Interpretasi Tingkat Kekerasan Batuan Bawah Permukaan di ...
TINGKAT KESIAPSIAGAAN BENCANA TERHADAP IMPLEMENTASI PROGRAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA...
Transcript of TINGKAT KESIAPSIAGAAN BENCANA TERHADAP IMPLEMENTASI PROGRAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA...
i
TINGKAT KESIAPSIAGAAN BENCANA TERHADAP IMPLEMENTASI PROGRAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERBASIS KOMUNITAS OLEH BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA (BNPB) DAN
PALANG MERAH INDONESIA (PMI) DI KABUPATEN MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT
THE LEVEL of DISASTER ALERTNESS TOWARD IMPLEMENTATION of DISASTER RISK CURTAILMENT PROGRAM BASED ON COMMUNITY
by THE NATIONAL of DISASTER MANAGEMENT AGENCY (BNPB) AND INDONESIAN RED CROSS (PMI) AT MAJENE
PROVINCE WEST SULAWESI
Munadiah Wahyuddin
P1508215006
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
TINGKAT KESIAPSIAGAAN BENCANA TERHADAP IMPLEMENTASI
PROGRAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERBASIS KOMUNITAS
OLEH BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA (BNPB) DAN
PALANG MERAH INDONESIA (PMI) DI KABUPATEN MAJENE
PROVINSI SULAWESI BARAT
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Ilmu Biomedik / Emergency And Disaster Management
Disusun dan Diajukan oleh
MUNADIAH WAHYUDDIN
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
iii
TESIS
TINGKAT KESIAPSIAGAAN BENCANA TERHADAP IMPLEMENTASI
PROGRAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERBASIS KOMUNITAS
OLEH BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA (BNPB) DAN
PALANG MERAH INDONESIA (PMI) DI KABUPATEN MAJENE
PROVINSI SULAWESI BARAT
Disusun dan diajukan oleh
MUNADIAH WAHYUDDIN
Nomor Pokok P1508215006
Telah dipertahakan di depan Panitia Ujian Tesis
pada tanggal Oktober 2017
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui
Komisi Penasehat,
Dr. dr. Hisbullah, Sp.An-KIC-KAKV Dr. dr. Andi Mardiah Tahir, SP.OG
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana Ilmu Biomedik, Universitas Hasanuddin,
Dr. dr. Andi Mardiah Tahir, SP.OG Prof. DR. Muhammad Ali, S.E., MS
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Munadiah Wahyuddin
Nomor Mahasiswa : P1508215006
Program Studi : Ilmu Biomedik / Emergency And Disaster
Management
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan
tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain,
saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, Oktober 2017
Yang menyatakan
Munadiah Wahyuddin
v
PRAKATA
Segala puji hanya milik Allah SWT atas segala limpahan rahmat, karunia
dan kekuatan dari-Nya sehingga tesis dengan judul: “Tingkat Kesiapsiagaan
Bencana Terhadap Implementasi Program Pengurangan Risiko Bencana
Berbasis Komunitas Oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) dan Palang Merah Indonesia (PMI) Di Kabupaten Majene Provinsi
Sulawesi Barat” dapat diwujudkan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
pujian dan rasa syukur kepada-Nya sebanyak makhluk yang diciptakan-Nya,
seberat Arasy-Nya dan sebanyak tinta yang dipergunakan untuk menulis
kalimatnya. Sholawat serta salam kepada Rasulullah SAW juga kepada
keluarga beliau, para sahabatnya dan orang-orang mu’min yang senantiasa
istiqomah meniti jalan hidup ini hingga akhir zaman dengan islam sebagai satu-
satunya agama yang diridhoi Allah SWT.
Penyusunan tesis ini telah banyak mendapatkan pertolongan dari-Nya
dengan telah digerakkan hati segelintir hamba-Nya untuk membantu dan
membimbing penulis dalam mewujudkan tesis ini. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada
mereka yang memberikan andilnya sampai tesis ini dapat diwujudkan.
Ucapan terima kasih yang teristimewa dan setulus-tulusnya kepada
Ayahanda Prof. Dr. H. Wahyuddin Hamid, M.Si dan Ibunda Dra. Hj. Nursiah
Rauf, M.Si yang telah mencurahkan kasih sayang serta do’a yang tiada henti-
vi
hentinya demi kebaikan penulis di dunia dan di akhirat. Juga terkhusus kapada
saudari-saudaraku Munifah Wahyuddin, S.Farm.,M.Sc.,Apt, Muridah
Wahyuddin., S.Hut dan Akhmad Muradih Wahyuddin,S.Kep yang telah
memberikan do’a dan perhatiannya, serta keluarga besar ku yang lainnya.
Tiada sesuatu yang berharga dapat kupersembahkan kecuali tesis ini sebagai
wujud bakti dan kecintaanku yang tulus
Terselesaikannya penulisan tesis ini juga tidak terlepas dari bantuan dan
kerjasama dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Dwia Ariestina Pulubuhu, MA sebagai Rektor Universitas
Hasanuddin Makassar
2. Prof. Dr. Ir. Mursalim, selaku direktur program Pasca Sarjana Universitas
Hasanuddin Makassar beserta staf-stafnya, atas kesempatan yang
diberikan kepada peneliti untuk melakukan penelitian.
3. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp. Bs, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Makassar
4. Dr. dr. Mardiah Tahir, Sp.OG selaku ketua Program Studi Ilmu Biomedik
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar sekaligus
pembimbing II yang telah memberikan pelayanan, arahan serta motivasi
dalam penyelesaian tesis ini.
5. Dr. dr. Hisbullah, Sp.An-KIC-KAKV selaku Pembimbing I dengan
ketulusan hati meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing
vii
dan mengarahkan penulis agar bisa berkarya sebatas kemampuan dan
menghasilkan yang terbaik.
6. Dr. Marhaen Hardjo, M.Biomed, PhD, Prof. Idrus A. Paturusi, Sp.BO,
FICCS, dan Dr. dr. Armyn Nurdin, M.Kes sebagai team penguji yang telah
memberikan banyak masukan untuk perbaikan tesis ini.
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar yang telah menyumbangkan ilmu pengetahuannya kepada
penulis.
8. Bapak Kepala Balitbangda Provinsi Sulawesi Barat yang telah memberikan
izin rekomendasi penelitian.
9. Bapak Kepala Desa Bababulo dan Desa Totolisi beserta seluruh staf yang
telah membantu dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melakukan penelitian
10. Muhammad Sibli dan keluarga yang senantiasa memotivasi, membantu
serta berbagi cerita, cinta dan kehidupan menjadi bara semangat dalam
suka dan duka
11. Teman-teman prodi emergency and disaster management angkatan 2015
yang telah bersama-sama penulis mengarungi samudra ilmu dan mau
saling berbagi suka duka.
12. Seluruh subyek penelitian yang telah bersedia membantu dalam kegiatan
penelitian
viii
13. Saudaraku senasib dan sepenanggungan, dan sahabat-sahabatku yang tak
bisa saya sebutkan satu persatu yang selama ini senantiasa memberi
motivasi tersendiri bagi penulis dikala sedih maupun senang.
Kepada mereka tanpa terkecuali, penulis menghanturkan banyak terima
kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya semoga menjadi ibadah dan
amal jariyah. Amin. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi
bahan bacaan bagi perkembangan keperawatan, Amin.
Makassar, Septermber 2017
Penulis
ix
ABSTRAK
MUNADIAH WAHYUDDIN. Tingkat Kesiapsiagaan Bencana terhadap Implementasi Program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Palang Merah Indonesia di Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat (dibimbing oleh Hisbullah dan Andi Mardiah Tahir).
Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan tingkat kesiapsiagaan bencana pada tahap prabencana berdasarkan implementasi program Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Palang Merah Indonesia (PMI).
Penelitian ini menggunakan metode sequential explanatory design dengan pendekatan deskripstif komparatif. Sampel adalah warga yang telah mengikuti pelatihan pengurangan risiko bencana berbasis komunitas sebanyak 64 orang yang terdiri dari 32 orang dari desa binaan BNPB dan 32 orang dari desa binaan PMI. Data dianalisis dengan menggunakan uji Mann Whitney.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa variabel pengetahuan kebencanaan (p=1,000), pengetahuan rencana penanggulangan bencana (p=0,209), dan kesiapsiagaan (p=0,215). Hal tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Akan tetapi, secara klinis/faktual, variabel pengetahuan rencana penanggulangan bencana dan kesiapsiagaan terdapat perbedaan yang signifikan. Hal tersebut didukung dengan hasil observasi, yaitu desa binaan PMI memiliki peta rawan bencana dan sarana yang cukup memadai dalam penanggulangan bencana dibandingkan dengan desa binaan BNPB. Berdasarkan hal tersebut, diharapkan BNPB dan PMI dapat menjalin kerjasama dalam menjaga dan meningkatkan kualitas masyarakat dalam penanggulangan bencana.
Kata kunci: pengetahuan kebencanaan, pengetahuan rencana penanggulangan bencana, sarana, kesiapsiagaan.
x
ABSTRACT
MUNADIAH WAHYUDDIN. The Level Of Disaster Alertness Toward
Implementation Of Disaster Risk Curtailment Program Based On Community by
The National Of Disaster Management Agency (BNPB) And Indonesian Red
Cross (PMI) At Majene Province West Sulawesi (Supervised by Hisbullah and
Andi Mardiah Tahir).
This research aims to determine the difference of disaster alertness on
the levels of pre disaster based on implementation The National of Disaster
Management Agency (BNPB) programs and Indonesian Red Cross (PMI).
This reseacrh used sequential explanatory design method with
comparative distractive approach. The samples in this research were the
inhabitants who had joined the training of disaster risk reduction based on
community as many as 64 people, 32 villagers from building village of BNPB
and 32 villagers from building village of PMI. The data analysis used Mann
Whitney test.
The results indicate that the variables of disaster knowledge is
(p=1,000); the knowledge of disaster tackling plan is (p=0,209); and the
alertness is (p=0,215); which means no significant difference. But
clinically/factual, the variable of the knowledge of disaster tackling plan and the
alertness have significant difference, this case is supported by observation
results in which the building vellage of PMI has the map that is susceptible to
get disaster and adequate infra structurse in tackling of disaster compare with
the building vellages of BNPB.
Keywords: Disaster Knowledge, Knowledge Of Disaster Tackling Plan, Infra
Structure, Alertness
xi
DAFTAR ISI
PRAKATA ........................................................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................... ix
ABSTRAC ........................................................................................... x
DAFTAR ISI ......................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xiv
DAFTAR SINGKATAN ......................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Bencana ..................................................... 8
1. Definisi Bencana ................................................................ 8
2. Jenis-Jenis Bencana ...................................................... 11
3. Konsep Manajemen Bencana ............................................ 15
B. Tinjauan Tentang Penanggulangan Bencana Berbasis
Masyarakat .............................................................................. 21
1. Program Desa/ Kelurahan Tangguh Bencana Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) .................................... 22
2. Program KBBM-PERTAMA Palang Merah Indonesia (PMI) 44
C. Kerangka Konseptual .............................................................. 50
D. Definisi Operasional ................................................................ 50
E. Hipotesis ................................................................................. 52
BAB III METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian ............................................................. 53
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 53
xii
1. Lokasi Penelitian ................................................................ 53
2. Waktu Penelitian ................................................................ 53
C. Kerangka Pikir Penelitian ........................................................ 54
D. Populasi dan Teknik Sampel ................................................... 54
1. Populasi ............................................................................. 54
2. Sampel ................................................................................ 55
3. Kriteria Sampel ................................................................... 55
E. Metode Pengumpulan Data ..................................................... 56
1. Lembar Kuisioner ............................................................... 56
2. Lembar Observasi .............................................................. 58
F. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 58
G. Teknik Analisa Data ................................................................. 59
1. Pengolahan Data ............................................................... 59
2. Analisis Data ...................................................................... 59
H. Etika Penelitian ........................................................................ 60
I. Tahapan Penelitian .................................................................. 61
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................ 62
1. Desa Bababulo ................................................................. 67
2. Desa Totolisi ...................................................................... 68
B. Hasil Penelitian ........................................................................ 68
1. Analisis Univariat ................................................................ 69
2. Analisis Bivariat .................................................................. 76
C. Pembahasan ........................................................................... 80
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 94
B. Saran ....................................................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 96
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Nama, Luas Wilayah Per-Kecamatan dan Jumlah Kelurahan 64
2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur 69
3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 70
4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir 71
5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat 73 Pengetahuan Kebencanaan
6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat 74 Pengetahuan Rencana Penanggulangan Bencana
7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat 75 Kesiapsiagaan Desa
8 Hasil Uji Mann-Whitney U Tingkat Pengetahuan Kebencanaan 77
9 Hasil Uji Mann-Whitney U Tingkat Pengetahuan Rencana 77
Penanggulangan Bencana
10 Hasil Uji Mann-Whitney U Tingkat Kesiapsiagaan Desa 78
11 Hasil Observasi Ketersediaan Sarana & Prasarana Desa 79
xiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Siklus Penanggulangan Bencana 17
2 Tahapan Proses KBBM-PERTAMA 48
3 Tahapan Kegiatan KBBM-PERTAMA 49
4 Kerangka Konsep 50
5 Kerangka Pikir 55
6 Tahapan Penelitian 62
7 Peta Administrasi Kabupaten Majene 64
8 Peta Kecamatn Kabupaten Majene 65
4.1 Grafik Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur 70
4.2 Grafik Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis 71 Kelamin
4.3 Grafik Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan 73 Terakhir
4.4 Grafik Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat 74 Pengetahuan Kebencanaan
4.5 Grafik Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat 75 Pengetahuan Rencana Penanggulangan Bencana
4.6 Grafik Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat 75 Kesiapsiagaan Desa
9 Peta Rawan Bencana Desa Totolisi 87
xv
DAFTAR SINGKATAN
Singkatan Arti dan Keterangan
BNPB : Badan Nasional Penanggulangan Bencana
PMI : Palang Merah Indonesia
BPBD : Badan Penanggulangan Bencana Daerah
ICRC : International Community Red Cross
UU RI : Undang-Undang Republik Indonesia
UNISDR : United Nations International Strategy for Disaster
Reduction
IDEP : International Disaster Preparedness
KLB : Kejadian Luar Biasa
TNI : Tentara Nasional Indonesia
SAR : Search And Rescuer
HVCA : Hazard, Vulnerability, and Capacity Assesment
PRB : Pengurangan Risiko Bencana
RPB : Rencana Penanggulangan Bencana
Des / Kel : Desa / Kelurahan
Renas : Rencana Nasional
BPD : Badan Permusyawaratan Desa
RPJM : Rencana Pembangunan Jangka Menegah
Renkon : Rencana Kontijensi
xvi
PRA : Participatory Rural Appraisal / Penilaian Pedesaan
Partisipasif
Perdes : Peraturan Desa
RKP Des : Rencana Kegiatan Pembangunan Desa
KBBM : Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat
PERTAMA : Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat
DRC : Danish Red Croos
CBDP : Community Based Disaster Preparedness
ICBRR : Integrated Cammunity Based Risk Reduction
IFRC : International Federation of Red Cross and Red Crescent
Societies
PNS : Parcitiparing National Societies
KAP : Knowledge Attitude Pratice
KSR : Korps Sukarela
SIBAT : Siaga Bencana Berbasis Masyarakat
BKRK : Bahaya, Kerentanan, Risiko, Kapasitas
PBBM : Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat
RAN PRB : Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana
Km2 : Kilometer Persegi
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lembar Permohonan Menjadi Responden .........................................
Lembar Permohonan Menjadi Responden ......................................... 63
Lembar Persetujuan Responden ........................................................ 64
Lembar Kuisioner ................................................................................ 65
Lembar Observasi ............................................................................... 68
Hasil Analisis Univariat ....................................................................... 80
Hasil Analisis Bivariat ......................................................................... 83
Surat Permintaan Izin Etik Penelitian ................................................. 91
Rekomendasi Persetujuan Etik ...................................................... 92
Surat Permohonan Ijin Penelitian ...................................................... 93
Rekomendasi Penelitian Pemerintah Prov. Sulawesi Barat ........... 94
Surat Keterangan Melaksanakan Penelitian ...................................... 96
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah Negara yang rawan bencana. Hal ini terbukti dari
berbagai hasil penilaian tentang risiko bencana, menempatkan Indonesia
sebagai Negara yang berisiko ekstrim peringkat 2 setelah Bangladesh,
disamping juga masih ada indeks risiko yang dibuat oleh UN University
dan UNDP. (Ruswandi, 2014)
Kejadian bencana di Indonesia tidak lepas dari letak geografis,
geologis dan demografis Indonesia sendiri. Secara geografis Indonesia
terletak di daerah khatulistiwa, sehingga bencana kekeringan dan
kebakaran hutan akibat kemarau panjang dapat terjadi, selain itu secara
geologis Indonesia dikelilingi oleh tiga lempeng tektonik yaitu lempeng
Australia, Eurasia, dan Samudera Pasifik, dimana pergerakan ketiga
lempeng tersebut dapat menyebabkan gempa bumi yang berujung pada
tsunami, disamping itu Indonesia juga memiliki 129 gunung api aktif yang
kapan saja dapat mengancam jiwa. (Ruswandi, 2014)
Berlokasi di Cincin Api Pasifik (wilayah dengan banyak aktivitas
tektonik), Indonesia harus terus menghadapi risiko terjadinya berbagai
bencana yaitu letusan gunung berapi, gempa bumi, banjir dan tsunami.
(Sunarto & Marfai, 2012)
2
Dalam satu dasawarsa terakhir tercatat beberapa kejadian bencana
yang banyak menewaskan korban seperti, Tsunami di Aceh pada tahun
2004 dengan jumlah korban yang meninggal sebanyak 126 Ribu jiwa,
Kejadian erupsi gunung merapi di Jogjakarta pada tahun 2010 jumlah
korban yang meninggal sebanyak 200 jiwa, gempa bumi di Jogjakarta
tahun 2006 dan di Sumatera Barat tahun 2009, jumlah korban yang
meninggal pada gempa bumi dan tsunami di Mentawai pada tahun 2010
sebanyak 400 jiwa, dan 158 jiwa yang meninggal pada Banjir bandang di
Papua Barat pada tahun 2010 (BNPB, 2011). Beberapa peristiwa bencana
tersebut, mengindikasikan di hampir setiap wilayah Indonesia merupakan
daerah rawan bencana. (Loleh, 2015)
Salah satu penyebab banyaknya korban bencana adalah kejadian
bencana yang sulit diprediksi, apabila terjadinya suatu bencana dapat
diprediksi sebelumnya maka dapat membantu masyarakat untuk bersiap
siaga dan menghindar. Untuk itu diperlukan upaya mengembangkan
kemampuan masyarakat mengingat masyarakatlah yang pertama
menghadapi bencana. (BNPB, 2015)
Sadar akan hal itu, pemerintah mengembangkan program
pengurangan risiko bencana berbasis komunitas, sesuai dengan
tanggung-jawab negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu
strategi yang akan digunakan untuk mewujudkan ini adalah melalui
3
pengembangan desa-desa dan kelurahan-kelurahan yang tangguh
terhadap bencana. Pengembangan Desa/ Kelurahan Tangguh Bencana
juga sejalan dengan Visi Badan Nasional Penanggulangan Bencana:
“Ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana”.(BNPB, 2012)
Pada pertemuan KTT ASEAN ke-19 di Nusa Dua Bali tahun 2011,
Presiden Republik Indonesia berkomitmen untuk mengoptimalkan
penanggulangan bencana di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan
Indonesia terkait dengan penanggulangan bencana. Indonesia juga telah
mengambil bagian dalam Hyogo Framework For Action atau kerangka
kerja aksi Hyogo periode 2005 – 2015. Hal ini mendorong Indonesia
dalam membangun ketahanan bangsa Indonesia menghadapi bencana.
Aplikasi dari kerangka aksi hyogo meliputi, Rencana Nasional
Penanggulangan bencana 2011-2014 dan Rancana Aksi Nasional
pengurangan risiko bencana 2010 – 2012. Selain itu tahapan strategis
adalah penguatan institusi Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
baik di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. (Loleh, 2015)
Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014
merupakan wujud dari komitmen pemerintah dalam bidang
penanggulangan bencana yang dituangkan dalam Peraturan Kepala
(Perka) Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Renas PB merupakan
pedoman bagi Kementerian/Lembaga dalam menyusun Rencana
Strategis (Renstra) Kementerian/Lembaga, Rencana Aksi Nasional
Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB) dan merupakan pedoman bagi
4
daerah dalam menyusun Rencana Penanggulangan Bencana Daerah
(RPB Daerah) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJM Daerah).(Widjaja, 2017)
Adapun lembaga-lembaga yang terlibat pada penanggulangan
bencana di Indonesia antara lain Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) / Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD),
Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, serta Palang Merah Indonesia (PMI).
Lembaga-lembaga tersebut telah melaksanakan program untuk
mengurangi risiko bencana yang bersifat preventif, tanggap darurat dan
mitigasi bencana hingga rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana.
(Pristanto, 2010)
Pada tahap pra bencana yaitu pada situasi tidak terjadi bencana
dan situasi terdapat potensi bencana terdapat berbagai upaya yaitu
pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan. Bentuk-bentuk kegiatan
kesiapsiagaan bencana dimulai dari penyusunan dan uji coba rencana
penanggulangan kedaruratan, pengoorganisasian, penyiapan lokasi
evakuasi, penyusunan data yang akurat sampai pada penyediaan
peralatan. (Ahdi, 2015)
Pada tahap kesiapsiagaan menghadapi bencana, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai perpanjangan tangan
pemerintah mengembangkan program Desa/ Kelurahan Tangguh
Bencana yang dilandasi oleh Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 tahun
2012 sedangkan Palang Merah Indonesia (PMI) yang merupakan salah
5
satu anggota Komite Palang Merah Internasional (ICRC) mengemban
program Kesiapsiagaan Berbasis Masyarakat–Pengurangan Risiko
Terpadu Berbasis Masyarakat (KBBM-PERTAMA) yang mana dalam
pelaksanaannya bekerjasama dengan anggota komite Palang Merah
Internasional lainnya.
