1
1
MODEL INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF J.F HAUGHT DAN M.GOLSHANI: LANDASAN FILOSOFIS BAGI
PENGUATAN PTAI DI INDONESIA
Oleh: Muhammad Thoyib
STAIN Ponorogo
Abstrak Tulisan ini menengahkan pemikiran dua tokoh kontemporer yang begitu intens mengkaji model integrasi sains dan agama, yaitu J.F Haught dan M. Golshani. Hal ini penting dibahas dalam rangka memberikan sumbangan pemikiran untuk membuat tatan hubungan konstruktif antara sains dan agama. Tulisan ini berdasarkan penelitian pustaka. Dari pembahasan diketahui bahwa ketika meninjau model integrasi teologi evolusi (evolution theology) dan sains Islam (Islamic science) terlihat perbedaan yang sangat jelas dimana Haught menerapkan integrasi pada teori evolusi (hanya salah satu jenis sains) sedangkan Golshani mengambil ruang besar Islam sebagai fokus integrasi. Teologi di tangan Haught bersifat sangat adaptif, karena ia berpandangan bahwa teologi adalah bagian dari olah manusiawi yang selalu bergerak. Sehingga ketika teologi bertemu dengan evolusi sains lain maka dimungkinkan adanya perubahan. Akan tetapi perubahan yang ditawarkan Haught dan Golshani tidak bergeser dari ajaran substantif nilai-nilai agama. Terlepas dari kontroversi dan perdebatan persoalan integrasi sains dan agama tersebut, pemikiran kedua tokoh tersebut dapat dijadikan sebagai landasan filosofis dan akademis dalam upaya penguatan eksistensi perguruan tinggi Islam (PTAI) di Indonesia, melalui: upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan agama secara integrative-subtantif di PTAI Indonesia yang seyogyanya sejak awal sudah dilandasi oleh nilai-nilai agama, sehingga agama akan menjadi ruh bagi konstruksi ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan digali maupun dikembangkan oleh PTAI di Indonesia. Kata kunci: Integrasi, sains, agama, dan Pendidikan Tinggi Islam. Abstract
To understand integration model of science and religion in detail, the research will be done by taking a part of John F. Haught and Mehdi Golshani view about: religion responds towards science, the basis of integration, and the model of integration. Haugth and Golshani respectively have given an enlightenment to make the integration of science and religion possible. On the integration model offered, Haught focuses more on the particular dimension of integration (related to certain scientific theory (theory of evolution) and certain religious dimensions (theology), where Golshani focuses more on the wider dimension of integration (related to science and religion in a wider meaning). Thus, the integration is an embodiment of the union between religion and science based on the perspective and inspired by the religious dimension. Based on the model offered, we
brought to you by COREView metadata, citation and similar papers at core.ac.uk
provided by Rumah Jurnal IAIN Metro (Institut Agama Islam Negeri)
2
2
can take values how to implement its balancely for empowering the existence of Islamic Higher Education (PTAI) in Indonesia for facing technology development in this globalization era, without forgetting its role as Islamic institution that has commitment to develop Islamic values in the civilization of the world. Keywords : Integration, science, religion, and Islamic Higher Education.
A. Pendahuluan
Tulisan ini akan mencoba mengupas isu yang cukup penting dalam
kerangka pengembangan keilmuan sekaligus sebagai upaya penguatan
eksistensi perguruan tinggi agama Islam (PTAI) di Indonesia yaitu tentang
integrasi sains dan agama, terutama dalam konteks perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang semakin pesat saat ini. Perubahan
beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) semisal IAIN menjadi
Universitas Islam Negeri (UIN) adalah salah satu bukti nyata bagaimana
perjumpaan dua entitas keilmuan (agama dan umum/sains) telah
menghasilkan sebuah proses metamorfosis yang cukup menarik untuk
dianalisis. Kerisauan yang masih cukup mendalam adalah bagaimana
memaknai integrasi itu sendiri dan penelitian ini merupakan upaya untuk
memahami dengan baik integrasi agama dan sains.
Penulis akan mencoba menelisik dimensi integrasi dengan membongkar
pemikiran dua tohoh yang sangat berpengaruh saat ini. Tokoh tersebut adalah
John F. Haught dan Mehdi Golshani. Haught adalah seorang teolog Kristen dari
Amerika Serikat yang sering disebut sebagai salah satu tokoh teolog sistematis
terkemuka. Sedangkan Golshani adalah seorang fisikawan Iran yang pada
masa-masa terakhir ini mulai menunjukkan perhatian yang sangat besar
terhadap agama, terutama ketika mengaitkan keilmuan yang ia geluti dengan
agama yang ia yakini. Pilihan atas Haught dan Golshani karena saat ini
keduanya mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam diskursus wacana
integrasi. Disamping itu dua tokoh tersebut cukup realistis dalam meletakkan
agama ketika bersinggungan dengan sains. Keduanya mengikuti perkembangan
sains dengan seksama namun pada saat yang bersamaan tetap bersikap kritis
dan menjadi manusia-manusia yang religius. Hal semacam itu berbeda dengan
3
3
pemikiran-pemikiran yang cenderung mencoba memaksakan sains untuk
kembali dalam bentuknya yang masih murni seperti yang diidealkan Seyyed
Hossein Nasr. Dengan latar semacam itu diharapkan proyek integrasi sains
(ilmu) dan agama menjadi pekerjaan besar yang berarah ke depan (futuristic
orientation).
Secara komprehensif akan diuraikan beberapa hal mendasar yang
menjadi pemikiran Haught dan Golshani. Untuk mempermudah pelacakan,
pada setiap tokoh, akan didekati dengan mengupas empat hal prinsipil; pertama,
akan diperlihatkan bagaimana agama dan sains dimaknai oleh masing-masing
tokoh dan apa yang terjadi ketika agama harus bertemu dengan sains; apakah
agama melihat sains dengan kaca mata bermusuhan (konflik), saling menyendiri
tapi tidak bermusuhan, saling bertegur sama, atau bahkan saling melebur dan
menyatukan diri?. Kedua, menyisir asumsi-asumsi dasar yang digunakan Haught
maupun Golshani dalam mengintegrasikan sains dan agama. Asumsi-asumsi
tersebut adalah bagian penting yang bisa mengintegrasikan justifikasi-justifikasi
seintifik dengan uraian-uraian agama. Ketiga, akan dikupas bentuk nyata dari
integrasi dimana Haught menawarkan teologi evolusi (theology of evolution) dan
Golshani dengan sains Islamnya (Islamic science). Uraian ini akan memperjelas
bentuk (model) integrasi yang ditawarkan. Ketiga pola pendekatan tersebut
dipilih untuk mempermudah pemetaan pemikiran sekaligus sebagai bahan
untuk bisa melihat dengan jernih pemikiran yang diajukan masing-masng tokoh.
Dan keempat, yaitu mengaitkan sekaligus memadukan pemikiran kedua tokoh
tersebut dalam konteks pengembangan perguruan tinggi agama Islam (PTAI) di
Indonesia, dengan harapan PTAI di Indonesia dapat lebih acceptable dan dinamis
dalam mengikuti perkembangan zaman, tanpa harus kehilangan elan vitalitas
perannya sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki komitmen terhadap
pengembangan nilai-nilai Islam dalam pentas peradaban dunia. Meminjam
bahasa Fazlur Rahman1, PTAI tidak hanya sekedar partisipan, tetapi lebih dari
1 . Lihat dalam Fazlur Rahman. Islam and Modernity. (New York: Chicago Press. 1996),
h.27. Statemen Fazlur Rahman tersebut berangkat dari realitas nilai konservatisme yang selama ini
menjadi pedoman absolut sekaligus pijakan aplikatif yang diterapkan oleh lembaga pendidikan
Islam di hampir seluruh dunia, sehingga Islam tidak mampu melakukan akselerasi terhadap
4
4
itu, sebagai salah satu lokomotif penggerak peradaban dunia yang mampu
„membumi‟ sekaligus „menawarkan‟ nilai-nilai rahmatan lil‟alamin yang lebih
elegan, sehingga mampu untuk terus survive dan eksis dalam percaturan
kompetisi global saat ini.
B. Biografi Sang Akademisi Evolusi Sains dan Islamic Science: John F.
Haught dan Mehdi Golshani
John F. Haught adalah seorang teolog Katolik Roma yang besar di
Amerika sekaligus Senior Research Fellow di Woodstock Theological Center di
Universitas Georgetown. Bidang keahliannya adalah teologi sistematis, dengan
minat khusus dalam isu-isu ilmu pengetahuan, kosmologi, ekologi, dan
rekonsiliasi evolusi dan agama. Haught bersaksi terhadap pengajaran
perancangan cerdas di sekolah karena sifat religius dalam kasus Kitzmiller
School District di Area Dover. Haught juga terlibat dalam kontroversi atas
pemblokiran publikasi video dari debat publik tentang kompatibilitas ilmu
pengetahuan dan agama. Haught mendirikan Pusat Studi Ilmu dan Agama
Georgetown. Ia adalah ketua departemen teologi Georgetown antara tahun 1990
dan 1995. Pada evolusi kreasionisnya, pandangan Haught tentang sains dan
agama sebagai dua tingkat yang berbeda dan tidak bersaing penjelasan,
sekaligus menegaskan "Ilmu dan agama tidak dapat secara logis ada dalam suatu
hubungan kompetitif satu sama lain.". Haught lulus dari St. Mary Seminary
University di Baltimore dan kemudian menerima gelar PhD dalam bidang
teologi dari The Catholic University of America pada tahun 1970. Haught adalah
pemenang Owen Garrigan Award pada Sains dan Agama pada tahun 2002 dan
Sophia Award 2004 untuk Theological Excellence. Selain itu, pada tahun 2009,
kemajuan peradaban termasuk dalam mengantisipasi perkembangan IPTEK yang semakin pesat.
Alih-alih mengalami kemajuan, justru kemunduran peradaban yang harus dialami umat Islam,
sehingga Islam jangankan mampu berkiprah, sekedar untuk mengembangkan nilai-nilai prestisius
yang selama ini terpendam dalam sisa-sisa kejayaan peradaban Islam saja terasa begitu sulit,
laksana mutiara dalam lautan yang begitu dalam, yang tidak mudah untuk dilakukan karena
terbentur oleh kokohnya dinding konservatisme pemikiran yang dialami oleh umat Islam saat ini.
