IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

27

Transcript of IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

Page 1: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional
Page 2: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

IRMA INDRAYANI

LIBERALISASI RUANG UDARA

DI ASEAN IMPLEMENTASI ASEAN SINGLE AVIATION MARKET

(ASAM)

Page 3: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

IRMA INDRAYANI

LIBERALISASI RUANG UDARA DI ASEAN

IMPLEMENTASI ASEAN SINGLE AVIATION MARKET (ASAM)

Perpustakaan Nasional RI : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Copyright : INDRAYANI, IRMA

LIBERALISASI RUANG UDARA DI ASEAN IMPLEMENTASI ASEAN SINGLE AVIATION MARKET (ASAM)

Editor : DR. IRMA INDRAYANI., SIP., M.SI

Penata Letak/Cover : LPU-UNAS

Penulis : Irma Indrayani

Page 4: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

Cetakan 1 : 2018

ISBN : 978-602-0819-54-9

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.

Penerbit :

Lembaga Penerbitan Universitas Nasional Jakarta (LPU-UNAS)

Jl. Sawo Manila, No. 61. Pejaten. Pasar Minggu.

Jakarta Selatan. 12520. Telphon : 021-78837310/021-7806700

(hunting). Ex. 172. Fak : 021-7802718

Page 5: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

KATA PENGANTAR

Perkembangan revolusi transportasi dengan memanfaatkan ruang udara di ASEAN menjadi jawaban

dari globalisasi politik internasional di kawasan ASEAN. ASEAN telah memasuki abad ekonomi terbuka dan

transportasi terbuka yang akan terus berkembang di waktu-waktu mendatang. Adanya ASEAN Single Aviation

Market (ASAM) , tidak dapat dipungkiri sangat diperhitungkan dalam perkembangan ekonomi dunia karena

populasinya dan sumberdaya alam yang menjanjikan pasar ekonomi yang sangat besar di masa depan. ASAM

ini didukung dan bersamaan dengan ASEAN Open Sky yang membuktikan pentingnya perdagangan dan

transaksi di antara negara-negara anggota ASEAN khususnya dan dunia internasional. Tingkat perdagangan

yang terus meningkat memerlukan regulasi mengenai transportasi udara dan penggunaan ruang udara di

ASEAN untuk mempercepat perdagangan bebas di ASEAN yang sudah dicanangkan oleh negara-negara

ASEAN. Menyamakan standar mutu transportasi di antara negara-negara anggota ASEAN menjadi persoalan

yang sangat penting dalam mewujudkan Asean Open Sky dan kedaulatan negara-negara di ASEAN. Buku ini

memberikan informasi bagaimana liberalisasi ruang udara di ASEAN.

Jakarta, Pebruari 2018

Penulis

Page 6: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

DAFTAR ISI

Industri Penerbangan dan Hubungan Internasional ........... 1

Kajian Literatur ................................................................... 9

Kajian Liberalisasi Ruang Udara Dalam Kawasan Asia Tenggara 11

Teori Dalam Studi Hubungan Internasional ........................ 12

Kedaulatan Wilayah Negara ............................................... 14

Kedaulatan Negara diruang Udara ...................................... 16

Standarisasi ASEAN Open Sky ......................................... 25

Asean Open Sky .................................................................. 29

Kebijakan Open Sky ASEAN-Implikasinya Bagi Indoensia 47

Kondisi Penerbangan Domestik ........................................... 50

Gagasan ASEAN Open Skies di Indonesia dan

Kaitannya Dengan Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia ... 52

Teori Kedaulatan Negara dan ASEAN Open Skies ............ 59

Asas Resiprositas ............................................................... 62

Prinsip Cabotage ............................................................... 65

Strategi atau Upaya Pemerintah Indonesia Dalam Mengha-

dapi Implikasi Penerapan Kabijakan ASEAN Open Skies

dari Segi Pertahanan dan Keamanan .................................... 72

Penerapan ASEAN Open Sky Policy di Indonesia : Antara

Harapan dan Kenyataan ...................................................... 119

Konsumen Pihak Yang Diuntungkan Dalam ASEAN

Open Sky 2015 ..................................................................... 126

Keunggulan Bandara Sebagai Regulator Penerbangan ........ 133

Asean Open Sky dan Industri Pariwisata Nasional .............. 159

Peran Transportasi Udara Nasional Indonesia ..................... 163

Analisis Swot Asean Open Sky dari Perspektif Indonesia... 169

Wilayah Udara Indonesia ................................................... 170

Indonesia di ASEAN .......................................................... 171

SIMPULAN SWOT ............................................................ 172

Open Sky di Indonesia ........................................................ 184

DAFTAR PUSTAKA ......................................................... 189

Page 7: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

LIBERALISASI RUANG UDARA DI ASEAN

IMPLEMENTASI ASEAN SINGLE AVIATION MARKET (ASAM)

INDUSTRI PENERBANGAN DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

Revolusi industri yang berlangsung sampai detik ini menyebabkan berkembangnya isu dalam politik

hubungan internasional secara dinamis dengan kecepatan yang tidak bisa diprediksi. Studi Hubungan

Internasional dituntut untuk dapat mengikuti perkembangan konstelasi politik yang terus berkembangan

tersebut guna memperoleh kemajuan bagi disiplin ilmu ini dan sebesar-besarnya bermanfaat bagi umat

manusia. Penelitian ini diadakan sebagai suatu upaya dalam melihat salah satu isu yang terjadi dalam bidang

dunia kedirgantaraan dan ruang udara pada khususnya.

Perubahan dewasa ini, isu-isu yang menyangkut ruang udara dimanfaatkan perannya sebagai instrumen

untuk mencapai cita-cita politik bagi suatu negara. Dalam waktu dua dekade ini, perkembangan dalam

transportasi moda udara mengalami perubahan kebijakan-kebijakan sesuai dengan arus globalisasi. Bentuk

kerjasama yang banyak terjadi dilakukan dalam politik internasional adalah liberalisasi ruang udara dengan

skema Open Skies. Buku ini membahas dan menganalisa mengenai kedaulatan ruang udara Indonesia yang

memiliki implikasi dengan kebijakan Open Skies dalam kawasan Asia Tenggara.

Liberalisasi ruang udara tersebut terumuskan dalam ASEAN Single Aviation Market (ASAM), yang

disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bali Concord II pada tahun 2003. Hal tersebut merupakan

suatu usaha dalam menjembatani konektivitas interaksi antar masyarakat dalam negara-negara anggota ASEAN

dan dengan dunia internasional melalui media ruang udara. Bagi Indonesia, kebijakan liberalisasi ruang udara

melalui skema Open Skies memiliki makna dengan semakin terbukanya jalur lalu lintas penerbangan di atas

wilayah ruang udara Indonesia untuk penerbangan asing.

Hal tersebut dilihat oleh Indonesia sebagai suatu ancaman terhadap kedaulatan wilayah ruang udara.

Potensi ancaman tersebut dapat terlihat melalui adanya hak melintas (Freedoms of the Air) yang tedapat pada

ASEAN Single Aviation Market, sehingga memungkinkan terjadinya pelanggaran black flight. Dan keberadaan

ruang udara wialayah Indonesia yang sampai saat ini dikuasai oleh otoritas Singapura, tepatnya ruang udara di

atas wilyah Kepualauan Riau. Penelitian ini berhasil mengidentifikasi respon indonesia dalam menerapkan

strategi-strategi guna mengantisipasi potensi ancaman tersebut. Strategi yang dilakuan oleh indonesia

menyangkut aspek domestik dan aspek internasional.

Aspek domestik yang dilakukan oleh Indonesia merupakan pembenahan kedalam yang terlihat dari sisi

perundang-undangan, revitalisasi infrastruktur penunjang penerbangan, serta penigkatan kemampuan dan

kompetensi dari regulator dan operator penerbangan Indonesia. Aspek internasional yang dilakukan oleh

Indonesia terkait diplomasi Indonesia untuk kembali menjadi anggota Dewan ICAO dan implementasi

USOAP, sebagai instrumen kekuatan politik bagi Indonesia untuk berbicara dalam dunia penerbangan sipil

internasional sebagai penilaian kemampuan serta citra negara terhadap dunia penerbangan.

Keputusan untuk meliberalisasi ruang udara pada kawasan Asia Tenggara, memberikan implikasi

langsung bagi negara-negara anggota ASEAN lainnya. Dengan keberadaan serta implementasi ASEAN Single

Aviation Market (ASAM), diharapkan bahwa negara-negara ASEAN akan memiliki keuntungan secara sosio-

ekonomi melalui beberapa peningkatan indikator yang ada.

Page 8: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

Namun, ada juga pihak-pihak yang memiliki rasa skeptis mengenai kebijakan liberalisasi ruang udara

dalam kawasan Asia Tenggara, mengingat disparitas yang dimiliki menyangkut persiapan dan kemampuan

antara negara-negara anggota ASEAN. Penelitian ini merupakan kajian analisis implikasi kebijakan liberalisasi

penerbangan pada kawasan Asia Tenggara dengan skema open skies, terhadap kedaulatan wilayah ruang udara

Indonesia. Kebijakan ASAM yang diberlakukan, menyebabkan terbukanya jalur-jalur penerbangan (airways)

dalam ruang udara Indonesia, berbagai penerbangan asing yang akan mendarat (landing) maupun hanya

melintas (over fly).

Secara sosio-eko-geografis keberadaan letak Indonesia berada di persimpangan jalan, sehingga potensi

sektor ekonomi yang didapat sangat besar karena potensi jumlah populasi serta luas wilayah negara yang

dimiliki. Namun disisi lain, potensi akan ancaman kedaulatan semakin terbuka lebar dengan keberadaan

ASAM. Hal tersebut dapat dilihat dari kesiapan dan persiapan khususnya yang berkaitan langsung dengan

infrastruktur-infrastruktur penunjang penerbangan, maupun kebijakan-kebijakan terkait yang dikeluarkan oleh

pemerintah Indonesia.

Association of South East Asian Nation (ASEAN) secara letak dan kondisi geografis berada diantara

jaring strategis niaga global yang terhubung dengan benua-benua lainnya. Kawasan ASEAN memiliki jumlah

total populasi Mencapai 622 juta, dimana perputaran roda perekonomian yang terjadi di dalamnya sangat

dinamis serta masif dan merupakan kekuatan ekonomi terbesar ke 7 dunia.

Sejak berdiri menjadi organisasi regional, ASEAN meletakkan kerjasama dalam biang ekonomi sebagai

suatu agenda fundamental yang wajib dikembangkan dan diimplementasikan oleh negara-negara anggota. Pada

fase-fase awal berdirinya, kerjasama ASEAN dalam bidang ekonomi bertumpu pada pemberian preferensi

perdagangan (trade preferences), usaha patungan (joint 1 Association of South East Asian Nations (ASEAN)

terbentuk pada 8 Agustus 1967. Sepuluh negara-negara anggota ASEAN terdiri dari: Indonesia, Malaysia,

Singapura, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Filipina dan Myanmar.