Kedua lembaga ini telah melaksanakan program pengurangan
risiko bencana berbasis komunitas dimana dalam pelaksanaannya, kedua
lembaga ini mendapat dukungan yang berbeda yakni BNPB dari
pemerintah nasional dan PMI dari ICRC yakni Denmark Red Cross (DRC).
Terkesan terjadi perbedaan hasil program / kegiatan antara BNPB
dengan PMI, sehingga menarik untuk dilakukan penelitian terhadap
implementasi program pengurangan risiko bencana berbasis komunitas
ini.
Oleh karena itu, permasalahan penelitian ini yaitu Bagaimana
perbandingan tingkat kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas
implementasi program BNPB dengan “Desa / Kelurahan Tangguh
Bencana” dan PMI dengan “KBBM-PERTAMA (Siaga Bencana Berbasis
Masyarakat (SIBAT)” di Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
membandingkan tingkat kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas
6
terhadap implementasi program dari BNPB dan PMI di Kabupaten Majene
Provinsi Sulawesi Barat.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui apakah ada perbedaan tingkat kesiapsiagaan bencana
berbasis komunitas implementasi program BNPB (Desa/Kelurahan
Tangguh Bencana) dan PMI (KBBM-PERTAMA) pada tahapan pra
bencana di Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat
2. Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan masyarakat
tentang kebencanaan berdasarkan implementasi program BNPB
(Desa / Kelurahan Tangguh Bencana) dan program PMI (KBBM-
PERTAMA)
2) Untuk mengetahui perbedaan pengetahuan masyarakat tentang
rencana penanggulangan bencana pada tahapan pra bencana
berdasarkan implementasi program program BNPB (Desa / Kelurahan
Tangguh Bencana) dan program PMI (KBBM-PERTAMA)
3) Untuk mengetahui perbedaan ketersediaan sarana dan prasaranan
berdasarkan implementasi program program BNPB (Desa / Kelurahan
Tangguh Bencana) dan program PMI (KBBM-PERTAMA)
4) Untuk mengetahui apakah ada perbedaan tingkat kesiapsiagaan
bencana berbasis komunitas pada tahapan pra bencana berdasarkan
7
implementasi program dari BNPB (Desa / Kelurahan Tangguh
Bencana) dan program PMI (Kesiapsiagaan Berbasis Masyarakat –
Pengurangan Risiko Terpadu Berbasis Masyarakat (KBBM-
PERTAMA)
D. Manfaat Penelitian
Adapun beberapa manfaat penelitian ini, diantaranya :
1. Bagi Pengambil Kebijakan di Provinsi Sulawesi Barat
Penelitian ini diharapkan menjadi rekomendasi dalam pembuatan,
penerapan serta pelaksana kebijakan dibidang Penanggulangan Bencana
Berbasis Komunitas
2. Bagi Pengembangan Ilmu
Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai rujukan referensi dan bahan
acuan untuk peneliti selanjutnya, khususnya manajemen bencana
komunitas.
3. Bagi Praktisi Kebencanaan
Sebagai bahan masukan untuk peningkatan sumber daya, jalinan
kerjasama dan potensi khususnya dalam manajemen bencana berbasis
masyarakat.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Bencana
1. Definisi Bencana
Dalam Undang-undang RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana ketentuan mengenai bencana adalah Peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non
alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkann timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis. Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman
bencana, kerentanan, dan kemampuan yang dipicu oleh suatu kejadian.
Bencana adalah dampak dari suatu kejadian yang tidak dapat
ditanggulangi dengan sumber daya setempat. Proses terjadinya dimulai
dengan keberadaan suatu hazard yang berubah menjadi suatu kejadian
(event). Kejadian tersebut dapat memberikan dampak langsung kepada
manusia maupun lingkungannya. Apabila dampak kejadian tersebut dapat
ditanggulangi oleh sumber daya setempat, maka hal tersebut dinilai
sebagai kecelakaan (accident). Sebaliknya, apabila dampak dari kejadian
tersebut tidak dapat ditanggulangi, maka hal ini diesebut sebagai
bencana. (Perdana, 2016)
Pengertian Bencana Menurut (Singhealth, 2014); “a situation in which the requirements for medical care exceeds the resources that
9
are immediately available resulting in the need for special coordination measures to ensure that acceptable standards of care are provided”
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana mempunyai arti
sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau
penderitaan. Sedangkan bencana alam artinya adalah bencana yang
disebabkan oleh alam (Puwardarminta, 2006)
Menurut IDEP, bencana adalah peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang menyebabkan gangguan serius pada masyarakat sehingga
menyebabkan korban jiwa serta kerugian yang meluas pada kehidupan
manusia baik dari segi materi, ekonomi maupun lingkungan dan
melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasi
menggunakan sumber daya yang mereka miliki. (Yayasan IDEP, 2007).
Pengertian bencana menurut UNISDR 2010 adalah gangguan
serius terhadap masyarakat atau komunitas yang menyebabkan terjadinya
kerugian dan dampak kehilangan jiwa, ekonomi, dan lingkungan secara
luas, yang melebihi kemampuan masyarakat yang terkena dampak untuk
menghadapinya dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
bencana adalah situasi krisis yang mengganggu seluruh aspek kehidupan
masyarakat, baik fisik, psikologis dan materil. Bencana terjadi karena
bertemunya ancaman dari luar terhadap kehidupan manusia dengan
kerentanan, yaitu kondisi yang melemahkan masyarakat untuk menangani
bencana.
10
Menurut IDEP, hubungan antara ancaman, kerentanan, dan
kemampuan dapat digambarkan sebagai berikut (Yayasan IDEP, 2007):
Ancaman (A) X Kerentanan (K) = RISIKO BENCANA (R) Kemampuan (M)
Risiko Bencana (R) : Kemungkinan timbulnya kerugian (kematian, luka-
luka, kerusakan harta dan gangguan kegiatan perekonomian) karena
suatu bahaya terhadap suatu wilayah dan pada suatu kurun waktu
tertentu.
Ancaman (A) : Keadaan atau peristiwa baik alam maupun buatan
manusia yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan atau
kerugian. Misalnya keberadaan suatu gunung berapi, sungai, tebing,
perkembangan teknologi.
Kerentanan (K) : Sekelompok kondisi yang ada dan melekat baik fisik,
ekonomis, social dan tabiat yang melemahkan kemampuan suatu
masyarakat untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan, dan
menanggapi dampak dari suatu bahaya. Misalnya suatu masyarakat yang
sadar akan bencana mempunyai kerentanan yang agak kurang serius
dibandingkan mereka yang tidak menyadari ada dan terjadinya suatu
bencana.
Kemampuan (m) : Sumberdaya, cara dan kekuatan yang dimiliki oleh
seseorang, masyarakat atau Negara yang memungkinkan mereka untuk
menanggulangi, bertahan diri, mempersiapkan diri, mencegah dan
memitigasi atau dengan cepat memulihkan diri dari bencana.
11
Rumus untuk mengetahui risiko diatas dijadikan sebagai panduan
dan pegangan peneliti untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan yang
telah dicapai oleh masyarakat.
2. Jenis-Jenis Bencana
Berdasarkan definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana
disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia. Oleh karena itu,
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan
mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.(BNPB,
2016)
a. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin
topan, dan tanah longsor.
1) Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di
permukaan bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng
bumi, patahan aktif, akitivitas gunung api atau runtuhan batuan.
2) Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik
yang dikenal dengan istilah "erupsi". Bahaya letusan gunung api
dapat berupa awan panas, lontaran material (pijar), hujan abu
lebat, lava, gas racun, tsunami dan banjir lahar.
3) Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang
ombak lautan ("tsu" berarti lautan, "nami" berarti gelombang
ombak). Tsunami adalah serangkaian gelombang ombak laut
12
raksasa yang timbul karena adanya pergeseran di dasar laut
akibat gempa bumi.
4) Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah
atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau
keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan
penyusun lereng.
5) Banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu
daerah atau daratan karena volume air yang meningkat.
6) Banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba
dengan debit air yang besar yang disebabkan terbendungnya
aliran sungai pada alur sungai.
7) Kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah
kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan
ekonomi dan lingkungan. Adapun yang dimaksud kekeringan di
bidang pertanian adalah kekeringan yang terjadi di lahan
pertanian yang ada tanaman (padi, jagung, kedelai dan lain-lain)
yang sedang dibudidayakan .
8) Kebakaran adalah situasi dimana bangunan pada suatu tempat
seperti rumah/pemukiman, pabrik, pasar, gedung dan lain-lain
dilanda api yang menimbulkan korban dan/atau kerugian.
9) Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan di mana
hutan dan lahan dilanda api, sehingga mengakibatkan kerusakan
hutan dan lahan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau
13
nilai lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan seringkali
menyebabkan bencana asap yang dapat mengganggu aktivitas
dan kesehatan masyarakat sekitar.
10) Angin puting beliung adalah angin kencang yang datang secara
tiba-tiba, mempunyai pusat, bergerak melingkar menyerupai
spiral dengan kecepatan 40-50 km/jam hingga menyentuh
permukaan bumi dan akan hilang dalam waktu singkat (3-5
menit).
11) Gelombang pasang atau badai adalah gelombang tinggi yang
ditimbulkan karena efek terjadinya siklon tropis di sekitar wilayah
Indonesia dan berpotensi kuat menimbulkan bencana alam.
Indonesia bukan daerah lintasan siklon tropis tetapi keberadaan
siklon tropis akan memberikan pengaruh kuat terjadinya angin
kencang, gelombang tinggi disertai hujan deras.
12) Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang
laut dan arus laut yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut
juga erosi pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipicu
oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut.
Walaupun abrasi bisa disebabkan oleh gejala alami, namun
manusia sering disebut sebagai penyebab utama abrasi.
b. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal
teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
14
1) Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya
kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara
epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.
Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004.
2) Sabotase adalah tindakan yang dilakukan untuk melemahkan
musuh melalui subversi, penghambatan, pengacauan dan/ atau
penghancuran. Dalam perang, istilah ini digunakan untuk
mendiskripsikan aktivitas individu atau grup yang tidak
berhubungan dengan militer, tetapi dengan spionase. Sabotase
dapat dilakukan terhadap beberapa sruktur penting, seperti
infrastruktur, struktur ekonomi, dan lain-lain.
3) Kecelakaan transportasi adalah kecelakaan moda transportasi
yang terjadi di darat, laut dan udara.
4) Kecelakaan industri adalah kecelakaan yang disebabkan oleh
dua faktor, yaitu perilaku kerja yang berbahaya (unsafe human
act) dan kondisi yang berbahaya (unsafe conditions). Adapun
jenis kecelakaan yang terjadi sangat bergantung pada macam
industrinya, misalnya bahan dan peralatan kerja yang
dipergunakan, proses kerja, kondisi tempat kerja, bahkan pekerja
yang terlibat di dalamnya.
c. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
15
konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan
teror.
1) Konflik Sosial atau kerusuhan sosial atau huru hara adalah suatu
gerakan massal yang bersifat merusak tatanan dan tata tertib
sosial yang ada, yang dipicu oleh kecemburuan sosial, budaya
dan ekonomi yang biasanya dikemas sebagai pertentangan antar
suku, agama, ras (SARA).
2) Aksi Teror adalah aksi yang dilakukan oleh setiap orang yang
dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan sehingga menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang
bersifat masal, dengan cara merampas kemerdekaan sehingga
mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda,
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-
obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas
publik internasional.
3. Konsep Manajemen Bencana
Manajemen Bencana adalah sekumpulan kebijakan dan
keputusan–keputusan administratif dan aktivitas-aktivitas operasional
yang berhubungan dengan berbagai tahapan dari semua tingkatan
bencana. Bencana dapat dipandang sebagai serangkaian fase-fase dari
kontinum waktu. Mengidentifisir dan memahami fase-fase ini membantu
untuk menggambarkan kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan
16
bencana dan memberi konsep tentang aktivitas-aktivitas manajemen
penanggulangan bencana yang memadai. (Nasution, 2005)
Penanggulangan bencana adalah sebuah proses sistematis,
terencana, terorganisir dengan menggunakan keputusan administratif,
organisasi, keterampilan operasional, kapasitas implementasi, strategi,
dan kapasitas dari masyarakat dalam mengurangi dampak dari ancaman
alam, lingkungan, dan bencana teknologi. Selain itu untuk meningkatkan
kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan pengamatan dan
analisis bahaya serta pencegahan mitigasi (pelunakan atau peredaman
dampak bencana), kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat,
rehabilitasi dan rekonstruksi.(Sunarto & Marfai, 2012).
Hal ini meliputi segala kegiatan, termasuk ukuran-ukuran struktural/
non-struktural dalam menghindari ataupun membatasi (mitigasi dan
kesiapsiagaan) dampak dari bencana yang mungkin timbul (Lassa, 2009)
Dalam UU nomor 24 tahun 2007, penanggulangan bencana yaitu
serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan
yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap
darurat, dan rehabilitasi.
Berdasarkan pengertian diatas, penanggulangan bencana dapat
didefenisikan sebagai serangkaian kegiatan baik sebelum, saat dan
sesudah terjadi bencana untuk mencegah, mengurangi, dan memulihkan
diri dari dampak bencana.
17
a. Siklus Penanggulangan Bencana
Adapun rangkaian kegiatan siklus penanggulangan bencana
sebagaimana dijelaskan dalam UU 24 Tahun 2007 meliputi kegiatan
pra bencana, tanggap darurat, dan pasca bencana (rehabilitas)
Gambar 1. Siklus Penanggulangan Bencana (BNPB, 2008)
1) Pra bencana yang meliputi: situasi tidak terjadi bencana tetapi
situasi terdapat potensi bencana. Adapun kegiatan yang
dilakukan adalah penyusunan Rencana Penanggulangan
Bencana (Disaster Management Plan), yang merupakan
rencana umum dan menyeluruh yang meliputi seluruh tahapan /
bidang kerja kebencanaan. Secara khusus untuk upaya
pencegahan dan mitigasi bencana tertentu terdapat rencana
yang disebut rencana mitigasi. Selain itu, pada situasi ini
18
terdapat pula rencana kontijensi dimana ketika terjadi keadaan
darurat sudah ada skenario rencana yang akan dijalankan.
2) Saat Tanggap Darurat yang dilakukan dalam situasi terjadi
bencana yaitu Rencana Operasi (Operational Plan) yang
merupakan operasionalisasi/aktivasi dari Rencana Kedaruratan
atau Rencana Kontinjensi yang telah disusun sebelumnya.
3) Pascabencana yang dilakukan dalam saat setelah terjadi
bencana yaitu Penyusunan Rencana Pemulihan (Recovery
Plan) yang meliputi rencana rehabilitasi dan rekonstruksi yang
dilakukan pada pasca bencana. Sedangkan jika bencana belum
terjadi, maka untuk mengantisipasi kejadian bencana dimasa
mendatang dilakukan penyusunan petunjuk/pedoman
mekanisme penanggulangan pasca bencana.
Kejadian bencana adalah kejadian/peristiwa bencana yang
disebabkan oleh alam atau ulah manusia, baik yang terjadi secara
tiba-tiba atau perlahan-lahan, dapat menyebabkan hilangnya jiwa
manusia, trauma fisik dan psikis, kerusakan harta benda dan
Iingkungan, yang melampaui kemampuan dan sumberdaya
masyarakat untuk mengatasinya.
Tanggap darurat adalah upaya yang dilakukan segera setelah
kejadian bencana yang bertujuan untuk menanggulangi dampak yang
timbul akibat bencana, terutama penyelamatan korban dan harta
benda, evakuasi dan pengungsian.
19
Pemulihan adalah proses pemulihan kondisi masyarakat yang
terkena bencana dampak fisik dan psikis, dengan memfungsikan
kembali sarana dan prasarana pada keadaan semula. Hal ini
dilakukan dengan memperbaiki prasarana dan pelayanan dasar (jalan,
listrik , air bersih, pasar, Puskesmas), dan memulihkan kondisi trauma
psikologis yang dialami anggota masyarakat.
Pembangunan adalah merupakan fase membangun kembali
sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana. Pembangunan
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu rehabilitasi dan rekonstruksi.
Rehabilitasi adalah upaya yang dilakukan setelah kejadian bencana
untuk membantu masyarakat memperbaiki rumah, fasilitas umum dan
fasilitas sosial serta menghidupkan kembali roda ekonomi. Dan yang
dimaksud dengan rekonstruksi adalah program jangka menengah dan
jangka panjang yang meliputi perbaikan fisik, sosial dan ekonomi
untuk mengembalikan kehidupan masyarakat pada kondisi yang sama
atau lebih baik.
Pencegahan adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah
terjadinya bencana dan jika mungkin dengan meniadakan bencana.
Mitigasi adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi
dampak bencana, baik secara fisik struktural melalui pembuatan
bangunan-bangunan fisik maupun non fisik-struktural melalui
perundang-undangan dan pelatihan.
20
Kesiapsiagaan adalah upaya yang dilakukan untuk
mengatisipasi bencana, melalui pengorganisasian Iangkah-Iangkah
yang tepat guna dan berdaya guna.
Sedangkan menurut IDEP, siklus penanggulangan bencana
terdiri atas:
Fase Pencegahan adalah upaya yang dilakukan untuk
menghilangkan atau mengurangi ancaman. Contoh tindakan
pencegahan ; pembuatan hujan buatan untuk mencegah
terjadinya kekeringan, melarang atau mnghentikan
penebangan hutan, menanam pepohonan di lereng
gunung.(IDEP, 2007a)
Fase Mitigasi adalah upaya untuk mengurangi atau meredam risiko.
Kegiatan mitigasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu fisik dan
non fisik. Contohnya ; Membuat bendungan, tanggul, kanal
untuk mengendalikan banjir, penetapan dan pelaksanaan
peraturan, sanksi ataupun pemberian penghargaan
mengenai penggunaan lahan, penyediaan informasi,
penyuluhan, pelatihan tentang penanggulangan bencana.
Fase Kesiapsiagaan adalah upaya menghadapi situasi darurat serta
mengenali berbagai sumber daya untuk memenuhi
kebutuhan pada saat itu. Hal ini bertujuan agar warga
mempunyai persiapan yang baik untuk menghadapi
bencana, contoh tindakan kesiapsiagaan; pembuatan sistem
21
peringatan dini, membuat sistem pemantauan ancaman,
membuat sistem penyebaran peringatan ancaman,
pembuatan rencana evakuasi, penyusunan rencana darurat,
pelatihan, gladi dan simulasi tentang uji coba peringatan dini.
Fase Tanggap darurat adalah upaya yang dilakukan segera setelah
bencana terjadi untuk mengurangi dampak bencana, seperti
penyelamatan jiwa dan harta benda. Contoh tindakan
tanggap darurat; evakuasi, pencarian dan penyelamatan,
penanganan Gawat Darurat, pengkajian cepat kerusakan
dan kebutuhan, penyediaan kebutuhan dasar.
Fase Pemulihan adalah upaya yang dilakukan untuk
mengembalikan kondisi hidup dan kehidupan masyarakat
seperti semula atau lebih baik dibanding sebelum bencana
terjadi melalui kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi. Contoh
tindakan pemulihan ; memperbaiki sarana dan prasarana,
pelayanan dasar fisik, pendidikan, kesehatan, ekonomi,
keamanan, dan lingkungan
B. Tinjauan Tentang Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat
Penanggulangan bencana berasis masyarakat bertujuan untuk
mencegah ancaman dengan cara melakukan tindakan yang bisa
mengurangi kemungkinan terjadinya ancaman atau mengurangi akibat
ancaman.(IDEP, 2007b)
22
Dalam penanggulangan bencana berbasis masyarakat, perlu
dibentuk kelompok masyarakat penanggulangan bencana (KMPB) dimana
tugas utama kelompok ini membuat perencanaa untuk mengurangi
dampak bencana yang mungkin terjadi di wilayahnya. Dan apabila
diperlukan, KMPB bisa bekerjasama dengan pihak-pihak yang terkait
dalam menanggulangi bencana seperti Polisi, TNI, SAR, dll. (Yayasan
IDEP, 2007)
Selain itu, KMPB juga memiliki tugas untuk memperkirakan risiko
bencana yang mana langkah-langkahnya meliputi pembuatan profil desa,
penilaian ancama, penilaian kerentanan dan kemampuan serta penilaian
risiko. Ada beberapa perangkat yang dapat digunakan untuk melakukan
pengkajian risiko, seperti misalkan HVCA (Hazard, Vulnerability and
Capacity Assessment), yang dikembangkan oleh Palang Merah Indonesia.
Kerentanan masyarakat dapat dikurangi apabila masyarakat sudah
mempersiapkan diri, akan lebih mudah untuk menentukan tindakan
penyelamatan pada saat bencana terjadi. Persiapan yang baik akan bisa
membantu masyarakat untuk melakukan tindakan yang tepat guna dan
tepat waktu.
1. Program Desa/ Kelurahan Tangguh Bencana Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB)
Dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pedoman umum Desa/
Kelurahan Tangguh Bencana, telah dijabarkan panduan-panduan untuk
23
setiap daerah di wilayah Indonesia dalam hal pelaksanaan desa Tangguh.
Desa Tangguh merupakan aplikasi dari visi Badan Nasional
Penanggulangan Bencana yakni KeTangguhan bangsa dalam
menghadapi bencana dan sebagai upaya pelaksanaan pengurangan
risiko bencana berbasis masyarakat.
Desa/ Kelurahan Tangguh Bencana adalah Desa/ Kelurahan yang
memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi
ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak
bencana yang merugikan, jika terkena bencana (BNPB, 2012). Dengan
demikian sebuah Desa/ Kelurahan Tangguh Bencana adalah sebuah desa
atau kelurahan yang memiliki kemampuan untuk mengenali ancaman di
wilayahnya dan mampu mengorganisir sumber daya masyarakat untuk
mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi
mengurangi risiko bencana. Kemampuan ini diwujudkan dalam
perencanaan pembangunan yang mengandung upaya-upaya
pencegahan, kesiapsiagaan, pengurangan risiko bencana dan
peningkatan kapasitas untuk pemulihan pasca keadaan darurat.