5
5
sebagai pengakuan atas karyanya pada teologi dan sains, Haught dianugerahi
gelar Doktor Honoris Causa oleh University of Leuven.2
Dalam konteks yang sama dengan John F Haught, Mehdi Golshani
merupakan cendekiawan dunia sekaligus pakar muslim di bidang fisika yang
lahir di Isfahan, Iran pada 1939. Karir pendidikan S1 nya diselesaikannya di
University of Teheran dengan spesialisasi bidang fisika pada tahun 1960.
Sedangkan gelar MA dan PhDnya diperolehnya dari University of California
pada bidang fisika pula. Karir akademisi yang telah menghasilkan lebih dari 10
buku dan 100 artikel ilmiah internasional itu begitu mengagumkan sehingga
membawanya pada sejumlah penghargaan individu, baik dari lingkungan
akademis maupun pemerintahan. Di antara penghargaan yang diperoleh guru
besar (profesor) Sharif University of Technology, Teheran Iran tersebut yaitu
John Templeton Award for Progress in Religion (world's largest monetary award) pada 2002,
dan lain sebagainya. Gagasan besarnya tentang Islamic Saince yang begitu
tampak pada 2 karya monumentalnya The Holy Qur‟an and the Science of Nature
dan Can Science Dispense with Religion?3 Membawanya pada puncak popularitas
akademisi internasional yang sangat disegani oleh para ilmuwan dunia.
C. Integrasi Sains dan Agama dalam Perspektif John F. Haught
1. Sikap Agama atau Teologi terhadap Sains
Haught membagi pola relasi sains dan agama dalam empat bentuk :
konflik, kontras, kontak, dan konfirmasi. 4 Relasi pertama menempatkan sains
dan agama sebagai dua entitas yang berseberangan dari berbagai sudut, baik
secara mauatan (content), historis, maupun metodologis. Dalam pola relasi ini
terjadi berjumpaan antara aliran skeptis ilmiah (scientific skeptics) sebagai
kekuatan yang dengan keras menegaskan tidak diperlukannya lagi penjelasan-
2 John F. Haught, Science and Religion: from Conflict to Conversation, (New York:
Paulist Press, 2000), h. 315. 3 Mehdi Golshani, The Holy Qur‟an and the Science of Nature, (New York: Global
Scholarly Publication, 1992), h. 279. 4 Sebagai perbandingan bisa dilihat kategorisasi yang dibuat oleh Ian G. Barbour,
Religion and Science, (New York: HarperSanFrancisco, 1990), h.27; begitu juga dalam. When
Science Meets Religion, (New York: Harper SanFarancisco, 2000), h.31; yaitu: konflik (conflict),
independensi (Independence), dialog (dialogue), dan integrasi (integration).
6
6
penjelasan agama dengan kelompok literal (Biblical literalist) yang memahami
kitab suci sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Perjumpaan dua kubu yang
saling menegaskan tersebut memunculkan konflik yang tak kesudahan. 5
Dalam relasi kontras, Haught menyarankan untuk membuat suatu
batasan yang jelas antara sains dan agama sehingga tidak terjadi konflik. Batasan
ini dimaksudkan sebagai penjelas bahwa masing-masing mempunyai wilayah
yang berbeda, sehingga tidak boleh menjustifikasi agama, misalnya, dengan
kategori-kategori yang dimiliki sains. Pola relasi kontras ini penting karena
seringkali konflik muncul ketika terjadi „peleburan‟ (conflation), yakni runtuhnya
perbedaan sains dan agama yang berakibat pada hilangnya unsur-unsur yang
membedakan keduanya. Tentu saja „peleburan‟ (conflation) ini terjadi, baik pada
agama maupun sains. Kisah termartirkannya Galileo adalah kesalahan dalam
mengidentifikasi wilayah agama yang dipaksakan pada sains.6
Pola berikutnya adalah kontak, dengan relasi ini agama dan sains
diarahkan untuk saling berkomunikasi tanpa menghilangkan batas-batas yang
dimilikinya. Hal ini berangkat dari kenyataan yang ada dimana keduanya
seringkali bertemu dan dikondisikan untuk saling mengungkapkan pendapat
masing-masing.7 Bentuk relasi terakhir yang secara jelas menunjukkan proyek
utama John F. Haught adalah konfirmasi (confirmation). Ia mengartikan
konfirmasi sebagai “menguatkan” atau “mendukung”, bahwa agama
menyokong penuh usaha-usaha yang dilakukan sains untuk memahami alam
semesta. Pendek kata ia mengatakan: “Religion is in a very deep way supportive of
the entire scientific enterprise.”8 Bentuk konfirmasi agama terhadap sains bukan
karena agama menyediakan seperangkat pengetahuan tentang semesta seperti
yang ditawarkan oleh sains. Agama tidak mempunyai pengetahuan terinci
tentang fisika partikel atau kode genetik. Sikap mendukung ini karena secara
prinsipil pandangan-pandangan agama bahwa alam semesta terbatas, koheren,
rasional, dan teratur, menyediakan pandangan umum yang secara konsisten
5 John F. Haught, Science and Religion: In Search of Cosmic Purpose, (New York:
Paulist Press, 1995), h.11. 6 Ibid, h. 13.
7 Ibid, h. 17.
8 Ibid, h. 21.
7
7
memelihara pencarian ilmiah dan membebaskan sains dari segala bentuk
ideologi yang memenjarakan.9 Bagi Haught pencarian yang berbasis agama
memunculkan kesadaran yang semakin tinggi jika dibandingkan dengan cara
pandang materialis yang menghentikan pencarian hanya pada ranah kebendaan.
2. Landasan Integratif Sains dan Agama
Ketika Haught menyatakan bahwa agama mendukung sains dengan pola
konfirmasinya, maka pertanyaan yang muncul adalah apa yang mendasari itu
semua? Bangunan apakah yang bisa menjustifikasi bahwa sains mempunyai
kaitan yang erat dengan agama ? Dalam pandangan Haught sains tidak bisa
memenuhi dirinya sendiri (self sufficient) dalam melakukan upaya-upaya ilmiah.
Sains selalu merujuk atau mengakar pada keimanan (faith) :
“Science, to be more specific, cannot even get off the ground with out rooting itself in a kind of a priori “faith” that the universe is rationally ordered totally of things”10 Oleh karena itu sains tidak bisa berdiri sendiri, namun ia bergantung
pada entitas yang sifatnya permanen tersebut. Haught mendefinisikan nilai
permanen tersebut sebagai sumber inspirasi yang akhirnya menghidupkan dan
mengembangkan lebih jauh eksplorasi ilmiah. Hal yang bersifat tetap dan selalu
mendasari sains tersebut adalah “iman” (faith) bahwa alam semesta bersifat
teratur (beserta hukum yang menyertainya) dan rasional. Dalam membangun
sebuah bangunan yang integrative antara sains dan agama Haught menawarkan
pembacaan epistemologis bahwa sains selalu mengakar pada iman yang di
dalamnya agama memberi definisi yang sangat jelas. Sains mau tidak mau harus
mengatakan bahwa eksistensinya sangat bergantung pada adanya keteraturan
yang secara permanen ada dalam semesta. Bagi Haught di sanalah, “keimanan,”
mendapat makna ketika diasosiasikan dengan agama sebagai „semangat‟
keimanan. Schubert Ogden memahami agama sebagai “penjamin” (re-assurence),
9 Ibid, h. 22.
10 Ibid, h. 23.
8
8
sebagai bagian paling mendasar untuk membangun kepercayaan diri ketika
semangat itu hilang.11
Meskipun ranah iman memang tidak disinggung secara absolut bahkan
dipandang sebagai wilayah sains yang perlu mendapat perhatian karena
keimanan tidak mempunyai basis epistemologis yang bisa diverifikasi dan
dibuktikan kebenaranya secara empiris-material, bagi Haught, iman sangatlah
penting untuk mencapai sebuah pengetahuan yang komprehensif. Iman
dipahami sebagai kesadaran dimana manusia membuka dirinya untuk
direngkuh oleh dimensi realitas yang lebih komprehensif dibandingkan akal
fikiran. Melalui iman kesadaran manusia mengenali batasan yang menyertainya
dan sekaligus mengantarkan pada pemahaman dimensi yang lebih tinggi
(kompleks). Keimanan adalah sebuah jaminan agar relitas dapat dipahami lebih
lanjut. 12 Singkat kata ia adalah langkah awal sekaligus sebagai hal pertama yang
harus dimiliki sains agar bisa membuka rahasia realitas.
Selain fungsinya sebagai kategori pertama dari proses ilmiah, iman (faith)
secara fundamental adalah entitas yang mampu membawa manusia menuju
sebuah pengetahuan atau pemahaman yang komprehensif (menyeluruh). Ini
terjadi karena kemampuan manusia yang terbatas dalam memahami realitas
sehingga membutuhkan entitas yang diletakkan sebagai sumber pengetahuan.
Seperti dinyatakan Haught, “Faith is an attitude of acknowledging the limits of
comprehension and of opening ourselves to being comprehended by that which transcends
us”13
Oleh sebab sains tidak mampu mencapai sifat komprehensif ketika
membatasi diri dalam ranah material semata. Sains harus melibatkan
pengetahuan yang bersumber dari agama dan Tuhan sebagai wujud dari sifat
transendensi. Akan tetapi sains cenderung mengindahkan entitas tersebut karena
melihat iman (faith) sebagai pengetahuan yang tidak bisa diurai dengan prinsip-
prinsip (metodologi) sains. Haught meyakinkan bahwa kehadiran iman sebagai
11
Ibid, h. 24. 12
John F. haught, The Cosmic adventure : Science, Religion and the Quest for Purpose,
(New York/ Ramsey: Paulist Press, 1984), h.4. 13
Ibid, h.7.
