Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan ...

17
Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan Perilaku Warga Rumah Susun Serta Faktor yang berhubungan Vania Tryanni 1 , Elisna Syarifuddin 2 1 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2 Departemen Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Pendahuluan: Gangguan respirasi merupakan masalah kesehatan yang perlu menjadi perhatian dikarenkan tingginya angka mortalitas dan morbiditas karenya. Rumah susun sendiri merupakan salah satu alternatif tempat tinggal untuk kota padat seperti Jakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi gangguan respirasi dengan perilaku warga rumah susun di wilayah rumah susun Jakarta. Selain itu diliat juga faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang. Metode: Metode yang digunakkan dalam penelitian ini adalah cross-sectional dimana pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner. Penelitian ini melibatkan 120 keluarga yang tinggal di daerah rumah susun di Jakarta. Hasil: Dari 513 penghuni rumah susun didapatkan prevalensi gangguan respirasinya adalah 44.2%. Dimana gangguan yang paling sering dialami adalah gangguan saluran nafas atas termasuk ISPA, rhinitis,sinusitis, faringitis mencapai 32.9%. Disusul oleh TBC (7.6%) , PPOK (1.8%) dan asma (1%). Dari hasil analisis didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara gangguan respirasi dengan perilaku. Analisis juga menunjukkan tidak terdapat hubungan antara perilaku seseorang dengan jenis kelamin, pekerjaan serta pendidikan. Diskusi: Perilaku tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan ganguan respirasi dikarenakan analisis ini menilai hubungan perilaku respondent dan gangguan respirasi pada keluarga, padahal belum tentu semua anggota keluarga memiliki perilaku yang sama sehingga kurang tergambar. Kedua dibutuhkan indikator yang lebih objektif. Kata Kunci: Gangguan Respirasi, Jakarta, Perilaku, Rumah susun, Sosiodemografi Prevalence of Respiratory Disturbance and its association With Human Behavior in Flat Resident in Jakarta and Other Determining Factor Abstract Introduction: Respiratory disorder is a health problem that needs our attention because it’s cause high mortality and morbidity number. The purpose of this study is to determine the prevalence of respiratory disorder and its relationship with human behavior in residents of flat in Jakarta, also looked for factor that influence a person’s behavior. Method:This study methodology is cross sectional. The data is obtanaid by quostionare filling and involved 120 family that live in flats in Jakarta Results: Of 513 residents of the apartement the prevalence of respiratory disorder was 44.2%. Where the most often experienced disorder is upper respiratory illness, including upper respiratory infections, rhinitis, sinusitis, phrayngitis wich reach 32.9%. Follow by lung tuberculosis (7.6%), COPD (1.8%), and asthma (1%). The most experienced symptoms is shortness of breath (4.1%) beyond cough. From the analysis there isn’t significant relationship between repiratory disorder and behavior. The analysis also showed there was no correlation between health behavior with gender, occupation and education. Discussion: Overall behavioral and each indicators do not show significant correlation may caused by this analysis assessing the relationship of respondent behavior and respiration disorder in the family, though not necessarily all members of the family have the same behavior. Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013

Transcript of Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan ...

Page 1: Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan ...

Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan Perilaku Warga Rumah Susun Serta Faktor yang berhubungan

Vania Tryanni1, Elisna Syarifuddin2 1Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2Departemen Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

[email protected]

Abstrak

Pendahuluan: Gangguan respirasi merupakan masalah kesehatan yang perlu menjadi perhatian dikarenkan tingginya angka mortalitas dan morbiditas karenya. Rumah susun sendiri merupakan salah satu alternatif tempat tinggal untuk kota padat seperti Jakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi gangguan respirasi dengan perilaku warga rumah susun di wilayah rumah susun Jakarta. Selain itu diliat juga faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang.

Metode: Metode yang digunakkan dalam penelitian ini adalah cross-sectional dimana pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner. Penelitian ini melibatkan 120 keluarga yang tinggal di daerah rumah susun di Jakarta.

Hasil: Dari 513 penghuni rumah susun didapatkan prevalensi gangguan respirasinya adalah 44.2%. Dimana gangguan yang paling sering dialami adalah gangguan saluran nafas atas termasuk ISPA, rhinitis,sinusitis, faringitis mencapai 32.9%. Disusul oleh TBC (7.6%) , PPOK (1.8%) dan asma (1%). Dari hasil analisis didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara gangguan respirasi dengan perilaku. Analisis juga menunjukkan tidak terdapat hubungan antara perilaku seseorang dengan jenis kelamin, pekerjaan serta pendidikan.

Diskusi: Perilaku tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan ganguan respirasi dikarenakan analisis ini menilai hubungan perilaku respondent dan gangguan respirasi pada keluarga, padahal belum tentu semua anggota keluarga memiliki perilaku yang sama sehingga kurang tergambar. Kedua dibutuhkan indikator yang lebih objektif.

Kata Kunci: Gangguan Respirasi, Jakarta, Perilaku, Rumah susun, Sosiodemografi

Prevalence of Respiratory Disturbance and its association With Human Behavior in Flat Resident in Jakarta and Other Determining Factor

Abstract

Introduction: Respiratory disorder is a health problem that needs our attention because it’s cause high mortality and morbidity number. The purpose of this study is to determine the prevalence of respiratory disorder and its relationship with human behavior in residents of flat in Jakarta, also looked for factor that influence a person’s behavior.

Method:This study methodology is cross sectional. The data is obtanaid by quostionare filling and involved 120 family that live in flats in Jakarta

Results: Of 513 residents of the apartement the prevalence of respiratory disorder was 44.2%. Where the most often experienced disorder is upper respiratory illness, including upper respiratory infections, rhinitis, sinusitis, phrayngitis wich reach 32.9%. Follow by lung tuberculosis (7.6%), COPD (1.8%), and asthma (1%). The most experienced symptoms is shortness of breath (4.1%) beyond cough. From the analysis there isn’t significant relationship between repiratory disorder and behavior. The analysis also showed there was no correlation between health behavior with gender, occupation and education.

Discussion: Overall behavioral and each indicators do not show significant correlation may caused by this analysis assessing the relationship of respondent behavior and respiration disorder in the family, though not necessarily all members of the family have the same behavior.

Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013

Page 2: Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan ...