Pengembangan Desa/ Kelurahan Tangguh Bencana merupakan
salah satu upaya pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat.
Pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat adalah segala bentuk
upaya untuk mengurangi ancaman bencana dan kerentanan masyarakat,
dan meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan, yang direncanakan dan
dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pelaku utama. Dalam Desa/
24
Kelurahan Tangguh Bencana, masyarakat terlibat aktif dalam mengkaji,
menganalisis, menangani, memantau, mengevaluasi dan mengurangi
risiko-risiko bencana yang ada di wilayah mereka, terutama dengan
memanfaatkan sumber daya lokal demi menjamin keberkelanjutan.
(BNPB, 2012)
Pasal 4 Undang-undang No. 24/2007 tentang Penanggulangan
Bencana menyatakan bahwa Penanggulangan bencana bertujuan untuk
memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana.
Lebih lanjut Peraturan Kepala BNPB nomor 3 tahun 2008 tentang
Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BAB
II), menetapkan bahwa pemerintah daerah bertanggung jawab untuk,
antara lain, melindungi masyarakat dari ancaman dan dampak bencana,
melalui (BNPB, 2012):
1) Pemberian informasi dan pengetahuan ancaman dan risiko bencana
di wilayahnya
2) Pendidikan, pelatihan dan pningkatan keterampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana
3) Perlindungan sosial dan pemberian rasa aman, khususnya bagi
kelompok rentan bencana
4) Pencehagan, mitigasi, kesiapsiagaan, penanganan darurat,
rehabilitasi dan rekonstruksi
Adapun tujuan khusus pengembangan Desa/ Kelurahan Tangguh
bencana ini adalah:
25
1) Melindungi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana
2) Meningkatkan peran masyarakat, khususnya di daerah yang retan
bencana, serta dalam pengelolaan sumber daya dalam rangka
upaya pengurangan risiko bencana
3) Meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya dan pemeliharaan kearifan lokal bagi
pengurangan risiko bencana
4) Meningkatkan kapasitas pemerintah dalam memberikan dukungan
sumber daya dan teknis bagi pengurangan risiko bencana
5) Meningkatkan kerja sama antar pemangku kepentingan dalam
pengurangan risiko bencana, pihak pemerintah daerah, sektor
swasta, perguruan tinggi, LSM, organisasi masyarakat, dan
kelompok-kelompok lain yang peduli bencana.
Strategi-strategi yang dilakukan oleh BNPB dalam mewujudkan
Desa/ Kelurahan Tangguh(BNPB, 2012):
1) Pelibatan seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang paling
rentan secara fisik, ekonomi, lingkungan, sosial dan keyakinan,
termasuk perhatian khusus pada upaya pengarusutamaan gender ke
dalam program
2) Tekanan khusus pada penggunaan dan pemanfaatan sumber daya
mandiri setempat dengan fasilitasi eksternal yang seminimum
mungkin
26
3) Membangun sinergi program dengan seluruh pelaku (kementerian,
lembaga negara, organisasi sosial, lembaga usaha, dan perguruan
tinggi) untuk memberdayakan masyarakat Desa/ Kelurahan
4) Dukungan dalam bentuk komitmen kebijakan, sumber daya dan
bantuan teknis dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan
pemerintah desa sesuai kebutuhan dan bila dikehendaki masyarakat
5) Peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan potensi
ancaman di Desa/ Kelurahan mereka dan akan kerentanan warga
6) Pengurangan kerentanan masyarakat Desa/ Kelurahan untuk
mengurangi risiko bencana
7) Peningkatan kapasitas masyarakat untuk mengurangi dan
beradaptasi dengan risiko bencana
8) Penerapan keseluruhan rangkaian manajemen risiko mulai dari
identifikasi risiko, pengkajian risiko, penilaian risiko, pencegahan,
mitigasi, pengurangan risiko, dan transfer risiko
9) Pemaduan upaya-upaya pengurangan risiko bencana ke dalam
pembangunan demi keberlanjutan
10) Pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam
perencanaan program dan kegiatan lembaga/institusi sosial Desa/
Kelurahan, sehingga PRB menjiwai seluruh kegiatan di tingkat
masyarakat
Prinsip-prinsip Desa/ Kelurahan Tangguh Bencana (BNPB, 2012):
Upaya PRB yang menempatkan warga masyarakat yang tinggal di
27
kawasan rawan bencana sebagai pelaku utama, sebagai subjek yang
berpartisipasi dan bukan objek, akan lebih berkelanjutan dan berdaya
guna. Masyarakat yang sudah mencapai tingkat keTangguhan terhadap
bencana akan mampu mempertahankan struktur dan fungsi mereka
sampai tingkat tertentu bila terkena bencana. Program Desa/ Kelurahan
Tangguh Bencana dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut:
1. Bencana adalah urusan bersama. Bencana dapat menimpa siapa
saja, tidak peduli usia, jenis kelamin, tingkat kesejahteraan, dan latar
belakang sosial dan politik. Oleh karena itu bencana merupakan
urusan semua orang. Siapa pun turut bertanggung jawab dan wajib
bersolider dengan korban dan penyitas bencana.
2. Berbasis Pengurangan Risiko Bencana. Pengembangan Desa/
Kelurahan Tangguh Bencana harus berdasarkan analisis risiko dan
upaya sistematis untuk mengurangi risiko ini serta meningkatkan
kapasitas masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana.
Kebijakan pengurangan risiko bencana biasanya juga menjaga agar
kegiatan pembangunan tidak meningkatkan kerentanan masyarakat.
3. Pemenuhan Hak Masyarakat. Penyelenggaraan Program
Pengembangan Desa/ Kelurahan Tangguh merupakan pemenuhan
hak masyarakat dalam penanggulangan bencana. Sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, masyarakat memiliki hak-hak yang harus
dijamin oleh negara, baik hak atas perlindungan, peningkatan
28
kemampuan, hak informasi, hak berperan serta, hak pengawasan
dan hak mendapatkan bantuan apabila terkena bencana.
4. Masyarakat Menjadi Pelaku Utama. Dalam proses mewujudkan
Desa/ Kelurahan Tangguh Bencana, masyarakat harus menjadi
pelaku utama, meskipun dukungan teknis dari pihak luar juga sangat
dibutuhkan. Keberhasilan pihak luar dalam memfasilitasi masyarakat
untuk mewujudkan Desa/ Kelurahan Tangguh Bencana adalah
keberhasilan masyarakat juga dan diharapkan masyarakat akan
memiliki seluruh proses pengembangan program ini sendiri.
5. Dilakukan Secara Partisipatoris. Program Desa/ Kelurahan
Tangguh Bencana mendorong pengakuan atas hak dan ruang bagi
setiap warga untuk menyampaikan suaranya dalam proses program.
Warga masyarakat juga akan diberi kesempatan untuk mengakses
atau mempengaruhi pembuatan kebijakan dan strategi program,
termasuk akses terhadap layanan-layanan yang disediakan melalui
program. Selain itu, setiap warga juga berhak dan berkesempatan
untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya program.
Singkatnya, program akan membuka diri dan dan menghormati
prakarsa-prakarsa yang datang dari warga.
6. Mobilisasi Sumber Daya Lokal. Prakarsa pengurangan risiko
bencana juga merupakan upaya pengerahan segenap aset, baik
modal material maupun modal sosial, termasuk kearifan lokal
masyarakat sebagai modal utama. Kemampuan untuk memobilisasi
29
sumber daya menjadi salah satu ukuran untuk melihat keTangguhan
desa. Mobilisasi sumber daya mengandung prinsip pengelolaan
sumber daya secara berkelanjutan sekaligus meningkatkan daya
dukung lingkungan terhadap berbagai risiko bencana dengan
mengacu pada kebutuhan masyarakat dan hakhaknya. Masyarakat
dapat membangun kerjasama yang saling menguntungkan dengan
lembaga swadaya masyarakat, lembaga usaha, maupun lembaga-
lembaga lainnya dari luar komunitas untuk bersamasama
mengurangi risiko bencana.
7. Inklusif. Program pengembangan Desa/ Kelurahan Tangguh
Bencana menggunakan prinsip pelibatan semua pihak, dengan
mengakomodasi sumber-sumber daya dari berbagai kelompok di
dalam maupun di luar desa sebagai bagian dari jaringan sosial
komunitas desa yang berdasarkan solidaritas dan kerelawanan.
8. Berlandaskan Kemanusiaan. Program pengembangan Desa/
Kelurahan Tangguh Bencana merupakan bagian dari upaya untuk
mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan berusaha
memenuhi semua hak dasar dengan tetap meyakini bahwa
perbedaan dan keragaman adalah suatu kekuatan. Program akan
mendukung peningkatan kemampuan masyarakat dengan
mengembangkan sumber daya yang dimiliki masyarakat sendiri.
9. Keadilan dan Kesetaraan Gender. Keadilan gender merupakan
proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki secara sosial-budaya.
30
Keadilan gender mengantar kepada kesetaraan gender. Kesetaraan
gender berarti perempuan dan laki-laki menikmati status yang sama
dan memiliki kondisi yang sama untuk menggunakan hak-hak dan
kemampuannya secara penuh dalam memberikan kontribusinya
kepada pembangunan politik, ekonomi, sosial dan budaya.
10. Keberpihakan Pada Kelompok Rentan. Program Pengembangan
Desa/ Kelurahan Tangguh mengutamakan kelompok-kelompok yang
dianggap rentan di dalam masyarakat. Yang termasuk dalam
kategori ini antara lain anak-anak, penyandang disabilitas, lanjut
usia, perempuan hamil, dan orang sakit. Selain kategori berdasarkan
aspek biologis tersebut, dapat pula dimasukkan di sini kategori
berdasarkan aspek ekonomi dan sosial. Dalam pengertian ini, warga
miskin dan warga yang secara sosial tidak diuntung dalam
pembangunan adalah kelompok yang termasuk paling rentan
terhadap bahaya.
11. Transparansi dan Akuntabilitas. Transparansi dan akuntabilitas
terutama berkaitan dengan pengambilan keputusan dan pengelolaan
sumber daya. Masyarakat berhak mengetahui proses terjadinya
pengambilan keputusan dalam proses pelaksanaan kegiatan
pengurangan risiko bencana, serta mengetahui pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya dalam kerangka program. Pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya tersebut haruslah dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
31
12. Kemitraan. Program akan mengutamakan kemitraan atau kerjasama
antara individu, kelompok atau organisasi-organisasi untuk
melaksanakan kegiatan dan mencapai tujuan bersama. Prinsip-
prinsip kemitraan yang digunakan meliputi persamaan (equality),
keterbukaan (transparency), dan saling menguntungkan (mutual
benefit). Prinsip ini menjadi sangat penting, karena risiko bencana
dapat menimpa seluruh sendi kemanusiaan, sehingga siapa pun
harus terlibat. Kemitraan dibangun didalam masyarakat, maupun
antara masyarakat dengan pihak lain. Dalam beberapa kasus
bencana, sering kali pertolongan pertama datang dari masyarakat
yang tinggal di kawasan-kawasan tetangga terdekat.
13. Multi Ancaman. Kegiatan pengurangan risiko bencana harus
mempertimbangkan potensi risiko dari seluruh ancaman yang
dihadapi warga masyarakat dan Desa/ Kelurahan. Pemetaan risiko
yang dilakukan bisa jadi akan mendapati adanya beberapa ancaman
sekaligus di satu wilayah. Oleh karena itu, perencanaan aksi dan
perencanaan pembangunan juga harus mempertimbangkan
penanggulangan dari beberapa ancaman tersebut.
14. Otonomi dan Desentralisasi Pemerintahan. Dalam konteks
desentralisasi pembangunan, desa ditempatkan sebagai entitas yang
otonom/mandiri. Prinsip otonomi adalah masyarakat memiliki hak
dan kewenangan mengatur diri secara mandiri dan bertanggung
jawab, tanpa intervensi dari luar, dalam pengelolaan pembangunan.
32
Dengan demikian, perencanaan pembangunan dari bawah ke atas
(bottom-up) juga harus ditransformasikan menjadi perencanaan desa
oleh masyarakat sendiri, sesuai dengan batas-batas kewenangan
yang dimiliki desa. Dalam kerangka pengurangan risiko bencana,
ada hal-hal tertentu yang cukup ditangani oleh desa dan ada hal-hal
yang memang harus ditangani oleh tingkat pemerintahan di atasnya.
15. Pemaduan ke Dalam Pembangunan Berkelanjutan. Pengurangan
risiko bencana berbasis masyarakat diarahkan agar menjadi bagian
terpadu dari rencana dan kegiatan pembangunan rutin, serta menjadi
bagian dari kebijakan-kebijakan sektoral. Begitu pula sebaliknya,
setiap proses pengelolaan pembangunan harus memasukkan unsur-
unsur pengurangan risiko bencana (analisis ancaman, kerentanan
dan risiko serta rencana-rencana mitigasi). Pada praktiknya,
pengurangan risiko bencana seharusnya mendapatkan tempat yang
memadai dalam musyawarah perencanaan pembangunan di segala
tingkatan, mulai dari desa sampai negara. Analisis risiko bencana
harus menjadi salah satu dasar dalam perencanaan pembangunan
yang berkelanjutan. Pembangunan harus dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat di masa sekarang tanpa mengurangi hak
generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka.
16. Diselenggarakan Secara Lintas Sektor. Keberhasilan kerja
koordinasi lintas sektor akan menjamin adanya pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana dalam program sektoral sehingga
33
mengefektifkan kerja-kerja pengurangan risiko bencana dalam
mewujudkan Desa/ Kelurahan Tangguh Bencana. Sinergi kerja lintas
sektor ini juga akan dapat menghindari tumpang-tindih
program/kegiatan yang dapat berakibat pada inefisiensi pendanaan.
Kegiatan-kegiatan dalam mengemban Desa/ Kelurahan Tangguh
Bencana meliputi:
1) Pengkajian risiko desa / kelurahan
Dalam mengembangkan desa/kelurahan tangguh bencana, para
pemangku kepentingan pertama-tama harus mengadakan pengkajian
atas risiko-risiko bencana yang ada di desa/kelurahan sasaran.
Pengkajian risiko terdiri dari tiga komponen, yaitu penilaian atau
pengkajian ancaman, kerentanan dan kapasitas/kemampuan. Ada
beberapa perangkat yang dapat digunakan untuk melakukan
pengkajian risiko, seperti misalkan HVCA (Hazard, Vulnerability and
Capacity Assessment), yang dikembangkan oleh Palang Merah
Indonesia. Perangkat-perangkat pengkajian risiko yang dapat
digunakan dalam pengembangan desa/kelurahan tangguh bencana
akan dirinci lebih lanjut dalam panduan pelaksanaan yang lebih tekni
a. Menilai Ancaman; Penilaian ancaman merupakan upaya untuk
menilai atau mengkaji bentukbentuk dan karakteristik teknis dari
ancaman-ancaman yang terdapat di desa/kelurahan. Kegiatan ini
akan menghasilkan informasi yang berkaitan dengan jenis-jenis
34
ancaman yang ada, lokasi spesifik ancaman-ancaman tersebut,
intensitas, frekuensi, durasi, probabilitas kejadian ancaman, dan
gejala-gejala khusus atau peringatan yang ada sebelum ancaman
datang.
b. Menilai Kerentanan; Penilaian kerentanan adalah kegiatan yang
dilaksanakan untuk menilai atau mengkaji kondisi-kondisi yang
dapat mengurangi kemampuan masyarakat untuk mencegah,
mengurangi dampak, dan mempersiapkan diri untuk menghadapi
ancaman bencana. Kegiatan ini akan menghasilkan informasi
tentang kondisi-kondisi yang kurang menguntungkan dalam hal
fisik, sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan dari warga
masyarakat yang terpapar ancaman di desa/kelurahan sasaran,
yang bila bertemu dengan ancaman dapat menimbulkan korban
jiwa, kerusakan properti dan kerugian-kerugian lainnya. Penilaian
kerentanan diharapkan juga dapat memberi pemahaman akan
interaksi berbagai tekanan dan faktor-faktor dinamis yang dialami
oleh masyarakat dengan elemen-elemen berisiko yang ada di
masyarakat, yang bila bertemu ancaman dapat menjadi bencana.
c. Menilai Kapasitas; Kapasitas atau kemampuan merupakan
kombinasi dari semua kekuatan dan sumber daya yang ada dalam
masyarakat, kelompok, atau organisasi yang dapat mengurangi
tingkat risiko atau dampak bencana. Penilaian kapasitas
mengidentifikasi kekuatan dan sumber daya yang ada pada setiap
35
individu, rumah tangga, dan masyarakat untuk mengatasi,
bertahan, mencegah, menyiapkan, mengurangi risiko, atau segera
pulih dari bencana. Kegiatan ini akan mengidentifikasi status
kemampuan komunitas di desa/kelurahan pada setiap sektor
(sosial, ekonomi, keuangan, fisik dan lingkungan) yang dapat
dioptimalkan dan dimobilisasikan untuk mengurangi kerentanan
dan risiko bencana.
d. Menganalisis Risiko Bencana; Analisis risiko bencana merupakan
proses konsolidasi temuan-temuan dari pengkajian ancaman,
kerentanan, dan kemampuan; serta menarik kesimpulan tentang
tingkat risiko bencana di desa/kelurahan sasaran. Hasil analisis ini
berupa penentuan peringkat risiko berdasarkan penilaian atas
komponen ancaman, kerentanan dan kapasitas dalam kaitan
dengan setiap ancaman yang ada. Bila ancaman yang dihadapi
banyak, penilai dapat memprioritaskan beberapa ancaman tertentu
berdasarkan probabilitas dan dampak yang tinggi saja. Analisis ini
merupakan dasar untuk mengembangkan program desa/kelurahan
tangguh bencana. Komponen penyusun berdasarkan hasil kajian
dapat dijadikan dasar penyusunan rencana peredaman ancaman,
penguatan kemampuan dan pengurangan kerentanan dalam
rangka mengembangkan desa/kelurahan yang tangguh.
36
2) Perencanaan PB dan Perencanaan Kontinjensi Desa/Kelurahan
a. Rencana Penanggulangan Bencana Desa/Kelurahan; Rencana
Penanggulangan Bencana Desa/Kelurahan (RPB Des/Kel)
merupakan rencana strategis untuk mobilisasi sumber daya
berbagai pemangku kepentingan, pemerintah maupun non-
pemerintah, dalam lingkup desa/kelurahan. Konsep RPB Des/Kel ini
mengadopsi konsep RPB menurut Peraturan Pemerintah Nomor 21
Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Dalam pasal 6 ayat (4) BNPB, BPBD Provinsi, dan BPBD
Kabupaten/Kota disetiap tingkatnya wajib menyusun rencana
penanggulangan bencana. Menurut pasal 6 ayat (5) rencana
penanggulangan bencana tersebut berlaku dalam jangka waktu 5
(lima) tahun. Konsep ini diadopsi di desa/kelurahan, menjadi RPB
Des/Kel, berlaku selama 5 (lima) tahun seperti Renas PB dan RPB
Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Rencana Penanggulangan Bencana harus disusun bersama
masyarakat, karena warga masyarakat di kawasan rawan bencana
merupakan pihak yang paling terpapar ancaman dan paling
mengenal wilayahnya. Agar pelaksanaan RPB dapat melibatkan
seluruh pemangku kepentingan, harus ada payung hukum
pelindung berupa Peraturan Desa atau perangkat lain yang
setingkat di kelurahan. Peraturan ini merupakan bentuk
kesepakatan politik di tingkat desa/kelurahan, yang
37
direpresentasikan oleh para penyusun, yakni Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) dan Pemerintah Desa atau institusi
serupa di kelurahan. Salah satu nilai strategis yang dapat dicapai
dengan RPB dalam bentuk Perdes adalah integrasi isu
kebencanaan ke dalam RPJM Desa.
b. Rencana Kontinjensi Desa/Kelurahan; Rencana Kontinjensi
adalah rencana yang disusun untuk menghadapi suatu situasi krisis
yang diperkirakan akan segera terjadi, tetapi dapat pula tidak terjadi.
Rencana Kontinjensi (Renkon) merupakan suatu proses identifikasi
dan penyusunan rencana yang didasarkan pada keadaan
kontinjensi atau yang belum tentu tersebut. Suatu rencana
kontinjensi mungkin tidak selalu pernah diaktifkan, jika keadaan
yang diperkirakan tidak terjadi.
3) Pembentukan Forum PRB Desa/Kelurahan
Untuk mendukung upaya pengurangan risiko bencana, Desa dan
Kelurahan perlu membentuk Forum Pengurangan Risiko Bencana.
Forum ini dapat dibentuk secara khusus atau mengembangkan
kelompok yang telah ada di desa dan kelurahan. Forum ini tidak
menjadi bagian dari struktur resmi pemerintah desa/kelurahan, tetapi
pemerintah dapat terlibat di dalamnya bersama dengan komponen
masyarakat sipil lainnya.
Pembentukan Forum PRB Desa/Kelurahan perlu memperhatikan
hal-hal sebagai berikut: pertama, penting menghadirkan dan
38
menyuarakan kepentingan kelompok rentan dan mereka yang
terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan. Kedua, perlu ada
keterwakilan semua unsur masyarakat dan keikutsertaan kelompok
marjinal dalam kepengurusan. Ketiga, perlu dijamin agar forum memiliki
kelompok kerja yang kompak, efektif, dapat dipercaya dan kreatif.
Forum PRB Desa/Kelurahan perlu diberi kewenangan yang cukup dan
status hukum yang pasti, sehingga dapat menjalin kerjasama dan
hubungan kelembagaan yang baik dengan pemerintahan
desa/kelurahan dan pemangku kepentingan lainnya. Keempat, Forum
perlu menyusun rencana kerja yang realistis dan dapat dikerjakan,
lengkap dengan prioritas rencana aksi masyarakat serta sumber
penganggarannya.