9
9
sebuah bentuk cara pandang metafisis yang diilhami agama akan membawa
pada pemahaman yang mendalam tentang kejadian-kejadian evolutif. Baginya,
apapun konsep dan pemahaman tentang sains, seorang saintis selalu dibentuk
oleh pandangan umum relitas (general vision of relity) yang ia miliki, yakni
metafisika, dan kandidat terkuat adalah konsep teologis. “….this theological
metaphysics is superior to the materialist alternative,” kata Haught. 14 Jadi usulan
Haught adalah untuk menjadikan teologi (agama) sebagai landasan atau akar
sains. Diatas landasan inilah integrasi bisa terwujud. Jika digambarkan dalam
batang tubuh sebuah pohon, maka teologi (agama) adalah akar sedangkan
batangnya adalah struktur sains.
3. Bentuk Integratif Sains dan Agama (Theology of Evolution)
Setelah melihat pola integrasi yang terbangun antara sains dan agama,
Haught mencoba lebih konkrit lagi dengan menelaah terintegrasikannya teori
evolusi dan agama (teologi) yang ia sebut teologi evolusi (theology of evolution).
Ini adalah respon atas minimnya tinjauan teologis dalam evolusi. Dalam banyak
pandangan agamawan, teori evolusi dituduh sebagai sebuah kekuatan yang
paling berhahaya bagi eksistensi agama. Namun dibalik kekhawatiran itu
kekritisan untuk membawa teori evolusi dalam perspektif teologis masih sangat
minim. Di sinilah Haught dengan berani menawarkan pembacaan yang sangat
eksploratif, yakni bagaimana menggiring teori evolusi hingga ia bermuatan
teologi.
Kritisisme Haught mengantarkannya pada teori evolusi adalah karena
perkembangan evolusi yang cukup ekstrim. Saat ini biologi menjadi benteng
materialisme. Seperti dikutip Haught, Michel Russel mengatakan bahwa
Darwinisme adalah penjelmaan tersempurna dari teori materialisme.15 Lebih
jauh teori Darwin secara dramatis, berbeda dengan perkembangan sains modern
14
Ian G. Barbour, When Science Meets Religion, (New York: Harper SanFrancisco.
2000), h.54 15
Lihat juga John F. Haught dalam karya lainnya. Deeper Than Darwin: The Prospect
for Religion in the Age of Evolution, (USA: Westview Press, 2003), h.xii. Ini berbeda dengan masa
awal abad modern dimana fisika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang paling berbahaya bagi
agama karena telah mereduksi alam semesta menjadi murni materi.
10
10
lain, telah mendorong ditempatkannya agama semata-mata dalam ruang ilusi
yang tidak mempunyai akar kebenaran. Dan tidak ada teori yang begitu
mengancam pemahaman tentang kebertujuan alam semesta kecuali teori evolusi.
Yang menjadi perhatian Haught adalah bagaimana membaca atau
menginterpretasi teks-teks kitab suci dalam cahaya Darwinian.16 Ia paparkan
dalam God After Darwin 17 bahwa evolusi biologi bukan hanya tidak bertentangan
dengan agama akan tetapi lebih dari itu ia juga pemberian berharga bagi teologi.
Ini disebabkan munculnya pemahaman tentang Tuhan yang relatif tidak persis
sama seperti sebelum adanya teori Darwin dan di lain pihak evolusi tidak serta
merta mengurangi iman adanya kekuatan kreatif ilahiah. Dengan sangat
meyakinkan Haught menegaskan bahwa:
“Darwin has gifted us with an account of life whose depth, beauty, and pathos-when seen in the context of the larger cosmic epic of evolution-expose us afresh to the raw reality of the sacred and to a resoundingly meaningful universe”18
Suatu bagian yang membuat evolusi tidak harmonis dengan ide tentang
Tuhan bukan karena berita mengejutkan Darwin tentang proses seleksi alam,
namun karena ketidakmampuan teologi merefleksi secara mendalam tentang
penderitaan dalam dimensi ilahiah.19 Pemahaman tentang Tuhan sebagai sumber
keteraturan / ketertiban (source of order) yang menentukan segala kejadian yang
ada di alam semesta tidak lagi bisa memberi kepuasan. Haught menawarkan
pembacaan tentang Tuhan bukan semata sebagai zat yang mengatur segala
sesuatu agar berjalan sesuai dengan fungsinya akan tetapi ia juga dipahami
sebagai bentuk munculnya ketidakharmonisan.
Lebih lanjut kosmos tidak melulu diartikan dalam kerangka keberaturan
(order) akan tetapi juga dipandang sebgai sebuah proses yang belum selesai
(unfinished process), dimana alam semesta masih dalam proses menjadi.
Sedangkan posisi Tuhan tidak lagi dalam kerangka kemahakuasaan (dalam
makna yang literal) dimana ia tidak secara langsung turun dalam proses
16
Ibid, h.xv. 17
Ibid. God after Darwin A Theology of Evolution, (USA: Westview Press, 2000), h.121. 18
Ibid, h.2. 19
Ibid, h.5.
11
11
penciptaan, namun ia memberi ruang agar proses alamiah bisa berjalan di
dalamnya. Andaikan pemahaman semacam itu ada, maka antara sains dan
teologi tidak akan bertentangan. Dengan itu pula konsep tentang Tuhan tidak
hanya akan dipandang sesuai dengan perkembangan sains kontemporer akan
tetapi juga secara logis mengantisipasi penjelasan Darwin tentang kehidupan
sebelum adanya manusia.20
Bagi Haught teori evolusi adalah sebuah cahaya yang mampu menerangi
dan akhirnya menemukan makna yang lebih dalam tentang agama dan Tuhan.
Bahkan ia menyebut teori evolusi sebagai intuisi terdalam (deepest intuition)
karena dengan cahaya envolusi tersebut akan membawa teologi melangkah lebih
jauh dalam memahami „realitas tertinggi‟ (ultimate reality).21
Ia menggambarkan relasi agama dan evolusi sebagai „engagement‟ dimana
pemikiran Darwin dipandang bukan sebagai ide berbahaya (dangerous idea) bagi
pemahaman teologi. Sebaliknya ia ditempatkan sebagai sumber untuk merefleksi
makna hidup, Tuhan, dan alam semesta.22 Ada dua dampak yang secara
signifikan mempengaruhi teologi; pertama, munculnya pemaknaan baru tentang
karakter “natural theology” (sebuah pencarian akan bukti-bukti eksistensi Tuhan
di alam semesta). Bentuk nyata dari natural theology adalah munculnya teori
“desain cerdas” (intelligent design), teori yang menyatakan bahwa proses
penciptaan telah didesain sedemikian rupa sehingga memunculkan kehidupan.
Struktur dasar penciptaan telah menyediakan perangkat substansial sehingga
tumbuhan , manusia, dan segala bentuk kehidupan bisa berlangsung, 23 hanya
saja pandangan ini tidak membawa pemahaman baru tentang pengaruh
signifikan teori evolusi terhadap teologi. Intelligent design tidak
memperhitungkan dimensi kebetulan (contingency), keacakan (randomness),
dengan perjuangan (struggle) akan evolusi. Oleh sebab itu Haught menaruh
perhatian besar pada efek kedua, yakni “evolutionary theology.” Satu konsep yang
mengalami pengayaan karena perjumpaannya dengan teori evolusi adalah
20
Ibid, h.6. 21
Ibid, 22
Ibid, h.33. 23
Ibid, h.35.
12
12
pemahaman tentang kekuasaan Tuhan (divine power). Haught menggunakan
teologi proses (process theology) untuk memaknai proses evolusi dimana evolusi
hadir sebagai bentuk awal penciptaan karena kekuasaan Tuhan dan tindakannya
terhadap dunia diambil dalam sikap yang persuasif (persuasive love) ketimbang
kekuasaan yang memaksa. Kuasa Tuhan tidak bersifat memaksa akan tetapi
mengundang, karena jika memaksa akan bertentangan dengan sifat alami cinta
(the very nature of love). Pilihan atas dasarnya jika kekuasaan dimaknai sebagai
„kapasitas untuk mempengaruhi‟ maka pendekatan persuasif jauh lebih efektif
dari pada pendekatan pemaksaan atau kekerasan. 24 Dari sini secara jelas
diketahui bahwa sosok Haught adalah teolog yang mencoba mengintegrasikan
sains (teori evolusi) dengan agama.
D. Integrasi Sains dan Agama Perspektif Mehdi Golshani
1. Pandangan Agama atau Teologi terhadap Sains
Pada awal tiap bukunya, Mehdi Golshani selalu mengawali dengan
penegasan bahwa Islam tidak membedakan antara sains dan agama karena
masing-masing diorientasikan untuk memahami Tuhan. Allah adalah pusat dari
segala aktivitas manusia, meskipun aktivitas tersebut tidak berbentuk
peribadatan formal namun ketika ia menjadi penjuru dan tujuan utama maka
sains pun mempunyai kedudukan yang sama dengan ilmu agama.25 Golshani
memandang aktivitasnya selama ini, sebagai fisikawan, adalah bagian dari
ibadah, maka dalam pandangannya tidak ada relasi yang bernuansa konflik atau
independen dalam sains dan agama.26
Pemahaman ini berangkat dari sebuah hadith yang menegaskan bahwa
setiap Muslim wajib menuntut ilmu. Menurut Islam kriteria berharga atau
tidaknya pengetahuan bergantung pada kegunaan yang dimilikinya dan
24
Ibid, h.41. 25
Golshani mencoba menunjukkan bahwa Islam tidak membedakan antara ilmu umum
(sains) dengan agama selama keduanya berporos pada Tuhan. Penegasan itu dilakukannya karena
banyak kalangan Muslim yang menempatkan dengan biologi, fisika, sosiologi, dan lain
sebagainya. Lihat dalam karyanya The Holy Qur‟an and The Science of Nature, (New
York:Global Scholarly Publication, 2003), h.39. 26
W. Mark Wichardson, Gordy Slack, (ads.)., Faith is Science: Scientists Search for
Truth, (New York:Routledge, 2001), h.121.
