ii
SAJAK SAJAK SUNYI
© Budhi Setyawan
sehimpun puisi
Layout Isi :
Dimas Indiana Senja
Lukisan Cover:
Purnama Sunyi, karya Wahyu Jatmiko
Cat air di atas kertas, 2017
Cover:
Khairul Farid
Ilustrasi
Lukisan oleh Wahyu Jatmiko
Foto oleh Budhi Setyawan
Diterbitkan Oleh:
FORUM SASTRA BEKASI (FSB)
Bekerjasama dengan
PUSTAKA SENJA
Jl. Ori 1 No 9 c Papringan, Yogyakarta
(085741060425)
Cetakan I Juni 2017
ISBN 978-602-6730-00-8
iii
untuk:
Dian Rusdiana
Rifqa Aziza Ramadhani
Fitra Setya Firdaussy
Phiva Mustika Prabawany
Teja Narendra Permanajati
v
Mukadimah
Pengantar atau semacamnya tidaklah mutlak harus ada
dalam sebuah buku. Bagaimanapun yang menjadi hal pokok
dalam buku adalah karya atau hasil tulisan-tulisan yang ada di
dalamnya. Pengantar lebih merupakan ucapan selamat datang
kepada pembaca. Justru pengantar yang memberi arahan atau
bekal awal kepada pembaca dapat berpotensi mengurangi
kemurnian pembaca dalam mencari rasa keindahan, kenyamanan,
bahkan kebahagiaan dari tulisan yang hendak dibacanya. Jadi
para pembaca sangat boleh langsung membaca puisi di dalam
buku ini, dan melewatkan pengantar di sini. Bahkan bisa dengan
bebas seperti misalnya memulai membaca dari puisi terakhir di
buku ini.
Mengumpulkan puisi-puisi dan membukukannya adalah
upaya mendokumentasikan apa yang telah dikerjakan pada
rentang waktu tertentu. Tidak jauh berbeda dengan
mengumpulkan hasil cetak foto dari jepretan kamera fotografer
pada berbagai objek, dan memasukkannya ke dalam album foto.
Jika hasil cetak foto cara menikmatinya dengan dipandang atau
dilihat, maka dokumentasi berbentuk tulisan dinikmati dengan
membacanya. Jadi membukukan karya itu sebuah upaya yang
biasa, sebuah cara atau metode untuk mengatur pengarsipan
karya. Bukan merupakan hal yang khusus, apalagi sakral. Akan
tetapi dapat dikatakan ada usaha serius dari penulis dan pihak
vi
yang terkait untuk belajar memberikan apresiasi terhadap apa-
apa yang telah dilakukan dalam mengisi perjalanan waktu.
Saya membukukan sejumlah 72 puisi di buku berjudul
Sajak Sajak Sunyi atau dapat disebut S3 pada tahun 2017 ini,
setelah hampir 10 tahun yang lalu yaitu pada tahun 2007 saya
membukukan puisi dalam buku berjudul Sukma Silam, yang
merupakan buku ketiga setelah 2 buku saya Kepak Sayap Jiwa
dan Penyadaran pada tahun 2006. Pada penerbitan 3 buku awal
tersebut dapat dikatakan buku sebagai kartu nama. Saya belum
melakukan pendekatan yang baik dan berharap segera jadi buku
saja. Bahkan pada buku S3 ini juga bisa jadi belum dilakukan
upaya secara maksimal dalam persiapannya. Akan tetapi saya
berharap hasilnya lebih baik daripada buku-buku sebelumnya,
walaupun bisa jadi (tetap boleh) dianggap sebagai kartu nama
juga.
Buku ini memuat puisi yang saya anggap satu tema atau
berdekatan, sehingga diharapkan tidak meloncat jauh ragam
penerimaan tafsir dan memudahkan untuk menyusun arus
kenyamanan dalam membacanya. Tetapi jika pembaca menjadi
jenuh, itu risiko yang mestinya diantisipasi dengan menyediakan
makanan ringan dan minuman segar secukupnya. Kecuali sedang
berpuasa. Saya pun belum bergerak jauh dalam menulis puisi,
masih dengan semangat dan kemampuan sederhana. Banyak puisi
yang berasal dari keseharian saja, dan setelah membaca puisi
vii
barangkali tidak ada hal yang istimewa, dan hanya menyisakan
gema suara: kita hanya manusia.
Tentu saya berharap buku ini berkenan bagi pembaca
dan akan terus dibaca. Harapan lainnya semoga memberi manfaat
kepada para pembaca. Akan lebih bagus lagi jika ada umpan balik
yang dapat memberikan arah pada upaya untuk makin baiknya
dokumentasi karya pada tahun-tahun berikutnya.
Saya ucapkan terima kasih kepada Penerbit Pustaka
Senja yang berkenan menerbitkan tulisan sederhana saya, tulisan
yang masih belajar dari saya yang juga masih pembelajar awal
dalam bersastra. Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada para
penyair guru dekat dan guru jauh saya yang tidak saya sebutkan
satu per satu namun diam-diam saya banyak belajar dari karya-
karyanya, teman teman penggiat sastra di Purworejo, warga
Forum Sastra Bekasi (FSB), Sastra Reboan, dan para penyair serta
komunitas sastra di banyak kota lainnya. Dan tentu saja tak lupa,
saya sampaikan terima kasih dan cinta sedalam-dalamnya kepada
keluarga kecil saya Dian, Qiqa, Rara, Iva, dan Rendra.
Selamat membaca. Selamat berkarya. Salam progresif.
Bekasi, 22 Mei 2017
Budhi Setyawan
viii
DAFTAR ISI Ruang Sunyi
1. Di Atas Kata ~ 2
2. Kita Hanya ~ 3
3. Latisan ~ 4
4. Bernaung ~ 5
5. Tak Bisa Sembunyi ~ 6
6. Di Kedaimu ~ 7
7. Risalah Sujud ~ 8
8. Hudhud ~ 9
9. Makrifat Pencarian ~ 11
10. Sembahyang Sunyi ~ 12
11. Pohon Sunyi ~ 13
12. Ingatan Mimpi ~15
13. Rindu Ini ~ 16
14. Buah Sunyi ~ 17
15. Suara dari Lembah ~ 18
16. Harakat Sepi ~ 19
17. Riwayat Pendaki ~ 20
18. Sajak Senyap ~ 22
19. Buah Hujan ~ 23
20. Tentang Doa ~ 24
21. Memuja ~ 25
22. Dari Sir Sampai Tajali ~ 26
23. Bait Keakuan ~ 27
ix
24. Sajak Kayu Bakar ~ 28
25. Jalan Doa ~ 30
26. Puasaku ~ 31
27. Teduh Doa ~ 32
28. Kamar Altar ~ 33
29. Rakaat Kerinduan Padamu ~ 34
30. Syahid Rindu ~ 35
31. Tafakur Sebutir Debu ~ 36
32. Doa di Bawah Hujan ~ 38
33. Mengingatmu Sepi ~ 39
34. Narasi Segugus Awan ~ 40
35. Antologi Sepi ~42
36. Pengembaraanku ~ 43
37. Pada Dada ~ 44
38. Memandang Jalanan~ 45
39. Menggulung Jarak ~ 46
40. Desir Sembahyang ~ 47
41. Digilir Sepi ~ 48
42. Riwayat Nabi ~ 49
Waktu Sunyi
43. Aku Belum Mengenalmu ~ 52
44. Repetisi Pencarian ~ 53
45. Menafsir Sepimu ~ 54
46. Perindu Malam ~ 56
47. Malam Kering ~ 58
x
48. Kamar Malam ~ 59
49. Rumah Malam ~ 60
50. Malam Menggigil Cemas ~ 61
51. Iman ~ 62
52. Pada Akhir Ramadan ~ 63
53. Gunung Waktu ~ 64
54. Pada Jam Tiga Dini Hari ~ 66
55. Sungai Malam Hari ~ 67
56. Setelah Itu ~ 68
57. Penakwil Aura ~ 69
58. Desir Keabadian ~70
59. Seperti Sujud Terakhir ~71
60. Dalam Pejaman Mataku ~ 72
61. Sembilan Kali Menyebutmu ~ 73
62. Di Jalan Puasa ~ 74
63. Waktu Rindu~ 75
64. Risalah Sepi ~76
65. Nubuat Pencarian ~ 77
66. Berbuka Puasa ~ 78
67. Menuju Sebuah Alamat ~ 79
68. Lebaran (1) ~ 80
69. Lebaran (2) ~ 81
70. Rakit Usia ~ 82
71. Membaca Usia ~ 83
72. Waktu yang Bergetar ~ 85
Riwayat Penyair ~ 87
Sajak Sajak Sunyi
2
Di Atas Kata
engkau yang kubayangkan terbang
atau memang penghuni awang awang
kucari lewat zikir dan sembahyang
kukejar dengan kasidah dan dendang
sedangkan diri masih di bawah duga
melumur umur dengan prasangka
namun waktu tabah merawat sasmita
malam sajikan epilog hari fana
nadi yang merambati gunungan doa
menafsir lirih suara di sunyi dada
dengan setapak kecil menuju kerlip lentera
tak khatam jua menguak himpunan rahasia
Bekasi, 2014
Budhi Setyawan
3
Kita Hanya
kita hanyalah uap
dari didih golak
kita hanyalah bayang
dari dunia lakon
kita hanyalah gema
dari alun kidung
kita hanyalah sekumpulan
uap, bayang dan gema
yang tersesat berabad abad
ke ranah kilau fana
Bekasi, 2014
Sajak Sajak Sunyi
4
Latisan
dalam remang kulewati titian rakaat yang rapuh
oleh sebab lembab kediaman
musim yang belum menampakkan geliat
sedangkan di bawah menganga jurang
gelap pekat, seperti tanpa dasar,
aku yang fakir
nyaris raib pikir
mengingat seadanya matahari masa kecil
kakiku yang melangkah
menjelma seperti bermata
meski didekapi bimbang
terus melanjutkan perjalanan
dan bibirku merapal permohonan
akan cercah cahaya
o, malam tiupkan padaku tentang sunyi yang pisau
untuk menyayat selaput yang membaluri tubuh jiwaku
agar dapat kujamah sutra pelukan kekasih
lezat persentuhan yang mengalirkan riwayat
penyatuan lewati tapisan tapisan langit
menuju altar kesejatian
dalam terpejam
jemari batinku meraba raba
menggapai langit cintamu
Jakarta, 2014
Budhi Setyawan
5
Bernaung
angin sore mengarak mega ke bukit bukit
segerombolan kelelawar terbang menembus langit