Pada akhir dekade 80an sampai awal dekade 90an, dunia internasional dan pemerintahan negara-negara

anggota ASEAN merespon postif perubahan yang terjadi lingkungan internasional. Hal tersebut didasari bahwa

cara terbaik adalah dengan saling berkerjasama dalam membuka perekonomian negara-negara anggota

ASEAN, yang bertujuan untuk integrasinya kawasan Asia Tenggara secara keseluruhan.

Salah satu cara yang dilakukan dengan mengimplementasikan kebijakan liberalisasi ruang udara di

kawasan Asia Tenggara untuk tujuan komersial. Liberalisasi ruang udara tersebut terumuskan dalam ASEAN

Single Aviation Market (ASAM), yang disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bali Concord II pada

tahun 2003. Hal tersebut merupakan satu usaha dalam menjembatani konektivitas interaksi antar masyarakat

dalam negara-negara anggota ASEAN dan dengan dunia internasional melalui media ruang udara.

Pada prinsipinya, AEC mempunyai tujuan single market dan production base melalui aliran bebas

komoditas barang, jasa, investasi, dan modal yang terwujud pada tahun 2020. AEC merupakan cita-cita

bersama para pemimpin pemerintahan ASEAN, sebagai bentuk usaha dalam mensejahterakan dan memajukan

masyarakat di kawasan Asia Tenggara dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Implementasi dari kebijakan ASAM mulai berlaku pada 30 Juni 2015, yang pada dasarnya mencakup

deregulasi dari peraturan-peraturan sampai penghapusan kendali pemerintah atas penetapan harga transportasi

udara di negara-negara anggota ASEAN. Open Skies mendorong terjadinya iklim kompetisi antar maskapai

penerbangan, serta memungkinkan maskapai-maskapai dari negara ketiga dapat melayani rute-rute yang ada di

antara dua negara. Selain itu, maskapai-maskpai tersebut diberikan keleluasaan dalam mengembangkan

ruterute serta jaringan pelayanan yang akan dipilih. Liberalisasi ruang udara dalam skema Open Skies tersebut

memberikan fleksibilitas kepada perusahaan maskapai penerbangan, yang memiliki konsepsi kebijakan berupa:

Page 9: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

1. Semua Bandar udara Internasional terbuka untuk perusahaanperusahaan penerbangan asing;

2. Pelaksanaan rute-rute penerbangan beradasarkan market demand dan bukan letak geografis;

3. Kebebasan dalam menetapkan kapasitas dan frekuensi;

4. Pertukaran hak kebebasan di udara (Freedoms of the Air) sampai ke lima;

5. Tarif menggunakan sistem double disapproval;

6. Penunjukan perusahaan-perusahaan penerbangan tidak terbatas;

7. Penerbangan tidak berjadwal (charter) merupakan pesaing (competitor) dari penerbangan berjadwal

(scheduled airlines) dan bukan sebagai pendukung;

8. Perusahaan-perusahaan penerbangan bebas menetapkan bentuk dan melakukan kerjasama dengan

perusahaan penerbangan manapun;

9. Pelaksanaan multi moda transportasi terbuka bagi perusahaanperusahaan penerbangan asing;

10. Kebebasan angkutan khusus kargo (freight).

Dengan keberadaan serta implementasi kebijakan ASEAN Single Aviation Market, diharapkan bahwa

negara-negara anggota ASEAN memiliki keuntungan secara sosio-ekonomi melalui beberapa indikator yang

ada. Dampak langsung bagi dunia penerbangan di kawasan Asia Tenggara adalah tarif yang lebih rendah serta

pelayanan yang lebih baik karena adanya persaingan bebas antar maskapai. Tentunya para calon penumpang

tersebut akan mendapatkan berbagai macam pilihan maskapai sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Keuntungan sekunder merupakan sektor pariwisata dapat terkena langsung manfaat Open Skies. Selain itu,

pendapatan devisa kepada pemerintah, efek valuta asing, lapangan perkerjaan, konektivitas, dan perbaikan

komunikasi bisnis dari negara-negara ASEAN juga ikut terangkat dengan keberadaan ASEAN Single Aviation

Market.

Keadaan geografis Indonesia mendapat legitimasi dunia internasional melalui United Nations

Conference on the Law of the Sea (UNCLOS) III 1982. Sebagai negara dengan konsep kepulauan (archipelagic

state), Indonesia terdiri dari 17.580 pulau dengan luas 5,5 Juta km2. Selain memiliki luas wilayah yang diakui

United Nations Convention on the Law of the Sea III 1982, mulai berlaku efektif pada 16 November 1994 satu

tahun setelah Guyana sebagai negara ke 60 yang meratifikasi Konvensi tersebut. Indonesia meratifikasi melalui

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS III pada tanggal 31 Desember 1985.

Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerangka Keutuhan besar, Indonesia merupakan

negara dengan tingkat populasi terpadat ke 4 dunia dengan total 254,5 Juta penduduk. Kedua faktor tersebut

dan dengan keberadaan 5 (lima) Bandar udara internasional , implementasi kebijakan ASEAN Single Aviation

Market merupakan kesempatan emas bagi Indonesia dalam mengangkat potensi di semua lini sektor

perekonomian.

Namun, mengadopsi kebijakan ASEAN Single Aviation Market secara tidak langsung mengurangi

kemutlakan wilayah kedaulatan Indonesia, yang memiliki implikasi sosial-politik serta pertahanan dan

keamanan di dalamnya. Potensi keuntungan ekonomi yang didadapat oleh Indonesia dalam kebijakan Open

Skies Asia Tenggara, harus diikuti pula dengan pertimbangan-pertimbangan dari kebijkan politik dan lainnya.

Hal tersebut menjadikan Indonesia harus mempersiapkan diri secara menyeluruh dalam sektor yang

bersinggungan langsung dengan dunia penerbangan dan melihat ruang udara sebagai suatu aset strategis

kepentingan nasional yang dimiliki. Masalah lalu lintas dalam dunia penerbangan tidak dapat dilepaskan dari

masalah kedaulatan negara di ruang udara.

Menurut Frans Likadja, wilayah suatu negara merupakan lingkungan berlakunya ketentuan hukum

nasional negara yang tidak terbatas pada panjang dan lebar saja, akan tetapi juga sampai pada tanah di bawah

dan ruang udara di atasnya.

Page 10: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

Pesawat-pesawat udara yang dalam melakukan penerbangannya hendak memasuki dan melintasi ruang

udara nasional suatu negara, hanya dapat melalui jalur-jalur udara yang sudah ditetapkan oleh negara kolong

yang besangkutan. Semua pesawat baik yang hanya melintas secara international routes atau domestic routes

maupun yang akan mendarat (landing), harus melaporkan diri (contact) pada instansi negara kolong yaitu

kepada Flight Information Service NKRI, (FIS) yang bertanggung jawab pada suatu Flight Information Region

(FIR). Sifat tertutup tersebut adalah demi keamanan dan pertahanan dari negara kolong dengan ruang udara

sebagai media gerak yang rawan.

Bagi Indonesia, kebijakan liberalisasi ruang udara melalui skema Open Skies memiliki makna dengan

semakin terbukanya jalur lalu lintas penerbangan di atas wilayah ruang udara Indonesia untuk penerbangan

asing. Maskapai-maskapai dari negara ketiga tersebut berkepentingan untuk melakuan pendaratan di Bandar

udara sipil maupun hanya untuk melintasi wilayah Indonesia, sesuai dengan asas Freedoms of the Air yang

disepakati oleh negara-negara ASEAN. Potensi ancaman kedaulatan ruang udara Indonesia yang datang dari

celah black flight harus dicermati keberadaannya. Black flight merupakan penerbangan tidak berjadwal yang

dilakukan oleh pesawat asing dengan melintasi sebuah negara tanpa izin otoritas berwenang dari negara yang

bersangkutan. Sejak akhir tahun 2014 hingga tahun 2015 setidaknya terdapat empat kali kasus penerbangan

black fight yang terjadi di wilayah kedaulatan ruang udara Indonesia, dan baik pesawat maupun pilotnya

berhasil untuk dipaksa mendarat (force down) oleh TNI-AU.

Dalam implementasi ASAM, akan terjadi peningkatan jumlah lalu lintas (traffic) pada jalur

penerbangan, yang memiliki implikasi dengan semakin padatnya serta semakin menyulitkan para petugas Air

Traffic Controllers (ATC) dalam mengidentifikasi keberadaaan black flight dari wilayah kedaulatan ruang

udara Indonesia. Ancaman terhadap kedaulatan lainnya datang dari permasalahan mendasar yang dihadapi oleh

Indonesia, terkait dengan kualitas dan kuantitas infrastruktur penunjang penerbangan. Kekurangan dari sisi

infrastruktur tersebut berdampak pada tidak semua wilayah udara terjamah dalam yurisdiksi hukum Indonesia,

tepatnya ruang udara diatas Kepulauan Riau dikontrol oleh otoritas penerbangan sipil Singapura (Civil

Aviation Authority of Singapore/CAAS).

Secara historis, pendelegasian ruang udara tersebut dilakukan sejak tahun 1946 melalui pertemuan

Regional Air Navigation, yang diselenggarakan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO), sebagai

rumusan awal dalam penetapan FIR pada masing-masing regional belahan dunia. Hasil pertemuan tersebut

tidak menguntungkan bagi Indonesia, keputusan ICAO menunjuk Singapura yang memiliki otoritas dalam

mengontrol wilayah udara Kepulauan Riau berdasarkan pada ketentuan Annex 11 Konvensi Chicago 1944.

ICAO melihat bahwa Indonesia belum siap dalam kemampuan untuk mengelola wilayah ruang udara diatas

Kepulauan Riau, yang pada saat itu masih berfokus pada revolusi fisik. Menarik untuk dikaji Bagaimana

korelasi implementasi ASEAN Single Aviation Market, dengan potensi ancaman kedaulatan Indonesia melalui

koridor ruang udara dan apa strategi Indonesia dalam meminimalisir potensi ancaman terhadap kedaulatan

yang masuk melalui koridor ruang udara, terkait implikasi kebijakan ASEAN Single Aviation Market?

KAJIAN LITELATUR

Beberapa kajian dilakukan oleh para peneliti mengenai liberalisasi ruang udara. Dalam dunia

internasional, terdapat beberapa perjanjian Open Skies yang bersifat bilateral dan multilateral. Adanya

perjanjian liberalisasi ruang udara tersebut didorong oleh arus globalisasi serta integrasi yang substansial.

Kajian literatur berikut melihat bagiamana liberalisasi ruang udara pada umumnya, kajian liberalisasi ruang

udara dalam kawasan Asia Tenggara, serta kajian liberalisasi ruang udara di kawasan Asia Tenggara dengan

Indonesia.