13
13
kapasitasnya dalam mengantarkan pemahaman tentang Tuhan. Oleh sebab itu
segala bentuk pengetahuan yang berguna dan mempunyai kapasitas untuk
menggapai Tuhan adalah bagian dari ibadah dan tentunya adalah sebuah
keharusan untuk mempelajarinya.27
Sains telah membawa sejumlah kegunaan bagi umat manusia serta
mendorong manusia untuk lebih mengenal dan dekat dengan penciptanya.
Signifikansi sains bagi umat Muslim antara lain adalah: pertama, sains mampu
meningkatkan pemahaman tentang Tuhan. Kedua, sains secara efektif mampu
meningkatkan peradaban Islam dan mewujudkan cita-cita Islam. Ketiga, sains
berfungsi sebagai panduan umat manusia dalam menghadapi tantangan
kehidupan.28 Jika kehadiran sains dibungkus oleh pemahaman seperti di atas
maka tidak diragukan lagi ia tidak bertentangan dengan agama, bahkan sains
adalah bagian dari agama itu sendiri. Dengan itu pula sains menjadi sakral dan
jauh dari nilai-nilai yang bertentangan dengan agama (keilahian). Beragam
pengetahuan tidak bersifat asing satu dengan yang lain karena dengan caranya
masing-masing mencoba memaknai ciptaan Allah yang terhampar luas di
semesta ini. 29
Golshani mendefinisikan sains sebagai alat untuk memahami fenomena
alam dan digunakan untuk memperkaya atau memperdalam pengetahuan
orang-orang yang beriman tentang Tuhan. Ada lebih dari 750 ayat dalam Al-
Qur'an yang menyebut tentang fenomena alam dan kebanyakan di dalamnya
berupa perintah untuk mempelajari dan merenungkan fenomena-fenomena
tersebut.30 Dalam perspektif Al-Qur'an fenomena yang terjadi di alam semesta
tidak bisa dilepaskan dari eksistensi Tuhan. Oleh karena itu Tuhan harus selalu
menjadi titik akhir dari proses refleksi seorang saintis. Pengetahuan terhadap
27
Mehdi Golshani, From Physics to Metaphysics, (Iran: Institute for Humanities and
Cultural Studies Publication, 1997), h. 5. 28
Ibid, h. 45-46. 29
Mehdi Golshani, The Qur‟an and The Science of Nature (New York: Global Scholarly
Publications, 2003), hal. 49. Ketiga signifikansi sains tersebut sekaligus menegaskan secara tidak
langsung bahwa sejatinya sains merupakan bagian internal dari agama, sekaligus menepis
paradigma dikotomis antara sain dan agama yang selama ini banyak dipelopori oleh kaum
materialisme yang begitu sinis dalam memandang agama dalam konteks apapun wujudnya. 30
Ibid, h.163.
14
14
penciptaan manusia, langit dan bumi adalah bagian penting dari kehadiran
Tuhan. Golshani31 mengutip ayat Al-Qur'an berikut:
"And one of His signs is the creation of the heavens and the earth and the diversity of your tongues and colour; most surely there are signs in this for the learned." (QS. 30: 22).
Sains dalam pandangan Gholshani harus selalu dihubungkan dengan
entitas keilahian sehingga mendorong seorang saintis untuk semakin mengenal
sang pencipta. Ia juga menegaskan bahwa pernyataan-pernyataan yang ada
dalam al-Qur‟an tidak berupa penjelasan rinci tentang fenomena alam, “Kitab
suci bukanlah sebuah ensiklopedi sains, ” kata Golshani. Uraian-uraian kitab suci
tentang proses pergantian siang-malang, turunnya hujan, dan diciptakannya
manusia stimulus agar manusia mengungkap fenomena-fenomena tersebut.32
Fungsi dari kitab suci adalah sebagai sumber inspirasi sekaligus sebagai titik
acuan untuk merefleksi segala bentuk kejadian. Oleh sebab itu tidak akan pernah
terjadi pertentangan antara sains dan agama karena masing-masing saling
mendukung dan mengokohkan.
Ketika Philip Clayton bertanya pada Golshani tentang adakah
pertentangan antara aktivitasnya sebagai seorang saintis dan Islam yang ia
yakini, Golshani mengatakan : “tidak ada sama sekali,” karena dalam tradisi Islam
dalam waktu yang bersamaan seorang bisa mempelajari matematika atau fisika
dengan filsafat atau metafisika. Dengan itu penemuan-penemuan saintifik tidak
bisa begitu saja meruntuhkan atau menghilangkan bobot iman yang dimiliki.
Bahkan, bagi Golshani pemahaman teologis yang ia yakini sejalan dengan
perkembangan sains modern. Dan ia melihat filsafat dan sains saling melengkapi
(bersifat komplementer).33
Golshani melihat fenomena keterpisahan agama dari sains (dalam dunia
Islam) muncul karena sains Barat (mulai masa Renaissance) menginfiltrasi dunia
Islam. Sementara sampai pada akhir millenium pertama, para filosof dan
fisikawan Avicenna, tidak melakukan pemisahan antara matematika, fisika, dan
31
Ibid, h.165. 32
Richardson, Faith in Science: Scientists, h. 126. 33
Ibid, h.121.
15
15
teologi. Pada akhirnya ketiga hal tersebut benar-benar terpisah dan secara
praktis menjadi kecenderungan di universitas-universitas baik di dunia Islam
sendiri bahkan di Barat. Dan selama dua dekade terakhir banyak pemikiran yang
mulai menawarkan cara-cara untuk menyatukan keduanya. Dalam posisi itu,
bagi Golshani, agama (filsafat) harus tetap menjadi penjuru atau acuan bagi
sains.34 Filsafat dalam pandangan Golshani tidak hanya terbatas pada wilayah
rasio atau pikiran, karena untuk bisa memahami Tuhan dibutuhkan cara lain
yaitu pewahyuan (revelation). Dengan kata lain harus ada kombinasi antara dua
ranah untuk bisa mencapai Tujuan.35 Sebagai seorang yang bergelut dengan
fisika, Golshani mengakui bahwa sains modern telah memberi ruang lebih lebar
untuk semakin menyadari kehadiran sang perencana (mastermind).36
Bagi Golshani yang tepenting adalah berhati-hati pada penemuan ilmiah
yang diinterpretasi secara empiristik atau materialistik. Apa pun bentuk
penemuan sains: teori ledakan besar (big bang), teori evolusi, dan lain sebagainya,
harus diintegrasikan dengan cara pandang metafisis (metaphysical framework)
yang selaras dengan pandangan hidup Islami (Islamic worldview). Ia berkata :
“Scientific knowledge can reveal certain aspects of the physical world; but, it should not be identified wint the alpha and omega of knowledge. Rather, it has to integrated into metaphysical framework-consistent with Islamic worldview.”37
Kegelisahan Golshani tentang sains modern yang cenderung
bertentangan dengan agama adalah ketika proses interpretasi sains tidak
melibatkan kerangka metafisika yang bermuatan Islam. Oleh sebab itu fungsi
agama bagi sains adalah sebagai media untuk menginterpretasi data-data ilmiah.
34
Ibid, h.123. 35
Ibid, 36
Ibid, 37
Mehdi Golshani, Issues in Islam and Science (Tehran: Institute for Humanities and
Cultural Studies (IHCS), 2004), h.125. Keterasingan sains dari nilai-nilai Islam ini tidak hanya
diakui oleh cendekiawan muslim dunia sekaliber Mehdi Golshani, Fazlur Rahman, Rajak Ahmad
al-Faruqi, tetapi juga banyak diakui oleh pemikir Barat seperti halnya Einstein yang dengan tegas
mensinyalir bahwa runtuhnya moralitas peradaban dunia saat ini tidak lain karena sains
ditempatkan laksana “Tuhan” yang tidak bisa dibantah dan dilawan. Disisi lain menurutnya
manusia juga telah kehilangan jati dirinya sebagai manusia yang beradab. Sehingga kondisi ini
memunculkan sains justru sebagai “penjahat kemanusiaan” karena telah digunakan hanya untuk
menguasai dan membunuh umat manusia lainnya. Oleh karena itu muncullah adagium, “Ilmu
tanpa agama akan buta, agama tanpa ilmu akan pincang.”
16
16
Keterlibatan ini penting untuk menghindari dampak negatif yang dimunculkan
oleh interpretasi materialisme yang menjauhkan sains dari pertimbangan-
pertimbangan nilai. Bagi Golshani kehadiran agama di sini mempunyai dampak
etis yang sangat signifikan, karena dari sini pula ia berkeyakinan bahwa
pertimbangan-pertimabangan Islam akan menyejahterakan umat manusia. Dan
jika yang manjadi basis interpretasi adalah sains sekuler maka sains bisa jadi
akan merusak. Seperti yang sekarang ini dikeluhkan, dimana harapan bahwa
sains akan semakin mensejahterakan manusia pada kenyataannya membawa
manusia dalam lembah kerusakan dan penderitaan yang semakin dalam.
2. Landasan Integratif Sains dan Agama
Filsafat kadang-kadang digunakan dengan menggunakan kata metafisika
yakni sebuah wilayah pengetahuan yang berhubungan dengan hal paling
mendasar atas egala yang ada, termasuk konsep-konsep tentang ada, substansi,
ruang, waktu, sebab, akibat, dan lain sebagainya. Munculnya kecenderungan
saintis untuk tidak membicarakan metafisika dalam karya-karya mereka dimulai
ketika sains modern mulai mengabsolutasi empirisme sebagai cara paling utama
dalam proses berpengetahuan. 38 Empirisme yakin bahwa data-data empirik
adalah satu-satunya sumber pengetahuan, sehingga sains harus mengeluarkan
segala bentuk konsep yang bersifat metafisik karena ia tidak berakar pada
pengalaman indrawi. Mulai abad ke 19 berbagai aliran empirisme mulai muncul,
baik itu positivisme maupun operationalisme. Kesamaan dari aliran-aliran
tersebut adalah pembatasan wilayah pengetahuan yang hanya pada data-data
inderawi (sense-based data) dan penolakannya pada metafisika. Pandangan
semacam ini mendominasi komunitas saintis pada paruh pertama abad ke 20 an
sampai sekarang pengaruhnya masih cukup kuat di dunia akademik. Akan
tetapi pada 20 tahun terakhir mulai terlihat bahwa pendekatan empirik bersifat
permukaan (superficial) dan tidak didukung oleh studi sejarah sains yang
memadahi.39
38
Mehdi Golshani, From Physics to Metaphusics,. (Iran: Institute for Humanities and
Cultural Studies, 1997), h. 4. 39
Mehdi Golshani, Issues in Islam and Science,.. h.14.