Keyword : Flat, Health behavior, Jakarta, Respiratory disorder, Sosiodemografic

Pendahuluan

Sistem pernafasan adalah sistem yang sangat penting untuk kehidupan manusia. Ia

memegang banyak peranan penting yang sec ara garis besar dibagi menjadi fungsi respirasi

dan non-respirasi. Fungsi respirasi di sini adalah proses memasukan oksigen dari luar tubuh

kedalam tubuh untuk digunakan lebih lanjut sebagai bahan utama metabolisme sel. 1 Karena

fungsinya itu, sistem ini selalu terpapar ke dunia luar terhadap dunia luar yang menyebabkan

kerentanan sistem ini untuk mengalami ganggguan.

Gangguan sistem respirasi sendiri secara garis besar dibagi kedalam 2 kelompok,

yaitu penyakit paru restriktif dan paru obstruktif yang masih terbagi kedalam beberapa

kelompok kecil lainnya. Namun yang disayangkan kewaspadaan warga Indonesia terhadap

gangguan ini masih relatif rendah. Mungkin hal ini dikarenakan gejala yang timbul sering

dianggap sepele oleh masyrakat, seperti batuk dan sesak nafas.2

Penyakit saluran pernafasan memilki prevalensi yang cukup tinggi, di Amerika

sendiri kira kira 35 juta warganya mengalami gangguan respirasi obstruktif. Gangguan ini

menyebabkan angka morbitas yang tinggi, kira kira ia menghabiskan uang 154 juta dolar

Amerika untuk mengatasi efeknya. Selain itu gangguan ini merupakan penyebab kematian

ke-tiga tersering di dunia, setelah gangguan jantung dan kanker dan angka ini terus naik. Pada

tahun 2008 insiden mortalitasnya hingga 135.5/100.000 kematian.2

Keadaannya di Indonesia tidak jauh berbeda, yang menjadi perhatian di Indonesia adalah

infeksi TBC (Tuberculosis). Menurut RISKESDAS 2007, TBC merupakan penyebab

kematian ke dua setelah stroke, dengan insidens 275/100.000 penduduk/tahun dengan

prevalensi 0.99%. Pada tahun 2010 terjadi sedikit penurunan menjadi 244 kasus/100.000

penduduk /tahun dengan total prevalensi 177.926 penderita. Dengan prevalensi tertinggi

terdapat pada wilayah Jawa Barat dengan total 29.851 kasus. Selain infeksi TBC yang juga

menjadi perhatian adalah ISPA dengan prevalensi 25.5% dengan angka tertinggi di kota

Kaimana (63.8%). Serta pneumonia dengan prevalensi 2.13%3,4. Sedangkan untuk penyakit

paru kronis, COPD dengan prevalensi 5.6%5, dan Asma sekitar 13.6 bervariasi dari 2.1%

hingga 22.2%%6. WHO mengatakan bahwa saat seseorang terinfeksi TBC maka ia akan

kehilangan penghasilannya selama 3- 4 bulan karena proses pengobatan yang panjang.

Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013

Page 3: Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan ...

Demikian juga dengan penyakit paru obstruktif yang menyebabkan keterbatasan dalam

melakukan aktifitas sehari hari.7

Di Wilayah Jakarta sendiri, pada tahun 2009 terdapat 13.377 kasus TBC klinis,

dimana prevalensi paling tinggi berada di wilayah Jakarta Timur dengan 5123 kasus.8

Namun yang perlu diingat adalah gangguan respirasi ini adalah suatu gangguan yang dapat

dicegah2. Salah satu faktor resiko adalah kebiasaan merokok, baik perokok aktif maupun

pasif. Faktor resiko lainnya yang juga tidak kalah berbahaya adalah polutan dalam rumah

yang berasal dari bahan bakar, Nitrit oksida, dan formaldehyde. Yang tidak kalah penting

juga adalah polutan dari lingkungan luar seperti kendaraan bermotor, polutan lingkungan

kerja, serta allergen. Dimana kesemua faktor resiko diatas sangat berkaitan dengan perilaku

dan kebiasaan hidup seseorang9. Sehingga yang dapat dilakukan sekarang adalah

memberikan penjelasan dan penyuluhan kepada masyarakat luas, bukan hanya mengenai

TBC namun juga penyakit respirasi lainnya. Perlu juga diberi penjelasan mengenai gejala

gejala gangguan respirasi sehingga meningkatkan kewaspadaan dari masyarakat.

Rumah susun adalah salah satu alternatif tempat tinggal untuk Negara berkembang,

dimana kepadatan penduduk yang tinggi tidak dibarengi dengan ketersediaan lahan tempat

tinggal. Di Jakarta sendiri cukup banyak terdapat rumah susun . Kira kira tercatat terdapat 77

rumah susun dari berbagai tingkatan ekonomi. Dengan demikian cukup banyak penduduk

Jakarta yang memilih tempat tinggal di area rumah susun.

Untuk melakukan modifikasi perilaku bukanlah sebuah perkara yang mudah. Perilaku

seseorang ditentukan oleh banyak faktor. Oleh karena itu agar pendekatan dan pengenalan

perilaku sehat dapat berjalan secara efektif dan efisien, diperlukan terlebih dahulu mengenai

karakterisitik warga serta karakteristik perilaku.

Tinjauan Teoritis

Penyakit respirasi digolongkan menjadi 2 kelompok besar, yaitu penyakit paru

restriktif dan obstruktif. Namun kali ini dijadikan ke 2 kelompok lain yaitu infeksi dan

obstruktif. Penyakit infeksi saluran nafas atas akut (ISNAA) adalah penyakit infeksi yang

menyerang saluran nafas atas mulai dari faring hingga laring. Biasanya penyebabnya adalah

infeksi virus yang kemudian mempermudah terjadinya infeksi bakteri.

Infeksi saluran nafas bawah akut, adalah infeksi yang menyerang saluran nafas bawah yaitu

mulai dari bronkus hingga alveolus. Beberapa penyakitnya antara lain bronchitis akut dan

pneumonia. Salah satu masalahnya adalah seluruh penyakit ini memberikan manifestasi yang

sama yaitu berupa batuk, sesak nafas, nyeri dada dan batuk darah.

Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013

Page 4: Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan ...

Salah satu penyakit infeksi yang telah dikenal lama adalah tuberculosis. Penyakit ini adalah

infeksi kronik yang disebabka oleh kuman Mycobacterium tuberculosa. Walaupun dengan

kemajuan tehnik pengobatan, diperkirakan 1/3 penduduk dunia pernah mengalami infeksi

kuman ini. Dan di Indonesia sendiri penyakit ini merupakan penyebab kematian terbanyak

ke-2. Penularannya lewat droplet mukus yang dihasilkan oleh batuk, namun tidak semua

paparan menyebabkan terjadinya infeksi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu

sumber infeksinnya. pertahanan tubuh, lama terhadap paparan serta lingkungan.