Page 11: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

Dalam Kajian Umum Liberalisasi Ruang Udara Internasional Menurut Alves dan Forte, Open Skies

yang terimplementasi di Eropa merupakan pembentukan pasar tunggal dalam penerbangan sipil. Implementasi

mulai dilakukan sejak tahun 1987 sampai finalisasi di tahun 1993, dimana liberalisasi penerbangan membuka

kesempatan market yang sama terhadap negara anggota dari Uni Eropa (UE). Dinamika kebijakan liberalisasi

ruang udara di Eropa berjalan dengan baik dengan hampir tidak adanya ganguan berarti dalam implementasi

perjalanannya. Menurut Alves dan Forte, kesamaan pandangan politik yang terjadi di Eropa menjadikan

negara-negara anggota lebih leluasa dalam menafsirkan kebijakan kedalam perundang-undangan masing-

masing negara. Liberalisasi ruang udara di Eropa berhasil merestrukturisasi pasar penerbangan sipil yang

secara signifikan dengan komposisi lebih banyak pemain, terutama dari pangsa pasar Low Cost Carier yang

sekarang ini menjadi hal penting dari penerbangan sipil.

Dresner dan Hoon Oum, berpendapat Inisiatif untuk meliberalisasi penuh pasar transportasi udara

melalui perjanjian Open Skies sesungguhnya pertama kali datang dari Amerika Serikat. Negara tersebut

berupaya mengusulkan inisiatif Open Skies kepada negara-negara lain dalam rangka untuk mengatasi ketatnya

persaingan antara Amerika Serikat dengan Eropa pada industri jasa transportasi udara. Amerika Serikat

melakukan liberalisasi di sektor ini demi meningkatkan kemampuan kompetisi pada rute-rute internasionalnya

guna meningkatkan Jumlah penumpang dan mengambil keuntungan. Selain itu Dresner dan Tea juga berbicara

mengenai dinamika liberalisasi ruang udara di Kanada. Pada awalnya, negara tersebut cenderung untuk

bersikap membatasi diri dalam memfasilitasi pasar penerbangan global. Namun secara perlahan, setelah

membuat perjanjian open skies dengan Amerika Serikat memberi kontribusi secara signifikan atas penerimaan

jumlah penumpang yang akan bepergian langsung ke Kanada.

KAJIAN LIBERALISASI RUANG UDARA DALAM KAWASAN ASIA TENGGARA

Alan mengemukakan bahwa liberalisasi ruang udara dalam kawasan Asia Tenggara diperlukan

keberadaannya sebagai efek dari globalisasi yang menjalar disemua sektor. Perkembangan dunia penerbangan

sipil di kawasan Asia Tenggara dalam kurun waktu dua dekade, menjadikan industri kedirgantaraan sebagai

tulang punggung dalam perkembangan ekonomi yang dirasakan oleh negara-negara ASEAN.

Namun disisi lainnya, Alan melihat terdapat disparitas pembangunan ekonomi dan kapsitas industri

antar Negaranegara anggota ASEAN, sehingga belum adanya suatu konsensus diantara mereka dalam

liberalisasi ruang udara pada kawasan Asia Tenggara.

Dengan demikian dibutuhkan sinergi diantara para pemimpin ASEAN, khususnya insentif negara-

negara yang lebih siap dalam meliberalisasi raung udaranya kepada yang masih dan sedang membangun

industri penerbangan sipil. Oleh karenanya, sinergi yang terjadi diharapkan menciptakan masyarakat ekonomi

ASEAN yang makmur melalui ASEAN Single Aviation Market.

Forsyth, King, Rodolfo, dan Trace, melihat apakah ASEAN Single Aviation Market berisi ketentuan

yang benar-benar secara liberal membuat kredibilitas rezim “ruang udara terbuka”, atau hanya akan berakhir

menjadi pasar tunggal semata. Prospek dalam mencapai kesepakatan mengenai liberalisasi tersebut merujuk

kepada tiga poin utama yaitu akses pasar, kepemilikan modal dan kontrol hubungan eksternal. Proses

perubahan lingkungan yang cepat dari pembentukan Open Skies dalam kawasan Asia Tenggara, dilihat sebagai

suatu yang mengancam negara-negara kecil ASEAN jika tidak segera mengintegrasikan pasar penerbangan

sipil mereka.

Page 12: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

Secara garis besar, Saraswati dan Hanaoka menyoroti kemauan Indonesia dalam melihat kebijakan

liberalisasi ruang udara di kawasan Asia Tenggara sebagai suatu peluang. Namun disisi lainnya, Indonesia

masih menemui kendala-kendala domestik sebagai penyebab terhambatnya implementasi kebijakan tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Saraswati dan Haoka dimulai dengan meninjau kebijakan tentang penerbangan

dan pembangunan industri di Indonesia yang berhubungan dengan jasa layanan transportasi moda udara.

Indonesia dirasa masih enggan menuju implementasi ASEAN Single Aviation Market, karena permasalahan

timbal balik serta manfaat yang akan diterima. Selain itu, ratifikasi perjanjian yang dilakukan oleh Indonesai

dilaksanakan secara bertahap untuk memberikan waktu tenggang guna menyesuaikan keadaan infrastruktur

industri penerbangan yang dimiliki oleh Indonesia. Hal tersebut menjadi penting keberadaannya, mengingat

kapasitas dan kualitas infrastruktur tetap menjadi tantangan besar bagi Indonesia dalam meliberalisasi ruang

udara untuk tujuan komersil.

Penulisan buku ini menggunakan alat analisa berupa fenomena yang ada terkait dengan penjelasan

umum mengenai teori dalam studi Hubungan Internasional, kemudian mengerucut pada kedaulatan wilayah

negara, selanjutnya difokuskan mengenai kedaulatan negara di ruang udara yang terkait dengan kemutakhiran

teknologi.

TEORI DALAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

Ilmu Hubungan Internasional pada hakikatnya merupakan suatu bidang kajian tentang kesatuan

interaksi serta sosialisasi dengan ruang lingkup yang bersifat global. Mochtar Mas’oed, mendefinisikan Ilmu

Hubungan Internasional sebagai studi tentang interaksi antar beberapa aktor yang berpartisipasi dalam politik

internasional yang meliputi negara-negara, organisasi internasional, organisasi non-pemerintah, kesatuan sub-

nasional seperti birokrasi dan pemerintah domestik serta individu-individu. Tujuan dasar studi Hubungan

Internasional adalah mempelajari perilaku internasional, yaitu perilaku para aktor negara maupun non-negara

didalam arena transaksi internasional. Perilaku ini bisa berwujud kerjasama, pembentukan aliansi, perang dan

konflik serta interaksi dalam organisasi internasional.

Studi pada Hubungan Internasional, memiliki teori-teori sebagai instrumen analisis dalam isu-isu yang

berkaitan dengan politik internasional. Teori merupakan hal penting dalam suatu penelitian, sebagaimana teori

dapat menjelaskan suatu fenomena-fenomena yang terjadi secara akademis dengan menggunakan akal dan

logika sehat. Jerald Hage berpendapat bahawa teori harus mengandung tidak hanya konsep-konsep dan

pernyataan-pernyataan, tetapi juga defenisi-defenisi baik teoritis maupun operasional dan pertalian, konsep dan

defenisi harus dituangkan ke dalam sejumlah istilah yang sederhana dan tegas serta pernyataan dan pertalian

harus dituangkan kedalam dasar-dasar pemikiran dan persamaan-persamaan.

Teori dalam hubungan internasional dijadikan sebagai landasan guna memahami fenomena

internasional yang dimaksud. Hal tersebut merupakan langkah teorisasi mengenai makna dasar terhadap studi

Hubungan Internasional (study of inter-states relations) yang termasuk sebagai bidang studi yang sangat tua,

didasari bahwa studi ini sudah dipelajari sejak masa Yunani Klasik.

KEDAULATAN WILAYAH NEGARA

Sebagai aktor dalam hubungan internasional, negara merupakan ujung tombak percaturan politik dunia

dengan berbagai hal keistimewanya yang terkait dengan aspek ekonomi, sosial, politik, serta keamanan.

Aristoteles mendefenisikan negara sebagai kumpulan masyarakat dan setiap masyarakat dibentuk dengan

tujuan demi kebaikan, karena manusia senantiasa berindak untuk mencapai sesuatu yang mereka anggap baik.

Page 13: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

Menurut Jean-Jaques Rosseau, negara adalah perserikatan dari rakyat yang bersama-sama melindungi

dan mempertahankan hak masing-masing diri dan harta benda anggota-anggota yang tetap hidup dengan bebas

merdeka. Sedangkan dalam pandangan sosiologis berkebangsaan Jerman Max Weber, melihat negara adalah

suatu suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu

wilayah.Selain faktor keberadaan masyarakat dan adanya pemerintahan, suatu negara memerlukan wilayah

untuk bernaung sebagai daerah kedaulatannya. Dapat dikatakan bahwa kedaulatan merupakan keharusan yang

tidak terpisahkan dari komponen dari apa yang dimaksud dengan negara itu sendiri. Secara umum kedaulatan

memiliki defenisi sekumpulan hak-hak dan kompetensi yang melekat pada negara. Teoritikus besar pertama

yang berbicara tentang kedaulatan adalah filusuf politik Perancis Jean Bodin. Melalui pandangannya Bodin

melihat bahwa satu-satunya jaminan stabilitas politik dan sosial ialah dengan kedaulatan yang mempunyai

kekuatan hukum tetap, dalam artian bahwa hukum tesebut mencerminkan “kemauan” dari penguasa. Bodin

membagi kedaulatan menjadi empat macam:

1. Tunggal; ini berarti bahwa hanya negara yang memiliki segalanya, jadi di dalam negara itu tidak ada

kekuasaan lain untuk membentuk atau membuat undang-undang atau hukum.

2. Asli; ini berarti bahwa kekuasaan ini tidak berasal dari kekuasaan lain, bukan diberikan atau diturunkan oleh

kekuasaan lain. Jadi misalnya propinsi atau kota praja itu tidak mempunyai kedaulatan, karena kekuasaan

yang ada padanya itu tidak asli, sebab diperoleh dari pusat.

3. Abadi; ini berarti bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi atau kedaulatan itu adalah negara, yang

menurut pendapat Bodin negara itu adanya abadi.

4. Tidak dapat dibag-bagi; ini berarti bahwa kedaulatan itu tidak dapat diserahkan kepada orang lain atau badan

lain, baik sebagian maupun seluruhnya.

Menurut Thomas Hobbes, kebutuhan untuk berdaulat muncul dari self-seeking dan power-interested

dari sifat dasar manusia itu sendiri. Hal tersebut mempunyai makna ketika tidak ada yang menguasai

kedaulatan (diartikan dalam keadaan state of nature), kehidupan akan merosot ke dalam perang antar sesama

dan berakibat kehidupan itu menjadi terpencil, miskin, keji, kasar dan tidak bertahan lama. Oleh karena itu

Hobbes mendefenisikan kedaulatan sebagai monopoli kekuasaan koersif serta menganjurkan bahwa supremasi

kedaulatan berada dalam satu penguasa saja (baik itu kerajaan, kelompok oligarki atau bahkan demokrasi).