17
17
Bagi Golshani, sains tidak ada yang murni berwujud empirik (data
inderawi), karena setiap kali menginterpretasi data eksperimen bahkan ketika
menguji ketepatan data ia selalu bergantung pada konsepsi awal (preconception)
dan asumsi sang saintis. Einstein pun mengatakan bahwa konsep fundamental
dan postulat-postulat sains tidak dapat dirujuk pada pengalaman inderawi atau
proses induksi, akan tetapi dapat dilacak dalam pikiran manusia dengan segala
kecenderungan dan motivasi yang dimiliki. Golshani menolak anggapan yang
melihat teori sebagai hasil langsung dari eskperimen. Penyimpulan semacam itu
tidak bisa langsung dari eksperimen. Penyimpulan semacam itu tidak bisa
diverifikasi kebenarannya. Kesesuaian antara teori dan fakta eksperimental tidak
serta merta demikian adanya, karena secara logis sebuah penyimpulan bisa
ditarik dari beragam premis.40
Pelacakan Golshani dalam upaya menunjukkan hadirnya metafisika
dalam sains membawa banyak tokoh fisika dan untuk uraian lebih rinci tentang
teori-teori yang diungkap bisa dilihat dalam bukunya From Physics to
Metaphysics. Kesemuanya menegaskan bahwa bangunan sains tidak semata-mata
berasal dari data empirik dan eksperimentasi, lebih dari itu selalu melibatkan
asumsi, prakonsepsi, serta praanggapan sang ilmuan. Ruang inilah yang
seringkali luput dari pertimbangan sains yang terlanjur mengabsolutasi
empirisme sebagai pola pembacaan paling absah.41
Telah diuraikan bahwa metafisika tidak bertentangan dengan sains,
namun apakah fungsi metafisika ? Metafisika dalam pemikiran Golshani tidak
hanya diartikan sebagai aspek-aspek non-fisik yang terlibat dalam sains, namun
ia membuat katergori yang lebih khusus dengan meletakkan prakonsepsi atau
pandangan hidup sebagai ranah metafisis. Dalam praduga itulah segala
kecenderungan, nilai, dan pandangan hidup terlibat secara intens. Segala bentuk
kecenderungan dan pandangan hidup tersebut berakar atau berbasis pada
agama. Di sinilah letak agama sebagai rujukan bangunan metafisika yang
40
From Physics to Metaphusics..,. h. 21-23. 41
Ibid., h.56-57.
18
18
akhirnya menempatkannya sebagai basis sains.42 Integrasi antara agama dan
sains terajut ketika kerangka metafisika dijadikan sebagai fondasi sains.
Terhubungnya sains dan agama menjadi mungkin karena metafisika yang
menjadi landasan integrasi berisi nilai-nilai atau pandangan-pandangan agama.
3. Bentuk Integratif Sains dan Agama (Islamic Science)
Bentuk nyata dari teringtegrasikannya bangunan sains dengan praduga
metafisis yang akhirnya mengantarkan pada hadirnya agama menunjukkan
bahwa muatan religiusitas seseorang menjadi entitas yang sangat menentukan.
Jika saintis itu seorang Muslim, maka nilai-nilai keislaman yang ia miliki yang
akan mempengaruhi orientasi-orientasi sains. Di sinilah pentingnya Islam
sebagai sebuah cara pandang yang turut serta dalam konstruksi sains. Golshani
menawarkan sains Islam (Islamic science), sebagai sebuah bentuk konkrit
penyatuan yang menempatkan sains dan Islam sebagai bangunan yang
komplementer. Misalnya yang muncul adalah bagaimana mendefinisikan secara
tepat apa yang dimaksud dengan sains Islam. Golshani menolak pandangan
yang menyatakan bahwa sains bersifat bebas nilai, sehingga tidak mungkin
memasukkan konsep sains Islam kepada sebuah bangunan yang bersifat
independen. Begitu juga ia tidak sepakat dengan banyak kalangan yang
memaksudkan sains Islam sebagai sebuah disiplin yang membicarakan mukjizat
al-Qur‟an atau tradisi Islam sebagai cara untuk membuktikan keberadaan Tuhan.
Lebih dari itu tidaklah benar sains Islam muncul hanya karena sebuah
pandangan bahwa sains berasal dari saintis Muslim.43
Ia yakin bahwa cara kerja sains, misalnya pemilihan teori, sangat
bergantung pada apa yang ia sebut praduga metafisik seorang saintis. Dalam
uraiannya komitmen metafisik juga memegang peranan yang sangat penting
dalam pengembangan bahkan interpretasi sebuah teori. Di sinilah letak dimana
nilai ke Islaman seseorang sangat mempengaruhi pola kerja dan cara interpretasi
42
Zainal Abidin Bagir, “Islam, Science and „Islamic Science‟: How to‟Integrate‟ Science
and Religion,” dalam ed. Zainal Abidin, Science and Religion in a Post-colonial Wold, (Australia:
ATF Press, 2005), h.58. 43
Mehdi Golshani, Issues in Islam ..,. h. 51.
19
19
yang dilakukan. Sehingga Golshani menegaskan : “If science was simply based on
simple observation, then there would be no difference between Islamic or non-Islamic
science .”44
Cara pandang metafisika (metaphysical outlook) seorang saintis tentang
alam atau realitas fisik dengan jelas mempengaruhi teori atau pandangan ilmiah
yang dibuat. Dan cara pandang tersebut dibentuk oleh filsafat atau komitmen
religius yang dimiliki saintis. Dalam catatan Golshani adalah kenyataan bahwa
ide religiusitas mempunyai dampak dalam perbuatan, proses seleksi, dan
evaluasi sebuah teori.45 Pandangan inilah yang membawanya pada pandangan
bahwa Islam harus menjadi bagian integral dari perkembangan sains. Di sini
Golshani menyebut pandangan hidup Islam (Islamic worldview) sebagai kunci
bagaimana sains dibentuk oleh agama. Golshani menyebut tiga elemen
pandangan hidup Islam yang mempengaruhi ilmu pengetahuan dan sains pada
khususnya. Elemen-elemen tersebut antara lain:
a. Sifat tunggal Tuhan (al-Tauhid). Konsep ini berdampak pada munculnya
pandangan akan kesatuan penciptaan dan saling terkaitnya antara
berbagai ciptaan yang ada di muka bumi. Begitu juga dengan
pengetahuan, segala bentuk pengetahuan merupakan satu kesatuan yang
menjadi manifestasi dari ciptaan atau segala yang ada di muka bumi.
Oleh sebab itu pencarian ilmiah harus disintesiskan demi terwujudnya
keharmonisan dunia.
b. Iman pada supra-natural dan keterbatasan pengetahuan manusia.
Pandangan ini menegaskan bahwa realitas tidak hanya terdiri dari yang
bersifat fisik semata namun ada realitas yang tidak terjangkau oleh
inderawi manusia. Iman pada realitas supra-natural dan keterbatasan
manusia akan menghasilnya pemahaman pada tingkat inderawi, non
inderawi serta tiada batas tertentu.
c. Percaya pada sifat kebertujuan semesta. Allah menegaskan (al-Qur‟an
38:27) bahwa penciptaan langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada
44
Ibid. 45
Ibid, h.50.
20
20
diantaranya bukan untuk permainan. Dalam sifat kebertujuan itu disertai
dengan adanya keberakhiran (dunia akhirat). Dimana segala sesuatu
akan menjumpai nasibnya. Tanpa kehadiran dunia akhirat segala bentuk
ciptaan akan menjadi sia-sia.
d. Berkomitmen pada nilai-nilai moral. Pengembangan sains harus disertai
pengetahuan tentang etika. Sains tanpa disertai oleh pertimbangan-
pertimbangan etika akan menjumpai banyak masalah. Pendidikan etika
menjadi hal yang sangat penting untuk menumbuhkan perhatian moral
dan tanggung jawab.46
Keempat kategori tersebut pada prinsipnya adalah nilai-nilai yang
dimiliki oleh agama Ibrahimi (Abrahamic religion) yang menunjukkan kesamaan
pandangan antara Islam, Kristen, dan Yahudi. Oleh sebab itu Golshani
menempatkan karakteristik tersebut dalam kerangka “theistic religion.” 47 Dengan
masuknya Islam dalam konstruksi sains, tidak berarti akan merubah konstruksi
sains yang telah disepakati oleh komunitas sains. Oleh sebab itu ia menolak
definisi-definisi sains Islam yang keluar dari konsep yang ia ajukan, antara lain:
pertama, aktivitas ilmiah (pengujian, observasi, teorisasi) akan dilakukan dalam
pola yang baru. Kedua, penelitian kimiawi-psikis (physico-chemical) harus merujuk
pada al-Qur‟an dan sunnah. Ketiga, memasukkan dimensi keajaiban al-Qur‟an
dalam sains Islam. Keempat, sains kembali pada teori ilmiah lama. Dan kelima,
segala bentuk sains dan teknologi yang muncul pada abad terakhir ini harus
segera dihentikan.48
Pola semacam ini juga menunjukkan sisi totalitas sains, dimana sains
tidak hanya terdiri dari eksperimen dan observasi namun dilengkapi dengan
pertimbangan-pertimbangan metafisik yang akan membuat sains menjadi
sebuah pencarian yang bersifat komprehensif. Begitu kompleks realitas sehingga
tidak bisa ditangkap hanya dengan kemampuan kognitif atau sensorik manusia,
46
Mehdi Golshani, “Sacred Science vs Islamic Science,” dalam ed. Zainal Abidin Bagir,
Science and Religion in a Post-colonial Wold (Australia: ATF Press, 2005), h. 82-87. 47
Mehdi Golshani. Issues in Islam dan Science. 2004. h. 51. 48
Ibid,
21
21
akan tetapi harus dilengkapi dengan pemahaman tentang realitas immaterial
yang selalu melandasi pola pikir manusia dalam menginterpretasi sesuatu. Di
sinilah pandangan dunia Islam (Islamic worldview) mendapat tempat. Dengan
pandangan Islami pengetahuan yang bersifat total (menyeluruh) bisa diperoleh
kesejahteraan umat manusia itu sendiri.49
“In the Abrahamic religion, human beings are God‟s vicegerent on the earth and are responsible for its prosperity. Thus, in the Qur‟an and Islamic tradition, any kind of knowledge wich is accompanied by faith is considered as a means of prosperity.”50
Dengan semakin berkembangnya genetika dan bioteknologi peran dan
tanggung jawab saintis menjadi semakin krusial, karena itu fungsi komitmen
keagamaan menjadi cara terbaik untuk menghindari dari penyalahgunaan sains
dan teknologi.51 Di sini nampak bahwa bangunan metafisika dengan muatan
agama mampu memberi orientasi pada dimensi etik. Penekanan Golshani adalah
pada bagaimana kerangka Islam mampu menjadi bagian tak terpisahkan dari
sains, sehingga sains yang dihasilkan mampu mensejahterakan umat manusia.
