AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN MUTU SENSORI FORMULASI …

123
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN MUTU SENSORI FORMULASI MINUMAN FUNGSIONAL SAWO (Achras sapota L.) DAN KAYU MANIS (Cinnamomum burmannii) FATHONAH NUR ANGGRAINI PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M/1435 H

Transcript of AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN MUTU SENSORI FORMULASI …

FORMULASI MINUMAN FUNGSIONAL SAWO (Achras sapota
L.) DAN KAYU MANIS (Cinnamomum burmannii)
FATHONAH NUR ANGGRAINI
PROGRAM STUDI KIMIA
JAKARTA
MINUMAN FUNGSIONAL SAWO (Achras sapota L.) DAN KAYU MANIS
(Cinnamomum burmannii)
Program Studi Kimia
PROGRAM STUDI KIMIA
JAKARTA
MINUMAN FUNGSIONAL SAWO (Achras sapota L.) DAN KAYU MANIS
(Cinnamomum burmannii)
Program Studi Kimia
Oleh:
Mengetahui,
PENGESAHAN UJIAN
Minuman Fungsional Sawo (Achras sapota L.) dan Kayu Manis (Cinnamomum
Burmannii) telah diuji dan dinyatakan lulus pada sidang Munaqosyah Fakultas
Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada
hari Jum’at, 21 Maret 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Kimia.
Menyetujui,
Nurhasni, M. Si
Pembimbing I
Pembimbing II
Mengetahui,
Dekan
PERNYATAAN
LEMBAGA MANAPUN
Formulasi Minuman Fungsional Sawo (Achras sapota L) dan Kayu Manis
(Cinnamomum burmannii). Di bawah bimbingan ANNA MUAWANAH dan
DEDE SUKANDAR.
fungsional sawo (Achras sapota L) dan kayu manis (Cinnamomum burmannii)
telah dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui formulasi minuman
yang paling disukai berdasarkan uji organoleptik dan aktivitas antioksidannya
serta kualitasnya berdasarkan standar mutu sari buah SNI 01-3719-1995.
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu penentuan formulasi minuman
fungsional, analisis antioksidan yang meliputi aktivitasnya (IC50), serta komponen
antioksidan vitamin C dan total fenolik, dan terakhir analisis produk meliputi sifat
fisik, sifat kimia, cemaran logam dan cemaran mikroba. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa formula 561 merupakan produk yang paling disukai panelis
berdasarkan uji organoleptik. Formulasi 561 menunjukkan aktivitas antioksidan
(IC50) 54,1 μL/mL, yang berbeda nyata dengan aktivitas antioksidan (IC50)
komponen penyusunnya sawo 72,04 μL/mL pada taraf signifikansi 5%.
Kandungan total fenolik formulasi 561 yaitu sebesar 459,69 (mg/L) EAG, vitamin
C 70,4 mg/100 mL, kadar air 88,32 % (b/b), pH 3,94, total padatan terlarut 10 %,
total asam 7,68 %, dan kadar abu 0,48 % (b/b), logam Zn 0,95 mg/L, logam Cu
0,285 mg/L serta total mikroba kurang dari 1,0 × 10 1 koloni/mL. Formulasi 561
memiliki kualitas yang sesuai dengan standar SNI sari buah (SNI 01-3719-1995).
Kata Kunci: Achras sapota L, Cinnamomum burmannii, minuman fungsional,
aktivitas antioksidan, mutu sensori, SNI 01-3719-1995.
ABSTRACT
Drink Formulation. Advisor ANNA MUAWANAH dan DEDE SUKANDAR.
The antioxidant activity and sensory quality in sapota (Achras sapota L) and
cinnamon (Cinnamomum burmannii) functional drink formulation was studied.
The objective of this study was to determine the most preffered formulation based
on organoleptic, to determine antioxidant activity and quality of sapota-cinammon
functional drink formulation based on SNI 01-3719-1995. The research consisted
of three stages, which were determinating of sapota-cinammon drink formulation,
analysis of antioxidant covering the activity (IC50) and the component of
antioxidant were asorbic acid and phenolic total compounds, and lastly analysis of
products covering the physical properties, chemical properties, metal
contaminations and microbial contamination. The results showed that the 561
formula was the most preferred formulation by panelists based on the organoleptic
test. In the formulation 561 indicates antioxidant activity (IC50) of 54,1 μL/mL
which were significantly different to antioxidant activity (IC50) the constituent
components sapota of 72,04 μL/mL on level of significance 5%. Phenolic total
content the 561 formula of 459,69 (mg/L) EAG, asorbic acid content of 70,4
mg/100 ml, moisture 88,32 % (w/w), pH 3,94, TSS of 10%, acid total acidity of
7,68 %, level of ash 0,48 % (w/w), Zn level of 0,95 mg/L, Cu level of 0,285
mg/L, and total microbial was less than 1,0 × 10 1
colony/mL of product. The
quality of 561 formulation heve met the standards of SNI (SNI 01-3719-1995).
Keywords : Achras sapota L,Cinnamomum burmannii, functional drink,
antioxidant activity, sensory quality, SNI 01-3719-1995.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan pada Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Aktivitas
Antioksidan dan Mutu Sensori Formulasi Minuman Fungsional Sawo
(Achras sapota L.) dan Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)”yang disusun
dalam rangka memenuhi mata kuliah tugas akhir sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia di Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu secara ikhlas dalam penyelesaian skiripsi ini,
yakni kepada:
1. Ibu Anna Muawanah, M.Si., selaku pembimbing I yang telah dengan sabar
membimbing dan memberikan saran kepada penulis selama proses penulisan
skripsi ini.
2. Bapak Drs. Dede Sukandar, M.Si., selaku pembimbing II dan juga selaku
Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan perhatian dan
bimbingannya kepada penulis.
3. Dr. Agus Salim, M.Si., selaku dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr.Thamzil Laz selaku penasihat akademik yang selalu memberikan
nasihat, motivasi, dan inspirasi kepada penulis.
viii
5. Ayah, Bunda, dan juga Kakak yang tidak pernah mengenal lelah dalam
memberikan perhatian dan dukungannya kepada penulis sampai sekarang.
6. Keluargaku di Solo Mbah Putri, Pakde, Om, Bulek, Sepupu yang senantiasa
selalu mendoakan penulis dalam setiap kesulitan dan perjuangan. Semoga
Allah SWTmembalas kebaikan kalian.
7. Ade, Diah, Lina, Ayya, Nur, Dita, Adaw, Puput, Chitta, Rafi, Hafiz serta
teman-teman kimia 2009 yang sudah banyak partisipasinya, dalam membantu
penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.
8. Kak pipit selaku laboran kimia yang telah sabar membantu dan mendukung
dalam proses penelitian.
9. Adik- adik kimia angkatan 2010 dan 2011 yang juga telah membantu dalam
proses penelitian.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
berbagai pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan
pengetahuan bagi para pembacanya. Aamiin.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri, mudah-
mudahan semua bentuk perhatian, bantuan dan partisipasi yang sudah diberikan
mendapatkan pahala yang setimpal dari-Nya.
Jakarta, Januari 2014
2.5. Antioksidan ............................................................................................... 22
3.3. Prosedur Penelitian .................................................................................. 36
3.3.2. Analisis Sensori ............................................................................. 37
3.3.3. Analisis antioksidan ...................................................................... 38
3.3.5. Uji Cemaran Logam ...................................................................... 42
3.3.6. Uji Cemaran Mikroba.................................................................... 42
4.1. Analisis Sensori ......................................................................................... 45
4.2. Analisis Antioksidan ................................................................................. 57
4.4. Uji Cemaran Logam .................................................................................. 70
4.5. Uji Cemaran Mikroba .............................................................................. 71
xi
Gambar 2. Struktur Beberapa Fenolat ............................................................. 9
Gambar 3. Kulit Dan Bubuk Kayu Manis ....................................................... 11
Gambar 4. Sukrosa .......................................................................................... 21
Gambar 6. Asam Askorbat .............................................................................. 24
Gambar 7. Mekanisme Reaksi Asam Askorbat dan Ion Superoksida Dan
Hidrogen Peroksida ........................................................................ 26
Gambar 8. Reduksi DPPH dari Senyawa Peredam Radikal Bebas ................. 27
Gambar 9. Skema Peralatan SSA .................................................................... 31
Gambar 10. Komponen Spektrofotometer UV-Vis ........................................... 33
Gambar 11. Histogram Rata-Rata Skor Hedonik Warna .................................. 46
Gambar 12. Formulasi Minuman Fungsional .................................................... 47
Gambar 13. Reaksi Antara dalam Pembentukan Melanin ................................. 49
Gambar 14. Reaksi Pembentukan Melanin dari O-Kuinon atau O-Difenol ...... 50
Gambar 15. Histogram Rata-Rata Skor Hedonik Aroma .................................. 51
Gambar 16. Histogram Rata-Rata Skor Hedonik Rasa Manis dan Asam ......... 54
Gambar 17. Skema Teori Kemanisan ................................................................ 55
Gambar 18. Histogram Rata-Rata Skor Hedonik Penerimaan Keseluruhan ..... 57
Gambar 19. Reaksi Pembentukan Kompleks Molibdenum-Tungsten Blue ...... 59
xiii
Gambar 21. Mekanisme Kerja Antioksidan Golongan Fenol ........................... 64
Gambar 22. Mekanisme Kerja Vitamin C Sebagai Antioksidan ....................... 65
Gambar 23. Mekanisme Reaksi Asam Askorbat dan Ion Superoksida dan
Hidrogen Peroksida ........................................................................ 66
Hal
Tabel 1. Kandungan Sawo dalam 100 g Sawo Masak Segar ......................... 8
Tabel 2. Standar Mutu Minuman Sari Buah (SNI 01-3719-1995) ................... 16
Tabel 3. Formulasi Minuman Sari Buah Sawo ................................................. 37
Tabel 4. Hasil Pengujian Organoleptik Minuman Fungsional ......................... 45
Tabel 5. Kandungan Total Fenolik, Vitamin C, dan Antioksidan pada Sawo,
Kayu Manis, dan Jeruk Nipis ............................................................. 58
Tabel 6. Kandungan Total Fenolik, Vitamin C, dan Antioksidan pada
Minuman Fungsional 561 ................................................................... 63
xv
Lampiran 2. Bagan Proses Pembuatan Minuman Fungsional
Sawo-Kayu Manis ....................................................................... 89
Lampiran 4. Skor Hedonik Panelis Terhadap Minuman Fungsional
Sawo-Kayu Manis ....................................................................... 91
Lampiran 7. Hasil SPSS Rasa Manis ............................................................... 98
Lampiran 8. Hasil SPSS Rasa Asam ................................................................ 99
Lampiran 9. Hasil SPSS Penerimaan Keseluruhan .......................................... 100
Lampiran 10. Hasil Uji T-Student Aktivitas Antioksidan Perasan Sawo
dan Minuman Formula 561 ........................................................ 101
Lampiran 11. Hasil Uji T-Student Kandungan Total Fenolik Perasan Sawo
dan Minuman Formula 561 ......................................................... 102
Lampiran 12. Pengujian Aktivitas Antoksidan Sawo, Kayu Manis, dan
Jeruk Nipis .................................................................................. 103
Lampiran 15. Hasil Uji Logam.......................................................................... 106
1
1.1. Latar Belakang
Buah sawo (Achras sapota L.) selama ini dianggap sebagai buah asli
Indonesia karena sudah lama dikenal dan ditanam di Indonesia terutama di Pulau
Jawa. Buah sawo disukai karena memiliki rasa yang manis dan biasa dikonsumsi
sebagai buah segar dalam keadaan matang (Rukmana, 1997). Namun, buah sawo
sebagai produk hortikultura merupakan komoditas yang mudah rusak terutama
setelah pemanenan. Kerusakan yang terjadi dapat berupa kerusakan fisik,
mekanis, maupun mikrobiologis (Ratule, 1999), sehingga tidak dapat disimpan
lama dan umumnya hanya dapat bertahan selama lima sampai tujuh hari jika
disimpan pada kondisi normal (Aryati, 2006). Kondisi buah sawo yang demikian,
maka diperlukan teknologi pengolahan sehingga buah sawo tidak hanya
dikonsumsi dalam bentuk segar, melainkan dapat dimanfaatkan menjadi bahan
olahan lain yang memiliki nilai tambah. Pengolahan ini merupakan salah satu cara
untuk mempertahankan mutu produk dan memperpanjang masa simpan buah
sawo (Aryati, 2006). Salah satu bentuk pengolahan yang dapat dijadikan sebagai
alternatif yaitu diolah menjadi pangan fungsional berupa minuman fungsional sari
buah.
bagi tubuh, seperti dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan kondisi umum
dari tubuh, mengurangi resiko terhadap suatu penyakit, dan bahkan dapat
2
digunakan untuk menyembuhkan beberapa penyakit (Astawan, 2003; Siro et al.,
2008). Efek fisiologis tersebut karena adanya komponen aktif yang terkandung
didalam bahan pangan tersebut (Winarti et al., 2005).
