FILOGEOGRAFI CICAK JARI LENGKUNG (SQUAMATA: GEKKONIDAE: CYRTODACTYLUS DI JAWA...

75
FILOGEOGRAFI CICAK JARI LENGKUNG (SQUAMATA: GEKKONIDAE: CYRTODACTYLUS) DI JAWA DAN SUMATRA BERDASARKAN ANALISIS MORFOLOGI DAN MOLEKULER GEN NATRIUM DEHYDROGENASE SUBUNIT 4 (ND4) SKRIPSI oleh MUHAMMAD ALIF FAUZI 135090101111007 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

Transcript of FILOGEOGRAFI CICAK JARI LENGKUNG (SQUAMATA: GEKKONIDAE: CYRTODACTYLUS DI JAWA...

  • FILOGEOGRAFI CICAK JARI LENGKUNG (SQUAMATA:

    GEKKONIDAE: CYRTODACTYLUS) DI JAWA DAN SUMATRA

    BERDASARKAN ANALISIS MORFOLOGI DAN MOLEKULER

    GEN NATRIUM DEHYDROGENASE SUBUNIT 4 (ND4)

    SKRIPSI

    oleh

    MUHAMMAD ALIF FAUZI

    135090101111007

    JURUSAN BIOLOGI

    FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG

    2017

  • FILOGEOGRAFI CICAK JARI LENGKUNG (SQUAMATA:

    GEKKONIDAE: CYRTODACTYLUS) DI JAWA DAN SUMATRA

    BERDASARKAN ANALISIS MORFOLOGI DAN MOLEKULER

    GEN NATRIUM DEHYDROGENASE SUBUNIT 4 (ND4)

    SKRIPSI

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

    dalam Bidang Biologi

    oleh

    MUHAMMAD ALIF FAUZI

    135090101111007

    JURUSAN BIOLOGI

    FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG

    2017

  • HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

    FILOGEOGRAFI CICAK JARI LENGKUNG (SQUAMATA:

    GEKKONIDAE: CYRTODACTYLUS) DI JAWA DAN

    SUMATRA BERDASARKAN ANALISIS MORFOLOGI DAN

    MOLEKULER GEN NATRIUM DEHYDROGENASE

    SUBUNIT 4 (ND4)

    MUHAMMAD ALIF FAUZI

    135090101111007

    Telah dipertahankan di depan Majelis Penguji

    pada tanggal 25 Juli 2017

    dan dinyatakan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar

    Sarjana Sains dalam Bidang Biologi

    Menyetujui

    Pembimbing

    Nia Kurniawan S.Si, MP., D,Sc

    NIP 19600118 198601 1 001

    Mengetahui

    Ketua Program Studi S-1 Biologi

    Fakultas MIPA Universitas Brawijaya

    Rodliyati Azrianingsih, S.Si., M.Sc., Ph.D.

    NIP 19700128 199412 2 001

  • iii

    HALAMAN PERNYATAAN

    Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

    Nama : Muhammad Alif Fauzi

    NIM : 135090101111007

    Jurusan : Biologi

    Penulis Skrispi berjudul : Filogeografi Cicak Jari Lengkung

    (Squamata: Gekkonidae: Cyrtodactylus)

    di Jawa dan Sumatra Berdasarkan

    Analisis Morfologi dan Molekuler Gen

    Natrium Dehydrogenase Subunit 4 (ND4)

    Dengan ini menyatakan bahwa:

    1. Skripsi ini adalah benar-benar karya saya sendiri dan bukan hasil plagiat dari karya orang lain. Karya-karya yang

    tercantum dalam Daftar Pustaka Skripsi ini semata-mata

    digunakan sebagai acuan/referensi

    2. Apabila kemudian hari diketahui bahwa isi Skripsi saya merupakan hasil plagiat, maka saya bersedia menanggung

    segala resiko.

    Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran

    Malang, 4 Agustus 2017

    Yang menyatakan

    Muhammad Alif Fauzi

    135090101111007

  • iv

  • v

    HALAMAN PEDOMAN PENGGUNAAN SKRIPSI

    Skripsi ini tidak dipublikasikan namun terbuka untuk umum dengan

    ketentuan bahwa hak cipta ada pada penulis. Daftar Pustaka

    diperkenankan untuk dicatat, tetapi pengutipan hanya dapat

    dilakukan seizin penulis dan harus disertai keabsahan ilmiah dalam

    menyebutkannya.

  • vi

    Filogeografi Genus Cicak Jari Lengkung (Squamata;

    Gekkonidae; Cyrtodactylus) di Jawa dan Sumatra Berdasarkan

    Analisis Morfologi dan Molekuler Gen Natrium Dehydroganase

    Subunit 4 (ND4)

    Muhammad A. Fauzi., Nia Kurniawan

    Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

    Universitas Brawijaya

    2017

    ABSTRAK

    Sejarah geografis konstruksi Paparan Sunda menyebabkan adanya

    pergeseran dan fluktuasi air laut yang mengakibatkan pulau di

    Paparan Sunda mengalami pemisahan dan penggabungan. Aktivitas

    ini mempengaruhi persebaran genus Cyrtodactylus di Jawa dan

    Sumatra. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan

    kekerabatan dan zoogeografi Cyrtodactylus berdasarkan analisis gen

    ND4 serta pengelompokan berdasarkan morfologi. Metode yang

    digunakan meliputi morfometri, meristik, isolasi DNA, Polymerase

    Chain Reaction dan sekuensing. Analisis morfologi dilakukan

    menggunakan Principal Component Analysis (PCA) dengan software

    PAST dan konstruksi pohon filogenetik dilakukan menggunakan tiga

    analisis yaitu Maximum likelihood, Maximum Parsimony dan

    Bayesian Inference. Hasil PCA menunjukkan kesamaan karakter

    morfologi C. marmoratus jantan dan betina dari Jawa dan Sumatra.

    Hubungan filogenetik menjelaskan bahwa Cyrtodactylus membentuk

    satu clade monofiletik. Pohon filogenetik membagi Cyrtodactylus

    dalam tiga clade yaitu clade A (Jawa Barat), clade B (Jawa Tengah),

    dan clade C (Sumatra dan Kalimantan). Pada clade A dan B, C.

    marmoratus Jawa Barat terpisah dari C. marmoratus Jawa Tengah.

    Nilai p-distance C. marmoratus Jawa Barat dengan Jawa Tengah

    (33,6%) lebih tinggi daripada C. cf marmoratus dari Sumatra Utara

    (31,3%). Hal ini diakibat terbentuknya pegunungan pada Jawa

    bagian barat yang membentuk lembah mengakibatkan terjadinya

    barier geografis yang memisahkan clade A dan B. Selain itu,

    pemisahan dan penggabungan pulau-pulau di Paparan Sunda secara

  • vii

    berulang kali akan mempengaruhi diversifikasi dan variasi genetik

    Cyrtodactylus.

    Kata kunci : Cyrtodactylus, filogenetik, Paparan Sunda

    Phylogeography of Bent-Toad Gecko (Squamata; Gekkonidae;

    Crytodactylus) in Java and Sumatra Based on Morphological and

    Molecular Analysis of Natrium Dehydroganase Subunit 4 (ND4)

    Muhammad A. Fauzi., Nia Kurniawan

    Biology Department, Faculty of Mathematics and Natural Science,

    University of Brawijaya

    2017

    ABSTRACT

    The geographical history of Sundaland lead a shift and fluctuation of

    sea water which have an effect on the separating and merging

    process of Sundaland. This affects the spreading of Cyrtodactylus in

    Java and Sumatra. The aim of of this study is to explain the

    relationship and zoogeography of Cyrtodactylus based on ND4 gene

    analysis as well as morphological analysis. Methods used in this

    study were morphometry, meristics, DNA isolation, Polymerase

    Chain Reaction and sequencing. Morphological analysis was

    performed using Principal Component Analysis with PAST software,

    and phylogenetic tree was constructed by using Maximum likelihood,

    Maximum Parsimony and Bayesian Inference. The result of PCA

    showed that similarity characteristics morphological of male and

    female C. marmoratus from Java and Sumatra. The phylogenetic

    analysis showed that Cyrtodactylus forms a monophyletic clade. The

    phylogenetic analysis resulted three clades consist of clade A (West

    Java), clade B (Central Java), clade C (Sumatra and Kalimantan).

    Clade A and B consists C. marmoratus of West Java separated from

    C. marmoratus of Central Java. The p-distance value of C.

    marmoratus from West Java with Central Java (33.6%) was higher

    than C. cf marmoratus of North Sumatra (31.3%). This was probably

    the result of the mountain formation in west Java that have valleys,

    and resulting the occurrence of geographical barriers that separated

    clades A and B. In addition, the separation and incorporation of

  • viii

    islands in Sunda exposure will repeatedly affect the diversification

    and genetic variation of Cyrtodactylus.

    Key words: Cyrtodactylus, phylogenetic, Sundaland

  • ix

    KATA PENGANTAR

    Alhamdullilaahi Robbil ‘Aalamiin, dengan ungkapan rasa syukur

    pada Allah Yang Maha Kuasa akhirnya penulis dapat menyelesaikan

    penulisan skripsi yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar

    Sarjana Sains dalam bidang Biologi di Fakultas Matematika dan

    Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya, Malang.

    Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima

    kasih kepada:

    1. Bapak Nia Kurniawan S.Si, MP, D.Sc selaku Dosen Pembimbing yang selalu mendampingi dan memberi pengarahan, tambahan

    ilmu serta saran -saran yang berguna bagi penulis.

    2. Bapak Bagyo Yanuwiadi dan Bapak Widodo selaku Dosen Penguji yang telah memberi saran yang bermanfaat demi

    perbaikan penyusunan skripsi.

    3. Bapak Sujatmiko dan Ibu Trisnowati selaku orang tua penulis dan keluarga atas segala doa, dukungan, dan motivasi yang tidak

    terkira.

    4. Tim Master of Sundaland A.M. Kadafi., M. Fahmi, Bagus P., Anggun S.F., Agung Sih K, Adityas A., Erintha E.W.,

    Mulyadiane M.P., Day Shine N, Noviati R., Ari A., M. Farih A.

    yang memberikan masukan tambahan, pengetahuan dan saran

    kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

    5. Teman-teman seperjuangan skripsi Putri Dyandra D., Rizha H., M. Nizar F., Zahrina Z.D., Jerry F.P., Jenvia R.P., Alveus R., M.

    Luqman H., yang memberikan segala bantuan moral dan

    semangat kepada penulis.

    6. Teman-teman Biologi UB, khususnya angkatan 2013 dan teman-teman KSB, serta seluruh civitas akademik yang ada di Jurusan

    Biologi.

    Penulisan skripsi ini merupakan upaya optimal penulis sebagai

    sarana terbaik dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Saran dan

    kritik yang membangun sangat diharapkan untuk menjadikan karya

    ini semakin bermanfaat.

