Proses defekasi tersebut terjadi selama 2 jam setelah istirahat dan makan. M. maura akan membuang kotoran pada saat berada di atas pohon dan bebatuan dengan posisi duduk dan memegang ranting pohon.

Pemeriksaan sampel feses melalui metode uji apung menghasilkan beberapa sampel positif yang diidentifikasi beberapa telur cacing nematoda. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada M. maura menunjukkan adanya infeksi cacing nematoda. Pemeriksaan yang telah dilakukan ditemukan telur cacing Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan Ancylostoma duodenale.

Pemeriksaan feses dilakukan dengan melihat karakteristik feses berupa bentuk dan warna. Bentuk yang ditemukan padat dan cair dengan ukuran panjang 3 – 10 cm dan lebar 1 – 2 cm. Feses berwarna hijau kekuningan sampai kecoklatan. Bentuk feses yang padat memiliki tekstur yang berserat dengan bercampur biji-bijian sedangkan feses yang cair memiliki tektur yang lebih kental dengan bercampur urin. Feses yang ditemukan dikoleksi, dan dimasukan ke dalam kontainer (penyimpanan sampel) dengan menekan suhu udara seminimal mungkin untuk mencegah penetasan telur.

Hasil pemeriksaan telur cacing Ascaris lumricoides yang ditemukan berbentuk oval dengan ukuran 95,33 µm, memiliki dinding tebal yang terdiri dari dua lapisan luar dan dalam. Lapisan luar dengan jaringan albuminoid dan lapisan dalam yang bening disebut dengan lapisan hialin (Gambar 1a). Telur A. lumbricoides yang ditemukan pada feses M. maura telah dibuahi yang ditandai dengan adanya lapisan albuminoid yang belum pecah. Menurut Hernasari (2001), pada telur A. lumbricoides yang telah ditandai dengan melihat lapisan albuminoid yang belum pecah. A. lumbricoides merupakan cacing yang umum dapat ditemui pada semua satwa primata yang memiliki infeksi yang tinggi (Sajuthi et al. 1997).

Telur cacing A. lumbricoides tidak menimbulkan gangguan yang berat. Kadang-kadang penderita akan mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi (Mansjoer 2000). Pada infeksi berat dapat terjadi gangguan penyerapan makanan. Pada keadaan yang berat cacing akan menggumpal dalam usus, sehingga terjadi penyumbatan pada usus. Bila di dalam usus terdapat jumlah yang banyak, maka akan menyumbat usus dan bisa menyebabkan peradangan. Dalam bentuk larva A. lumbricoides dapat berimigrasi ke usus, trakhea, paru-paru dan hati. Gejala cacingan memang tidak nyata dan sering dikacaukan dengan penyakit lain. Namun gejala awal yang dapat diidentifikasi adanya batuk, lesu dan kondisi tubuh yang tidak bergairah (Tan dan Rahardja 2007).

Page 27: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 1, Januari 2017, hlm. 22-27 25

Gambar 1 Bentuk telur cacing nematoda yang menginfeksi saluran pencernaan M. maura dengan pembesaran 40x : (A) telur cacing A. lumbricoides; (B) telur cacing T. trichiura; dan (C) telur cacing A. duodenale.

Telur cacing T. trichiura dengan bentuk telur yang serupa dengan buah lemon memiliki ukuran 25,69 µm, pada kedua kutub terdapat penonjolan yang jernih. Kedua lapisan merupakan membran luar yang di dalamnya berisi larva (Gambar 1B) (Triani 2014). T. trichiura mudah untuk didapatkan dalam menggunakan metode uji apung dalam pemeriksaan telur cacing. Telur cacing tersebut sangat sering menginfeksi satwa primata dan manusia, sehingga mudah untuk ditemukan. Telur infektif cacing T. trichiura dapat terjadi karena satwa memakan makanan secara alami mengandung telur infektif Trichuris. Secara klinis, infeksi dari T. trichiura dapat menyebabkan infeksi ringan sistomatik. Pada infeksi berat terjadi colitis dengan tinja berlendir dan tinja bercampur darah. Iritasi terus menerus dari usus dan kelemahan otot (m. levator ani) yang menyebabkan prolapsus rektum (Zaman 2014).

