Teologi Mustad’afin di Indonesia · 2020. 8. 10. · Teologi Mustad’af in di Indonesia 347 Vol....

30
Vol. 7, No. 2, Oktober 2011 Teologi Mustad’afin di Indonesia: Kajian atas Teologi Muhammadiyah Sokhi Huda Institut Keislaman K.H. Hasyim Asy’ari (IKAHA) Jombang Email: [email protected] Abstract Mustad’afin Theology in Indonesia is the new face of al-Ma’un theology initiated by the Ahmad Dahlan. It eventually accumulates with more extensive issues and involves partnerships with other parties in order to achieve its praxis strategy. The basic assumption of this theology is that the practice of worship must be directly related to social concerns, with a foundation of monotheism that manifests itself into the realm of praxis. This finally leads to the key words of “social unity” and “social rituals” which are then developed in the context of contemporary nationhood and statehood in Indonesia. Moreover, its epistemology primarily comes from: (1) Wahhabi-Salafi ideology of Rashid Rida, (2) the idea of education reform of Muhammad ‘Abduh, and (3) theology of al-Ma’un of Ahmad Dahlan. These three basic epistemologies are equipped with a significant adaptation to seven factors, in order to be accepted as a theology of liberators movement in Indonesia. The performance of Mustad’afin theology is a theology that does social defense for the following conditions: (1) oppression of faith, (2) retardation, (3) suffering of economic and social status, (4) moral suffering, and (5) the threat of theologies and the existence of Indonesia. Finally, it implies the necessity of Mustad’afin Islamic Jurisprudence to regulate the conduct of worship and social community. Furthermore, the exclusive part of Wahhabi-Salafi Islamic jurisprudence is no longer posed. Teologi Mustad’afin di Indonesia adalah wajah baru dari teologi al-Ma’un yang diprakarsai oleh Ahmad Dahlan. Teologi tersebut terakumulasi pada isu- isu yang lebih luas dan melibatkan hubungan dengan pihak lain dalam rangka untuk mencapai strategi praksisnya. Asumsi dasar dari teologi ini adalah bahwa praktik ibadah harus langsung terkait dengan masalah sosial, dengan landasan * Fakultas Dakwah IKAHA, Jl. Irian Jaya 55 Tebuireng Jombang, Telp. (0321) 861719

Transcript of Teologi Mustad’afin di Indonesia · 2020. 8. 10. · Teologi Mustad’af in di Indonesia 347 Vol....

  • Vol. 7, No. 2, Oktober 2011

    Teologi Mustad’afin di Indonesia:Kajian atas Teologi Muhammadiyah

    Sokhi HudaInstitut Keislaman K.H. Hasyim Asy’ari (IKAHA) Jombang

    Email: [email protected]

    Abstract

    Mustad’afin Theology in Indonesia is the new face of al-Ma’un theology

    initiated by the Ahmad Dahlan. It eventually accumulates with more extensive

    issues and involves partnerships with other parties in order to achieve its praxis

    strategy. The basic assumption of this theology is that the practice of worship

    must be directly related to social concerns, with a foundation of monotheism

    that manifests itself into the realm of praxis. This finally leads to the key words

    of “social unity” and “social rituals” which are then developed in the context

    of contemporary nationhood and statehood in Indonesia. Moreover, its

    epistemology primarily comes from: (1) Wahhabi-Salafi ideology of Rashid

    Rida, (2) the idea of education reform of Muhammad ‘Abduh, and (3) theology

    of al-Ma’un of Ahmad Dahlan. These three basic epistemologies are equipped

    with a significant adaptation to seven factors, in order to be accepted as a

    theology of liberators movement in Indonesia. The performance of Mustad’afin

    theology is a theology that does social defense for the following conditions: (1)

    oppression of faith, (2) retardation, (3) suffering of economic and social status,

    (4) moral suffering, and (5) the threat of theologies and the existence of

    Indonesia. Finally, it implies the necessity of Mustad’afin Islamic Jurisprudence

    to regulate the conduct of worship and social community. Furthermore, the

    exclusive part of Wahhabi-Salafi Islamic jurisprudence is no longer posed.

    Teologi Mustad’afin di Indonesia adalah wajah baru dari teologi al-Ma’un

    yang diprakarsai oleh Ahmad Dahlan. Teologi tersebut terakumulasi pada isu-

    isu yang lebih luas dan melibatkan hubungan dengan pihak lain dalam rangka

    untuk mencapai strategi praksisnya. Asumsi dasar dari teologi ini adalah bahwa

    praktik ibadah harus langsung terkait dengan masalah sosial, dengan landasan

    * Fakultas Dakwah IKAHA, Jl. Irian Jaya 55 Tebuireng Jombang, Telp. (0321) 861719

  • Sokhi Huda346

    Jurnal TSAQAFAH

    tauhid yang memanifestasikan dirinya ke dalam wilayah praksis. Hal ini akhirnya

    mengarah pada kata-kata kunci, seperti “kesatuan sosial” dan “ritual sosial”

    yang kemudian dikembangkan dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan

    kontemporer di Indonesia. Lebih lanjut, epistemologi pada teologi Mustad’afin

    utamanya berasal dari: (1) ideologi Wahhabi-Salafi Rasyid Ridha, (2) pemikiran

    reformasi pendidikan Muhammad Abduh, dan (3) teologi al-Ma’un dari Ahmad

    Dahlan. Ketiga epistemologi dasar ini dilengkapi dengan adaptasi yang signifikan

    terhadap tujuh faktor, agar dapat diterima sebagai gerakan teologi pembebas

    di Indonesia. Akhirnya disimpulkan, bahwa kinerja Teologi Mustad’afin adalah

    teologi yang melakukan pertahanan sosial untuk kondisi berikut: (1) penindasan

    iman, (2) retardasi, (3) penderitaan ekonomi dan status sosial, (4) keterpurukan

    moral, serta (5) ancaman teologi dan ancaman bagi persatuan Indonesia. Hal ini

    mengisyaratkan perlunya fiqh Islam Mustad’afin untuk mengatur perilaku ibadah

    dan sosial masyarakat. Sehingga, bagian eksklusif dari hukum Islam Wahhabi-

    salafi tidak lagi dikedepankan.

    Keywords: Teologi Mustad’afin, fikih Mustad’afin, teologi Profetik,

    teologi Pembebasan, strategi praksis.