    Malang, 4 Agustus 2017

  • x

    Penulis

    DAFTAR ISI

    Halaman

    ABSTRAK .................................................................................. v

    ABSTRACT ................................................................................ vi

    KATA PENGANTAR ................................................................ vii

    DAFTAR ISI ............................................................................... viii

    DAFTAR TABEL ....................................................................... x

    DAFTAR GAMBAR ................................................................. xi

    DAFTAR LAMPIRAN .............................................................. xiii

    DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN ............................. xiv

    BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................... 1

    1.1 Latar Belakang ........................................................... 1

    1.2 Rumusan Masalah ...................................................... 2

    1.3 Tujuan Penelitian ........................................................ 3

    1.4 Manfaat Penelitian ...................................................... 3

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................ 4

    2.1 Sundaland (Paparan Sunda) ....................................... 4

    2.2 Biogeografi Genus Cyrtodactylus ............................. 6

    2.3 Genus Cyrtodactylus .................................................. 7

    2.4 Biogeografi .......................... ...................................... 9

    2.5 Konsep Spesies dan Spesiasi ...................................... 9

    2.6 Morfometri ................................................................. 10

    2.7 Analisis Filogenetik .................................................... 11

    2.7 Analisis Molekuler ..................................................... 12

    2.7.1 Polymerase Chain Reaction (PCR) ................. 13

    2.7.2 Gen NADH Dehydrogenase Subunit 4 (ND4) 13

    BAB III METODE PENELITIAN ........................................... 16

    3.1 Waktu dan Tempat ..................................................... 16

    3.2 Kerangka Kerja Penelitian .......................................... 16

    3.3 Deskripsi Area Studi .................................................. 17

    3.4 Pengambilan Sampel Cyrtodactylus ........................... 18

    3.5 Analisis Molekuler ..................................................... 19

  • xi

    3.5.1 Ekstraksi DNA ......................................................... 19

    3.5.2 Amplifikasi gen ND4 .......................................... 20

    3.5.3 Uji kualitatif DNA .............................................. 21

    3.5.4 Pengumpulan data sekuena genus

    Cyrtodactylus di kawasan Paparan Sunda ......... 21

    3.6 Konstruksi Pohon Filogenetik .................................... 22

    3.6.1 Contig dan alignment sekuens DNA .................. 21

    3.6.2 Analisis sequence divergence (p-distance) ......... 22

    3.6.3 Pemilihan Modeltest untuk Analisis Maximum

    likelihood dan Bayesian Inference ...................... 23

    3.6.4 Analisis Maximum likelihood dan Maximum

    Parsimony .......................................................... 23

    3.6.5 Analisis Bayesian Inference ............................... 23

    3.7 Analisis Morfometri ................................................... 24

    3.7.1 Pengambilan data morfometri ............................. 24

    3.7.2 Analisis data morfometri .................................... 25

    3.7.3 Analisis Principal Component Analysis

    Cyrtodactylus ...................................................... 26

    BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................... 27

    4.1 Morfometri dan Meristik Cyrtodactylus ..................... 27

    4.1.1 Principal Component Analysis (PCA) genus

    Cyrtodactylus di Jawa dan Sumatra berdasarkan

    analisis morfologi ............................................... 29

    4.2 Hubungan Kekerabatan Genus Cyrtodactylus di

    Jawa dan Sumatra Berdasarkan Analisis Gen ND4 ... 32

    4.2.1 Clade A ............................................................... 33

    4.2.2 Clade B ............................................................... 34

    4.2.3 Clade C ............................................................... 35

    4.3 Zoogeografi Genus Cyrtodactylus di Jawa dan

    Sumatra Berdasarkan Analisis Filogenetik ............... 43

    4.4 Sifat Adaptif Cyrtodactylus........................................ 48

    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................... 50

    5.1 Kesimpulan ................................................................ 50

    5.2 Saran ........................................................................... 50

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 51

  • xii

    LAMPIRAN ................................................................................ 59

    DAFTAR TABEL

    Nomor Halaman

    1 Daftar Sampel Cyrtodactylus ................................................ 19

    2 Data Sampel Cyrtodactylus dan Outgroup dari Genbank .... 22

    3 Karakter Morfometri Cyrtodactylus ..................................... 24

    4 Karakter Meristik Cyrtodactylus .......................................... 25

    5 Hasil Morfometri Cyrtodactylus Betina ............................... 27

    6 hasil Morfometri Cyrtodactylus Jantan ................................ 27

  • xiii

    DAFTAR GAMBAR

    Nomor Halaman

    1 Rekonstruksi Geologis Indo-Australian Archipelago ........ 5

    2 Batas Wilayah Paparan Sunda ........................................... 6

    3 Cyrtodactylus semiadii ....................................................... 8

    4 Peta Genom Mitokondria .................................................. 14

    5 Peta Lokasi Sampling di Jawa dan Sumatra ....................... 17

    6 Pola Precloacal dan Sisik Femoral.................................... 28

    7 Hasil PCA Cyrtodactylus Jantan ........................................ 30

    8 Hasil PCA Cyrtodactylus Betina ........................................ 31

    9 Karakter Morfologi C. marmoratus dari Jawa Barat ......... 33

    10 Karakter Morfologi Ventral dan Dorsal C. semiadii dan C. marmoratus ................................................................... 35

    11 Filogram Maximum Likelihood, Maximum Parsimony dan Bayesian Inference Berdasarkan Gen ND4 di Jawa

    dan Sumatra........................................................................ 37

    12 Perbandingan Morfologi Bagian Dorsal C. consobrinus,

    C. hikidai dan C. aurensis .................................................. 38

    13 Perbandingan Karakter Morfologi Bagian Dorsal C.

    lateralis dan C. semicinctus ............................................... 40

    14 Perbandingan Karakter Morfologi Ventral C. lateralis dan

    C. semicinctus .................................................................... 40

    15 Persamaan Karakter Morfologi C. cf psarops. .................. 42

  • xiv

    16 Karakter Morfologi C.cf marmoratus ................................ 43

    17 Peta Persebaran Cyrtodactylus di Jawa dan Sumatra

    Berdasarkan Analisis Gen ND4 ......................................... 44

  • xv

    DAFTAR LAMPIRAN

    Nomor Hal

    1 Hasil Identifikasi Secara Morfologi ................................... 59

    2 Hasil Elektroforesis Gen ND4 ............................................. 59

    3 Hasil Alignment Sekuens ND4 ............................................ 60

    4 Nilai P-Distance (Pairwise Distance) dengan menggunakan Program Mega 7 .................................................................. 60

    5 Perhitungan Model Pohon menggunakan Jmodeltest.......... 61

    6 Perhitungan Model Menggunakan Kakusan 4 .................... 62

    7 Hasil Rekonstruksi Pohon Filogenetik Maximum Likelihood Bootstrap 100 dengan menggunakan Program

    PAUP*4.0b10 ...................................................................... 62

    8 Hasil Rekonstruksi Pohon Filogenetik Maximum Parsimony dengan Bootstrap 1000 menggunakan

    PAUP*4.0b10 ...................................................................... 63

    9 Hasil Rekonstruksi Filogenetik dengan Bayesian Inference menggunakan Software Mrbayes 3.0b4 .............. 63

  • xvi

    DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

    Simbol/Singkatan Keterangan

    ATP adenosin triphospate

    BI bayesian interference

    bp base-pair

    BPP bayesian posterior probability

    DNA deoksiribosa nucleic acid

    HGP human genome project

    GPS global positioning system

    GTR general time reversible

    LGM last glacial maximum

    MCMC monte carlo markov chain

    ML maximum-likelihood

    MLBS maximum-likelihood bootstrap

    MP maximum parsimony

    MPBS maximum parsimony bootstrap

    mtDNA mitochondrial DNA

    ND4 NADH dehydrogenase Subunit 4

    PCA Principal Component Analysis

    PCR Polymerase Chain Reaction

    RFLP Restriction Fragment Length

    Polymorphism

    RNA ribonucleic acid

    SVL snout vent length

    TBE Tris Buffer EDTA

    TBR tree bisection recognition

    TL tail length

    VES visual encounter surveys

    Simbol/Singkatan Keterangan

    C celcius

    mm milimeter

    µL mikroliter

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Paparan Sunda merupakan suatu wilayah yang meliputi Sumatra,

    Borneo, Jawa dan Semenanjung Malaya pada periode Pleistosen dan

    Pleiosen (Bird dkk., 2005). Paparan sunda merupakan kawasan tropis

    dengan geografis yang paling kompleks di bumi. Selama periode

    Pleistosen, terjadi kenaikan dan penurunan permukaan air laut yang

    menyebabkan pulau di Paparan Sunda secara berulang mengalami

    penggabungan dan pemisahan satu sama lain. Paparan Sunda

    terbentuk akibat perluasan daratan Asia pada periode permukaan air

    laut yang rendah dan memunculkan dasar laut antara Semenanjung

    Malaya, Jawa, Sumatra dan Kalimantan (Lohman dkk., 2011).

    Proses konstruksi Paparan Sunda menyebabkan beberapa spesies

    yang dulunya berada dalam satu populasi mengalami pemisahan.

    Akibatnya, beberapa spesies mengalami adaptasi pada suatu habitat

    yang baru, sehingga memunculkan karakter yang berbeda dengan

    spesies asal. Selain itu, isolasi geografis juga menyebabkan suatu

    populasi memiliki divergensi sekuens dari populasi lainnya yang

    sejenis (Endler, 1997). Kondisi ini dapat terjadi melalui mekanisme

    isolasi antar populasi dan interaksi terhadap lingkungan sebagai

    bentuk adaptasi organisme, sehingga diferensiasi karakter muncul

    sebagai bentuk respon terhadap lingkungan fisik tempat hidup

    organisme tersebut (Hill & Wiens, 2000).

    Cyrtodactylus merupakan genus yang memiliki banyak spesies.

    Eksplorasi herpetofauna, khususnya Cyrtodactylus, telah memberikan

    kontribusi berupa sejumlah spesies yang dideskripsikan dari berbagai

    wilayah meliputi Myanmar, Thailand, Vietnam, Malaysia, Filipina,

    Borneo, Sulawesi, Papua dan Australia (Uetz, 2015). Menurut

    Iskandar dkk. (2011), genus Cyrtodactylus terdiri lebih dari 130

    spesies dengan perkembangan yang cepat dalam dua dekade terakhir

    ini dengan ditemukannya spesies baru lebih dari 80 jenis. Terdapat

    perbedaan morfologi yang membedakan beberapa spesies, misalnya

    adalah adanya karakter spesifik pada salah satu spesies antara C.

    marmoratus dari Jawa dengan spesies dari Sulawesi. Persebaran yang

    sangat luas hampir di seluruh Asia Tenggara menyebabkan banyaknya

    penemuan spesies baru yang ditandai dengan beberapa karakter kunci

    dari segi morfologi akibat adaptasi terhadap barier geografis. Spesies

  • 2

    dari anggota genus Cyrtodactylus memiliki ciri morfologi dan corak

    yang hampir sama, sehingga perlu dilakukan kajian DNA untuk

    konfirmasi hasil identifikasi. Selain itu, minimnya informasi terkait

    herpetofauna di kawasan Paparan Sunda menjadi salah satu implikasi

    pentingnya dilakukan penelitian terhadap biodiversitas Indonesia

    sebagai upaya konservasi (Iskandar & Elderen, 2006).

    Teknik identifikasi suatu taksa menggunakan sekuens DNA (DNA

    barcoding) didasarkan pada perubahan basa nukleotida akibat proses

    evolusi. Perubahan sekuens di setiap spesies menjadi acuan untuk

    konstruksi filogenetik. Susunan genom mitokondria memiliki sebuah

    daerah dimana terdapat daerah konservatif dan variatif yang dapat

    menginterpretasikan jejak historis evolusi organisme (Nei & Kumar,

    2000). Penggunaan gen NADH Dehydrogenase Subunit 4 (ND4)

    didasarkan pada aktivitas gen ini yang menghasilkan komplek enzim

    yang besar untuk mitokondria. Aktivitas sel ini berpengaruh terhadap

    segala macam aktivitas genom mitokondria dalam melakukan

    aktivitasnya. Adaptasi habitat baru akibat pemisahan geologis

    menyebabkan gen ini mengalami perubahan nukleotida, sehingga

    akan merubah urutan sekuens gen ND4. Identifikasi molekuler dengan

    gen ND4 mampu menginterpretasikan hubungan kekerabatan

    berdasarkan variasi pada setiap jenis organisme yang dihubungkan

    dengan demografi sejarah geologi (Zhang dkk., 2014).

    Spesies dengan persebaran luas umumnya memiliki prioritas

    konservasi yang rendah. Namun, beragamnya tingkat cryptic spesies

    dapat menjadi (Bickford dkk., 2007). Studi tentang biogeografi dapat

    digunakan sebagai upaya konservasi dengan menggunakan data

    genetik. Pendekatan identifikasi secara biogeografi molekuler dapat

    digunakan untuk mengetahui demografi sejarah dan perubahan

    distribusi sebagai respon terhadap iklim (Lim dkk, 2011). Berdasarkan

    penjelasan di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

    hubungan kekerabatan genus Cyrtodactylus di Jawa dan Sumatra.