Disini nampak bahwa fokus agama tidak pada keterlibatan secara langsung
dengan struktur metodologi sains akan tetapi lebih pada mengorientasikan kerja
sains agar sesuai dengan cara pandang keislaman.
E. Titik Temu Pemikiran John F. Haught dan Mehdi Golshani dalam
Konstruksi Sains dan Agama
Dalam konteks hubungan sains dan agama, letak metafisika ada pada
struktur epistemologis sains yang berfungsi sebagai landasan bagi eksistensi
sains. Bentuk konkrit dari metafisika adalah iman (faith). Ibarat sebuah pintu,
keimanan adalah kunci yang memungkinkan manusia menjelajah lebih jauh ke
dalam sebuah rumah. Oleh sebab itu keimanan berfungsi sebagai langkah
pertama yang harus dilalui untuk menguak rahasia realitas. Melalui keimanan
kesadaran manusia mengenal keterbatasannya dan saat yang bersamaan
49
Ibid. 50
Ibid. 69. 51
Ibid.
22
22
mengantar pada pengetahuan atas dimensi yang lebih tinggi atau dimensi yang
lebih mendalam.52
Dalam ekplorasi ilmiah seorang saintis harus berkomitmen pada
keyakinan bahwa “alam semesta dapat dipahami (the universal is intelligible)”
atau “kebenaran perlu dicari (truth is worth seeking).” Menurut Haught komitmen
keyakinan saintifik tersebut mempunyai kesesuaian dengan visi keagamaan. Dan
sains mempunyai makna yang lebih dalam jika dipadukan dengan konteks
keagamaan.53 Kerangka teologis metafisik (theological metaphysical framework) ini
akan membawa penemuan-penemuan sains lebih bisa dimengerti (intelligible).54
Haught dengan sangat jelas mengartikan metafisika sebagai visi umum
(general vision) dalam melihat sesuatu, sehingga menempatkan agama sebagai
bangunan yang bisa masuk ke dalamnya. Agama yang membawa prinsip-
prinsip umum memberi pengaruh pada bagaimana sains harus dimaknai.
Namun klaim Haught bahwa agama adalah entitas terkuat untuk bisa menjadi
kerangka sains (evolusi) dibantah oleh Richard Dawkins. Bagi Dawkins,
semenjak ditemukannya teori evolusi agama tidak lagi mempunyai tempat yang
signifikan dalam bangunan sains (khurusnya teori evolusi). Seleksi alam yang
diinterpretasi Dawkins sebagai pembuat jam buta (blind watchmaker), buta karena
sifatnya yang tidak melihat ke depan dan tidak berjuang adalah bukti abhwa
tidak adap peran agama di sana.55 Pandangan agama bahwa semesta ini
bertujuan dimana semuanya ada dalam kekusaan Tuhan tidak lagi signifikan.56
Bagi Ellis apa yang dilakukan Dawkins telah keluar dari wilayah sains
karena ia telah melakukan justifikasi-justifikasi yang bersifat metafisis filosofis. 57
52
John F. Haught, The Cosmic Adventure: Science, Religion and the Quest for Purpose,
(New York/Ramsey: Paulist Press, 1984), h.4. 53
John F. Haught, God after Darwin A Theology of Evolutin, (USA: Westview Press,
2000), h.111. 54
Ibid, h. 47 55
Richard Dawkins, The Blind Watchmaker. (USA: W.W. Norton & Company, 1996), h.
21. 56
George F. R. Ellis, “The Thinking Underlying the New „Scientific‟Worldviews,” dalam
ed. Robert John Russel et al, evolutionary and Molecular Biology (USA: The University of Notre
Dame Press, 1998), h. 266. 57
Ibid, h. 258.
23
23
Hal ini pula yang dituduhkan Haught, 58 dimana hal semacam itu dikategorikan
sebagai saintisme. Apalagi sejak awal Dawkins memposisikan teori evolusi
berlawanan dengan agama. Upayanya yang mencoba mencari jawaban yang
sama (tentang ultimate explanation) adalah pandangan yang berlebihan dan
melebihi wilayah sains.59 Apa yang dilakukan Dawkins dilandasi oleh semangat
yang luar biasa untuk menjatuhkan agama yang akhirnya membawa keduanya
pada wilayah-wilayah yang seharusnya melibatkan, secara serius, metafisika,
filsafat, bahkan agama.
Penegasan Haugth bahkan pemahaman terhadap sains harus disertai oleh
konsep teologis muncul karena baginya bangunan teologis tersebut lebih unggul
atau memuaskan dari pada penjelasan-penjelasan yang ditawarkan materialisme.
Ada dua hal mendasar mengapa metafisika dengan muatan teologis mempunyai
kerangka yang lebih mendalam, yakni, pemahaman tentang kekuasaan (power)
dan dimensi kekuasaan ketika dihubungkan dengan sifat otonomi evolusi sains.
Di sini, ia menyontohkan karakter kerendahan hati Tuhan (the humility of God)
sebagai karakter teologis yang memungkinkan kebaruan (novelty) yang benar
(true) muncul secara spontan. Ini bertentangan dengan pandangan kaum
materialis yang mamaknai fenomena tersebut secara deterministik. Haught juga
tidak sepakat dengan pandangan yang melihat semesta sebgai hamparan yang
bersifat abadi dan tetap (fix).60 Dari uraian di atas terlihat bahwa bangunan
teologis yang ditawarkan Haught adalah bangunan teologis yang terilhami oleh
teori evolusi sehingga bangunan teologis yang bersifat tidak evolutif bukan
menjadi bangunan ideal teologi. Bangunan teologis tak berkarakter evolusi ini
biasanya tergambar pada “intelligent design”.
Tokoh lain yang melihat teologi sebagai jalan keluar bagi sains adalah
Richard Swinburne. Baginya, apa yang ditawarkan Darwin tentang kompleksitas
organisme sebagai buah dari proses evolusi mempunyai sisi kebenaran, akan
tetapi itu bukanlah sebuah penjelasan utama bahwa sesuatu terjadi karena
58
John F. Haught, Science and Religion, (New York: Paulist Press, 1995), h.17. 59
Richard Dawkins, The Blind Watchmaker, (USA: W.W Norton & Company Ellis,
George F.R., 1998), h. 259. 60
John F. Haugt, When Science Meets Religion,h. 54.
24
24
sesuatu yang lain. Lebih jelas lagi ia menguraikan rangkaian terjadinya teori
evolusi; teori evolusi adalah konsekuensi dari hukum kimiawi yang
memungkinkan adanya makhluk hidup. Hukum kimia tersebut adalah
konsekuensi munculnya penyusunan kimiawi sehingga memunculkan
kehidupan yang harus eksis? Jika hukum fisika tidak membuka kemungkinan
terjadinya proses penyusunan kimiawi sehingga memunculkan potensi
kehidupan, maka kehidupan tidak akan pernah ada. Dan jika tidak ada proses
variasi acak yang muncul dari sifat-sifat orang tua, maka tidak akan pernah ada
teori evolusi. Bagi kalangan materialis, pertanyaan dan kenyataan semacam itu
tidak mempunyai jawaban. Sedang bagi kaum agamawan, fenomena itu
meyakinkan bahwa Tuhan mempunyai alasan yakni agar hewan dan manusia
terus berkembang.61 Pernyataan Swinburne bahwa hadirnya Tuhan bukan
sekedar sebagai pengisi rongga kosong yang ditinggalkan sains menunjukkan
bahwa relasi antara sains dan Tuhan tidak bersifat sekedar isi mengisi. Namun
untuk bisa memahami realitas secara utuh maka kehadiran kedua-duanya
diperlukan. Dan pola semacam ini mempunyai kesamaan dengan idealisme
Haught untuk melengkapi sains dengan dimensi teologis.
Pandangan Haught tentang landasan integrasi sains dan agama
mempunyai kesamaan dengan pemikiran Golshani terutama tentang makna dan
fungsi metafisika. Golshani sering menyebut metafisika bersandingkan dengan
wordview, sebuah kata yang mempunyai arti yang sama dengan visi umum
(general vision) atau cara pandang.
“A wordview is a framework within which our minds operate. It includes our metaphysical and epistemological presuppositions about God, the universe and humanity. Our worldview affects our decisions, priorities, values and goals. It brings our thoughts to a unified whole”62
Yang menjadi perhatian utama Mehdi Golshani adalah sains tidak pernah
bisa bersifat netral tanpa dipengaruhi oleh cara pandang yang dimiliki oleh
seorang saintis. Ia menjelaskan dengan mendalam bagaimana sains tidak bersifat
61
Richard Swinburne, Is There a God?, (Oxford New York: Oxford University Press,
1996), h. 68. 62
Mehdi Golshani, Sacred Science ..., h. 82.