Selain Forum PRB Desa/Kelurahan, dapat pula dibentuk Tim
Siaga Bencana Masyarakat. Tim ini akan menjadi kelompok
masyarakat yang terlibat aktif alam kegiatan-kegiatan tanggap darurat
dan pemulihan pasca bencana. Pada saat normal tim ini dapat menjadi
pendorong upaya-upaya pengurangan risiko bencana. Anggota tim ini
dapat saja berasal dari anggota Forum PRB Desa/Kelurahan, tetapi
akan lebih diprioritaskan bagi mereka yang siap sedia menjadi relawan
bencana. Pembentukan Forum PRB Desa/Kelurahan dan Tim Siaga
Bencana Masyarakat akan diatur secara lebih terinci melalui pedoman
pelaksanaan yang akan segera diterbitkan.
39
4) Peningkatan Kapasitas Warga dan Aparat dalam PB
Agar Pengembangan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana dapat
terlaksana dengan baik, kapasitas masyarakat dan aparat pemerintah
desa-kelurahan dalam isu keorganisasian dan pengurangan risiko
bencana perlu ditingkatkan. Penguatan kapasitas dalam isu
keorganisasian akan diberikan dalam kerjasama dengan lembaga
swadaya masyarakat dan/atau perguruan tinggi melalui lokakarya atau
lokalatih di lapangan dalam topik-topik seperti pengorganisasian
masyarakat, kepemimpinan, manajemen organisasi masyarakat, dan
topik-topik terkait lainnya. Peningkatan kapasitas dalam isu PRB akan
meliputi pelatihan-pelatihan dalam Pemetaan Ancaman, HVCA atau
Penilaian Ancaman, Kerantanan dan Kapasitas PMI, metode-metode
PRA (Participatory Rural Appraisal) atau Penilaian Pedesaan
Partisipatif, dan metode-metode serupa lainnya yang dibutuhkan.
Peningkatan kapasitas juga akan dilakukan melalui penyediaan
peralatan dan perangkat-perangkat sistem peringatan dini dan
kesiapsiagaan bencana yang terjangkau dalam konteks program.
5) Pemaduan PRB ke dalam Rencana Pembangunan Desa dan
Legalisasi
Selain menyusun Rencana Penanggulangan Bencana
Desa/Kelurahan (RPB Des/Kel) program diharapkan juga mendorong
pemaduan PRB ke dalam Rencana Pembangunan Desa. Bila berdiri
sendiri, RPB kemungkinan sulit untuk mendapatkan pendanaan, karena
40
harus bersaing dengan programprogram pembangunan desa lainnya.
Oleh karena itu, selain menyusun RPB Des/Kel, Forum PRB Desa
diharapkan juga mendorong masuknya aspekaspek dalam RPB ke
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes),
sehingga RPJMDes juga mengandung pendekatan pengurangan risiko
bencana. Dengan masuknya aspek-aspek PRB ke dalam RPJMDes,
yang akan dilegalisasi dengan Peraturan Desa, program-program PRB
akan mendapat jaminan pendanaan yang lebih kuat. Untuk kelurahan
hal serupa juga dapat diterapkan, yakni memadukan program-program
PRB ke dalam perencanaan di kecamatan.
6) Pelaksanaan PRB di Desa/Kelurahan
Rencana PB dan Rencana Kontinjensi Desa/Kelurahan perlu
diimplementasikan oleh seluruh warga. Untuk itu dibutuhkan
pendanaan dan alokasi sumber daya yang memadai. Hal ini akan diatur
lebih lanjut melalui pedoman yang akan disusun.
7) Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Program di tingkat
Desa/Kelurahan
Agar dapat diimplementasikan dengan berhasil, program
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana perlu dilengkapi dengan sistem
pemantauan, evaluasi dan pelaporan yang baik. Kegiatan-kegiatan ini
perlu dilakukan sejak awal pelaksanaan program di berbagai tingkatan,
mulai dari tingkat kabupaten/kota sampai tingkat masyarakat.
Perangkat pemantauan dan evaluasi perlu dibuat sesuai dengan
41
kemampuan pemerintah daerah, sumber daya yang ada dan kapasitas
warga, serta dapat memberikan bukti-bukti yang diperlukan untuk
memberi penilaian.
Secara umum kegiatan pemantauan bertujuan untuk mengamati
apakah kegiatan-kegiatan program telah dilaksanakan sesuai dengan
perencanaan. Pemantauan dapat dilakukan secara terpisah dengan
evaluasi, juga frekuensinya dapat lebih banyak daripada evaluasi.
Pemantauan dapat berupa asistensi pelaksanaan program yang
membantu mengarahkan pelaksanaan program sesuai perencanaan.
Kegiatan evaluasi bertujuan untuk menilai keseluruhan pencapaian
sasaran/hasil-hasil program sesuai dengan indikator atau target yang
direncanakan. Evaluasi dapat dilakukan beberapa kali dalam masa
implementasi program, setidaknya setiap tahun sekali. Pada akhir
program dilakukan evaluasi akhir untuk mencari hikmah pembelajaran
(lessons learned) dari pelaksanaan program.
Adapun kriteria-kriteria Desa/ Kelurahan Tangguh Bencana antara
lain (BNPB, 2012): Program Desa/ Kelurahan Tangguh Bencana akan
mengacu juga pada kerangka masyarakat Tangguh internasional yang
dikembangkan berdasarkan Kerangka Aksi Hyogo, yakni mengandung
aspek tata kelola; pengkajian risiko; peningkatan pengetahuan dan
pendidikan kebencanaan; manajemen risiko dan pengurangan
kerentanan; dan aspek kesiapsiagaan serta tanggap bencana. Karena
akan tidak mudah bagi Desa/ Kelurahan untuk langsung mencapai kondisi
42
ideal yang mengandung semua aspek tersebut, Desa/ Kelurahan Tangguh
Bencana dibagi menjadi tiga kriteria utama, yaitu Desa/ Kelurahan
Tangguh Bencana Utama, Madya dan Pratama.
1) Kriteria Desa Tangguh Bencana Utama
Tingkat ini adalah tingkat tertinggi yang dicapai oleh sebuah Desa/
Kelurahan yang berpartisipasi dalam program ini:
a. Adanya kebijakan PRB yang telah dilegalkan dalam bentuk Perdes
atau perangkat hukum setingkat di kelurahan
b. Adanya dokumen perencanaan PB yang telah dipadukan ke dalam
RPJMDes dan dirinci ke dalam RKPDes
c. Adanya forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil masyarakat,
termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan, dan wakil
pemerintah desa/ kelurahan, yang berfungsi dengan aktif.
d. Adanya tim relawan PB Desa/ Kelurahan yang secara rutin terlibat
aktif dalam kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan dan
pendidikan kebencanaan bagi para anggotanya dan masyarakat
pada umumnya
e. Adanya upaya-upaya sistematis untuk mengadakan pengkajian
risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, termasuk
kegiatankegiatan ekonomi produktif alternatif untuk mengurangi
kerentanan
f. Adanya upaya-upaya sistematis untuk meningkatkan kapasitas
kesiapsiagaan serta tanggap bencana
43
2) Kriteria Desa Tangguh Bencana Madya
Tingkat ini adalah tingkat menengah, dengan kriteria sebagai berikut:
a. Adanya kebijakan PRB yang tengah dikembangkan di tingkat desa
atau kelurahan
b. Adanya dokumen perencanaan PB yang telah tersusun tetapi
belum terpadu ke dalam instrumen perencanaan desa
c. Adanya forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari
masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan,
tetapi belum berfungsi penuh dan aktif
d. Adanya tim relawan PB Desa/ Kelurahan yang terlibat dalam
kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan dan pendidikan
kebencanaan bagi para anggotanya dan masyarakat pada
umumnya, tetapi belum rutin dan tidak terlalu aktif
e. Adanya upaya-upaya untuk mengadakan pengkajian risiko,
manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, termasuk
kegiatan-kegiatan ekonomi produktif alternatif untuk mengurangi
kerentanan, tetapi belum terlalu teruji
f. Adanya upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan
serta tanggap bencana yang belum teruji dan sistematis
3) Kriteria Desa Tangguh Bencana Pratama
Tingkat ini adalah tingkatan awal dari Desa/ Kelurahan Tangguh
bencana, dengan ciri-ciri, sebagai berikut:
44
a. Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun kebijakan PRB di
tingkat desa atau kelurahan
b. Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun dokumen perencanaan
PB
c. Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk forum PRB yang
beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat
d. Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk tim relawan PB Desa/
Kelurahan
e. Adanya upaya-upaya awal untuk mengadakan pengkajian risiko,
manajemen risiko dan pengurangan kerentanan
f. Adanya upaya-upaya awal untuk meningkatkan kapasitas
kesiapsiagaan serta tanggap bencana
2. Program Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat-Pengurangan
Risiko Terpau Bebasis Masyarakat (KBBM-PERTAMA) PMI
Palang Merah Indonesia (PMI) bekerjasama dengan Palang Merah
Denmark atau Danish Red Cross (DRC) mengimplementasikan program
kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat (KBBM) Community Based
Disaster Preparedness (CBDP) dan sekarang menjadi (ICBRR) Integrated
Community Based Risk Reduction. Program ini merupakan program
pemberdayaan kapasitas masyarakat untuk mengambil tindakan inisiatif
untuk menggurangi dampak bencana yang terjadi terjadi. Komunitas siaga
bencana juga diharapkan dapat menjadi system deteksi dini. Jika bencana
45
alam terjadi, mereka telah mengenali dan bisa melakukan tindakan untuk
mengurangi tindakan bencana. (“Pengurangan risiko bencana berbasis
komunitas - Bencanapedia.ID,” 2017)
KBBM atau Kesiapsigaan Bencana Berbasis Masyarakat adalah
suatu kegiatan yang mengupayakan pemberdayaan kapasitas masyarakat
agar dapat mengambil inisiatif dan melakukan tindakan dalam
meminimalkan dampak bencana yang terjadi di lingkunganya. (PMI, 2008)
Kebijakan PMI dalam pengembangan KBBM-PERTAMA;
1) Disadari bahwa PMI selama ini sangat berhasil dalam operasi
tanggap darurat bencana namun masih relatif kurang dalam hal
kesiapsiagaan bencana, khususnya kesiapsiagaan yang berbasis
masyarakat. Karena itu, Munas tahun 2105 merekomendasikan
bahwa PMI perlu memperkuat kesiapsiagaan bencana/ pengurangan
risiko (Disaster Preparedness / Risk Reduction) mencakup kegiatan
KBBM-PERTAMA
2) Dalam rangka strategi manajemen bencana 2004-2009, salah satu
kebijakan yang terkait dengan disaster Preparedness/ Risk
Reduction adalah memberdayakan masyarakat dalam bidang
kesiapsiagaan becana dan upaya pengurangan risiko melalui
kegiatan KBBM-PERTAMA secara efektif dan terjaga
keberlanjutannyan untuk meminimalkan dampak dan kerentanan
aggota masyarakat lokal menggunakan sebanyak mungkin sumber
daya lokal.
46
3) Untuk melaksanakan kebijakan tersebut diatas, PMI Pusat, Daerah
dan Cabang bekerjasama dengan masyarakat dan stakeholder
lainnya, khususnya IFRC dan PNS (Parcitipating National Societies)
mengembangkan kegiatan KBBM-PERTAMA dibeberapa daerah
binaan.
PERTAMA atau Pengurangan Risiko Terpadu Berbasis Masyarakat
adalah upaya-upaya pengurangan risiko yang dilakukan bersama-sama
masyarakat yang mencakup sektor (lingkungan, ekonomi, psiko-sosial dll).
Kegiatan KBBM-PERTAMA bersifat partisipatif dan merupakan
pendekatan lintas-sektoral untuk memobilisasi masyarakat agar mereka
dapat mengupayakan sendiri meminimalkan dampak bencana di saat
sebelum terjadinya bencana melalui langkah-langkah mitigasi dan
pengurangan risiko yang ditujukan pada pengurangan kerentangan fisik,
kerentanan sosio-ekonomi dan sebab-sebab yang tidak terduga. (Arifin,
2007)
Sasaran KBBM-PERTAMA adalah seluruh warga masyarakat,
khususnya masyarakat yang rentan dan miskin di wilayah rawan bencana.
KBBM sangat tepat dilaksanakan di desa/ kelurahan atau daerah rawan
bencana, yang masyarakatnya memiliki tingkat kerentanan tinggi. Selain
itu, mereka juga mudah untuk dimotivasi dalam melakukan kegiatan
KBBM-PERTAMA yang mencakup; (PMI, 2008)
1. Kesehatan; tindakan pencegahan dan upaya mitigasi terkait pada
penyelamatan jiwa manusia, sehingga setiap individu memperoleh
47
akses pelayanan kesehatan, karena dampak bencana biasanya
menimbulkan penyakit epidemik, polusi, kekukrangan gizi dan lain-
lain.
2. Sosial dan ekonomi; tindakan pencegahan dan upaya mitigasi yang
berkaitan dengan kehidupan sosial dan keselamatan sumber-sumber
ekonomi/kehidupan manusia. Sehingga membantu setiap individu
dan kelompok masyarakat agar mampu memecahakan masalah-
masalah sosial dan tidak kehilangan sumber-sumber penghasilan.
3. Lingkungan; tindakan pencegahan dan upaya mitigasi yang
berkaitan dengan perlindungan terhadap lingkungan yang dapat
menyebabkan bencana.
Adapun tujuan dan manfaat KBBM-PERTAMA antara lain (PMI,
2008);
1) Meningkatnya kapasitas masyarakat dalam melaksanankan upaya-
upaya kesiapsiagaan dan pengurangan risiko/ dampak bencana
yang terjadi di lingkunganyan.
2) Menigkatnya kapasitas PMI dalam memberikan pelayanan cepat,
tepat, dan terkoordinasi kepada para korban bencana.
3) Meningkatnya kapasitas masyarakat dalam manajemen bencana
dan tanggap darurat. Tim Sibat mengorganisasikan dan
memberdayakan sumber daya masyarakat setempat untuk
meningkatkan keselamatan dan keamanan serta mensosialisasikan
cara hidup yang bersih dan sehat.
48
4) Melibatkan sistem administrasi pemerintahan desa/ kelurahan dalam
menyusun konsep pembangunan yang memperhatikan aspek
lingkungan dan dampak bencana
5) Upaya mitigasi struktur (fisik) yang dilaksanakan dalam kegiatan
KBBM-PERTAMA untuk mengurangi tingkat bahaya dan risiko
dampak bencana, yang pada akhirnya mengurangi kerentanan dan
kemiskinan struktural di masyarakat.
Adapun tahapan proses KBBM-PERTAMA
- Pembentukan komite kerja
penyusunan tujuan, TOR
- Seleksi area, HVC/PRA, dan
- Asesmen Komprehensif
Baseline dan KAP (knowledge,
Attitude Pratice) survei
- Membina Kepercayaan
- Pengembangan /
Pengaktifan komite desa /
Keluarahan
- Pelatihan KBBM-PERTAMA
Mobilisasi KSR, Sibat, dan
Komite desa/ Keluarahan
3
Promosi
perilaku sadar
bencana 4
Upaya mitigasi/
pengurangan
risiko bencana
2
Advokasi dan
Sosialisassi 5
Monitoring
evluasi,
partisipasif
1
Perancangan
partisifasif
Pemetaan BKRK
(Bahaya, Kerentanan,
Risiko, Kapasistas)
49
Tahap-tahap dalam melibatkan dan menggerakkan masyarakat
dalam kegiatan KBBM-PERTAMA
Gambar 3 Tahap-Tahap Kegiatan KBBM-PERTAMA
Mengenali masyarakat dan lingkungannya
melalui: PRA VCA, baseline survey
Memasukkan ide, gagasan kepada
masyarakat
Menggalang komunikasi, koordinasi,
kemitraan dan kerjasama
Motivasi dan persuasi
Merencanakan, membahas, dan
menyepakati aksi bersama masyarakat
Mengorganisir elemen/sumber daya
masyarakat dalam aksi nyata
Memobilisasi partisipasi masyarakat
dalam aksi nyata
Memotivasi dan persuasi
Terus memotivasi agar memelihara
keberlangsungan aksi secara bersama-
sama
Mengemban terus komunikasi,
informasi koordinasi, dan kerjasama
Pembinaan secara berkelanjutan
TAHAP-IV:
Pemeliharaan
kesinambungan dan
pembinaan berlanjut
TAHAP-III:
Pengorganisasian
dan mobilisasi
masyarakat dalam
aksi nyata
TAHAP-II:
Pemasukan ide, dan
kesepakatan rencana
aksi
TAHAP-I:
Pengenalan
masyarakat dan
lingkunganya
50
C. Kerangka Konseptual
Penelitian ini bertujuan adalah untuk menganalisis perbedaan tingkat
kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas berdasarkan implementasi
program BNPB (Desa/Kelurahan Tangguh Bencana) dan PMI (KBBM-
PERTAMA) pada tahapan pra bencana di Kabupaten Majene Provinsi
Sulawesi Barat adalah sebagai berikut:
Gambar 4 Kerangka Konsep
D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Tingkat Pengetahuan Kebencanaan
Yang dimaksud dengan pengetahuan kebencanaan adalah suatu
pemahaman masyarakat terkait teori kebencanaan tentang persiapan
pada fase sebelum terjadi bencana di desa tersebut
Tingkat Kesiapsiagaan
Program BNPB; Desa Tangguh Bencana
Program PMI; KBBM-PERTAMA
Tingkat Pengetahuan
Kebencanaan
Pengetahuan Rencana
Penanggulangan Bencana
Ketersediaan Sarana &
Prasarana
51
Baik : jika skor jawaban responden terhadap pertanyaan
pengetahuan 51 – 100%
Kurang : jika skor jawaban responden terhadap pertanyaan
pengetahuan ≤ 50%
2. Pengetahuan Rencana Penanggulangan Bencana
Yang dimaksud dengan pengetahuan rencana penanggulangan
bencana adalah suatu penilaian tentang pengetahuan dan sikap
masyarakat terkait pembuatan, penyusunan dan penerapan rencana
kontijensi ketika terjadi bencana di desa tersebut.
Baik : jika skor jawaban responden terhadap pertanyaan
pengetahuan 51 – 100%
Kurang : jika skor jawaban responden terhadap pertanyaan
pengetahuan ≤ 50%
3. Sarana dan Prasaran Desa/ Kelurahan
Yang dimaksud dengan sarana dan prasarana desa/ kelurahan adalah
suatu penilaian tentang pengetahuan masyarakat terkait ketersediaan
sarana dan prasarana desa berupa profil desa, peta rawan bencana
desa, sistem peringatan dini, serta ketersediaan lokasi evakuasi saat
terjadi bencana di desa tersebut.
Memadai : jika skor jawaban responden terhadap pertanyaan
pengetahuan 51 – 100%
Kurang Memadai : jika skor jawaban responden terhadap pertanyaan
pengetahuan ≤ 50%
52
4. Tingkat Kesiapsiagaan Bencana
Yang dimaksud dengan tingkat kesiapsiagaan bencana adalah suatu
penilaian pengetahuan masyarakat tentang kesiapsiagaan bencana
terkait aspek-aspek ketangguhan dan isu-isu terkait kebencanaan
lainnya
Kesiapsiagaan Baik : jika skor jawaban responden terhadap
pertanyaan pengetahuan 51 – 100%
Kesiapsiagaan Kurang : jika skor jawaban responden terhadap
pertanyaan pengetahuan ≤ 50%
E. Hipotesis
1. Hipotesis Alternatif (Ho)
1) Masyarakat tempat pelaksanaan program BNPB memiliki
pengetahuan yang baik tentang kebencanaan
2) Masyarakat tempat pelaksanaan program BNPB memiliki
pengetahuan tentang rencana penanggulangan bencana yang baik
3) Sarana dan prasaranan desa tempat pelaksanaan program BNPB
memadai dalam pelanggulangan bencana
4) Masyarakat tempat pelaksanaan program BNPB memiliki
kesiapsiagaan baik dalam menghadapi bencana
53
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kombinasi (mixed method)
yaitu menggabungkan dua metode penelitian antara kuantitatif dan
kualitatif dengan desain penelitian deskriptif komparatif. Metode ini disebut
sequential explanatory design dimana pada tahap awal menggunakan
metode kuantitatif dan tahap berikutnya menggunakan metode kualitatif.
(Pamungkas, 2017)
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di desa/kelurahan yang telah
dilaksanakan program pengurangan risiko berbasis komunitas, yaitu Desa
Totolisi yang merupakan lokasi pelaksanaan program dari PMI dan Desa
Bababulo lokasi pelaksanaan program BNPB di Kabupaten Majene
Provinsi Sulawesi Barat.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2017.
Waktu tersebut digunakan untuk kegiatan pengurusan surat izin penelitian
hingga penelusuran data sekunder, pengambilan data primer (kuisioner
dan observasi), pengolahan data, serta hasil penyusunan penelitian
54
C. Kerangka Pikir Penelitian
Adapun kerangka pikir dari penelitian ini adalah sebagai berikut;
Gambar 6 Keangka Pikir
D. Populasi dan Teknik Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berada di
Desa/ Kelurahan tempat pelaksanaan program pengurangan risiko
berbasis komunitas
Pengetahuan tentang
Kebencanaan
Pengetahuan Rencana
Penanggulang Bencana
Pada Tahap Kesiapsiagaan Bencana (Fase Pra Bencana)
Sarana Dan Prasaran
Desa/ Keluarahan
Program BNPB (Desa/ Kelurahan Tangguh Bencana)
Program PMI (KBBM-PERTAMA)
Implementasi Program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas
Kesiapsiagaan Desa/
Keluarahan
55
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan teknik
sampling Purposive Sampling yakni cara penarikan sampel yang
dilakukan dengan memilih subjek berdasarkan kriteria spesifik yang
ditetapkan oleh peneliti (Notoatmodjo,2010) yaitu sebanyak 64 responden
yang terbagi menjadi dua lokasi penelitian.