    Pendahuuan

    Misi Islam yang strategis, sebagaimana dikutip olehAzyumardi Azra dari pandangan Nurcholis Madjid,dijelaskan dalam al-Qur’an. Menurut Madjid, “al-Qur’an

    menunjukkan bahwa risalah Islam –disebabkan oleh universalitas-nya—adalah selalu sesuai dengan lingkungan kultural apapun.”1

    Asumsi tentang universalitas dan kesesuaian Islam ini selanjutnyaakan teruji melalui dimensi-dimensi ajarannya. Sebagian daridimensi-dimensi ini adalah teologi.

    Teologi merupakan landasan yang paling mendasar untukbertindak bagi seseorang, khususnya dalam spiritualitas keber-agamaan. Dalam hal ini Kuntowijoyo menjelaskan bahwa semuaperbuatan manusia pasti dipengaruhi oleh pemikiran. Manusia tidakdapat lepas dari dunia pemikiran. Secara sadar atau tidak, dalam

    1Azyumardi Azra, “Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia” (KataPengantar) dalam Abd. A’la, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal (Jakarta: Dian Rakyat,2009), h. x.

  • Teologi Mustad’afin di Indonesia 347

    Vol. 7, No. 2, Oktober 2011

    kehidupan sehari-hari pun seseorang tidak lepas dari ide. Kesalehanspiritual dan atau sosial seseorang atau sekelompok orang pun tidaklepas dari ide teologi agamanya.2 Ini adalah asumsi teologis.

    Kaitannya dengan hal tersebut, di kalangan modernis Indonesiaterdapat perkembangan paradigma pemikiran teologis. Paradigmaberpikir seperti ini sering didasarkan pada catatan sejarah dariorganisasi massa yang diikutinya, yakni Muhammadiyah. Sumber-nya adalah teologi al-Ma>’u >n3 atau al-Ma’unisme (meminjam istilahA. Syafii Maarif)4.

    Teologi al-Ma >’u >n –dalam payung Teologi Islam5—yang digagasdan dikembangkan oleh K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammad-iyah, dipandang oleh warga Muhammadiyah dan dinilai oleh sebagi-an peneliti, seperti Deliar Noer6 dan Achmad Jainuri7, berhasil mem-bawa warga gerakan modern ini gigih dan bersemangat untuk mem-bebaskan mustad }’afi >n dari ketertindasannya. Wujud konkret darigerakan mereka adalah pendirian beberapa panti asuhan, rumahsakit, dan lembaga pendidikan. Dengan demikian, pada dataran kon-sep, teologi Mustad }’afi>n sesungguhnya merupakan istilah baru, bu-kan konsep baru, yang dikembangkan dari sumbernya, yakni teologial-Ma>’u>n sebagai identitas yang diambil dari spirit Q.S. al-Ma>’u>n [107].

    2Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), h. 189.3Boy Pradana, Era Baru Gerakan Muhammadiyah (Malang: UMM Press, 2008), h. 3-

    5. Lihat juga Ahmad Najib Burhani, “Dari Teologi Mustad’afin menuju Fiqh Mustad’afin,”Muhammadiyah Studies, 23 November 2009. Burhani menjelaskan bahwa para intelektualmuda yang tergabung dalam JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) giatmencuatkan konsep ‘the new mustad }’afi >n” ketika terjadi kemandekan “tauhid sosial” dan“gerakan anti-korupsi” pada wilayah-wilayah diskursus dan teologi, belum mewujud kewilayah fikih untuk pedoman praksis.

    4A. Syafii Maarif, “Muhammadiyah is like a big tent”, AsiaViews, Edition: 28/II/July/2005. Lihat juga pada Muhammadiyah Studies, kategori “Research & Conference,” Ahad,27 Juni 2011.

    5Wensink pada puncak kajiannya tentang teologi Islam (kredo Muslim) mengajukanpersoalan material-historis yang serius: “Is all this history or legend?” (apakah ini semuasejarah ataukah legenda?). Lihat Arent Jan Wensink, The Muslim Creed: Its Genesis and HistoricalDevel-opment (Cambridge: Cambridge University Press, 1932), 11. Hal ini memang berkenaandengan dialektika teks suci dengan tradisi dan dokumen historikal. Akan tetapi dalam kontekstulisan ini ajuan Wensinck dapat dijadikan cermin kritik bagi kredibilitas teologi Islam sebagaipenggerak seluruh amaliah praksis umat Islam.

    6Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942: East AsianHistorical Monographs (Oxford: Oxford University Press, 1973), h. 73-74.

    7Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan KeagamaanMuhammadiyah Periode Awal (Surabaya: LPAM, 2002), h. 1-2.

  • Sokhi Huda348

    Jurnal TSAQAFAH

    Teologi Mustad }’afi >n menarik untuk dikaji kaitannya dengankonteks dialektika historis perkembangan aliran-aliran Islam di Indo-nesia dan pemaknaan konsep teologis tersebut pada wilayah konkretdan praksis. Meskipun dalam kajian teologi Islam sudah terdapattipe-tipe kontemporer teologi pembebasan versi Asghar Ali Engineer(Pakistan), Farid Esack (Afrika Selatan), dan Hassan Hanafi (Mesir)tetapi kajian teologi Mustad }’afi >n ini menarik dalam konteks khasIslam Indonesia.

    Sejumlah permasalahan yang muncul dan menarik untukdiperhatikan adalah; (1) bagaimanakah background inspirasi historisteologi Mustad }’afi >n, (2) bagaimanakah perkembangan identitasteologi Mustad}’afi >n, (3) bagaimanakah epistemologi dan tipe teologiMustad }’afi >n, dan (4) bagaimanakah implikasi konseptual teologiMustad }’afi >n. Empat permasalahan ini merupakan permasalahanpokok. Selanjutnya dicoba untuk ditelusuri dan dideskripsikan posisiteologi Mustad }’afi>n dalam peta kajian teologi, khususnya dalam topikgagasan teologis yang sejenis, yakni teologi pembebasan. Untukkonteks Indonesia, menarik juga untuk dilacak eksistensi keilmuanteologi dalam struktur legalitas ilmu pengetahuan di Indonesia. Halini dimaksudkan sebagai wacana suplemen dalam makalah ini.

    Empat persoalan tersebut akan mengalami perkembangan kaladilakukan kritik terhadapnya dari perspektif yang lebih luas kaitan-nya dengan tiga hal, yakni: (1) responsibilitas sosial dalam konteksIslam Indonesia kekinian terkait dengan upaya-upaya pemecahanproblem-problem kemiskinan moral dan distorsi rahmat Islam, (2)setting posisi teologi Mustad}’afi>n dalam kajian teologi pembebasan,dan (3) perpacuan teologi sebagai ilmu yang diakui statusnya dalamsejarah perkembangan ilmu di Indonesia.