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan maka didapatkan

    beberapa permasalahan, yaitu:

    1. Bagaimana pengelompokan Cyrtodactylus di Jawa dan Sumatra berdasarkan analisis morfologi ?

    2. Bagaimana hubungan kekerabatan genus Cyrtodactylus di Jawa dan Sumatra berdasarkan analisis gen ND4?

  • 3

    3. Bagaimana zoogeografi antar spesies Cyrtodactylus di Jawa dan Sumatra berdasarkan analisis molekuler gen ND4?

    1.3 Tujuan Penelitian

    Tujuan dari penelitian ini adalah:

    1. Menjelaskan pengelompokan Cyrtodactylus di Jawa dan Sumatra berdasarkan analisis morfologi.

    2. Menjelaskan hubungan kekerabatan genus Cyrtodactylus di Jawa dan Sumatra berdasarkan analisis gen ND4.

    3. Menentukan zoogeografi antar spesies Cyrtodactylus di Jawa dan Sumatra berdasarkan analisis molekuler gen ND4.

    1.4 Manfaat Penelitian

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih

    terhadap database genetik spesies dari genus Cyrtodactylus di Jawa

    dan Sumatra, serta dapat menjadi bahan evaluasi perencanaan

    konservasi.

  • 4

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Paparan Sunda

    Paparan Sunda adalah suatu perluasan lautan dangkal yang

    menghubungkan Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Semenanjung

    Malaysia pada zaman Pleistosen akibat kenaikan dan penurunan level

    air laut (Myers dkk., 2000). Periode Pleistosen menimbulkan air laut

    terakumulasi pada kutub yang menyebabkan menurunnya level air laut

    tropis sekitar 70-150 m. Akibat hal tersebut, laut dangkal mengalami

    pengeringan, sehingga terjadi perluasan wilayah daratan Paparan

    Sunda dan Paparan Sahul. Paparan Sunda, seperti Sumatra, Jawa dan

    Kalimantan bersatu dengan kepulauan Melayu. Pulau Bali yang

    merupakan wilayah dari Sunda Besar juga mengalami perluasan dan

    ikut bersatu dengan daratan Paparan Sunda (Bird dkk., 2005).

    Konstruksi Paparan Sunda terjadi pada awal Eosen dimana daratan

    Sunda mengalami peregangan dimulai dari sisi Sumatra, kemudian

    diikuti dengan Jawa. Ujung Jawa kemudian memisah dan bergabung

    dengan bagian ujung pulau Sulawesi. Proses tersebut berlanjut pada

    bagian Kalimantan dan Sulawesi akibat pergeseran lempeng Australia

    yang bersinggungan dengan tepi paparan Sunda yang menyebabkan

    bertambahnya luas laut dangkal. Tubrukan yang terjadi menghasilkan

    daratan Wallacea yang lebih luas mencakup pulau Sulawesi (Gambar

    1). Periode Neogene, Australia mengalami pergeseran ke utara dan

    menghasilkan Sumatra dan Jawa sebagai daratan utama pada periode

    Pliosen (Lohman dkk., 2011).

    Perubahan distribusi fauna di Paparan Sunda disebabkan iklim

    basah dan kering selama periode Pleistosen. Selama periode Last

    Glacial Maximum (LGM) terdapat penurunan level air laut secara

    global, sehingga memunculkan timbulnya paparan benua dari selatan

    Thailand ke Sumatra, Jawa dan Kalimantan serta menghasilkan

    Paparan Sunda dengan luas mirip dengan Eropa (Bird dkk., 2005).

    Menurut Pelejero dkk. (1999), perluasan geografi tersebut berefek

    pada persebaran genetik populasi dari daratan utama dengan populasi

    pulau-pulau. Adanya perubahan habitat akibat evolusi geografis dan

    iklimatis menyebabkan beberapa spesies hewan mengalami

    perubahan. Variasi habitat menyebabkan perbedaan karakter pada

    individu di dalam satu spesies akibat respon terhadap lingkungannya.

  • 5

    (Lohman dkk., 2011)

    Gambar 1. Rekonstruksi geologis Indo-Australian Archipelago

    Jejak historis distribusi spesies di sepanjang Paparan Sunda

    menunjukkan bahwa beberapa spesies mengalami kepunahan di

    Sumatra selama masa Pleistosen. Endemisme spesies di Sumatra yang

    tidak ditemukan di beberapa daerah lain mengiindikasikan bahwa

    Sumatra berfungsi sebagai persimpangan fauna Pleistosen. Sebagian

    besar proses kepunahan suatu spesies merupakan suatu proses alami.

    Spesies atau populasi yang hidup pada pulau kecil (misalnya Pulau

    Mentawai) memiliki tingkat kepunahan yang lebih tinggi

    dibandingkan dengan spesies yang terdistribusi pada pulau besar

    (misalnya Pulau Sunda) (Burkey, 1995). Terdapat 2 skenario

    penyebab kepunahan di Sumatra, yaitu perubahan iklim dan vegetasi

  • 6

    selama masa Pleistosen, serta pengaruh dari erupsi supervulkanik

    Toba (Wilting dkk., 2012).

    Garis Wallace merupakan garis pembatas yang membedakan

    karakteristik antara fauna paparan Sunda dan pulau-pulau kecil di

    dekat Sulawesi (Gambar 2). Menurut Mayr (1939), terdapat banyak

    kawasan kering yang melebar dari Filipina dan Celebes hingga pulau

    Buru, serta Jawa Timur hingga Nusa tenggara. Zona tersebut berperan

    sebagai pembatas jalur antara Paparan Sunda dengan Papua. Terdapat

    faktor yang mempengaruhi miskinnya fauna pada beberapa pulau

    kecil, salah satunya adalah usia geologi yang masih muda, sehingga

    membatasi kesempatan fauna untuk melakukan kolonisasi. Selain itu,

    deretan kepulauan dari Jawa hingga Nusa Tenggara memiliki aktivitas

    vulkanik yang tinggi. Aktivitas vulkanik ini terjadi di kawasan yang

    terpencil, namun berefek pada kawasan yang cukup luas. Hal tersebut

    diperkirakan menjadi alasan fauna Jawa lebih miskin dibanding

    Sumatra dan Kalimantan.

    (Lohman dkk., 2011)

    Gambar 2. Batas Wilayah Paparan Sunda

    2.2 Biogeografi Cyrtodactylus

    Cyrtodactylus Asia/Pasifik merupakan genus dari Famili

    Gekkonidae yang paling beragam dan terdistribusi sangat luas. Selain

    itu, genus Cyrtodactylus juga memiliki beberapa spesies yang baru

    saja ditemukan atau diidentifikasi. Pola utama dari sejarah evolusioner

  • 7

    Cyrtodactylus masih belum banyak diketahui karena belum ada

    penelitian dengan sampel yang berskala geografi luas dan diversitas

    morfologi dari genus ini. Cyrtodactylus merupakan spesies

    monofiletik, hanya jika spesies India/Sri Lanka yang dikenal dengan

    Geckoella. Divergensi membagi Cyrtodactylus menjadi 2 clade yaitu

    spesies tunggal C. tibetanus, clade spesies dari Myanmar/Himalaya

    selatan, dan clade besar yang meliputi Cyrtodactylus dan Geckoella.

    Clade terbesar memiliki sub-clade paling beragam di Thailand,

    Indochina Timur, kawasan Sunda, kawasan Papua, dan Filipina. Hasil

    filogenetik, kaitannya dengan jam molekuler dan analisis area nenek

    moyang, menunjukkan bahwa Cyrtodactylus berasal dari kawasan

    circum-Himalayan pada zaman Cretaceous/Paleogene (Wood dkk.,

    2012)

    Daratan utama Asia Tenggara mengalami segregasi geografi yang

    kuat terhadap pemisahan clade Cyrtodactylus dari Myanmar,

    Thailand, Indochina Timur, dan Semenanjung Malaya. Hal tersebut

    menunjukkan peran dari batas atau barier geografi jangka panjang

    dalam membentuk endemisme regional. Salah satu barier yang

    terkenal adalah wilayah Isthmus of Kra sebagai barier geografis antara

    Thailand dengan Sunda (Semenanjung Malaya) (Hughes dkk., 2003;

    Woodruff & Turner, 2009). Transgresi tersebut menyebabkan

    terjadinya isolasi radiasi Cyrtodactylus. Barrier lain yang cukup

    dikenal adalah Lembah Mekkong sebagai batas/barier antara

    Cyrtodactylus Thai dan Indocina (Bain & Hurley, 2011).

    2.3 Genus Cyrtodactylus

    2.3.1 Klasifikasi Cyrtodactylus

    Genus Cyrtodactylus adalah salah satu marga yang sangat umum

    ditemui di daerah hutan. Cyrtodactylus dalam nama lokal sering

    disebut dengan Cicak Kaki Bengkok. Menurut Reptile Database

    (2014), cicak kaki bengkok masuk dalam Kingdom Animalia, Filum

    Chordata, Subfilum Vertebrata, Kelas Reptilia, Ordo Squamata,

    Famili Gekkonidae, dan Genus Cyrtodactylus.

    Binomial nomenclature Cyrtodactylus menggantikan penamaan

    sebelumnya yang menggunakan Geckoella. Genus ini juga dikenal

    dengan nama lain Stenodactylus yang berkerabat dekat dengan genus

    Hemidactylus. Perbedaan genus Cyrtodactylus dan Hemidactylus

  • 8

    didasarkan pada lamellae yang muncul pada bagian jari kaki (Bauer,

    1994).

    (Riyanto dkk., 2014)

    Gambar 3. Cyrtodactylus semiadii

    Cyrtodactylus merupakan anggota dari Famili Gekkonidae, sub-

    ordo Sauria. Genus ini memiliki perbedaan morfologi yang mencolok.

    Cyrtodactylus dapat mudah dikenali dengan melihat corak di bagian

    dorsal hingga kloaka. Masing-masing spesies memiliki pewarnaan

    corak yang berbeda. Berbeda dengan genus Hemidactylus, genus ini

    tidak memiliki tip untuk menempel pada dinding. Hal ini disesuaikan

    dengan habitat cicak batu yang dapat ditemukan pada bebatuan dan

    kayu-kayu yang sudah lapuk. Bentuk tubuh cicak batu memanjang dan

    tegap. Corak yang berada pada punggung memiliki warna coklat

    dengan bentuk corak yang bulat kecil hingga garis memanjang

    (Gambar 3). Genus Cyrtodactylus memiliki total Snout Vent Length

    (SVL) 74,4 mm (Das, 2014).

    2.4 Biogeografi

    Cabang ilmu biogeografi merupakan ilmu multidisipliner yang

    menggabungkan konsep biologi dan geologi. Studi biogeografi

    menerangkan tentang distribusi suatu taksa. Persebaran jenis

    organisme dalam sudut pandang biogeografi dapat dilihat dalam

    beberapa aspek seperti ekologi dan iklim yang mempengaruhi tipe

    adaptasi suatu spesies. Kajian biogeografi juga menganalisis proses

    jangka panjang yang menyangkut konstruksi terbentuknya suatu

  • 9

    topografi wilayah. Proses jangka panjang pembentukan wilayah akan

    mempengaruhi diversitas dan genetik dari suatu taksa, sehingga

    menjadikan pola persebaran yang berbeda (Hugget, 2004).

    Geografi suatu wilayah dari waktu ke waktu tentunya mengalami

    perubahan dari segi habitat. Perubahan ini dapat dikarenakan akibat

    isolasi geografis yang menjadikan suatu populasi mengalami adaptasi

    pada geografis yang berbeda, sehingga menjadi subpopulasi kecil

    yang mengkoloni suatu wilayah. Proses pemisahan dari populasi

    utama tersebut akan mempengaruhi genetik, fisiologi dan morfologi

    suatu taksa akibat adaptasi pada habitat yang baru. Kaitan kajian

    biogeografi juga dapat dihubungkan dengan disiplin ilmu filogeografi

    yang menginterpretasikan hubungan kekerabatan pada pola

    persebaran organisme berdasarkan data biogeografis (Tjandra, 2012).

    Kajian ini memiliki peran penting dalam memahami proses evolusi

    yang didalamnya terdapat variasi yang dapat diturunkan melalui

    materi genetik dan terjadi akibat proses seleksi alam serta adaptasi

    (Morley, 2000).