Kelompok lainnya adalah penyakit paru obstruktif yang terdiri atas PPOK (penyakit

paru obstruktif kronik), emfisema, bronchritis kronik, dan asma. Pada penderita PPOK terjadi

limitasi saluran udara yang dapat terjadi sepenuhnya, bersifat reversibel dan progressive.

Sedangkan emfisema adalah suati kondisi dimana terjadi pelebaran rongga udara pada

bronkiolus distal sampai terminal disertai dengan destruksi dari dindingnya. Proses destruksi

ini terjadi karena adanya inflamasi sedang-kroni, dan ketidak seimbangan antara protease dan

anti-protease serta peningkatan dari oksidan bebas. Penyakit selanjutnya dalam kelompok ini

adalah bronchitis kronik, yaitu suatu kondisi dimana pasien mengalami batuk dengan sputum

yang persisten selama 3 bulan dalam 2 tahun terakhir. Pada dasarnya penyakit ini terjadi

karena hipersekresi mukus serta hyperplasia sel goblet akibat dari peningkatan protease.

Terakhir yang akan dibahas adalah mengenai asma, yaitu suatu penyakit inflamasi kronik

yang menyebabkan episode berulang dari mengi, sulit bernafas,sesak dada dan batu terutama

di malam atau pagi hari. Gejala ini dikaitkan dengan terjadinya bronkokontriksi.

Seperti yang telah disebutkan di atas, penyakit paru sangat berkaitan dengan perilaku

sehat. Perilaku sehat adalah respon berupa aktivitas seseorang baik yang terlihat maupun

tidak terlihat terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan

faktor faktor yang mempengaruhi kesehatan seperti lingkungan, makanan dan pelayanan

kesehatan yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Menurut bloom

suatu perilaku dibentuk mulai dari pengetahuan, sikap dan kemudian baru menjadi perilaku.

Di Indonesia sendiri depaterman kesehatan telah menentukan 10 perilaku sehat antara

lain mencari pertolongan persalinan, memberikan ASI eksklusif, tidak merokok, melakukan

akitfitas fisik, mengkonsumsi sayur dan buah, kepemilikikan jaminan kesehatan, tersdia

MCK, ari bersih, rumah tangga dengan kesesuaian luas dan dengan lantai bukan tanah.

Pada penelitian kali ini perilaku yang dibahas termasuk didalamnya kebiasaan merokok,

kebiasaan minum alkohol, kebiasaan memelihara binatang berbulu serta kebersihan

lingkungan rumah.

Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013

Page 5: Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan ...

Merokok baik pasif maupun aktif, telah terbukti secara klinis memiliki efek yang buruk

terhadap sistem respirasi. Merokok telah diketahui sebagai salah satu penyebab kanker baru,

PPOK, serta faktor resiko dari beberapa penyakit infeksi.8

Kebiasaan minum alkohol kronik dapat menyebabkan gangguan fungsi pernafasan

dengan menurunkan produksi gluthione (GSH) yang berfungsi sangat banyak dalam sistem

pernafasan. Hal tersebut akan berdapampak pada lebih mudahnya terjadi ARDS (acute

respiratory distress syndrome10, 8).

Lokasi aktifitas sehari hari serta kebersihan rumah sangat mempengaruhi kesehatan

respirasi, hal ini berkaitan dengan keberadaan polutan baik dalam maupun luar ruangan yang

berkaitan dengan penyakit respirasi tertentu. 8 Memelihara binatang berbulu dapat

menginduksi berbagai gangguan sistem respirasi, karena partikelnya yang kecil yang dapat

menjadi alargen maupun vektor infeksi.8

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada rentang oktober 2011 hingga januari 2013. Dilakukan di 3

rumah susun kelas menengah kebawah di Jakarta. Dari 77 rumah susun yang ada di Jakarta,

44 diantaranya adalah rumah susun dari kelas menengah kebawah. Dari 44 rumah susun

tersebut, Setelah mendapatkan rumah susuh dengan kelas ekonomi menengah ke bawah,

kemudia dilakukan metode cluster random sampling diambil 3 rumah susun yang berbeda

dari 3 kotamadya di wilayah DKI Jakarta. Didapatkan rumah susun Tanah tinggi di wilauah

Jakarta Pusat, Rumah susun Penjaringan di Jakarta Utara dan Rumah susun Tambora di

Jakarta barat. Dari masing masing rumah susun dipilih 4-8 blok tergantung dari besar rumah

susun dengan metode random sampling. Kemudian dari tiap lantai pada tiap blok dipilih 2

kepala keluarga dengan metode random sampling. Sehingga didapatkan 120 respondent.

Penelitian ini menggunakkan metode cross-sectional untuk mencari prevalensi gangguan

respirasi dan hubungannya dengan perilaku masyrakat rumah susun. Data didapat dari

pengisian 120 kuesioner yang dipandu, dapat dibacakan atau responden mengisi sendiri

namun bertanya apabila ada pertanyaan yang tidak dimengerti. Kuesioner berisis data umum

respoden, data gangguan respirasi dan data perilaku. Sebelum melakukan pengisian

kuesioner, peneliti telah melakukan informed consent. Kuesioner yang digunakkan adalah

kuesioner buatan sendiri yang telah di validasi.

Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013

Page 6: Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan ...

Seseorang dikatagorikan memiliki gangguan respirasi apabila ia pernah didiagnosa oleh

dokter atau pernah mengalami gejala sakit respirasi berupa batuk, batuk darah, sesak nafas

atau nyeri dada. Sedangkan data perilaku dilakukan dengan wawancara kebiasaan respondent.

Data yang telah dikumpulkan kemudian di verifikasi dan di koding dengan manual.

Kemudian dengan menggunakkan program SPPS for window 11.5 version, data akan

dianlisis sesuai dengan jenis data dan sebarannya. Pada penelitian ini variabel data terdiri atas

kelompok katagorik- katagorik sehingga diuji menggunakkan uji chi-square namun apabila

tidak memenuhi syarat chi-square akan digunakkan uji kolmogorov-smirnov atau uji

Fishcher tergantung dari jumlah data dan jumlah kolum. Dari uji yang dilakukan, akan

didapatkan nila p. Suatu uji dianggap bermakna apabila nila p< 0.05 dan tidak bermakna

apabila nila p>0.05. Kemudian data disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.