Pemikiran tentang kedaulatan dalam wilayah negara modern saat ini dapat kita telusuri dari apa yang

terkandung di dalam perjanjian Westphalia yang mengakhiri perang 30 tahun pada abad ke XVI di daratan

Eropa. Pada dasarnya isi perjanjian Westphalia berbicara tentang aspek legalitas kedaulatan, yang berarti

bahwa para penguasa atau kedaulatan-kedaulatan yang sah tidak akan mengakui pihak lain yang memiliki

kedudukan yang sama secara internal dalam batas-batas kedaulatan wilayah yang sama. Kesepakatan tentang

bagaimana keadaulatan disuatu negara terbentuk dalam era modern saat ini kembali dipahami melalui

Konvensi Montevideo 1933. Konvensi tersebut hanya diikuti oleh negara-negara benua Amerika saja (Pan-

American), namun hasil dari Konvensi tersebut bagaimana kedaulatan suatu negara dijadikan rujukan dari

sudut pandang Hukum Internasional.

KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA

Dalam memahami berdaulatnya suatu negara, tentunya kita harus mengerti keadaan dari batas-batas

wilayah negara itu sendiri yang merupakan tanda pemisah satu wilayah dengan wilayah lain, baik berupa tanda

alamiah maupun buatan. Penetapan dan penegasan batas batas wilayah suatu negara dirasakan sangat penting

Page 14: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

dan mendesak yang dimana hal tersebut didasarkan semakin pesatnya perkembangan dan pertumbuhan dewasa

ini yang memerlukan ruang baru bagi kegiatan tersebut.

Wilayah dari suatu negara merupakan titik awal dalam menyelesaikan hampir semua persoalan yang

berkaitan dengan hubungan internasional dan mempunyai tiga dimensi yaitu daratan, perairan dan ruang udara.

Hakikat dan fungsi kedaulatan dalam masyarakat internasional sangat penting peranannya. Setiap negara

mempunyai sifat kedaulatan yang melekat padanya, karena kedaulatan merupakan sifat atau ciri hakiki dari

suatu negara. Suatu negara dikatakan berdaulat, maka makna yang terkandung adalah negara tersebut

mempunyai kekuasaan tertinggi dan secara de facto menguasai.

Pembahasan mengenai kedaulatan negara ruang udara dimulai dengan munculnya dalil Hukum Romawi

yang berbunyi “Cujus est solum, ejus est usque ad coelom”, yang artinya barang siapa mengasai tanah dengan

demikian juga memiliki segala-galanya yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai kelangit dan

segala apa yang berada di dalam tanah. Sebagaimana yang diketahui menurut hukum internasional wilayah

negara terdiri dari tiga matra yaitu darat, laut dan udara. Jika wilayah laut merupakan perluasan dari wilayah

daratan, wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah negara di darat dan laut.

Berdasarkan prinsip dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 194442, pesawat udara asing bersama dengan

awak pesawat mematuhi hukum serta regulasi nasional negara tempat pesawat udara tersebut melakukan

penerbangan. Hal tersebut memiliki makna walapun semua negara ikut dalam Konvensi tersebut, namun

khusus permasalahan kedaulatan negara di ruang udara bukan menjadi alasan untuk tidak mengakui kedaulatan

di wilayah ruang udara masing-masing negara.

Rumusan tentang kedaulatan ruang udara pada Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, tidak menunjukan

secara eksplisit sampai pada ketinggian berapa negara mempunyai kekuasaan atas delimitasi wilayahnya. Hal

tersebut menimbulkan banyak penafsiran-penafsiran berbeda, yang dimana pada saat Konvensi tersebut

dilaksanakan, dunia penerbangan masih dalam tahap pengembangan dan teknologi masih belum memadai.

Kebutuhan akan status hukum ruang udara bukan merupakan persoalan yang mendesak, walaupun

dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 merupakan usaha untuk memastikan kepastian hukum tentang adanya

hak kedaulatan ruang udara suatu negara. Priyatna Abdurasyid, Guru Besar Hukum Udara pertama Indonesia

menjelaskan: “Pada mulanya ketentuan Pasal 1 dimaksudkan untuk mengurangi sengketa di antara negara-

negara mengenai hak dan kewajiban negara bertalian dengan kedaulatannya di ruang udara, tetapi apa yang

dimaksudkan dengan sebagai suatu ketentuan yang membawa ketegasan akhirnya menjadi sumber keragu-

raguan yang baru pula”.

Konvensi internasional selalu menjadi bahan bagi perundang-undangan nasional, hal tersebut berlaku

dengan konvensi-konvensi internasional tentang penerbangan yang kemudian diadopsi kedalam perundang-

undangan nasional. Dalam tatanan yurisdiksi nasional, Indonesia mempunyai produk hukum penerbangan yang

konten-kontennya merujuk kepada perjanjian-perjanjian hukum internasional. Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2009 tentang Penerbangan merupakan perwujudan dari kedaulatan Indonesia terhadap ruang udaranya, dengan

Pasal 5 berbunyi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan ekslusif atas wilayah udara

Republik Indonesia”.

Dengan jelas dalam Pasal 6 berikutnya tanggung jawab pemerintah terhadap kedaulatan atas wilayah

udara menerangkan: “Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara

Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang

udara untuk kepentingan penerbangan perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial

budaya, serta lingkungan udara”.

Page 15: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

Konsep kedaulatan negara di ruang udara tersebut telah diatur dalam perundang undangan Indonesia,

serta meyatakan bahwa Indonesia berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udaranya. Sehingga, ruang udara

tersebut menjadi bentuk wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan politik yang berbentuk tiga dimensi.

Kesepakatan bersama negara-negara anggota ASEAN dalam menerapkan kebijakan ASEAN Single

Aviation Market, dilihat bagi Indonesia merupakan suatu potensi ancaman terhadap kedaulatan wilayah yang

masuk melalui koridor ruang udara. Potensi ancaman tersebut datang dari hak kebebasan di udara (Freedoms of

the Air) sebagai esensi dari Open Skies, yang memiliki implikasi dengan bertambahnya jalur udara (airways)

dan semakin padatnya arus lalu lintas (traffic) yang melewati wilayah kedaulatan ruang udara Indonesia.

Indonesia bereaksi dengan melakukan strategi-strategi yang diperlukan baik secara lingkup domestik maupun

internasional, untuk meminimalisir potensi ancaman terhadap wilayah kedaulatan ruang udara sebagai

konsekuensi penerapan kebijakan ASEAN Single Aviation Market.

Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi perubahan lingkungan dalam industri tersebut menyusul

kemunculan banyak maskapai baru yang menambah padat jumlah pemain dalam bisnis ini, adanya perubahan

situasiekonomi seperti kenaikan harga minyak yang membuat biaya operasional meningkat, krisis finansial,

maupun karena ketatnya aturan main yang diterapkan secara berbeda-beda oleh masing-masing negara. Kerja

sama ini terjadi diberbagaibelahan dunia mulai dari kawasan Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa,

Pasifik,bahkan hingga ke Asia Tenggara. terkait.Oleh karena itu selama departemen-departemen terkait

kebijakannya hanya terfokus pada pencapaian target masing-masing, maka industri penerbangan sulit

berkembang. Dalam penelitian ini kebijakan tersebut mengenai kebijakan ASEAN open sky yang telah

disetujui oleh Indonesia. Oleh sebab itu, sejauh mana persiapan yang dilakukan Indonesia dalam menghadapi

kebijakan tersebut. Untuk melihat persiapan Indonesia dalam menghadapi ASEAN open sky 2015 maka

peneliti menggunakan teori integrasi ekonomi yang dikemukakan oleh Dominick Salvatore.Terdapat 5 tahapan

dalam integrasi ekonomi menurut Salvatore.

Pertama, Preferential Trade Arangements yang dibentuk oleh negara-negara yang sepakat menurunkan

hambatan-hambatan perdagangan yang berlaku di antara mereka, dan membedakannya dengan yang

diberlakukan terhadap negara-negara luar yang bukan anggota. Ini merupakan bentuk integrasi ekonomi yang

paling longgar.

Kedua, Free Trade Area(FTA)yaitu bentuk integrasi ekonomi yang lebih tinggi dimana semua hambatan

perdagangan tarif maupun non-tarif di antara negara-negara anggota telah dihilangkan sepenuhnya, namun

masing-masing negara anggota tersebut masih berhak untuk menentukan sendiri apakah mereka hendak

mempertahankan atau menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan yang diterapkannya

terhadap negara-negara luar yang bukan anggota.

Ketiga, Customs Union yaitu Mewajibkan semua anggota untuk tidak hanya menghilangkan semua bentuk

hambatan perdagangan di antara mereka, namun juga menyeragamkan kebijakan perdagangan mereka terhadap

negara-negara luar yang bukan anggota. Jadi, masing-masing negara anggota tidak lagi bebas menentukan

kebijakan komersilnya dengan negara-negara lain.

Keempat, Common market

Pada bentuk integrasi ini, bukan hanya perdagangan barang saja yang dibebaskan, namun juga arus-arus faktor

produksi seperti tenaga kerja dan modal.

Kelima, Economic Union

Pada tahap ini, harmonisasi atau penyelarasan dilakukan lebih jauh, bahkan dengan menyeragamkan kebijakan-

kebijakan moneter dan fiskal dari masing-masing negara anggota. Ini merupakan tipe kerja sama yang paling

tinggi.0pen sky dapat d ipandang sebagai sebuah rezim. Menurut Stephen Haggard, rezim merupakan

Page 16: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

sekumpulan prinsip, norma, dan aturan yang bersifat eksplisit serta prosedur pengambilan keputusan atas suatu

titik temu dari berbagai ekspektasi para aktor pada suatu bidang tertentu dalam hubungan internasional. Secara

umum perjanjian ini menitikberatkan pada pembebasan ruang udara terbuka bagi setiap negara yang

menyetujuinya. Mengingat di era modern dengan tingkat mobilitas yang tinggi sudah dapat dipastikan industri

jasa penerbangan merupakan industri yang sangat diminati, karena lebih cepat dan efisien.

Perjanjian open sky umumnya mencakup beberapa ketentuan yang

mengikat negara-negara yang membuat perjanjian tersebut yaitu :

1) Open market

Perjanjian ini biasanya dicirikan dengan meninggalkan (secara menyeluruh atau parsial) batasan-batasan yang

berhubungan dengan rute-rute, jumlah maskapai yang diijinkan, kapasitas, frekuensi dan tipe pesawat yang

akan beroperasi.

2) Level playing field

Perjanjian open sky biasanya memuat aturan yang mengijinkan maskapai yang berdomisili di negara-negara

berpartisipasi dalam perjanjian ini untuk berkompetisi secara adil dan setara. Misalnya, maskapai boleh

mendirikan kantor penjualan di negara-negara yang turut menandatangani perjanjian tersebut.