3. Kriteria Sampel
a) Kriteria Inklusi; karakteristik umum subyek penelitian dari suatu
populasi target yang terjangkau yang akan diteliti. Pada penelitian ini
kriteria inklusinya adalah:
1) Warga yang tinggal di Desa/ Kelurahan yang telah dilaksanakan
program pengurangan risiko berbasis komunitas
2) Warga yang telah mengikuti pelatihan pengurangan risiko
berbasis komunitas
3) Warga yang bersedia menjadi responden
4) Warga yang tidak buta huruf (mampu membaca dan menulis)
5) Warga yang mampu diajak berkomunikasi
b) Kriteria Eklusi; kriteria yang menghilangkan atau mengeluarkan
subyek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai
sebab. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah
1) Warga yang tinggal di Desa/ Kelurahan yang telah dilaksanakan
program pengurangan risiko berbasis komunitas tetapi tidak
berada ditempat ketika penelitian dilaksanakan
56
2) Warga yang mengikuti pelatihan pengurangan risiko berbasis
komunitas tetapi tidak tuntas
3) Warga yang mampu membaca dan menulis tapi tidak mampu
diajak komunikasi
E. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan lembaran kuisioner dan lembaran observasi. Lembar
kuisioner digunakan untuk data demografi responden dan untuk mengukur
pengetahuan kebancanaan responden, pengetahuan rencana
penanggulangan bencana, dan tingkat kesiapsiagaan desa, sedangkan
lembar observasi digunakan untuk penilaian kesiapsiagaan desa
berdasarkan ketersediaan sarana dan prasarana berupa dokumen
penanggulangan bencana yang meliputi ketersediaan peta rawan
bencana desa/kelurahan, adanya struktur oraganisasi penanggulangan
bencana, adanya rencana penanggulangan bencana, sistem peringatan
dini, mobilisasi sumber daya dan lain-lain.
1. Lembar Kuisioner
Berisi daftar pertanyaan dan pernyataan tentang topik tertentu yang
diberikan kepada subjek secara individual. Metode ini dipergunakan untuk
mengukur tingkat pengetahuan masyarakat tentang kebencanaan,
rencana penanggulangan bencana, serta kesiapsiagaan desa.
57
1) Kuisioner Pengetahuan Kebencanaan
Kuisioner pengetahuan kebencanaan disusun dalam bentuk
pernyataan positif dengan skala likers yang terdiri empat pilihan
alternatif jawaban yang terdiri dari Sangat setuju, Setuju, Kurang
setuju, dan Tidak setuju. Pertanyaan ini terdiri dari 20 item pertanyaan
dengan bobot nilai yang diberikan untuk setiap pertanyaan adalah 0
sampai 3, dimana jawaban Sangat setuju bernilai 3, Setuju bernilai 2,
Kurang Setuju bernilai 1 dan Tidak Setuju bernilai 0.
2) Kuisioner Pengetahuan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB)
Kuisioner rencana penanggulangan bencana disusun dalam
bentuk pernyataan yang terdiri dari 30 butir pertanyaan yang disusun
berdasarkan aspek - aspek perencanaan pada tahapan pra bencana.
Pertanyaan disusun dengan jawaban „Ya‟ atau „Tidak‟ dan setiap
jawaban „Ya‟ akan diberi skor 1, sementara jawaban „Tidak‟ akan
diberi skor 0.
3) Kuisioner Tingkat Kesiapsiagaan Desa
Kuisioner tentang kesiapsiagaan desa disusun dalam bentuk
pernyataan yang terdiri dari 60 butir pertanyaan yang dikelompokkan
berdasarkan aspek-aspek ketangguhan dan isu-isu terkait
kebencanaan lainnya. Pertanyaan disusun dengan jawaban „Ya‟ atau
„Tidak‟ dan setiap jawaban „Ya‟ akan diberi skor 1, sementara jawaban
„Tidak‟ akan diberi skor 0.
58
2. Lembar observasi kesiapsiagaan desa
Lembar observasi disusun untuk penilaian kesiapsiagaan desa
dalam bentuk pernyataan kelengkapan dokumen standar penanggulangan
bencana yang terdiri dari 13 item dengan pilihan „Ada‟ atau „Tidak Ada‟
dan skor 1 untuk „Ada‟ sementara „Tidak Ada‟ skor 0.
F. Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, pengumpulan data menggunakan adalah
lembar observasi dan kuesioner dengan tahap pengumpulan data sebagai
berikut:
1. Tahap persiapan yaitu sebelum pemberian kuisioner dan pengisian
kuisioner oleh responden, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan
penelitian, kemudian menawarkan dulu apakah calon responden
bersedia menjadi responden penelitian yaitu dengan mengisi informed
consent.
2. Tahap pelaksanaan yaitu penelitian dilaksanakan di desa/kelurahan
program pengurangan risiko berbasis komunitas di Kabupaten
Majenen Prov. Sulawesi Barat dengan memberikan kuisioner kepada
masyarakat dan aparat desa serta melakukan observasi data tertulis
tentang laporan pelaksanaan program Desa/ Kelurahan Tangguh
Bencana, dan dokumen lain yang relefan dengan masalah penelitian.
59
3. Tahap penutup dimana peneliti mengumpulkan lembar kuesioner yang
telah diisi oleh responden dan mengucapkan terima kasih pada pihak-
pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini
G. Teknik Analisis
1. Pengolahan data
Data yang terkumpul kemudian diolah dengan bantuan
komputer melalui tahap :
a. Editing yaitu memeriksa kelengkapan kuesioner sebelum melakukan
data entry
b. Coding yaitu membuat kode angka yang jawabannya group
c. Entry yaitu memasukkan data ke komputer dengan menggunakan
program olah data statistik
d. Cleaning dengan cara memeriksa kebenaran saat atau setelah
memasukkan data ke komputer
e. Transformation yaitu kegiatan yang mencakup pembuatan variable
komposit, pengkodean ulang dan sebagainya
2. Analisis data
Metode analisis data untuk kuantitatif yang digunakan dalam
penelitian ini mencakup :
1) Analisis univariat, yaitu analisis variabel dalam bentuk distribusi
frekuensi dan dihitung persentasenya.
60
2) Analisis bivariat, yaitu analisis hubungan antara variabel secara
parsial dengan menggunakan uji Mann-Whynet dengan tingkat
kemaknaan p=<0,05
H. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti perlu mendapat rekomendasi
dari institusi dengan mengajukan permohonan izin kepada instansi atau
lembaga tempat penelitian. Setelah mendapat persetujuan, maka kegiatan
penelitian ini dimulai dengan menekankan masalah etika yang meliputi:
1. Lembar persetujuan (informed consent)
Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan
diteliti yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul penelitian dan
manfaat penelitian. Bila responden menolak, maka peneliti tidak
akan memaksa dan tetap menghormati hak-hak responden.
2. Tanpa nama (anonymity)
Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama
responden, tetapi lembar tersebut diberikan kode.
3. Kerahasiaan (confidentiality)
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya
kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil peneliti
61
I. Tahapan Penelitian
Proposal Penelitian
Mengidentifikasi Lokasi Penelitian Desa/ Kelurahan Yang Dilaksanakan Program Pengurangan Risiko Berbasis Komunitas
Mengajukan Surat Izin Penelitian yang ditujukan kepada Gubernur Provinsi Sulawesi Barat Bagian Pengembangan Daerah
Mengajukan Surat Permohonan Izin Penelitian di Lokasi Penelitian
Mengidentifikasi Populasi Penelitian
Teknik Pengambilan Sampel secara Purposif
Mengajukan Informed Consent Penelitian Kepada
Informan Penelitian
Melakukan kegiatan observasi
Pengumpulan dan Pengolahan Data
Analisa Data
Hasil dan Kesimpulan
62
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Majene terletak antara 2o 38‟ 45” – 3o 38‟ 15” Lintang
Selatan dan antara 118o 45‟ 00” – 119o 4‟ 45” Bujur Timur, yang
berbatasan dengan Kabupaten Mamuju di sebelah utara dan Kabupaten
Polewali Mamasa sebelah timur, sedangkan sebelah selatan dan barat
berbatasan dengan Teluk Mamasa dan Selat Makassar.(Dinkes, 2015)
Kabupaten Majene adalah salah satu dari 5 kabupaten dalam
wilayah Provinsi Sulawesi Barat yang terletak di pesisir pantai barat
Sulawesi Barat memanjang dari selatan ke utara kurang lebih sepanjang
146 km dari Kabupaten Mamuju (Ibukota Provinsi Sulawesi
Barat).(Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat, 2015)
Kabupaten Majene terdiri dari 8 (delapan) kecamatan dan 82
(delapan puluh dua) desa/kelurahan, yakni Kecamatan Banggae,
Banggae Timur, Pamboang, Sendana, Tammeroddo Sendana, Tubo
Sendana, Malunda, dan Ulumanda. (Dinkes, 2015)
Luas wilayah Kabupaten Majene adalah 947,84 Km2 dengan ibukota
kabupaten terletak di Kecamatan Banggae dengan luas perkotaan 5.515
km, yang berada di posisi selatan Kabupaten Majene, dengan waktu
tempuh sekitar 3 jam sampai 4 jam dari Ibukota Sulawesi Barat (Mandar
63
Raya) yaitu ±120 Km. Berikut ini peta administrasi Kabupaten Majene:
(Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat, 2015)
Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Majene
Dari total luas wilayah Kabupaten Majene, Kecamatan Ulumanda
merupakan kecamatan yang memiliki wilayah terluas yakni 456,00 Km2,
kemudian Kecamatan Malunda dengan luas 187,65 Km2. Sedangkan
kecamatan yang memiliki luas wilayah terkecil yakni Kecamatan Banggae
dengan luas wilayah 25,15 Km2. Luas wilayah per kecamatan serta jumlah
kelurahan yang ada di Kabupaten Majene dapat dilihat pada Tabel 1
berikut: :
64
Tabel 1 Nama, Luas Wilayah Per-Kecamatan dan Jumlah Kelurahan
(Km2) (%) thd Total
1. Kec. Banggae 8 25,15 2,653
2. Kec. Banggae T imur 9 30,04 3,169
3. Kec. Pamboang 15 70,19 7,405
4. Kec. Sendana 16 82,24 8,677
5. Kec. Tammeroddo Sendana 7 55,40 5,845
6. Kec. Tubo sendana 7 41,17 4,344
7. Kec. Malunda 12 187,65 19,798
8. Kec. Ulumanda 8 456,00 48,109
82 947,84 100
No. Nama KecamatanJumlah
Kelurahan / Desa
Luas Wilayah
Jumlah
Sumber : Majene dalam Angka 2011
Dari aspek topografi,
Kabupaten Majene memiliki
wilayah yang kondisinya relatif
bervariasi yakni, pada sisi selatan
merupakan daerah pesisir yang
relatif datar sedangkan pada sisi
utara merupakan daerah
pegunungan. Berdasarkan data
statistik tahun 2008 luas wilayah
yang memiliki kemiringan 0 – 10 %
adalah 125,72 Km2, sedangkan
sisanya memiliki kemiringan lebih
besar dari 10 %.
65
Kondisi iklim wilayah Kabupaten Majene dan sekitarnya secara
umum ditandai dengan hari hujan dan curah hujan yang relatif tinggi dan
sangat dipengaruhi oleh angin musim, hal ini dikarenakan wilayahnya
berbatasan dengan laut lepas (Selat Makassar dan Teluk Mandar).
Berdasarkan catatan Stasiun Meteorologi, rata-rata temperatur di
Kabupaten Majene dan sekitarnya sepanjang tahun 2010 berkisar 27,13
oC, dengan suhu minimum 22,53 oC dan suhu maksimum 30,83 oC. Curah
hujan di Kabupaten Majene tertinggi pada Bulan September sebesar
303,1 mm3 dengan hari hujan 25. Sedangkan curah hujan terendah terjadi
pada bulan Maret sebesar 84,9 mm3 dengan jumlah hari hujan 17.
(Dinkes, 2015)
Sementara sepanjang tahun 2011 rata-rata temperatur di Kabupaten
Majene dan sekitarnya berkisar 27,52 oC, dengan suhu minimum 22,83 oC
dan suhu maksimum 32,93 oC. Curah hujan di Kabupaten Majene tertinggi
pada Bulan Desember sebesar 456,4 mm dengan jumlah hari hujan 26.
Sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli sebesar 1,6 mm
dengan jumlah hari hujan 5.
Hasil Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) 2013 Badan Nasional
Penanggulangan Bencana menujukkan bahwa Kabupaten Majene berada
diperingkat pertama di provinsi Sulawesi Barat berisiko tinggi bencana
dengan skor 221. Adapun beberapa ancaman bencana yang terdapat di
kabupaten Majenen yakni Banjir, Gempa Bumi, Kebakaran Permukiman,
66
Kekeringan, Cuaca Ekstrem, Longsor, Abrasi, Kebakaran Lahan dan
Hutan, Konflik Sosial, Epidemi dan Wabah Penyakit. (BNPB, 2014)
Penataan ruang yang ingin dicapai oleh Kabupaten Majene bertujuan
untuk mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional
dan berbasis sektor Pertanian serta didukung oleh sektor perikanan,
kelautan, kehutanan, pertambangan, dan pemanfaatan potensi alam
lainnya.
Berdasarkan hal tersebut Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Majene, struktur ruang wilayah dibagi secara berhirarki dengan fungsi,
peran dan jangkauan pelayanan yang berbeda.
Penataan wilayah kabupaten Majene diatur dalam Rancangan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten Majene Tahun 2011 -
2031. Sesuai RTRW Kabupaten Majene, pusat-pusat kegiatan yang ada
di Kabupaten Majene terdiri atas :
- PKW (Pusat Kegiatan Wilayah) terdapat di Kecamatan Banggae dan
Kecamatan Banggae Timur;
- PKLp (Pusat Kegiatan local Promosi) meliputi : Malunda di Kecamatan
Malunda; Pamboang di Kecamatan Pamboang; dan Somba di
Kecamatan Sendana.
67
- PPK (Pusat Pelayanan Kawasan) meliputi : Tammero‟do di
Kecamatan Tammerodo Sendana; Tubo di Kecamatan Tubo
Sendana; dan Ulumanda di Kecamatan Ulumanda.
- PPL (Pusat Pelayanan Lingkungan) meliputi : Kelurahan Baruga di
Kecamatan Banggae Timur; Kelurahan Sirindu di Kecamatan
Pamboang; Kelurahan Tallubanua di Kecamatan Sendana; Desa
Ulidang di Kecamatan Tammero‟do Sendana; dan Desa Maliaya di
Kecamatan Malunda.
a. Desa Bababulo
Desa Bababulo merupakan salah satu desa dari 15 desa yang
terdapat di kecamatan Pamboang Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi
Barat. Desa ini memiliki luas wilayah 2,227 km2 yang terdiri dari 4 Dusun
yakni Dusun Rawang, Dusun Porendeang, Dusun Bababulo, dan Dusun
Bonde Talawar. Adapun batas-batas wilayah desa antara lain, sebelah
Utara berbatasan dengan Desa Bababulo Utara, sebelah Selatan Desa
Bonde Utara, sebelah Barat Selat Makassar, dan sebelah Timur Desa
Buttu Pamboang.
Kondisi topografi desa ini relatif bervariasi yakni, pada sisi barat
merupakan daerah pesisir yang relatif datar sedangkan pada sisi timur
merupakan daerah pegunungan dengan kemiringan lebih dari 10 %.
Adapun beberapa ancaman bencana yang terdapat di desa ini yakni
Kebakaran Permukiman, Tsunami, Cuaca Ekstrem, Abrasi, Kebakaran
Lahan dan Hutan. (BNPB, 2014)
68
b. Desa Totolisi
Desa Totolisi merupakan salah satu desa dari 16 desa yang
terdapat di kecamatan Sendana Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi
Barat yang terdiri dari 4 dusun yakni Dusun Totolisi Selatan, Dusun
Totolisi, Dusun Totolisi Utara dan Dusun Totolisi Tengah . Desa ini
memiliki luas wilayah 3,154 km2 dengan batas-batas wilayahnya yakni
sebelah Utara berbatasan dengan Desa Palipi, sebelah Selatan
berbatasan dengan Desa Binangan, sebealah Timur berbatasan dengan
Desa Pundau, dan sebelah Barat Selat Makassar.
Adapun kondisi topografi desa ini yakni, pada sisi barat merupakan
daerah pesisir yang relatif datar sedangkan pada sisi timur merupakan
daerah pegunungan dengan kemiringan 0 - 10 %.
B. Hasil Penelitian
Penelitian dilakukan di dua desa yakni Desa Bababulo (desa
binaan BNPB) dan Desa Totolisi (desa binaan PMI). Pengumpulan data
menggunakan lembar kuisioner dan lembar observasi, data yang
didapatkan kemudian diinput dan dianalisis menggunakan program
SPSS. Hasil pengolahan data ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik.
69
1. Analisis Univariat
1) Karakteristik Responden
a. Umur
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur
Kelompok Umur
Desa Total Desa Bababulo
Binaan BNPB Desa Totolisi Binaan PMI
N % n % N %
Dewasa Muda 14 43,8 6 18,8 20 31,25 Dewasa Tua 14 43,8 22 68,8 36 56,25 Lansia 4 12,5 4 12,5 8 12,5
Total 32 100,0 32 100,0 64 100,0
Sumber : Data Primer 2017
Berdasarkan tabel 2 diatas, dari 64 responden terdapat 36
responden (56,25%) masuk kelompok umur dewasa tua, 20 responden
(31,25%) masuk kelompok umur dewasa muda, dan 8 responden
(12,5%) masuk kelompok umur lansia. Untuk desa Totolisi, kelompok
umur dewasa tua sebanyak 22 responden (68,8%), dewasa muda hanya
6 responden (18,8%), dan lansia 4 responden (12,5%) sedangkan di
desa Bababulo, responden yang masuk kelompok umur dewasa tua dan
dewasa mudah memiliki jumlah yang sama yakni 14 responden (43,8%).
Dan yang masuk kelompok umur lansia sebanyak 4 responden (12,5%).
Berikut ini gambaran grafiknya:
70
Grafik.4.1 Distribusi Frekuensi Umur Responden
b. Jenis Kelamin Tabel 3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Desa Total Desa Bababulo
Binaan BNPB Desa Totolisi Binaan PMI
N % N % N %
Laki-Laki 16 50,0 23 71,9 39 60,94
Perempuan 16 50,0 9 28,1 25 39,06
Total 32 100,0 32 100,0 64 100,0
Sumber : Data Primer 2017
Dari tabel 3 menujukkan bahwa dari 64 responden terdapat, 39
respoden (60,94%) diantaranya berjenis kelamin laki-laki dan 25
responden (39,06%) berjenis kelamin perempuan. Di desa Totolisi
responden terbanyak berjenis kelamin laki-laki yakni 23 responden
(71,9%) sedangkan di desa Bababulo responden jenis kelamin laki-laki
14 14
4
6
22
4
0
5
10
15
20
25
Dewasa Muda Dewasa Tua Lansia
Distribusi Frekuensi Umur Responden
Desa Desa
71
maupun perempuan berjumlah sama yakni 16 responden (50,0%).
Berikut ini gambaran grafiknya:
Grafik.4.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden
c. Pendidikan Tabel 4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir
Pendidikan
Desa
Total Desa Bababulo
Binaan BNPB
Desa Totolisi
Binaan PMI
n % n % N %
Sarjana 5 15,6 8 25,0 13 20,31
Diploma 5 15,6 3 9,4 8 12,5
SMA / Sederajat 14 43,8 11 34,4 25 39,06
SMP / Sederajat 4 12,5 5 15,6 9 14,06
SD / Sederajat 1 3,1 3 9,4 4 6,25
Tidak Sekolah 3 9,4 2 6,3 5 7,82
Total 32 100,0 32 100,0 64 100,0
Sumber : Data Primer 2017
16 16
23
9
0
5
10
15
20
25
Laki-Laki Perempuan
Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden
Desa Bababulo Binaan BNPB Desa Totolisi Binaan PMI
72
Dari tabel 4 menunjukkan bahwa dari 64 responden, sebanyak 25
responden (39,06%) yang berpendidikan terakhir SMA/Sederajat,
sedangkan yang berpendidikan terakhir Sarjana sebanyak 13 responden
(20,31%). 9 responden (14,06%) berpendidikan terakhir SMP/Sederajat,
8 responden (12,5%) berpendidikan terakhir Diploma, 4 responden
(6,25%) SD/ Sederajat, dan ada 5 responden (7,82%) tidak bersekolah.
Berikut ini gambaran grafiknya:
Grafik.4.3 Distribusi Frekuensi Pendidikan Terakhir Responden
5 5
14
4
1
3
8
3
11
5
3
2
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Sarjana Diploma SMA / Sederajat SMP / Sederajat SD / Sederajat Tidak Sekolah
Distribusi Frekuensi Pendidikan Responden
Desa Desa
73
2) Deskriptif Variabel Penelitian
a. Pengetahuan Kebencanaan
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Tingkat Pengetahuan Kebencanaan
Tingkat Pengetahuan
Desa
Total Desa Bababulo Binaan BNPB
Desa Totolisi Binaan PMI
N % n % n %
Pengetahuan Kurang - - - - - -
Pengetahuan Baik 32 100,0 32 100,0 64 100,0
Total 32 100,0 32 100,0 64 100,0
Sumber : Data Primer 2017
Dari tabel 5 menujukkan bahwa dari 64 responden tidak satupun
responden yang memiliki pengetahuan yang kurang mengenai
kebencanaan, semua memiliki pengetahuan yang baik. Hal ini bisa dilihat
dari gambar grafik berikut ini:
Garfik 4.4 Distribusi frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden
0
5
10
15
20
25
30
35
Pengetahuan Kurang Pengetahuan Baik
Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Kebencanaan Responden
Desa Bababulo Binaan BNPB Desa Totolisi Binaan PMI
74
b. Rencana Penanggulangan Bencana
Tabel 6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Tingkat Pengetahuan Rencana Penanggulangan Bencana
Pengetahuan Rencana Penanggulangan
Bencan
Desa
Total Desa Bababulo Binaan BNPB
Desa Totolisi Binaan PMI
n % n % N %
Pengetahuan RPB Kurang
17 53,1 11 34,4 28 43,75
Pengetahuan RPB Baik
15 46,9 21 65,6 36 56,25
Total 32 100,0 32 100,0 64 100,0
Sumber : Data Primer 2017
Dari tabel 6 menujukkan bahwa dari 64 responden, 36 responden
(56,25%) memiliki pengetahuan tentang rencana penanggulangan
bencana kategori baik dan 28 responden (43,75%) memiliki pengetahuan
kategori kurang. Dari 36 responden yang berpengetahuan baik, 21
responden (65,4%) berasal dari desa Totolisi dan 15 responden (46,9%)
berasal dari desa Bababulo, sedangkan responden yang memiliki
pengetahuan kurang, lebih banyak berasal dari desa Bababulo yakni 17
responden (53,1%) dan 11 responden (34,4%) berasal desa Totolisi.