Komponen aktif yang terkandung didalam buah sawo dan bermanfaat bagi
kesehatan yaitu vitamin C, fenolik, dan karotenoid yang diketehui memilik efek
antioksidan (Kulkarni et al.,2006). Antioksidan adalah senyawa yang mempunyai
struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal
bebas dan dapat memutus reaksi berantai dari radikal bebas (Kumalaningsih,
2006). Radikal bebas yang berlebih dapat menyerang senyawa apa saja terutama
yang rentan seperti lipid dan protein dan berimplikasi pada timbulnya berbagai
penyakit degeneratif (Middleton, 2000).
masa simpan, juga dapat menghasilkan minuman fungsional yang dapat dijadikan
sebagai sumber gizi terutama sumber antioksidan. Selain itu, pembuatan minuman
fungsional dapat juga dipadukan dengan bahan lain seperti kayu manis sebagai
flavor dalam formulasi minuman. Kayu manis merupakan tanaman rempah yang
telah lama dimanfaatkan sebagai pewangi atau peningkat cita rasa pada makanan
atau minuman (Rismunandar et al.,2001). Komponen-komponen bioaktif dalam
kayu manis, seperti sinamaldehid, asam sinamat, dan sineol diketahui memiliki
aktivitas antioksidan yang bermanfaat bagi kesehatan (Jayapprakasha, 2003).
Dengan demikian, perpaduan antara sawo dengan rempah-rempah dalam
formulasi diharapkan akan menghasilkan suatu formulasi yang dapat diterima dari
segi sensori dan juga dapat diperoleh aktivitas antioksidan yang lebih tinggi.
3
terhadap tingkat kesukaan panelis berdasarkan pengujian organoleptik?
b. Bagaimana aktivitas antioksidan formulasi minuman fungsional sawo-
kayu manis yang tersukai?
tersukai telah memenuhi standar mutu sari buah sesuai SNI 01-3719-
1995.
a. Mendapatkan formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis yang
paling disukai oleh panelis berdasarkan pengujian organoleptik.
b. Mengetahui aktivitas antioksidan formulasi minuman fungsional sawo-
kayu manis yang paling disukai.
c. Mengetahui kualitas formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis
tersukai sesuai standar mutu sari buah sesuai SNI 01-3719-1995.
4
terhadap tingkat kesukaan panelis berdasarkan pengujian
organoleptik.
memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi.
c. Kualitas formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis telah
memenuhi standar mutu sari buah sesuai SNI 01-3719-1995.
1.5. Manfaat Penelitian
kepada masyarakat mengenai pemanfaatan buah sawo sebagai bahan baku
alternatif minuman fungsional yang memiliki aktivitas antioksidan, bermanfaat
bagi kesehatan dan juga sebagai upaya dalam peningkatan mutu produk buah
sawo.
5
Sawo manila, Achras sapota L.yang biasa dikenal sebagai chikku
merupakan salah satu buah lezat daerah tropis yang merupakan keluarga dari
Sapotaceae. Sawo disukai karena rasanya yang manis dan lezat. Sawo biasa
dikonsumsi sebagai makanan pencuci mulut (Hiremath et al., 2012).
Tanaman sawo diduga berasal dari daerah Amerika Tengah, terutama
kawasan Guatemala. Namun, tanaman sawo selama ini dianggap sebagai tanaman
asli Indonesia karena sudah lama dikenal dan ditanam di Indonesia terutama di
Pulau Jawa (Rukmana,1997). Sawo diketahui merupakan salah satu tanaman buah
utama di India, Meksiko, Guatemala, dan Venezuela (Kulkarni et al., 2006; Maya
et al., 2003). Bentuk tanaman dan buah sawo dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Sawo Manila ( Candra, 2011)
Di Indonesia, sawo merupakan tanaman buah-buahan yang berbuah tanpa
musim. Tanaman sawo ini dapat tumbuh dan bereproduksi dengan baik mulai dari
dataran rendah sampai ketinggian 700 meter diatas permukaan laut. Tanaman
sawo memiliki daya adaptasi yang cukup luas pada kondisi iklim tropis
6
(Rukmana, 1997). Buah sawo yang cukup tua memiliki ukuran buah yang
maksimal, kulit buah berwarna coklat muda, daging buah agak lembek, bila
dipetik mudah terlepas dari tangkainya, serta bergetah relatif sedikit (Aryati,
2006).
Matangnya buah dapat diberi batasan sebagai perubahan berturut-turut
warna buah, aroma, tekstur kearah kondisi buah yang siap untuk dikonsumsi
(Kartasapoetra, 1989). Sawo tidak dapat disimpan lama dan umumnya buah hanya
dapat bertahan selama lima sampai tujuh hari jika disimpan pada kondisi biasa
(Aryati, 2006). Buah sawo umumnya dikonsumsi sebagai buah segar dalam
keadaan matang atau biasa dinamakan buah meja (Rukmana, 1997).
Sawo memiliki beberapa nama umum lainnya yang berbeda pada setiap
negara, seperti sawo manila (Indonesia), baramasi (Bengal dan Bihar), buah chiku
(Malaya, India), chicle (Meksiko), chico (Filipina), korob (Kosta Rika), Mespil
(Virgin Islands), muy (Guatemala), muyozapot (El Salvador), neeseberry (British
West Indies), nispero (Puerto Rico, Amerika Tengah), nispero quitense (Ekuador),
sapotí (Brasil), sapotille (French West Indies), zapota (Venezuela)(Morton, 1987).
Menurut Heyne (1987), tanaman sawo manila (gambar 1) memiliki
taksonomi sebagai berikut.
yang proses fisiologisnya berlangsung terus walau sudah dipetik atau dipanen.
Proses fisiologis yang dimaksud yaitu akan mengadakan perubahan dari tua
(mature) setelah panen menjadi masak (ripening) dan akan berlanjut ke fase lewat
matang (decaying) atau pembusukan juga disertai terbentuk aroma khas. Oleh
karena itu, buah sawo sebagai produk hortikultura merupakan komoditas yang
mudah rusak terutama setelah pemanenan. Kerusakan yang terjadi dapat berupa
kerusakan fisik, mekanis, maupun mikrobiologis (Ratule, 1999), sehingga tidak
dapat disimpan lama dan umumnya buah hanya dapat bertahan selama 5-7 hari
jika disimpan pada kondisi biasa (Aryati, 2006). Kondisi buah sawo yang
demikian, perlu diperkenalkan kepada petani khususnya dan masyarakat
umumnya mengenai teknologi pengolahannya sehingga buah sawo tidak hanya
dikonsumsi dalam bentuk segar, melainkan dapat dimanfaatkan menjadi bahan
olahan lain yang memiliki nilai tambah besar. Selain itu, pengolahan merupakan
salah satu cara untuk mempertahankan mutu produk pertanian (Aryati, 2006).
.Tanaman sawo, selain menghasilkan buah yang rasanya manis dan
menyegarkan, juga mengandung gizi cukup tinggi dengan komposisi lengkap
(Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Pemprov Jabar, 2008; Aryati, 2006).
8
Tabel 1.Kandungan Sawo dalam 100 g Sawo Masak Segar oleh Direktorat Gizi
Depkes (1981).
11. Air 75.50 g
Buah sawo juga diketahui mengandung flavonoid, saponin, dan tanin
(Sukandar et al., 2012). Selain itu, sawo diketahui merupakan sumber yang baik
dari asam askorbat, karetenoid, dan fenolik yang dilaporkan memiliki banyak
manfaat pada kesehatan (Kulkarni et al., 2006). Hasil penelitian Sukandar et al
(2012) menunjukkan ekstrak etanol buah sawo memiliki aktivitas antioksidan
yang cukup tinggi yaitu dengan IC50 sebesar 29,20 ppm, sedangkan Kulkarni et al
(2006) menyebutkan dalam penelitiannya perasan sari sawo memiliki aktivitas
antioksidan (IC50) sebesar 87,53 μL/mL.
Buah sawo dilaporkan juga mengandung gula (Siddappa et al., 1954),
asam (Shanmugavelu et al.,1973), protein, asam amino (Selvaraj et al.,1984),
fenolat (gambar 2), yaitu, asam galat (1), asam chlorogenic (2), catechin (3),
leucodelphinidin (4), leucocyanidin (5).dan leucopelargonidin (6) (Mathew et
al.,1969), karotenoid, asam askorbat, dan mineral seperti kalium, kalsium dan zat
besi (Selvaraj et al., 1984).
9
1
3
5
2
4
6
Shanmugavelu et al (1973) menyebutkan buah sawo juga merupakan
sumber yang baik dari gula yang dapat dicerna, yaitu berkisar antara 12 sampai 20
persen dan juga memiliki banyak kandungan mineral seperti zat besi dan kalsium.
Buah juga memiliki jumlah yang cukup protein, lemak, kalsium, serat, fosfor,
karoten, zat besi, dan vitamin C. Selain itu, sawo diketahui kaya akan bio-besi
yang diperlukan dalam pembentukan hemoglobin (Gursharansingh, 2001).
10
Sumeru (1995) menyebutkan buah sawo adalah buah berdaging buah tebal
dengan rasa manis yang memiliki kandungan gula sebesar 14%, sakarosa 7,02%,
dektrosa 3,7%, levulosa 3,4%, dan mengandung sedikit asam serta abu 1%. Selain
itu, sawo mengandung gizi cukup tinggi dengan komposisi lengkap, yaitu kalori
92,0 kkal, protein 0,5 gram, lemak 0,10 gram, karbohidrat 26,4 gram dan vitamin
sekitar 60,00 SI (Rukmana, 1997). Buah sawo memiliki kandungan mineral cukup
baik. Buah ini merupakan sumber kalium yang baik, yaitu 193 mg/100 g. Di lain
pihak, sawo juga memiliki kadar natrium yang rendah, 12 mg/100g. Perbandingan
kandungan kalium dan natrium yang mencapai 16:1 menjadikan sawo sangat baik
untuk jantung dan pembuluh darah (Candra, 2010).
Logam transisi, besi, tembaga, dan seng, juga merupakan nutrisi penting
yang terkandung dalam sawo (Kulkarni et al., 2006). Kekurangan ion logam ini
dilaporkan telah menjadi gangguan defisiensi gizi yang paling umum terjadi di
dunia yang mempengaruhi sekitar dua milyar orang, sebagian besar mereka
tinggal di negara berkembang (Lynch, 2005). Menurut Kulkarni et al (2006)
dalam Kwong et al (2004), kekurangan zat besi memiliki dampak yang merusak
yakni menurunnya imunitas sel dan menyebabkan perubahan perilaku dan
kognitif. Kekurangan tembaga juga telah dikaitkan dengan gangguan metabolisme
karbohidrat (Davis et al.,1987), sedangkan kekurangan seng menyebabkan
kekurangan atau ketidak sempurnaan dari pertumbuhan, kematangan seksual,
kekebalan, rasa dan nafsu makan (Apgar, 1992).