3) Pricing

Perjanjian open sky biasanya memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada maskapai-maskapai untuk

melakukan penetapan harga.

4) Cooperative marketing arrangement

Umumnya maskapai diijinkan untuk berbagi kode penerbangan atau melakukan perjanjian leasing dengan

maskapai dari negara-negara yang ikut dalam perjanjian ini.

5) Disputeresolution

Umumnya perjanjian ini juga memuat prosedur untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang mungkin

muncul selama berjalannya perjanjian tersebut.

6) Charter market

Perjanjian ini juga memuat aturan yang memberi kebebasan bagi pasar pesawat-pesawat angkut sewa.

7) Safety and security

Pemerintah dari negara-negara yang menandatangani perjanjian tersebut setuju untuk menjalankan standar-

standar penerbangan mengenai keselamatan dan keamanan yang disetujui.

8) Optional 7th Freedom of Cargo Right

Perjanjian open sky mengijinkan maskapai dari negara-negara yang ikut serta dalam perjanjian ini untuk

mengoperasikan jasa kargo secara murni diantara negara anggota lainnya dan negara ketiga tanpa harus

berhenti di negara asal dari maskapai kargo tersebut. Open sky bukanlah merupakan hal yang baru. Dalam

Konvensi Chicago 1944 telah memuat butir-butir liberalisasi penerbangan. Ada sebanyak 8 tingkat kebebasan

di udara atau Freedom of The Air yang diketahui, tetapi dalam prakteknya hanya lima yang secara konsisten

dijalani (Five Freedom of The Air) yang menyangkut hak pengangkutan penumpang, kargo dan pos secara

komersial.

Saat ini, Freedom of The Air yang biasa disingkat Freedom ini menjadi acuan dalam penentuan kebijakan open

sky.

Page 17: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

Lima Freedom tersebut adalah sebagai berikut :

1. Hak untuk melintasi negara tanpa melakukan pendaratan,

2. Hak untuk mendarat di negara lain untuk keperluan teknis, seperti mengisi bahan bakar,

3. Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial dari negara sendiri ke pihak lain,

4. Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara

komersial dari pihak lain ke negara sendiri, dan

5. Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial dari atau negara ketiga.

Run down untuk pelaksanaan ASEAN open sky itu sendiri terurai sebagai berikut :

a) 1 Januari 2009 : pemberlakuan freedom ke-3 dan ke-4 untuk ibukota negara-negara ASEAN,

b) 1 Januari 2011 pemberlakuan freedom ke-5 untuk ibukota negara anggota,

c) 1 Januari 2016 pemberlakuan freedom ke-3,ke-4, ke-5 untuk semua kota-kota di ASEAN.

Kota-kota akan Terbuka untuk ASEAN Open Sky

Negara Kota yang dibuka untuk ASEAN Open Sky

Indonesia Jakarta, Medan, Surabaya,

Denpasar, Makassar

Brunei Bandar Seri Begawan

Singapura Singapura

Malaysia Semua kota dengan bandara internasional (saat ini terdapat 8 bandara

internasional)

Thailand Semua kota dengan bandara internasional (saat ini terdapat 9 bandara

internasional)

Filipina Semua kota dengan bandara internasional (saat ini terdapat 12 bandara

internasional)

Cambodia Semua kota dengan bandara internasional (saat ini terdapat 3 bandara

internasional)

Laos Semua kota dengan bandara internasional (saat ini terdapat 3 bandara

internasional)

Myanmar Semua kota dengan bandara internasional (saat ini terdapat 3 bandara

internasional)

Semua kota dengan bandara internasional (saat ini terdapat 8 bandara

internasional)

Sumber : INACA Annual Report 2012 hal- 26

Tujuan dari open sky menghapus segala bentuk pelarangan di bidang layanan penerbangan antar negara

demi untuk memajukan travel dan perusahaan perdagangan yang sedang berkembang, produktivitas,

kesempatan kerja dengan kualitas tinggi, dan pertumbuhan ekonomi. ASEAN open sky dilaksanakan dengan

cara mengurangi interferensi

pemerintah pada keputusan niaga perusahaan pengangkutan udara, membebaskan maskapai-maskapai

penerbangan untuk menyediakan jasa pelayanan udara yang dapat dijangkau, nyaman, dan efisien.

Dengan begitu memudahkan mobilitas penduduk diseluruh kawasan Asia Tenggara yang berdampak

langsung pada perekonomian negara-negara Asia Tenggara baik itu dari segi pariwisata, ekspor-impor,

pengiriman jasa kargo dan lain-lain. Open sky memperbolehkan perusahaan pengangkutan udara untuk

membuat keputusan pada rute, kapasitas, dan harga, dan pilihan yang beragam untuk menyewa dan kegiatan

penerbangan lain termasuk hak-hak codesharing yang tidak terbatas. Kebijakan-kebijakan open sky sangat

Page 18: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

sukses karena kebijakan tersebut berhubungan langsung dengan globalisasi perusahaan penerbangan. Dengan

memperbolehkan akses tidak terbatas perusahaan pengangkutan udara ke negara-negara

pelaku/pesertapenandatanganan dan akses tidak terbatas untuk menengah dan diluar batas-batas, perjanjian

seperti itu menyediakan fleksibilitas operasional yang maksimal untuk partner perserikatan perusahaan

penerbangan.

STANDARISASI ASEAN OPEN SKY

Pelaksanaan ASEAN open sky tentu memiliki standarisasi dalam mengukur kelayakan negara dalam

menghadapi kebijakan tersebut. Dalam berbagai sumber penulis menemukan standarisasi ASEAN open sky di

seluruh dunia mengacu pada standar yang ditetapkan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO)

selaku organisasi di bawah naungan PBB dalam bidang industri penerbangan. Ketentuan- ketentuan dalam

ICAO terdapat di dalam 18 annexyang merupakan hasil dari pertemuan negara-negara di dunia dalam konvensi

Chicago 1944.

Selanjutnya, terdapat ICAO Doc. 9859 yang menyebutkan bahwa SMS is a systematic approach to

managing safety, including the necessary organisational structures, accountabilities, policies and

procedures.Sebuah pendekatan sistematis untuk melakukan manajemen keselamatan yang mencakup struktur

organisasi, akuntabilitas, kebijakan dan prosedur. Safety Management System adalah konsep ICAO yang

ditujukan bagi industri penerbangan, yang pengawasannya dilakukan oleh otoritas penerbangan sipil di sebuah

negara berdasarkan ketentuan SARPs ICAO. Definition of Safety as SMS ICAO Doc 9859 is: the state in

which the risk of harm to persons or of property damage is reduced to, and maintained at or below, an

acceptable level through a continuing process of hazard identification and risk management.

Definisi keselamatan sebagaimana tercantum dalam SMS ICAO Doc 9859 adalah keadaan di mana

resiko yang dapat membahayakan seseorang atau merusakkan aset kepemilikan dapat dikurangi dan

dipertahankan di tingkat yang dapat diterima atau di bawahnya, melalui proses yang terus menerus dilakukan

dalam menemukenali bahaya dan manajemen resiko.Terdapat dua kategori sebagai tolak ukur sebuah negara

dalam pemenuhan standar yang telah ditetapkan oleh ICAO.

Pertama,

Kategori dua atau Category2,

maksudnya adalah : Does not Comply with ICAO Standards: The Federal Aviation Administration assessed

this country’s civil aviation authority (CAA) and determined that it does not provide safety oversight of its air

carrier operators in accordance with the minimum safety oversight standards established by the International

Civil Aviation Organization (ICAO).

Ketetapan standar dari ICAO belum terpenuhi apabila :

The Federal Aviation Administration menilai otoritas penerbangan sipil negara tersebut dan menentukan bahwa

itu tidak memberikan pengawasan keamanan operator angkutan udara sesuai dengan standar pengawasan

keselamatan minimum yang ditetapkan oleh ICAO.Sebagai sekedar tambahan informasi, negara-negara yang

masuk dalam kategori 2 FAA, selain Indonesia, antara lain adalah :

Guyana, Nauru, Serbia,Zimbabwe dan Congo.

Kedua,

Kategori satu atau Category1,

maksudnya adalah :Does Comply with ICAO Standards: A country’s civil aviation authority has been assessed

by FAA inspectors and has been found to license and oversee air carriers in accordance with ICAO aviation

safety standards.

Page 19: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

Ketetapan standarICAO telah terpenuhi apabila:otoritas penerbangan sipilsuatu negara telah dinilai

olehinspekturFAAdantelah memiliki lisensidan pengawasan maskapai penerbangan sesuai dengan standar

keselamatan penerbanganICAO.

Selaku regulator dalam menghadapi ASEAN open sky 2015, pemerintah Indonesia melakukan beberapa

kebijakan dalam negeri untuk melindungi maskapai penerbangan yang ada di dalam negeri, menentukan

bandara yang akan digunakan dalam melakukan kebijakan open sky dan tentunya meningkatkan pelayanan

Undang No.1 tahun 2009 tentang penerbangan. Dalam undang-undang ini diatur hal-hal yang berkaitan dengan

operasionalisasi bisnis penerbangan, khususnya mengatur perizinan perusahaan angkutan udara, peraturan

standar keselamatan penerbangan. Dalam hal perizinan pemerintah menetapkan bahwa untuk angkutan udara

niaga berjadwal perusahaan penerbangan harus memiliki paling sedikit lima unit pesawat udara. Dengan

memiliki lima unit pesawat udara diharapkan bisa mendukung kelangsungan usaha dengan rute yang dilayani

dan dapat bersaing dengan maskapai asing.

Kedua,

Menghadapi regulasi ASEAN Open Sky 2015 membuat pemerintah Indonesia akan sangat membatasi jumlah

bandar udara yang akan diperbolehkan oleh penerbangan asing. Pemerintah melalui Kementrian Perhubungan

yang bertindak sebagai regulator telah mengeluarkan peraturan Keputusan Menteri 11 Tahun 2010 tentang

Tatanan Kebandarudaraan Nasional (KM 11), selain itu pemerintah telah menetapkan lima bandara di

Indonesia yaitu, Bandara Kualanamu (Medan), Soekarno Hatta (Jakarta), Ngurah Rai (Bali), Juanda (Surabaya)

dan Sultan Hassanudin (Makasar). Alasan pemilihan lima bandara tersebut, karena dinilai sebagai bandara yang

berada di daerah yang tingkat pertumbuhan ekonomi relatif tinggi. Wilayah tersebut dianggap terbesar dalam

kuantitas penumpang dan kargo, baik dalam angkutan udara domestik maupun luar negeri, lalu memiliki

cakupan rute dalam dan luar negeri terbanyak, termasuk dilengkapi dengan fasilitas keamanan dan

penerbangan terlengkap. Padahal Indonesia masih memiliki beberapa bandara yang dinilai memadai seperti

bandara Hang Nadim di Batam, bandara Seipinggan di Balikpapan dan bandara Internasional Lombok di

Lombok, namun dinilai karena kurang strategis seperti di Batam yang terlalu dekat dengan Singapura serta

Malaysia dan pemberlakuan peraturan Internasional pengelolaan wilayah udara sekitar bandara Hang Nadim

oleh Singapura membuat terpilihnya kelima bandara tersebut. Penetapan kelima bandara tersebut akan

membagi pintu masuk ke Indonesia lewat jalur barat, tengah dan timur.