Hasil Penelitian

Tabel  1.  Prevalensi  Gangguan  Respirasi  

Gangguan Respirasi Kategori

Pernah (%) Tidak Pernah (%)

PPOK 9 (1,8) 504 (98,2)

Batuk kronik 3 (0,6) 510 (99,4)

Tuberkulosis paru 39 (7,6) 474 (92,4)

Asma 5 (1,0) 508 (99,0)

Pneumonia 1 (0,2) 512 (99,8)

Infeksi jamur 4 (0,8) 509 (99,2)

Gangguan saluran nafas atas

Sesak nafas

Nyeri dada

Batuk darah

169 (32,9)

21 (4.1)

5 (1.0)

2 (0.4)

334 (67,1)

492 (4.1)

508 (99)

511 (99.6)

Dari hasil data yang dikumpulkan didapatkan bahwa prevalensi gangguan respirasi di

rumah susun pada wilayah Jakarta 44.2%. Dari tabel terlihat bahwa prevalensi paling besar

adalah gangguan saluran nafas atas yang mencapai 169 kasus (32.9%) dan disusul dengan

Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013

Page 7: Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan ...

infeksi TB dengan prevalensi 7.6%. Yang paling rendah adalah prevalensi dari pneumonia

yang hanya ditemukan 1 kasus (0.2%)

Tabel  2.  Sebaran    Perilaku  Sehat  dan  Hubungnnya  Dengan  Prevalensi  Gangguan  

Respirasi  

Indikator Perilaku

Gangguan Respirasi

P

Sakit Tidak Sakit

Perilaku Baik 37 (30.8) 16 (13.3) p>0.05* keseluruhan Buruk 51(40.5) 16 (13.3)

Merokok Ya 42 (35) 16 (13.3) p>0.05*

Tidak 46 (38.3) 16 (13.3) Merokok dalam rumah

Ya 15 (12.5) 8 (6.7) p>0.05*

Tidak 73 (60.8) 24 (20)

Meminum Alkohol

Ya 6 (5) 3 (2.5) p>0.05*

Tidak 82 (68.3) 29 (24.2) Lingkungan berbahaya

Ya 21 (17.5) 10 (8.3) p>0.05*

Tidak 67 (55.8) 22 (18.3) Memelihara binatang berbulu

Ya 9 (7.5) 2 (1.7) p>0.05*

Tidak 79 (65.8) 30 (25) Kebersihan rumah

Ya 77 (64.2) 31 (25.8) p>0.05*

Tidak 11 (9,2) 1 (0.8) ‘* Uji Chi-Square

Terlihat total respondent yang memilki perilaku baik adalah 53 (44.2%), artinya

mayoritas warga rumah susun belum memilki kesadaran pentingnya perilaku hidup sehat.

Dari 44.2% respondent berperilaku sehat, 37 keluarga (30.8%), minimal salah satu anggota

keluarga, pernah mengalami gangguan respirasi minimal 1 kali. Sedangkan 16 kepala

keluarga lain yang berperilaku sehat, belum ada anggota keluarga yang pernah mengalami

gangguan respirasi. Namun perbedaan ini tidak bermakna secara statistic (p=0.284). Dari

data didapatkan juga bahwa 88 keluarga (73.3%) pernah mengalami gangguan respirasi,

minimal 1 anggota kelurga mereka.

Tabel 2 menggambarkan mengenai ringkasan indikator perilaku yang dipakai.

Dikarenakan setiap penelitian tentang perilaku menggunakkan indikator yang berbeda beda,

sehingga penulis merasa perlu untuk membandingkan antara masing masing indikator dengan

prevalensi gangguan respirasi. Dari 13 pertanyaan, keseluruhannya dapat dipakai 6 indikator

yang dianggap dapat mewakili perilaku seseorang dan benar benar merupakan perilaku sehat

untuk menjaga kesehatan respirasi. Dari tabel diatas didapatkan bahwa dari 120 respondent

yang diwawancarai, 58 orang (48.3%) merupakan perokok. Dimana 48 diantaranya, minimal

Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013

Page 8: Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan ...

salah satu anggota keluarganya pernah mengalami gangguan resirasi. Dari 58 orang tersebut,

23 diantaranya juga merokok dalam rumah. Setelag dilakukan analisi didapatkab bahwa tidak

ada hubungan berarti antara kebiasaan merokok baik di dalam (p=0.233) maupun di luar

rumah (p=0.494) dengan masalah gangguan respirasi yang dialami

Demikikian juga dengan kebiasaan meminum alkohol (p=0.448), tidak memiliki

hubungan dengan gangguan respirasi. Hanya sekitar 9 (7.5%) respondet yang meminum

alkohol, dan 6 diantaranya salah satu anggota keluarganya pernah mengalami gangguan

respirasi. Terdapat 31 respondent (25.8%) yang memiliki lingkungan aktifitas yang

berbahaya. Berbahaya disini maksudnya adalah pabrik, pinggir jalan raya dan lingkungan

aktifitas lainnya yang menyebabkan kontak dengan bahan kimia serta polutan udara yang

berbahaya. Dari 31 respondent, 21 diantaranya salah satu anggota keluarga mereka pernah

mengalami gangguan respirasi dan 10 diantaranya tidak. Namun perbedaan ini tidak

bermakna pada uji chi-square dengan p=0.277. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh

tingkat kebersihan rumah (p=0.117). 108 respondent (90%) dianggap memiliki kebersihan

yang baik, dengan 77 diantaranya minimal salah satu anggota keluarganya pernah memiliki

gangguan respirasi.

Indikator yang terakhir adalah kebiasaan memelihara hewan berbulu. Terdapat 11

respondent (9.2%) yang memiliki peliharaan hewan berbulu, dan 9 orang dianataranya salah

satu anggota keluarganya pernah mengalami gangguan respirasi. Dari hasil analisis, tidak

didapatkan hubungan bermakna antara gangguan respirasi dan kebiasaan ini.