pandangku menadah sepi ke hamparan ketinggian
di ufuk barat lazuardi, senja pun berangkat perlahan
kini aku kian jauh dari teduh sapa dan masa kecil
dunia menua ungsikan riwayat nurani lindap terkucil
terkenang gema nyaring suara anak anak riang mengaji
dan kerlip lampu minyak terangi ayat ayat pijarkan diri
lalu temaram cuaca beranjak menuju lipatan kelam
aku pun mengetuk pintu rahasia di napas malam
terhisap rabaan sukma oleh cahaya memutikkan bening
bernaung di bawah ranum doa, kucari degupnya dalam hening
Bogor, 2014
Sajak Sajak Sunyi
6
Tak Bisa Sembunyi
aku tak sanggup sembunyi dari tatapmu
meskipun kukenakan berbagai majas dan diksi
dalam menorehkan sehimpunan isyarat yang membersit
dari gema yang tajam menggemuruhkan kepala
pintu dan jendela rumah terbuka di pagi hari
dan terkatup seiring kehadiran malam berwajah legam
begitulah sajak melintas di antara dua keadaan
menyibak perasaan, menyusup ke atas tingkap kenyataan
kuhela hatiku menuju medan medan kesenangan
tak urung kesabaranmu menghadirkan sebuah tarikan
seluruh wilayah adalah luas kelir alam terbuka
dalam genggammu semesta maksud dan pergerakan
Bekasi, 2014
Budhi Setyawan
7
Di Kedaimu aku pejalan tanpa kompas dan peta
hanya merunut pijar getar
yang terbit dari retak dada
embara serupa perulangan
menimbun kemarau
di kantong ingatan
berhias lubang
sampai ku tersesat
ke wilayah jauh dan dalam
asing dan sepi
pertemuan dua kutub suasana
yang merangkum silam dan hari depan
dalam sebingkai panorama
yang merawikan imajinasi dan kenyataan
dalam sebuah ketukan kehadiran
kulihat sebuah bangunan kayu tahun
mengerlip dalam pandangan
apakah itu kedaimu
izinkan aku singgah
melarutkan hausku
melupakan diriku
minum beberapa tempurung tuak kesunyian
lalu biarlah
aku mabuk dan mengapung
dalam arus napasmu
Bekasi, 2014
Sajak Sajak Sunyi
8
Risalah Sujud
keningku hamburkan arus pusaran dalam kepala
panah panah rindu melesat ke udara
mengejar sumber maha cahaya
yang pendarnya merinai di langit terkembang
di atas tanah yang basah oleh impian
sujudku menggugat pengembaraan ruh
menimbang prasasti kesetiaan di perjanjian awal
hingga terdedah dengan segenggam ihwal simpangan
air mataku merambahi luka hati semesta
yang terbawa dalam kasidah senja usia
tak purna hidungku menanam cium
di kebun sajadah, mencatat jelajah lingkar tahun
Bekasi, 2014
Budhi Setyawan
9
Hudhud
1/
sungguh, aku serupa berhutang jika berdiam
karena sayap sayapku yang terlumur sabdamu
senantiasa dalam keriaan tak berbatas
mengepakkan bening titahmu pada semesta
2/
paduka, telah sesenja ini hamba menghadap
karena ada gulungan waktu memberati jambul
yang berisi ranah berkilau
kerajaan bersinggasana kecemasan
bermenara kegelisahan
dan bersemayam di pucuk tampuknya
perempuan bermata hikmah
yang berjalan dalam selimut kabut
mencari kiblat napasnya, dan
hakikat perih sunyinya
maka, izinkan hamba bawa surat paduka
untuk hamba sampaikan kepadanya
agar terbuka tempurung pandang
kepada mekar lawah cakrawala
dan undakan saf saf langit
dengan kesaksian awan dan angin
yang menderas dalam darah,
hingga mengekalkan keyakinan
3/
maka,
di sela bisik reranting dan percakapan dedaunan
Sajak Sajak Sunyi
10
di antara ricik sungai dan gemuruh laut
kurukukkan batinku
saat uluran syahadat paduka
menyulut kesadaran matahari di jantung balqis
hingga berlepasan tingkap antariksa
lalu benderang abad abad
menjelma kulminasi cahaya
yang mengilhami derana rindu,
dan terus berdegup nyala di masa kemudian
Jakarta, 2014
Budhi Setyawan
11
Makrifat Pencarian
kukejar jejak jejak tahajud nabi
yang bertabur di udara malam, dan
menjelma kerlip kunang kunang
semakin tinggi dan jauh terbang mereka
mengapung sepoikan desir kerinduan
malam pun berhias dalam keagungan
tak purna jua jangkauku, sukma
dahagaku senantiasa memanggil kalbu langit
yang menyimpan nurani cahaya di sekujur zaman
Jakarta, 2014
Sajak Sajak Sunyi
12
Sembahyang Sunyi
malam masih mendaki dan hampir sampai puncak senyap
saat suara suara kembali ke sarangnya yang pengap
dan kasih udara ingin terdengar lagi sari luhur getarnya
seperti hirupan pertama pada kelahiran anak manusia
dalam sepi malam, kesendirian membangunkan rimbun tanya
kecemasan batin di riuh kekinian, dalam arus pusaran usia
yang merindukan kelegaan musim dengan tempias basah hujan
serta dada yang mekar terlepas dari kejaran beragam keinginan
di telinga langit gema ayat ayatmu terasa makin purba
menikam sunyi gigil sukmaku, tak terbayang nanti bila berjumpa
aku pun bersembahyang cipta dalam semesta gaib jantungmu
dengan debar nadi yang mencari resonansi pada irama degupmu
Purworejo, 2014
Budhi Setyawan
13
Pohon Sunyi
1/
pada rekah fajar, matahari berangsur
lepas dari cangkang horison
untuk mengemanasi setiap wajah yang legam jelaga
menyusupkan cinta pada kata kata yang dingin
menumbuhkan gerak gerak dedaun dan bunga
serta segala yang lalu tumbuh dan kembang
berpijak di bumi fana
2/
pada hari yang kita niatkan
di relung nirmala bulan
napas menyusur kewahyuan di dada langit
kita menahan segala alir, membekukan yang cair
mendudukkan yang biasanya hadir,
menuju kosong nadir
mengendapkan angan, mendiamkan nujum tarian
menarik harum ilham, menyadap pukau keharuan
kita menahan dari hambur keseharian
tak mengucurkan siraman air
tak menaburkan butiran pupuk
pada pepohonan di tubuh kita
biar kemarau kian menerikkan cuaca
memenuhi kebun usia
meranggaskan rumputan liar
hingga pepohonan menjadi seringan mimpi
seperti hendak melanglang
menggapai langit sepi
mengalap antariksa senyap
pucuknya menadah rinai
Sajak Sajak Sunyi
14
percakapan batin langit
yang rekah dengan aura takdir matahari
ruh kita
adalah akar yang bersabar
bersedia untuk kerontang
bertapa di dalam bumi pengembaraan
karena rindu adalah keberadaan
yang teguh menanggung jarak ingin
dalam rahasia hikmah
makrifat sunyi
3/
saat matahari bergulung ke ufuk pulang
meninggalkan wajah bumi yang kian ringan
waktu pun makin silam, samar mengelam
dan kita berharap, hari akan bertahan lebih lama
bertakzim dalam tasamuh penantian kekasih
sementara curah kelegaan yang membersit sesaat
hanyalah wirid menandai detak nadi
untuk selanjutnya rasa kembali
bersemayam ke lubuk hening diri
Jakarta, 2014
Budhi Setyawan
15
Ingatan Mimpi
malam menyerpih ke tingkap tirai kesepian
bulan merangkak di langit, keletihan dalam pikiran
angin pun tertatih menyeret luka kenangan
yang telah memenuhi kebun dan jalanan
mimpi mengharapkan takwil yang lebih terang
akan arus sujudku yang masih saja mengambang
karena seperti jauh bayangan tanah merah
bernyaman dengan usia, menepis renik risalah
di tepian sajadahku, jurang curam menganga
serupa kubang sesal, doa gawal meronta
lidah api julurkan panas menara pembakaran
menggigil batinku dikerubuti kelindan alamat persangkaan
Bekasi, 2014
Sajak Sajak Sunyi
16
Rindu Ini
rindu ini adalah tumpukan waktu
yang terus tumbuh dan menubuh
seluruh ingatan tentangmu
rindu ini adalah tarikan darimu
yang berangsur mengambil keberadaanku
hingga lenyaplah aku
Jakarta, 2014
Budhi Setyawan
17
Buah Sunyi
teruslah berjalan, masuk ke gua telinga
sampai masa di pucuk malam
sampai segala bunyi lenyap
dan yang tinggal hanya senyap
tatap aku dalam pejam matamu
lalu petiklah aku
petiklah
yang terlekap
di ceruk napasmu
kupas, kupaslah aku
sampai habis hijabku
sampai purna telanjangku
hingga di kedalamannya yang pasi
akan kautemui dirimu
sendiri
piatu, termangu
Bekasi, 2014
Sajak Sajak Sunyi
18
Suara dari Lembah
kami hanyalah rumputan yang berada di sebuah
cekungan. tak ada keriuhan seperti dunia jauh di
seberang. tubuh kami hanya merayap dekat, namun
mata kami tetap tengadah, hati kami mengembara
tak terhingga. kami tak takut bertatap dengan
matahari. atau juga bulan jika malam datang.