Ketiga,

Kementerian Perhubungan pada Januari 2012 telah menerapkan kebijakan penggantian kerugian bagi

penumpang pesawat udara yang dinyatakan keberangkatannya mengalami penundaan lebih dari empat jam.

Aturan resmi tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77/2011 (PM 77). Di dalam PM

77 mengatur tentang bagasi yang hilang sehingga mewajibkan untuk penggantian maksimal 4 juta rupiah, atau

200.000 rupiah per kg. Bagasi dinyatakan hilang apabila dalam kurun waktu 14 hari tidak dapat ditemukan.

Kehilangan sementara bagasi mendapat ganti rugi uang tunggu sebesar 200.000 rupiah per hari (maksimal tiga

hari). Dengan adanya PM 77 ini menandakan pemerintah ingin meningkatkan pelayanan maskapai

penerbangan yang beroperasi di Indonesia dan melindungi hak konsumen.

Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan langkah konkrit pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan

diri menghadapi kebijakan ASEAN open sky 2015. Dengan adanya kebijakan-kebijakan yang mendukung

penyelenggaraan serta tidak lupa pemerintah memperhatikan kelangsungan maskapai-maskapai dalam negeri

yang perlu dilindungi agar tidak kalah bersaing, maka kebijakan-kebeijakan dalam negeri hendaknya berpihak

pada kepentingan nasional.

Page 20: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

ASEAN OPEN SKY

ASEAN Open Sky tahun 2015 tidak dapat dihindari, secara pasti akan berlangsung dalam jangka

panjang. Ini adalah bentuk dari globalisasi yang ditunjang oleh kemajuan teknologi dan industri. Indonesia

sebagai anggota ASEAN terlibat di dalamya perlahan tetapi pasti berpengaruh pada kegiatan moda

perhubungan udara dengan segala aspeknya, baik ditinjau dari transportasi, hubungan internasional, ekonomi,

dan hukum.

Open Sky dalam konteks ASEAN adalah liberalisasi dari layanan udara antara negara-negara anggota

ASEAN. Selama hampir dua dekade terakhir industri transportasi udara diramaikan oleh banyaknya aktivitas

kerja sama jasa transportasi udara yang dilakukan olehnegara-negara di dunia. Hal ini dilakukan untuk

mengantisipasi perubahan lingkungan dalam industri tersebut menyusul kemunculan banyak maskapai baru

yang menambah padat jumlah pemain dalam bisnis ini, adanya perubahan situasi ekonomi seperti kenaikan

harga minyak yang membuat biaya operasional meningkat, krisis finansial, maupun karena ketatnya aturan

main yang diterapkan secara berbeda-beda oleh masing-masing negara. Kerja sama ini terjadi diberbagai

belahan dunia mulai dari kawasan Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa, Pasifik,bahkan hingga ke Asia

Tenggara.

Bentuk kerja sama yang kini banyak terjadi antar negara adalah kerja sama untuk meliberalisasi jasa

transportasi udara, baik secara parsial maupun secara penuh. Salah satu dari bentuk kerja sama yang kini tidak

asing lagi di dunia penerbangan adalah Open Sky, yang bertujuan untuk meliberalisasi jasa transportasi udara

secara penuh.

Dalam kerja sama Open Sky, terdapat sekumpulan aspek kebijakan yang dilakukan secara berbeda,

misalnya deregulasi kapasitas dan penghapusan kendali pemerintah atas harga yang ditetapkan, sehingga

berdampak pada melonggarnya peraturan-peraturan dalam industri jasa transportasi udara. Strategi open sky ini

sendiri dapat dilakukan oleh negara-negara baik secara bilateral, regional, maupun multilateral. Secara khusus,

open sky mendorong terjadinya kompetisi yang makin ketat antara maskapai-maskapai penerbangan,

memungkinkan maskapai-maskapai dari negara ketiga untuk dapat melayani rute-rute yang ada diantara dua

negara dan memberi keleluasaan bagi para maskapai untuk mengembangkan rute-rute dan jaringan layanan

yang ingin maskapai-maskapai tersebut pilih.

Perjanjian Open Sky umumnya mencakup beberapa ketentuan yang mengikat negara-negara anggota

ASEAN tersebut yaitu: open market, level playing field, pricing, cooperative marketing arrangement, dispute

resolution, charter market, safety and security, dan optional 7th freedom of cargo right.

Visi ASEAN 2020, ASEAN becita-cita membentuk suatu integrasi ekonomi regional yang disebut

ASEAN Economic Community, yang diharapkan dapat memperkuat daya saing global dalam menghadapi

persaingan dari negara besar Asia, seperti Cina dan India. Dalam rangka mewujudkan suatu komunitas

ekonomi ASEAN, dilakukan percepatan liberalisasi 12 sektor prioritas yang salah satunya adalah jasa

penerbangan.

ASEAN Open Sky sendiri bermula dari pertemuan negara-negara ASEAN dalam Bali Concord II di

tahun 2003 yang merupakan KTT ASEAN yang ke-9 dengan adanya cita-cita membentuk ASEAN Economic

Community 2020 dengan angkutan udara menjadi salah satu sektor yang akan diintegrasikan pada tahun 2010.

Tindak lanjut dari Bali Concord II adalah diadakannya KTT ke-12 di Cebu, Filipina, pada 12-13 Januari 2007

yang menghasilkan sebuah keputusan penting mengenai percepatan perwujudan komunitas ASEAN yang akan

dicapai pada tahun 2015, 6 lima tahun lebih awal dari keputusan sebelumnya yaitu pada tahun 2020.

Page 21: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

Pada KTT ke-13 di Singapura pada tanggal 20 November 2007 Piagam ASEAN telah diresmikan.

ASEAN Charter tersebut ditandatangani oleh 10 pemimpin ASEAN dan telah disetujui. Piagam ASEAN

merupakan landasan ASEAN untuk mencapai tujuan dan pelaksanaan prinsip-prinsip yang dianut bersama oleh

negara-negara anggotanya dalam perwujudan Komunitas Ekonomi ASEAN di tahun 2015. Tahap-tahap menuju

ke arah open sky sudah mulai dilakukan negara-negara anggota ASEAN.

Pada tahun 2008 pembatasan untuk penerbangan antar ibukota negara ASEAN sudah dihapuskan,

menyusul kemudian hak angkut kargo pada tahun 2009 dan diikuti hak angkut penumpang pada tahun 2010

dengan puncaknya Pasar Penerbangan Tunggal ASEAN. Kebijakan open sky 2015 menjadikan masing-masing

maskapai penerbangan di Indonesia untuk berlomba-lomba meningkatkan pelayanan dari segi kualiatas maupun

kuantitasnya dalam keamanan maupun kenyamanan penerbangannya.

Beberapa tahun yang lalu, maskapai Indonesia dilarang terbang ke negara-negara Eropa. Indonesia

dianggap tidak memenuhi prosedur keselamatan penerbangan internasional. Salah satu hal yang menarik dalam

hal pelarangan ini adalah begitu efektifnya Uni Eropa melalui kebijakan ruang udara terbuka (open sky policy)

menetapkan suatu regulasi yang mampu memberikan proteksi bagi seluruh negara anggotanya.

Padahal dalam aturan Hukum Udara Internasional, kebijakan pemanfaatan dan pengaturan ruang udara

sepenuhnya merupakan hak ekslusif suatu negara, bukan hak suatu komunitas negara seperti Uni Eropa.

Dengan kebijakan Single European Sky, ruang udara negara anggota Uni Eropa menjadi terbuka dan kemudian

lahir ruang udara baru yaitu ruang udara Uni Eropa. Sejak tahun 2007 NKRI berada dalam kelompok negara

yang mendapat penilaian kategori 2 dari FAA (Federal Aviation Administration) yang mengacu kepada standar

keamanan terbang internasional seperti yang telah ditentukan dalam regulasi ICAO (International Civil

Aviation Organization).

Masuknya Indonesia dalam kategori 2 menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu memenuhi

persyaratan minimum keamanan terbang internasional. Selain itu, sarana dan prasarana dalam dunia

penerbangan masih kurang. Hukum udara dan ruang angkasa yang pasti di Indonesia belum lengkap serta

kurang siapnya operator yang berkualifikasi dalam mendukung kegiatan penerbangan, ini semua jika diabaikan

dapat berimplikasi pada masalah pertahanan dan keamanan yang cukup serius.

Implementasi ASEAN Open Sky akan dilaksanakan pada tahun 2015, itu artinya kurang lebih tinggal 2 tahun

lagi untuk negara-negara anggotanya mempersiapkan diri dalam menghadapi kebijakan tersebut. Indonesia sebagai salah

satu negara anggota ASEAN yang turut serta dalam penendatanganan perjanjian open sky ini tentunya harus

melakukan persiapan yang matang agar siap menghadapi liberalisasi dalam bidang transportasi udara tersebut.

Bagi pemerintah Indonesia sendiri, saat ini masih menghadapi beberapa kendala dalam upaya meningkatkan

market demands-nya termasuk masalah penilaian FAA.

Pariwisata di Indonesia, yang menjadi daya tarik unggulan dalam menarik wisatawan mancanegara

mengalami penurunan yang cukup drastis. Image masyarakat dunia terhadap kondisi umum politik dan sosial

Indonesia sangat berpengaruh terhadap perkembangan industri pariwisata Indonesia.

Masalah lain adalah perangkat hukum yang belum terintegrasi dengan baik. Industri penerbangan sipil

tidak dapat berkembang hanya dengan kebijakan yang dibuat oleh Departemen Perhubungan karena aspek-

aspek hukum dan operasional penerbangan sipil sangat tergantung pula pada kebijakan yang dibuat oleh

departemen. Hal ini diatur dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang menyatakan bahwa: “…The

Contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above

its territory”. Pasal ini adalah penegasan dari Konvensi Paris 1919. Hal ini diatur dalam Pasal 1 Konvensi

Chicago 1944 yang menyatakan bahwa: “…The Contracting States recognize that every State has complete and

exclusive sovereignty over the airspace above its territory”. Pasal ini adalah penegasan dari Konvensi Paris

Page 22: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

1919. Pendapat Adam L. Schless. “Opened Skies: Loosening the Protectionist Grips on International Civil

Aviation” dalam Emory International Law Review Vol. 8, 1994.