Telur A. duodenale dengan bentuk telur yang ditemukan lonjong memiliki ukuran 43,12 µm dan berdinding tipis. Terdapat sel telur yang mengelilingi lapisan telur A. duodenale (Gambar 1C). Morfologi telur yang dapat diamati, dapat diidentifikasi sebagai telur cacing A. duodenale yang merupakan telur cacing tipe Strongil. Cacing yang memiliki siklus hidup yang cukup pendek ini menularkan dengan cara ingesta, feses, kolostrum dan menembus kulit hospes. Lingkungan yang berpasit dan adanya kubangan atau kolom air sangat mendukung perkembangan hidupnya. Penularan tipe cacing ini kemungkinan menembus melalui kulit atau melalui makanan dan minuman yang kotor dan mengandung larva infektif (Soulsby 1982).

Berdasarkan hasil identifikasi telur cacing nematoda pada saluran pencernaan melalui feses M. maura berbeda pada primata lainnya. Hal ini dinyatakan dalam penelitian Basri (2001) dan Rahmi (2010) yang menemukan telur cacing S.

stercoralis dan A. duodenale yang menginfeksi M. fascicularis. Hasil identifikasi yang serupa juga telah dilakukan Rahmah (2008) di Siberut Utara pada satwa primata endemik yaitu simakobu (Simians concolor siberu) dan joja (Presbytis potenziani siberu). Pada semua satwa primata yang memiliki daya infeksi yang tinggi terhadap parasit nematoda, Strongyloides merupakan cacing yang umum ditemukan (Sajuthi et al. 1997). Namun tidak semua kelompok cacing nematoda dapat menginfeksi satwa primata, karena pada dasarnya satwa primata di habitat aslinya akan terhabituasi untuk mengkonsumsi beberapa daun-daunan yang memiliki efek sebagai obat-obatan untuk menyembuhkan masalah pencernaan (Levine 1990).

Proses penyembuhan yang dilakukan disebut sebagai self medication,yang dilakukan secara alami dan naluriah pada setiap satwa primata. Hal tersebut dilakukan, karena tubuh dianggap tidak dalam kondisi normal. Satwa primata yang hidup di alam liar akan secara alami mencari pakan untuk menyembuhkan penyakit di dalam tubuhnya. Menurut Hardy (2013) satwa primata mengkonsumsi beberapa daun-daunan atau tumbuhan tertentu, dapat menunjukkan pengobatan berbagai penyakit. Pemilihan dan konsumsi tanaman tersebut, mendapatkan pengecualian terhadap senyawa sekunder yang berbahaya dan bersifat toksik terhadap tubuh. Pemilihan tanaman tersebut membutuhkan metode pengetahuan yang diajarkan langsung oleh kelompok atau individu yang lebih dewasa.

Banyaknya penyakit parasit pada satwa primata adalah zoonosis (Pedersen 2005) dan adanya gangguan antropogenik yang mengubah dinamika sistem ekologi (Putther et al. 2008). Penularan dapat terjadi antara individu melalui kepadatan kelompok, tingkat stres, wilayah

Page 28: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

26 Mukhlisah et al. Identifikasi Nematoda Gastrointestinal Macaca maura

jelajah setiap kelompok, terlalu luas dan pakan yang terkontaminasi (Nunn dan Dokey 2006; Borries et al. 2008). Sebagian besar individu yang terinfeksi tidak mengalami gejala yang signifikan sampai pada kematian. Namun terdapat gejala seperti diare ringan, yang dapat dilihat pada bentuk dan tekstur feses yang dikumpulkan pengamat.

Simpulan

Kesehatan satwa merupakan salah satu aspek penting dalam konservasi. Penyakit zoonosis yang mampu menginfeksi satwa merupakan ancaman yang dapat dicegah dengan pengendalian kesehatan sejak awal. Penyakit parasitik dapat bersifat zoonosis dan merugikan usaha pelestarian terhadap M. maura. Hasil penelitian dengan menggunakan uji apung untuk mengidentifikasi jenis parasit pada saluran pencernaan merupakan metode sederhana dengan hasil yang positif. Jenis parasit saluran pencernaan pada satwa primata M. maura antara lain A. lumbricoides, T. trichiura dan A. duodenale.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr drh Lucia Muslimin dan drh Fedri Rell yang telah membimbing sampai penelitian ini sampai selesai. Terima kasih kepada pimpinan dan Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan atas izin untuk dapat melakukan pengamatan dan bantuan teknis selama berada di lapangan. Terima kasih kepada pimpinan dan staf Pusat Studi Satwa Primata LPPM-IPB yang telah memberikan saran atas penyempurnaan penulisan makalah ini.