Berikut ini gambar grafiknya:
75
Garfik 4.4 Distribusi frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden
c. Tingkat Kesiapsiagaan Desa
Tabel 7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Tingkat Kesiapsiagaan Desa
Tingkat Kesiapsiagaan Desa
Desa
Total Desa Bababulo
Binaan BNPB
Desa Totolisi
Binaan PMI
N % n % n %
Kesiapsiagaan Desa Kurang 14 43,8 13 40,6 27 42,2
Kesiapsiagaan Desa Baik 18 56,3 19 59,4 37 57,8
Total 32 100,0 32 100,0 64 100,0
Sumber : Data Primer 2017
Dari tabel 7 tersebut menujukkan bahwa dari 64 responden, 37
responden (57,8%) diantaranya memiliki kesiapsiagaan desa Baik dan
responden 27 responden (42,2%) memiliki kesiapsiagaan desa kurang.
18 responden (56,3%) yang menyatakan kesiapsiagaan desa baik
17
15
11
21
0
5
10
15
20
25
Pengetahuan RPB Kurang Pengetahuan RPB Baik
Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden tentang Rencana Penanggulangan Bencana
Desa Bababulo Binaan BNPB Desa Totolisi Binaan PMI
76
berasal dari desa Bababulo dan 19 responden (59,4%) berasal dari
desa Totolisi. Sedangkan 13 responden (40,6%) yang menyatakan
kesiapsiagaan desa kurang berasal dari desa Totolisi dan 14 responden
(43,8%) berasal dari Bababulo.
Garfik 4.5 Distribusi frekuensi Tingkat Kesiapsiagaan Desa
2. Analisa Bivariat
Untuk mengetahui efektifitas implementasi program pengurangan
risiko bencana berbasis komunitas yang telah dilaksanakan oleh BNPB
dan PMI maka dilakukan analisis bivariat. Analisis bivariat pada penelitian
ini menggunakan uji mann whitney karena saat uji normalitas data
diperoleh semua variabel mempunyai distribusi tidak normal
14
18
13
19
0
5
10
15
20
Kesiapsiagaan Desa Kurang Kesiapsiagaan Desa Baik
Distribusi Frekuensi Tingkat Kesiapsiagaan Desa
Desa Bababulo Binaan BNPB Desa Totolisi Binaan PMI
77
1) Tingkat Pengetahuan Kebencanaan
Tabel 8 Hasil Uji Mann-Whitney U
Tingkat Pengetahuan Kebencana (n=64)
Pengetahuan
Kebencanaan
Mean
Rank Mean SD P
Desa Bababulo 32,50 30,75 12,381 1,000
Desa Totolisi 32,50 29,94 14,055
Sumber : Data Primer 2017
Berdasarkan tabel 8 didapatkan mean rank responden untuk
variabel tingkat pengetahuan kebencanaan untuk desa Bababulo
adalah 32,50 dan desa Totolisi adalah 32,50. Sedangkan untuk hasil
uji statistik Mann-Whitney U menunjukkan nilai signifikansi p = 1,000
(p > 0,05) yang artinya tidak ada perbedaan yang signifikan tingkat
pengetahuan kebencanaan antara desa binaan BNPB dengan desa
binaan PMI.
2) Pengetahuan Rencana Penanggulangan Bencana
Tabel 9 Hasil Uji Mann-Whitney U
Pengetahuan Rencana Penanggulangan Kebencanaan (n=64)
Pengetahuan RPB Mean
Rank Mean SD
Beda mean
Rank P
Desa Bababulo 30,00 15,88 6,908 5 0,209
Desa Totolisi 35,00 16,81 6,986
Sumber : Data Primer 2017
Berdasarkan tabel 9 didapatkan mean rank responden untuk
variabel pengetahuan rencana penanggulangan bencana untuk desa
Bababulo adalah 30,00 dan desa Totolisi adalah 35,00 dengan
78
perbedaan mean rank 5. Sedangkan hasil uji statistik Mann-Whitney U
menunjukkan nilai signifikansi p = 0,209 (p > 0,05) yang artinya tidak
ada perbedaan yang signifikan tingkat pengetahuan kebencanaan
antara desa binaan BNPB dengan desa binaan PMI, namun secara
klinik / faktual ada perbedaan yang signifikan.
3) Tingkat Kesiapsiagaan Bencana
Tabel 10 Hasil Uji Mann-Whitney U
Tingkat Kesiapsiagaan Desa (n=64)
Tingkat Kesiapsiagaan
Desa
Mean
Rank Mean SD
Beda mean
Rank P
Desa Bababulo 30,00 25,88 15,099 5 0,215
Desa Totolisi 35,00 32,88 12,792
Sumber : Data Primer 2017
Berdasarkan tabel 10 didapatkan mean rank responden untuk
variabel tingkat kesiapsiagaan desa untuk desa Totolisi adalah 35,00
dan desa Bababulo adalah 30,00 dengan perbedaan mean rank 5.
Sedangkan untuk hasil uji statistik Mann-Whitney U menunjukkan nilai
signifikansi p = 0,215 (p > 0,05) yang artinya secara statistik tidak ada
perbedaan yang signifikan, namun secara klinis / faktual ada
perbedaan tingkat kesiapsiagaan kesiapsiagaan desa antara desa
binaan BNPB dengan desa binaan PMI.
79
3. Hasil Observasi
Tabel 11 Hasil Observasi
Ketersediaan Sarana & Prasarana Desa
No. Indikator Desa Bababul Desa Totolis
Ada Tidak Ada Tidak
1. Kebijakan dan panduan tentang organisasi pengelola bencana ditingkat desa
√ √
2. Tersedia rencana strategi penanggulangan bencana ditingkat desa
√ √
3. Tersedia peraturan yang berkaitan dengan penanggulangan bencana ditingkat desa
√ √
4. Tersedia organisasi pengelola bencana ditingkat desa
√ √
5. Ada sosialisasi tentang organisasi pengelola bencana dan protap pelaksanaan kepada anggota organisasi dan masyarakat
√ √
6. Tersedia tempat evakuasi atau gedung tempat pengungsian
√ √
7. Tersedia Peta Rawan Bencana √ √
8. Tersedia rencana sosialisasi peta bencana kepada masyarakat desa
√ √
9. Tersedia nomor hotline informasi bencana √ √
10. Tersedia rencana pertolongan pertama korban (obat-obatan, tenaga medis, peralatan/ambulans)
√ √
11. Tersedia daftar Fasilitas-fasilitas penting (Rumah Sakit, Pemadam Kebakaran, Polisi) yang terdekat dari lokasi Desa
√ √
12. Ada pengakuan terhadap sistim peringatan bencana secara tradisional maupun lokal
√ √
13. Tersedia sistim penyebarluasan peringatan bencana dan protap pelaksanaan
√ √
Sumber: Data Primer 2017
Berdasarkan tabel 11 diatas, didapatkan bahwa dari 13 indikator
sarana dan prasaran, hanya 6 indikator yang terdapat di Desa Bababulo
sedangkan di Desa Totolisi memenuhi 11 indikator.
80
C. Pembahasan
Pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK) adalah
upaya yang dilakukan oleh anggota masyarakat secara terorganisir baik
sebelum, saat, dan sesudah bencana dengan menggunakan sumber daya
yang mereka miliki semaksimal mungkin untuk mencegah, mengurangi,
menghindari dan memulihkan diri dari dampak bencana. (Patries, 2016)
Program pengurangan risiko bencana berbasis komunitas pertama
kali diwacanakan oleh pemerintah pada tahun 2011 namun baru
dilaksnanaannya oleh BNPB mulai tahun 2012 seiring dengan terbitnya
Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. (BNPB, 2012)
Sedangkan program Kesiapsiagaan Bencana Berbasis
Masyarakat-Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (KBBM-
PERTAMA) dilaksanakan oleh PMI sejak tahun 2005 di 13 provinsi di
Indonesia kerjasama dengan ICRC. (ICBRR Central Java, 2009)
Program BNPB yakni Desa / Kelurahan Tangguh Bencana
dilaksanakan di kabupaten Majene mulai tahun 2014 tepatnya di desa
Bababulo, sedangkan program PMI yakni KBBM-PERTAMA dilaksanakan
di desa Totolisi Kabupaten Majene dimulai tahun 2013.
1. Tingkat Pengetahuan Masyarakat tentang Kebencanaan
Hasil penilitian menyatakan bahwa dari 64 responden, tidak ada
satu pun responden yang memiliki pengetahuan yang kurang tentang
kebencanaan, baik responden yang berasal dari desa Bababulo maupun
81
desa Totolisi. Semua responden memiliki pengetahuan kebencanaan
yang baik dengan mean rank responden untuk desa Bababulo adalah
30,38 dan desa Totolisi adalah 34,64 serta perbedaan mean 1,16.
Meskipun tingkat pendidikan formal terakhir responden terbanyak
adalah SMA, hal itu bukan salah satu faktor pendukung kesiapsiagaan
tetapi pendidikan bencana yang akan mempengaruhi kesiapsiagaan.
(Ningtiyas, 2014)
Dari hasil uji statistik Mann-Whynet U didapatkan nilai signifikansi
p = 0,360 (p > 0,05) yang artinya tidak ada perbedaan yang signifikan
tingkat pengetahuan kebencanaan antara desa binaan BNPB dengan
desa binaan PMI.
Hal ini menandakan bahwa konsep program pengurangan risiko
bencanan berbasis komunitas yang dilaksanakan oleh BNPB maupun PMI
adalah sama. Dimana sama-sama berfokus pada masyarakat sebagai
pelaku utama dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana melalui
pemberian informasi dan pengetahuan ancaman tentang risiko bencana di
wilayahnya, memberikan pendidikan, pelatihan dan peningkatan
keterampilan, serta melakukan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan,
penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi.
Selain itu dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana,
memberikan perlindungan sosial dan pemberian rasa aman (khususnya
bagi kelompok rentan bencana)
82
2. Tingkat Pengetahuan Masyarakat tentang Rencana Penanggulangan
Bencana
Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Desa Adalah sebuah
rencana yang disusun oleh pemerintah desa bersama dengan masyarakat
desa secara partisipatif, yang memuat rencana tindakan penanggulangan
bencana desa selama 5 (lima) tahun. Rencana Penanggulangan Bencana
Desa diposisikan sebagai dokumen pendukung khusus untuk program-
program Penanggulangan Bencana dalam dokumen RPJM Desa yang
sudah ada. Selain itu, juga menjadi rujukan program-program lain yang
diselenggarakan baik oleh elemen pemerintah maupun non pemerintah.
(Triutomo, Widjaja, Siswanto, & Yohannes, 2011)
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa dari 64 responden,
36 responden diantaranya memiliki pengetahuan tentang rencana
penanggulangan bencana berkategori baik. Dimana 21 responden berasal
dari desa Totolisi dan 15 responden berasal dari desa Bababulo.
Sedangkan 28 responden lainnya memiliki pengetahuan kategori kurang,
dengan 11 responden berasal dari desa Totolisi dan 17 responden berasal
desa Bababulo.
Masih adanya responden yang memiliki pengetahuan kurang
mengenai rencana penanggulangan bencana bisa disebabkan oleh
beberapa hal antara lain kurang partisipasif, inisiatif dan komitmennya
masyarakat, pemerintah, dan stakeholder terkait penyusunan serta
penguatan regulasi terkait penanggulangan bencana. (Patries, 2016)
83
Padahal, Rencana Penanggulangan Bencana memuat program-
program pra-bencana, saat tanggap darurat, maupun pasca bencana.
Selain itu, dapat pula digunakan sebagai dokumen perencanaan,
dokumen yang memuat data & informasi tentang risiko bencana, juga
mengandung strategi, kebijakan dan langkah-langkah teknis yang
dibutuhkan untuk mewujudkan kesiapsiagaan terhadap bencana. (Widjaja,
2017)
RPB ini mencakup keseluruhan siklus bencana yaitu pada situasi
Pencegahan & Mitigasi, Kesiapsiagaan, Tanggap Darurat, dan Pemulihan.
Dalam tahapan Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana Desa,
Panitia Penyelenggara RPB Desa terdiri dari beberapa orang yang dipilih
oleh warga maupun ditugaskan oleh pemerintah desa yang bertanggung
jawab penuh atas terselenggaranya setiap tahap kegiatan yang diperlukan
dalam pembuatan RPB desa. (Widjaja, 2017)
Proses penyusunan RPB desa adalah: Ditetapkan oleh pemerintah
daerah sesuai kewenangannya, penyusunannya dikoordinasikan oleh
Badan Penanggulangan Bencana, dilakukan melalui penyusunan data
tentang risiko bencana pada suatu wilayah dalam waktu tertentu
berdasarkan dokumen resmi yang berisi program kegiatan
penanggulangan bencana. Ditinjau secara berkala oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah. (Patries, 2016)
Dalam proses penyusunan ini, dibentuklah panitia yang bertugas
antara lain: membuat dan menyebarkan undangan pertemuan-pertemuan,
84
memastikan tempat pelaksanaan kegiatan, mempersiapkan dan
menyediakan peralatan/ perlengkapan yang diperlukan, menyediakan
kebutuhan data dan informasi yang diperlukan sesuai permintaan tim
fasilitator dan tim perumus, mendokumentasikan proses diskusi (foto
kegiatan, mencatat proses diskusi), memasang informasi hasil atau
capaian setiap tahap kegiatan di papan informasi desa atau fasilitas
umum lainnya, mengelola dan menyusun laporan keuangan (bila ada) tim
fasilitator atau pemandu diskusi bisa terdiri dari dua atau tiga orang yang
paham tentang penanggulangan bencana. (Damayanti, 2015)
Di desa Bababulo maupun desa Totolisi, tahap demi tahap proses
rencana penanggulangan bencana telah dilaksanakan mulai dari
pembentukan struktur kelembagaan, pemberian akses informasi dan
komunikasi, penyiapan dana khusus penanggulangan bencana, hingga
koordinasi lintas sektor. Namun semua itu belum ada legalitas dari
pemerintah daerah maupun pemerintah desa sehingga mengindikasikan
kesiapan seluruh pemangku kepentingan penanggulangan bencana di
desa untuk menghadapi ancaman bencana bisa dikatakan masih lemah
namun sudah hampir ada.
Adapun untuk hasil uji statistik Mann-Whitney U menunjukkan nilai
signifikansi p = 0,209 (p > 0,05) yang artinya tidak ada perbedaan yang
signifikan tingkat pengetahuan kebencanaan antara desa binaan BNPB
dengan desa binaan PMI. Tetapi berdasarkan hasil mean rank, terdapat
perbedaan namun tidak terlalu signifikan secara klinik / faktual.
85
Pengantar Rencana Penanggulangan Bencana sebagai rencana
strategis/Renstra Desa dalam penanggulangan bencana. Rencana ini
memuat wilayah berisiko tinggi, fokus prioritas, program kegiatan, pelaku
dan anggaran indikatif. Penyusunannya dikoordinasikan oleh desa dengan
melibatkan seluruh unsur Perangkat Desa dan Tokoh Masyarakat terkait
penanggulangan bencana di desa tersebut. Alasan RPB Dibuat
Pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2007 dan PP No. 21 Tahun 2008 Adanya
wilayah berisiko tinggi di desa Sarana koordinasi oleh pemerintah desa
dalam penanggulangan bencana. Perubahan paradigma responsif
menjadi preventif Penanggulangan bencana adalah urusan bersama.
Dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Desa dititikberatkan
pada rencana yang disusun pada saat situasi normal. Oleh karena itu
pada tahap ini masih cukup banyak waktu untuk merencanakan semua
kegiatan yang meliputi dari 4 (empat) tahap dalam penanggulangan
bencana. Pada tahap ini juga direncanakan semua kegiatan untuk semua
jenis ancaman (hazard) yang dihadapi oleh suatu wilayah desa dan
kerentanan (vulnerability). Dikarenakan lingkup kegiatan luas dan jenis
ancaman bisa lebih dari satu, maka para pelaku (perangkat desa) yang
terlibat juga akan lebih banyak.
3. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Desa
Untuk variabel ketersediaan sarana dan prasarana, peneliti
melakukan observasi terkait hal-hal yang dapat menunjang keberhasilan
pelaksanaan penanggulangan bencana yang merupakan salah satu faktor
86
penilaian kesiapsiagaan suatu desa. Berdasarkan hasil observasi yang
telah dilakukan, didapatkan bahwa dari 13 indikator pemenuhan sarana
dan prasaran desa, hanya ada 11 item yang tersedia di desa Totolisi
sedangkan di Desa Bababulo hanya terdapat 6 item.
Ketersediaan kebijakan dan panduan tentang organisasi pengelola
bencana ditingkat desa, rencana strategi penanggulangan bencana, serta
peraturan yang berkaitan dengan Penanggulangan bencana di tingkat
Desa di kedua desa tersebut, baik yang dibina oleh BNPB maupun PMI
belum ada, namun untuk ketersediaan organisasi pengelola bencana di
kedua desa tersebut sudah ada dan diketahui oleh masyarkat.
Di desa Bababulo, protap pelaksanaan penanggulangan bencana,
peta rawan bencana, dan rencana sosialisasi peta bencana kepada
masyarakat belum ada. Walaupun demikian, pengakuan terhadap sistem
peringatan bencana telah diketahui masyarakat begitu pula dengan
tempat evakuasi atau gedung tempat pengungsian yang akan digunakan
ketika bencana datang telah diketahui oleh masyarakat. Hal ini
dipengaruhi oleh rutinnya pelaksanaan simulasi bencana yang
dilaksanakan oleh BNPB yakni satu kali dalam setahun namun dengan
berbagai jenis bencana. Nomor hotline informasi bencana, rencana
pertolongan pertama, daftar fasilitas-fasilitas penting hanya dikethaui oleh
beberapa warga saja yakni orang-orang yang berwenang dalam hal ini
seperti aparat desa dan tenaga kesehatan saja.
87
Sedangkan di desa Totolisi, organisasi pengelola bencana di
tingkat desa disebut SIBAT. Organisasi ini beranggotakan 20 orang
dimana semuanya adalah warga desa Totolisi. Sosialisasi organisasi
pengelola bencana telah diketahui oleh masyarakat sehingga ketika terjadi
bencana mereka mengetahui kepada siapa mereka akan melakukan
koordinasi terlebih dahulu.
Selain itu, peta rawan bencana serta sosialisasi peta bencana telah
dilakukan dan saat ini telah tersedia di kantor desa sehingga
memudahkan masyarakat untuk mengaksesnya.
Gambar 10
Didalam peta tersebut, sangat jelas terlihat letak fasilitas-fasilitas
penting yang berada di desa, daerah-daerah yang rawan bencana serta
jalur evakuasi ketika terjadi bencana.
Pelaksanaan program KBBM-PERTAMA di Desa Totolisi hanya
berlangsung 1 tahun, namun banyak hal yang telah didapatkan warga
88
melalui program ini. Selain pengetahuan tentang kebencanaan serta
penanggulangannya, warga juga mendapatkan sumbangan alat berupa
alat komunikasi radio, alat pertolongan pertama, alat peringatan dini, dan
lain-lain.
Gambar 11 Sarana Yang Tersedia di Desa Totolisi
Alat Komunikasi Radio Alat Pengeras Suara
Alat Peringat Dini Alat Pembangkit Listrik (Jenset)
Alat Pertolongan Pertama (Tandu & Obat-Obat PP)
89
4. Tingkat Kesiapsiagaan Desa
Kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari proses
manajemen bencana. Konsep kesiapsiagaan bervariasi menurut referensi.
Nick Carter dalam LIPI-UNESCO/ISDR (2006) mengemukakan
kesiapsiagaan dari suatu pemerintahan, suatu kelompok masyarakat atau
individu, adalah :
" tindakan-tindakan yang memungkinkan pemerintahan, organisasi-
organisasi, masyarakat, komunitas dan individu untuk mampu
menanggapi suatu situasi bencana secara cepat dan tepa/guna.
Termasuk kedalam tindakan kesiapsiagaan adalah penyusunan
rencana penanggulangan bencana, pemeliharaan sumber daya dan
pelatihan personil. "
Kesiapsiagaan pada dasarnya merupakan semua upaya dan
kegiatan yang dilakukan sebelum terjadi bencana alam untuk secara
cepat dan efektif merespon keadaan/situasi pada saat bencana dan
segera setelah bencana. Upaya ini sangat diperlukan masyarakat untuk
mengurangi risiko/dampak bencana alam, termasuk korban jiwa, kerugian
harta benda, dan kerusakan lingkungan (Hidayati, 2008)
Berdasarkan hasil penenlitian, dari 64 responden 37 responden
diantaranya menyatakan bahwa kesiapsiagaan desa mereka masuk
ketegori baik, dimana 18 responden yang menyatakan kesiapsiagaan
desa baik berasal dari desa Bababulo dan 19 responden berasal dari desa
Totolisi. Sedangkan 27 responden menyatakan bahwa kesiapsiagaan
desa mereka masih kurang, dimana 13 responden diantaranya berasal
dari desa Totolisi dan 14 responden berasal dari Bababulo.
90
Masih banyak responden yang menyatakan bahwa kesiapsiagaan
desa mereka masih kurang, disebabkan oleh karena pendidikan dan
pelatihan yang didapatkan responden dirasakan masih kurang dan tidak
berkelanjutan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Tanaka (2005), yang
menyatakan bahwa responden dengan pendidikan bencana lebih siap dari
responden tanpa dibekali pendidikan bencana, namun peningkatan tidak
signifikan. Kesadaran tentang bencana, pengetahuan tentang lingkungan
dan pengalaman menghadapi bencana merupakan sarana informasi yang
memberikan kontribusi untuk peningkatan kesiapsiagaan terhadap
bencana (Patries, 2016).