    2.5 Konsep Spesies dan Spesiasi

    Menurut Campbell & Mitchell (2005), konsep spesies memiliki arti

    bahwa spesies yang tergabung dalam suatu populasi memiliki

    kemampuan untuk saling melakukan perkawinan satu sama lain dan

    menghasilkan keturunan fertil. Di sisi lain, apabila dalam kelompok

    spesies melakukan perkawinan dengan kelompok spesies lain maka

    akan menghasilkan keturunan yang steril dan keturunan tersebut akan

    mati. Suatu spesies biologis dapat dikatakan sebagai unit populasi

    terbesar, dimana pertukaran genetik terjadi dan terisolasi secara

    genetik dari populasi lain semacamnya. Dalam konsep spesies

    tentunya berkaitan erat dengan keanekaragaman hayati. Banyak faktor

    yang mempengaruhi hal tersebut, diantaranya adalah adanya barier

    yang mengisolasi gen dari suatu spesies.

    Spesiasi merupakan suatu proses evolusi dari nenek moyang

    organisme yang membentuk spesies baru. Spesiasi terbentuk apabila

    aliran gen antara populasi yang awalnya ada secara efektif telah

    mereda, serta dipengaruhi oleh mekanisme isolasi. Spesies baru yang

    terbentuk dalam kurun waktu yang panjang dipengaruhi oleh beberapa

    model spesiasi yang terjadi pada suatu habitat (Brumfield, 2010).

    Spesiasi umumnya timbul akibat dari proses adaptasi beberapa

    populasi organisme pada kondisi lingkungan tertentu. Proses spesiasi

  • 10

    dapat terjadi melalui mekanisme aliran gen yang terinterupsi antara

    dua populasi pada satu spesies (Ridley, 2004).

    Spesiasi alopatrik terjadi jika aliran gen (gene flow) terinterupsi

    ketika satu populasi terpisah secara geografis menjadi subpopulasi

    yang terisolasi. Pemisahan populasi dapat terjadi karena kemampuan

    beberapa organisme untuk melakukan perpindahan. Barier sungai

    ataupun lautan dapat menyebabkan pemisahan populasi hewan yang

    tidak dapat melakukan penyebrangan, sehingga individu akan

    mengkoloni pada wilayah yang terisolir. Akibat yang dihasilkan

    adalah keturunan yang terisolasi dari populasi induknya (White,

    1978). Menurut Mallet (2010), spesiasi simpatrik dapat terjadi pada

    populasi organisme yang berada pada geografis yang sama. Spesiasi

    terbentuk jika aliran gen berkurang karena faktor poliploidi,

    diferensiasi habitat dan seleksi seksual (sexual selection). Diferensiasi

    habitat menyebabkan faktor genetik meningkatkan kemampuan suatu

    subpopulasi dalam mengeksploitasi habitat yang tidak digunakan oleh

    populasi induk.

    2.6 Morfometri

    Morfometri adalah metode pengukuran pada karakter morfologi

    suatu hewan untuk mengetahui variasi antar individu dari setiap

    populasi yang berbeda (Jensen, 1981; Munshi & Dutta, 1996). Studi

    morfometrik secara kuantitatif memiliki tiga manfaat, yaitu dapat

    membedakan jenis kelamin dan spesies, mendeskripsikan pola-pola

    keragaman morfologis antar populasi atau spesies, mengklasifikasikan

    dan menduga hubungan kekerabatan diantara spesies maupun dalam

    intraspesies (Jensen, 1981). Perbedaan yang muncul dari hasil

    pengukuran morfometri serta meristik adalah hasil interaksi antara gen

    yang mengalami ekspresi yang berbeda pada fisiologis dan DNA yang

    diakibatkan oleh adaptasi terhadap lingkungannya. Barrier dan

    kondisi ekologis akan memunculkan variasi dan diferensiasi karakter

    antar populasi yang dipicu akibat respon terhadap lingkungan (Hill &

    Wiens, 2000). Namun, hasil morfometri ini masih dianggap kurang

    dalam menggambarkan variabilitas dari berbagai populasi. Di sisi lain,

    data morfometri ini dapat dijadikan sebagai landasan awal untuk

    menduga adanya variabilitas genetik (Chernoff, 1982).

    Identifikasi secara morfometri pada genus Cyrtodactylus telah

    dilakukan oleh beberapa peneliti dan banyak ditemukan banyak

    spesies baru dari genus ini. Iskandar dkk. (2011) melaporkan bahwa

  • 11

    C. fumosus, terdistribusi di Sulawesi dan Jawa, memiliki perbedaan

    karakter morfologi yang spesifik antara lokasi Jawa dan Sulawesi.

    Hartman dkk. (2016), melakukan identifikasi holotype C. fumosus

    yang berasal dari Sulawesi dan mendapatkan hasil bahwa C. fumosus

    dari Jawa merupakan jenis baru. Selain itu, Riyanto dkk. (2016)

    menemukan spesies baru dari Nunukan, Kalimantan Timur.

    Penemuan jenis baru ini adalah yang pertama sejak 26 tahun yang lalu

    setelah Hikida (1990) mendeskripsikan tiga spesies baru, yaitu C.

    ingerii, C. matsui, dan C. yoshii.

    2.6 Analisis Filogenetik

    Pendekatan filogenetik didasarkan pada sebuah hubungan evolusi

    dari sebuah kelompok organisme yang anggotanya memiliki

    kesamaan karakter dan memiliki kekerabatan yang dekat, serta

    diperkirakan masih dalam satu nenek moyang yang sama. Konstruksi

    filogenetik juga memerlukan organisme yang digunakan sebagai

    outgroup untuk validasi pohon filogenetik (Hartl & Clark, 1997).

    Menurut Mount (2001), outgroup merupakan salah satu prosedur

    untuk meyakinkan dari sekuens asli. Penambahan outgroup dapat

    meningkatkan prediksi dari pohon dengan metode yang digunakan.

    Sekuens dari outgroup yang dipilih harus berkolerasi dekat dengan

    sekuen-sekuen yang dianalisa, tetapi juga mempunyai perbedaan yang

    signifikan antara outgroup dengan sekuens yang lain. Pemilihan

    sekuens outgroup yang terlalu jauh kekerabatannya kemungkinan

    akan menghasilkan prediksi pohon yang salah atau kurang tepat akibat

    terdapat perbedaan yang secara random lebih banyak diantara sekuens

    outgroup dengan sekuens lainnya.

    Konstruksi filogenetik menggunakan marker DNA digunakan

    karena memiliki karakter yang konsisten dibandingkan karakter

    morfologi. Pemikiran lain penggunaan DNA dalam studi filogenetik

    didasarkan pada perubahan basa nukleotida menurut waktu, sehingga

    dapat diperkirakan kecepatan evolusi yang terjadi dan dapat

    direkonstruksi hubungan evolusi antara kelompok organisme. Analisis

    filogenetik dipilih sebagai marker identifikasi spesies karena DNA

    menyediakan informasi yang merepresentasikan karakter yang

    muncul pada morfologi. Pengujian set data model mengambil konsep

    DNA conserve yang akan mengelompokkan spesies berdasarkan

    kesamaan nukelotida. Polimorfisme DNA yang muncul akan

  • 12

    memunculkan cabang pohon yang lebih variatif, sehingga spesies

    akan terpisah menjadi beberapa clade (Lemey dkk., 2009).

    Analisis filogenetik sekuens DNA dan protein akan menjadi

    wilayah penting dalam analisis sekuens. Filogenetik dapat

    menganalisis perubahan yang terjadi dalam evolusi organisme yang

    berbeda. Sekuens yang mempunyai kedekatan dapat diidentifikasi

    melalui penempatan di cabang yang bertetangga pada pohon.

    Hubungan filogenetik di antara gen dapat digunakan untuk

    memprediksi kemungkinan fungsi yang ekuivalen. Prediksi fungsi ini

    dapat duji dengan eksperimen genetik (Nielsen & Yang, 1998).

    Analisis metode bootstrap adalah metode yang menguji seberapa

    baik set data model yang dihasilkan. Data dianalisis ulang secara

    random dengan cara memilih kolom vertikal dari sekuens yang

    disejajarkan untuk menghasilkan alignment baru dengan panjang yang

    sama. Sebagai konfirmasi, maka dilakukan validitas penyusunan

    cabang dalam prediksi filogenetik, yaitu dengan resampled dari kolom

    multiple sequence alignment untuk membentuk pensejajaran baru.

    Cabang-cabang dalam topologi filogenetik diprediksi akan menjadi

    signifikan jika set data bootstrap memiliki nilai >70% untuk

    memprediksi cabang-cabang yang sama (Matsui dkk, 2010). Menurut

    Hedges (1992), metode penghitungan bootstrap digunakan untuk

    memperoleh perkiraan kesalahan non-parametrik dalam rekonstruksi

    pohon filogenetik. Setiap cabang pohon filogeni yang tersusun berasal

    dari hasil replikasi data dan frekuensi kelompok cabang taksa tertentu.

    Susunan pohon filogenetik memiliki batas kepercayaan perhitungan

    bootstrap dengan nilai >70 %.

    2.7 Analisis Molekuler

    Perkembangan teknologi di bidang biologi molekuler seperti

    Human Genome Project (HGP) menyebabkan penelitian diarahkan

    pada hipotesis pohon filogenetik untuk menarik kesimpulan mengenai

    keragaman genetik dan hubungan antara populasi dengan spesies

    (Budiarsa, 2013). Evolusi merupakan proses gradual suatu organisme

    yang memungkinkan spesies dengan struktur yang sederhana menjadi

    kompleks melalui akumulasi perubahan dari generasi ke generasi.

    Evolusi didasarkan pada perubahan adaptasi dengan lingkungan

    tempat spesies tinggal. Proses adaptasi menyebabkan adanya suatu

    perbedaan dari ancestor (nenek moyang). Variasi dan diferensiasi

    dapat diketahui dari jumlah basa polimorfik dari suatu lokus gen

  • 13

    masing-masing populasi berdasarlkan urutan DNA (Cavalli & Sforza,

    1997).

    Metode molekuler digunakan sebagai marker genetik karena

    memiliki beberapa kelebihan, diantaranya adalah satu gen pada

    sepasang jenis atau populasi yang berevolusi secara clocklike fashion

    atau jam molekuler yang digunakan untuk memperkirakan perbedaan

    waktu (Hartl & Clark, 1997). Pengunaan marker molekuler ini

    dilakukan dalam taksonomi dilakukan melalui beberapa metode,

    diantaranya adalah melalui peta restriksi fragmen DNA dengan RFLP,

    hibridisasi, dan sekuensing DNA (Singh, 2012).

    2.7.1 Polymerase Chain Reaction (PCR)

    Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah teknik perbanyakan

    DNA (replikasi) secara in vitro. Teknik ini mengacu pada siklus

    thermal pada mesin PCR. Suhu pada mesin diatur untuk dapat

    melakukan amplifikasi. Menurut Theopillus (2008), prinsip dalam

    melakukan PCR yaitu denaturasi, annealing dan ekstensi. Template

    DNA akan terdenaturasi menjadi single helix, selanjutnya suhu pada

    mesin diturunkan agar primer dapat menempel pada template DNA

    atau gen target yang diinginkan. Primer yang menempel pada template

    DNA akan membentuk jembatan hidrogen dengan sekuen yang

    komplementer dengan sekuen primer. Selain itu, enzim DNA

    polymerase yang ada pada primer digunakan untuk memperpanjang

    hasil copy DNA. Siklus mesin PCR dilakukan optimal untuk dapat

    melakukan amplifikasi secara optimal kurang lebih sebanyak 30-35

    siklus. Amplifikasi gen target pada untai DNA harus dilakukan dengan

    penggunaan primer yang spesifik. Visualisasi DNA target yang telah

    diamplifikasi dilakukan dengan gel elektroforesis (Newton &

    Graham, 1994).

    2.7.2 Gen NADH Dehydrogenase Subunit 4 (ND4)

    Deoxyribose Nucleic Acid (DNA) merupakan makromolekul yang

    memiliki karakteristik sebagai penyimpan informasi genetik.