Daftar Pustaka

Borries C, Larney E, Lu A, Ossi K, Koenig A. 2008. Costs of group size: lower developmental and reproductive rates in larger groups of leaf monkeys. Behavioral Ecology 19: 1186-1191.

Basri. 2001. Keberadaan jenis-jenis parasit gastrointestinal yang menginfeksi satwa primata di Kebun Binatang Bukit Tinggi Sumatera Barat. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Fooden J. 1969. Taxonomy and Evolution of The Monkey of Celebes. Karger : Basel.

Harjopranjoto S, Sasmita RS, Partosoewignjo, Hariadi M, Soejoko RB, Sarmanu. 1988. Prosiding Simposium Nasional Penyakit Satwa Liar. Fakultas Kedokteran Hewan Airlangga dan Kebun Binatang Surabaya.

Hardy K, Buckley S, Huffman M. 2013. Neanderthal self-medication in context. Antiquity, 87(337), 873-878.

Hernasari PR.2011. Identifikasi endoparasit pada sampel feses Nasalis larvatus, Presbytis comate, dan Presbytis siamensis dalam penangkaran menggunakan metode natif dan pengapungan dengan sentrifugasi. F-MIPA Departemen Biologi Universitas Indonesia, Depok.

Irene F, Paembonan MW, Singeleton I, Wich SA, Hester G, Bolhius V. 2004. Intestinal parasiter of free-rangging, semicaptive and captive Pongo abelii in Sumatera, Medan, North Sumatra, Indonesia. Badan Konservasi Sumber Daya Alam, Jakarta.

IUCN. 2008. Macaca maura (Celebes Macaque, Moor Macaque). www.iucnredlist.org diunduh tanggal 5 Februari 2018.

Levine ND. 1990. Parasitologi Veteriner. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr.

Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Ward WL, Setiowulan W. 2000. Capita Selecta Medicine. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.

Nunn CL, Dokey ATW. 2006. Ranging patterns and parasitism in primates. Biology Letters 2: 351-354.

Pedersen AB, Altizer S, Poss M, Cunningham AA, Nunn CL. 2005. Patterns of host specificity and transmission among parasites of wild primates. International Journal for Parasitology 35: 647-657.

Puttker T, Meyer-Lucht Y, Sommer S. 2008. Effects of fragmentation on parasite burden (nematodes) of generalist and specialist small mammal species in secondary forest fragments of the coastal Atlantic Forest, Brazil. Ecological Research 23: 207-215.

Rahmah F, Salmah S. 2013. Cacing parasit saluran pencernaan pada hewan primata di Taman Satwa Kandi Kota Sawahlunto Provinsi Sumatera Barat. J Biologi Unand, 2(1).

Page 29: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 1, Januari 2017, hlm. 22-27 27

Rahmi E, Hanafiah M, Sutriana A, Hambal M, Wajidi F. 2010. Insidensi nematoda gastrointestinal dan protozoa pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) liar di Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Weh Sabang. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan, 286-291.

Sajuthi D, Yusuf TL, Mansjoer I, Lelana RPA, Suparto IH. 1997. Kursus Singkat Penanganan Satwa Primata sebagai Hewan Laboratorium. Denpasar (ID): Penerbit Ersa Pustaka Pribadi.

Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals. London (UK): Bailliere, Tindall and Cassel Ltd.

Supriatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan Lapangan: Primata Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.

Tan HT, Rahardja K. 2007. Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan Efek Sampingnya. Edisi ke-6. Jakarta (ID): PT. Elex Media Komputindo.

Triani R, Haryono T, Faizah U. 2014. Identifikasi telur endoparasit saluran pencernaan Macaca fascicularis yang dipergunakan pada pertunjukan topeng monyet di Surabaya melalui pemeriksaan feses. LenteraBio : JURNAL UNESA, 3(3).

Viqar Z. 2014. Atlas Parasitologi Kedokteran: Atlas Protozoa, Cacing dan Artropoda Penting. Edisi II. Jakarta (ID): Penerbit Hipokrates.