Tabel   4.   2   Sebaran   Sampel   Berdasarkan   Karakteristik   Demografik   dan  

Hubungannya  dengan  Perilaku  

Variabel Katagorik Perilaku

P Baik Buruk

Jenis Kelamin

Laki-laki 31 (25.8) 41 (34.2) p>0.05*

Perempuan 22 (18.3) 26 (21.7) Pekerjaan Wiraswasta 22 (18.3) 27 (22.5)

p>0.05**

PNS 4 (3.3) 7 (5.8) Tidak Bekerja 4 (3.3) 6 (5.0) Pelajar 2 (1.7) 0 Ibu Rumah Tangga 14 (11.7) 11 (9.2) Karyawan 6 (5.0) 16 (13.3) Tidak Jawab 1 (0.8) 0

Pendidikan Terakhir

Pendidikan Rendah 14 ( 11.7) 11 (9.2) p>0.05*

Pendidikan Menengah 6 (5.0) 16 (13.3)

Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013

Page 9: Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan ...

Pendidikan Tinggi 4 (3.3) 8 (6.7) ‘* Chi-Square

‘** Kolmogorov- Smirnov

Dari tabel 4.5 didapatkan bahwa banyak karakteristik umum penduduk berhubungan

dengan perilaku sehat seseorang. Jenis kelamin, kedudukan dalam keluarga, serta pekerjaan

memiliki hubungan yang berarti dengan perilaku seseorang dengan p=0,455 . Disini terlihat

bahwa kebanyakan laki laki ( 56.9%) dan perempuan ( 54,2%) masih memiliki perilaku yang

kurag sehat. Dilihat dari presentasenya masih lebih banyak perempuan yang memiliki

perilaku sehat, namun perbedaan ini tidak bermakna secara statistik.

Dilihat dari pekerjaan, pelajar dan mahasiwa adalah yang memiliki perilaku sehat,

100% respondent yang berprofesi sebagai pelajar atau mahasiwa memiliki perilaku yang

cukup sehat. Profesi dengan perilaku paling buruk adalah pegawai negeri sipil (63.6%) dan

karyawan atau buruh (72.7%). Pada saat dilakukan analisis pertama menggunakan chi-

square, ternyata tidak memenuhi syarat. Oleh karena itu dilakukan uji Kolmogorov Smirnov

dengan P=0,581 artinya tidak terdapat hubungan antara pekerjaan seseorang dan perilaku-

nya.

Pendidikan tidak memilki hubungan berarti dengan perilaku dengan p=0.662.

Terlihat bahwa yang berpendidikan rendah (termasuk bayi dibawah 3 tahun) memilki

perilaku yang lebih baik. Kira kira 41.7% orang dengan pendidikan rendah memiliki perilaku

yang cukup sehat.Yang sangat disayangkan adalah pada orang dengan tingkat pendidikan

tinggi, presentasi perilaku sehatnya sangat turun hanya menjadi 33.3%. Sedangkan pada

populasi dengan pendidikan menengah, 47.2% berperilaku sehat.

Pembahasan

Prevalensi gangguan respirasi

Pada penelitian terhadap 120 kepala keluarga dengan sampel total 513 orang,

didapatkan prevalensi gangguan respirasi mencapai 42.4%. Gangguan respirasi terbanyak

adalah gangguan saluran nafas atas yang termasuk didalamnya batuk, sinusitis, rhinitis dan

ISPA. Angka ini lebih tinggi dari hasil RISKEDAS 2007, yang menyatakan prevalensi ISPA

Jakarta sebesar 22.6%. Angka di rumah susun lebih tinggi dikarenakan angka ini termasuk

gangguan saluran nafas atas lainnya, seperti sinusitis dan rhinitis. Selain itu perlu juga

diingat bahwa penelitian ini dilakukan di rumah susun dengan kelas menengah kebawah yang

memiliki kesadaran yang lebih rendah dan faktor resiko yang lebih tinggi terhadap penyakit

Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013

Page 10: Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan ...

penyakit respirasi. Hal ini mungkin juga disebabkan karena perbedaan lingkungan di rumah

susun dengan rumah biasa.

Prevalensi kedua tertinggi adalah infeksi tuberculosis yang mencapai angka 7.6%.

Angka in jauh lebih tinggi dari angka riskesdas 2007, yang menyatakan prevalensi TB di

Jakarta berada di sekitar 1.26%. Hasil ini menunjukkan bahwa masyarakat rumah susun jauh

lebih beresiko terhadap infeksi saluran pernafasan dibanding warga Jakarta secara

keseluruhan. Selain karena lingkungan dan tingkat sosioekonomi, mungkin juga karena

kuranganya kesadaran warga karena minimnya informasi. Menurut kebanyakan warga sangat

jarang diadakan penyuluhan mengenai penyakit yang melibatkan seluruh warga rumah susun.

Didapatkan juga prevalensi pneumonia di warga rumah susun sebesar 0.2%. Angka

ini lebih tinggi dari angka RISKESDAS 2007 yang menyatakan bahwa prevalensi pneumonia

mencapai angka 1.67%. Prevalensi pneumonia di rumah susun dapat lebih rendah mungkin

karena jumlah perokok yang lebih rendah di wilayah rumah susun. Dari 513 sampel yang

didapat, hanya 24% warga yang merupakan perokok sedangkan hasil riskesdas menujukkan

jumlah perokok mencapai 34.2%. Seperti yang kita ketahui, bahwa pneumonia lebih sering

terjadi pada orang dengan faktor resiko tertentu seperti perokok, lansia,penderita diabetes

atau lainnya. Sayangnya faktor resiko penyakit pendahulu kurang dicari pada studi kali ini.

Perlu diingat juga bahwa riskesdas juga turut memperhitungkan pneumonia yang terjadi pada

anak dibawah 5 tahun, sedangkan populasi warga rumah susun yang berada di rumah susun

sangat kecil hanya 9.3%.

Kira kira sekitar 1% warga rumah susun yang telah didiagnosis oleh dokter

mengalami asma. Masih berdasarkan riskesdas, didapatkan bahwa prevalensi asma nasional

mencapai 4%, dan di Jakarta sendiri mencapai 2.2%. Hal ini menunjukkan prevalensi yang

lebih rendah. Angka 2.2% sendiri adalah angka yangt telah didiagnosis dokter. Mungkin

belum semua warga rumah susun yang memeliki asma, telah mendapatkan diagnosis dari

dokter melihat dari sisi ketersediaan fasilitas kesehatan dan tingkat ekonominya.

Gangguan respirasi dan perilaku

Saat dianalisa , perilaku respondent secara keseluruhan tidak berhubungan bermakna dengan

prevalensi gangguan respirasi di keluarga tersebut . Hasil ini bertentangan dengan banyak

teori perilaku kesehatan seperti health belief mode dan triage epidemiologi. Hal ini mungkin

terjadi karena perilaku satu orang dalam keluarga, dalam hal ini respondent, belum tentu

dapat mewakilkan atau sama dengan perilaku anggota keluarga lain. Selain itu perlu juga

diperhatikan adanya faktor lain yaitu kerentanan host dan agent infeksi/penyakit itu sendiri.