    Informasi ini dapat diteruskan dari sel induk ke sel anak melalui proses

    replikasi. Struktur DNA tersusun dari monomer nukleotida yang

    saling berkomplemen membentuk untai heliks ganda. DNA terdapat

    di dalam inti sel dan mitokondria (Kumazawa & Endo, 2004). DNA

    mitokondria (mtDNA) terletak di dalam matriks mitokondria. DNA

    mitokondria memiliki sususan unit kode genetik dengan panjang basa

  • 14

    15,7-19,5 Kb (Arlyza & Adrim, 2007). Daerah genom mitokondria

    terbagi atas 13 gen penyandi protein yang terdiri atas 3 subunit

    sitokrom oksidase (COI-COIII), 7 subunit NADH Dehidrogenase

    (ND1-6 dan ND 4L), 2 subunit ATPase (6 dan 6L), sitokrom b (cyt b),

    2 gen rRNA (12s dan 16s) dan 22 gen tRNA (Gambar 4.) (Melnick &

    Hoelzer, 1993).

    (Moraes dkk., 2002)

    Gambar 4. Peta Genom Mitokondria.

    DNA mitokondria digunakan sebagai penanda untuk DNA

    barcoding dikarenakan laju mutasi yang terjadi sangat sedikit.

    Informasi genetik dari DNA mitokondria diwariskan secara maternal

    dan berukuran cukup besar. NADH Dehydrogenase subunit 4 (ND4)

    saat ini digunakan sebagai salah satu penanda molekuler untuk

    identifikasi spesies dan hubungan kekerabatannya. Pemilihan gen ini

    didasarkan pada urutan nukleotida yang sangat efektif dalam menguji

    kesesuaian dan memperkirakan filogeni suatu organisme (Hayaska

    dkk., 1988). Selain itu, ND4 memiliki karakter penting dalam

    menjelaskan hubungan kekerabatan yang didasarkan pada variasi di

    setiap jenis organisme (Zhang dkk., 2014). Penggunaan identifikasi

    spesies dengan penanda ND4 memiliki keunggulan yang

    menunjukkan sejarah demografi berdasarkan proses geologi suatu

    spesies (Kumuzawa & Mutsumi, 2000).

  • 15

    Gen ND4 merupakan kompleksitas susunan gen mitokondria. Gen

    ND4 melakukan sintesis protein dengan hasil NADH Dehydrogenase

    4. Protein ini adalah bagian dari kompleks enzim yang besar yang aktif

    di dalam genom mitokondria. Struktur sel mitokondria pada dasarnya

    mengkonversi energi dari makanan menjadi bentuk lain yang dapat

    digunakan oleh sel. Stuktur selular mitokondria memproduksi energi

    yang siap digunakan untuk proses fosforilasi oksidatif, dimana

    oksigen dan gula digunakan untuk menghasilkan Adenosin

    Triphosphate (ATP) yang merupakan sumber utama energi sel

    (Huoponen, 2001).

  • 16

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    3.1 Waktu dan Tempat

    Penelitian tentang “Filogeografi Cicak Jari Lengkung (Squamata;

    Gekkonidae; Crytodactylus) di Jawa dan Sumatera Berdasarkan

    Analisis Morfologi dan Molekuler Gen NADH Dehydrogenase

    Subunit 4 (ND4)” dilaksanakan pada bulan November-Mei 2017

    bertempat di Laboratorium Ekologi dan Diversitas Hewan serta

    Biologi Molekuler Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu

    Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya.

    3.2 Kerangka Kerja Penelitian

    Tahapan penelitian yang akan dilaksanakan meliputi beberapa

    langkah, diantaranya sebagai berikut :

    1. Studi pendahuluan dilakukan untuk mengetahui dan memperoleh kajian terkait konstruksi Paparan Sunda, persebaran Cyrtodactylus,

    lokasi pengambilan sampel, metode ekstraksi DNA dan

    rekonstruksi pohon filogenetik.

    2. Koleksi sampel Cyrtodactylus dari Jawa dan Sumatra. 3. Pengawetan dan pengambilan jaringan Cyrtodactylus untuk

    mendapatkan sampel DNA.

    4. Ekstraksi DNA Cyrtodactylus yang bertujuan untuk mendapatkan DNA yang murni.

    5. Pemotongan gen target (ND4) dan perbanyakan untai DNA menggunakan mesin thermal cycler yang bertujuan untuk

    menandai DNA target untuk dilakukan sekuensing.

    6. Sekuensing gen ND4, bertujuan untuk menterjemahkan urutan DNA dari sampel Cyrtodactylus yang dipilih dari setiap wilayah

    di Paparan Sunda.

    7. Pengumpulan data pembanding dan tambahan dari Cyrtodactylus diambil dari Genbank. Selain itu, dilakukan pencarian data

    outgroup yang bertujuan untuk mengkonfirmasi rekonstruksi

    filogenetik dari Cyrtodactylus

    8. Pembuatan pohon filogenetik dari hasil sekuensing untuk mengetahui hubungan kekerabatan genus Cyrtodactylus di Paparan

    Sunda.

  • 17

    3.3 Deskripsi Area Studi

    Topografi pulau Sumatra terbagi atas dua bagian, yaitu

    pegunungan dan dataran rendah. Adanya barier ekologi berupa

    pegunungan Bukit Barisan yang membentang membagi Sumatra

    menjadi dua bagian, sehingga beberapa satwa mengalami diferensiasi

    dan variasi morfologi akibat adaptasi dengan lingkungannya (Voris,

    2000). Berbeda dengan Sumatra, pulau Jawa merupakan daerah yang

    sebagian besar adalah hutan dataran rendah yang kini telah ditebangi

    dan banyak berkurang. Hanya sedikit hutan pegunungan yang masih

    ada saat ini dan membentuk habitat pulau-pulau yang terisolasi tanpa

    penghubung di antaranya. Kondisi ini kemungkinan menghambat

    terjadinya aliran gen antara populasi dari barat dan pusat Jawa (Matsui

    dkk., 2010).

    Gambar 5. Peta lokasi sampling Cyrtodactylus di Pulau Sumatra dan

    Jawa

    Lokasi pengambilan sampel di pulau Sumatra meliputi Aceh,

    Sumatra Barat, Sumatra Utara dan Jambi. Sedangkan lokasi

    pengambilan sampel di pulau Jawa meliputi Jawa Barat dan Jawa

    Tengah. Setiap provinsi dilakukan pengambilan sampel pada beberapa

  • 18

    kota/kabupaten. Masing-masing dipilih lokasi yang dapat

    menginterpretasikan wilayah tersebut. Jumlah sampel dan lokasi dapat

    ditinjau pada tabel 1. Lokasi sampling Cyrtodactylus di Jawa dan

    Sumatra dapat ditinjau pada Gambar 5.

    3.4 Pengambilan Sampel Cyrtodactylus

    Metode pengambilan data Cyrtodactylus dilakukan dengan metode

    Visual Encounter Surveys (VES) yang dimodifikasi dengan metode

    transek (Heyer dkk, 1994). Metode transek digunakan untuk pencarian

    sampel pada lokasi yang luas dengan waktu yang singkat. Metode

    transek dilakukan untuk mencari sampel yang umum dengan populasi

    yang besar dan merata di sepanjang jalur transek. Metode VES

    dilakukan dengan jelajah bebas pada lokasi pengambilan sampel. VES

    digunakan untuk mengetahui keragaman jenis pada suatu daerah.

    Setiap sampel Cyrtodactylus diidentifikasi dengan buku panduan

    lapang dan dikoleksi menggunakan kantong spesimen. Koordinat

    sampel yang telah ditemukan dicatat menggunakan Global

    Positioning System (GPS). Preservasi sampel dilakukan dengan

    menyuntik sampel hidup menggunakan etanol 70%. Sampel yang

    telah mati selanjutnya dilakukan pengambilan gambar bagian dorsal,

    ventral dan lateral. Pengambilan sampel jaringan dilakukan pada

    bagian liver kemudian diawetkan pada etanol absolut 96%.

    Penyimpanan sampel awetan dilakukan dengan menyuntikkan

    formalin 10% pada seluruh bagian tubuh. Sampel awetan yang telah

    diisi formalin ditata seperti halnya sampel yang masih hidup.

  • 19

    Tabel 1. Daftar sampel Cyrtodactylus

    No.

    Nomor

    Lapang Spesies Locality

    1. ENS 16026 C. semicinctus Kerinci, Jambi

    2. ENS 15476 C. cf psarops Karo, Sumatra Utara

    3. ENS 16108 C. marmoratus Sukabumi, Jawa Barat

    4. ENS 16889 C.cf psarops Tapanuli Selatan, Sumatra

    Utara

    5. ENS 19697 C. consobrinus Andalas Forest, Sumatra

    Barat

    6. NK 0018 C. semiadii Cilacap, Jawa Tengah

    7. NK 0120 C. marmoratus Nusakambangan, Cilacap

    8. ENS 18770 C. lateralis Seulawah Agam, Aceh

    9. ENS 16595 C. cf marmoratus Toba Samosir, Sumatra

    Utara

    10. ENS 19224 C. cf psarops Payakumbuh, Sumatra

    Barat

    3.5 Analisis Molekuler

    3.5.1 Ekstraksi DNA

    Sampel Cyrtodactylus yang dikoleksi selanjutnya diambil jaringan

    otot pada bagian paha/liver, kemudian diawetkan dengan etanol

    absolut 96%. Sampel jaringan yang telah diambil diekstraksi DNA

    sesuai dengan protokol QiagenAmp. Prinsip isolasi DNA terbagi atas

    empat tahap yaitu lisis, deproteinase, presipitasi dan pelarutan DNA.

    Sampel jaringan yang telah diambil ditimbang sebanyak 0,25 g atau

    25 µL sampel DNA, kemudian ditambahkan larutan buffer ATL 180

    µL, kemudian divortex. Selanjutnya, ditambahkan larutan proteinase-

    K sebanyak 20 µL. Penambahan larutan ini bertujuan untuk

    mengurangi kontaminan berupa protein yang dapat mengurangi

    kemurnian DNA. Sampel kemudian diinkubasi pada suhu 56̊ C selama

    1 jam 30 menit. Setiap 30 menit dilakukan vortex agar larutan

    proteinase-K dapat bekerja kembali. Setelah proses inkubasi, sampel

    disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 15 detik. Langkah

    selanjutnya, ditambahkan buffer lisis (buffer AL) sebanyak 200 µL

    dan divortex. Buffer AL berfungsi untuk lisis DNA dari histon yang

    ada pada kromosom. Pemaksimalan kerja buffer AL dilakukan dengan

    inkubasi pada suhu 70̊ C selama 10 menit dan kemudian dilakukan

    sentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 15 detik. Larutan etanol

  • 20

    96% ditambahkan sebanyak 200 µL untuk langkah presipitasi DNA.

    Langkah ini dilakukan agar DNA tidak tercampur oleh komponen lain,

    seperti protein dan RNA yang dapat mengurangi kemurnian DNA.

    Larutan dipindahkan ke dalam tube minispin dan disentrifugasi pada

    8000 rpm selama 1 menit. Selanjutnya, bagian atas minispin diangkat

    dan dipindahkan pada mikrotube baru.

    Prinsip presipitasi pada protokol menggunakan kit dilakukan

    dengan menambahkan prosedur washing untuk memastikan

    kemurnian DNA. Sampel yang telah berada mikrotube baru

    selanjutnya ditambahkan larutan buffer AW1 sebanyak 500 µL dan

    disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. Bagian atas

    minispin diangkat kembali dan dipindahkan ke mikrotube baru.

    Selanjutnya ditambahkan larutan buffer AW2 sebanyak 500 µL dan

    disentrifugasi sebanyak 14000 rpm selama 3 menit. Prinsip isolasi

    DNA yang terakhir adalah dissolve DNA yaitu dengan cara

    mengangkat bagian atas minispin kemudian dipindahkan ke dalam

    mikrotube baru dan ditambahkan buffer AE sebanyak 200 µL. Sampel

    diinkubasi pada suhu ruang selama 1 menit, dan selanjutnya

    disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. Bagian atas

    minispin dibuang dan DNA yang berupa cairan disimpan pada

    refrigrator -20̊ C untuk menjaga kondisi DNA. Suspensi DNA yang

    disimpan selanjutnya digunakan sebagai template dalam amplifikasi

    gen ND4 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR).