    Kritik dari perspektif pertama mengindikasikan bahwa teologiMustad }’afi >n bergerak ke wilayah pergandengan tangan antaraMuhammadiyah dan NU dalam upaya-upaya mengatasi problem-problem kemiskinan moral “korupsi” dan distorsi rahmat Islam darikelompok “Islam radikal”8. Pada kritik inilah terdapat tanda-tanda

    8Sookhdeo mengilustrasikan bahwa tindakan kelompok radikal Islam didorong olehhasrat untuk membela Islam dari kritik apapun dan menghadirkannya sebagai sesuatu yangbenar-benar positif dan mengosong-kannya dari kesalahan apapun yang ada di sepanjangsejarahnya. Ini digambarkan sebagai “membungkus pikiran dengan sorban.” Lihat PatrickSookhdeo, The Challenge of Islam to The Church and Its Mission (Three Rivers: IsaacPublishing 2008), h. 9.

  • Teologi Mustad’afin di Indonesia 349

    Vol. 7, No. 2, Oktober 2011

    bahwa persolan teologi Islam kontemporer menampilkan wajahnyasecara lebih ekspresif. Selanjutnya kritik dari perspektif keduamengindikasikan bahwa teologi Mustad}’afi >n bersinggungan denganwilayah-wilayah Protestanisme dan Sosialisme, dan ini memerlukanpenjelasan secara kritis-analitis. Sedang kritik dan perspektif ketigamengindikasikan bahwa teologi Mustad}’afi >n dalam koridor kajianIslamic Studies, untuk konteks Indonesia, memerlukan perhatianyang serius, agar wajah Islam turut memberikan sumbangan wacanayang signifikan dalam kajian teologi di Indonesia. Penampakansignifikansi ini terkait dengan perjuangan yang justru lebih banyakdidominasi oleh kaum Kristiani terhadap status formal teologi sebagaiilmu yang diakui oleh Mendikbud, karena perhatian mereka yangbesar terhadap teologi.9

    Sedang fokus kajian ini adalah sosok dan implikasi teologiMustad}’afi>n. Untuk keperluan fokus ini sejumlah data dan referensiyang dihimpun meliputi: (1) pandangan dan riset para ahli, (2) hasil-hasil muktamar, (3) artikel-artikel pada jurnal dan media massa, (4)data-data kritik yang berkembang, dan (5) fakta-fakta aktual yangterjadi. Sejumlah data dan referensi ini dianalisis secara kritis denganmenghadirkan beberapa pandangan dan perspektif yang terkait.Analisis ini bergerak ke arah temuan dengan cara penarikan darikonsep individual teologi Mustad }’afi >n ke level makro-konseptualdengan prinsip metodologis “transferability.”

    Sesuai dengan poin-poin permasalahan dan penjelasan fokusdi atas, pembahasan ini menyajikan empat hal pokok, yakni: (1)background inspirasi historis teologi Mustad}’afi >n, (2) perkembanganidentitas teologi Mustad }’afi >n, (3) epistemologi dan sosok teologiMustad}’afi >n, dan (4) implikasi konseptual teologi Mustad }’afi >n. Ke-empat poin ini membentuk sistem transformasi dari teologi tran-

    9Kaum Kristiani memperjuangkan status formal Teologi sebagai ilmu di Indonesiamelalui PERSETIA (Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia). Lembaga inididirikan sejak tahun 1963. Dengan perjuagan yang gigih dan cukup lama, akhirnya Teologidiakui secara formal dalam ensiklopedi ilmu pengetahuan di Indonesia, melalui KeputusanMenteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0359/U/1996, tanggal 24 Desember 1996.Dalam keputusan ini, ilmu Teologi diakui sebagai salah satu program studi dalam rangkaprogram pendidiikan ilmu sastra dan filsafat. Ilmu Teologi diakui sejajar dengan ilmu-ilmulain seperti ilmu sejarah, ilmu filsafat, ilmu religi, antropologi budaya, dan lain-lain. Lihat B.F.Drewes dan Julianus Mojau, Apa itu Teologi? Pengantar ke Ilmu Teologi (Jakarta: PT BPKGunung Mulia, Cet.IV, 2007), 3-4. Berkah perjuangan kaum Kristiani ini akhirnya dinikmatijuga oleh PTAI-PTAI dengan pengakuan dan pengukuhan status “Sarjana Theologi Islam”(S.Th.I) bagi lulusan Fakultas Ushuluddin.

  • Sokhi Huda350

    Jurnal TSAQAFAH

    sendental ke wilayah ritual praksis-sosial sebagai keniscayaan ladangpemaknaannya.

    Background Inspirasi Historis dan Problem Akademik

    Menurut hemat penulis, berdasarkan data-data yang berhasildijangkau, ada empat hal yang menjadi background inspirasi historisbagi gagasan untuk membidani teologi Mustad}’afi >n yang lahir dariMuhammadiyah, dengan nama lahir teologi al-Ma >’u >n. Empat halini adalah: (1) dialektika gagasan dengan tradisi keberagamaan seba-gian masyarakat muslim, (2) respons terhadap usaha-usaha kristen-isasi di Indonesia, (3) respons terhadap kecenderungan perilaku anti-keagamaan di kalangan para pemikir Indonesia, dan (4) signifikansihistoris masa-masa penting pembentukan identitas bangsa Indonesia.Keempat hal ini penulis sederhanakan penjelasannya kedalam duapoin.