Hal ini sejalan dengan hasil uji Mann Whitney dimana secara
statistik tidak didapatkan nilai p > 0,05 yang berarti bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan untuk tingkat kesiapsiagaan dikedua desa
tersebut. Namun, berdasarkan hasil beda mean rank, terdapat perbedaan
namun tidak begitu signifikan.
Di desa Bababulo, responden menyatakan bahwa selain karena
pelatihan dan pendidikan kebencanaan yang tidak continue menyebabkan
meraka tidak dapat menyusun dan membuat renstra penanggulangan
bencana secara tertulis dan mendapat legalitas. Selain itu, kurangnya
sarana dan prasarana pendukung di desa tersebut membuat responden
kurang mendapatkan keterampilan terkait dengan penanganan kejadian
bencana, tempat berkoordinasi ketika terjadi bencana dan lokasi pasti
untuk evakuasi bencana.
91
Sedangkan di desa Totolisi, masih banyaknya responden yang
menyatakan bahwa kesiapsiagaan desa masih kurang disebabkan karena
partisipa masyarakat dan pemerintah desa yang masih kurang dalam
penanggulangan bencana. Mereka menganggap bahwa segala kegiatan
penanggulangan bencana hanya menjadi tanggung jawab anggota sibat.
Hidayah (2008), menyatakan bahwa partisipasi masyarakat sangat
penting dalam penanggulangan bencana karena masyarakat di daerah
rawan bencana, bersama-sama dengan pihak yang berwenang, menjadi
"subjek' atau pelaku penanggulangan bencana.
Hal ini sejalan dengan parameter kesiapsiagaan masyarakat dalam
assessment framerwork Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
bekerja sama dengan United Nations for Education / International Strategy
for Disaster Reduction (UNESCO/ISDR) yang manyatakan bahwa selain
pengetahuan, kepedulian masyarakat dalam mengantisipasi bencana
serta adanya kebijakan dan panduan dari pihak yang berwenang
merupakan upaya konkrit untuk melaksanakan kegiatan siaga bencana.
Kebijakan yang diperlukan adalah kebijakan pendidikan publik,
rencana tanggap darurat, sistem peringatan bencana dan mobilisasi
sumber daya, termasuk pendanaan, organisasi pengelola, sumber daya
manusia (SDM) dan fasilitas-fasilitas penting untuk kondisi darurat
bencana. Kebijakan-kebijakan dapat direalisasikan dalam berbagai
bentuk, tetapi akan lebih bermakna apabila dicantumkan secara konkrit
dalam peraturan-peraturan, seperti: SK atau Perda yang disertai dengan
92
job description yang jelas. Agar kebijakan dapat diimplementasikan
dengan optimal maka dibutuhkan panduan-panduan operasional.
Di desa Totolisi, kebijakan-kebijakan tersebut telah dilaksanakan
namun belum dalam SK atau Perda sehingga panduan operasional
secara tertulis belum ada. Tetapi, dengan adanya ketersediaan sarana
serta SDM yang memadai mengindikasikan bahwa desa Totolisi masuk
kriteria Desa/ Kelurahan Tangguh Bencana Madya (BNPB, 2012). Dimana
tingkat ini adalah tingkat menengah, dengan kriteria sebagai berikut:
a) Adanya kebijakan PRB yang tengah dikembangkan di tingkat desa
atau kelurahan
b) Adanya dokumen perencanaan PB yang telah tersusun tetapi
belum terpadu ke dalam instrumen perencanaan desa
c) Adanya forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari
masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan,
tetapi belum berfungsi penuh dan aktif
d) Adanya tim relawan PB Desa/ Kelurahan yang terlibat dalam
kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan dan pendidikan
kebencanaan bagi para anggotanya dan masyarakat pada
umumnya, tetapi belum rutin dan tidak terlalu aktif
e) Adanya upaya-upaya untuk mengadakan pengkajian risiko,
manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, termasuk
kegiatan-kegiatan ekonomi produktif alternatif untuk mengurangi
kerentanan, tetapi belum terlalu teruji
93
f) Adanya upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan
serta tanggap bencana yang belum teruji dan sistematis
Sedangkan desa Bababulo, masuk dalam kriteria Desa Tangguh
Bencana Pratama, dimana tingkat ini adalah tingkatan awal dari Desa/
Kelurahan Tangguh bencana, dengan ciri-ciri, sebagai berikut:
a) Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun kebijakan PRB di
tingkat desa atau kelurahan
b) Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun dokumen perencanaan
PB
c) Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk forum PRB yang
beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat
d) Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk tim relawan PB Desa/
Kelurahan
e) Adanya upaya-upaya awal untuk mengadakan pengkajian risiko,
manajemen risiko dan pengurangan kerentanan
f) Adanya upaya-upaya awal untuk meningkatkan kapasitas
kesiapsiagaan serta tanggap bencana
94
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tidak ada perbedaan yang signifikan tingkat pengetahuan
kebencanaan yang dimiliki oleh responden dari desa binaan BNPB dan
desa binaan PMI.
2. Terdapat perbedaan tingkat pengetahuan rencana penanggulangan
bencana dimana 65 % responden desa binaan PMI memiliki
pengetahuan yang baik
3. Secara klinis/ faktual terdapat perbedaan untuk tingkat kesiapsiagaan
desa, namun hal tersebut tidak begitu signifikan
4. Terdapat perbedaan yang signifikan untuk ketersediaan sarana dan
prasarana desa, dimana berdasarkan hasil observasi didapatkan
bahwa desa binaan PMI memiliki sarana dan prasarana yang memadai
B. Saran
1. Berdasarkan hasil penelitian di Desa Bababulo, didapatkan bahwa
program pengurangan risiko bencana berbasis komunitas yang
dilaksanakan oleh BNPB selama ini tidak continue dalam hal materi
sehingga langkah-langkah dalam penanggulangan bencana disetiap
tahapannya tidak dapat terlaksana dengan baik. Untuk disaranakan
kepada BNPB agar dalam pelaksanaan program selanjutnya untuk
95
lebih berfokus pada satu bencana yang sangat mengancam di desa
tersebut sehingga baik dokumen maupun pelaksana penanggulangan
bencana jelas dan terorganisir.
2. Program kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat yang
dilaksanakan oleh PMI merupakan program hasil kerjasama dengan
ICRC yakni Danish Red Cross, dimana pelaksanaan program ini hanya
berlansung selama 2 tahun. Sehingga disarankan kepada PMI agar
menjalin kerjasama dengan BNPB yang merupakan perpanjangan
tangan pemerintah, untuk meningkatkan dan melanjutkan program
tersebut sehingga dapat menjaga dan meningkatkan kualitas
masyarakat dalam penanggulangan bencana.
3. Dalam rangka menjaga serta meningkatkan kemampuan
penanggulangan bencana warga desa, kegiatan simulasi sangat
berperan penting sehingga disarankan kepada aparat desa agar dapat
memasukan kegiatan simulasi dalam rencana kerja pemerintah desa
(RKPD) baik jangkah menegah maupun jangkah panjang.
96
DAFTAR PUSTAKA
Ahdi, D. (2015). Perencanaan Penanggulangan Bencana Melalui Pendekatan Manajemen Risiko, 5(1), 13–30.
Arifin, M. H. (2007). Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat
Strategi dan Pendekatan. (E. Sudartama, Ed.) (I). Jakarta: Markat PMI Pusat.
Bencanapedia.ID. (2017). Pengurangan risiko bencana berbasis
komunitas - In Penanggulangan Bencana Indonesia. Retrieved from http://bencanapedia.id/Pengurangan_risiko_bencana_berbasis_komunitas
BNPB. (2008). Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. Retrieved from http://www.gitews.org/tsunamikit/en/E6/further_resources/national_level/ peraturan_kepala_BNPB/Perka BNPB 4-2008_Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana.pdf
BNPB. (2012). Perkap BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman
Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. BNPB. (2014). Indeks Risiko Bencana Indonesia 2013 BNPB. Jawa Barat. BNPB. (2015). RENSTRA BNPB TAHUN 2015-2019. BNPB. (2016). Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
http://bnpb.go.id/home/sejarah Damayanti, H. N. (2015). Kajian Kesiapsiagaan Individu dan Rumah
Tangga Dalam Menghadapi Bencana Tsunami Di Kecamatan Grabag Kabupaten Purworejo. Fakultas Ilmu Sosial, 1–124. Retrieved from http://lib.unnes.ac.id/21848/1/3211411028-S.pdf
Dahlan, M. Sopiyudin. (2007). Statistik Untuk Kedokteran Dan Kesehatan.
Edisi 6. Jakarta Dinkes, K. M. (2015). Profil Kesehatan Kabupaten Majene 2014. Hidayat, R. (2016). Tantangan Agen Dalam Mengkonstruksi Masyarakat
Tangguh Bencana Tsunami Di Desa Puger Kulon. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 58. Retrieved from http://repository.unej.ac.id/
97
Hidayati, D. (2008). Paradigma Baru Pengelolaan Bencana Alam Di Indonesia, III(I), 69–84.
ICBRR Central Java. (2009). ICBRR (Integrated Community Based Risk
Reduction). Lassa, J. (2009). Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas 114
(PRBBK). Loleh, S. (2015). Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas
(PRBBK) di Provinsi Gorontalo. Fakultas Kedokteran. Nasution, M. S. (2005). Penanggulangan bencana berbasis komunitas. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka
Cipta, Jakarta. Pamungkas, R. A. dan Usman, A. M. (2017). Metodologi Riset
Keperawatan. Jakarta Pamungkas, R. A. dkk. (2016). Statistik Untuk Perawat Dan Kesehatan.
Jakarta Patries, H. K. dkk. (2016). Kajian Pasrtisipasi Masyarakat Dalam Program
Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas Di Kota Bitung. Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat. (2015). Buku Data Status
Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Barat. Perdana, N. (2016). Menurunkan Risiko Bencana Makassar: Masagena
Press. PMI. (2008). PELATIHAN KBBBM-PERTAMA Panduan Pelatih. Jakarta. Pristanto, A. I. (2010). Upaya Peningkatan Pemahaman Masyarakat
tentang Mitigasi Bencana Gempa Bumi Di Desa Tirtomartani Kecamatan Kalasan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ekonomi.
Puwardarminta. (2006). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. Purwana, Rachmadhi. (2013). Manajemen Kedaruratan Kaesehatan
Lingkungan Dalam Kejadian Bencana. Jakarta Ruswandi, D. (2014). Indeks Resiko Bencana Indonesia. Direktorat
98
Pengurangan Risiko Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan. Jawa Barat
Singhealth. 2014. Basic Disaster Management Support, Singapore Sunarto, & Marfai, M. A. (2012). Potensi bencana tsunami dan
kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana studi kasus desa sumberagung banyuwangi jawa timur. Fakultas Geografi, 1, 17–28. 115
Tanaka. K. (2005). The Impact of Disaster Education On Public
{reparation And Mitigation For Earthquakes; a cross country comparison between Fukui Japan and The San Francisco Bay Area California, USA
Triutomo, S., Widjaja, B. W., Siswanto, R. S., & Yohannes, B. P. (2011).
Panduan Perencanaan Kontijensi Menghadapi Bencana (2nd ed.). Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Retrieved from http://penanggulangankrisis.kemkes.go.id/__pub/files22304Panduan_Perencanaan_Kontinjensi.pdf
UNISDR. (2005). Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Frame Work) 2005-2015 UNISDR. (2006). A. Guide To Community-Based Disaster Risk Reduction
in Central Asia Widjaja, B. W. (2017). Pembangunan Sistem Penanggulangan Bencana
Untuk Pengurangan Risiko Bencana Di Daerah – BNPB.
Yayasan IDEP. (2007). Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat
(Sebelum Bencana)
99
PEMOHONAN MENJADI RESPONDEN
Yth : Ibu / Bapak
Di Tempat
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Munadiah Wahyuddin
NIM : P1508215006
adalah mahasiswi Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin yang
mengadakan penelitian tentang “Tingkat Kesiapsiagaan Bencana
Terhadap Implementasi Program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis
Komunitas Oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Dan
Palang Merah Indonesia (PMI) Di Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi
Barat”
Kegiatan yang diharapkan dari Ibu / Bapak adalah mengisi lembar
pertanyaan yang diberikan oleh penelitian dan menjawab pertanyaan
sesuai petunjuk yang diberikan. Akan saya jaga kerahasiaannya dan
hanya digunakan untuk kepentingan penelit saja serta bila sudah tidak
digunakan lagi akan dimusnahkan. Apabila Ibu / Bapak bersedia, mohon
tanda tangani lembar persetujuan dan mengisi daftar pertanyaan yang
disertai dalam lembaran ini.
Demikian atas perhatian dan kesediaan Ibu / Bapak diucapkan banyak
terimah kasih.
Peneliti,
Munadiah Wahyuddin
100
LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Umur :
Alamat :
Dengan ini menyatakan bersedia dan tidak keberatan menjadi
responden didalam penelitian yang dilakukan oleh mahasiswi Sekolah
Pascasarjana Universitas Hasanuddin yang mengadakan penelitian
tentang “Tingkat Kesiapsiagaan Bencana Terhadap Implementasi
Program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas Oleh Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Dan Palang Merah Indonesia
(PMI) Di Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat” dimana pernyataan
ini saya buat dengan suka rela tanpa paksaan dari pihak manapun dan
kiranya dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Majene, Juli 2017
Responden
(…………………..............)
101
LEMBAR KUESIONER
TINGKAT KESIAPSIAGAAN BENCANA TERHADAP
IMPLEMENTASI PROGRAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA
BERBASIS KOMUNITAS OLEH BADAN NASIONAL
PENANGGULANGAN BENCANA (BNPB) DAN PALANG MERAH
INDONESIA (PMI) DI KABUPATEN MAJENE PROVINSI SULAWESI
BARAT
A. DATA RESPONDEN
1. NAMA : ............................................
2. UMUR : ............................................
3. JENIS KELAMIN : ............................................
4. SUKU / BANGSA : ............................................
5. AGAMA : ............................................
6. STATUS PERNIKAHAN : ............................................
7. PEKERJAAN : ............................................
8. JABATAN : ............................................
9. PENDIDIKAN TERAKHIR : ............................................
10. ALAMAT
a. Desa/Kelurahan : ............................................
b. Kecamatan : ............................................
c. Kabupaten/Kota : ............................................
B. WAKTU PENELITIAN : ............................................
C. PETUNJUK :
Berilah tanda Cecklist (√) sesuai dengan ketersediaan
Keterangan:
SS : Sangat Setuju
S : Setuju
KS : Kurang Setuju
TS : Tidak Setuju
No. Responden:
Kode Responden:
Skor;
102
NO PERNYATAAN SS S KS TS
1. Menurut Bpk/Ibu/Sdr yang dimaksud dengan bencana
adalah peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan masyarakat serta mengakibatkan korban jiwa
2. Menurut Bpk/Ibu/Sdr bencana dapat disebabkan karena
faktor alam dan juga manusia
3. Menurut Bpk / Ibu / Sdr Gempa bumi, tsunami,
kekeringan, angin topan, longsor dan gunung meletus
adalah jenis-jenis dari bencana alam
4. Menurut Bpk/Ibu/Sdr yang dimaksud dengan bencana
longsor adalah ancaman musiman yang terjadi apabila
hujan yang terus mengguyur wilayah sekitarnya
5. Menurut Bpk/Ibu/Sdr penyebab dari bencana longsor
adalah hujan, penebangan pohon secara liar
6. Menurut Bpk/Ibu/Sdr menanam pepohonan, menjaga
kebersihan saluran-saluran air, dan membangun
pembuatan kanal merupakan upaya mencegah
terjadinya banjir
7. Menurut Bpk/Ibu/Sdr Resiko bencana dapat disebabkan
oleh kurangnya pengetahuan masyarakat tentang cara
mengurangi ancaman
8. Menurut Bpk/Ibu/Sdr tersedianya kebijakan dan
panduan tentang organisasi pengelola bencana ditingkat
desa dapat membantu mengurangi dampak bencana
9. Menurut Bpk/Ibu/Sdr tersedianya rencana strategi
penanggulangan bencana di tingkat Desa membantu
ketika terjadi bencana
10. Menurut Bpk/Ibu/Sdr tersedianya peraturan yang
berkaitan dengan Penanggulangan bencana di tingkat
Desa membantu ketika terjadi bencana
103
11. Menurut Bpk/Ibu/Sdr tersedianya organisasi pengelola
bencana di tingkat Desa membantu ketika terjadi
bencana
12. Menurut Bpk/Ibu/Sdr adanya sosialisasi tentang
organisasi pengelola bencana dan protap pelaksanaan
kepada anggota organisasi dan masyarakat membantu
ketika terjadi bencana
13. Menurut Bpk/Ibu/Sdr tersedianya tempat evakuasi atau
gedung tempat pengungsian membantu ketika terjadi
bencana
14. Menurut Bpk/Ibu/Sdr tersedianya Peta Rawan Bencana
membantu ketika terjadi bencana
15. Menurut Bpk/Ibu/Sdr tersedianya rencana sosialisasi
peta bencana kepada masyarakat desa membantu
ketika terjadi bencana
16. Menurut Bpk/Ibu/Sdr tersedianya nomor hotline
informasi bencana membantu ketika terjadi bencana
17. Menurut Bpk/Ibu/Sdr tersedianya rencana pertolongan
pertama korban (obat-obatan, tenaga medis,
peralatan/ambulans)
18. Menurut Bpk/Ibu/Sdr Tersedianya daftar Fasilitas-
fasilitas penting (Rumah Sakit, Pemadam Kebakaran,
Polisi) yang terdekat dari lokasi Desa
19. Menurut Bpk/Ibu/Sdr adanya pengakuan terhadap sistim
peringatan bencana secara tradisional maupun lokal
membantu ketika terjadi bencana
20. Tersedianya sistim penyebarluasan peringatan bencana
dan protap pelaksanaan
104
LEMBAR OBSERVASI
TINGKAT KESIAPSIAGAAN BENCANA TERHADAP IMPLEMENTASI
PROGRAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERBASIS
KOMUNITAS OLEH BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN
BENCANA (BNPB) DAN PALANG MERAH INDONESIA (PMI) DI
KABUPATEN MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT
Indikator Ada Tidak
Tersedianya kebijakan dan panduan tentang organisasi pengelola
bencana ditingkat desa dapat membantu mengurangi dampak bencana
Tersedianya rencana strategi penanggulangan bencana di tingkat
Desa membantu ketika terjadi bencana
Tersedianya peraturan yang berkaitan dengan Penanggulangan
bencana di tingkat Desa
Tersedianya organisasi pengelola bencana di tingkat Desa membantu
ketika terjadi bencana
Adanya sosialisasi tentang organisasi pengelola bencana dan protap
pelaksanaan kepada anggota organisasi dan masyarakat
Tersedianya tempat evakuasi atau gedung tempat pengungsian
Tersedianya Peta Rawan Bencana
Tersedianya rencana sosialisasi peta bencana kepada masyarakat
desa
Tersedianya nomor hotline informasi bencana
Tersedianya rencana pertolongan pertama korban (obat-obatan,
tenaga medis, peralatan/ambulans)
Tersedianya daftar Fasilitas-fasilitas penting (Rumah Sakit, Pemadam
Kebakaran, Polisi) yang terdekat dari lokasi Desa
Adanya pengakuan terhadap sistim peringatan bencana secara
tradisional maupun lokal
Tersedianya sistim penyebarluasan peringatan bencana dan protap
pelaksanaan
105
Lampiran Aspek dan Indikator Kesiapsiagaan Desa/Kelurahan
Aspek Indikator Ya Tidak
Legislasi
1. Apakah telah ada upaya-upaya awal untuk menyusun kebijakan PRB di tingkat desa atau kelurahan? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 4, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
2. Apakah kebijakan PRB di tingkat desa atau kelurahan telah tersusun secara konsultatif dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 4, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
3. Apakah kebijakan PRB di tingkat desa atau kelurahan telah dilegalkan dalam bentuk Perdes atau perangkat hukum serupa di kelurahan? (Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
Perencanaan
4. Apakah telah ada upaya-upaya awal untuk menyusun dokumen perencanaan penanggulangan bencana seperti Rencana Penanggulangan Bencana, Rencana Aksi PRB atau Rencana Kontinjensi? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 7, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
5. Apakah dokumen perencanaan penanggulangan bencana seperti Rencana Penanggulangan Bencana, Rencana Aksi PRB atau Rencana Kontinjensi telah tersusun?
(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 7, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
106
6. Apakah dokumen perencanaan penanggulangan bencana seperti Rencana Penanggulangan Bencana dan Rencana Aksi PRB yang tersusun telah dipadukan ke dalam Rencana Pembangunan Desa atau Kelurahan? (Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
Kelembagaan
7. Apakah telah ada upaya-upaya awal untuk membentuk forum PRB? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 10, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
8. Apakah forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat dan pemerintah, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan telah terbentuk dan mulai berfungsi walau belum terlalu aktif? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 10, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
9. Apakah forum PRB yang terbentuk telah berfungsi aktif dengan program-program pengurangan risiko yang terencana dan diimplementasikan dengan baik?
(Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
Kelembagaan
10. Apakah telah ada upaya-upaya awal untuk membentuk tim relawan/siaga PB Desa/Kelurahan yang terutama akan terlibat dalam tanggap darurat bencana, PRB dan pendidikan kebencanaan?
(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 13, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
11. Apakah tim relawan/siaga PB Desa/Kelurahan telah terbentuk dan memiliki kelengkapan personil dan peralatan yang memadai untuk melaksanakan tugasnya?
(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 13, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
107
12. Apakah tim relawan/siaga PB Desa/Kelurahan telah secara rutin melakukan kegiatan pelatihan, praktik simulasi, dan geladi respons tanggap darurat bagi para anggotanya dan masyarakat, melalui kegiatan-kegiatan yang terencana dan terprogram dengan baik?
(Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
Kelembagaan
13. Dalam upaya pengurangan risiko bencana, apakah sudah ada pembicaraan untuk menjalin kerjasama dengan desa/kelurahan lain, kecamatan, kabupaten, pihak swasta, organisasi sosial dll?
(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 16, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
14. Apakah sudah ada perjanjian kerjasama yang disepakati bersama dengan desa/kelurahan lain, kecamatan, kabupaten, pihak swasta, organisasi sosial, dll?