Analisa ini menggunakkan gambaran kasar perilaku seseorang namun dikarenakan indikator

Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013

Page 11: Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan ...

perilaku yang dipakai di setiap penelitian berbeda maka tidak dapat dilakukan perbandingan

dengan penelitian lainnya. Oleh karena itu ingin juga dilihat hubungan antara indikator

perilaku yang dipakai dan hubungannya dengan prevalensi gangguan respirasi.

Pertama adalah kebiasaan merokok, dari hasil studi ini ditemukan tidak ada hubungan

antara merokok dengan gangguan respirasi. Hasil ini bertentangan dengan berbagai hasil

penelitian sebelumnya. Rokok sejak tahun 1964 telah ditentukan oleh the Advisory

Committee to the Surgeon General of the United States adalah faktor resiko utama dari

kematian akibat bronchitis kronik dan emphysema11. Efek rokok bersifat dose dependent.

Rokok juga dikaitkan dengan penyakit paru lainnya seperti idiophatic pulmonary fibrosis,

histiocytosis, bronchiolitis dan lain sebagainya10 Hal ini mungkin dikaitkan dengan peran

rokok yang meningkatkan proses inflmasi di paru12. Rokok juga menyebabkan terjadinya

gangguan penyembuhan dan remodeling dari paru. 12. Rokok juga dikaitkan dengan

peningkatan resiko terkena penyakit infeksi karena mengurangi gerakan silia pada mukosa

saluran respirasi. Selain itu rokok juga meningkatkan kemungkinan serangan asama dan

infeksi Mycobacterium tuberculosa12,13.

Tidak berhubungannya kebiasaan merokok dan gangguan respirasi ini mungkin

dikarenakan efek rokok adalah dose dependent dan akumulatif sehingga dampaknya belum

terlalu dirasakan sekarang. Selain itu rokok merupakan faktor resiko utama dari COPD dan

keganasan, sedangkan prevalensi keduanya relatif kecil pada populasi sampel (1.8% dan 0%)

sehingga hubungan keduanya tidak terlihat. Walau rokok juga memberikan dampak terhadap

pertahanan dari sistem pernafasan yang memudahkan terjadinya proses infeksi, perlu diingat

kembali bahwa banyak faktor yang mempengaruhi proses terjadinya penyakit infeksi saluran

pernafasan.

Indikator selanjuatnya adalah merokok dalam rumah. Merokok dalam rumah akan

menjadikan penghuni rumah lainnya sebagai perokok pasif. Dikatakan bahwa perokok pasif

tidak kalah berbahaya dibanding dengan perokok aktif, karena mereka menghirup kira kria

250 zat toxic.

Secara ilmiah disebutkan tidak ada batas aman dari kadar asap rokok dalam rumah.

Menghirup asap rokok dapat meningkatkan resiko terjadinya sudden infant death syndrome,

penyakit telingan tengah, gangguan saluran respirasi bawah, dan batuk. Sedangkan untuk

orang dewasa dapat meningkatkan resiko terjadinya COPD, kanker paru dan jenis kanker

lainnya serta gangguan cardiovascular. Paparan terhadap ibu hamil dapat menyebabkan

terjadinya gangguan fungsi paru janin8. Menurut penelitian dari Rivard14 dan Erlich15 adanya

penghuni rumah yang merokok akan menyebabkan anak mengalami serangan asma. Dari

Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013

Page 12: Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan ...

penelitian lain mangatakan bahwa seorang anak yang merupakan perokok pasif dan ada salah

satu anggota keluarga dirumahnya yang mengalami TBC, akan meningkatkan kemungkinan

anak tersebut juga terinfeksi TBC hingga 5 kali lipat dibandingkan anak biasa16. Namun hasil

yang berbeda ditunjukkan dari penelitian Kurniawati (2005) 17 yang menujukkan tidak ada

hubungan berarti antara perokok dalam rumah dan serangan asma pada anak.

Ketidakbermaknaan antara kebiasaan merokok dalam rumah dan gangguan respirasi

mungkin disebabkan karena kesadaran anggota keluarga perokok untuk menyingkir saat akan

merokok. Mungkin juga disebabkan karena bukaan ventilasi yang cukup. Salah satu yang

perlu diingat juga adalah keadaan rumah susun yang bertingkat memungkinkan tingginya

sirkulasi udara sehingga asap rokok relatif mudah keluar dari dalam lingkungan rumah.

Selain itu mungkin kurang jelas juga mengenai batasan oprasional dari merokok dalam rumah

itu sendiri, sehingga dapat terjadi kerancuan.

Indikator lainnya adalah kebiasaan memelihara binatang. Beberapa literatur menyebutkan

bahwa binatang peliharaan dapat membawa allergen yang sangat kecil dan menyebabkan

serangan asma.17. Namun hasil penelitian lain menyebutkan tidak ada hubungan antara

pemeliharaan binatang peliharaan asalkan binatang tersebut dilarang masuk rumah dan

dimandikan 1 minggu sekali. Penelitian ini sesuai dengan hasil literatur kedua yang

menyatakan tidak ada hubungan antara gangguan respirasi dan kepemilikan terhadap

binatang berbulu. Hal ini mungkin berkaitan dengan tipe binatang yang dipelihara,

kebersihan binatang dan intensitas binatang masuk kedalam rumah.

Selanjutnya adalah mengenai kebiasaan membersihkan rumah. Kebersihan rumah

berkaitan dengan tumpukan debu. Tumpukan debu yang banyak ini dapat mengandung

tungau, debu, endotoksin dan nitrogen yang dapat memicu seragan asma pada anak (Koenig

dan Shima)18. Ada juga penelitian Votja yang mengatakan debu dapat menempel pada kasur

dan menyebabkan serangan asma.19 Namun hasil ini tidak sesuai dengan hasil studi kali ini

yang menunjukkan tidak ada keterkaitan antara kebiasaan membersihkan rumah dan

gangguan respirasi. Hal ini mungkin terjadi karena kurang objektifnya pengamatan mengenai

kebersihan rumah. Selain itu salah satu studi17 mengatakan bahwa cara membersihkan debu

yang paling tepat adalah dengan mengelap terlebih dahulu menggunakkan kain basah. Karena

dapat mengurangi jumlah partikel debu yang berterbangan.Sehingga sekarang bukan hanya

pola kebiasaan yang harus diubah, namun juga metodenya.