    Pertama, terkait dengan hal pertama, kedua, dan ketiga di atas,Fauzan Saleh, dalam kajiannya tentang “Tren Modern dalam Diskur-sus Teologi Islam,” menjelaskan bahwa emerjensi gerakan Muham-madiyah adalah respons terhadap kebutuhan mendesak untuk mela-kukan purifikasi Islam dari pengaruh-pengaruh budaya populerlokal. Reformasi keagamaan Islam yang diperjuangkan oleh gerakanini menekankan aspek-aspek kehidupan individu dan sosial. Meski-pun demikian, perhatian utama yang diserukannya adalah isu-isupenting teologi, semisal ketidakmurnian kehidupan keagamaan, ke-tidakefisienan pendidikan keagamaan, aktivitas misionaris Kristen,dan perilaku anti-keagamaan di kalangan para pemikir Indonesia.10

    Kedua, pada skala nasional, kelahiran Muhammadiyah beradapada masa penting dan strategis bagi bangsa Indonesia. Sebab tahun1912 berada pada masa langkah-langkah pertama menuju kebang-kitan nasional (1900-1927) dalam setting historis munculnya konsepsiIndonesia (1900-1943).11 Oleh karena itulah, dapat dipahami me-ngapa Muhammadiyah tidak hanya menjadikan purifikasi Islamsebagai sasaran proyek teologis, tetapi juga respons terhadap aktivitaskristenisasi dan perilaku anti-agama di kalangan para pemikir Indo-nesia saat itu. Gerak sejarah pada saat itu akan sangat menentukan

    10Fauzan Saleh, Modern Trend in Islamic Theological Discourse in 20th Century Indonesia:a Critical Survey (Leiden-Boston-Koln: Brill, 2001), h. 2-3.

    11Tim Penerjemah Serambi, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: PT SerambiIlmu Semesta, 2008), h. 327, 352.

  • Teologi Mustad’afin di Indonesia 351

    Vol. 7, No. 2, Oktober 2011

    terhadap identitas teologi-ideologi dan masa depan Indonesia sebagaibangsa dan negara yang merdeka, berdaulat, dan mandiri.

    Kedua poin tersebut secara niscaya menjadi background inspi-rasi historis teologi al-Ma >’u >n yang menjadi titik pijak teologiMustad }’afi >n.

    Sedang problem akademik teologi Mustad }’afi>n yang bersumberdari teologi al-Ma>’u>n, sebagaimana dijelaskan oleh Syahruddin El-Fikri, adalah karena adanya pandangan bahwa umat Islam yangsampai sekarang masih mengalami ketertinggalan peradaban danbanyak dari mereka yang menjadi penyandang masalah sosial,miskin, dan bodoh. Oleh karena itu, penyelesaian masalah pokoktersebut, harus diawali dari perumusan sistem ajaran yang memadaisebagai basis teologi.12

    Atas dasar itulah Muhammadiyah sebagai gerakan dakwahamar ma’ruf-nahy munkar, sebagaimana pernyataan Burhani, ber-tanggungjawab untuk mengambil peran dalam penyelesaian masalahtersebut. Gerakan Muhammadiyah pada masa awal pendiriannya,juga dilandasi oleh kondisi ketertinggalan umat di segala bidang.Oleh karena itu, sangat beralasan jika basis teologi dengan dasar al-Qur’an surah al-Ma >’u >n [107] menjadi landasan dalam usaha me-nyelesaikan problematika umat.13 Dalam pernyataan ini terkandungbasis argumen teologi Mustad }’afi >n, yakni penyelesaian masalahpokok bagi problem-problem sosial, kemiskinan, dan kebodohanharus diawali dari perumusan sistem ajaran yang memadai sebagaibasis teologi.

    Perkembangan Identitas Teologi Mustad}’afi>n

    Sejauh penelurusan penulis, teologi Mustad }’afi >n mengalamiperkembangan identitas dari sumber aslinya sampai perkembanganteraktual pada pertengahan tahun 2011. Perkembangan ini menun-jukkan adanya perubahan orientasi teologis yang diberikan oleh parapemerhati dan kontributor, sehingga teologi Mustad }’afi>n di Indonesiamenampakkan identitasnya secara tegas.

    12Syahruddin El-Fikri, “Fikih Al-Maun; Sebuah Konsep Pembebas bagi KaumTertindas,” Republika, Minggu, 04 Juli 2010. Lihat juga artikelnya pada MuhammadiyahStudies, 4 Juli 2010.

    13Ibid.

  • Sokhi Huda352

    Jurnal TSAQAFAH

    Secara kronologis, perkembangan identitas teologi Mustad}’afi>nadalah sebagai berikut:

    a. Identitas dasar teologi Mustad}’afi>n berasal dari teologi al-Ma>’u >n(1912) dari K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah).14

    b. Cikal bakal teologi Mustad }’afi >n sesungguhnya mulai tampakpada tahun 1927 melalui usulan K.H. Mas Mansoer untukmendirikan Majelis Tarjih. Ia mengusulkan agar konsentrasiMajelis ini diarahkan untuk menyelesaikan problem-problemkesempitan pikiran dan tradisi takfi>r yang marak di berbagaidaerah.15 Substansi gagasan ini adalah penarikan keluar hege-moni ideologi eksklusif Wahhabi-Salafi dari kiprah Muham-madiyah sebagai gerakan pembebas di Indonesia.

    c. Pada Muktamar ke-43 di Banda Aceh (Juli 1995), munculgagasan “tauhid sosial” dari M. Amien Rais dalam kapasitassebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah (Periode 1995-1998).16 Gagasan ini didukung oleh Haedar Nashir17 dan masihbernuansa teologi al-Ma>’u>n.

    d. Pada tahun 2003 muncul “gerakan anti-korupsi” yang dispon-sori oleh A. Syafii Maarif (Ketua Umum PP MuhammadiyahPeriode 1998-2005), kerjasama Muhammadiyah dengan NU.18

    Dalam gerakan ini ada indikasi perkembangan ke arah pem-

    14Identitas dasar ini tampak dari pemikiran dan peran praksis para tokoh dan pemerhati,khususnya dari kalangan warga Muhammadiyah, yang disebutkan pada poin-poin selanjutnyadalam kronologi perkembangan identitas teologi Mustad }’afi>n ini. Mereka menggunakanteologi al-Maun sebagai basis interpretasinya bagi konsep-konsep.

    15Jurdi (Eds.), 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan, h. xv.16M. Amien Rais adalah ketua PP Muhammadiyah periode ke-12. Info selengkapnya

    tentang periode kepemimpinan Muhammadiyah adalah: (1) K.H. Ahmad Dahlan (1912-1922), (2) K.H. Ibrahim (1923-1934), (3) K.H. Hisyam (1935-1936), (4) K.H. Mas Mansur(1937-1941), (5) Ki Bagus Hadikusuma (1942-1953), (6) Buya A.R. Sutan Mansur (1956),(7) H.M. Yunus Anis (1959), (8) K.H. Ahmad Badawi (1962-1965), (9) K.H. Faqih Usman(1968), (10) KH. AR Fachruddin (1971-1985), (11) K.H. A. Azhar Basyir, M.A. (1990-1995), (12) Prof. Dr. H.M. Amien Rais (1995-1998), (13) Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Maarif(1998-2005), (14) Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin (2005-2015). Lihat Muhammadiyah Studies(http://muhammadiyahstudies blogspot.com), pada “List of Leaders”.