Untuk melihat persiapan Indonesia dalam menghadapi ASEAN open sky 2015 dalam teori integrasi

ekonomi yang dikemukakan oleh Dominick Salvatore, terdapat 5 tahapan dalam integrasi ekonomi:

Pertama, Preferential Trade Arangements yang dibentuk oleh negara-negara yang sepakat menurunkan

hambatan-hambatan perdagangan yang berlaku di antara mereka, dan membedakannya dengan yang

diberlakukan terhadap negara-negara luar yang bukan anggota. Ini merupakan bentuk integrasi ekonomi yang

paling longgar.

Kedua, Free Trade Area (FTA) yaitu bentuk integrasi ekonomi yang lebih tinggi dimana semua

hambatan perdagangan tarif maupun nontarif di antara negara-negara anggota telah dihilangkan sepenuhnya,

namun masing-masing negara anggota tersebut masih berhak untuk menentukan sendiri apakah mereka hendak

mempertahankan atau menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan yang diterapkannya terhadap negara-

negara luar yang bukan anggota.

Ketiga, Customs Union yaitu Mewajibkan semua anggota untuk tidak hanya menghilangkan semua

bentuk hambatan perdagangan di antara mereka, namun juga menyeragamkan kebijakan perdagangan mereka

terhadap negara-negara luar yang bukan anggota. Jadi, masing-masing negara anggota tidak lagi bebas

menentukan kebijakan komersilnya dengan negara-negara lain.

Keempat, Common Market, pada bentuk integrasi ini, bukan hanya perdagangan barang saja yang

dibebaskan, namun juga arus-arus faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal.

Kelima, Economic Union, pada tahap ini, harmonisasi atau penyelarasan dilakukan lebih jauh, bahkan

dengan menyeragamkan kebijakan-kebijakan moneter dan fiskal dari masing-masing negara anggota. Ini

merupakan tipe kerja sama yang paling tinggi.

Kerja sama Open Sky dapat dipandang sebagai sebuah rezim. Menurut Stephen Haggard, rezim

merupakan sekumpulan prinsip, norma, dan aturan yang bersifat eksplisit serta prosedur pengambilan

keputusan atas suatu titik temu dari berbagai ekspektasi para aktor pada suatu bidang tertentu dalam hubungan

internasional. Secara umum perjanjian ini menitik beratkan pada pembebasan ruang udara terbuka bagi setiap

negara yang menyetujuinya. Mengingat di era modern dengan tingkat mobilitas yang tinggi sudah dapat

dipastikan industri jasa penerbangan merupakan industri yang sangat diminati, karena lebih cepat dan efisien.

Perjanjian Open Sky umumnya mencakup beberapa ketentuan yang mengikat negara-negara yang

membuat perjanjian tersebut yaitu :

1) Open market, Perjanjian ini biasanya dicirikan dengan meninggalkan (secara menyeluruh atau parsial)

batasan-batasan yang berhubungan dengan rute-rute, jumlah maskapai yang diijinkan, kapasitas, frekuensi

dan tipe pesawat yang akan beroperasi. Perjanjian open sky biasanya memuat aturan yang mengijinkan

maskapai yang berdomisili di negara-negara berpartisipasi dalam perjanjian ini untuk berkompetisi secara

adil dan setara. Misalnya, maskapai boleh mendirikan kantor penjualan di negara-negara yang turut

menandatangani perjanjian tersebut.

2) Perjanjian Open Sky biasanya memuat aturan yang mengijinkan maskapai yang berdomisili di negara-negara

berpartisipasi dalam perjanjian ini untuk berkompetisi secara adil dan setara. Misalnya, maskapai boleh

mendirikan kantor penjualan di negara-negara yang turut menandatangani perjanjian tersebut.

Page 23: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

3) Pricing, Perjanjian Open Sky biasanya memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada maskapai-

maskapai untuk melakukan penetapan harga.

4) Cooperative marketing arrangement, Umumnya maskapai diijinkan untuk berbagi kode penerbangan atau

melakukan perjanjian leasing dengan maskapai dari negara-negara yang ikut dalam perjanjian ini.

5) Disputeresolution, Umumnya perjanjian ini juga memuat prosedur untuk menyelesaikan perbedaan-

perbedaan yang mungkin muncul selama berjalannya perjanjian tersebut.

6) Charter market, Perjanjian ini juga memuat aturan yang memberi kebebasan bagi pasar pesawat-pesawat

angkut sewa.

7) Safety and security, Pemerintah dari negara-negara yang menandatangani perjanjian tersebut setuju untuk

menjalankan standar-standar penerbangan mengenai keselamatan dan keamanan yang disetujui.

8) Optional 7th freedom of cargo right, Perjanjian open sky mengijinkan maskapai dari negara-negara yang

ikut serta dalam perjanjian ini untuk mengoperasikan jasa kargo secara murni diantara negara anggota

lainnya dan negara ketiga tanpa harus berhenti di negara asal dari maskapai kargo tersebut. Open sky

bukanlah merupakan hal yang baru.

Dalam Konvensi Chicago 1944 telah memuat butir-butir liberalisasi penerbangan. Ada sebanyak 8

tingkat kebebasan di udara atau Freedom of The Air yang diketahui, tetapi dalam prakteknya hanya lima yang

secara konsisten dijalani “Five Freedom of The Air” yang menyangkut hak pengangkutan penumpang, kargo

dan pos secara komersial. Saat ini, Freedom of The Air yang biasa disingkat Freedom ini menjadi acuan dalam

penentuan kebijakan open sky. Lima Freedom tersebut adalah sebagai berikut :

1. Hak untuk melintasi negara tanpa melakukan pendaratan,

2. Hak untuk mendarat di negara lain untuk keperluan teknis, seperti mengisi bahan bakar,

3. Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial dari negara sendiri ke pihak lain,

4. Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial dari pihak lain ke negara sendiri, dan

5. Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial dari atau negara ketiga. Run down

untuk pelaksanaan ASEAN open sky itu sendiri terurai sebagai berikut :

a) 1 Januari 2009 : pemberlakuan freedomke-3 dan ke-4 untuk ibukota negara-negara ASEAN,

b) 1 Januari 2011 pemberlakuan freedom ke-5 untuk ibukota negara anggota,

c) 1 Januari 2016 pemberlakuan freedom ke-3,ke-4, ke-5 untuk semua kota-kota di ASEAN.

Kota-kota akan terbuka untuk ASEAN Open Sky Negara Kota yang dibuka untuk ASEAN Open Sky

Indonesia Jakarta, Medan, Surabaya, Denpasar, Makassar Brunei Bandar Seri Begawan Singapura Singapura

Malaysia. Semua kota dengan bandara internasional (saat ini terdapat 8 bandara internasional) Thailand Semua

kota dengan bandara internasional (Saat ini terdapat 9 bandara internasional) Filipina Semua kota dengan

bandara internasional (saat ini terdapat 12 bandara internasional) Cambodia Semua kota dengan bandara

internasional (saat ini terdapat 3 bandara internasional) Laos Semua kota dengan bandara internasional (saat ini

terdapat 3 bandara internasional) Myanmar Semua kota dengan bandara internasional (saat ini terdapat 3

bandara internasional) Vietnam Semua kota dengan bandara internasional (saat ini terdapat 8 bandara

internasional).

Page 24: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

Tujuan dari Open Sky menghapus segala bentuk pelarangan di bidang layanan penerbangan antar

negara demi untuk memajukan travel dan perusahaan perdagangan yang sedang berkembang, produktivitas,

kesempatan kerja dengan kualitas tinggi, dan pertumbuhan ekonomi. ASEAN open sky dilaksanakan dengan

cara mengurangi interferensi pemerintah pada keputusan niaga perusahaan pengangkutan udara, membebaskan

maskapaimaskapai penerbangan untuk menyediakan jasa pelayanan udara yang dapat dijangkau, nyaman, dan

efisien, memudahkan mobilitas penduduk diseluruh kawasan Asia Tenggara yang berdampak langsung pada

perekonomian negara-negara Asia Tenggara baik itu dari segi pariwisata, ekspor-impor, pengiriman jasa kargo

dan lain-lain. Open Sky memperbolehkan perusahaan pengangkutan udara untuk membuat keputusan pada rute,

kapasitas, dan harga, dan pilihan yang beragam untuk menyewa dan kegiatan penerbangan lain termasuk hak-

hak codesharing yang tidak terbatas. Kebijakan-kebijakan Open Sky sangat sukses karena kebijakan tersebut

berhubungan langsung dengan globalisasi perusahaan penerbangan. Dengan memperbolehkan akses tidak

terbatas perusahaan pengangkutan udara ke negara-negara pelaku/peserta penandatanganan dan akses tidak

terbatas untuk menengah dan diluar batas-batas, perjanjian seperti itu menyediakan 17 “Open Skies

Agreements”, 7 fleksibilitas operasional yang maksimal untuk partner perserikatan perusahaan penerbangan.

Standarisasi ASEAN Open Sky Pelaksanaan ASEAN open sky tentu memiliki standarisasi dalam

mengukur kelayakan negara dalam menghadapi kebijakan tersebut. Dalam berbagai sumber ASEAN open sky

di seluruh dunia mengacu pada standar yang ditetapkan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO)

selaku organisasi di bawah naungan PBB dalam bidang industri penerbangan. Ketentuan- ketentuan dalam

ICAO terdapat di dalam annex yang merupakan hasil dari pertemuan negara-negara di dunia dalam konvensi

Chicago 1944. Selanjutnya, terdapat ICAO Doc. 9859 yang menyebutkan bahwa SMS is a systematic approach

to managing safety, including the necessary organisational structures, accountabilities, policies and

procedures. Sebuah pendekatan sistematis untuk melakukan manajemen keselamatan yang mencakup struktur

organisasi, akuntabilitas, kebijakan dan prosedur.

Safety Management System adalah konsep ICAO yang ditujukan bagi industri penerbangan, yang

pengawasannya dilakukan oleh otoritas penerbangan sipil di sebuah negara berdasarkan ketentuan SARPs

ICAO. Definition of Safety as SMS ICAO Doc 9859 is: the state in which the risk of harm to persons or of

property damage is reduced to, and maintained at or below, an acceptable level through a continuing process

of hazard identification and risk management.

Foto oleh Rahmad Gunawan Terminal-terminal di Bandara Soekarno-Hatta di Jakarta saat ini sudah beroperasi pada tingkat yang melebihi kapasitas.

Page 25: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

Definisi keselamatan sebagaimana tercantum dalam SMS ICAO Doc 9859 adalah keadaan di mana

resiko yang dapat membahayakan seseorang atau merusakkan aset kepemilikan dapat dikurangi dan

dipertahankan di tingkat yang dapat diterima atau di bawahnya, melalui proses yang terus menerus dilakukan

dalam menemukenali bahaya dan manajemen resiko.