Page 30: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 1, Januari 2017, hlm. 28-31ISSN 1410-5373

Studi KasusTeknik Seksio Sesarian pada Common marmoset (Callithrix jacchus)

Caesarean Technique in Common marmoset (Callithrix jacchus)

Pawitri D1,2*, Budiarsa IN2,3

1Klinik Praktek Dokter Hewan Bersama 24 Jam, Sunter2Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor

3PT. Wanara Satwaloka, Sindangbarang Bogor

*Koorespondensi: [email protected]

Abstract. A common marmoset (Callithrix jaccus) is a simian primate with multiple ovulation, and its birth usually comprises twins, triplets, or even quadruplets. Its body weight ranges from 350-450 grams with a life span of 13 years. The sexual maturity is at 24 month old, estrus length is 28 days, gestation period is 144 days, birth weight 26-32 g, and weaning age is 60-90 days. A pregnant three-year-old female marmoset was seen on the cage floor, anxiously inspecting its genital, and its tail looked wet. The physical examination revealed that its body temperature was lower than normal. Two fetuses with a heart rate of 170/min were seen with a USG examination. With the estimation of more than one fetus which are over-sized, and breech position in one of the fetuses. The marmoset was diagnosed with dystocia. Caesarian was surgery performed, first by anesthetizing the marmoset using ketamine 50 mg/kg, continued with isoflurane 1.5%. Atropine sulphate 0.05 mg/kg of the body weight was given for premedication. The fetuses were removed through an incision on the abdomen, through the skin, muscle, linea alba and uterus. The uterus was closed using straight and lambert sutures. Oxytocin 1 Iµ/kg body weight was given intra muscularly to help the involution process of the uterus, and to stimulate milk production. Ampicillin, aspirin, vitamin D3, and calcium were also prescribed as post surgery medication for the marmoset.

Key words: anaesthesia, caesarian, dystocia, marmoset

Pendahuluan

Common marmoset (Callitrix jachus) berasal dari Amerika Tengah dan Selatan, terutama di pesisir timur laut Brazil, termasuk spesies dilindungi di negara asalnya, karena adanya kerusakan habitat aslinya. Satwa primata ini masuk dalam monyet dunia baru, ordo primata, famili Callitricidae, genus Callitrix, spesies Callitrix jachus (Bennet et al. 1998). Saat ini marmoset hasil penangkaran banyak diperjualbelikan dengan harga yang cukup menggiurkan. Seekor anakan marmoset dihargai 25 hingga 40 juta. Oleh karena itu para penghobi satwa eksotik berusaha untuk mengoleksi dan membiakkannya.

Tujuan penulisan ini untuk menunjukkan teknik seksio saesarian pada common marmoset bagi para dokter hewan di fasilitas penangkaran, kebun binatang, dan praktisi agar dapat menangani kelahiran satwa ini, mengingat kebuntingannya multiple foetus, sehingga seringkali induk marmoset tidak dapat menyelesaikan seluruh kelahiran secara normal.

Common marmoset adalah pemakan buah, bunga, getah, insekta, hidupnya arboreal, aktif di siang hari, dan hidup dalam kelompok kecil 3-15 individu. Marmoset memiliki uterus simplek, plasenta hemokhorial, multipel ovulasi,

dan multipel kelahiran pada penangkaran hingga quadruplets fetus. Bobot badan 350-450 g, lama hidup 13 tahun, kematangan seksual tercapai pada usia 24 bulan, siklus menstruasi 28 hari, lama kebuntingan 144 hari, bobot lahir anakan 26-32 g, dan umur sapih 60-90 hari (Rensing dan Ann 2005). Pemeriksaan kebuntingan dapat dilakukan dengan palpasi abdominal, ultrasonografi menggunakan probe 7,5-10 MHz, pengukuran hormon pada urine, pemeriksaan feses, serta pemeriksaan darah. Menjelang kelahiran terjadi perubahan kebiasaan makan dan tidur, urinasi lebih sering, aktivitas memanipulasi genitalia, dan penurunan suhu tubuh (Fortman et al. 2002). Marmoset yang pada umumnya memiliki anak kembar (dizygotic twins), memiliki angka abortus, lahir prematur, dan stillbirth yang cukup tinggi di penangkaran (Bennet et al. 1995).