    17Haedar Nashir, “Perspektif Tauhid Sosial untuk Pemberdayaan Masyarakat danUswah Hasanah dalam Hidup Bermuhammadiyah”. Dalam tulisan ini Nashir menjelaskankonsep tauhid sosial dengan cakupan: (1) ide dasar dari konsep atau pemikiran tauhid sosial,(2) tauhid sosial ditinjau dari beberapa perspektif, dan (3) kaitan tauhid sosial dengan realitaskehidupan umat dalam berbagai dimensinya terutama yang menyangkut aspek aktualisasinya.

    18Lihat “NU dan Muhammadiyah Sepakat Berantas Korupsi,” dalam Tempo Interaktif,Jakarta, 14 Oktober 2003.

  • Teologi Mustad’afin di Indonesia 353

    Vol. 7, No. 2, Oktober 2011

    bentukan teologi Mustad}’afi>n, karena konsentrasi teologi ber-kembang ke skala yang lebih luas menyangkut sebagianproblem krusial bangsa dan negara Indonesia.

    e. Pada tahun 2003 JIMM menggagas istilah “the New Mustad}-’afi>n” bersamaan dengan kritik atas distorsi praksis teologi al-Ma >’u >n serta ketidakefektifan gagasan “tauhid sosial” dan“gerakan anti-korupsi” sebagaimana kritik Burhani.19

    f. Pada wilayah praksis teologi al-Ma>’u >n, Moeslim Abdurrahman(Direktur al-Maun Institute, Jakarta)20 menggagas teologi Trans-formatif. Istilah “teologi” dan “transformatif” dalam gagasanini dikritik oleh Kuntowijoyo. Sebagai alternatifnya, Kunto-wijoyo menggagas “ilmu sosial Profetik.”21 Gagasan dan kritikini dalam hemat penulis, berorientasi pada manifestasi teologial-Ma >’u >n pada wilayah praksis dengan model participatoryaction (pemberdayaan), lebih jauh daripada sekedar bantuan,tunjangan, atau pelayanan sosial kepada kaum Mustad }’afi >n.Selanjutnya pada gagasan “ilmu sosial Profetik” Kuntowijoyo,“Ilmu” dapat menjadi alternatif bagi “teologi” ketika keduanyadipahami secara lebih luas. Di satu pihak, teologi dipahamibukan sebagai sekumpulan doktrin tentang masalah-masalahketuhanan saja, tetapi juga dipahami sebagai keinginan menyi-

    19Lihat Ahmad Najib Burhani, “Dari Teologi Mustad’afin menuju Fiqh Mustad’afin,”Muhammadiyah Studies, 23 November 2009.

    20Moeslim Abdurrahman dalam kapasitas sebagai Direktur al-Maun Institute, aktifmenyebarkan ide-ide teologi transformatifnya dan mengaitkannya dengan format gerakandakwah. Diantara data untuk hal ini, lihat Abdurrahman, “Dakwah Pemberdayaan,” dalamSuara Muhammadiyah Edisi Khusus Muktamar Satu Abad, No.13/Th. ke-95, 19 Rajab-3Syakban 1431 H/1-15 Juli 2010, 64-65. Pada artikel ini Abdurrahman, dengan kapasitasnyatersebut, menekankan ulasannya pada spirit Q.S. al-Maun dalam konsep dakwahpemberdayaan yang dimaksudkannya.

    21Istilah “teologi” dianggap oleh Kuntowijoyo membingungkan dan kurang cocokuntuk diterjemahkan. Jika digunakan istilah “teologi”, maka implikasinya adalah munculnyateologi lain seperti teologi pembebasan, teologi lingkungan, dan lainnya. Sedang pemahananumat tentang permasalahan teologi merupakan sesuatu yang tetap (tidak berubah), olehkarena itu Kuntowijoyo lebih cenderung menggunakan istilah “ilmu sosial.” Dalamkonsepnya “Ilmu Sosial Profetik” Kuntowijoyo menetapkan bahwa bagi masyarakat Islam,transformasi sosial dilaksanakan atas dasar cita-cita etik dan Profetik yang diserap dari misihistoris Islam sebagaimana terkandung dalam Q.S. Ali-Imran ayat 110: “Kamu adalah umatyang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegahdari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli Kitab beriman, maka itu lebihbaik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” Lihat Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu (Jakarta: Teraju-Mizan, 2004), h.88-91; dan Muslim Tanpa Masjid (Bandung: Mizan, 2001), h. 102-103.

  • Sokhi Huda354

    Jurnal TSAQAFAH

    kapi realitas empiris menurut perspektif ketuhanan.22 Kandu-ngan maknanya adalah teologi merupakan cara menafsirkanrealitas empiris, oleh karenanya bersifat dinamis. Di lain pihak,ilmu dipahami sebagai tidak bebas nilai tetapi mengandungaspirasi “transformasi sosial” dalam bentuk cita-cita idealprofetik.

    g. Pada Muktamar ke-45 Muhammadiyah di Malang (Juli 2005),Muhadjir Effendi berikhtiar memasukkan unsur teologi pem-bebasan melalui rekonstruksi makna anak yatim dari statusdeterministik (takdir) ke kondisi ketertindasan internal mau-pun eksternal.23 Gagasan Effendi ini berfungsi sebagai pene-gasan isi bagi perkembangan identitas teologi Mustad}’afi>n, ka-rena sebelumnya, yatim masih dimaknai sebagai status deter-ministik.

    h. Gerakan moral dan gerakan lain, selain gerakan anti-korupsitersebut di atas, yang bernafaskan respons terhadap problem-problem krusial bangsa dan negara Indonesia, di antaranyatampak mencuat melalui kepeloporan A. Syafii Maarif. Kepe-loporan ini dilanjutkan pada pembentukan institusi MaarifCenter, selanjutnya Maarif Institute for Culture and Humanity.Maarif Center telah melahirkan Jaringan Intelektual MudaMuhammadiyah (JIMM) yang menggagas konsep “the NewMustad }’afi >n”.