25
25
netral atau bebas nilai. Sains selalu dipengaruhi oleh kecenderungan-
kecenderungan yang dimiliki oleh seorang saintis. Disini ia mengategorikan
ruang tersebut sebagai praduga metafisis (metaphysical presupposition). Ia
membantah pandangan yang mengatakan bahwa jika sains bisa dimasuki oleh
ideologi, agama, atau nilai-nilai lain yang diluar struktur sains maka sains tidak
bersifat universal lagi. Bagi Golshani definisi sains universal atau sains netral
pada prinsipnya tidak pernah ada, jika ada maka sains terbatas hanya pada
proses deskripsi semata. Golshani berkata:
“…..science could be a universal enterprise, if the findings of empirical science were not extended beyond their context of discovery and if scientists stopped at the description of phenomena.”63
Senada dengan pandangan Golshani yang melihat sains tidak bisa berdiri
sendiri terutama dalam proses interpretasi atau penyimpulan-penyimpulan,
Kuyper menegaskan hal yang sama. Bagi Kuyper, pada tingkatan
penggambaran, pandangan hidup tidak terlibat atau netral namun ketika
berkaitan dengan penguraian teori maka di dalamnya melibatkan asumsi-asumsi
interpretatif yang berada di luar batang tubuh sains, yakni cara pandang
berdimensi metafisis (agama), yang ikut membentuk konstruksi sains. Bahkan ia
meletakkan Bibel sebagai pandangan hidup yang harus membentuk sains karena
ia sama sekali tidak bertentangan dengan sains, terutama pada ranah teoritis.64
Yang paling mendasar dari kesamaan yang ada adalah bahwa Golshani dan
Kuyper meletakkan komitmen (guiding commitment) sebagai entitas yang sejak
awal mempunyai kontribusi besar dalam perkembangan sains.65 Wyjkstra
berkata :
“…..that worldview-sensitive construction of scientific guiding commitments has played an important role over the past three centuries, by theistic and nontheistic scientists alike. It is the dimension of metaphysics within physics, or metascience within science”66
63
Ibid, h.78. 64
Stephen J. Wyjkstra, “Should Woldview Shape Science? Toward an Integrationist
Account of Scientific Theorizing,” dalam ed. Jitse M. van der Meer, Facets of Faith and Science,
(USA: University Press of America, 1996), h.126. 65
Ibid, h.129. 66
Ibid,
26
26
Oleh sebab itu peran pandangan hidup bagi sains tidak bisa diletakkan.
Apalagi jika melihat relevansi pandangan hidup yang memberi makna lebih jelas
tentang dimensi intelligibility (sifat masuk akal) semesta. Sebuah sifat yang
memungkinkan pencairan sains terus berlanjut.67 Entitas ini pula yang mendapat
tempat yang sangat signifikan dalam pemikiran Haught dimana ia
menempatkan pandangan a priori tentang sifat semesta yang intelligible untuk
dihubungkan dengan dimensi agama.
Haught dan Golshani dalam konteks landasan integrasi cenderung
mempunyai banyak kesamaan. Kesamaan yang mendasar dari kedua tokoh ini
adalah keduanya menggunakan metafora “akar” untuk memadukan sains dan
agama. Haught berusaha mengakarkan sains pada pandangan agama mengenai
realitas. Demikian pula Golshani mengakarkan sains pada pandangan agama.
Dalam posisinya sebagai akar, agama memberi jaminan bahwa alam yang
menjadi kajian sains adalah alam yang rasional, teratur, dan memiliki hukum-
hukum. Tanpa adanya keyakinan adanya hukum yang berlaku secara teratur,
tidak akan ada dasar konseptual pengembangan teori-teori ilmiah. Disinilah,
keduanya menjadikan agama sebagai dasar kerja sains.68
F. Konstribusi Pemikiran Integratif John F. Haught dan Mehdi Golshani dalam Upaya Penguatan Eksistensi Perguruan Tinggi Islam (PTAI) di Indonesia
Dari sejumlah titik temu yang begitu fundamental tersebut, kedua
pandangan integratif John F. Haught dan Mehdi Golshani itu juga secara
subtantif dapat dielaborasi dalam dimensi yang lebih akademis operasional
sebagai upaya penguatan terhadap eksistensi perguruan tinggi agama Islam
(PTAI) di Indonesia. PTAI sebagaimana kita ketahui dalam beberapa tahun ini
mengalami konfrontasi akademis yang luar biasa seiring dengan perkembangan
dan kemajuan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang
„memaksanya‟ untuk melakukan proses metamorfosis yang sangat resistensif
67
Ibid, h.161. 68
Zainal Abidin Bagir, “Bagaimana „Mengintegrasikan‟ Ilmu dan Agama?, ” dalam
Zainal Abidin Bagir (ed.), Integrasi Ilmu dan Agama, (Bandung: Mizan, 2005), h.23.
27
27
guna menyeimbangkan diri dengan perkembangan IPTEK serta upaya untuk
terus „hidup‟ dalam percaturan kompetisi dunia pendidikan tinggi yang semakin
keras. Disisi lain, pemikiran kedua tokoh tersebut memang sangat
memungkinkan untuk diadaptasi dalam ranah akademis PTAI yang secara
karakteristik memiliki kesamaan subtantif yang ingin dicapai, yaitu
pengembangan ilmu pengetahuan dan agama yang lebih integratif, terlepas dari
spirit of religious background yang berbeda. Berubahnya sejumlah PTAIN menjadi
UIN (Universitas Islam Negeri) serta banyaknya PTAI (termasuk PTAIS) yang
membuka program studi umum seperti psikologi, sosiologi, teknik dan lain
sebagainya yang nota bene selama ini dipandang „menyimpang‟ dari landasan
filosofis PTAI itu sendiri merupakan salah satu bukti bahwa proses metamorfosis
tersebut telah „menjangkiti‟ PTAI di Indonesia.
Terlepas dari perdebatan subtansial pada ranah akademis tersebut,
menurut penulis ada sejumlah hal yang sangat urgen dari pemikiran kedua
tokoh tersebut yang dapat dijadikan sebagai landasan filosofis dan akademis
PTAI di Indonesia guna menguatkan proses metamorfosis tersebut agar sesuai
dengan perkembangan IPTEK yang ada, tanpa harus kehilangan jati dirinya
sebagai Islamic morality and social-cultural institution, sebagaimana pernah
ditegaskan oleh Azyumardi Azra.69 Beberapa hal fundamental tersebut adalah;
pertama, pengembangan kajian keilmuan di PTAI memungkinkan untuk terus
dilakukan dengan senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dalam
konteks globalisasi ilmu pengetahuan yang terus berkembang dengan
menyandarkan proses pengembangan itu pada nilai-nilai filosofis Islam agar
69
Azyumardi Azra. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernitas Menuju Milenium Baru.
Logos: Jakarta. 2000. h.51. Menurutnya, ada 2 peran strategis PTAI di Indonesia. Pertama, peran
struktural organisasional. Peran ini berfungsi membentuk dan menciptakan kader-kader akademis
intelektual muslim masa depan yang diharapkan mampu menjadi lokomotif pembaharuan
pemikiran keislaman Indonesia ke arah modernisasi perangkat-perangkat infrastruktur pendidikan
Islam di masyarakat. Fungsi ini selama ini banyak diperankan oleh lembaga pendidikan tinggi
Islam baik swasta maupun negeri. Dengan adanya peran itu, masyarakat memiliki academic
conciousness sehingga mampu memposisikan dirinya dalam pergulatan sosial politik keagamaan
secara moderat. Kedua, peran sosial kultural. Peran ini oleh PTAI dimediasikan melalui gerakan
pengabdian dan social research dengan melibatkan berbagai lapisan masyarakat. Peran ini juga
tidak kalah penting, karena dengan pendekatan itu PTAI mampu menjalin social network dengan
masyarakat sebagai salah satu stakeholder serta mendorong tumbuhnya social confidence dan
spirit of ethics otonomy masyarakat yang bertumpu pada Islamic morality values sehingga mampu
menciptakan tatanan masyarakat yang beradab.
28
28
entitas ruh sains ataupun IPTEK yang dikembangkan tidak keluar dari koridor
etika agama, sebagaimana teori dasar evolusi teologi yang ditegaskan oleh
Haught, yang menurut penulis dipandang sebagai micro Islamic design dari upaya
integrasi agama dan sains. Untuk memperkuat sekaligus memperkaya khazanah
pengembangan kajian keilmuan tersebut, juga diperlukan upaya mandiri untuk
menggali sejumlah keilmuan yang terkait dengan sains yang terkandung dalam
al-Qur‟an maupun hadis, ataupun realitas sunnatullah yang ada sehingga
memungkinkan akan semakin banyaknya ilmu pengetahuan (new discoveries of
Islamic sciences) yang lahir dari dunia Islam (PTAI) sebagaimana pandangan
dasar dari teori sains Islam yang digagas oleh Golshani, yang penulis pandang
sebagai macro Islamic design. Dengan integrasi kedua pendekatan itu, akan sangat
memungkin bagi PTAI di Indonesia untuk tidak hanya mampu survive dan eksis
dalam kancah kompetisi pendidikan tinggi global, tetapi lebih dari itu akan
mampu menjadi embrio lokomotif kembangkitan peradaban Islam yang lahir di
Asia, sebagaimana banyak disinyalir oleh pemikir Islam maupun Barat, sekaliber
Fazlur Rahman, Rajak Ahmad al-Faruqi, Daniel S. Lev, dan lain sebagainya.70
Kedua, upaya pengembangan kajian keilmuan dan agama secara integratif
pada PTAI di Indonesia, perlu dilakukan atas dasar nilai-nilai moralitas agama
yang „hidup‟ dalam setiap pelaku kajian tersebut. Dalam konteks itu, tentunya
seluruh komponen civitas akademika PTAI yang ada terutama para pimpinan
dan tenaga pengajar sebagaimana dasar teori dari Haught dan Golshani yang
menandaskan akan pentingnya keyakinan religius pelaku sains sebagai akar dari
segala proses dan penemuan sains yang ada. Dengan prinsip seperti itu, ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh PTAI di Indonesia tidak
hanya akan selalu hidup dalam sanubari civitas akademikanya tetapi lebih dari
70
Bila hal itu tidak dilakukan, PTAI di Indonesia bukan hanya akan menjadi „pecundang‟
karena kalah bersaing dengan dunia pendidikan tinggi umum maupun Barat, tetapi lebih dari itu
eksistensinya hanya dipandang sebagai „penggembira‟ yang tidak memiliki daya inovasi untuk
melahirkan berbagai kajian keilmuan yang dibutuhkan oleh tidak hanya umat Islam tetapi umat
manusia pada umumnya. Ketidakberanian PTAI dalam melakukan berbagai terobosan inovatif
yang selama ini terjadi, oleh Imam Zuhdi, diibaratkan sebagai budaya kejumudan yang harus
ditebas karena selama ini telah membunuh „semangat kejayaan peradaban Islam‟ di dunia. Lihat
dalam karyanya, Perguruan Tinggi Islam di Indonesia: dari Realitas ke Idealitas, (Surabaya:
Bintang Pustaka, 2006), h. 137.