    3.5.2 Amplifikasi gen ND4

    Satu pasang primer yang digunakan untuk mendapatkan sekuens

    ND4 adalah ND4 (forward) 5’TGA CTA CCA AAA GCT CAT GTA

    GAA GC 3’ dan LEU (reverse) 5’ TA CCT TTA CTT GGA TTT

    GCA CCA 3’ (Arevalo dkk., 1994). Komposisi PCR mix terdiri dari

    Go taq green sebanyak 5 µL kemudian ditambahkan ddH2O sebanyak

    3,6 µL. Komplemen primer forward dan reverse masing-masing

    ditambahkan sebanyak 0,2 µL. DNA sampel ditambahkan pada

    komposisi PCR mix dan primer yang berfungsi sebagai template

    amplifikasi gen ND4. Total volume reaksi sebanyak 10 µL. PCR tube

    yang telah berisi komponen PCR selanjutnya dimasukkan ke dalam

    mesin thermocycling. Amplifikasi gen ND4 menggunakan metode

    PCR dengan pengulangan siklus sebanyak 32 kali. Siklus denaturasi

    dengan suhu 93° C selama 30 detik, annealing pada suhu 60° C selama

    45 detik dan extension 72° C selama 1 menit. Pre-denaturasi dimulai

  • 21

    sebelum semua siklus PCR dimulai dengan suhu 95° C selama 2

    menit. Pemaksimalan siklus PCR dilakukan dengan post-extension

    selama 7 menit pada suhu 72° C. Hasil PCR kemudian diuji secara

    kualitatif dengan gel agarose 1% untuk konfirmasi keberhasilan

    amplifikasi gen ND4. Sekuens sampel Cyrtodactylus dilakukan

    dengan jasa dari PT. GENETIKA SCIENCE Jakarta Barat.

    3.5.3 Uji kualitatif DNA

    Konfirmasi keberhasilan amplifikasi gen target ND4 dilakukan

    dengan pendekatan kualitatif menggunakan elektroforesis gel agarosa.

    Bubuk agarosa ditimbang sebanyak 0,35 gram kemudian dimasukkan

    ke dalam erlenmeyer, selanjutnya ditambahkan dengan buffer TBE 1x

    sebanyak 35 mL. Erlenmeyer beserta larutan pada dipanaskan pada

    panic panas selama 5 menit. Setelah itu, agar didiamkan beberapa

    detik hingga tidak terlalu panas, kemudian ditambahkan EtBr 0,3 µL

    untuk mewarnai sampel DNA. Plate elektroforesis yang telah

    ditancapkan sisiran 16 sumuran digunakan untuk uji kualitatif.

    Larutan dimasukkan pada plate elektroforesis dan ditunggu hingga

    mengeras. Sisiran selanjutnya diambil dari plate dan gel elektroforesis

    dipindahkan pada chamber elektroforesis. Sampel 1 µL dan 2 µL

    loading dye dimasukkan. Panjang DNA ditentukan melalui

    penambahan ladder 1 kilobase (kb). Selanjutnya, alat elektroforesis

    dirunning pada 90 V selama 30 menit. Visualisasi hasil elektroforesis

    dilakukan dengan UV transilluminator.

    3.5.4 Pengumpulan data sekuens Cyrtodactylus di kawasan

    Paparan Sunda

    Pencarian data sekuens beberapa spesies Cyrtodactylus yang ada

    di kawasan Paparan Sunda bertujuan untuk mengetahui pola

    pengelompokan dan kekerabatan Cyrtodactylus dari Jawa dan

    Sumatra. Selain itu, dilakukan pencarian sekuens outgroup yaitu

    sekuens DNA dari kerabat dekat genus Cyrtodactylus yang bertujuan

    untuk mengkonfirmasi topologi pohon kekerabatan. Menurut Mount

    (2001), outgroup merupakan salah satu prosedur yang digunakan

    untuk validasi dari sekuens asli. Sekuens dari outgroup yang dipilih

    harus berkorelasi dekat dengan sekuen-sekuen yang dianalisa, tetapi

    juga mempunyai perbedaan yang signifikan antara outgroup dengan

    sekuens yang lain. Pencarian sekuens DNA yang digunakan gen

  • 22

    Mitokondria (mtDNA) ND4 dengan panjang 527- 702 bp. Berikut

    sekuens yang didapatkan dari Genbank dapat dilihat pada Tabel 2.

    Tabel 2. Data sampel Cyrtodactylus dan outgroup dari Genbank

    No. Spesies Locality Accesion

    Number

    1. C. consobrinus Kalimantan Barat, Kalimantan EU268412.1

    2. C. loriae Papua Nugini EU268413.1

    3. Gekko gecko China EU268422.1

    4. Cnemaspis limi Malaysia NC020039.1

    3.6 Rekonstruksi Pohon Filogenetik

    3.6.1 Contig dan alignment sekuens DNA

    Sekuens ND4 dari beberapa sampel Cyrtodactylus yang telah

    didapatkan dari hasil sekuensing selanjutnya dilakukan contig

    (penggabungan) untuk mendapatkan sekuens yang utuh. Hasil contig

    dari seluruh sekuens selanjutnya dilakukan allignment dengan

    program MEGA7 menggunakan alignment Clustal W. Hasil

    alignment akan terdapat gap yang berada pada awal dan akhir sekuens,

    sehingga dilakukan trimming (pemotongan) secara manual sehingga

    didapatkan 680 bp. Penghapusan gap yang muncul dilakukan untuk

    meminimalisir kesalahan software dalam merekonstruksi pohon

    filogenetik. Data sekuens yang telah dilakukan alignment diexport

    dalam format fasta dan MEGA.

    3.6.2 Analisis Sequence Divergence (p-Distance)

    Munculnya perbedaan basa nukleotida pada hasil alignment

    dianalisis dengan metode pairwise distance. Analisis ini dilakukan

    dengan tujuan untuk mengetahui jumlah nukleotida atau asam amino

    yang berbeda pada lokus DNA. Nilai p-distance dapat dijadikan

    sebagai dasar penentuan spesies namun tidak dapat menjelaskan jejak

    historis evolusi dari suatu taksa (Lemey dkk., 2009). Dari hasil

    penelitian ini nilai p-distance 15 % pada sekuens gen ND4 sudah

    dapat dinyatakan beda spesies.

  • 23

    3.6.3 Pemilihan Modeltest untuk Analisis Maximum likelihood dan

    Bayesian Inference

    Pembuatan modeltest dilakukan untuk mendapatkan permodelan

    pohon yang sesuai dengan hasil alignment yang dimiliki, sehingga

    software tidak perlu melakukan semua uji probabilitas untuk

    mendapatkan topologi pohon (Lemey, 2009). Pemilihan modeltest

    untuk analisis menggunakan software Jmodeltest berdasarkan AIC

    (Akaike Information Center). Pemilihan untuk analisis Bayesian

    Inference dilakukan dengan software Kakusan 4.

    3.6.4 Analisis Maximum Likelihood dan Maximum Parsimony

    Metode maximum parsimony (MP) memilih kriteria pohon dengan

    perubahan evolusi paling sedikit atau panjang cabang terpendek

    sebagai pohon yang paling sesuai dengan kondisi evolusi yang

    sebenarnya (Lemey, 2009). Pemilihan analisi filogenetik juga harus

    mempertimbangkan model evolusi pohon filogeni. Penggunaan

    maximum likelihood (ML) didasarkan pada model kemungkinan, yaitu

    program yang merekonstruksi pohon filogeni terbaik dengan nilai

    probabilitas yang tinggi. Metode ML akan mencari pohon filogenetik

    yang mencerminkan proses evolusi yang sebenarnya dengan cara

    mencari setiap kemungkinan topologi pohon yang terbentuk dan

    mempertimbangkan setiap posisi nukleotida atau asam amino dalam

    suatu alignment, dengan memanfaatkan model subtitusi dan tingkat

    variasi mutasi dalam setiap sites alignment (Nei dan Kumar, 2000).

    Maximum likelihood (ML) dan maximum parsimony (MP) dianalisis

    dengan PAUP* 4.0 (Swofford, 2002). Heuristic search option dari

    MP dianalis dengan tree bisection recognition (TBR) dengan replikasi

    pencarian (nreps) 10 kali dan bootstrap 1000 kali. Permodelan untuk

    analisis ML berdasarkan AIC didapatkan model evolusi TrN+I+G,

    dengan instruksi Lset base=(0.3475 0.3759 0.0828 ) nst=6

    rmat=(1.0000 19.9856 1.0000 1.0000 7.6329) rates=gamma

    shape=0.6080 ncat=4 pinvar=0.2940;). Heuristic search option

    dianalisis dengan TBR replikasi 10 kali dan bootstrap 100 kali.

    3.6.5 Analisis Bayesian Inference

    Bayesian Inferior Probablity (BPP) diestimasi melalui MrBayes

    3.0b4. Modeltest untuk analisis Bayesian dari hasil Kakusan 4 adalah

    GTR (General Time Reversible) dan bentuk parameter Gamma yang

    muncul sebagai modeltest terbaik dengan hasil alignment yang

  • 24

    dimiliki. Perhitungan mcmc (monte carlo markov chain) berjumlah

    1.000.000, perhitungan sampel tiap generasi (nreps) 1000 kali

    generasi.

    3.7 Morfometri

    3.7.1 Pengambilan data morfometri

    Pengambilan data morfometri dilakukan pada sampel awetan yang

    ada di Laboratorium Ekologi dan Diversitas Hewan (UB). Selain itu,

    morfometri juga dilakukan dari foto dengan menggunakan software

    ImageJ. Metode ini dipilih dikarenakan sampel yang digunakan dalam

    penelitian ini berada di Laboratorium Amfibi dan Reptil University of

    Texas at Arlington. Pengambilan data ini bertujuan untuk menguatkan

    hasil analisis molekuler menggunakan data clade yang dibangun dari

    karakter morfologi. Selain itu, identifikasi morfometri dilakukan juga

    untuk mengetahui variasi setiap spesies dari Cyrtodactylus.

    Pengukuran karakter morfometri dan meristik yang dilakukan

    mengacu pada (Riyanto dkk., 2016).

    Tabel 3. Karakter morfometri Cyrtodactylus

    No. Karakter Morfometri Singkatan

    1. Panjang mulut sampai kloaka SVL

    2. Panjang ekor TailL

    3. Panjang badan diantara anggota gerak AGL

    4. Panjang kepala HeadL

    5. Lebar kepala HeadW

    6. Panjang antara mata dan mulut EyeS

    7. Diameter mata EyeD

    8. Panjang jarak mata dan hidung SnEye

    9. Panjang jarak antara mata dan telinga EarEye

    10. Panjang jarak antar mata IO

  • 25

    Tabel 4. Karakter meristik Cyrtodactylus

    No. Karakter Meristik Singkatan

    1. Sisik bibir atas SupraL

    2. Sisik bibir bawah InfraL

    3. Tuberkel pada tangan TB

    4. Tuberkel pada kaki TA

    5. Tuberkel dorsal DT

    6. Tuberkel punggung diantara alat gerak PVT

    7. Sisik perut VS

    9. Tuberkel pada lipatan ventrolateral TVF

    10. Jumlah sisik besar femoral EFS

    11. Jumlah sisik besar precloacal EPS

    12. Jumlah pori sisik femoral FP

    13. Jumlah pori sisik precloacal PP

    14. Bentuk precloacal PG

    15. Jumlah digiti pada jari kaki ke empat Lam

    Hasil dari pengukuran dan identifikasi meristik dicatat pada

    microsoft excel. Selanjutnya dilakukan pengolahan data dan analisis

    dengan software PAST untuk mengetahui pengelompokan

    Cyrtodactylus melalui PCA (Principal Component Analysis) yang

    berdasarkan morfologi.

    3.7.2 Analisis data morfometri

    Analisis data dilakukan dari hasil pengukuran dan identifikasi dari

    setiap karakter yang diamati kemudian dilakukan pengkonversian

    standarisasi untuk Clustering Analysis dan PCA. Nilai SVL digunakan

    sebagai pembagi dari setiap karakter yang diamati, kemudian di Log

    10 dan dilakukan pengkalian 100 (persamaan 1) (Kurniawan

    dkk.,2011).