    Atas dasar penjelasan di atas, perkembangan identitas teologiMustad }’afi >n berasal dari teologi al-Ma >’u >n Ahmad Dahlan, pendiriMuhammadiyah. Teologi al-Ma>’u>n ini merupakan manifestasi darispirit Q.S. al-Ma’un [107]. Spirit ini berintikan pembelaan dan keber-pihakan kepada kaum Mustad}’afi>n. Bahkan dalam spirit ini dinyata-kan bahwa ketidakberpihakan kepada kaum Mustad}’afi>n merupakanpendustaan terhadap agama. Dengan demikian identitas teologiMustad }’afi >n memperoleh landasan dari ajaran Islam, khususnya padaQ.S. al-Ma’un yang dijadikan identitas teologis gerakan oleh Muham-madiyah. Lebih jauh, identitas teologi Mustad }’afi >n memperolehreferensi dari hadis Nabi saw: “innama > tuns }aru>n bi d }u’afa >ikum”24 (se-

    22Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, h. 89.23Lihat ulasan El-Fikri, “Fikih al-Maun; Sebuah Konsep Pembebas bagi Kaum

    Tertindas,” Republika, Minggu, 04 Juli 2010.24Abu Na’i >m al-As}baha >ni, Ma’rifat al-S}ah}a >bah li Abi > Na’i>m al-As}baha>ni, hadis nomor

    577 (dari Abi ’Ubaydah bin al-H }arra >j), Juz II, 138. Lihat juga, Ja >mi’ al-Ah}a>di >th, Juz 9, h. 489.

  • Teologi Mustad’afin di Indonesia 355

    Vol. 7, No. 2, Oktober 2011

    sungguhnya kamu sekalian ditolong karena orang-orang yang lemahdi antara kamu). Sumber identitas dari al-Qur’an dan hadis inisesungguhnya juga bersubstansi ajaran tentang teologi Mustad}’afi>n.

    Sebagai peneguhan identitas teologi Mustad }’afi >n, istilah“Mustad }’afi >n” digunakan secara meyakinkan untuk mengeks-presikan substansi teologi al-Ma>’u >n dalam berbagai keperluan secaratopikal oleh para pemerhati, tokoh, dan cendekiawan, bahkan dalamtanfidz keputusan Muhammadiyah.

    Epistemologi dan Teologi Mustad}’afi>n

    Epistemologi utama teologi Mustad}’afi>n adalah teologi al-Ma>’u>nyang diberikan olah Ahmad Dahlan dalam kapasitasnya sebagaipendiri Muhammadiyah. Kaitannya dengan hal ini adalah perlunyadilacak pilar-pilar epistemologi Muhammadiyah yang melahirknteologi Mustad}’afi>n. Mengapa pelacakan ini penting dilakukan? Argu-mentasinya adalah bahwa pilar-pilar epistemologi tersebut secaraniscaya turut menentukan corak teologi Mustad}’afi>n.

    M. Dawam Raharjo menjelaskan, bahwa berdirinya Muham-madiyah itu dilatar-belakangi oleh tiga pemikiran pembaruan. Per-tama, pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab—yang kemudianberkembang menjadi Wahhabisme—yang berorientasi kepada pe-murnian ajaran-ajaran Islam dari pengaruh-pengaruh budaya lokal,yang melahirkan TBC (takhayul, bid’ah, dan churafat).25

    Penjelasan Raharjo tersebut diperkuat oleh M. Din Syam-suddin (Pimpinan Pusat Muhammadiyah) dengan pernyataannyasebagai berikut:

    Secara teologis, Muhammadiyah kadang-kadang menyebut dirisebagai gerakan yang secara teologis berada pada kategori salafi >yahatau salafisme. Hal itu juga yang menjadi landasan KHA. Dahlandalam pendirian Muhammadiyah, salah satu referensinya adalahTafsi>r al-Mana >r dari Rasyid Ridla, tokoh salafiyah abad 20. Itupun jugaada referensi lain, dan pada bidang-bidang tertentu bersatu dengan

    Dalam al-Qur’an, kata “du’afa>’” terdapat pada surat al-Baqarah: 266. pada ayat ini, “du’afa>’”adalah orang-orang yang tertindas secara struktural oleh para penguasa. Sedang kata“mustad}’afi>n” digunakan satu kali, yakni pada surat al-Nisa’ [4]: 97. Pada ayat ini, “mustad}’afi>n”adalah orang-orang yang lemah akibat perbuatan zalimnya terhadap dirinya sendiri, sehinggamereka memperoleh tempat di Jahannam.

    25M. Dawam Rahardjo, Satu Abad Muhammadiyah: Mengkaji Ulang Arah Pembaruan,ed. Taufik Hidayat dan Iqbal Hasanuddin (Jakarta: Paramadina & LSAF, 2010), 2-16. Lihatjuga Jurdi (Eds.), 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan, h. 15-16.

  • Sokhi Huda356

    Jurnal TSAQAFAH

    gerakan Salafiyah. Tapi ketika muncul gerakan salafi sekarang ini, yaitugerakan yang cara berpakaiannya harus memakai jubah, di atasmatanya memakai celak, celananya di atas tumit, tata cara shalatnyaberbeda, dan jumlah variannya juga banyak. Apakah Muhammad-iyah bagian dari salafi yang seperti ini?

    Ada lagi titik-titik kategoris salafi lain yang juga tampil di Indonesia,sehingga kita sadar bahwa varian Islam Indonesia itu sangat banyak.Ketika saya ditanya “Apa Muhammadiyah itu salafi?”, saya jawab:“Ya, Muhammadiyah salafi juga”. Ada lembaga luar negeri yang tidakmau bekerja sama dengan kita, kecuali di dalam berita acara ditulisbahwa Muhammadiyah adalah gerakan yang berpegang pada aqidahsalafi, yaitu salafus-saleh. Saya juga bilang “Ya”, tapi mungkin kitasadari salafi-nya, yaitu salafi tengahan.26

    Dari dua penjelasan tersebut di atas, jika dilakukan pelacakanlebih jauh, istilah Wahhabi-Salafi berasal dari gerakan Wahhabi ArabSaudi yang berkolaborasi dengan gerakan Salafi di Mesir. Karenasemangat ideologis dan substansi ajaran kedua gerakan ini sama,maka keduanya menyatu dalam satu atribut gerakan, yakniWahhabi-Salafi.27

    Kedua, pilar epistemologis Muhammadiyah dari Muhammad‘Abduh. Dalam hal ini Raharjo mengemukakan bahwa Muhammad-iyah, seperti dikatakan oleh Hamka, diilhami oleh pemikiranpembaruan Islam yang dilancarkan oleh Muhammad Abduh, yanglebih menekankan modernisasi pemikiran dan pendidikan, terutamapada penerimaan terhadap ilmu pengetahuan Barat yang kemudiandikembangkan melalui jalur pendidikan. Sejak saat itu Muhammad-iyah berkembang menjadi lembaga pendidikan yang sangat luas.28

    Ketiga, pilar epistemologis Muhammadiyah dari K.H. AhmadDahlan berupa teologi al-Ma >’u >n. Raharjo melanjutkan catatannya,bahwa sebenarnya Muhammadiyah itu berkembang karena bertolakdari pandangan teologis dari Kiai Dahlan sendiri, yaitu penafsiran

    26M. Din Syamsuddin, “Muhammadiyah dan Dialog Pemikiran”, dalam http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=92 (22/04/2008), diakses 29-4-2011.