11
Menurut Heyne (1987), pohon kayu manis merupakan tumbuhan asli Asia
Selatan, Asia Tenggara dan daratan Cina, Indonesia termasuk didalamnya.
Tumbuhan ini termasuk famili Lauraceae yang memiliki nilai ekonomi dan
merupakan tanaman tahunan yang memerlukan waktu lama untuk diambil
hasilnya. Hasil utama kayu manis (gambar 3) adalah kulit batang dan dahan,
sedang hasil samping adalah ranting dan daun. Komoditas ini selain digunakan
sebagai rempah, hasil olahannya seperti minyak atsiri dan oleoresin banyak
dimanfaatkandalam industri-industri farmasi, kosmetik, makanan, minuman,
rokok, dan lain-lain.
Gambar 3. Kulit dan Bubuk Kayu Manis (Rusli et al., 1988).
Dari 54 spesies kayu manis (Cinnamomum sp.) yang dikenal di dunia, 12
di antaranya terdapat di Indonesia. Tiga jenis kayu manis yang menonjol di pasar
dunia yaitu Cinnamomum burmannii (di Indonesia) yang produknya dikenal
dengan nama cassiavera, Cinnamomum zeylanicum (di Sri Lanka dan Seycelles)
dan Cinnamomum cassia (di China) yang produknya dikenal dengan Cassia
China. Jenis-jenis tersebut merupakan beberapa tanaman rempah yang terkenal di
pasar dunia. Tanaman kayu manis yang selama ini banyak dikembangkan di
Indonesia adalah C. burmannii Bl, yang merupakan usaha perkebunan rakyat,
12
terutama diusahakan di Sumatera Barat, Jambi dan Sumatera Utara. Jenis
Cburmanii BL atau cassiavera ini merupakan produk ekspor tradisional yang
masih dikuasai Indonesia sebagai negara pengekspor utama di dunia.Tanaman
kayu manis memiliki klasifikasi sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Laurales
Suku : Lauraceae
Marga : Cinnamomum
Tanaman kayu manis merupakan jenis tanaman rempah yang tergolong
dalam famili Lauraceae, yaitu salah satu famili dari ordo Ranales. Famili ini
memiliki 45 genera dan 1100 spesies. Pertanaman kayu manis umumnya
merupakan perkebunan rakyat, terutama tersebar di daerah Sumatera Barat,
Kerinci, dan Tapanuli Selatan. Dewasa ini kayu manis juga sudah mulai
dikembangkan di Jawa, Kalimantan, Flores, dan Lombok. Jenis tanaman yang
diusahakan sebagaian besar adalah Cinnamomum burmannii BI. dan sedikit
Cinnamomum zeylanicum BI. dan Cinnamomum cassia BI, terutama di daerah
Jawa Barat (Rusliet al., 1985). Kulit kayu manis kering yang bermutu baik pada
umumnya mengandung minyak atsiri, pati, getah, resin, fixed oil, tanin, selulosa,
zat warna, kalium oksalat, dan mineral (Rismunandar et al., 2001).
13
struktur, yang bukan merupakan fenol. Tetapi komponen minor flavor, kumarin
mengandung gugus fenol dan penting untuk memberi ciri khas flavor alami kayu
manis (Ho et al., 1992).
Eugenol yang merupakan komponen utama flavor cengkeh, juga
ditemukan pada kayu manis dalam jumlah kecil. Eugenol ditemukan pada kayu
manis sebesar 0,04-0,2 %, pada oleoresin kayu manis sebesar 2-6 %, dan pada
minyak kayu manis sebesar 70-90 % (Ho et al., 1992). Kayu manis dapat berperan
sebagai antioksidan karena mengandung senyawa tanin dan eugenol (King, 2000).
Selain sebagai rempah, hasil olahan kulit kayu manis seperti minyak atsiri
dan oleoresin banyak digunakan dalam industri-indusri farmasi, kosmetik,
makanan dan minuman, rokok, dan sebagainya. Tanaman ini juga digunakan
sebagai tanaman penghijauan dan konservasi tanah-tanah yang miring pada daerah
aliran sungai. Cinnamomum burmannii juga banyak ditanam sebagai tanaman hias
karena warna pucuknya yg merah terlihat indah (Rusli et al., 1985).
Minyak atsiri kayu manis sudah sejak lama dimanfaatkan sebagai
antiseptik. Minyak kayu manis ini juga memiliki efek untuk mengeluarkan angin
(karminatif), membangkitkan selera atau menguatkan lambung (stomakik),
sebagai obat sariawan, encok, masuk angin, dan sebagai antidiare. Untuk
pengolahan makanan dan minuman, minyak kayu manis sudah lama dimanfaatkan
sebagai pewangi atau peningkat citarasa, diantaranya untuk minuman keras,
minuman ringan, agar-agar, kue, kembang gula, bumbu gulai, dan sup
(Rismunandar et al., 2001).
yang mengandung satu atau lebih komponen pangan yang berdasarkan kajian
ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu diluar fungsi dasarnya, terbukti tidak
membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan. Menurut Winarti & Nurdjanah
(2005), berbagai jenis pangan fungsional telah beredar di pasaran, mulai dari
produk susu probiotik tradisional seperti yoghurt, kefir dan coumiss sampai
produk susu rendah lemak siap dikonsumsi yang mengandung serat larut.
Berbagai minuman telah tersedia dan berkhasiat menyehatkan tubuh yang
mengandung komponen aktif rempah-rempah seperti kunyit asam, minuman sari
jahe, sari temulawak, beras kencur, serbat, dan bandrek.
Pangan fungsional dikonsumsi layaknya makanan atau minuman,
mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur, dan cita rasa
yang dapat diterima oleh konsumen, serta tidak memberikan kontraindikasi dan
tidak memberikan efek samping terhadap metabolisme zat gizi lainnya jika
digunakan pada jumlah penggunaan yang dianjurkan. Meskipun mengandung
senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan, pangan fungsional tidak berbentuk
kapsul, tablet atau bubuk yang berasal dari senyawa alami (Winarti et al.,2005
dalam Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), 2001).
Pangan fungsional mempunyai tiga fungsi dasar antara lain sensory
(warna dan penampilan menarik, citarasanya enak), nutritional (bernilai gizi), dan
physiological (memberikan pengaruh fisiologis, menguntungkan bagi tubuh).
Fungsi fisiologis dari suatu pangan fungsional antara lain: a) mencegah penyakit
15
yang berhubungan dengan konsumsi pangan, b) meningkatkan daya tahan tubuh
(regulating bio-defensiveness), c) meregulasi rithme kondisi fisik tubuh, d)
memperlambat proses penuaan (aging), dan e) penyehatan kembali (recovery)
tubuh setelah menderita penyakit tertentu (Muchtadi, 2004).
Dewasa ini produk pangan fungsional yang bermanfaat bagi kesehatan
mulai banyak diminati oleh konsumen karena kesadaran akan pentingnya hidup
sehat semakin meningkat. Senyawa fitokimia sebagai senyawa kimia yang
terkandung dalam tanaman mempunyai peranan yang sangat penting bagi
kesehatan termasuk fungsinya dalam pencegahan terhadap penyakit degeneratif.
Beberapa senyawa fitokimia yang diketahui mempunyai fungsi fisiologis adalah
karotenoid, fitosterol, saponin, glikosinolat, polifenol, inhibitor protease,
monoterpen, fitoestrogen, sulfide dan asam fitat (Winarti et al., 2005). Komponen
fenolik dalam tanaman diketahui dapat menghambat pertumbuhan kanker dan
mempunyai aktivitas antimutagenik. Pertumbuhan kanker yang dapat ditekan oleh
senyawa fenolik antara lain kanker usus, payudara, paru-paru, dan kulit (Craig,
1999).
2.4. Minuman Sari Buah
Minuman sari buah adalah minuman ringan yang dibuat dari sari buah dan
air minum dengan atau tanpa penambahan gula dan bahan tambahan makanan
yang diizinkan (SNI 01-3719-1995). Minuman sari buah yang diproduksi harus
memiliki mutu yang sesuai dengan yang ada dalam SNI 01-3719-1995 yang
ditunjukkan pada tabel 2 berikut.
16
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan:
3.3 Pengawet sesuai SNI 01-0222-1987*)
4. Cemaran logam:
4.4 Timah (Sn) mg/kg
5. Cemaran arsen (As) mg/kg maks. 0,2
6. Cemaran mikroba
6.1 Angka lempeng total koloni/ml maks. 2 x 10 2
6.2 Coliform APM/ml maks. 20
6.3 E.coli APM/ml < 3
6.4 Salmonella koloni/25ml Negatif
6.5 S.Aureus koloni/ml 0
6.6 Vibrio.sp koloni/ml Negatif
CATATAN:
kaleng
Menurut Pollard et al (1974), sari buah merupakan hasil pengepresan atau
ekstraksi buah yang sudah disaring. Buah yang digunakan sebagai sari buah harus
dalam keadaan matang dan mempunyai cita rasa yang enak. Buah-buahan yang
akan diproses menjadi sari buah hendaknya merupakan buah varietas tertentu dan
17
berasal dari daerah penanaman yang sama. Sedangkan faktor yang mempengaruhi
cita rasa sari buah adalah perbandingan antara gula dan asam, jenis dan jumlah
komponen aroma, serta jenis vitamin (Kusumawati, 2008).
Menurut Makfoeld (1982), tahap-tahap pengolahan sari buah secara umum
adalah pemilihan dan penentuan kematangan buah, pencucian dan sortasi,
ekstraksi, homogenisasi, penyaringan, deaerasi, pengawetan, dan pengemasan.
Untuk buah-buahan tertentu, dapat dilakukan modifikasi terhadap proses
pengolahan tersebut, bergantung pada sifat buah dan sari buah yang diinginkan
(Kusumawati, 2008).
Pemilihan bahan merupakan hal yang penting dalam pembuatan formulasi
minuman ini, karena bahan yang baik akan menghasilkan kualitas minuman yang
baik pula. Pemilihan buah dilakukan berdasarkan bentuk buah, ukuran, warna, dan
banyak sedikitnya noda yang merupakan faktor dari kerusakan.
Penghancuran sari buah dilakukan dengan blender dan ekstraksi dilakukan
dengan cara pengepresan secara manual atau dengan pengepres alat dan kain
saring. Ekstraksi yang baik dapat menghindarkan tercampurnya kotoran dan
jaringan buah sehingga flavornya baik (Muchtadi, 1979).
Penambahan pengawet berperan penting dalam pembuatan sari buah untuk
meminimalkan pertumbuhan mikroorganisme. Salah satu pengawet yang dapat
digunakan yaitu natrium benzoat. Batas maksimum pengawet yang diperbolehkan
Menkes di dalam minuman yaitu 600 mg/kg (PP No. 722/ Menkes/ Per/ IX/
1988).Natrium benzoat dipilih sebagai pengawet minuman karena efektif mampu
menghambat pertumbuhan kapang dan khamir (Jay, 1978). Namun, keefektifan
18
natrium benzoat bekerja sebagai pengawet yaitu pada bahan pangan yang
memiliki pH ≤ 4.0 (Jay, 1978; Dunn, 1957). Oleh karena itu, perlu ditambahkan
asidulan atau zar pengatur keasaman yang berfungsi untuk menurunkan pH pada
minuman. Asidulan yang dapat ditambahkan yaitu asidulan alami seperti jeruk
nipis. Asidulan alami dapat dipilih agar meminimalkan penggunaan bahan
tambahan pangan (BTP) sintetis ke dalam minuman (Herold, 2007).