kesunyian adalah minuman yang kami reguk dari
danau di hadapan, dengan segala dingin perasaan,
entah sampai kapan.
suara dari mulut kami hanya lirih saja, yang
mungkin tak terdengar olehmu. bahkan gerak pun
teramat lamban tak seperti engkau yang sedemikian
cepat melangkahi musim. kau akan berburu jauh
ke seberang ilusi, memasuki kota kota, ruang kaca,
mimbar orasi, dan segala yang menjadi mimpi
dunia. biarlah kami di sini, menunggu lembah ini.
nanti kejemuan akan memelukimu, dan engkau
pun menjadi seperti kanak lagi. mungkin sesekali
kau akan teringat pada kami, dan kami tetap di sini,
menunggumu singgah dalam muhasabah hari.
Bekasi, 2014
Budhi Setyawan
19
Harakat Sepi
mengapa selalu terbit rindu akan kehadiran
untuk membubuhkan pengakuan atas keberadaan
karena sepi yang hampa
adalah ruang bertuba
maka aku terus menjelajah mencarimu
lewat pilar pilar waktu
agar degup menjadi harakat
yang tekun mengirim isyarat
hingga sepi ini berisi dan dapat terbaca
sebagai kasidah hati merawat nubuat cinta
Jakarta, 2014
Sajak Sajak Sunyi
20
Riwayat Pendaki
coba katakan,
sudah sampai mana pendakianmu
karena kabut kadang singgah
bertukar jaga dengan cerah
mereka yang sama sama mencintai cuaca
entahlah,
aku sendiri tak pernah mengukur
meski bumi makin menuju uzur
telah sampai di mana jejakku
namun lamunku selalu terpanggil
pada puncak puncak bukit yang memijar
membersitkan taman surga
yang penuh dengan sajak susu dan madu
dengan musim yang senantiasa remaja
dan kecup angin tak pernah tua
sekarang katakan,
sampai kapan engkau akan berjalan
sedangkan kakimu telah lebam
napasmu ringkih menempuh tubir curam
getar cemas seperti mengalun
mendesak, mendesir nun
aku juga tak bisa menerka
bilakah akhir dari perjalanan kata
karena seperti kumasuki arena permainan
barangkali sebagai keabadian pencarian
bukit bukit yang kutempuh menjauh berlari
saat kukejar dengan sepenuh diri
dan lalu hanya akan terdiam
Budhi Setyawan
21
waktu tak kuterbitkan gerakan
kuingat senja pernah mengajarkan
menangkap hening dengan mata terpejam
akhirnya biarlah kemurnian doa
yang akan menjaga darah nirmala
Jakarta, 2014
Sajak Sajak Sunyi
22
Sajak Senyap
begitu lirih sebuah pesan disampaikan
seperti rintih yang mendaki bukit kelengangan
tertatih sendiri dalam langkah sansai
tanpa pernah tahu bila semua hendak usai
ia yang sedemikian pelan menarik tangan kita
untuk sejenak bersua di sudut ruang senja
mengendapkan kata dari sehimpunan riak riuh
juga dari kelindan perburuan mata yang keruh
mungkin tak akan pernah terdengar oleh kita
bisik hadirnya yang tenang bersama angin sahaja
kecuali rekah kesediaan kalbu untuk bersanding
membuka seluasnya pintu bagi perjumpaan hening
Bekasi, 2014
Budhi Setyawan
23
Buah Hujan
hujan pun runtuh dari dahan dahan awan
membawa pesan haru jantung laut
selepas melewati udara kota desa dan hutan
menyadap bermacam kisah yang membuat waktu hanyut
lapis kelopak kenangan perlahan membuka dan mekar
seperti tersentuhi pekabaran, panggilan nyanyian surga
yang mencurah mencipta sajak dalam arus memusar
menyuburkan kata kata yang menggelombang cahaya
mengapa doa doa bumi telah memanggilnya turun
karena mimpi api telah terlampau kuasa menjalar
maka pohon langit melepaskan ranum buah rimbun
sebelum semesta menyerpih terhampar terbakar
Jakarta, 2014
Sajak Sajak Sunyi
24
Tentang Doa
doa adalah rangkaian tulang dari keberadaan
yang menopang daging harapan untuk bertahan
ketika segala riuh dan pikuk
menyerbu tubuh dari segala pintu
membandang bagai bah menerjang
berangkat dari sungai dendam
legam berkepanjangan
di dalamnya tersusun sumsum
dari buliran keyakinan dan pengakuan
pada nirmala hayat di atas langit
yang mendesir dan mengalir
menderas di pembuluh waktu
membasahi kanal kanal rindu
adalah doa yang menegakkan badan
dalam melanglang ke segala ranah rasian
menerobos panas dan hujan
menembus angin dan bebatuan
dengan bermata panah hening
yang runcing beruliran dan berlumur harum
keabadian
Bekasi, 2015
Budhi Setyawan
25
Memuja
izinkan aku yang lata ini
merindumu sampai tulang
menabung rahasia hati
sampai waktunya pulang
Bekasi, 2015
Sajak Sajak Sunyi
26
Dari Sir Sampai Tajali
kau mendengar alun napasmu sendiri yang lirih
seperti mengangkut serimba hayat, imaji rintih
mendaki bukit wingit yang begitu sepi
bersama kesendirian yang makin lesi
kau mencari yang masih tersembunyi
di balik lipatan kabut di puncak sunyi
dan rimbunan alamat belum tertakwilkan
meski telah dirapalkan mantra penyingkapan
rindu yang kaukandung dalam jantung
bergolak berontak hendak keluar menjelma laung
menjadi darah mengalirkan nada dalam nadi
rekah gerak sepanjang usia, nyanyian budi
Jakarta, 2015
Budhi Setyawan
27
Bait Keakuan
aku berlari sendiri
dari sepi ke tepi
dari luka ke nyanyi
di ladang pencarian
di padang penghambaan
hari hari menjerat sangsi
melempangkan nurani diri
aku berjalan sendiri
dari duri ke nyeri
dari senja ke pagi
di ranah pendakian
di bukit pengharapan
bulan bulan mencatat segala
yang berkeriap di tubir mata
aku berdiam sendiri
dari bunyi ke sunyi
dari jantung ke hati
di pucuk penantian
di ujung penyatuan
tahun tahun telah mabuk
terminum rindu yang khusyuk
Jakarta, 2015
Sajak Sajak Sunyi
28
Sajak Kayu Bakar
aku tahu aku akan menjadi arang
namun telah kutabukan terbitnya erang
dari kejauhan hutan atau dekat kebun
dari berbagai ranah teduh yang rimbun
aku berasal sebagai tegak pepohonan
diliputi lebat ikal daun daun harapan
sebagai bagian ranting dan dahan
aku menuju kering dengan perlahan
mencoba meniru mereka yang berpuasa
menahan segala amuk terik dan dahaga
pada kesepian semula yang temaram
menempuh setapak sunyi yang diam
lewat kegembiraan apa takdir kuturutkan
selain kepada api sebagai penyucian
kuikuti alur perjalanan yang sekejap
sejengkal demi sejengkal menyingkap hijab
mengusaikan waktu utas embara
menanakkan doa doa dengan bara
dari tubuhku yang terbakar
aku hendak kirimkan kabar
mencintai yang dikandung usia
berakhir di kefanaan remah sisa
akhirnya nyala itu pun padam
segala ingatan akan tenggelam
terlepas semua yang bersama hayat
Budhi Setyawan
29
kembali tersimpul pada gulungan ayat
aku tahu aku akan menjadi arang
namun telah kutabukan terbitnya erang
Jakarta, 2015
Sajak Sajak Sunyi
30
Jalan Doa
berbagai jalan telah kita kenali
hanya kusut serupa temali
karena gelegak berpaut diri
kerap menjejakkan duri nyeri
hanya kepenatan kita tangkap
dari pergumulan riuh menghisap tubuh
sementara teriak ruh nyaris tak terdengar telinga waktu
dan isak sunyi merintikkan serpih haru
ke mana pertanyaan akan pulang
karena ruang menanggung beban himpitan
yang diturunkan dari nujum perhitungan
tentang alur nasib dan peruntungan
dan,
akhirnya hanya kepada doa
kita kembali menaruh isi dada dan kepala
karena doa adalah juru selamat semesta
dari taring cemas yang suka memangsa
kerlip rindu dan cinta
Jakarta, 2015
Budhi Setyawan
31
Puasaku
puasaku ini adalah puasanya bumi dan langit
menunggu pesan nirmala bagi semesta
puasaku adalah puasanya jasad dan ruh
menahan dari amuk kasat dan tak kasat mata