Proses kelahiran dimulai dengan masuknya fetus pada jalan lahir, pelembutan dan dilatasi serviks yang diikuti kontraksi uterus. Kelahiran pada bayi marmoset umumnya terjadi pada malam hari. Jika hingga siang hari belum terjadi kelahiran, maka perlu dicurigai adanya kesulitan lahir atau distokia yang sangat sering terjadi pada marmoset. Jika tanda kelahiran sudah terjadi lebih dari 1 jam, maka sebaiknya dilakukan seksio sesarian, terlebih jika satwa

Page 31: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 1, Januari 2017, hlm. 28-31 29

bunting sudah berada di lantai kandang pada siang hari. Kelahiran kembar sering pada marmoset dan dapat terjadi keduanya lahir normal bisa juga salah satu atau keduanya harus melalui operasi sesarian (Rensing dan Ann 2005).

Anamnese, sinyalemen, dan gejala klinisSeekor common marmoset betina, umur

3 tahun bunting di penangkaran (Gambar 1) tampak turun di area bawah kandang dengan ekor nampak basah, gelisah, anoreksia, dan sibuk memanipulasi area genital. Pemeriksaan fisik dengan palpasi abdominal teraba adanya anak lebih dari 1 ekor, ultra sonografi tampak 2 ekor anak dengan detak jantung 170 kali/menit, ukuran anak besar, dan posisi salah satu anak sungsang. Suhu tubuh 36oC (normal 36,8oC-38,6oC).

Gambar 1 Induk marmoset buntingCukup sulit untuk mengamati perejanan

pada marmoset karena hewan ini sangat lincah melompat. Jika induk bunting sudah lebih sering berada di bawah/lantai kandang harus di waspadai kemungkinan kesulitan kelahiran. Berdasarkan pengamatan tingkah laku dan pemeriksaan ditegakkan diagnosa distokia karena posisi anak sungsang dengan ukuran yang relatif besar.

40% 1 cc secara intra vena (vena saphena, cephalica, atau coccygea), antibiotik ampisilin 5 mg/kg bobot tubuh, analgesik flunixin 10 mg/kg bobot tubuh secara intra muscular, serta pemberian premedikasi atropin 0.05 mg/kg berat tubuh secara subkutan. Marmoset dianestesi menggunakan ketamin 50 mg/kg berat tubuh, setelah terbius dibaringkan dorsal rekumbensi dilanjutkan pemberian oksigen dan induksi isofluran 1,0 – 1,5% dengan modifikasi cungkup. Area operasi dicukur kemudian dibersihkan dengan sabun betadin, alkohol 70% dan betadin selanjutnya ditutup dengan drape steril.

Peralatan yang digunakan terdiri dari 1 set anastesi mesin dengan isofluran dan modifikasi cungkup, 1 set alat bedah terdiri dari, towel clamps, scalpel dan blade, Allis/Babcock clamps, pinset adson/strabismus, Castroviejo needle holder, gunting metzenbaum/gunting operasi, hemostatic clamps.

Sayatan dimulai dari kulit, otot, peritoneum pada linea alba hingga uterus tampak kemudian uterus diisolasi dengan tampon steril. Dilakukan sayatan pada korpus uteri dan janin beserta plasenta dikeluarkan dengan hati-hati. Uterus dibersihkan dengan NaCl fisiologis hangat dan dilakukan penutupan menggunakan jahitan menerus sederhana, serta dilapis dengan jahitan lambert (Fossum 2004). Benang yang digunakan untuk penjahitan adalah vikril no. 5/0. Setelah diirigasi, dilakukan penutupan abdomen dengan vikril no. 4/0, serta dilanjutkan dengan jahitan subkutan dan kutan.

Perlakuan penangananSeksio sesarian segera dilakukan

berdasarkan gejala klinis yang teramati dan pemeriksaan fisik, suhu tubuh induk sudah mulai turun, denyut jantung anak di bawah 200 kali/menit, serta cairan lendir membasahi ekor dan bagian ventral tubuh satwa. Sesarian pada marmoset diawali dengan tahapan pra operasi dengan pemberian cairan infus ringer laktat secara subkutan 2 cc, bolus dekstros

Page 32: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

30 Pawitri dan Budiarsa Teknik Seksio Sesarian pada Common marmoset

Gambar 2 a) Bius dengan modifikasi cungkup, b) uterus simplek, c) sayatan pada korpus uteri, d-e) penjahitan uterus, f) reposisi, g) common marmoset pasca operasi, h) marmoset dengan dua anaknya.