    (1)= Log10 (Karakter/SVL) x 100%

  • 26

    3.7.3 Analisis Principal Component Analysis Cyrtodactylus Analisa hubungan kekerabatan Cyrtodactylus dilakukan dengan

    menggunakan software PAST. Software PAST digunakan untuk

    analisis PCA (Principal Component Analysis). Principal Component

    Analysis dilakukan untuk mengetahui pola persebaran berdasarkan

    karakteristik morfometrik.

  • 27

    BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Morfometri dan Meristik Cyrtodactylus

    Berdasarkan analisis morfometri dan meristik yang dilakukan pada

    sampel awetan, telah diidentifikasi sebanyak 6 spesies yaitu C.

    marmoratus, C. semicinctus, C. psarops, C. lateralis, C. consobrinus

    dan C. semiadii. Berdasarkan hasil pengukuran pada seluruh sampel,

    didapatkan bahwa ukuran betina mengalami sex dimorfisme yaitu

    memiliki SVL yang lebih pendek dibandingkan dengan jantan. Selain

    itu, terdapat perbesaran sisik femoral dan pori pada sisik precloacal

    yang mengalami diferensiasi (Tabel 5 dan 6).

    Tabel 5. Karakter morfometri Cyrtodactylus betina

    Spesies SVL

    (mm)

    TailL

    (mm)

    Sisik

    besar

    femoral

    Sisik

    precloacal

    C. consobrinus, Sumbar 119,7 104,2 Tidak ada 12

    C. cf psarops, Sumbar 57,4 70,3 Ada 11

    C. cf marmoratus, Sumut 54,9 68,5 Ada 7

    C. marmoratus, Jabar 46,1 28,4

    (reg)

    Ada 12

    C. cf psarops, Sumut 68,8 54,6 Ada 11

    Tabel 6. Karakter morfometri Cyrtodactylus jantan

    Spesies SVL

    (mm)

    TailL

    (mm)

    Sisik

    besar

    femoral

    Sisik

    precloacal

    C. lateralis, Aceh 76,81 46,5

    (reg)

    Ada 10

    C. psarops, Sumut 60,1 72,8 Ada 14

    C. semicinctus, Jambi 58,6 70,2 Ada 15

    C. semiadii, Jateng 43,9 29,4 Tidak Ada 0

    C. marmoratus, Jateng 58,9 72,8 Ada 17

    Pola sisik precloacal, sisik femoral, pori sisik femoral dan pori

    sisik precloacal merupakan karakter yang dapat dijadikan sebagai ciri

    pembeda setiap spesies (Harvey dkk., 2015). Perbedaan setiap spesies

  • 28

    dalam genus Cyrtodactylus dapat ditinjau melalui karakter tersebut

    karena aktivitas reproduksi yang berbeda dan dipengaruhi struktur

    sekunder dari organ reproduksi yang dipengaruhi oleh lingkungan

    (Russel dkk., 2015). Berdasarkan hasil meristik yang dilakukan pada

    keseluruhan individu didapatkan karakter pembeda spesies yang dapat ditinjau pada Gambar 6.

    (Dokumentasi pribadi, 2017)

    Gambar 6. Pola precloacal dan sisik femoral. Ket: a) C. psarops; b)

    C. consobrinus; c) C. lateralis; d) C. marmoratus e) C.

    semiadii; f) C. semicinctus

    Berdasarkan gambar 6, tipe pola precloacal dan sisik femoral

    menunjukkan perbedaan yang signifikan pada seluruh spesies

    Cyrtodactylus di Paparan Sunda. C. psarops tidak memiliki bentuk

    precloacal, tidak terjadi perbesaran sisik precloacal terjadi sisik yang

    a b

    c

    d

    f e

    ,

    b

    c

    e f

    d

    e

    a

    ,

    .

  • 29

    tiba-tiba antara post femoral dan femoral. Sisik besar femoral tersusun

    kontinu sebanyak 28-35. Berbeda dengan C. psarops, C. consobrinus

    tidak memiliki perbesaran sisik femoral namun terjadi perbesaran sisik

    precloacal dengan jumlah antara 8-10. Dalam penelitia ini, variasi

    pada C. consobrinus terjadi pada dua populasi besar, yaitu Sumatra

    dan Kalimantan. Populasi Kalimantan terdapat pori pada sisik

    precloacal, sedangkan pada populasi Sumatra tidak ditemukan.

    C. lateralis merupakan spesies endemik Sumatra yang memiliki

    tipe perbesaran sisik femoral dan pori sebanyak 9 yang tidak

    menyambung satu sama lain. Bentuk precloacal wide dengan sisik

    besar cloacal sebanyak 10. Gambar 8d, C. marmoratus memiliki sisik

    femoral yang kontinu sebanyak 42-50, pola precloacal berbentuk

    angular. Tidak memiliki pori pada sisik femoral dan sisik precloacal.

    Gambar 8e, C. semiadii tidak memiliki perbesaran sisik femoral dan

    cloacal. Karakter kunci dari spesies ini adalah ekor yang pendek,

    membesar dan silindris. Gambar 8f, C. semicinctus memiliki

    perbesaran sisik femoral yang menyambung dengan jumlah 36-38,

    pola precloacal subtriangular, terjadi perbedaan sisik yang tiba-tiba

    antara post femoral.

    4.1.1 Principal Component Analysis (PCA) Cyrtodactylus di Jawa

    dan Sumatra berdasarkan analisis morfologi

    Analisis PCA dilakukan untuk mengidentifikasi pola

    pengelompokan Cyrtodactylus di Jawa dan Sumatra berdasarkan

    persamaan karakter yang diamati. Pengelompokan yang dilakukan

    pada sampel awetan Cyrtodactylus dibedakan berdasarkan jenis

    kelamin sampel. Perbedaan sampel jantan dan betina didasarkan pada

    ukuran SVL, panjang kepala, lebar kepala dan ukuran ekor.

    Munculnya sex dimorfisme disebabkan kebutuhan reproduksi dalam

    menghasilkan keturunan yang baik (Nesty, 2013) Hasil PCA dari

    karakter morfometri dapat ditinjau pada Gambar 7.

  • 30

    Gambar 7. Hasil PCA Cyrtodactylus jantan Ket. CM: C. marmoratus;

    CL: C. lateralis; CSM: C. semiadii; CSC: C. semicinctus;

    CK: C. klakahensis

    Berdasarkan gambar 7, Cyrtodactylus jantan mengelompok

    berdasarkan jenis spesis. Pada pengelompokan C. marmoratus, antara

    populasi Jawa dan Sumatra memiliki ciri khas yang secara

    keseluruhan sama. Karakter morfometri menunjukkan nilai yang

    mirip sehingga menyebabkan pengelompokan pada genus

    Cyrtodactylus. Spesies C. semiadii merupakan spesies baru yang

    dicirikan dengan ekor pendek yang membulat memiliki

    pengelompokan di luar kelompok C. marmoratus. Selain itu, C.

    semicinctus yang merupakan spesies dari Jambi yang secara morfologi

    berbeda dengan kelompok C. marmoratus. Kelompok C. lateralis

    yang berasal dari Aceh memiliki pengelompokan sendiri berdasarkan

    karakter SVL dan TL yang panjang. Pengelompokan yang sangat jauh

    dari dua kelompok besar yaitu C. klakahensis. Spesies ini merupakan

    jenis baru yang karakter morfologinya sangat jauh berbeda dari C.

    marmoratus dan C. lateralis.

    Pengelompokan C. marmoratus dapat dikatakan bahwa secara

    morfologi populasi dari Jawa dan Sumatra mengalami kesamaan

    karakter. Melihat persebaran yang luas yang memisahkan Jawa dan

    Sumatra dengan adaptasi dalam jangka waktu yang lama akan

  • 31

    menyebabkan tingginya variasi genetik dari C. marmoratus.

    Terjadinya isolasi populasi melalui periode waktu yang sangat

    panjang, sebagian besar dikarenakan batas (barrier) geografi yang

    mengijinkan perkembangan karakteristik varian mtDNA pada

    populasi individu spesies tersebut (Bohlen dkk, 2011).

    Gambar 8. Hasil PCA Cyrtodactylus betina Ket. CM: C. marmoratus;

    CP: C. psarops; CCS: C. consobrinus; Ccf: C.cf

    marmoratus)

    Berdasarkan Gambar 8 pengelompokan dari kelompok

    Cyrtodactylus betina menunjukkan kesamaan dengan kelompok

    jantan. Populasi C. marmoratus dari Jawa dan Sumatra mengelompok

    menjadi satu kelompok yang memiliki kesamaan karakter. Selain itu,

    C. psarops yang merupakan spesies endemik Sumatra mengelompok

    antar locality. Terdapat hal yang menarik, dimana C. consobrinus dari

    Sumatra Barat masuk ke dalam kelompok C. marmoratus. Hal ini

    disebabkan karakter SVL dan TL dari spesies ini sangat mirip dengan

    C. marmoratus. Namun, secara karakter meristiknya kedua spesies ini

    sangat berbeda jauh. Hal ini mengindikasikan bahwa C. consbrinus

    dari Sumatra Barat masih juvenille. C.cf. marmoratus dari pulau

    Samosir merupakan spesies yang unidentified yang secara morfologi

    mirip dengan C. marmoratus, namun ditinjau dari hasil PCA

  • 32

    mengindikasikan spesies ini berbeda dari seluruh Cyrtodactylus dari

    Jawa dan Sumatra. Sangat banyaknya variasi Cyrtodactylus

    disebabkan adaptasi terhadap lingkungannya. Respon terhadap

    lingkungan ditanggapi oleh perubahan fisiologis dari suatu organisme

    sehingga memunculkan variasi-variasi morfologi akibat pemisahan

    geografis dan jarak dari populasi induk suatu spesies (Nesty, 2013).

    4.2 Hubungan Kekerabatan Genus Cyrtodactylus di Jawa dan

    Sumatra Berdasarkan Analisis Gen ND4

    Rekonstruksi pohon filogenetik dilakukan pada 12 sekuens

    Cyrtodactylus dan dua sekuens outgroup dengan panjang 611 bp.

    Filogram pohon dilakukan tiga analisis yaitu Maximum Likelihood

    (ML), Maximum Parsimony (MP), dan Bayesian Inference (BI)

    memiliki topologi pohon yang sama, sehingga dapat dikonstruksi

    menjadi satu pohon filogenetik. Nilai bootstrap yang muncul pada

    pohon filogenetik dari ketiga analisis menunjukkan perbedaan akibat

    dari uji statistik yang berbeda dari setiap analisis dalam rekonstruksi

    filogenetik. Kevalidan cabang pohon filogenetik didasarkan pada nilai

    bootstrap Maximum Likelihood Bootstrap (MLBS), Maximum

    Parsimony Bootstrap (MPBS), Bayesian Posterior Probabilty (BPP).

    Topologi pohon filogenetik Cyrtodactylus dapat ditinjau pada Gambar

    11. Pengelompokan yang terjadi didasarkan pada kesamaan genetis

    dari setiap spesies. Hasil rekonstruksi filogenetik Cyrtodactylus

    menunjukkan bahwa Cyrtodactylus merupakan kelompok monofiletik

    yang terbagi atas dua clade besar (B dan C).

    Clade A, B, dan C menunjukkan hubungan monofiletik yang

    didukung dengan nilai bootstrap (MLBS=95, MPBS=99, BPP=93).

    Clade A merupakan kelompok yang berasal dari Jawa namun terdapat

    pemisahan clade B dari Jawa Tengah. Clade B merupakan kelompok

    Cyrtodactylus dari Jawa Tengah. Clade C adalah kelompok

    Cyrtodactylus dari Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Pemisahan clade

    outgroup (Gekko gecko dan Cnemaspis limi) dengan clade

    Cyrtodactylus didukung dengan nilai bootstrap yang tinggi

    (MLBS=95, MPBS=100, BPP=100). Selain itu, ditinjau dari nilai

    uncorrected p-distance, dua spesies tersebut memiliki perbedaan

    genetis sebesar 44-52%.