adalah rindu tanah saat kemarau
pada hujan untuk mendaur kesuburan
adalah rindu tulang dan darah
pada sepoi kesunyian detak silam
: maka biarlah kesabaran menempuh jalannya
bersama ayat ayat yang dirapalkan musim
kepada pepohonan usia yang menggigil
mencatat daun jatuh hingga sujud penghabisan
: maka biarlah kebijakan menuntun pandang
sukma kepada pencetus rindu semula
yang kuasa menghadirkan jalinan ruang
di segala kisi angan dan penyebutan
Jakarta, 2015
Sajak Sajak Sunyi
32
Teduh Doa
ingatan tentangmu
membekukan kecemasan
cahaya malam pun pendar di ranting kesunyian
lirih jalan napas
makin hunjam
hingga sisakan gema panjang
merasuk senyap selepas hujan
dan suara angin keluar dari lubang seruling
kirimkan lagu lama
lalu terbayang rerumpun bambu
batang batang bergesekan
dengan senandung derit menyayat langit
terlingkar utas sulur dan duri
serta miang yang jatuh ke tanah
bersama selaput kering, pasrah
aku sendiri
aku bersama
sedih sekalian gembira
dan pada doa kutitipkan gugusan air mata
berharap kelak menjadi rumah
yang teduh bagi keasingan usia
Jakarta, 2015
Budhi Setyawan
33
Kamar Altar
sepetak ruang merawat raung dan bayang
membalutnya dengan suara lirih, lebih sebagai gumam
tak begitu jelas kata yang keluar
dari mulut yang setengah tertahan
melafalkan maksud yang telah bertumpuk
di selasar tahun
karena sebagian alamat yang dulu
melintas di redup benak
terikut ke pusaran arus jentera peristiwa
kamar adalah altar diri yang menyimpan sunyi
di antara kepungan gelebah dan elegi
racauan angan dan sengkarut mimpi
lenguh nada dan keluh nadi
juga bait bait ambigu
yang kemudian disisipkan ke dalam nyanyi
membersitkan trenyuh pada kait perulangan
dengan ketukan perih termaktub
di senarai gema berkelindan
ialah yang menentramkan malam dengan rahasia doa
memanjang pada jalan insomnia
yang kadang menjelmakan percakapan sepi
: antara langit dan bumi
Bekasi, 2015
Sajak Sajak Sunyi
34
Rakaat Kerinduan Padamu
seperti musafir lama
aku menempuh petualangan usiaku tanpa peta
dalam lumuran kabut dan temaram cuaca
hanya berbekal bara keyakinan di rimbun sekam pencarian
adalah serbuan wajah kerlap kekinian
menaburkan warna yang menyeret kesunyianku
lindap digerus kegaduhan pukau
kerap terlupa pada kata kata
menyebut atau memanggil namamu
dan kuasa racau dari kemabukanku pada kebanalan derap
menjelma jelaga pada putaran jam resah
maka saat matahari makin condong ke barat
kutunaikan rakaat rakaat
rindu ke dalam semesta tirakat
meniti jembatan dari rerambut mimpi
pesan yang ditanam oleh musim cahaya
sebelum kelahiranku
napasku pun kini sarat olehmu
mengisi segala kisi dan ceruk pembuluh dengan getar
kegaiban semakin memijar
rinduku padamu mencipta gunung nyala
ke langit, ke ubun keheningan
begitu wingit
Bekasi, 2015
Budhi Setyawan
35
Syahid Rindu
aku bukan laron yang takjub
pada kerlip tajam membelah gelap
juga bukan tak tahu panas yang meluah dari api
tapi tak kuasa lagi bertahan
oleh sebuah panggilan yang datang menyerbu
meluluhkan bongkahan ragu
aku tak sanggup menulis sajak tentangmu
karena semestamu telah meliput ke rasaku
tetapi sang waktu tak letih menulis tentang cintamu
ke dalam seluruh ruang dan ceruk usiaku
kuhikmati kegembiraan seperti tanpa sebab
setiap hari aku terbang tanpa sayap
memasuki lapisan langit senyap
juga berjalan merasuk ke jantung belantara
menyelusup ke sanubari samudra
semua melafalkan namamu
tanpa jeda
tak pernah alpa
kubaiatkan napasku padamu
dan tak kuhiraukan lagi tentang makna sampai
karena hijab hijab antara aku denganmu
terus berlepasan setiap kusebut
kebesaranmu dalam hitungan ganjil
hingga terus kutakzimkan detak nadi
mengalirkan haru ke muara sunyi
Bekasi, 2015
Sajak Sajak Sunyi
36
Tafakur Sebutir Debu
kueja kembali kehadiranku
yang tak bernama di haribaan bumi
juga di hadapan desingan planet planet
yang mengabarkan kesementaraan deru
sedangkan duniaku sesak sesat hasrat
berderap ke ribuan ambang, ke licin penampang
ingatan bertubi menyusur getas diri
racau igau berbaur dengan ringkas doa
berlepasan rintik gelisah dan andai
cemas meremas usia tak pernah usai
cahaya musim berkelindan di lingkar sekitar
menyusupkan bulan dan matahari ke pori tubuhku
menjelmakan keriaan alam, kesegaran daun daun
berembun
seekor capung berkali menyentuhkan
ekornya ke muka kolam
lalu suara kelelawar menandai ranum buah buahan
di pepohonan
serta sahutan sekumpulan katak dari ceruk
persembunyian
hingga kemudian gerimis tumbuh
memercikkan getar rindu bertempias
o, ilusi selintas yang segera tuntas
aku cuma sebutir debu
angin menerbangkanku ke tempat tempat terjauh
ke nadi jalanan, ke denyut batu batu
juga ke detak ranah ranah tak kukenali
kunyanyikan lagu petualangan di arus siang
dan malam melindapkan suaraku bersama dingin
Budhi Setyawan
37
lalu membiarkanku sendiri
meraba arah kiblat, menyusun sembahyang sunyi
membaca ayat ayat, mengejar makna ruang hayat
saat merekam gilir napas piatu
dari rahim pasi waktu
lahir bulir bulir haru
satu per satu
Jakarta, 2016
Sajak Sajak Sunyi
38
Doa di Bawah Hujan
petir memekik merobek sepi
saat angin melindapkan irama hari
dan kilat yang menjalari langit
menjadi obor bagi kuncup cemas
lalu mendung yang tergantung melepaskan
pegangannya dari pundak langit yang hening
jatuh menjadi serbuk nyala rindu
menggenangi remah waktu
kupejamkan mataku dengan keras
hingga aku tak lagi tahu
mana yang lebih deras
air hujan atau air mataku
tetes tetesnya menghidupkan mata air
ayat ayat yang mengalir menyirami
pohon pohon anggur
di kebun keabadian
Jakarta, 2016
Sajak Sajak Sunyi
40
Narasi Segugus Awan
kita adalah tubuh tipis berlapis
yang tersusun dari sekumpulan angan
hasrat memadat
menjalani takdir pengelana
mendaki undakan langit
dengan perlahan sembari mengingat kilasan musim
yang tertanam di lahan kesunyian
kehadiran dan kepulangan
hanya hamburan perulangan
riwayat yang mengeja gelaran jentera waktu
membaca alamat ruang
keberadaan yang tekun mencari
pengakuan di halaman kitab purba
yang berkelindan isyarat
kesementaraan dan keabadian
berapa panjang perjalanan kita
mungkin cuma fragmen sesaat yang tak tercatat
meski lewat benang layang layang
dapat kita sampaikan kepada anak anak di tanah lapang
kesepian semesta tak pernah lekang
pada akhirnya kita tak bisa memilih di bumi mana
tubuh kita menyerpih, satu satu luruh
mengangsur fana menuju moksa
menjelma rintis gerimis
lalu membiak menjadi cucuran ketika
tak bisa dibedakan lagi dengan tangis
sampai ketiadaan menyimpan
Budhi Setyawan
41
kita tak pernah tahu siapa yang memanggil
dari bilik bilik berhijab temaram
dengan tangan tangan tengadah dan terbuka
Bekasi, 2016
Sajak Sajak Sunyi
42
Antologi Sepi
apakah kau telah mengenal elegi musim yang khusyuk
mengaji sepi. ia kerap menjauhkan diri dari riuh, kejaran
mata yang membuih keruh. ada nyanyi yang mulai
mempercepat lajunya, meninggalkan tafsir yang tersendat
oleh tumbuhnya gema yang mekarkan tanya. barangkali
hamburan suara itu tak hinggap pada penantian yang telah
menjadi amanat usia dalam kegaiban.