Pengemasan yang merupakan bagian penting dalam suatu proses
pembuatan produk pangan. Menurut Dwiari (2008), fungsi paling mendasar dari
kemasan adalah mewadahi dan melindungi produk dari kerusakan-kerusakan
sehingga lebih mudah disimpan, diangkut, dan dipasarkan. Jenis kemasan yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu botol. Botol merupakan kemasan berbahan
gelas yang memiliki beberapa keuntungan, yaitu bersifat inert terhadap bahan
kimia, tahan terhadap tekanan dari dalam, tahan panas, dan relatif murah. Selain
itu, botol gelap yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kemasan yang
tahan cahaya, tidak transparan atau tidak tembus cahaya, sehingga menghindarkan
produk dari reaksi oksidasi akibat terkena cahaya langsung yang dapat
menyebabkan kerusakan pada produk.
Pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang dapat membunuh atau
memusnahkan sebagian tetapi tidak semua mikroba yang ada dalam bahan dan
biasanya menggunakan suhu di bawah 100. Pasteurisasi membunuh semua
mikroorganisme mesofilik dan sebagian yang bersifat termofilik (Winarno, 1993).
Walaupun demikian, proses pasteurisasi hanya efektif membunuh mikroba
19
patogen atau pembusuk, maka produk pangan yang sudah dipasteurisasi umumnya
masih mengandung mikroba lain seperti bakteri tidak berspora dari genera
Streptoccocus dan Lactobacillus, serta kapang dan khamir (Fardiaz, 1996).
Penyimpanan dingin (chilling storage) merupakan cara penyimpanan
bahan atau produk pangan di bawah suhu 15°C dan di atas titik beku
bahan/produk. Penyimpanan dingin merupakan salah satu cara menghambat
turunnya mutu sari buah, disamping penambahan zat-zat pengawet kimia dan
konsentrasi gula yang tinggi. Pendinginan akan menurunkan laju pertumbuhan
mikroba pada bahan/produk yang disimpan. Penurunan ini disebabkan terjadinya
denaturasi enzim dan penghambatan sintesa enzim yang dibutuhkan mikroba.
Menurut Pollard & Timberlake (1974), suhu penyimpanan yang ideal bagi sari
buah adalah 35-40°F (1.67-4.44°C) (Kusumawati, 2008)..
2.4.1. Komposisi Sari Buah
Dalam penelitian ini, minuman fungsional sari buah dibuat dengan
beberapa komposisi diantaranya yaitu, buah sawo, kayu manis, air, gula pasir,
jeruk nipis, dan natrium benzoat.
Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan (Winarno, 1992). Air
yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengekstraksi komponen-komponen
kimia dalam buah sawo hingga menjadi sari buah. Namun, air dalam
penggunaanya harus memenuhi beberapa persyarataan agar dapat digunakan,
diantaranya yaitu sebagai berikut (Hartono, 2011)
20
a. Syarat fisik. Air tersebut bening (tak berwarna), tidak berasa, dan suhu
dibawah suhu diluarnya.
b. Syarat bakteriologis. Air harus terbebas dari segala macam bakteri, terutama
bakteri patogen. Untuk mengetahuinya dengan memeriksa melalui sampel
air, dalam per 100 ml sampel tidak dibolehkan terkandung bakteri E.Coli
dan total bakteri koliform (PMK No.492 tentang persyaratan kualitas air
minum).
c. Syarat kimia. Air tidak boleh mengandung zat-zat kimia berbahaya yang
dapat mempengaruhi kesehatan.
Gula atau sukrosa (gambar 4) adalah oligosakarida yang memiliki peran
penting dalam pengolahan makanan dan banyak terdapat pada tebu, bit,
siwalan,dan kelapa kopyor. Untuk industri-industri makanan biasa digunakan
sukrosa dalam bentuk kristal halus atau kasar dan dalam jumlah yang banyak
dipergunakan dalam bentuk cairan sukrosa (sirup). Pada pembuatan sirup, gula
pasir (sukrosa) dilarutkan dalam air dan dipanaskan, sebagian sukrosa akan terurai
menjadi glukosa dan fruktosa, yang disebut gula invert (Winarno, 1992). Menurut
Buckle et al (1987), sukrosa dalam pembuatan makanan berfungsi untuk memberi
rasa manis dan sebagai pengawet dimana dalam konsentrasi tinggi dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan menurunkan aktivitas air dalam
bahan pangan (Muawannah, 2012).
Jeruk nipis adalah asidulan alami yang dapat ditambahkan dalam
pembuatan minuman fungsional sari buah. Jeruk nipis memiliki karakteristik
citarasa yang lembut, berair, dan sangat asam dengan aroma yang tajam (Fellers,
1985). Senyawa volatil dari buah jeruk juga sangat penting dalam membentuk
aroma dan flavor. Komponen-komponen ini mencakup hidrokarbon terpen,
komponen karbonil, alkohol, dan ester yang terdapat pada minyak kulit jeruk dan
sedikit pada kantung minyak yang terdapat dalam kantung sari buah (Ting et al.,
1971). Pemanfaatan jeruk nipis cukup luas antara lain ialah sebagai bahan obat
tradisional, untuk perawatan kecantikan, untuk penyedap makanan, dan untuk
menambah rasa segar pada minuman (Kordial, 2009).
Natrium benzoat merupakan butiran atau sebuk putih tidak berbau dan
bahan ini dapat ditambahkan langsung ke dalam makanan atau dilarutkan terlebih
dahulu di dalam air atau pelarut-pelarut lainnya. Dalam penggunaanya, asam
benzoat kurang kelarutannya dalam air dibandingkan dalam bentuk garamnya,
sehingga pemakaiannya sering digunakan dalam bentuk garamnya yaitu natrium
benzoat (C6H3COONa) (Winarno et al.,1980).
22
pada makanan atau minuman. Aturan menteri kesehatan menyebutkan bahwa
batas penggunaan natrium benzoat pada yaitu600 mg/kg, PP No. 722/ Menkes/
Per/ IX/ 1988. Mekanisme kerja natrium benzoat sebagai pengawet yaitu
berdasarkan permeabilitas membran sel mikroba terhadap molekul-molekul asam
benzoat tidak terdisosiasi. Molekul-molekul asam benzoat tersebut dalam suasana
asam dapat mencapai sel mikroba yang membran selnya mempunyai sifat
permeabel terhadap molekul-molekul asam benzoat yang tidak terdisosiasi. Sel
mikroba yang mempunyai pH cairan sel netral akan dimasuki molekul-molekul
asam benzoat, maka molekul asam benzoat akan berdisosiasi dan menghasilkan
ion-ion H + , sehingga akan menurunkan pH mikroba tersebut. Hal ini
mengakibatkan metabolisme sel akan terganggu dan akhirnya sel mikroba tersebut
mati (Winarno dan Laksmi, 1974)
2.5. Antioksidan
dapat menunda, memperlambat, dan mencegah proses oksidasi lipid. Dalam arti
khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya
reaksi antioksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid.
Menurut Winarno (1997), antioksidan dibagi menjadi dua ketegori yaitu
antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer merupakan zat
yang dapat bereaksi dengan radikal bebas atau mengubahnya menjadi produk
yang stabil, sedangkan antioksidan sekunder atau antioksidan preventif dapat
mengurangi laju awal reaksi (Gordon, 1990). Menurut Shahidi (1995), antioksidan
23
primer (AH) bekerja dengan mekanisme seperti pada gambar 5. Antioksidan
primer (AH) bereaksi dengan oksida lipid dengan cara memberikan atom hidrogen
secara terus-menerus kepada radikal lipida (reaksi 1 dan 2). Reaksi berikutnya
berkompetisi dengan rantai reaksi propagasi (reaksi 5 dan 6).
(1) ROO * +AH ROOH + A
*
*
*
Berdasarkan fungsinya, menurut Siagian (2002) antioksidan dapat dibagi
menjadi 4 tipe, yaitu:
a. Tipe pemutus rantai reaksi pembentuk radikal bebas, dengan menyumbangkan
atom H, misalnya vitamin E.
b. Tipe pereduksi, dengan mentransfer atom H atau oksigen, atau bersifat
pemulung, misalnya vitamin C.
c. Tipe pengikat logam, mampu mengikat zat peroksidan, seperti Fe 2+
dan Cu 2+,
bentukstabil, pada manusia dikenal SOD, katalase, glutation peroksidase.
24
8
Gambar 6. Asam Askorbat
Vitamin C atau asam askorbat (gambar 6) merupakan nutrien dan vitamin
yang larut dalam air dan penting untuk kehidupan serta untuk menjaga kesehatan.
Vitamin ini juga dikenal dengan nama kimia dari bentuk utamanya yaitu asam
askorbat. Vitamin C dikenal sebagai antioksidan terlarut air paling dikenal,
vitamin C juga secara efektif memungut formasi ROS dan radikal bebas (Frei,
1994).
Sebagai antioksidan, vitamin C bekerja sebagai donor elektron, dengan
cara memindahkan satu elektron ke senyawa logam Cu. Selain itu, vitamin C juga
dapat menyumbangkan elektron ke dalam reaksi biokimia intraseluler dan
ekstraseluler. Vitamin C mampu menghilangkan senyawa oksigen reaktif di dalam
sel netrofil, monosit, protein lensa, dan retina. Vitamin ini juga dapat bereaksi
dengan Fe-ferritin. Diluar sel, vitamin C mampu menghilangkan senyawa oksigen
reaktif, mencegah terjadinya LDL teroksidasi, mentransfer electron ke dalam
tokoferol teroksidasi dan mengabsorpsi logam dalam saluran pencernaan (Levine,
et al., 1995).
atau tanpa katalisator enzim. Secara tidak langsung, askorbat dapat meredam
aktivitas dengan cara mengubah tokoferol menjadi bentuk tereduksi. Reaksinya
25
terhadap radikal hidroksil terbatas hanya melalui proses difusi.
Vitamin C bekerja secara sinergis dengan vitamin E. Vitamin E yang
teroksidasi radikal bebas dapat bereaksi dengan vitamin C kemudian akan berubah
menjadi tokoferol setelah mendapat ion hidrogen dari vitamin C (Belleville-
Nabeet,1996)
Sebagai zat penyapu radikal bebas, vitamin C dapat langsung bereaksi
dengan anion superoksida, radikal hidroksil, oksigen singlet dan lipid peroksida.
Sebagai reduktor asam askorbat akan mendonorkan satu elektron membentuk
semidehidroaskorbat yang tidak bersifat reaktif dan selanjutnya mengalami reaksi
disproporsionasi membentuk dehidroaskorbat yang bersifat tidak stabil.
Dehidroaskorbat akan terdegradasi membentuk asam oksalat dan asam treonat.
Oleh karena kemampuan vitamin C sebagai penghambat radikal bebas, maka
peranannya sangat penting dalam menjaga integritas membran sel (Suhartono et
al., 2007).
Menurut Asada (1992) reaksi askorbat dengan superoksida secara fisologis
mirip dengan kerja enzim SOD dan reaksi dengan hidrogen peroksida dikatalisis
oleh enzim askorbat peroksidase, yaitu sebagai berikut (gambar 7)
26
Gambar 7. Mekanisme Reaksi Asam Askorbat dan Ion Superoksida (Atas)
danHidrogen Peroksida (Bawah) (Asada, 1992)
Askorbat ditemukan dalam kloroplas, sitosol, vakuola, dan kompartemen
ekstraseluler. Kloroplas mengandung semua enzim yang berfungsi untuk
meregenerasi askorbat tereduksi dan produk-produk terioksidasi. Hidrogen
peroksida juga dihancurkan dalam kloroplas melalui reaksi redoks askorbat dan
pemanfaatan kembali glutation. Superoksida diubah menjadi hidrogen peroksida
secara spontan melalui reaksi dismutasi atau oleh enzim SOD. Hidrogen
peroksida ditangkap oleh askorbat dan enzim askorbat peroksidase (Asada, 1992).