Faktor yang mempengaruhi perilaku (jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan)

Dalam mempengaruhi perilaku seseorang, maka dibutuhkan pendekatan yang tepat.

Dengan mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku seseorang, maka dapat

Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013

Page 13: Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan ...

dipilih pendekatan yang paling tepat untuk melakukan modifikasi perilaku. Dipilih 3 katagori

sosiodemografik yaitu jenis kelamin, pekerjaan dan tingkat pendidikan.

Dikatakan Johnston, et.al (2004) yang meneliti tentang perilaku buruk ( meminum

alkohol). Ia menemukan bahwa 45% laki-laki adalah peminum berat, sedangkan wanita

hanya 26.7%.20 Selain itu banyak juga peneletian yang mengatakan bahwa wanita lebih

mudah memilki gaya hidup yang lebih sehat (Brener & Collins, 1998; Courtenay, 2000a;

Kandrack et al., 1991) dan pria lebih mudah untuk terikat pada perilaku yang berbahaya

(Courtenay 1998,2000a). Apabila dilihat dari masing masing indikator didapatkan bahwa laki

laki lebih mudah untuk dapat terikat dengan penggunaan tembakau, alkohol dan steroid

anabolic. Pola makan laki laki juga lebih buruk. Selain itu kesadaranya untuk melakukan

usaha kesehatan preventif juga jauh lebih rendah dari perempuan. Ditambah lagi dengan

kurangnya kesadaran atas keterbatasan dirinya saat menderita sakit kronik. Kesemuanya itu

akhirnya mempengaruhi angka harapan hidup dan resiko kematian laki laki yang lebih

tinggi.21

Kesemuanya itu mungkin terjadi karena ada pandangan bahwa kepercayaan pada

kerentanan tubuh seseorang terhadap penyakit dianggap sebagai tanda tidak maskulin/ jantan

dan merasa dikontrol oleh banyak hal. Hal ini yang akhirnya mengarah pada ketidapercayaan

akan adanya faktor resiko dan akhirnya lebih berani mengambil perilaku yang lebih

beresiko.27

Namun hal ini tidak sesuai dengan studi kali ini, yang menujukkan tidak ada hubungan

bermakna antara jenis kelamin seseorang dengan perilaku mereka. Hal ini dapat terjadi

karena penelitian ini tidak menyingkirkan perbedaan ras, usia, pengalaman masa lalu,

pendidikan orang tua, dan lainnya yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Selain itu

perkembangan zaman menyebabkan banyak perempuan yang lebih berani bertindak

dibandingkan dengan masa lalu.

Studi kali ini juga tidak menunjukkan adanya hubungan bermakna antara pekerjaan dan

perilaku seseorang. Namun didapatkan data bahwa perilaku paling sehat dimiliki oleh pelajar

dan ibu rumah tangga, sedangkan perilaku paling tidak sehat dimiliki oleh karyawan swasta

dan pegawai negeri sipil.

Menurut Stokols (1992), keadaan lingkungan sekitar tempat kerja mempengaruhi dari

kesehatan si pekerja22. Teori lain mengatakan bahwa keadaan lingkungan dapat merubah

perilaku mereka lewat perubahan interpretasi seseorang terhadap suatu kejadian

(Ewart,1991)23. Hal ini dapat menjelaskan mengapa karyawan dan pegawai negeri memilki

perilaku kesehatan yang lebih buruk dibandingkan profesi lainnya.

Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013

Page 14: Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan ...

Seorang karyawan akan bekerja bersama banyak orang dalam 1 kantor, hal itu akan

menyebabkan terbawanya pengaruh pengaruh. Misalnya seseorang pada awalnya

menggangap bahwa merokok itu berbahaya kemudian jadi menggangap hal itu tidak

berbahaya karena melihat banyak temannya yang merokok.

Stokols (1992) juga mengatakan bahwa pekerjaan yang memiliki paparan terhadap

lingkungan, keindahan dan fasilitas tertentu dapat meringkan stress, serta memperbaiki

kesehatan fisik dan emosi29. Seperti yang kita ketahui perilaku seseorang sangat ditentukan

oleh emosinya, saat emosi dalam keadaan stabil maka manusia cenderung untuk mengambil

keputusan di luar logika. 13

Masih dari teori Stokols yang mengatakan bahwa stress emotional dapat muncul dari

paparan kronik terhadap permintaan lingkungan29. Dalam kehidupan perekonomian sekarang

ini maka tuntutan pekerjaan pun seperti tidak ada habisnya. Hal tersebut dapat berubah

menjadi stressor kuat yang akhirnya akan menyebabkan manusia untuk cenderung

mengambil keputusan di luar logika.

Pelajar memiliki perilaku yang cenderung baik, tidak dapat dilepaskan dari faktor usia,

pendidikan serta kedudukan dalam keluarga yang juga turut mempengaruhi perilaku

seseorang. Perbedaan hasil ini mungkin dikarenakan banyak faktor lainnya yang juga turut

mempengaruhi perilaku yang tidak disingkirkan.

Dalam studi ini ditemukan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara tingkat

pendidikan dan kebiasaan hidup sehat. Namun data menunjukkan bahwa semakin tinggi

tingkat pendidikan, maka akan semakin buruk tingkat perilaku sehatnya. Howard pada tahun

1988 telah menyatakan bahwa pengetahuan saja tidak akan merubah perilaku.24 O’Keeffe

pada tahun 1990 juga menyatakan bahwa informasi penting untuk motivasi namun tidak

cukup untuk menguragi perilaku beresiko, dibutuhkan dukungan terus menerus dari

lingkungan25.

Penelitian lain mengatakan saat masuk kedalam jenjang perkuliahan, maka akan terjadi

pada paparan terhadap perilaku kurang sehat (merokok, alkohol), disertai dengan teman dan

tanggapan positif terhadap hal tersebut (Borsari and Carey, 2001). Dari penelitian yang sama

didapatkan alasan utama mereka melakukan perubahan tersebut adalah untuk memfasilitasi

pertemanan dan penerimaan lingkungan. Namun menurut Jackson, et.al (2005) peningkatan

pada fase perkuliahan adalah akibat adanya perubahan norma, dimana perilaku seperti itu

jauh lebih di terima di lingkungan baru mereka. 28 Tidak dapat dipungkiri juga, semakin tinggi

pendidikan seseorang maka semakin tinggi jenjang pekerjaan dan stress yang dimiliki,

sehingga akan meningkatkan kebiasaan perilaku kurang sehat.

Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013

Page 15: Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan ...

Kesimpulan

Prevalensi gangguan respirasi di rumah susun di Jakarta adalah 42.4% . Prevalensi

adalah gangguan saluran nafas atas ( termasuk flu, sakit tenggorakan, sinusitis dan rhinitis)

sebesar 32.9%. Disusul dengan TBC (7,6%), sesak nafas (4.1%), dan PPOK (1.8%).

Mengenai perilaku sendiri, 44.1% responden tergolong memiliki perilaku kesehatan yang

baik. Perlu diperhatikan angka perokok yang tinggi sekitar 48.3%. Didapatkan juga bahwa

Prevalensi gangguan respirasi tidak memiliki hubungan berarti dengan gambaran perilaku

secara garis besar, kebiasaan merokok, kebiasaan merokok dalam rumah, lokasi pekerjaaan,

serta kebiasaan meminum alkohol, kebiasaan membersihkan rumah serta kebiasaan

memelihara hewan berbulu. Serta perilaku seseoarang tidak terlalu dipengaruhi oleh faktor

jenis kelamin, pendidikan terakhir dan pekerjaan. Namun perlu diingat bahwa banyak sekali

faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang, dan seluruh faktor tersebut saling berinteraksi.

Saran

Mengingat tingginya angka gangguan respirasi di wilayah rumah susun, maka perlu

ditingkatkan kesadaran serta kewaspadaan terhadap gangguan respirasi. Hal ini dapat

dilakukan dengan penyuluhan dan penggalakan program kesehata respirasi di Puskesmas

setempat. Selain itu perlu juga diajarkan pentingnya dan bagaimana menjaga kebersihan

lingkungan rumah.

Selain itu untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengumpulkan data perilaku

yang lebih objektif, dengan kuesioner yang diperjelas batasan oprasionalnya sehingga

perilaku seseorang dapat benar benar tergambarkan dari hasil kuesioner tersebut.

                                                                                                                         1 Sherwood L. Human physiology from cells to systems. 6th ed. Brooks: Cole; 2008. 2 American Lung Association. New York:Lung Diseases Data;2008. 3 Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007: Laporan Nasional 2007. Jakarta: Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI;2008. 4 Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010: Laporan Nasional 2010. Jakarta:

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI; 2011. 5 Nazli,PAN. Prevalensi Penyakit Paru Obstruktif Kronik Berdasarkan Faktor Risiko di

RSUP H. Adam Malik Medan Periode Juli 2010 – Juli 2011.[internet] 2011 [cited 2013 Jan

6]. Available from: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/31204

Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013

Page 16: Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan ...

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           6 Zulkifas T, Yunus F, Wiyono WH. Prevalence of Asthma Based on ISAAC Questionnaire

and Relationship with The Factors that Affect Asthma Among Junior High School in

Intensive Regional Population at West Jakarta 2008. J Respir Indones. 2011;31(4):181-92 7 TBC Masalah Kesehatan Dunia.[internet].2011 [cited 2013 Jan 6]. A Available from:

http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1444-tbc-masalah-kesehatan-dunia.html. 8 Jakarta. Profil Kesehatan DKI Jakarta 2009. Jakarta: Dinas Kesehatan DKI Jakarta; 2010. 9 Risk factor for chronic respiratory diseases.USA: WHO; 2010. 10 Moss M, et.al. The Effects of Chronic Alcohol Abuse on Pulmonary Glutathione

Homeostasis. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. 2000: 414-9. 11 Harrison TR, Resnick WR,editors. Harrison’s principles of internal medicine. Ed 16th.

USA: Mc Graw Hill Company ;2005. 12 Kurniawati,AD. Analisis hubungan kondisi lingkungan rumah dan perilaku keluarga

dengan kejadian serangan asma anak di kota Semarang 2005. [Internet].2006 [citied 2013

Jan 7] Available from: http://eprints.undip.ac.id/15377/1/Ari_Dwi_Kurniawati.pdf 13 Boon SD, Lil SW, Vener S. Assosiation between smoking and tuberculosis infection: a

population survey in a high tuberculosis incidence area. Thorax 2005;60:555-7. 14 Rivard, C. Infante. Childhood Asthma And Indoor Environmental Risk Factor. American

Journal Of Epidemiology. 1993; 137. 15 Ehrlich RI, Du T, Jordaan E, Zwarenatein M, Potter P, Volmink P and Weinberg E. Risk

For Childhood Asthma And Wheezing: Importance Of Maternal And Household

Smoking.American Journal Of Respiratory And Critical Care Medicine.1996; 154:3. 16 Amu FA. Hubungan Merokok dan Penyakit Tuberkulosis Paru. Jurnal Tuberkulosis

Indonesia. 2008: 1-8. 17 MorganWJ. Result of a Home – Based Environmental Intervention among Urban children

with Asthma. The New England Journal of Medicine. 2004; 351: 1068 – 80. 18 Koening, et.al. Pulmonary Effects Of Indoor And Outdoor Generated Particles In Children

With Asthma, Environmental Health Perspectives. 2005;113:4. 19 Vojta PJ, et.al. Effects Of Physical Interventions On House Dust Mite Allergen Level In

Carpet, Bed, and Upholstery Dust In Low Income, Urban Homes. Environmental Health

Perspectives. 2001;109:8. 20 White HR, Jackson K. Sosial and Psychological Influences on Emerging Adult Drinking

Behavior. Alcohol Research and Health.2000; 28: 182-90.

Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013

Page 17: Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan ...

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           21  Courtenay  WH,  Mccreary  DR,  Merighi  JR.  Gender  and  Ethnic  Differences  in  Health  Beliefs  

and  Behavior.  Journal  of  Health  Psychology.  2002;7:219-­‐31  22 Stokols D. Establishing and Maintaining Healthy Environments: Toward a Social Ecology

of Health Promotion. American Psychologist. 1992; 47: 6- 22. 23 Ewart CK. Social Action Theory for a Public Health Psychology. American Psychologist.

1991; 46: 931-46. 24 Howard M. Postponing Sexual Involvement Among Adolescents. Sexually Active

Teenagers.1988; 2: 1-7.. 25 O'Keeffe MK, Nesselhof-Kendall 5, Baum A. Behavior and Prevention of AIDS: Bases of

Research and Intervention. Personality and Social Psychology Bulletin. 1990; 16: 166-80.

Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013