kesendirian menjadi ladang bagi cahaya yang datang lewat
celah sempit di jeda napas. zikir mengalir di sungai nadi,
membawa bayang risau makin menua hari. engkau pun
akan mencoba lebih menajamkan indra, sedemikian
banyak ruang berlalu dan teramat fana. banyak wajah
yang kebingungan kehilangan cermin diri. bukankah ada
yang telah menanti dengan pasti, bersabar sambil menahan
waktu agar tak jadi pasi.
akumulasi renung membuahkan percik embun yang
melumasi ingatan, o, siapa yang memainkan rahasia rasa,
merasuk ke pucuk senyap. pertanyaan memantulkan
gaung, seperti tamparan yang menempelkan pesan:
apakah pemburu mesti membawa hasil buruan di hutan?
wirid putih melangkah sendiri membawa diri, bergantian
ke ruang silam dekapan jauh dan ke usapan dekat begitu
teduh.
Jakarta, 2016
Budhi Setyawan
43
Pengembaraanku
sejauh jauhnya pengembaraanku
kepulangan rindu hanyalah padamu
Bekasi, 2016
Sajak Sajak Sunyi
44
Pada Dada
pada dada
kupondokkan kenangan
untuk membaca ayat ayat
kerinduan
sungai bening mengalir
tempat berkaca langit niskala
setipis rambut dibelah tujuh
batas surga dan neraka
Bekasi, 2016
Budhi Setyawan
45
Memandang Jalanan
memandang jalanan tumpah kendaraan membawa
pemudik, dalam tubuhku ada yang tertarik: jalan
kampung, rumah ibu, kelok sungai, suara unggas,
terlahir tanpa diminta. menyusun sendiri cerita
entah berapa alinea, kisah kisah sunyi dan sederhana.
aku seperti telah di luar bingkai kisah itu, berulang
kuketuk untuk masuk, namun pintu pintu masih
mengatup. selama ini waktu menyeretku terlalu jauh,
pada ruang ruang berkabut. o, di mana aku, siapa
aku. teriakku membentur tembok tembok kota, dan
lenyap terhisap abai dunia.
kutempuh jalan kota ini ditemani seberkas kenangan
tersisa, menyusur kesangsian berbaur aroma luka.
dan di bawah gerimis tua, kusembunyikan air mata
bersama doa doa lama.
Jakarta, 2016
Sajak Sajak Sunyi
46
Menggulung Jarak
tersebab apa
kobar rindu menggulung jarak
membakar segala perintang
mencipta riwayat bagi jalan
penempuhan menuju haribaan
kekasih yang mendiami seluruh arah mata angin
sepoi pun mengalir ke ujung napas
bisiknya menggetarkan dada waktu
biar matahari mati
bulan padam
bintang bintang menghilang
ingatan pada kekasih terus nyala
jadi petunjuk langkah keyakinan
menyatu bumi langit dalam desir
mimpi tetap terjaga dalam kegaiban
rasa yang meluap
karena kemabukan telah mendaki puncak
mencari obat penawar yang tak bisa ditawar
telah memburu
telah diburu
detak detik mengetuk ruang
membiru
pada kedalaman risalah haru deru
pertemuan tak mengakhirkan riwayat rindu
Bekasi, 2016
Budhi Setyawan
47
Desir Sembahyang
berawal dari suara panggilan yang mendatangi
serambi dengar
mengirim debar
seperti mengingatkan pada penempuh
lorong kesibukan
apakah kau nyata berada
dalam arus permainan dan canda
kesiaan dan kerugian
masa masa menua
dadamu mengupas suara yang terus berulir merasuk
ke dalam pori dan pembuluhmu
dengan begitu khusyuk
lalu mencipta saf saf berjenjang
menabung sujud untuk menyusun wujud
di bentang tanah yang menyentuhkan desir manah
sekadar persinggahan sesaat untuk mengambil bekal
menuju keabadian cahaya
kau dalam lumur lengang
seperti ada gema doa memanjang
mengharap amin
dalam cuaca yang makin dingin
: hidup serupa cuma bayang bayang
Jakarta, 2016
Sajak Sajak Sunyi
48
Digilir Sepi
kita adalah para pejalan
yang terus mendaki
makna di tingkap kata kata
menyusur puncak puncak bahasa
yang menderetkan nada
selalu menjelma lagu baru
dan menarik tafsir untuk diburu
segala keriuhan cuma pelipur
kesementaraan bagi batin kita
yang risau menunggu
kepastian bertemu
ayat ayat sepi diri
tak ada nyanyi abadi
akan berhenti pada nada dasar
kepasrahan yang sunyi
bersemayam di lembah sadar
seusai sekumpulan ingatan waktu
tanak menandai deru
kita pun rebah
hingga tinggal sepah
Bekasi, 2017
Budhi Setyawan
49
Riwayat Nabi
kau tentu masih menyisakan tanya pada gugus riwayat
yang menggumpal dari risalah kesunyian. bahwa
dikabarkan oleh langit pada ruas ruas abad untuk
membelah deru, untuk menandai kurun yang sesak oleh
seteru. bukankah langit telah mengatakan: ia datang dari
tempatmu berpijak, lalu menjadi awan dan turun
menjelma hujan untuk menyuburkan tandus hatimu,
memadamkan api tubuhmu.
lalu sebagian darimu menyumpal telinganya dengan
lagu dunia yang melalaikan, juga menutup matanya
dari huruf huruf yang menyusun nubuat. tahun tahun
melesat dari busur dendam menuju entah, keasingan
ruang dan waktu yang gerah. semakin kencang
perburuan hingga semakin terlepas diri dari lingkar
perjanjian di tingkap sunyi. akan tetapi seperti tak
tersedia secelah jeda atau serambut diam untuk
bertanya sebenarnya hendak ke mana laju usia.
tiba tiba dunia keriput dan tua. sebagian darimu teringat
buah terlarang, laut terbelah, patung dengan kapak
tergantung, pengap perut ikan, bayi mahir berbicara,
dan jari tangan kucurkan air minum. ingatan yang
kembali nyala, kerlip yang terabaikan dalam perjalanan
mencari hamburan mozaik rahasia.
Bekasi, 2017
Sajak Sajak Sunyi
52
Aku Belum Mengenalmu
aku belum mengenalmu, ketika subuh meluruh pelan
dari kuncup waktu. embun masih bertengger di
dedaun mimpi. sisa kesunyian masih tersangkut di
dahan dingin. lalu pagi mulai mengangsur rabaannya
ke lingkar penjuru, berulang menyusupkan partikel
partikel yang mencetuskan awal tarian yang menderu.
aku belum banyak mengenalmu, tatkala siang
mengangkut hari ke puncak terik. telah terlewati
beberapa alinea penempuhan, namun masih saja
belum kuasa untuk menceritakan, segala kesan dan
makna yang mekar di jalan. entah mesti berapa kali
mengeja agar dapat terhisap segala yang suar dan
mengirimkan debar.
aku belum sepenuhnya mengenalmu, saat lautan
seperti kian meluas, mewadahi ombak yang terus
melafalkan zikir pengagungan. pun senja kian masak,
dengan matahari yang lindap ke ceruk persembunyian.
ada semacam sutra bisikan untuk kembali mencipta
repetisi penelusuran, lebih hening dan dalam, sebelum
yang terang benar benar tenggelam.