Dalam hal ini monodehiroaskorbat memiliki 2 jalur regenerasi. Salah satunya
melalui monodehidrosiaskorbat reduktase, yang lainnya melalui dehidroaskorbat
reduktase dan glutation, sementara yang berperan sebagai donor elektron adalah
NADPH. Jalur ini juga memberikan 2 manfaat, yaitu detoksifikasi hidrogen
peroksida yang didiga berperan dalam reaksi Feton dan oksidasi NADPH.
Salah satu uji untuk menentukan aktivitas antioksidan penangkap radikal
adalah metode DPPH (1,1-Diphenyl-2-picrylhidrazyl).Metode DPPH memberikan
informasi reaktivitas senyawa yang diuji dengan suatu radikal stabil. DPPH
27
memberikan serapan kuat pada panjang gelombang 517 nm dengan warna violet
gelap. Penangkap radikal bebas menyebabkan elektron menjadi berpasangan yang
kemudian menyebabkan penghilangan warna yang sebanding dengan jumlah
elektron yang diambil (Sunarni, 2005).
Molekul 1,1-diphenyl-2-picrylhidrazil (DPPH) pada gambar 8, yang
bereaksi dengan atom hidrogen yang dilepaskan satu molekul komponen sampel
(antioksidan), pelepasan satu molekul sampel akan membentuk senyawa 1,1-
diphenyl-2-21 picrylhidrazine dan radikal antioksidan yang menyebabkan
terjadinya peluruhan warna DPPH dari ungu ke kuning. Reaksi antara antioksidan
dengan molekul DPPH (Prakash, 2001).
N
NH
NO2
NO2
O2N
N
N
NO2
NO2
Antioksidan alami yang paling umum adalah flavonoid (flavanol,
isoflavon, flavon, katekin, dan flavanon), turunan dari asam sinamat, kumarin,
tokoferol, dan asam organik polifungsional (Pratt et al.,1990). Secara alami,
antioksidan terdapat dalam hampir semua bahan pangan. Walaupun demikian, jika
H
28
bahan pangan tersebut diolah maka antioksidan yang terkandung di dalamnya
dapat mengalami degradasi kimia atau fisik sehingga fungsinya berkurang
(Fardiaz, 1980).
mendapatkan formulasi minuman yang tersukai sehingga dapat diketahui apakah
suatu produk dapat diterima oleh konsumen atau tidak (Muawanah et al., 2012).
Analisis sensori atau pengujian organoleptik adalah identifikasi, pengukuran
ilmiah, analisis, dan interpretasi dari karakteristik (atribut) produk berdasarkan
penerimaan melalui kelima indera manusia yaitu penglihatan, penciuman,
pencicipan, perabaan, dan pendengaran. Atribut sensori yang dianalisis dengan
pengindraan ini antara lain adalah penampilan, aroma, tekstur dan konsistensi,
citarasa, serta suara (Meilgaard, 1999).
Metode pengujian sensori melibatkan panelis dalam menilai suatu produk
pangan. Panelis adalah orang atau sekelompok orang yang menilai dan
memberikan tanggapan terhadap produk yang diuji. Panelis dapat dipilih dari
konsumen awam pengguna produk sampai seorang yang sangat ahli dalam
menilai menilai kualitas sensori. Penggunaan panelis diharapkan dapat
menjelaskan sensasi dan persepsi citarasa yang diterima oleh indra manusia
(Setyaningsih et al., 2010).
pada waktu mengkonsumsi makanan atau minuman. Kompleks sensasi yang
29
ditimbulkan dapat berupa sensasi rasa (manis, asam, asin, dan pahit) oleh papila
lidah (taste buds), sensasi aroma oleh rongga hidung (nasal cavity), dan sensasi
pain (sepat, panas atau pedas (pungency), dingin) oleh saraf-saraf trigeminal.
Sensasi tidak langsung, seperti penampakan, suara, dan emosi juga turut
berpengaruh terhadap persepsi citarasa makanan dan minuman yang dikonsumsi.
Oleh karena itu, sensasi tersebut dapat mempengaruhi aspek penerimaan
konsumen secara keseluruhan (Lindsay, 1996).
Secara umum, Meilgaard (1999) mengklasifikasikan analisis sensori
menjadi tiga bagian yaitu, uji pembedaan, uji deskripsi, dan uji afektif.
a. Uji Pembedaan
diantara dua atau lebih contoh. Uji pembedaan biasanya digunakan dalam
konteks pengawasan mutu produk, studi umur simpan, dan investigasi bau atau
flavor asing.
Uji deskriptif yaitu uji yang digunakan untuk menentukan atau mengukur
karakter dan instensitas perbedaan dalam suatu produk. Uji ini lebih tepat
digunakan untuk pengembangan produk, reformulasi produk, dan untuk meneliti
perbedaan produk percobaan dengan produk komersial. Panelis yang digunakan
dalam uji ini yaitu yang sudah terlatih yang telah melalui proses seleksi dan
pelatihan.
30
Uji afektif yaitu uji yang digunakan untuk mengetahui respon individu
berupa penerimaan ataupun kesukaan dari konsumen terhadap produk yang sudah
ada, produk baru, atau karakteristik khusus dari produk yang diuji. Menurut Poste
(1991), hasil uji afektif mengindikasikan pilihan, kesukaan, atau penerimaan suatu
produk. Secara umum terdapat dua macam uji afektif yaitu uji afektif kualitatif
dan uji afektif kuantitatif. Metode uji afektif kualitatatif terdiri dari focus group,
focus panel, dan wawancara personal. Sedangkan, metode uji afektif kuantitatif
terdiri dari uji kesukaan atau uji hedonik dan uji penerimaan (Meilgaard, 1999).
Menurut Poste (1991), uji kesukaan atau uji hedonik merupakan metode
pengujian yang paling umum dilakukan untuk mengukur kesukaan suatu sampel
bila dibandingkan sampel lain. Skala hedonik kemudian digunakan utnuk
menunjukkan tingkat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap suatu produk. Skala
yang dapat digunakan pada uji hedonik yaitu skala yang berkisar antara 1 sampai
5 antara 1 sampai 5, dimana (5) Sangat Suka, (4) Suka, (3) Agak Suka, (2) Tidak
Suka, dan (1) Sangat Tidak Suka (Akhtar et al., 2010).
2.7. Instrumentasi
Spektrometri serapan atom adalah bagian dari spektroskopi. Teknik
spektroskopi didasarkan pada emisi atau absorbsi radiasi elektromagnetik yang
merupakan sifat khas dari perubahan energi tertentu dalam suatu molekul atau
atom. Perubahan energi ini berupa tingkatan energi yang terkuantisasi yang
mencirikan jenis-jenis atom atau molekul. Bila suatu substansi diradiasi dengan
31
radiasi elektromagnetik, energi dari foton dapat dipindahkan ke atom atau
molekul sehingga dapat mengubah tingkatnya dari keadaan dasar ke keadaan
tereksitasi. Proses ini dikenal sebagai absorpsi (Anwar et al., 1989). Dalam garis
besarnya prinsip spektrofotometri serapan atom sama saja dengan
spektrofotometri sinar tampak dan ultraviolet. Perbedaan terletak pada bentuk
spektrum, cara pengerjaan sampel dan peralatannya (Rohman, 2007).
Metode spektrofotometri serapan atom, berprinsip pada absorbansi cahaya
oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang
tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang tersebut
memiliki energi yang cukup untuk mengubah tingkat energi elektronik suatu
atom. Dengan absorpsi energi, berarti memperoleh lebih banyak energi, suatu
atom pada keadaan dasar dinaikkan tingkat energinya ke tingkat eksitasi
(Khopkar, 2003). Skema peralatan AAS (gambar 9) yaitu:
Gambar 9. Skema Peralatan SSA (Haswell, 1991)
32
1. Sumber radiasi, yaitu berupa lampu katoda berongga (hollow cathoda
lamp). Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutuo yang mengandung suatu
katida dan anoda.
3. Monokromator, yaitu untuk memisahkan dan memilih panjang gelombang
yang digunakan dalam analisis.
4. Detektor, yaitu untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui tempat
pengatoman.
5. Rekorder, yaitu suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai
sistem pencatatan hasil (Rohman, 2007).
2.7.2. Spektrofotemetri UV-VIS
untuk mempelajari interaksi antara atom atau molekul dengan radiasi
elektromagnetik, dimana substansi kimia secara selektif menghamburkan
(scatter), menyerap atau mengemisi energi elektromagnetik pada panjang
gelombang yang digunakan dalam range ultraviolet (200-400 nm), sinar tampak
(400-700 nm), atau cahaya yang mendekati inframerah (Khopkar, 2003).
Prinsip spektrofotometri UV-Vis yakni radiasi pada rentang panjang
gelombang 200-800 nm dilewatkan melalui suatu larutan senyawa. Elektron-
elektron pada ikatan didalam molekul menjadi tereksitasi sehingga menempati
keadaan kuantum yang lebih tinggi dan dalam proses menyerap sejumlah energi
yang melewati larutan tersebut. Dua hukum empiris telah diformulasikan tentang
intensitas serapan. Hukum Lambert’s menyatakan bahwa fraksi sinar yang diserap
33
tidak tergantung terhadap intensitas sumber sinar. Hukum Beer’s menyatakan
bahwa serapan tergantung jumlah molekul yang terserap. Dari kedua hukum
tersebut dapat disajikan ke dalam persamaan berikut (Supratman, 2010):
A = log Io
I = intensitas sinar yang diteruskan c = konsentrasi sampel
b = tebal selyang dilalui sampel (cm) k = koefisien ekstingsi
Hukum Beer menyatakan bahwa absorbans berbanding langsung dengan
tebal larutan dan konsentrasi larutan. Dimana apabila suatu berkas radiasi dengan
intensitas Io dilewatkan melalui suatu larutan dalam wadah transparan setebal b
yang berisi sejumlah n partikel (atom, ion, atau molekul) maka sebagian radiasi
akan diserap sehingga intensitas radiasi yang diteruskan I menjadi lebih kecil dari
pada Io. Dimana berkurangnya intensitas radiasi tergantung dari luas penampang
yang menyerap partikel, dan luas penampang ini sebanding dengan jumlah
partikel (n). Ini menunjukkan bahwa larutan tersebut menyerap sejumlah sinar.
Gambar 10. Komponen Spektrofotometer UV-Vis (Fernandez, 2011)
34
1. Sumber cahaya, untuk UV umumnya digunakan lampu deuterium (D2O),
untuk visibel digunakan lampu tungsten xenon (Auc).
2. Monokromator, suatu alat yang berfungsi mengubah cahaya polikromatik
menjadi cahaya monokromatik.
3. Sel penyerap / wadah pada sampel, cell dalam spektrofotometer disebut juga
dengan kuvet.
listrik.
dengan komputer.
Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) Kimia
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian inidilaksanakan
pada bulan Mei 2013 sampai November 2013.
3.2. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada penelitianini antara lain yaitu pisau, juice
extractor, alat penyaring, botol gelas, timbangan analitik, hot plate, tanur listrik,
peralatan gelas kimia, pH meter, refraktometri, spektrofotometer UV-Vis
(Lambda 25 merk Perkin Elmer), dan spektrofotometer serapan atom (Perkin
Elmer Analyst 800).
Bahan-bahan utama yang digunakan adalah buah sawo, kayu manis, jeruk
nipis, C6H3COONa, dan C12H22O11 yang didapatkan dari Pasar Tradisional
Ciputat, Tangerang Selatan. Bahan-bahan lainnnya yaitu Na2CO3, C7H6O5 (asam
galat), reagen Folin-Cicalteau, KI, I2, NaOH, HNO3, CH3OH, DPPH, PCA dan
BPW.
36
pemilihan bahan, ekstraksi, penambahan larutan gula, natrium benzoat, dan jeruk
nipis, pengemasan, dan pasteurisasi. Buah sawo dipilih berdasarkan bentuk buah,
ukuran, warna, banyak sedikitnya noda yang merupakan faktor dari kerusakan.