Terdapat dua kategori sebagai tolak ukur sebuah negara dalam pemenuhan standar yang telah

ditetapkan oleh ICAO:

Pertama, Kategori dua atau Category 2, maksudnya adalah :Does not Comply with ICAO Standards:

The Federal Aviation Administration assessed this country’s civil aviation authority (CAA) and determined that

it does not provide safety oversight of its air carrier operators in accordance with the minimum safety

oversight standards established by the International Civil Aviation Organization (ICAO). Ketetapan standar

dari ICAO belum terpenuhi apabila : The Federal Aviation Administration menilai otoritas penerbangan sipil

negara tersebut dan menentukan bahwa itu tidak memberikan pengawasan keamanan operator angkutan udara

sesuai dengan standar pengawasan keselamatan minimum yang ditetapkan oleh ICAO.Sebagai sekedar

tambahan informasi, negara-negara yang masuk dalam kategori 2 FAA, selain Indonesia, antara lain adalah :

Guyana, Nauru, Serbia, Zimbabwe dan Congo.

Kedua, Kategori satu atau Category 1, maksudnya adalah : Does Comply with ICAO Standards: A

country’s civil aviation authority has been assessed by FAA inspectors and has been found to license and

oversee air carriers in accordance with ICAO aviation safety standards.Ketetapan standar ICAO telah

terpenuhi apabila otoritas penerbangan sipil suatu negara telah dinilai oleh inspektur FAA dan telah memiliki

lisensi dan pengawasan maskapai penerbangan sesuai dengan standar keselamatan penerbangan ICAO.

Selaku regulator dalam menghadapi ASEAN open sky 2015, pemerintah Indonesia melakukan beberapa

kebijakan dalam negeri untuk melindungi maskapai penerbangan yang ada di dalam negeri, menentukan

bandara yang akan digunakan dalam melakukan kebijakan open sky dan tentunya meningkatkan pelayanan

Undang-undang No.1 tahun 2009 tentang penerbangan.

Dalam undang-undang No.1 tahun 2009 tentang penerbangan, diatur hal-hal yang berkaitan dengan

operasionalisasi bisnis penerbangan, khususnya mengatur perizinan perusahaan angkutan udara, peraturan

standar keselamatan penerbangan. Dalam hal perizinan pemerintah menetapkan bahwa untuk angkutan udara

niaga berjadwal perusahaan penerbangan harus memiliki paling sedikit lima unit pesawat udara. Dengan

memiliki lima unit pesawat udara diharapkan bisa mendukung kelangsungan usaha dengan rute yang dilayani

dan dapat bersaing dengan maskapai asing.

Menghadapi regulasi ASEAN open sky 2015 membuat pemerintah Indonesia akan sangat membatasi

jumlah bandar udara yang akan diperbolehkan oleh penerbangan asing. Pemerintah melalui Kementrian

Perhubungan yang bertindak sebagai regulator telah mengeluarkan peraturan Keputusan Menteri 11 Tahun

2010 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional (KM 11), selain itu pemerintah telah menetapkan lima

bandara di Indonesia yaitu, Bandara Kualanamu (Medan), Soekarno Hatta (Jakarta), Ngurah Rai (Bali), Juanda

(Surabaya) dan Sultan Hassanudin (Makasar). Alasan pemilihan lima bandara tersebut, karena dinilai sebagai

bandara yang berada di daerah yang tingkat pertumbuhan ekonomi relatif tinggi. Wilayah tersebut dianggap

terbesar dalam kuantitas penumpang dan kargo, baik dalam angkutan udara domestik maupun luar negeri, lalu

memiliki cakupan rute dalam dan luar negeri terbanyak, termasuk dilengkapi dengan fasilitas keamanan dan

penerbangan terlengkap.

Indonesia masih memiliki beberapa bandara yang dinilai memadai seperti bandara Hang Nadim di

Batam, bandara Seipinggan di Balikpapan dan bandara Internasional Lombok di Lombok, namun dinilai karena

Page 26: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

kurang strategis seperti di Batam yang terlalu dekat dengan Singapura serta Malaysia dan pemberlakuan

peraturan Internasional pengelolaan wilayah udara sekitar bandara Hang Nadim oleh Singapura membuat

terpilihnya kelima bandara tersebut, penetapan kelima bandara tersebut akan membagi pintu masuk ke

Indonesia lewat jalur barat, tengah dan timur.

Kementerian Perhubungan pada Januari 2012 telah menerapkan kebijakan penggantian kerugian bagi

penumpang pesawat udara yang dinyatakan keberangkatannya mengalami penundaan lebih dari empat jam.

Aturan resmi tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77/2011 (PM 77). Di dalam PM

77 mengatur tentang bagasi yang hilang sehingga mewajibkan untuk penggantian maksimal 4 juta rupiah, atau

200.000 rupiah per kg. Bagasi dinyatakan hilang apabila dalam kurun waktu 14 hari tidak dapat ditemukan.

Kehilangan sementara bagasi mendapat ganti rugi uang tunggu sebesar 200.000 rupiah per hari (maksimal tiga

hari). Dengan adanya PM 77 ini menandakan pemerintah ingin meningkatkan pelayanan maskapai

penerbangan yang beroperasi di Indonesia dan melindungi hak konsumen.

Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan langkah konkrit pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan

diri menghadapi kebijakan ASEAN open sky 2015. Dengan adanya kebijakan-kebijakan yang mendukung

penyelenggaraan serta tidak lupa pemerintah memperhatikan kelangsungan maskapai-maskapai dalam negeri

yang perlu dilindungi agar tidak kalah bersaing, maka kebijakan-kebeijakan dalam negeri hendaknya berpihak

pada kepentingan nasional.

Dalam teori integrasi ekonomi dikatakan perdagangan bebas tanpa hambatan disebutkan bahwa tujuan

agar terjadi pergerakan bebas dari modal, tenaga kerja, barang, dan jasa di antara negara anggota adalah agar

memudahkan bagi negara-negara ASEAN untuk mencapai efisiensi ekonomi yang lebih tinggi.

Dibandingkan dengan pasar bersama, satu pasar tunggal membutuhkan lebih banyak usaha untuk

menghilangkan hambatan fisik (di perbatasan), teknis (standar), dan fiskal (perpajakan) di antara negara

anggota. Untuk menghilangkan hambatan-hambatan tersebut negara anggota memerlukan kemauan politik dan

harus merancang kebijaksanaan ekonomi bersama.

Kebijakan ekonomi bersama yang dimaksud dalam pemberlakuan ASEAN Open Sky bertujuan untuk

meliberalisasi pasar penerbangan di kawasan ASEAN khususnya. Berdasarkan teori integrasi ekonomi satu

pasar tunggal tersebut membutuhkan banyak usaha untuk menghilangkan hambatan, teknis dan fiskal.

Penerapan ASEAN open sky merupakan rencana yang dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi di Bali pada

tahun 2003. Konsep itu tertuang dalam Bali Concord II. Liberalisasi penerbangan bertujuan untuk membuka

wilayah udara antarsesama anggota negara ASEAN. Dengan liberalisasi diharapkan akan terjadi

perdagangan bebas dalam bidang penerbangan.

Dasar pembentukan liberalisasi penerbangan itu adalah keinginan tercapainya ASEAN Economic

Community 2020. Bali Concord II menyebutkan angkutan udara menjadi salah satu dari dua belas sektor yang

akan diintegrasikan. ASEAN Open Sky akan diwujudkan pada tahun 2015. Perbaikan di bidang perdagangan,

pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas penerbangan, dan bahkan peningkatan kualitas sumber daya

manusia Indonesia akan menjadi dampak positif bila Indonesia ikut serta dalam ASEAN Open Sky.

Upaya Indonesia dalam menghadapi ASEAN open sky adalah dengan pemenuhan standarisasi dalam

pelaksanaan ASEAN open sky dengan melakukan perbaikan dalam hal regulasi, pembangunan infrastruktur,

peningkatan kualitas penerbangan, dan bahkan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Hal tersebut

bertujuan agar Indonesia selaku negara ASEAN, siap dalam menghadapi kebijakan tersebut dan tentunya

Indonesia tidak dirugikan dalam penerapan kebijakan tersebut.

Page 27: IRMA INDRAYANI - Universitas Nasional

ASEAN open sky jika dilihat dari jumlah pasar yang bertambah tentunya hal tersebut menguntungkan,

tetapi di kawasan Asia Tenggara Indonesia mempunyai pasar yang jauh lebih besar dibandingkan negara-

negara ASEAN lainnya. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah bandara di Indonesia yang mencapai 26

bandara sedangkan negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Singapura dan Brunei berturut-turut jika

dijumlahkan bandara negara-negara tersebut tidak sampai 26 bandara. Tentu hal ini menjadi tantangan bagi

Indonesia untuk melakukan perlindungan serta persiapan yang matang dalam menghadapi kebijakan tersebut

agar Indonesia tidak kalah bersaing dalam pelaksanaan liberalisasi tersebut.

Persiapan Indonesia sendiri untuk pemenuhan standarisasi ASEAN Open Sky dimulai dari regulasi

seperti Undang-Undang tahun 2009 tentang Penerbangan, serta Peraturan Menteri Perhubungan dalam

mempersiapkan diri untuk pelaksanaan Open Sky secara tegas memang telah disebutkan.

Selain itu juga, Perbaikan kualitas perusahaan-perusahaan penerbangan, tidak hanya kuantitas pesawat,

misalnya dengan perbaikan kualitas pelayanan, ketepatan waktu penerbangan, dan harga pemanfaatan fasilitas

penerbangan yang tidak memberatkan masyarakat, tetapi juga tidak merugikan perusahaan penerbangan

nasional. Pembangunan bandara-bandara baru yang berstandar internasional dan memperbaiki bandarabandara

yang sudah ada dengan meningkatkan kualitasnya pelayanannya, peningkatan keamanan, dalam hal ini dalam

bidang keamanan juga harus ditingkatkan.

Di setiap bandara, baik pihak imigrasi maupun pemeriksaan penumpang dan kargo, harus semakin

diperketat, perbaikan kualitas sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan kualitas fasilitas lain yang

berhubungan dengan penerbangan. Peningkatan kualitas fasilitas lain misalnya akomodasi. Penerapan asas

cabotage juga masih diperlukan apabila Indonesia masih merasa perlu melindungi perusahaan penerbangan

nasionalnya sampai nanti perusahaan-perusahaan penerbangan nasionalnya siap untuk menghadapi perusahaan

penerbangan asing. Pemenuhan standarasasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualiatas Indonesia di

bidang penerbangan agar tidak kalah bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya.

Hal tersebut dibuktikan dengan usaha Indonesia dalam mengikuti ketentuan ICAO selaku organisasi

internasional yang mengatur standarisasi maupun lisensi dalam dunia penerbangan yang diwujudkan dalam

peraturan menteri perhubungan KM 8 tahun 2010 yakni dengan program keselamatan penerbangan nasional

serta Undang-Undang tahun 2009 tentang penerbangan. Selain itu juga pemenuhan standar profesi jasa

penunjang penerbangan dalam rangka menuju MRA (Mutual Recognation Agreement).