Selanjutnya oksitosin 1 Iµ/kg bobot tubuh diberikan pasca operasi secara intra muskular. Diberikan juga antibiotik ampisillin (bid) dan analgetik aspirin 20 mg/kg bobot tubuh (tid), serta dilanjutkan per oral selama 1 minggu dengan ditambahkan vitamin D3 serta suplemen kalsium (bid).

Diskusi

Penyebab kejadian distokia diantaranya karena bentuk pelvis induk, abnormalitas uterus, ukuran, serta posisi foetus. Pada marmoset umumnya ukuran fetus jauh lebih besar dari ukuran jalur kelahiran tubuh induk. Pada kasus ini ukuran fetus yang besar (50 dan 60 g), serta posisi salah satu anak yang sungsang menyebabkan terjadi kasus distokia.

Pemberian ketamin sebelum induksi isofluran digunakan untuk memudahkan penanganan dan mengurangi stres pada satwa ini. Penggunaan anestesi isofluran merupakan pilihan yang paling aman bagi induk dan anak. Menurut (Davy et al. 1987) pembiusan dengan ketamin 50 mg/kg dengan maksimum dosis 25 mg/ekor, karena jika berlebihan dapat mengakibatkan myotoxicity atau kejadian keracunan pada otot yang dapat menyebabkan kelumpuhan. Sebaiknya ketamin dikombinasikan dengan zat yang lain, dalam hal ini kombinasi dengan isofluran adalah anestesi yang sangat efektif. Marmoset sadar dari anesthesia di tandai dengan dapat duduk tegak dan merambat ke atas. Perlu pengamatan saat pertama menyatukan induk dan anak, karena kadangkala terjadi induk meninggalkan anaknya (rejected) terutama pada induk muda yang baru pertama kali beranak.

Tujuan pemberian infus subkutan dan bolus dekstrosa diberikan untuk membantu menjaga hewan dari dehidrasi, hipoglikemia, dan peningkatan tekanan darah. Pemberian oksigen sebelum induksi dimaksudkan untuk mengurangi hipoksia saat anestesi. Vitamin D3, serta suplemen kalsium juga diberikan pasca operasi untuk mencegah terjadinya metabolic bone disease karena tingginya kebutuhan kalsium dan vitamin D3 selama kebuntingan dan menyusui. Pasca operasi diberikan ampisilin sebagai antibiotik dan analgesika aspirin. Oksitosin diberikan untuk membantu proses involusi uteri, serta merangsang produksi susu.

Pertolongan pada anakan dilakukan dengan membersihkan cairan dari rongga perut dan hidung, kemudian mengikat tali pusar. Diberikan infus dextrose 40% intra peritoneum 1 cc. Catat dalam agar scoring uji anak jika diperlukan. Anak marmoset juga diberi oksigenasi dan harus dihangatkan pada penghangat sebelum disatukan kembali dengan induk.

Simpulan dan Saran

Pembiusan dengan ketamin, serta dilanjutkan dengan isofluran 1,5% ternyata cukup aman dengan kedalaman anestesi terjaga hingga seluruh proses operasi selesai dengan baik.

Daftar Pustaka

Bennet BT, Abee CR, Hendrickson R. 1998. Non Human Primates in Biomedical Research Biology and Management. San Diego (US): Academic Pr.

Page 33: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 14, No. 1, Januari 2017, hlm. 28-31 31

MITRA BESTARI JPI

(Volume 14, Nomor 1, Januari 2017)

Prof Dr Ir Sri Supraptini Mansjoer (PSSP LPPM IPB)Prof Dr Ir Muhammad Bismark, MS (Balitbanghut Dept. Kehutanan)

Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc (Fahutan IPB)Prof Dr drh Tuty L. Yusuf, MS (FKH IPB)

Dr Ir Dedi Duryadi, DEA (FMIPA IPB)drh Huda S. Darusman, MSi, PhD (PSSP LPPM IPB)

Dr drh Chusnul Choliq, MM, MSi (FKH IPB)Dr Ir Entang Iskandar, MSi (PSSP LPPM IPB)

drh Audrey Maria Ungerer (IPB)

Davy CW, Trenner PN, Edmunds JG, Altman JFB, Eichler DA. 1987. Lab. Anim, 21, 60-67

Fortman JD, Terry AH, Bennet BT. 2002. The Laboratory Non Human Primate. CRC Press, Boca Raton.