    27Lihat Roel Meijer, Global Salafism: Islam’s New Religious Movement (London: C.Hurst Company, 2009), 4, 18. Tokoh-tokoh yang memberikan kontribusi terhadap formasiSalafism sebagai doktrin adalah Ahmad bin Hanbal (780-855 M) dan Taqiy al-Din ibnTaymiyah (1263-1328 M), dan dipertegas dalam Wahhabism oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (1703-1792 M). Wahhabism merupakan gerakan reformasi abad ke-18 di Najd,sentral Arab.

    28Rahardjo, Satu Abad Muhammadiyah, h.2.

  • Teologi Mustad’afin di Indonesia 357

    Vol. 7, No. 2, Oktober 2011

    dari surat al-Ma >‘u >n yang mengandung masalah tanggung jawabsosial. Pandangan Kiai Dahlan mengenai tauhid, adalah Tauhid Sosial–meminjam istilah Amien Rais—bermula dari seringnya dia melaku-kan pengajian tafsir yang membahas tidak lebih dari 17 ayat sajayang semuanya dipandang sentral berkaitan dengan tauhid. Pem-baruan teologi tauhid inilah, yang menurut hemat Raharjo berbedadengan tauhid Wahhabisme yang bersifat fundamantalis-puritan.

    Pada bagian pemikiran Raharjo tersebut dapat ditemui adanyapertimbangan terhadap paham kebangsaan dan tradisi lokal, sebagai-mana yang disikapi secara akrab –bukan hanya fleksibel—olehNahdhatul Ulama’, untuk mereformulasi jati diri gerakan Muham-madiyah agar signifikan terhadap tuntutan perkembangan, khusus-nya untuk konteks Indonesia. Dengan demikian corak teologiMustad}’afi>n Muhammadiyah pun pada dinamika kesejarahan tidakdapat menafikan pertemuannya dengan tuntutan adaptasi terhadapperkembangan paham kebangsaan dan corak tradisi lokal. Peneka-nan lebih lanjut oleh penulis, terkait dengan hal ini, adalah bahwaIslam murni (pure Islam) pasca Nabi SAW merupakan utopia. Corakideologi Wahhabisme yang pada tahap-tahap awal dipaksakan olehMuhammadiyah karena penetrasi idealisme teologis gerakannya,pada giliran-giliran selanjutnya ternyata disadarkan oleh pentingnyasignifikasi adaptasi terhadap paham kebangsaan Indonesia, tradisilokal, perkembangan budaya, image peradaban modern, faktor eko-nomi organisasi, dinamika politik, dan faktor-faktor lain yang sudahmuncul (semisal kritik keilmuan modern dan kontemporer) danyang mungkin akan muncul.

    Pada dataran praksis, teologi Mustad}’afi>n mewujud kedalambentuk-bentuk pelayanan sosial dan bantuan sosial berupa poliklinik,rumah sakit, dan panti asuhan. Hal ini memang sangat ditekankanoleh K. Dahlan sebagai manifestasi teologi al-Ma >’u >n-nya. Dalam halini, PP Muhmmadiyah menjelaskan:

    Gerakan Jama’ah berusaha menggugah kembali sikap hidup KHADahlan pada waktu itu, melancarkan gerakan tajdidnya, gerakanpembaharuan. KHA Dahlan memberikan contoh, bagaimana seorangmuslim bersikap terbuka, suka menerima dan mempertimbangkanpendapat orang lain. Tanpa ragu-ragu beliau mempraktikkan sistimpendidikan cara ‘barat’, kepanduan, poliklinik-poliklinik, rumah sakit,panti asuhan. Kawan-kawan beliau tidak hanya terbatas ‘orang-orang kita’, tetapi juga yang beragama Nasrani, yang Cina, ya golong-an priyayi, ya golongan orang kebanyakan. Anggota Muhammadiyah

  • Sokhi Huda358

    Jurnal TSAQAFAH

    makin hari makin bertambah; ada priyayinya, ada Cinanya, adanasionalisnya, dan tidak sedikit kalangan yang tergolong have not,golongan miskin, buruh batik, pekerja kasar yang dengan bermuham-madiyah menjadi terangkat status sosialnya.29

    Dengan demikian, teologi Mustad }’afi >n, sebagai wajah baruteologi al-Ma>’u>n, adalah teologi yang bermaksud melakukan pem-belaan sosial dari kondisi-kondisi: (1) ketertindasan akidah, (2) keter-belakangan/ketertinggalan, (3) penderitaan ekonomi dan statussosial, (4) penderitaan moral, dan (5) ancaman teologi-ideologi daneksistensi Indonesia sebagai bangsa dan negara berfalsafah Pancasila.Teologi ini ditegakkan di atas prinsip tauhid yang diterjemahkansecara niscaya kedalam wilayah praksis sosial. Prinsip tauhid inimemberikan identitas “tauhid sosial.” Sedang wilayah praksis sosialmemberikan identitas “ritual sosial”.

    Perubahan wajah teologis tersebut sesungguhnya merupakanbagian dari dinamika teologi yang terjadi di Muhammadiyah, orga-nisasi yang menjadi sumber kelahiran teologi Mustad }’afi>n. Hal inidapat dilihat pada pernyataan Muhsin Haryanto ketika meresponsgejala/varian-varian di kalangan warga Muhammadiyah (IslamPuritan, Dahlanis, Neo-Tradisionalis, dan Neo-Sinkretis)30, sebagaiberikut:

    Untuk memahami gejala ini, menarik apa yang ditemukan olehFauzan Saleh (Saleh, 2004) ketika dia menulis –pada sebagian diser-tasinya– tentang /////di kalangan Muhammadiyah. Dia katakan,meskipun secara institusional Muhammadiyah menyatakan dirinyamerupakan bagian dari kelompok Ahl al-Haqq wa al-Jama’ah (Yusuf,1995: 7), namun demikian pernyataan resmi tersebut tidak seluruh-nya mencerminkan kecenderungan umum anggota, simpatisan danbahkan para Tokoh Muhammadiyah. KHA Dahlan –secara teologis–tidak bisa disamakan begitu saja dengan murid-murid dan parapengikutnya pada waktu itu, apalagi pada masa-masa selanjutnya.