Buah yang memiliki gumpalan getah dan gorasan pada kulitnya tidak dipilih
karena menandakan kematangan buah yang tidak merata atau rusaknya buah.
Sortasi atau pemilihan ulang dilakukan yang bertujuan agar didapatkan hasil yang
seragam, lalu dilakukan pembersihan dan pencucian. Kemudian, dilakukan
ekstraksi untuk mendapatkan sari buah yang diinginkan dengan menggunakan alat
juice extractor. Dilakukan penyaringan dengan penyaring dan kainuntuk
memisahkan ampas dan sari buahnya. Selanjutnya, dilakukan ekstraksi kayu
manis dengan menggunakan airselama 15 menit yang dilakukan di dalam wadah
tertutup untuk meminimalkan teruapkannya komponen volatil. Selanjutnya,
minuman fungsional dibuat dengan lima macam formulasi (tabel 3) yaitu dengan
mencampurkan perasan sari sawo, ekstrak kayu manis 0,8 % (b/v), larutan gula 30
% (b/v), jeruk nipis, dan larutan natrium benzoat (konsentrasi akhir 500 ppm).
(Aturan Menkes batas maksimum pengawetyaitu 600 mg/kg, PP No. 722/
Menkes/ Per/ IX/ 1988).Minuman dibuat dalam volume total 100 mL untuk
memudahkan formulasi.
Bahan Komposisi per 100 mL
829 561 401 952 733
Sari sawo (mL) 40 45 50 55 60
Ekstrak kayu manis 0,8 % b/b 40 35 30 25 20
Larutan gula 30 % (b/b) 15 15 15 15 15
Larutan Na-Benzoat (konsentrasi akhir
Jeruk nipis (mL) 4 4 4 4 4
Minuman fungsional yang telah diformulasi lalu dikemas ke dalam botol
kaca yang sebelumnya telah disterilkan. Setelah itu, botol di pasteurisasi didalam
penangas air selama 30 detik.
3.3.2. Analisis Sensori
Analisis sensori atau uji organoleptik dilakukan melalui uji hedonik yang
mengindikasikan pilihan, kesukaan, atau penerimaan suatu produk. Parameter uji
yang digunakan yaitu parameter warna, aroma, rasa manis, rasa asam, dan
penerimaan keseluruhan. Pengujian dilakukan terhadap 20 orang panelis semi
terlatih, yaitu panelis yang bukan ahli dan juga yang bukan awam yang tidak bisa
mengenali ciri-ciri organoleptik. Pengujian dilakukandalam sebuah kuesioner
(lampiran 3) dengan menggunakan skala hedonik yang berkisar antara 1 sampai 5,
dimana (5) Sangat Suka, (4) Suka, (3) Agak Suka, (2) Tidak Suka, dan (1) Sangat
Tidak Suka (Akhtar et al., 2010). Data yang didapatkan kemudian dianalisis
dengan menggunakan software SPSS versi 17 untuk menentukan formulasi yang
paling disukai panelis. Formulasi tersukai kemudian dianalisis antioksidannya
yang meliputi pengujian aktivitas antioksidan serta komponen kimia antioksidan,
kemudian diuji sifat fisik, dan sifat kimianya sesuai SNI 01-3719-1995.
38
komponen kimia antioksidan yaitu pengujian total fenolik dan kandungan vitamin
C.
Aktivitas penghambatan radikal sampel dilakukan berdasarkan
penghambatannya pada radikal bebas 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH).
Disiapkan larutan sampel pada varian konsentrasi (0,19 L sampai 100 L/mL)
dalam metanol. Dimasukkan masing-masing larutan sampel sebanyak 2 mL ke
dalam tabung reaksi. Setelah itu ditambahkan 2 mL larutan DPPH 0,002 % (dalam
metanol). Dilakukan inkubasi didalam ruang gelap selama 30 menit, lalu diukur
absorbansi sampel dengan spektrofotometer UV-Vis (panjang gelombang=518
nm). Besarnya aktivitas antioksidan diukur dengan parameter persen inhibisi lalu
diukur (IC50).
linear, dengan ekstrapolasi persen inhibisi sebagai ordinat (y) dan konsentrasi
sebagai absis (x).
Pengukuran total fenol dilakukan dengan menggunakan reagen Folin-
Ciocalteu dan asam galat sebagai standar. Pertama-tama 0,2 mL sampeldiambil
dan kemudian ditambahkan 1 mL reagen Folin Ciocalteu 10 % (dalam air).
Didiamkan atau diinkubasi selama 5 menit dalam tempat gelap. Setelah itu,
39
ditambahkan 3 mL larutan Na2CO32 % (dalam air). Sampel diinkubasi selama 1
jam dalam tempat gelap. Lalu absorsorbansinya diukur pada panjang gelombang
765 nm dengan spektrofotometer UV-Vis. Total fenolik ditentukan dalam
(g/mL) berat ekuivalen asam galat (EAG) dengan menggunakan persamaan
regresi dari kurva standar asam galat (0–32 g/mL).
3.3.3.3.Analisis Kadar Vitamin C (AOAC, 1999)
Kadar vitamin C ditentukan dengan cara titrasi Iod. Sebanyak 5 ml sampel
dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml. Ditambahkan 20 ml air destilat dan
beberapa tetes larutan pati sebagai indikator. Selanjutnya dititrasi dengan larutan
Iod 0,01 N sampai larutan berwarna biru. Tiap ml larutan Iod equivalen dengan
0,88 mg asam askorbat. Kadar vitamin C dapat dihitung sebagai asam askorbat
dengan rumus sebagai berikut :
= ml Iod 0,01 N x 0,88 x P x 100

dimana, merupakan mg asam askorbat per 100 ml sari buah dan P merupakan
faktor pengenceran.
Analisis sifat kimia dan fisik bertujuan untuk mengetahui komposisi nilai
gizi dari produk pangan. Uji sifat kimia dan fisik meliputi analisis kadar air, kadar
abu, pH, total padatan terlarut, dan total asam.
3.3.4.1. Kadar Air (AOAC, 2005)
Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah
mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105°C selama 1 jam. Cawan
tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan
40
sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga
beratnya konstan, sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan tersebut,
kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105°C selama 5 jam atau hingga
beratnya konstan. Setelah selesai proses kemudian cawan tersebut dimasukkan ke
dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang kembali.
Perhitungan kadar air:
B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)
C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram)
3.3.4.2. pH
Pengukuran nilai pH dilakukan dengan menggunakan alat pH-meter.
Pengukuran nilai pH dilakukan sebanyak tiga kali ulangan untuk setiap minuman
fungsional.
Uji padatan terlarut dilakukan dengan menggunakan hand refraktometer
dengan cara sari buah diteteskan pada kaca sensor yang ada pada hand
refraktometer dan angka brix dibaca.
3.3.4.4. Total Asam (AOAC 1990)
Sebanyak 10 g sampel diencerkan dengan aquades sampai volume 100 ml.
Diambil 10 ml sampel hasil pengenceran, lalu ditambahkan dengan tiga tetes
indikator phenolptalin. Kemudian dititrasi sampel dengan 0,1 N NaOH sampai
41
terjadi perubahan warna menjadi merah jambu. Total asam dianggap sebagai total
asam sitrat (% asam sitrat) yang terkandung dalam sampel. Penentuan total asam
dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut:
(%) = × × Σ ×

Keterangan:
N NaOH= normalitas NaOH
Fp= faktor pengenceran
3.3.4.5. Kadar Abu (AOAC 2005)
Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu
105°C kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang
hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke
dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak
berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu
600 selama 1 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan.
Kadar abu ditentukan dengan rumus:
% Kadar abu = −
C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram)
42
Sebanyak 5-10 gram contoh ditimbang kemudian dimasukan ke dalam
cawan porselen, ditempatkan cawan berisi sampel uji diatas penaggas listrik dan
dipanaskan secara bertahap sampai sampel tidak berasap lagi. Kemudian
dilanjutkan pengabuan dalam tanur pada suhu 500 ± 5 sampai abu berwarna
putih, bebas dari karbon. Kemudian abu berwarna putih dilarutkan dalam 5 mL
HNO3 1 N sambil dipanaskan diatas penanggas listrik atau penanggas air selama
2-3 menit dan dimasukan ke dalam labu ukur 50 mL kemudian dititar hingga
tanda garis dengan aquades, jika perlu disaring larutan dengan menggunakan
kertas saring Whatman No.41 ke dalam labu ukur 50 mL. Kemudian larutan
blanko disiapkan dengan perlakuan yang sama seperti contoh. Lalu dibaca
absorbansi larutan baku kerja dan larutan sampel terhadap blanko menggunakan
SSA pada panjang gelombang maksimum sekitar 324,7 nm untuk Cu, 217 nm
untuk Pb, dan 213,9 nm untuk Zn.
3.3.6 Uji Cemaran Mikroba Metode (ALT) Angka Lempeng Total
Pada uji ini pertama dilakukan pembuatan Plate count agar (PCA),
Buffered peptone water (BPW), dan uji cemaran mikroba.
a. Pembuatan Plate count agar (PCA)
Bahan-bahan 5 g Pancreatic digest of ceseine, 2,5 g yeast extract, 1 g
glukosa, 15 g agar dilarutkan dalam 1000 mL air suling. pH diatur menjadi 7,0
dan dimasukkan 450 mL larutan tersebuk ke dalam botol-botol berukuran 500
mL. Disterilkan pada suhu 121°C selama 15 menit pada autoklaf.
43
b. Pembuatan Buffered peptone water (BPW)
Bahan-bahan 10 g peptone, 5g natrium klorida, 3,5 g disodium hidrogen
fosfat, 1,5 g kalium dihidrogen fosfat dilarutkan ke dalam 1000 mL air suling.
Kemudian diatur pH menjadi 7,0. Dipipet kedalam tabung-tabung reaksi.
Disterilkan pada autoklaf pada suhu 121°C selama 20 menit.
c. Uji cemaran mikroba
menggunakan larutan pengencer BPW. Masing-masing 1 mL dipipet dari
pengenceran tersebut ke dalam cawan petri steril secara duplo. Sebanyak 12-15
mL media PCA yang masih cair dengan suhu 45 C ± 1°C dituangkanke dalam
masing-masing cawan petri. Cawan petri digoyangkan dengan hati-hati sehingga
sampel dan pembenihan tercampur merata dan memadat. Pemeriksaan dikerjakan
blanko dengan mencampur air pengencer untuk setiap sampel yang diperiksa.
Campuran dalam cawan petri dibiarkan sampai memadat. Semua cawan petri
dimasukkan dengan posisi terbalik ke dalam lemari pengeram pada suhu
35°C±1°C selama 24 jam sampai 48 jam. Pertumbuhan koloni dicatat pada setiap
cawan petri yang mengandung 25 koloni-250 koloni setelah 48 jam. Perhitungan
angka lempeng totalnya yaitu:
Angka lempeng total (koloni/mL) = n x F
Keterangan: n adalah rata-rata koloni dari dua cawan petri satu pengenceran,
(koloni/mL), F adalah faktor pengenceran dari rata-rata koloni yang dipakai.
44
Data yang didapat dari penilitian ini diolah menggunakan sofware SPSS
One Way ANOVA dan bila berbeda nyata dilakukan uji lanjut Duncan.
45
mendapatkan formulasi minuman yang tersukai sehingga dapat diketahui apakah
suatu produk dapat diterima oleh konsumen atau tidak (Muawanah, 2012). Uji
organoleptik pada produk pangan harus dilakukan karena akan berkaitan dengan
selera dan penerimaan konsumen terhadap produk tersebut di pasaran. Suatu
produk akan sia-sia walaupun secara uji kima, fisik, dan nilai gizinya tinggi, tetapi
bila rasanya tidak enak akan sulit diterima oleh konsumen (Soekarto, 1990).