Fossum TW. 2012. Small Animal Surgery 4th Ed. Mosby, St. Louis.

Rensing S, Ann-Kathrin O. 2005. Husbandry and Management of New World Species: Marmoset and Tamarins, pp 145-157. In : The Laboratory Primate. (S.W. Coote, Ed). San Diego (US): Elsevier Academic Pr.

Page 34: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

1. Jurnal Primatologi Indonesia (JPI) menerima naskah dalam bentuk: a) hasil penelitian, b) catatan penelitian, c) ulasan atau tinjauan pustaka, d) laporan kasus, e) paparan program/kegiatan, dan f) resensi buku. Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia maupun Inggris.

2. Naskah tidak sedang dikirim ke atau dievaluasi oleh berkala ilmiah untuk penerbitan. Naskah yang dikirim ke JPI dan dinyatakan diterima oleh Redaksi JPI untuk dimuat dalam JPI menjadi milik JPI.

Naskah dikirim sebanyak tiga eksemplar kepada Dewan Editor JPI, dengan alamat:

Dewan EditorJurnal Primatologi Indonesia

Pusat Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada

Masyarakat Institut Pertanian BogorJalan Lodaya II No. 5 Bogor 16151

Telepon/Faks: (0251) 8313-637 / (0251) 8360-712Surat Elektronik: [email protected]

Website: http://journal.ipb.ac.id/index.php/primata 3. Naskah ditulis dengan Times New Roman

ukuran 12 pt, jarak dua spasi, dengan jarak pinggir dua centimeter dan dicetak pada kertas HVS ukuran A4. Gambar, grafik dan tabel disertakan bersama naskah di bagian akhir naskah pada lembar terpisah. Redaksi JPI akan meminta naskah pengetikan (dalam format word for windows: windows 2003/ME/XP) bagi naskah yang dinyatakan diterima untuk dimuat. Pengiriman naskah (file) dapat melalui e-mail atau compact disc (CD) melalui jasa kantor pos.

4. Naskah hasil penelitian disusun dengan urutan sebagai berikut ini.

a. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

b. Nama lengkap penulis. Bila penulis lebih dari satu orang perlu dibubuhkan angka secara berurutan untuk keterangan afiliasi lembaga/institusi tempat bekerja penulis.

c. Nama lembaga/institusi tempat penulis bekerja, disertai dengan alamat, kode pos, telepon, dan faksimili.

d. Nama penulis untuk korespodensi. Korespodensi hanya kepada salah satu penulis, maka perlu diberikan tanda khusus bagi yang bersangkutan.

e. Abstrak ditulis tidak lebih dari 300 kata dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pada abstrak tersebut dicantumkan kata kunci atau

key word yang tidak melebihi lima buah kata mengikuti huruf abjad.

f. Pendahuluan. g. Materi dan Metode. h. Hasil dan Pembahasan. i. Simpulan. j. Ucapan Terima Kasih (jika ada), dan k. Daftar Pustaka.

5. Artikel hasil penelitian ditulis maksimum 25 halaman, termasuk lampiran gambar, grafik dan tabel. Artikel lain ditulis maksimum 20 halaman dan diperbolehkan tidak mencantumkan subjudul sebagaimana tersebut di atas.

6. Penyertaan gambar dalam bentuk foto (hitam putih atau bewarna) harus jelas dan tajam, dengan kontras yang tinggi, berukuran standar kartu pos. Gambar yang dikehendaki dicetak bewarna akan dikenakan biaya tambahan yang dibebankan kepada pengirim naskah.

7. Daftar Pustaka disusun dengan mencantumkan semua nama penulis yang disusun secara berurutan abjad dan diikuti tahun penerbitan, judul, nama berkala ilmiah atau penerbit buku dan nomor halaman. Penyingkatan nama berkala ilmiah harus mengikuti singkatan yang berlaku.

Contoh Penulisan Daftar Pustaka:

Berkala ilmiahBenveniste RE, Morton WR, Clark EA, Tsai

CC, Ochs HD, Ward JM, Kuller L, Knott WB, Hill RW, Gale MJ, Thouless ME. 1988. Inoculation of baboons and macaques with simian immunodeficiency virus/Mne, a primate lentivirus closely related to Human Immunodeficiency Virus Type-2. J Virol. 62:2091-2101.