Jakarta, 2014
Budhi Setyawan
53
Repetisi Pencarian
dalam desak gelebah
tentang yang menunas dalam fikrah
atau seri muka yang terbit
dari tingkap tualang
betapa derap perjalanan
serupa rakaat pencarian
yang selalu berulang
dan metafora angin
mengering membasah
membaluri tubuh waktu
sepanjang penelusuran napas
mengangkut nujum kehadiran
ribuan bayang restu alam
terdedah
o, sepertinya
tak
khatam jua:
membaca tanda tanda
meraba makna makna
Bekasi, 2014
Sajak Sajak Sunyi
54
Menafsir Sepimu
ada sisa seranting senja
tersangkut di jendela, ketika jemari malam
mulai mengatupkan pintu hari
dan aku seperti terhisap ke dalam lorong
misteri. segala atraksi dan tarian
perlahan mengendap ke bawah tapis napas
menjadi artefak yang tiba tiba
menjelma prasasti muram
mempertanyakan tentang kisah fana
lalu tangan malam meraba
menjamahi skenario langit yang terhampar
jangkrik mengirim salam kepada belalang
dan serangga malam yang lain,
untuk menggubah lantunan kasidah
menyambut kepak takzim alam
khayal khayal gaib bangkit
menerobos gigil
membangunkan sepiku
di kejauhan laut pasang
memercikkan riak roman ke bulan
mengombak kerinduan
dan gunung mengirimkan anginnya
mendesirkan halimun
rasa piatu yang purba
hingga pada kuntum dini hari
yang hampir mekar. segugusan kata
menguar menggugatkan gelebah,
Budhi Setyawan
55
yang tak sampai sampai
kureka dalam anyam angan:
tentang sepimu
yang tak mengenal
awal dan akhir
pada bibir fajar
kesepianku tergugup mengeja alif
yang senantiasa berdiri
menegakkan wirid di lidah, jantung,
kalbu, tangan, kaki semesta
setia menempuh rahasia kalam
mengatasi musim musim
yang gawal membaca
hakikat dan tanda
Jakarta, 2014
Sajak Sajak Sunyi
56
Perindu Malam
1/
sebagai lelaki, ia tertakdir untuk tegak berdiri
berkhidmat pada alif yang tabah
paling depan membabat hutan
dan gerumbul yang membebat pandangan
lalu menjelmakan taman
2/
dengan merunut sabda dikara
ia bersetia menekuni rintisan pijar
melompati segala duri desahan
yang kerap menggeliat mencuat
julurkan lidah ratap
di sela tubuh kesepian
kerinduannya pada kekasih
telah mendaraskan ayat kemabukan
di malam yang kuntum madrasah
memucuk tebing keyakinan
yang rekahkan wewangian firdaus
ke seluruh penjuru tafsir
3/
di kelopak sepi
ia ketuk pintu muhasabah
jalan setapak memasuki tubuhnya
menjenguk timbunan jejak dan peristiwa
untuk mengenal siapa dirinya
dan setelah hembusan napas fajar
ia hirup aroma mawar melati
Budhi Setyawan
57
menjadi perambah semesta alif lam mim
lelatu rahasia langit malam
yang berpendar di sekujur usia
Jakarta, 2014
Sajak Sajak Sunyi
58
Malam Kering
malam kering
tandus dan retak retak
karena kerap kita sembunyikan
tetes tetes rindu tahajud
di lubuk kantuk
meski jemari tahajud
mengulurkan jamahnya ke pelupuk
namun terlampau sering
perisai mimpi menepisnya
dan lalu tersisa
potret dada yang ternganga
waktu merintih, terluka
Bekasi, 2014
Budhi Setyawan
59
Kamar Malam
kumasuki sebuah kamar yang dalam dan dingin
ada pijar lentik penerang, membuihkan bayang
dan kembali bertunas pertanyaan dari lubuk diam
hasrat menawarkan letih, usai seharian berburu
memintas rezeki di antara kelindan kecemasan
ke dalam selarik doa, tubuh pasrah kusodorkan
hanya igau dan dengkurku saja masih mengemuka
di atas tangan mimpi yang meraba raba
ke mana muara segala rahasia di kelam usia
Bekasi, 2014
Sajak Sajak Sunyi
60
Rumah Malam
kususun batu bata rakaat
di malam jauh sepi
kepiatuan menikam diri
angin meniupkan sepoi elegi
membawa kerlip silam risalah
tempat berlindung dari gelisah
belum jua sanggup meninggi
dinding berkelok dalam gamang
merupa rumah setengah jadi
Bekasi, 2014
Budhi Setyawan
61
Malam Menggigil Cemas sepi makin mengerutkan ruang dan lingkup suasana nyaris lengang hiruk pikuk kata telah berada di ilusi seberang pun gerak gerak hari esok tinggal bayang telah terbang menjauh burung malam menyisakan ruam waswas di detak jam lalu terbit suara kepak lirih dan berat apakah getaran sayap izrail yang hendak mendekat memucat warna langit di pucuk diam sesiapa pun akan gegas lunaskan seribu niatan menegak bulu kuduk, dan tubuh terpuruk diburu cuaca rembang kelabu, dingin menikam kelu
Bekasi, 2014
Sajak Sajak Sunyi
62
Iman
serupa laut yang pasang dan surut
dengan deburnya membersitkan haru
perasaan pun membukit dan melembah
di antara gemuruh tafsir cuaca
angin dunia rajin mengirim ucapan
seperti belai kekasih lekapkan hangat
memerangkap napas hari hari
ke dalam pagut degup yang lena
di sepanjang pantai usia
tuhan
terlupa dalam suka
tersebut dalam duka
Purworejo, 2014
Budhi Setyawan
63
Pada Akhir Ramadan
pada akhir ramadan
kita akan sedemikian kesepian menempuh riuh
hanya ruh kita yang mengenang ketika
lapar dahaga yang cahaya
lemas yang menyengatkan daya
pada akhir ramadan
kita seperti akan kehilangan kekasih
yang pergi menempuh senyap petualangan
dan tahun depan kembali datang lebih dewasa
sedangkan kita belum beranjak
dari ruas kusam alif ba ta
Jakarta, 2014
Sajak Sajak Sunyi
64
Gunung Waktu
aku lambaikan dambaku
pada haru hijau yang mengalir
yang menyimpan lirih lagu
dengan partitur desir
dari puncak gunung waktu
di kejauhan tatapan tafsir
kepadamu kukisahkan
segala raungku yang diabaikan zaman
di gunung beku, di jalan berbatu
dalam balutan kabut cuaca batin
dan butiran ingin yang angin
kulangsungkan pendakian
di jalur sungsang angan
lewati tebing demi tebing
yang meruncing
yang mengintip kegawalan doa
di gua napas yang gigil
oleh kesepian sukma rasa
yang terus memanggil
musim sansai ketika sampai
di telaga, aku serupa jelaga
di kawah, aku telanjang pasrah
kudedahkan segala rahasia
tentang retak dada
oleh tikam kemarau
dan zikir yang parau
o, keagungan biru rindu
tenggelamkan aku
Sajak Sajak Sunyi
66
Pada Jam Tiga Dini Hari
pada jam tiga dini hari
kutatap langit dilekap mega nyeri
dalam redup cahaya
dan cuaca diam sesepi dada
aku bertanya pada sepoi angin
tentang rinai doa yang membasahi ingin
seperti kata tersapih dari bahasa
mencari jawaban di lapis senyap rahasia
hari menjadi kian samar dan silam
pagi pun berangkat menyisakan raut suram
segala yang tak terucap perlahan menjelma derai
dan waktu menyerpih dalam buih yang terlerai
Jakarta, 2014
Budhi Setyawan
67
Sungai Malam Hari
ada percik tafsir yang mengalirkan panas
menerpa dinding kamar mengunggah cemas
tidurmu dengan lumuran gelebah gelisah
di hampar malam yang mengawetkan kesah
terpisah dari kata yang menyusun percakapan ramai
tersapih dari tawa masa kanak yang rinaikan derai
beruntun terbit gumam yang mencari pelegaan
seperti guntur yang tak juga memetik sahutan hujan
tanganmu meraih bayang di tingkap ingin
namun yang kaudapat cuma rabaan angin
di luar masih terang dan jalanan dalam riang deru
dalam kepalamu bersemayam kelam sepi yang batu
hanya sosok doa yang sanggup terus berjalan
tak letih terus mengetuk pada pintu keajaiban
pangkal matamu terus mencipta sungai
keperihan meluap pada malam yang sansai
Jakarta, 2014
Sajak Sajak Sunyi
68
Setelah Itu
ada arus yang keras dan menderas
menembusi ruas ruas waktu
hingga semua napas menjadi deru
bayang kegembiraan bangkit berdiri
lalu menyanyi dan menari
mengisi derap di pembuluh hari
namun keriap gerak hanya sesaat lewat
setelah itu sunyi
setelah itu sunyi
Jakarta, 2014
Budhi Setyawan
69
Penakwil Aura
gugus tahun kirimkan perangai musim
teduh rindu melindung seperti rahim
cuaca membersitkan kelindan warna
tubrukan angin berebut bahana
bulan dan bintang di dada malam
menjadi penerang mengeja kalam
terbit getar bumi dan getar langit
ruh menghuni takdir yang wingit
gelombang angan mencipta nyala
serupa nebula di puncak kepala
percakapan sepi suar terucap
pandang batin tunjam mendekap
tersarikan dalam almanak tafsir
tirakat sunyi tak pernah berakhir
Bekasi, 2015
Sajak Sajak Sunyi
70
Desir Keabadian
munajatku adalah segenggam sapa perkenalan
yang kukirimkan kepada wajah langit
sembari menakar arah percakapan getar
pada wajah musim yang kerap berhijab
pengembaraanku adalah mendaras mimpi
dari sepi ke sepi dan segala perulangannya
meraba putaran suar hasrat semesta
yang disemburatkan kepak rasi bintang
napasku adalah menarik dan hembuskan nama
yang bersemayam di jantung keberadaan
ketika ingatan mengirimkan silir rindu
untuk bertahan pada ragam kunjungan tafsir
Bekasi, 2015
Budhi Setyawan
71
Seperti Sujud Terakhir
alam memanjat ketinggian, membubung menuju tujuh
martabat langit, mengisahkan perjalanan ruh untuk
mengenali diri. rumpun angan, perdu sangka, dan
geragih peristiwa ikut terangkat, berputar putar di
sekitarku, terus naik menuju awang awang hampar sepi
tak berpenghuni. entah gelap atau terang yang terbawa,
namun getarnya mengirimkan haru ke jantungku.