(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 16, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
15. Apakah sudah ada kegiatan-kegiatan pengurangan risiko bencana yang dilakukan dengan cara bekerjasama dengan desa/kelurahan lain, kecamatan, kabupaten, pihak swasta, organisasi sosial dll?
(Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
Pendanaan
16. Apakah sudah ada upaya-upaya untuk mengumpulkan dan mengalokasikan dana khusus yang akan digunakan untuk upaya tanggap darurat?
(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no.19, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
108
17. Apakah sudah ada dana khusus yang dikumpulkan baik dari masyarakat, kelompok-kelompok di desa, atau pemerintah desa/kelurahan yang dialokasikan untuk tanggap darurat ketika terjadi bencana?
(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 19, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
18. Apakah sudah ada pengelola dan mekanisme penggunaan dana khusus tersebut untuk tanggap darurat?
(Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
Pengembangan Kapasitas
19. Apakah ada upaya-upaya untuk mengalokasikan anggaran desa/kelurahan untuk kegiatan-kegiatan pengurangan risiko bencana, seperti pembangunan tanggul sungai, pemecah gelombang, penanaman pohon, pelatihan kebencanaan, penataan pemukiman, dll?
(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 22, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
20. Apakah sudah ada alokasi anggaran desa/kelurahan yang ditetapkan untuk kegiatan-kegiatan pengurangan risiko bencana?
(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 22, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
21. Apakah sudah ada pengelola dan mekanisme penggunaan anggaran tersebut untuk kegiatan-kegiatan pengurangan risiko bencana?
(Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
109
Pengembangan
Kapasitas
22. Apakah ada upaya-upaya bagi pemerintah desa/kelurahan untuk melaksanakan/mengikuti pelatihan kebencanaan bagi aparatnya, dan menyediakan perlengkapan dan peralatan, sarana dan pra-sarana, logistik, dan personil untuk penanggulangan bencana? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 25, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
23. Apakah pemerintah desa/kelurahan sudah memiliki personil terlatih, perlengkapan dan peralatan, sarana dan pra-sarana, dan logistik untuk melaksanakan upaya pengurangan risiko bencana, operasi tanggap darurat, dan pemulihan paska bencana? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 25, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
24. Apakah pemerintah desa/kelurahan sudah memiliki mekanisme pemeliharaan, pemakaian, dan pengembangan personil terlatih, perlengkapan dan peralatan, sarana dan pra-sarana, dan logistik untuk melaksanakan upaya pengurangan risiko bencana, operasi tanggap darurat, dan pemulihan paska bencana? (Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
25. Apakah ada upaya-upaya awal untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan, kepada tim relawan/siaga bencana desa/kelurahan, tentang analisis risiko, manajemen bencana, kesiapsiagaan, operasi tanggap darurat, dll? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 28, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
26. Apakah sudah ada pelatihan-pelatihan yang diberikan kepada tim relawan/siaga bencana desa tentang analisis risiko, manajemen bencana, kesiapsiagaan, operasi tanggap darurat, dan pengurangan risiko bencana? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 28, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
110
27. Apakah ada praktik-praktik evakuasi dan operasi tanggap darurat bencana yang dilakukan oleh tim relawan/siaga bencana desa? (Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
Pengembangan
Kapasitas
28. Apakah ada upaya-upaya memberikan pengetahuan dan kemampuan dalam bentuk penyuluhan dan penyebaran informasi, kepada warga desa tentang risiko bencana, tanda-tanda ancaman bencana, upaya penyelamatan diri, evakuasi, dan upaya pengurangan risiko bencana? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 31, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
29. Apakah ada pelatihan-pelatihan yang diberikan kepada masyarakat tentang risiko bencana, penyelamatan darurat dan upaya pengurangan risiko bencana? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 31, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
30. Apakah sudah ada praktik simulasi rutin untuk evakuasi dan penyelamatan darurat yang dilakukan oleh masyarakat bersama dengan tim relawan dan siaga bencana desa? (Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
31. Apakah ada upaya-upaya untuk melibatkan warga desa/kelurahan (selain aparat desa/kelurahan) dalam tim relawan/siaga bencana serta kelompok-kelompok untuk tanggap bencana? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 34, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
111
32. Apakah ada lebih dari 30 warga yang menjadi anggota tim relawan/siaga bencana desa/kelurahan, dan terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan simulasi peringatan dini, evakuasi, dan operasi tanggap darurat? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 34, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
33. Apakah ada kelompok-kelompok masyarakat, baik di tingkat RT atau RW atau kelompok lainnya, seperti Karang Taruna dll, yang menyatakan diri sebagai relawan siaga bencana dan melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan simulasi peringatan dini, evakuasi, dan operasi tanggap darurat? (Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
Pengembangan
Kapasitas
34. Apakah ada upaya-upaya untuk melibatkan perempuan dalam tim relawan/siaga bencana serta kelompok-kelompok untuk tanggap bencana? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 37, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
35. Apakah ada lebih dari 15 perempuan yang menjadi anggota tim relawan/siaga bencana desa/kelurahan, dan terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan simulasi peringatan dini, evakuasi, dan operasi tanggap darurat?
(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 37, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
36. Apakah ada kelompok-kelompok perempuan di desa/kelurahan seperti kelompok PKK, dasa wisma, kader posyandu dll, yang menyatakan diri sebagai relawan siaga bencana dan melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan simulasi peringatan dini, evakuasi, dan operasi tanggap darurat? (Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
112
37. Apakah ada upaya-upaya untuk melakukan pemetaan dan analisis ancaman, kerentanan, dan kapasitas desa/kelurahan untuk melihat risiko di desa/kelurahan tersebut?
(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 40, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan
selanjutnya)
Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana
38. Apakah ada dokumen hasil analisis risiko di desa/kelurahan yang dibangun berdasarkan keterlibatan seluruh masyarakat, termasuk kelompok rentan seperti orang tua, anak-anak, penyandang cacat, ibu hamil, dll?
(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 40, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
39. Apakah ada kegiatan-kegiatan di desa/kelurahan yang dilaksanakan berdasarkan hasil analisis risiko tersebut, yang kemudian berdampak pada berkurangnya risiko?
(Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
40. Apakah sudah ada rencana untuk membuat peta dan jalur evakuasi, dan menyediakan tempat evakuasi khusus untuk tempat pengungsian ketika terjadi bencana?
(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 43, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
41. Apakah peta dan jalur evakuasi sudah dibuat, dan tempat evakuasi untuk tempat pengungsian sudah ditentukan dan dilengkapi dengan perlengkapan dasar seperti P3K, obat-obatan, penerangan darurat dll?
(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 43, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan
selanjutnya)
42. Apakah sudah sering dilakukan praktik simulasi evakuasi dan penyelamatan diri bersama warga desa/kelurahan? (Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
113
43. Apakah ada upaya-upaya untuk membangun sistem peringatan dini yang berbasis masyarakat untuk memberikan waktu penyelamatan diri dan aset bagi masyarakat?
(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 46, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
44. Apakah sistem peringatan dini sudah dilengkapi dengan data/informasi, peralatan dan personil yang memadai untuk menjalankan fungsinya, serta mekanisme penyampaian informasi yang cepat, akurat dan jelas kepada seluruh warga? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 46, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana
45. Apakah sudah sering dilakukan praktik simulasi pelaksanaan sistem peringatan dini bersama warga desa/kelurahan? (Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
46. Apakah sudah ada rencana untuk melakukan pembangunan fisik (mitigasi) untuk mengurangi risiko bencana di desa/kelurahan, seperti memperkuat tanggul sungai, pemecah gelombang, bangunan tahan gempa, dll? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 49, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
47. Apakah sudah ada kegiatan pembangunan fisik (mitigasi) yang dilaksanakan untuk mengurangi risiko bencana di desa/kelurahan, seperti memperkuat tanggul sungai, pemecah gelombang, bangunan tahan gempa dll? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 49, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
48. Apakah ada mekanisme pengelolaan dan pemeliharaan pembangunan fisik tersebut untuk menjamin kelestariannya serta upaya untuk menyebar-luaskannya? (Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
114
49. Apakah ada rencana pengembangan ekonomi untuk mengurangi kerentanan masyarakat, baik berupa meningkatkan produksi, memperluas akses pasar, maupun membuat sumber ekonomi lain yang lebih aman dari ancaman bencana? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 52, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
50. Apakah sudah ada kegiatan-kegiatan pengembangan ekonomi yang dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan masyarakat, baik berupa meningkatkan produksi, memperluas akses pasar, maupun membuat sumber ekonomi lain yang lebih aman dari ancaman bencana? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 52, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
51. Apakah ada mekanisme untuk menjamin keberlanjutan pengembangan ekonomi tersebut dan upaya untuk memperluas pelaku ekonomi sampai pada seluruh warga desa/kelurahan? (Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
52. Apakah ada rencana untuk memberikan perlindungan kesehatan kepada kelompok-kelompok rentan seperti orang tua, penyandang cacat, anak kecil, ibu hamil dll, terhadap akibat dari bencana? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 55, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
53. Apakah sudah ada skema program perlindungan kesehatan dan santunan sosial kepada kelompokkelompok rentan seperti orang tua, penyandang cacat, anak kecil, ibu hamil dll, terhadap akibat dari bencana? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 55, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
115
54. Apakah sudah ada pengelola, mekanisme dan prosedur pelaksanaan program perlindungan kesehatan dan santunan sosial kepada kelompok-kelompok rentan seperti orang tua, penyandang cacat, anak kecil, ibu hamil dll, terhadap akibat dari bencana? (Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
55. Apakah ada rencana untuk pengelolaan sumber daya alam, seperti hutan, sungai, pantai dll, untuk upaya pengurangan risiko bencana? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 58, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
56. Apakah sudah ada kegiatan-kegiatan pengelolaan sumber daya alam, seperti pengelolaan hutan, sungai, pantai dll, yang dilaksanakan untuk upaya pengurangan risiko bencana? (Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 58, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
57. Apakah sudah ada mekanisme untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam untuk pengurangan risiko bencana dalam kurun waktu yang panjang? (Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
58. Apakah ada upaya-upaya untuk melakukan perlindungan aset-aset produktif utama masyarakat dari dampak bencana? (Bila ‘Tidak’ pertanyaan selesai, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
59. Apakah ada kegiatan yang jelas untuk melakukan perlindungan aset produktif masyarakat seperti asuransi komunitas, gudang bersama, dll? (Bila ‘Tidak’ pertanyaan selesai, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)
60. Apakah ada pengelola dan mekanisme yang jelas untuk menjalankan dan memelihara perlindungan aset produktif masyarakat? (Pertanyaan selesai)
116
A. Analisis Univariat
1. Distribusi Frekuensi Responden
Jenis Kelamin * Desa Crosstabulation
Desa Total
Desa Bababulo Desa Totolisi
Jenis Kelamin
Laki-Laki Count 16 23 39
% within Desa 50,0% 71,9% 60,9%
Perempuan Count 16 9 25
% within Desa 50,0% 28,1% 39,1%
Total Count 32 32 64
% within Desa 100,0% 100,0% 100,0%
Kelompok Umur * Desa Crosstabulation
Desa Total
Desa Bababulo Desa Totolisi
Kelompok
Umur
Dewasa
Muda
Count 14 6 20
% within Desa 43,8% 18,8% 31,3%
Dewasa Tua Count 14 22 36
% within Desa 43,8% 68,8% 56,3%
Lansia Count 4 4 8
% within Desa 12,5% 12,5% 12,5%
Total Count 32 32 64
% within Desa 100,0% 100,0% 100,0%
Pendidikan Terakhir * Desa Crosstabulation
Desa Total
Desa Bababulo Desa Totolisi
Pendidikan
Terakhir
Sarjana Count 5 8 13
% within Desa 15,6% 25,0% 20,3%
Diploma Count 5 3 8
% within Desa 15,6% 9,4% 12,5%
SMA / Sederajat Count 14 11 25
% within Desa 43,8% 34,4% 39,1%
SMP / Sederajat Count 4 5 9
% within Desa 12,5% 15,6% 14,1%
SD / Sederajat Count 1 3 4
% within Desa 3,1% 9,4% 6,3%
Tidak Sekolah Count 3 2 5
% within Desa 9,4% 6,3% 7,8%
Total Count 32 32 64
% within Desa 100,0% 100,0% 100,0%
117
1. Tingkat Pengetahuan Kebencanaan
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Tingkat Pengetahuan Kebencanaan
Desa Bababulo
32 10 56 30,75 12,381
Tingkat Pengetahuan Kebencanaan
Desa Totolisi
32 10 60 29,94 14,055
Valid N (listwise) 32
2. Tingkat Pengetahuan Rencana Penanggulangan Bencana
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Pengetahuan Rencana
Penanggulangan Bencana Desa
Bababulo
32 5 28 15,88 6,908
Pengetahuan Rencana
Penanggulangan Bencana Desa
Totolisi
32 5 30 16,81 6,986
Valid N (listwise) 32
3. Tingkat Kesiapsiagaan Desa
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Kesiapsiagaan Desa Bababulo 32 35 60 25,88 15,099
Kesiapsiagaan Desa Totolisi 32 39 60 32,88 12,792
Valid N (listwise) 32
118
2. Distribusi Variabel Penelitian a) Crosstabs Tingkat Pengetahuan Bencana
Tingkat Pengetahuan Bencana * Desa Crosstabulation
Desa Total
Desa Bababulo Desa Totolisi
Tingkat
Pengetahuan
Bencana
Pengetahuan
Baik
Count 32 32 64
% within Desa 100,0% 100,0% 100,0%
Total Count 32 32 64
% within Desa 100,0% 100,0% 100,0%
b) Crosstabs Tingkat Pengetahuan Rencana Penanggulangan Bencana
Pengetahuan Rencana Penanggulangan Bencana * Desa Crosstabulation
Desa Total
Desa Bababulo Desa Totolisi
Pengetahuan
Rencana
Penanggulangan
Bencana
Pengetahuan
RPB Kurang
Count 17 11 28
% within Desa 53,1% 34,4% 43,8%
Pengetahuan
RPB Baik
Count 15 21 36
% within Desa 46,9% 65,6% 56,3%
Total Count 32 32 64
% within Desa 100,0% 100,0% 100,0%
c) Crosstabs Tingkat Kesiapsiagaan Bencana
Tingkat Kesiapsiagaan Bencana * Desa Crosstabulation
Desa Total
Desa Bababulo Desa Totolisi
Tingkat
Kesiapsiagaan
Bencana
Tingkat
Kesiapsiagaan
Kurang
Count 14 13 27
% within Desa 43,8% 40,6% 42,2%
Tingkat
Kesiapsiagaan
Baik
Count 18 19 37
% within Desa 56,3% 59,4% 57,8%
Total Count 32 32 64
% within Desa 100,0% 100,0% 100,0%
119
B. Analisis Bivariat 1. Mann-Whitney Test Tingkat Pengetahuan Kebencanaan
Responden
Ranks
Desa N Mean Rank Sum of Ranks
Tingkat Pengetahuan Bencana
Desa Bababulo 32 32,50 1040,00
Desa Totolisi 32 32,50 1040,00
Total 64
Test Statisticsa
Tingkat Pengetahuan Bencana
Mann-Whitney U 512,000
Wilcoxon W 1040,000
Z ,000
Asymp. Sig. (2-tailed) 1,000
a. Grouping Variable: Desa
2. Mann-Whitney Test Tingkat Pengetahuan Rencana Penanggulangan Bencana Responden
Ranks
Desa N Mean Rank Sum of Ranks
Pengetahuan Rencana
Penanggulangan Bencana
Desa Bababulo 32 30,00 960,00
Desa Totolisi 32 35,00 1120,00
Total 64
Test Statisticsa
Pengetahuan Rencana Penanggulangan Bencana
Mann-Whitney U 432,000
Wilcoxon W 960,000
Z -1,256
Asymp. Sig. (2-tailed) ,209
a. Grouping Variable: Desa
120
3. Mann-Whitney Test untuk Tingkat Kesiapsiagaan Desa
Ranks
Desa N Mean Rank Sum of Ranks
Tingkat Kesiapsiagaan Bencana
Desa Bababulo 32 32,00 1024,00
Desa Totolisi 32 33,00 1056,00
Total 64
Test Statisticsa
Tingkat Kesiapsiagaan Bencana
Mann-Whitney U 496,000
Wilcoxon W 1024,000
Z -,251
Asymp. Sig. (2-tailed) ,802
a. Grouping Variable: Desa
121
Tingkat Pengetahuan Kebencanaan Desa Bababulo
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid
35 1 1,6 3,1 3,1
39 1 1,6 3,1 6,3
40 1 1,6 3,1 9,4
43 2 3,1 6,3 15,6
44 4 6,3 12,5 28,1
45 1 1,6 3,1 31,3
46 2 3,1 6,3 37,5
47 1 1,6 3,1 40,6
48 2 3,1 6,3 46,9
49 2 3,1 6,3 53,1
50 4 6,3 12,5 65,6
51 2 3,1 6,3 71,9
52 1 1,6 3,1 75,0
53 1 1,6 3,1 78,1
54 1 1,6 3,1 81,3
55 1 1,6 3,1 84,4
56 1 1,6 3,1 87,5
59 3 4,7 9,4 96,9
60 1 1,6 3,1 100,0
Total 32 50,0 100,0
Missing System 32 50,0
Total 64 100,0
122
Tingkat Pengetahuan Kebencanaan Desa Totolisi
Frequency Percent Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid
39 1 1,6 3,1 3,1
40 2 3,1 6,3 9,4
42 1 1,6 3,1 12,5
43 2 3,1 6,3 18,8
45 1 1,6 3,1 21,9
46 3 4,7 9,4 31,3
47 3 4,7 9,4 40,6
48 1 1,6 3,1 43,8
50 2 3,1 6,3 50,0
51 3 4,7 9,4 59,4
52 1 1,6 3,1 62,5
53 1 1,6 3,1 65,6
55 3 4,7 9,4 75,0
56 1 1,6 3,1 78,1
57 1 1,6 3,1 81,3
58 1 1,6 3,1 84,4
59 2 3,1 6,3 90,6
60 3 4,7 9,4 100,0
Total 32 50,0 100,0
Missing System 32 50,0
Total 64 100,0
123
Tingkat Pengetahuan Rencana Penanggulangan Bencana Desa
Bababulo
Frequency Percent Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid
5 2 3,1 6,3 6,3
7 1 1,6 3,1 9,4
8 2 3,1 6,3 15,6
10 5 7,8 15,6 31,3
11 1 1,6 3,1 34,4
12 2 3,1 6,3 40,6
14 2 3,1 6,3 46,9
15 2 3,1 6,3 53,1
16 1 1,6 3,1 56,3
18 2 3,1 6,3 62,5
19 2 3,1 6,3 68,8
20 2 3,1 6,3 75,0
22 2 3,1 6,3 81,3
24 1 1,6 3,1 84,4
25 1 1,6 3,1 87,5
27 3 4,7 9,4 96,9
28 1 1,6 3,1 100,0
Total 32 50,0 100,0
Missing System 32 50,0
Total 64 100,0
124
Tingkat Pengetahuan Rencana Penanggulangan Bencana
Desa Totolis
Frequency Percent Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid
5 1 1,6 3,1 3,1
6 1 1,6 3,1 6,3
7 1 1,6 3,1 9,4
8 3 4,7 9,4 18,8
10 3 4,7 9,4 28,1
11 2 3,1 6,3 34,4
17 3 4,7 9,4 43,8
18 4 6,3 12,5 56,3
19 4 6,3 12,5 68,8
20 1 1,6 3,1 71,9
21 1 1,6 3,1 75,0
22 2 3,1 6,3 81,3
23 1 1,6 3,1 84,4
25 1 1,6 3,1 87,5
26 1 1,6 3,1 90,6
28 2 3,1 6,3 96,9
30 1 1,6 3,1 100,0
Total 32 50,0 100,0
Missing System 32 50,0
Total 64 100,0
125
Tingkat Kesiapsiagaan Desa Bababulo
Frequency Percent Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid
10 1 1,6 3,1 3,1
11 1 1,6 3,1 6,3
14 1 1,6 3,1 9,4
15 2 3,1 6,3 15,6
16 1 1,6 3,1 18,8
20 1 1,6 3,1 21,9
21 1 1,6 3,1 25,0
22 2 3,1 6,3 31,3
24 1 1,6 3,1 34,4
25 1 1,6 3,1 37,5
26 1 1,6 3,1 40,6
28 1 1,6 3,1 43,8
31 3 4,7 9,4 53,1
33 1 1,6 3,1 56,3
34 1 1,6 3,1 59,4
35 1 1,6 3,1 62,5
36 1 1,6 3,1 65,6
37 2 3,1 6,3 71,9
38 1 1,6 3,1 75,0
40 2 3,1 6,3 81,3
41 1 1,6 3,1 84,4
43 1 1,6 3,1 87,5
48 1 1,6 3,1 90,6
50 1 1,6 3,1 93,8
54 1 1,6 3,1 96,9
56 1 1,6 3,1 100,0
Total 32 50,0 100,0
Missing System 32 50,0
Total 64 100,0
126
Tingkat Kesiapsiagaan Desa Totolisi
Frequency Percent Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid
10 3 4,7 9,4 9,4
12 1 1,6 3,1 12,5
13 1 1,6 3,1 15,6
14 1 1,6 3,1 18,8
15 1 1,6 3,1 21,9
17 1 1,6 3,1 25,0
18 3 4,7 9,4 34,4
20 1 1,6 3,1 37,5
21 1 1,6 3,1 40,6
28 1 1,6 3,1 43,8
32 1 1,6 3,1 46,9
33 2 3,1 6,3 53,1
34 2 3,1 6,3 59,4
35 2 3,1 6,3 65,6
38 1 1,6 3,1 68,8
39 1 1,6 3,1 71,9
40 1 1,6 3,1 75,0
42 1 1,6 3,1 78,1
43 1 1,6 3,1 81,3
46 1 1,6 3,1 84,4
47 2 3,1 6,3 90,6
48 2 3,1 6,3 96,9
60 1 1,6 3,1 100,0
Total 32 50,0 100,0
Missing System 32 50,0
Total 64 100,0
127
128
129
130
131
132
133
134
135