Analisis sensori yang digunakan yaitu uji afektif. Hasil uji afektif
mengindikasikan pilihan, kesukaan, atau penerimaan suatu produk (Poste, 1991).
Terdapat dua macam uji afektif yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Pada proses
pengujiannya, digunakan pengujian secara kuantitatif atau yang lebih dikenal
sebagai uji hedonik. Hasil pengujian organoleptik pada minuman fungsional dapat
dilihat pada tabel 4.
Kode Warna Aroma Kemanisan Keasaman Penerimaan
Keseluruhan
a 3,95±0,69
a 3,90±0,85
b 3,90±0,72
a 3,75±0,72
a 3,60±1,05
b 3,80±0,83
a 3,55±0,76
a 3,00±0,86
a 3,30±0,98
a 3,45±0,94
a 3,35±0,81
b 3,50±1,00
a 3,45±0,82
a 3,60±0,82
b 3,45±0,82
Keterangan: Abjad yang diberi huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada =0,05
bahwa parameter warna, aroma, rasa manis, dan penerimaan keseluruhan tidak
berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%, namun berbeda nyata pada parameter
rasa asam. Hasil analisis ragam ANOVA dapat dilihat pada lampiran 5-9.
4.1.1. Warna
panelis terhadap parameter warnaberada pada skala kisaran 3,1-3,5 atau berada
pada kisaran agak disukai (gambar 11). Hasil analisis sidik ragam ANOVA
menunjukkan bahwa kelima formulasi tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi
5% terhadap tingkat kesukaan panelis (lampiran 5). Hal ini mengindikasikan
bahwa perbedaan formulasi pada minuman fungsional sawo-kayu manis tidak
mempengaruhi tingkat kesukaan panelis. Ini menunjukkan bahwa kelima
formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis dapat digunakan karena
memiliki tingkat penerimaan yang hampir sama.
Gambar 11. Histogram Rata-Rata Skor Hedonik Warna
3,5 3,45
3,15 3,2
Sk al
a H
e d
o n
ik W
an a
penerimaan 3,5 dengan persentase 15% panelis menyatakan tidak suka, 30%
menyatakan agak suka, 45% menyatakan suka, dan 10% menyatakan sangat suka.
Warna merupakan parameter yang penting dalam pengujian organoleptik
karena konsumen cenderung lebih tertarik pada suatu bahan pangan yang menarik
warnanya.Warna berkaitan erat dengan penerimaan produk pangan, karena warna
merupakan atribut kualitas yang paling penting, walaupun suatu produk bernilai
gizi tinggi, rasa enak dan tekstur baik namun jika warnanya kurang menarik maka
akan menyebabkan produk tersebut kurang diminati. Hal ini karena warna
merupakan parameter pertama yang menentukan tingkat penerimaan konsumen
terhadap suatu produk (Fennema, 1985). Selain itu, warna biasanya menjadi
faktor pertama yang dilihat konsumen dalam memilih suatu produk pangan
(Winarno, 2002). Warna minuman fungsional sawo-kayu manis yaitu berwarna
coklat (gambar 12). Hal ini terjadi karena telah terjadi reaksi pencoklatan
enzimatik yang terjadi pada saat pembuatan minuman fungsional sawo-kayu
manis.
48
pada bahan. Menurut Winarno (1992), senyawa fenolik yang bertindak sebagai
substrat dalam reaksi pencoklatan enzimatis dapat berupa tanin dan katekin. Sawo
dan kayu manis diketahui mengandung tanin dan katekin (King, 2000; Mathew,
1969)
pada sawo dan kayu manis mengakibatkan kerusakan jaringan yang menyebabkan
senyawa fenol yang ada dalam vakuola keluar dan bertemu dengan enzim yang
ada dalam sitoplasma (Soesanto et al., 1994). Pada umumnya reaksi oksidasi fenol
dikatalisis oleh dua enzim fenolase yaitu kresolase dan katekolase. Kresolase
mengkatalisis oksidasi monofenol (tirosin dan kresol) dengan menambah gugus
hidroksil pada posisi ortonya sehingga menjadi orto-difenol. Reaksi oksidasi
selanjutnya, katekolase menghilangkan dua atom hidrogen pada orto difenol
membentuk orto-quinon (Park et al.,1985) Reaksi dalam tahapini dapat dilihat
pada Gambar 13.
Gambar 13. Reaksi Antara dalam Pembentukan Melanin (Park et al.,1985)
Menurut Eskin et al (1971), katekolase mengkatalisis reaksi oksidasi orto
difenol menjadi orto-quinon, orto-quinon dengan orto difenol akan terhidroksilasi
membentuk trihidroksi benzena, kemudian trihidroksi benzena bereaksi dengan
orto-quinon membentuk hidroksi quinon. Menurut (Soesanto et al.,1994),
selanjutnya hidroksi quinon mengalami polimerisasi dan menjadi polimer
berwarna coklat yang akhirnya menjadi melanin berwarna coklat (gambar 14).
Pembentukan senyawa melanin dari orto quinon berlangsung secara spontan dan
tidak tergantung pada adanya enzim atau oksigen (Eskin et al.,1971).
50
OH
atau O-Difenol (Eskin et al.,1971).
Untuk meminimalkan reaksi pencoklatan pada minuman, dapat dilakukan
proses blansir pada bahan. Blansir yaitu proses pemanasan yang bertujuan untuk
menginaktifkan enzim-enzim di dalam bahan pangan, katalase dan peroksidase,
yang berperan dalam reaksi pencoklatan (Fardiaz et al.,1980). Blansir dapat
dilakukan dengan menggunakan uap, steam blancher, atau air panas, hot water
blancher. (Muchtadi, 1989). Namun, proses blansir yang berlebihan dapat
menyebabkan kehilangan nilai gizi pada bahan makanan sehingga proses blansir
tidak dilakukan.
Hasil pengujian organoleptik menunjukkan rata-rata tingkat kesukaan
panelis terhadap parameter aroma berada pada skala kisaran 3.2− 3.6 atau berada
pada kisaran agak disukai sampai disukai. (gambar 15). Hasil analisis sidik ragam
ANOVA menunjukkan bahwa kelima formulasi tidak berbeda nyata pada taraf
signifikansi 5% terhadap tingkat kesukaan panelis (lampiran 6). Hal ini
mengindikasikan bahwa perbedaan formulasi pada minuman fungsional sawo-
kayu manis tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap parameter
aroma. Ini menunjukkan bahwa kelima formulasi minuman fungsional sawo-kayu
manis dapat digunakan karena memiliki tingkat penerimaan yang hampir sama.
Gambar 15. Histogram Rata-Rata Skor Hedonik Aroma
Formulasi 829 memiliki skor hedonik aroma tertinggi dengan rata-rata
penerimaan 3,6. Formulasi 829 mengandung ekstrak kayu manis terbanyak
dibandingkan sampel yang lain yaitu sebanyak 40% sehingga diduga
mempengaruhi kesukaan panelis terhadap aroma. Menurut Rismunandar et al
3,2
3,5
3,4
Sk al
a H
e d
o n
ik A
ro m
a
Kode
52
(2001), kayu manis dapat digunakan sebagai peningkat cita rasa pada makanan
atau minuman. Ho et al (1992) mengatakan, komponen utama flavor dalam kayu
manis adalah sinamaldehid, yang bukan merupakan fenol. Tetapi komponen
minor flavor, kumarin mengandung gugus fenol dan penting untuk memberi ciri
khas flavor alami kayu manis.Senyawa volatil dari buah jeruk juga sangat penting
dalam membentuk aroma dan flavor. Komponen-komponen ini mencakup
hidrokarbon terpen, komponen karbonil, alkohol, dan ester yang terdapat pada
minyak kulit jeruk dan sedikit pada kantung minyak yang terdapat dalam kantung
sari buah (Ting et al.,1971).
Senyawa aroma adalah senyawa kimia yang memiliki aroma atau bau.
Sebuah senyawa kimia memiliki aroma atau bau ketika dua kondisi terpenuhi
yaitu senyawa tersebut bersifat volatil, sehingga mudah mencapai sistem
penciuman di bagian atas hidung, dan perlu konsentrasi yang cukup untuk dapat
berinteraksi dengan satu atau lebih reseptor penciuman.
Aroma merupakan parameter yang memegang peranan penting dalam
penilaian suatu produk. Aroma atau bau suatu bahan pangan disebabkan oleh
senyawa yang mempengaruhinya (Deman, 1997). Untuk dapat menghasilkan bau,
zat-zat bau harus dapat menguap, sedikit larut dalam air dan sedikit larut dalam
lemak. Pengujian terhadap aroma merupakan aspek yang penting dalam industri
pangan, karena dapat dengan cepat memberikan hasil penilaian terhadap
penerimaan suatu produk. Timbulnya aroma makanan disebabkan oleh
terbentuknya senyawa yang mudah menguap. Aroma juga dapat dipakai sebagai
suatu indikator terjadinya kerusakan pada produk. Misalnya sebagai akibat dari
53
pemanasan atau cara penyimpanan yang kurang baik, ataupun karena adanya cacat
(off flavor) pada suatu produk. Aroma makanan juga banyak menentukan
kelezatan bahan makanan tersebut (Bambang Kartika et al.,1988).
4.1.3. Rasa
Bambang Kartika (1988) menyatakan bahwa pada umumnya bahan pangan
tidak hanya terdiri dari salah satu rasa, tetapi merupakan gabungan berbagai
macam rasa secara terpadu sehingga menimbulkan cita rasa yang utuh. Ada empat
macam rasa dasar pada bahan pangan yaitu manis, asin, asam, dan pahit. Dalam
penelitian ini, pengujian organoleptik dilakukan meliputi parameter rasa manis
dan rasa asam.
panelis terhadap parameter rasa manis berada pada skala kisaran 3,45-3,95,
sedangkan terhadap parameter rasa asam berada pada kisaran 3,0-3.90. Kisaran ini
atau berada pada kisaran agak suka sampai suka (gambar 16). Hasil analisis sidik
ragam ANOVA (lampiran 7) menunjukkan bahwa kelima formulasi tidak berbeda
nyata pada taraf signifikansi 5% terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap
parameter rasa manis. Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan formulasi pada
minuman fungsional sawo-kayu manis tidak mempengaruhi tingkat kesukaan
panelis terhadap parameter rasa manis. Formulasi 561 memiliki skor hedonik
tertinggi dengan rata-rata penerimaan 3,95 dengan persentase 25% menyatakan
agak suka, 55% menyatakan suka, dan 20% menyatakan sangat suka.
Pada parameter rasa asam ditunjukkan bahwa formulasi berbeda nyata
pada taraf signifikansi 5% (lampiran 8) terhadap tingkat kesukaan panelis. Hasil
54
uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa dari kelima formulasi minuman fungsional
sawo-kayu manis, formulasi 561 merupakan formulasi yang paling disukai panelis
karena berada pada subset kedua dan memiliki skor hedonik tertinggi dengan rata-
rata penerimaan 3,90 dengan persentase 5% panelis menyatakan tidak suka, 25%
menyatakan agak suka, 45% menyatakan suka, dan 25% menyatakan sangat suka.
Gambar 16. Histogram Rata-Rata Skor Hedonik Rasa Manis dan Asam
Rasa asam mempengaruhi tingkat penerimaan pada panelis karena
penambahan jeruk nipis pada minuman fungsional sawo-kayu manis yang
memberi rasa menyegarkan (Kordial, 2009). Rasa merupakan parameter paling
penting dalam pembuatan suatu produk pangan. Jika penampilan menarik, namun
memiliki rasa yang tidak enak, maka produk tersebut tidak akan disukai oleh
konsumen.
berbeda. Rasa asam disebabkan oleh donor proton. Intensitas rasa asam
3,95 3,75
Sk al
a h
e d
o n
55
tergantung pada ion H + yang dihasilkan dari hidrolisis asam. Menurut Rozum
(2009), asam merupakan hasil dekomposisi penting dari selulosa dan
hemiselulosa. Selain itu, rasa manis dapat ditimbulkan oleh senyawa organik
alifatik yang mengandung gugus OH seperti alkohol, beberapa asam amino,
aldehida, dan gliserol (Winarno,1997).