detakku tak henti menakwil aura, lakon yang dibawa
oleh ribuan kerjapan cuaca.
maka kubenamkan sujudku, kutenggelamkan diri pada
lubuk diam paling sunyi. inikah akhir dari pengembaraan
angan menurutkan jalan ingin. sementara angin makin
mendekati sarangnya, sebagai pintu membebaskan doa
dari tindihan harap dan bayang kenikmatan. juga
melepaskan rasa dari dekap rencana rencana. karena
sebagai penempuh takdir sampai batas akhir, tak
semestinya berderap meminta, tetapi cuma bisa tekun
menerima. pada segala yang tiba, kerlip tunaskan daya.
lalu keheningan tajam memintas kalbu, terbit gigil
terbayang tebasan waktu.
Bekasi, 2015
Sajak Sajak Sunyi
72
Dalam Pejaman Mataku
saat malam menutup pintu hari
aku tiriskan lelah pada mulut sepi
kukatupkan kedua daun kelopak
meliburkan rekaman warna sejenak
dalam pejaman mata kunyalakan pandang
yang tak teraba oleh retina nyalang
kulihat wajahmu memenuhi segala penjuru
mengirimkan rinai basah butiran haru
selama ini edaran lingkar sengkarut tatap
hanya melahirkan riuh koloni ratap
kaki berlari mengejar jentera musim
menguar suara silam kedalaman rahim
isyarat melepas debu makin menebal
kembali pada kalimat di alam misal
sebelum matahari leleh dan mencair
merasuk ke dalam pejaman mata terakhir
Bekasi, 2016
Budhi Setyawan
73
Sembilan Kali Menyebutmu
sembilan kali menyebutmu
adalah menggesekkan seutas sembilu
menyayat nadi sejarah yang kucurkan darah rindu
setiap kata adalah pencarian
kepada makna keberadaan dan kehadiran
di setiap jeda gerak pengucapan
akan selalu tumbuh nadi baru
sebagai jalan pengakuan detak deru
mengekalkan ruang dan waktu di lingkar haru
Bekasi, 2016
Sajak Sajak Sunyi
74
Di Jalan Puasa
kita adalah penempuh
mencari musim teduh
dengan melewati kemarau api
yang menyimpan ayat diri sepi
terbayang sepoi lembah biru
dengan sungai berarus susu dan madu
kita adalah perindu
yang menunggu temu
dengan berjalan melintasi padang gurun
menuju rimbun kebun
anggur di seberang hampar pasir
yang tawarkan basah dan desir
saat senja mengetuk pintu malam
sebuah puisi putih dalam ruh tertanam
Bekasi, 2016
Budhi Setyawan
75
Waktu Rindu
begitulah rindu, tak pernah letih untuk terus mengasuh waktu.
kau dan aku adalah sepasang sepi yang terus mencari tapak
tapak detak untuk mengudarakan nyanyi. musim musim puasa
akan terus menyambangi bentang usia, kau dan aku tak
sepenuhnya memiliki kuasa. pada setiap lakon dan peristiwa,
hanya mengikuti jalan yang telah ditunjukkan cahaya pada
kerlip awal mula.
aku dan kau adalah sepasang haru yang tak bisa diam pada
ranah ingatan bisu. bersusulan bayang dan imaji di laju darah
seperti menguji derap pada arah surga yang masih terhijab.
kemarau seperti tali yang teregang panjang, menghamburkan
terik ke liang pori pori hari. menerjemahkan dahaga sebagai
labirin yang mesti ditempuh dengan selidi keyakinan yang
bara.
kita adalah pencari keabadian di hampar kefanaan, yang kerap
kita rayakan dengan perulangan takzim bumi kepada langit.
tak pernah terurai sulur kegaiban yang merimbun di ruas
penantian begitu wingit. kita berkiblat pada cinta, muara
seluruh geliat arus sembahyang dan doa doa, namun tak
pernah tahu bilakah ayat ayat sunyi menjelma makna.
begitulah rindu, tak pernah letih untuk terus mengasuh waktu.
Bekasi, 2016
Sajak Sajak Sunyi
76
Risalah Sepi
senja menitiskan gerimis
kepada bibir yang menadah hujan
bersama wirid wirid kesunyian
Bekasi, 2016
Budhi Setyawan
77
Nubuat Pencarian
sejauh jalan pencarianku
adalah kembali pada pelukmu
Jakarta, 2016
Sajak Sajak Sunyi
78
Berbuka Puasa
saat tiba berbuka atas setiap puasaku
kuminum leleh madu dari bibirmu
Jakarta, 2016
Budhi Setyawan
79
Menuju Sebuah Alamat
sebuah nama alamat lahir dari rahim sepi. memburu
seperti sekawanan lebah terbang, menaburkan bayang
dan menebarkan ngiang. gemanya memanggil rindu
untuk bangkit, dan menawarkan pencarian sendiri, ke
dalam pusaran gua tersembunyi.
ricik air di kali kecil, kersik daun daun didesak tangan
angin, menjadi bagian dari lanskap penempuhan.
remang memayung, matahari masih tersekap oleh
mendung. ruang menjadi serupa rimba yang menyimpan
rekat rahasia, dan mengarsir gamang tafsir di bukit dada.
adalah penyebutan nama berkali, seperti kerja sunyi
membuat jembatan untuk mendekatkan pada wajah
yang menjanjikan peluk dan ciuman. meluruhkan
mendung menjadi hujan, memadamkan tafsir keraguan.
lalu menjelma alamat yang menawarkan kemabukan,
secawan demi secawan.