29
29
itu akan membentuk peradaban moralitas yang tinggi (high morality civilization)
karena didasari oleh pondasi agama yang kuat. Sebagaimana diketahui, proses
metamorfosis yang selama ini dilakukan oleh PTAI seperti halnya menjadi UIN
juga meninggalkan sejumlah masalah dan kekhawatiran yang cukup
fundamental. Di antaranya, dengan perubahan itu UIN justru dipandang sebagai
institusi yang semakin kering akan sentuhan nilai-nilai praksis agama, walaupun
pada dasarnya justru ilmu agama lahir dari institusi itu sendiri.71 Disisi lain,
dengan perubahan itu, memunculkan kekhawatiran dimana animo masyarakat
terhadap fakultas berjenre agama juga mengalami metamorfosis yang justru
kontradiktif, fakultas agama dipandang sebagai second class, bukan pilihan
utama, akibatnya banyak fakultas agama yang terpaksa harus „gulung tikar‟
karena tiadanya atau minimnya mahasiswa. Persoalan dan kekhawatiran ini
harus menjadi perhatian serius pihak PTAI di Indonesia dengan mencoba
memformulasikan gagasan nilai-nilai agama Haught dan Golshani tersebut
dalam aplikasi pengembangan keilmuan di institusinya, agar PTAI di Indonesia
tidak hanya besar secara kuantitas, tetapi secara kualitas pun seimbang.
Ketiga, sebagaimana paradigma Golshani dan Haught yang memandang
sains merupakan dimensi yang bebas nilai (netral), maka upaya pengembangan
ilmu pengetahuan dan agama secara integratif di PTAI Indonesia seyogyanya
sejak awal sudah dilandasi oleh nilai-nilai agama, sehingga agama akan menjadi
ruh bagi konstruksi ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan digali maupun
dikembangkan oleh PTAI. Dengan pespektif seperti itu, PTAI bukan hanya akan
mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara lebih inovatif,
tetapi juga mampu membentuk Islamic brand design dari karakteristik ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dikembangkannya, sebagai upaya penguatan
eksistensi PTAI di Indonesia sekaligus sebagai embrio dari representasi
peradaban Islam di Asia Tenggara yang memiliki karakteristik tersendiri, tanpa
71
Ibid., h.72. Fenomena tersebut tampak pada semakin banyaknya tindak kekerasan,
kriminalitas, perilaku menyimpang yang dilakukan oleh civitas akademika di PTAI sendiri.
Sebagai konsekuensi itu semua, bukan hanya umat Islam secara internal yang skeptic terhadap
eksistensi PTAI itu sendiri tetapi pandangan negatif pihak lainnya pun tidakkalah besarnya.
Kondisi ini bila dibiarkan tidak hanya merusak citra PTAI tetapi sekaligus mengancam eksistensi
PTAI itu sendiri dalam konteks kompetisi pendidikan tinggi, baik dalam skala nasional, terlebih
dalam skala internasional.
30
30
menghilangkan nilai kompetitif dan keunggulan yang diharapkan akan mampu
berbicara banyak dalam konteks kompetisi global pendidikan tinggi.
G. simpulan
Berangkat dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan sejumlah
pemikiran subtantif kontemporer kedua cendekiawan dunia tersebut tentang
esensi integrasi sanis dan agama, serta kontribusinya bagi pengembangan PTAI
di Indonesia, yaitu:
1. J.F Hught „melihat‟ dan „memaknai‟ integrasi sains dan agama sebagai
„dua wajah epistemologi‟ yang saling bersentuhan dan memunculkan sifat
komplementasi yang mencerahkan. Ini menunjukkan bagaimana sains dan
agama digali menuju kedalaman sehingga masing-masing akan bertemu
pada muara yang sama. Sedangkan Golshani tidak berusaha menawarkan
ruang bergerak bagi agama. Baginya, agama menempati wilayah cara
pandang metafisis yang tidak harus berakselerasi dengan penemuan-
penemuan sains kontemporer.
2. Keberanian Haught untuk mengolaborasi evolusi demi kompatibilitas
agama merupakan satu keberanian karena pembacaan semacam itu
meniscayakan adanya pergeseran teologis. Sedangkan Golshani menilai
agama menjadi penjuru akan orientasi-orientasi laku ilmiah serta sebagai
petunjuk dalam mengaplikasikan sains sesuai dengan nilai-nilai keislaman.
3. Model integrasi Haught melahirkan teologi evolusi yang merupakan
sebuah bangunan epistemologi-teologis „berwajah‟ rekonstruksionis
modern yang membawa agama begitu jauh demi kesesuaiannya dengan
perkembangan sains. Dengan kata lain, teologi menjadi tolak ukur teori-
teori ilmiah. Sedangkan model integrasi Golshani melahirkan „teologi
integrasi struktural‟ dimana tidak ada sains yang bersifat netral atau bebas
nilai (value-free), sains selalu dibentuk oleh landasan metafisis seorang
saintis. Kecondongan tersebut dengan memasukkan entitas keislaman
pada struktur sains.
31
31
4. Kontribusi pemikiran kedua tokoh tersebut dapat dijadikan sebagai
landasan filosofis dalam upaya penguatan eksistensi perguruan tinggi
Islam (PTAI) di Indonesia, melalui: pertama, pengembangan kajian
keilmuan di PTAI dilakukan dengan senantiasa mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan globalisasi ilmu dengan menyandarkan proses
pengembangan itu pada nilai-nilai filosofis Islam agar entitas ruh sains
(IPTEK) tidak keluar dari koridor etika agama sebagai new discoveries of
Islamic sciences di PTAI. Kedua, upaya pengembangan kajian keilmuan dan
agama secara integratif pada PTAI di Indonesia, perlu dilakukan atas dasar
nilai-nilai moralitas agama yang „hidup‟ dalam setiap pelaku kajian
tersebut. Ketiga, upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan agama
secara integratif di PTAI Indonesia seyogyanya sejak awal sudah dilandasi
oleh nilai-nilai agama, sehingga agama akan menjadi ruh bagi konstruksi
ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan digali maupun dikembangkan
oleh PTAI di Indonesia secara genuin.
REFERENSI
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernitas Menuju Milenium Baru. Jakarta:Logos. 2000.
Bagir, Zainal Abidin. “Bagaimana „Mengintegrasikan‟ Ilmu dan Agama?.” Dalam. Integrasi Ilmu dan Agama. Bangung: Mizan. 2005.
Bagir, Zainal Abidin.“Islam, Science and „Islamic Science‟: How to „Integrate‟ Science and Religion.” In Science and Religion in Post-Colonial World. Australia: ATF Press. 2005.
Barbour, Ian G. Religion and Science. New York: Harper SanFrancisco. 1990.
Barbour, Ian G. When Science Meets Religion. New York: Harper SanFrancisco. 2000.
Dawkins, Richard. “Is Science a Religion?” Published in The Humanist on line, January/February, Accesed on December 6th 2004.
Dawkins, Richard. “The Thinking Underlying the New „Scientific‟ Worldviews”. Dalam Russel, Robert John et al.eds., Evolutionary and Molecular Biology. USA: The University of Notre Dame Press. 1996.
32
32
Golshani, Mehdi. “Comment on A Religiously Partisan Science? Islamic and Christian Perspectives.” In Theology and Science. Vol. 3. No.1. 1005.
Golshani, Mehdi. “Sacred Science vs Islamic Science.” In Zainal Abidin Bagir, ed. Science and Religion in a Post-colocial World. Australia: ATF Press. 2005.
Golshani, Mehdi. From Physics to Metaphysics. Iran: Institute for Humanities and Cultural Studies Publication. 2003.
Golshani, Mehdi. Issues in Islam and Science. Tehran: Institute for Humanities and Cultural Studies (IHCS). 2004.
Golshani, Mehdi. The Holy Quran and The Science of Nature. New York: Global Scholarly Publication. 2003.
Haught, John F. “Seeing the Universe: Ian Barbour and Teilhard de Chardin.” In Russel, Robert John ed. Fifty Years in Science and Religion. England: Asghate. 2004.
Haught, John F. Deeper Than Darwin: The Prospect for Religion in the Age of Evolution. USA: Westview Press. 2003.
Haught, John F. God after Darwin A Theology of Evolution. USA: Westview Press.2000.
Haught, John F. Science and Religion: In Search of Cosmic Purpose . New York: Paulist Press. 1995.
Haught, John F. Science and Religion: From Conflict to Conversation. New York: Paulist Press. 2000.
Haught, John F. The Cosmic Adventure: Science, Religion and the Quest for Purpose. New York/Ramsey: Paulist Press. 1984.
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity. New York: Chicago Press. 1996
Stenmark, Mikael. “A Religiously Partisan Science? Islamic and Christian Perspectives.” In Theology and Science. Vol. 3. Number 1 Maret 2005.
Swinburne, Richard. Is There a God?. Oxford New York: Oxford University. 1996.
W. Mark Richardson, Slack, Gordy ed. Faith in Science: Scientists Search for Truth. New York: Routledge. 2001.
Wyjkstra, Stephen J. “Should Worldviews Shape Science? Toward an Integrationist Account of Scientific Theorizing.” In Van Der Meer, Jitse M. ed. Facets of Faith and Science. USA: University Press of America. 1996.
33
33
Zuhdi, Imam. Perguruan Tinggi Islam di Indonesia: dari Realitas ke Idealitas. Surabaya: Bintang Pustaka. 2006.
Top Related