Suatu bab bukuBarker IK, Van-Dreumel AA, Palmer N. 1996.

The Alimentary System. Di dalam: Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N, editor. Pathology of Domestic Animals. Ed ke-4. New York (US): hlm 91.

BukuHunt TK. 1980. Wound Healing and Wound

Infection: Theory and Surgical Practice. New York (US): Appleton-Century-Crofts.

PEDOMAN PENULISAN NASKAH

Page 35: VOLUME 14 NO. 1 JANUARI 2017 - Pusat Studi Satwa Primata

Volume 13, Nomor 2, Juli 2016

DAFTAR ISI(Table of Contents)

Halaman(Pages)

3

8

14

19

24

Khakim MFR, Mardiastuti A, Iskandar EAktivitas Harian Orangutan Sumatera (Pongo abelii, Lesson 1827) di Hutan Batang Toru Blok Barat Sumatera UtaraDaily Activity of Sumatran Orangutan (Pongo abelii Lesson 1827) in West Batang Toru Forest Block

Kristiana V, Saepuloh U, Iskandriati D, Pamungkas JDiseminasi dan Mutasi Gen ENV GP70 Simian retrovirus Serotipe-2 (SRV-2) pada Jaringan Macaca fascicularisDissemination and Mutation of Simian retrovirus serotype-2 (SRV-2) env gp70 Gene in Macaca fascicularis Tissues

Priambada NP, Prameswari W, Sanchez KLKomplikasi MBD dan Urolithiasis pada Kukang Sumatera (Nycticebus coucang) di YIARI BogorComplications MBD and Urolithiasis of Sumatran Kukang (Nycticebus coucang) in YIARI Bogor

Hastuti YT, Mulia BH, Widianti A, Manansang J, Sajuthi D, Darusman HSThe Value of Hematological and Serum Chemistry of Orangutan (Pongo sp.) Among Ages Groups and Sex Differences – A Case Study in Taman Safari Indonesia

Pasetha A, Sandriliana D, Mulyana JS, Ummah RI, Anaktototy Y, Widayati KAPerilaku Harian Beruk (Macaca nemestrina) di Fasilitas Penangkaran Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian BogorBehavior of The Pig Tail Macaque (Macaca nemestrina) at The Ex-Situ Captive Breeding Facility, Primate Research Center Bogor Agricultural University

ARTIKEL ASLI(Original Articles)

Pusat Studi Satwa Primata,Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat - Institut Pertanian BogorJl. Lodaya II, No. 5Bogor, Jawa Barat - 16151

DAFTAR ISI(Table of Contents)

Volume 14, Nomor 1, Januari 2017

ARTIKEL ASLI(Original Articles)

Halaman(Pages)

3

9

14

22

28

Ruskhanidar, Maulana VS, Loe FRSpesies dan Sebaran Satwa Primata di IndonesiaSpecies and Distribution of Primates in Indonesia

Sinaga W, Iskandar E, Wahyudi I, Sultan K, Utomo D, Paksi, Dewa N, Indra G, Januardi, Anwar F, Sajuthi D, Manangsang JStudi Inventarisasi Jenis dan Sebaran Primata Endemik di Wilayah Pengelolaan Taman Nasional I dan II Taman Nasional Siberut, Sumatera Barat, IndonesiaThe Inventory Study of Species and Spread of Endemic Primates in the Management of National Park I and II of Siberut National Park, West Sumatra, Indonesia

Atmoko T, Mardiastuti A, Iskandar EStrategi Adaptasi Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb 1787) dalam Aktivitas Harian dan Pemilihan Pakan di Habitat TerfragmentasiAdaptation Strategy of Proboscis Monkey (Nasalis larvatus Wurmb 1787) on Daily Activities and Feed Preference in Fragmented Habitat

Mukhlisah N, Rell F, Muslimin LIdentifikasi Nematoda Gastrointestinal Macaca maura di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi SelatanIdentification of Gastrointestinl Nematodes in Macaca maura at Bantimurung Bulusaraung National Park, South Sulawesi

Pawitri D, Budiarsa INTeknik Seksio Sesarian pada Common Marmoset (Callithrix jacchus)Caesarean Technique in Common Marmoset (Callithrix jacchus)

Pusat Studi Satwa Primata,Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat - Institut Pertanian BogorJl. Lodaya II, No. 5Bogor, Jawa Barat - 16151