Suatu teori yang menjelaskan terjadinya kemanisan telah diajukan oleh
Shallenberg dan Acree yang mendasarkan sifat-sifat ikatan hidrogen pada
senyawa yang manis (gambar 17). Suatu senyawa yang manis dengan atom-atom
elektronegatif A dan B, dengan sebuah atom hidrogen yang terikat secara kovalen
pada A, kemungkinan besar akan membentuk pasangan ikatan hidrogen dengan
struktur yang sama dari reseptor pada ujung syaraf rasa, sehingga menghasilkan
respon manis. A-H mewakili gugusan donor proton, sedang B sebagai gugusan
fungsional bertindak sebagai akseptor proton. Jarak antara AH dan B minimal
harus 3 . Bila tidak, pembentukan pasangan ikatan hidrogen ini akan
terganggudan tidak akan menghasilkan respon manis (Winarno, 1997).
Senyawa manis
56
Suhu mempengaruhi kuncup cecapan, sensitivitas akan berkurang bila suhu lebih
besar dari 20 dan lebih kecil dari 30 dimana akan menimbulkan sedikit
perbedaan rasa. Konsentrasi juga mempengaruhi rasa, dimana setiap orang
memiliki batas konsentrasi terendah terhadap suatu rasa agar masih bisa
dirasakan. Batas ini juga berbeda-beda pada setiap orang (Winarno, 1997).
Interaksi dengan komponen rasa lain juga akan mempengaruhi rasa dalam
suatu bahan pangan. Komponen rasa lain jika berinteraksi dengan komponen rasa
primer dapat mengakibatkan peningkatan atau penurunan intensitas rasa. Efek
interaksi ini berbeda pada tingkat konsentrasi dan tresholdnya (Winarno, 1997).
4.1.4. Penerimaan Keseluruhan
berkaitan dengan tingkat penerimaan produk oleh panelis. Hasil pengujian
organoleptik menunjukkan rata-rata tingkat kesukaan panelis berada pada skala
kisaran 3.3− 3.9 atau berada pada kisaran agak disukai sampai disukai. (gambar
18). Hasil analisis sidik ragam ANOVA menunjukkan bahwa kelima formulasi
tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5% terhadap tingkat kesukaan panelis
(lampiran 9). Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan formulasi pada minuman
fungsional sawo-kayu manis tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis
terhadap parameter penerimaan keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa kelima
formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis dapat digunakan karena
memiliki tingkat penerimaan yang hampir sama. Formulasi 561 memiliki skor
57
hedonik tertinggi dengan rata-rata penerimaan 3,9 dengan persentase 30%
menyatakan agak suka, 50% menyatakan suka, dan 20% menyatakan sangat suka.
Gambar 18. Histogram Rata-Rata Skor Hedonik Penerimaan Keseluruhan
Formulasi 561 dipilih sebagai formulasi tersukai yang didasarkan pada
parameter warna, aroma, rasa, dan penerimaan keseluruhan.Berdasarkan hasil
analisis, hanya parameter rasa asam saja yang memberikan pengaruh nyata
terhadap kesukaan panelis yaitu sampel 561. Parameter lainnya tidak memberikan
pengaruh nyata yang artinya formulasi manapun dapat dipilih karena memiliki
kisaran nilai kesukaan atau tingkat penerimaan yang relatif sama. Namun,
formulasi 561 dipilih karena formulasi ini paling disukai dibandingkan dengan
formulasi lainnya karena memiliki skor rata-rata hedonik tertinggi.
4.2. Analisis Antioksidan
komponen kimia antioksidan yaitu pengujian total fenolik dan kandungan vitamin
C. Selain dilakukan analisis antioksidan formulasi tersukai, dilakukan pula
analisis antioksidan terhadap komponen penyusun minuman fungsional yaitu
3,9 3,8
a H
e d
o n
ik P
e n
e ri
m aa
an
Kode
58
sawo, kayu manis serta jeruk nipis. Pengujian ini dilakukan untuk melihat
pengaruh komponen penyusun minuman fungsional terhadap aktivitas antioksidan
minuman fungsional tersukai.
Analisis antioksidan komponen penyusun minuman fungsional yaitu total
fenolik, vitamin C, dan aktivitas antioksidan pada sawo, kayu manis, dan jeruk
nipis, dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Kandungan Total Fenolik, vitamin C, dan Antioksidan pada Sawo, Kayu
Manis, dan Jeruk Nipis
(mg/L) (mg/100 mL) IC50 (μL/mL)
Sawo 386,25 42,24 72,04
Kayu manis 533,75 - 0,82
Kayu manis memiliki kandungan total fenolik tertinggi yaitu 533,75 mg/L,
jika dibandingkan dengan kandungan fenolik pada sawo dan kayu manis yang
sebesar 389,25 mg/L dan 398,12 mg/L (tabel 5). Kandungan total fenolik pada
kayu manis ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Yulianto et
al (2013) dengan kandungan total fenolnya yaitu sebesar 63.78 mg/L. Hasil yang
berbeda juga ditunjukkan oleh kandungan fenolik pada sawo. Kulkarni et al
(2006) menyebutkan kandungan total fenolik pada buah sawo yaitu sebesar 134,6
mg/100 g.
59
cara pemeliharaan tanaman, cara pemanenan, kematangan pada waktu panen, dan
kondisi penyimpanan setelah panen (Muchtadi, 2001).
Pengukuran total fenolik diukur secara spektrofotometri dengan
menggunakan metode Folin-Ciocalteu. Prinsip dasar metode Folin-Ciocalteu
adalah reaksi oksidasi dan reduksi kolorimetrik untuk mengukur semua senyawa
fenolik dalam sampel uji. Pereaksi Folin-Ciocalteu merupakan larutan kompleks
ion polimerik yang dibuat dari asam fosfomolibdat dan asam heteropoli
fosfotungstat yang terdiri dari air, natrium tungstat, natrium molibdat, asam fosfat,
asam klorida, litium sulfat, dan bromin (Folin dan Ciocalteu, 1944).
Senyawa fenolik bereaksi dengan oksidator fosfomolibdat dibawah
kondisi alkalis menghasilkan senyawa fenolat dan kompleks molibdenum-
tungsten berwarna biru (gambar 19) (Rorong dan Suryanto, 2010). Menurut
Singleton et al (1965), warna biru yang teramati berbanding lurus dengan
konsentrasi ion fenolat yang terbentuk, semakin besar konsentrasi senyawa
fenolik maka semakin banyak ion fenolat yang terbentuk sehingga warna biru
yang dihasilkan semakin pekat.
(Hardiana et al.,2012).
dan dihitung dalam (mg/L) berat ekuivalen asam galat (EAG).Penggunaan asam
galat sebagai larutan standar dikarenakan asam galat memiliki gugus hidroksil dan
ikatan rangkap terkonjugasi pada masing-masing cincin benzena sehingga
senyawa ini mudah bereaksi membentuk kompleks dengan reagent Folin-
Ciocalteu serta merupakan unit penyusun senyawa fenolik (Rorong dan Suryanto,
2010).
Vitamin C atau L-asam askorbat merupakan antioksidan yang larut dalam
air (aqueous antioxidant). Senyawa ini, menurut Zakaria et al (1996), merupakan
bagian dari sistem pertahanan tubuh terhadap senyawa oksigen rektif dalam
plasma dan sel. Hasil analisis menunjukkan kandungan vitamin C pada buah sawo
(tabel 5) yaitu sebesar 42,24 mg/100 mL dan pada jeruk nipis sebesar 605,4
mg/100 mL. Hasil ini berbeda jika dibandingkan dengan literatur. Kulkarni et al
(2006) menyebutkan kandungan vitamin C buah sawo yaitu sebesar 10,52 mg/100
g. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan metode pengukuran yang digunakan.
Aktivitas antioksidan dalam penelitian ini dilakukan dengan metode
metode penghambatan radikal bebas 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH).
Metode ini dipilih karena merupakan metode yang sederhana, mudah, dan
menggunakan sampel dalam jumlah yang sedikit dengan waktu yang singkat
(Damayanthi et al.,2010). Hasil pengukuran aktivitas antioksidanpada tabel 5
menunjukkan sawo memiliki IC50 sebesar 72,04 μL/mL, IC50 kayu manis sebesar
0,82 μL/mL, dan IC50 jeruk nipis sebesar 2,18 μL/mL. Aktivitas antioksidan (IC50)
buah sawo dalam penelitian ini lebih tinggi yaitu dibandingkan dengan aktivitas
61
antioksidan buah sawo dalam Kulkarni et al (2006) sebesar 87,53 μL/mL. Hasil
pengujian aktivitas antioksidan dalam penelitian ini (sawo, jeruk nipis, dan kayu
manis) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan (IC50) tergolong dalam katagori
kuat sampai sangat kuat.
Menurut Molyneux (2004), suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan
sangat kuat apabila nilai IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat apabila nilai IC50
antara 0,05-0,10 mg/ml, sedang apabila nilai IC50 berkisar antara 0,10-0,15
mg/ml, dan lemah apabila nilai IC50 berkisar antara 0,15-0,20 mg/ml.
Senyawa-senyawa fenolik telah dilaporkan mempunyai aktivitas
antioksidan karena sifat redoksnya. Senyawa fenolik berperan sebagai agen
pereduksi, pemberi hidrogen, peredam oksigen singlet, dan juga sebagai pengkelat
logam yang potensial (Kahkonen, 1999).
Dalam penelitian yang dilakukan Kusumowati et al (2012), hubungan
aktivitas antioksidan dan kadar fenolik dapat digambarkan dalam kurva korelasi
dimana korelasinya ditunjukkan dengan harga R 2 . Harga R
2 sebesar 0,631 dalam
pada aktivitas antioksidan yang dimiliki pada masing-masing ekstrak dan 36,9%
dari senyawa lain yang juga berpotensi sebagai antioksidan. Hubungan aktivitas
antioksidan dan kadar fenolik juga digambarkan dalam penelitian yang dilakukan
Javanmardi (2003) yang menunjukan hubungan antara kandungan fenolik total (x)
dengan IC50(y) fraksi atau ekstrak buah merah dengan koefisien korelasi R 2 =
0,3641. Hasil ini menunjukkan bahwa 36,41 % aktivitas antioksidan buah merah
merupakan hasil kontribusi dari senyawa-senyawa fenolik.
62
ini juga digambarkan dalam kurva korelasi pada gambar20. Hubungan antara
kandungan fenolik total (x) dan IC50 (y) dinyatakan dengan koefisien korelasi
r 2 =0,330, dengan y = -0,285x + 150,6. Hasil ini menunjukkan bahwa 33%
aktivitas antioksidan pada buah sawo, kayu manis, dan jeruk nipis merupakan
hasil kontribusi dari senyawa-senyawa fenolik.
Gambar 20.Kurva Korelasi Aktivitas Antioksidan dengan Kadar Fenolik Total
Buah Sawo, Kayu Manis, dan Jeruk Nipis
Dalam penelitian ini, aktivitas antioksidan memiliki korelasi positif dengan kadar
fenolik totalnya, dimana semakin tinggi kadar fenolik mangakibatkan semakin
besar aktivitas antioksidannya (Kusumowati, 2012).
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron atau reduktan. Senyawa
ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya
reakski oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan juga
merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat
radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif (Winarsi, 2007).
386,25; 72,04
A k
ti v
it a
s a
n ti
o k
si d
a n
I C
5 0
(μ L
/m L
EAG (mg/L)
Analisis antioksidan minuman fungsional sawo kayu manis dilakukan pada
minuman formulasi ter