  • 33

    4.2.1 Clade A

    Clade A terdiri dari satu spesies, yaitu C. marmoratus yang berasal

    dari Jawa Barat. Clade ini didukung dengan nilai bootstrap yang valid

    (MLBS=95, MPBS=99, BPP=93). Clade A terdiri atas spesies

    monofiletik. Clade ini menunjukkan bahwa C. marmoratus

    merupakan sister lineage dari spesies yang lain dengan nilai bootstrap

    yang valid. Nilai bootstrap dianggap valid apabila pada cabang pohon

    filogenetik mencapai nilai 70% (Hedges, 1992 dalam Matsui dkk.,

    2011). Nilai bootstrap yang ditunjukkan pada topologi pohon >70 %,

    menjelaskan bahwa clade A jelas mengalami pemisahan dari clade B

    yang merupakan clade dari Jawa Tengah. Berdasarkan pohon

    filogenetik, C. marmoratus dari Jawa Barat ini termasuk ancestor dari

    semua spesies. Selain itu, nilai p-distance clade A yang terpisah

    dengan clade B (33,6%) lebih tinggi dibanding dengan C. marmoratus

    dari Sumatra Utara (31,3%). Hal ini berbeda dengan penelitian

    sebelumnya oleh Wood dkk. (2012). Perbedaan yang ada yaitu C.

    marmoratus dari Jawa Barat mengalami pengelompokan clade dari

    Jawa Timur dan NTT. Hasil ini dapat diasumsikan bahwa C.

    marmoratus dari Jawa Barat akan mengelompok sendiri dengan C.

    marmoratus dari Sumatra.

    (Dokumemtasi ENS, 2013)

    Gambar 9. Karakter morfologi C. marmoratus dari Jawa Barat.

    Keterangan: a) Dorsal; b) Ventral

    a

    A

    ,

    .

    b

    ,

    .

  • 34

    Berdasarkan Gambar 9, C. marmoratus memiliki total SVL 46,1

    mm. Spesies ini memiliki pewarnaan coklat dengan bercak hitam yang

    tersusun dua garis dari pangkal ekor hingga kepala. Identifikasi secara

    meristik didapatkan bahwa pada lipatan ventrolateral terdapat

    tuberkel bulat kecil. Jumlah sisik femoral berjumlah 42. Hal ini

    berbeda dengan penelitian yang dilakukan Mecke dkk. (2016) yang

    menyatakan bahwa C. marmoratus tidak memiki tuberkel pada lipatan

    ventrolateral dan jumlah sisik femoral 49-54. Berdasarkan hasil clade

    dan morfologi, C. marmoratus dari Jawa Barat mengalami diferensiasi

    genetik maupun morfologi sehingga dapat diasumsikan menjadi

    subspesies maupun spesies baru.

    4.2.2 Clade B

    Clade B terdiri atas C. marmoratus dan C. semiadii yang berasal

    dari Cilacap, Jawa Tengah. C. marmoratus dan C. semiadii

    sebenarnya merupakan spesies yang berbeda (p-distance=0,28). Clade

    B termasuk kelompok monofiletik yang didukung dengan nilai

    bootstrap yang cukup signifikan (MLBS=85, MPBS=63, BPP=92).

    Secara genetis maupun morfologi, kedua spesies ini sangat berbeda.

    Hal ini dapat dikatakan sebagai kerabat dekat. C. semiadii adalah

    spesies yang baru dideskripsikan oleh Riyanto dkk. (2014) melalui

    analisis morfologi. Ditinjau pada Gambar 10, morfologi dari C.

    marmoratus dan C. semiadii menunjukkan perbedaan yang sangat

    jelas, namun pohon filogenetik posisi C. semiadii masih dalam clade

    C. marmoratus complex. Hal ini dapat disimpulkan bahwa C. semiadii

    merupakan sinonim dari C. marmoratus.

  • 35

    (Dokumentasi NK, 2014)

    Gambar 10. Karakter morfologi ventral dan dorsal. Ket: a) C.

    semiadii; b) C. marmoratus

    Berdasarkan Gambar 10, terdapat perbedaan dari C. marmoratus

    dan C. semiadii yang dapat dilihat pada ukuran panjang dan bentuk

    ekor. C. semiadii memiliki ekor yang silindris sedangkan C.

    marmoratus memiliki ekor yang panjang. Corak warna pada C.

    semiadii terdapat bercak hitam yang tersusun rapi dari tengkuk hingga

    ekor. Berbeda dengan C. marmoratus, pola warna yang ada pada

    bagian dorsal berwarna hitam yang tersusun acak pada tengkuk hingga

    paha. Selain itu, pola warna pada ekor berwarna hitam dan putih

    hingga ujung ekor. Ditinjau dari bagian ventral pada Gambar 10,

    menunjukkan perbedaan yang jelas pada pola sisik precloacal. C.

    semiadii tidak memiliki pola sisik precloacal dan tidak memiliki

    perbesaran sisik femoral. Pola precloacal pada C. marmoratus

    berbentuk angular dengan sisik femoral menyambung dan mengalami

    perubahan sisik yang tiba-tiba pada post femoral.

    4.2.3 Clade C

    Clade C terdiri atas C. consobrinus dari Sumatra Barat dan

    Sarawak, C. semicinctus dari Jambi, C. lateralis dari Aceh, C. cf

    psarops dari Sumatra Utara dan Sumatra Barat, C. cf marmoratus dari

    Sumatra Utara. Clade C didukung dengan nilai bootstrap (MLBS=85,

    a

    ,

    .

    b

    ,

    .

  • 36

    MPBS=-, BPP=95) yang menunjukkan bahwa clade ini memiliki hasil

    topologi yang valid. Clade C ini terbagi atas 2 kelompok, yaitu

    subclade I dan II. Subclade II terbagi atas subclade kecil yaitu IIa dan

    IIb. Nilai bootstrap >70 pada ML dan MP menunjukkan topologi

    pohon didukung oleh bootstrap yang valid. Analisis BI dikatakan

    menunjukkan cabang pohon yang valid apabila nilai bootstrap

    mencapai 95 (Wood dkk., 2012).

    Subclade CI terdiri atas C. consobrinus dari Sumatra Barat dan

    Sarawak. Subclade I mempunyai hubungan monofiletik yang

    didukung dengan nilai bootstrap (MLBS=100, MPBS=99, BPP=100)

    yang menunjukkan hasil topologi pohon yang valid. Hasil

    rekonstruksi pada subclade I mengindikasikan bahwa dalam tingkat

    persebaran yang luas C. consobrinus masih dalam satu clade dengan

    nilai p-distance 10%. Hasil ini menunjukkan kesamaan dengan

    penelitian yang dilakukan Wood dkk. (2012). C. consobrinus berada

    dalam satu clade dengan C. caverniculos, C. malaynus, C.

    consobrinus dari Sumatra. C. consobrinus merupakan sister lineage

    dari spesies complex C. irregularis. C. consobrinus merupakan

    spesies yang berkerabat dekat dengan C. irregularis (Wood dkk.,

    2012). C. consobrinus memiliki karakter morfologi yang sangat mirip

    dengan C. aurensis (Grismer, 2005) dan C. hikidai (Riyanto dkk.,

    2012). Perbandingan morfologi dapat ditinjau pada Gambar 12. Hasil

    analisis menunjukkan bahwa C. consobrinus dapat digolongkan dalam

    spesies complex. Hasil penelitian Wood dkk. (2012) menjelaskan

    bahwa posisi C. consobrinus dengan C. aurensis terpisah oleh clade.

    C. consobrinus ikut dalam clade Borneo dan Sumatra sedangkan C.

    aurensis ikut dalam clade Filipina.

  • 37

    Gambar 11. Filogram Maximum likelihood, Maximum Parsimony dan Bayesian Inference berdasarkan Gen

    ND4 di Jawa dan Sumatra. Ket: ‘*’=bootstrap 100.

  • 38

    a b

    c d

    (Riyanto dkk, 2015; Grismer, 2005)

    Gambar 12. Perbandingan morfologi bagian dorsal. Ket: a) C.

    consobrinus; b) C. hikidai; c) C. consobrinus; d). C.

    aurensis

    Berdasarkan Gambar 12, C. consobrinus memiliki pola warna pada

    kepala hingga tengkuk berwarna putih yang saling menyambung

    membentuk pola triangle. Berbeda dengan C. hikidai memiliki pola

    warna yang hampir mirip dengan C. consobrinus, hanya yang

    membedakan pada garis yang membentuk pola triangle tidak terlihat

    jelas. Ditinjau dari karakter SVL, C. consobrinus memiliki total SVL 121

    mm, sedangkan C. aurensis dan C. hikidai masing-masing 92-94 dan 72-

    100 mm. Bagian dorsal memiliki pola garis yang berwarna putih

    melintang membelah bagian dorsal seperti menjadi beberapa segmen.

    Seperti halnya pada C. hikidai, perbedaan C. consobrinus dan C. aurensis

  • 39

    hanya pada pola garis di tengkuk hingga kepala (Grismer, 2005 dalam

    Riyanto dkk., 2012).

    Subclade II terdiri dari subclade kecil IIa dan IIb. Subclade IIa terdiri

    dari C. semicinctus dari Jambi dan C. lateralis. Subclade ini tidak

    didukung dengan nilai bootstrap (MLBS=57, MPBS=-, BPP=54).

    Subclade IIa merupakan perpaduan dua spesies yang berada pada satu

    clade. Hasil ini menunjukkan perbedaan pengelompokan pada C.

    semicinctus yang pada penelitian Harvey dkk. (2015). Posisi C.

    semicinctus berada dalam satu clade dengan C. semenanjungensis

    (Grismer & Leong, 2005) dengan nilai dukung bootstrap MLBS dan BPP

    92 dan 100. Sama halnya dengan C. lateralis, posisi C. lateralis pada

    penelitian ini berkerabat dengan C. semicinctus namun nilai bootstrap

    pada penelitian ini belum bisa dikatakan sebagai sister spesies. Harvey

    dkk. (2016) menyatakan bahwa C. lateralis masuk dalam clade C.

    spinosus, C. durio, C. nuaulu, C. stresemanni, dan C. serratus yang

    dicirikan dengan tuberkel yang mirip duri pada lipatan ventrolateral dan

    ekor.

    Karakter morfologi pada gambar 13 menunjukkan adanya perbedaan

    yang sangat jelas. Bagian dorsal C. lateralis berwarna kecoklatan dengan

    bercak hitam kepucatan dan tuberkel yang mirip dengan duri pada

    tubuhnya. Perbedaan yang sangat terlihat pada C. semicinctus dan C.

    lateralis dilihat dari pola corak warna yang ada pada bagian dorsal. C.

    semicinctus memiliki warna coklat mengkilap dengan warna bercak

    hitam yang tersusun menutupi warna coklat. Bercak hitam pada bagian

    kepala sebanyak 5-7 dan badan sebanyak 7-9 (Harvey dkk., 2015).

    C.lateralis memiliki warna coklat kehitaman dengan pola bercak abu-abu

    pada bagian kepala hingga ekor.

    Pola sisik femoral dan precloacal memiliki perbedaan yang sangat

    jelas. Pola sisik femoral dapat ditinjau pada gambar 14. C. lateralis

    memiliki sisik besar femoral yang tidak menyambung satu sama lain,

    dengan jumlah 5-7. Pola precloacal C. lateralis adalah wide, dimana

    terdapat pori berjumlah 9. C. semicinctus terjadi perbesaran sisik femoral

    dan pori yang menyambung dengan sisik precloacal jumlah 36-38.

    Bentuk precloacal subtriangular. Menurut Harvey dkk. (2016), C.

    lateralis merupakan spesies endemik Sumatra Barat dan Aceh, yang

    dicirikan dengan tuberkel tubuh seperti duri. Pola precloacal berbentuk

    wide dengan pore berjumlah 9-13.

  • 40

    (Dokumentasi ENS, 2014)

    Gambar 13. Perbandingan karakter morfologi. Ket: a) C. lateralis; b) C.

    semicinctus

    (Dokumentasi ENS, 2014)

    Gambar 14. Perb