Jakarta, 2016
Sajak Sajak Sunyi
80
Lebaran (1)
kumandang takbir menguar dari sepi dada
yang telah melewati pintu kemarau
berduyun duyun naik ke langit
lapar dahaga kemarin menyusun mendung
di ketinggian semesta
lalu sepoi mengalir angin dari wirid
menurunkan deras hujan mawar ke bumi
tak ada yang berlari untuk bernaung
karena hujan membukakan sekat ruang
meluaskan jalan bagi takzim pengucapan
kembali ke masa kecil yang menyimpan terang
mengeja aksara hijau di lembar turutan
mengusapi dada dengan harakat bunyi
meraba jeda ke dalam tirakat sunyi
namun kedatangan hari begitu gegas
sementara ada yang masih tergagap dalam napas
percakapan pun belumlah berasa dekat
tiba tiba ia begitu terburu melesat
tinggal diri berjelaga berdiri mematung
membiarkan air mata menjadi pejalan
menyinggahi ruas ruas usia di tingkap angan
Jakarta, 2016
Budhi Setyawan
81
Lebaran (2)
berbekal rasa sesal yang telah kumal
kuberburu maaf di celah celah pintu
pertemuan yang belum sampai pada percakapan
karena masih terjuntai bayang bayang
silam yang menggelar jarak
kisah bertaut ujub
waktu membatu dalam dingin
ditumbuhi lumut yang melebat
sendiri dan seperti melupa
pada ayat ayat yang mendekatkan
wajah langit dan bumi
hingga mengakrabkan pada sebuah nama
mengekal cahaya
memenuhi detak semesta
kusiapkan satu kata
yang memuat rintih, juga merangkum ingatan perih
keusangan bagi riwayat kediaman
dan rindu telah meluap
untuk bertukar kabar
dengan uluran tangan yang putih
membuka pintu
kepada catatan yang membasuh
lembar lembar musim di arah depan
Jakarta, 2016
Sajak Sajak Sunyi
82
Rakit Usia
dan setiap bilah rasa sakit kurangkai menjadi rakit
untuk menyusur riwayat ke hulu sungai air mata
mencari pijar kelahiran pertama
Bekasi, 2016
Budhi Setyawan
83
Membaca Usia
usiaku ingin menuju perbukitan di balik kata yang telah
menumpuk dan menebal di hampar keseharian. ia bilang
ingin berjarak dari hiruk kesibukan yang telah begitu pekat
dan rapat menyalin gegas mimpi hingga ruang kehilangan
sepi dan tak sanggup menangkap ratap. jalanan penuh
dengan gemuruh, dengan para pejalan berlarian
mengunduh keasingan yang makin asin bagi tubuh.
sementara ada suara hadir lamat lamat dari kejauhan lalu
mendekat, hingga terdengar begitu keras, seperti membawa
ngiang ledakan, mengetuk pintu kesendirian berulang
pesan, tak pernah jemu berkata: bacalah, bacalah.
ngiang itu demikian tajam, menyusup ke liang pori,
mengalir dalam darah, menuju jantung, mengelus otak,
mengusap hati, meraba nyawa, menyentuh ruh. ia terus saja
berjalan menghampiri ceruk ceruk di tubuhku yang senyap,
seperti hendak menjejakkan hening gua hira yang teguh
berjaga dan tak pernah terlelap. ada getar getar langit yang
meneteskan desir cinta pertama dan menjadi selamanya.
terlintas bayangan gunung batu dengan pintu gua yang
dilekapi sarang laba laba, memuat kedalaman semesta dan
merawat keabadian cahaya.
air mataku melukis kesiaan usia yang tak usai bercanda
pada gelimang kefanaan, semacam perulangan permainan
yang hanya mencatatkan kerugian dalam batin perniagaan.
ia meluruhkan gerimis melewati ruas tahun dan batas
musim, seperti menjadi penyaksi bagi kecemasanku yang
kian dekat dilimbur ribuan getun bermukim. ngiang suara
itu kembali datang dengan rangkuman jentera waktu, kisah
kisah amanah rindu, dan bisa jadi memercikkan awal haru.
Sajak Sajak Sunyi
84
suaranya makin menggelegar, mendesakku agar menyebut,
sebelum maut merebut, maka: bacalah, bacalah.
Jakarta, 2016
Budhi Setyawan
85
Waktu yang Bergetar
tiba tiba
ada yang masuk ke dalam nadi
tanpa permisi
menyusupkan kecamuk
membangunkan bulu kuduk
yang tengah tertidur
dan mengulur dengkur
gelaran getar
barangkali pengantar sebuah kabar
dari balik diam dan abai
pada tahun tahun yang telah terlerai
kata menjadi gagu
ucap menjadi kelu
ruang ruang menjelma bibir bisu
siang menjadi sengkarut pedih
malam menjelma kelindan perih
kubang memusar repih
lalu bermunculan getun
berhimpun hingga rimbun
di dalam kepala berayun
mungkin saja guncangan guncangan
adalah sehimpunan ketuk pertanyaan
mengapa kerap terlupa
manusia menyusur utas usia
hingga terbenam dan sia sia
Jakarta, 2016
Budhi Setyawan
87
RIWAYAT PENYAIR
Budhi Setyawan, atau yang akrab
dipanggil Buset ini kelahiran 9 Agustus
1969. Penyair asal Purworejo, Jawa
Tengah, yang merantau ke Jakarta
bekerja sebagai pegawai negeri. Pernah
menjadi drummer sebuah band di
Jakarta dan Balikpapan. Bekerja sebagai
pegawai negeri di Kementerian
Keuangan di Jakarta. Ikut menggagas
dan berkegiatan di komunitas
Paguyuban Sastra Rabu Malam (Pasar Malam), dengan kegiatan
bulanan Sastra Reboan di Bulungan, Jakarta Selatan, dan
menggagas serta mengelola komunitas Forum Sastra Bekasi (FSB)
yang menerbitkan Buletin Jejak. Bersama istri dan keempat
anaknya tinggal di Bekasi, Jawa Barat.
Beberapa tulisannya pernah dimuat media massa Bali Post,
Indopos, Media Indonesia, Suara Merdeka, Republika, Jurnal
Nasional, Sinar Harapan, Seputar Indonesia, Waspada, Tribun
Kaltim, Minggu Pagi, Mimbar Umum, Suara Karya, Majalah
Horison, GONG, STORY, KORT, Buletin Jejak, Littera, Replika, Jurnal
Sastra Santarang, Jurnal Sarbi, Jurnal Puisi Amper,
sastradigital.com, kompas.com, poetikaonline.com,
horisononline.com, rumahdunia.com, penulismuda.com,
kabarbekasi.com, dan lain-lain.
Puisi dalam Bahasa Jawa (geguritan) pernah dimuat di
majalah Damarjati, Panjebar Semangat, Jayabaya.
Puisi-puisinya ada dalam antologi bersama: Kemayaan dan
Kenyataan (Fordisastra, 2007), Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009),
Kakilangit Kesumba (Purworejo, 2009), Resonansi (Purworejo,
2010), Pukau Kampung Semaka (2010), Akulah Musi (2011),
Sekumpulan Sajak Matajaman (bersama Jumari Hs dan Sosiawan
Sajak Sajak Sunyi
88
Leak, 2011), Antologi Puisi dan Cerpen Ibukota Keberaksaraan
(2011), Beternak Penyair (2011), Karena Aku Tak Lahir Dari Batu
(2011), Narasi Tembuni (2012), Meretas Karya Anak Bangsa
(2012), Antologi Puisi Satu Kata Istimewa (2012), Sauk Seloko
(2012), Sendaren Bagelen (2013), Antologi Apresiasi Sastra
Indonesia Modern (penyusun: Korrie Layun Rampan, Penerbit
NARASI, Yogyakarta, 2013), Tifa Nusantara (2013), Kepada Bekasi
(2013), Tengara Getar Lengkara (2014), Negeri Langit (2014),
Bersepeda ke Bulan (2014), Puisi Menetas di Kaki Monas (2014),
Saksi Bekasi (2015), Sajak Puncak (2015), Tifa Nusantara 2
(2015), Nun (2015), Negeri Laut (2015), Pelabuhan Merah (2015),
Memandang Bekasi (2015), Dari Gentar Menjadi Tegar (2015),
Gelombang Puisi Maritim (2016), Seratus Puisi Qurani 2016
(2016), Ije Jela (2016), Negeri Awan (2016), Yang Tampil Beda
Setelah Chairil (2016), Matahari Cinta Samudera Kata (2016), dan
lain-lain.
Beberapa puisinya mendapatkan penilaian: satu puisinya
masuk dalam 10 besar Lomba Cipta Puisi Nasional ‘Batu Bedil
Award’ – Festival Teluk Semaka tahun 2010 yang diadakan oleh
Pemerintah Kabupaten Tanggamus, Prov. Lampung; meraih Juara
Harapan 1 dalam Lomba Puisi yang diadakan Komunitas Rumah
Sungai di Lombok, Nusa Tenggara Barat tahun 2012; meraih Juara
1 Lomba Menulis Puisi Kreasi Akbar Forum Lingkar Pena (FLP)
Bandungtahun 2012, meraih Juara 1 dalam lomba penulisan puisi
Dewan Kesenian Balikpapan tahun 2013, dan masuk nominasi
Anugerah Sastra Litera 2017.
Beberapa kali diundang ke acara Temu Sastrawan Indonesia
(TSI), Pertemuan Penyair Nusantara (PPN), Temu Karya
Sastrawan Nusantara (TKSN) Tifa Nusantara, Temu Sastrawan
Mitra Praja Utama (TS MPU), Silaturrahim Sastrawan Indonesia di
Rumah Puisi Taufiq Ismail, dan lain-lain.
Buku antologi puisi tunggal sebelumnya: Kepak Sayap Jiwa
(2006), Penyadaran (2006), Sukma Silam (2007).
Budhi Setyawan
89
Alamat blog pribadinya di:
www.budhisetyawan.wordpress.com dan alamat email:
Top Related