    29Badan Pembinaan Kader PP Muhammadiyah, Tuntunan Praktis Pelaksanaan GerakanJama’ah (Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 1977), h. 12-13.Lihat juga Achmad Jainuri,Muhammadiyah; Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal Abad Keduapuluh (Surabaya:Bina Ilmu, 1990), h. 51-56.

    30Mulkhan menjelaskan, terdapat empat varian masyarakat Muhammadiyah, yaitu:(1) Islam murni (kelompok al-Ikhlas/puritan), (2) Islam murni yang toleran terhadap praktikTBC (kelompok Kiai Dahlan/Dahlanis), (3) Islam neo-tradisionalis (kelompok MUNU,Muhammadiyah-NU), dan (4) Islam neo-sinkretis (kelompok MUNAS, Muhammadiyah-Nasionalis). Lihat Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: YayasanBentang Budaya, 2000), h. 75.

  • Teologi Mustad’afin di Indonesia 359

    Vol. 7, No. 2, Oktober 2011

    Begitu juga para penerusnya hingga Buya A. Syafii Maarif.31

    Selanjutnya untuk keperluan epistemologi teologi Mustad}’afi >nini niscaya perlu ditelusuri visi, misi, usaha, dan prinsip pelaksananprogram Muhammadiyah. Pertama, visi idealnya adalah terwujud-nya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Kedua, misi idealnyaadalah: (1) menegakkan Tauhid yang murni berdasarkan al-Qur’andan al-Sunnah, (2) menyebarluaskan dan memajukan ajaran Islamyang bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang s }ah}ijh}ah/maq-bu >lah, (3) mewujudkan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga,dan masyarakat. Ketiga, prinsip pelaksanaan programnya adalah:(1) ketauhidan, (2) kerahmatan, (3) kekhalifahan, (4) kerisalahanamar makruf-nahy munkar, (5) kemaslahatan, (6) kemajuan, (7)rasionalitas dan keilmuan, (8) kreatifitas lokal dan desentralisasi pro-porsional, (9) fleksibilitas, efektivitas, dan efisiensi, dan (10) hukumdan keadilan.32 Sedang kaitannya dengan penekanan pada teologiMustad }’afi >n dinyatakan dengan “mengaplikasikan konsep-konsepgerakan seperti implementasi Teologi/Fikih al-Ma >’u >n dan modelpemberdayaan masyarakat lainnya yang terpadu dengan sistemgerakan Muhammadiyah,” (poin pertama dari 15 poin programpengembangan “bidang pemberdayaan masyarakat”).33

    Terkait dengan misi Muhammadiyah di atas, menarik untukdipertimbangkan pemikiran Haedar Nashir tentang watak dan ka-

    31Muhsin Haryanto, “Perkembangan Pemikiran Teologis dalam Muhammadiyah,”Suara Muhammadiyah, Jumat, 20 Mei 2005.

    32Lihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tanfidz Keputusan Muktamar Satu AbadMuhammadiyah (Muktamar Muhammadiyah Ke-46), di Yogyakarta, 20-25 Rajab 1431 H/3-8 Juli 2010 M (Jakarta: PP Muhammadiyah, September 2010), h. 44-46. Pada Tanfidz Keputusanini dijelaskan juga 14 poin usaha Muhammadiyah sebelum penjelasan tentang prinsippelaksanaan programnya.

    33Ibid. Pada tanfidz ini Muhammadiyah menetapkan program-program pengembanganyang dikelompokkan kedalam dua kelompok; (1) program umum persyarikatan dan (2) programperbidang persyarikatan. Sedang “bidang pemberdayaan masyarakat” merupakan programkedelapan pengembangan program perbidang. Rinciannya adalah bidang-bidang: (1) tarjih,tajdid, dan pemikiran Islam, (2) tabligh, (3) pendidikan, iptek, dan litbang, (4) perkaderan, (5)kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, (6) wakaf, (7) ekonomi dan ZIS (zakat, infaq, shadaqah),(8) pemberdayaan masyarakat, (9) lingkungan hidup, (10) seni budaya dan olahraga, (11)pustaka dan informasi, (12) hukum dan hak asasi manusia, (13) hikmah dan kebijakan publik,(14) pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, dan (15) hubungan dan kerjasama luarnegeri. Sedang pengembangan program umum meliputi enam program, yakni: (1) konsolidasiideologis, (2) konsolidasi kelembagaan, (3) pengembangan kemitraan, (4) pemberdayaananggota dan kader, (5) pemberdayaan keluarga, dan (6) partisipasi kebangsaan.

  • Sokhi Huda360

    Jurnal TSAQAFAH

    rakter dasar Muhammadiyah dalam bukunya “MuhammadiyahGerakan Pembaharuan”. Dalam buku ini Nashir menjelaskan bahwadua watak dan karakter dasar Muhammadiyah, yakni: (1) Muham-madiyah sebagai gerakan yang mengembangkan teologi amal dan(2) Muhammadiyah sebagai gerakan purifikasi iman. Watak pertamaditeladani dari pendiri Muhammadiyah, Kiai Haji Ahmad Dahlan,yang sering disebut man of action, bukan man of thought. Setiap amal-an yang dilakukannya selalu didasari oleh semangat teologis. Ketaja-man perenungan dan kemampuannya menginterpretasikan tekssebagaimana kebutuhan zaman merupakan manifestasi pem-baharuannya. Spiritualitas inilah yang pada tahap-tahap selanjutnyamelahirkan berbagai amal usaha Muhammadiyah (AUM). Watakkedua, selain memurnikan akidah dari syirik, khurafat, dan takhayul,juga memberikan perhatian terhadap praktik pelaksanaan ibadahseperti tata ulang arah kiblat, shalat hari raya di tanah lapang, danlain-lain.

    Pada akhirnya, secara ringkas, pilar-pilar epistemologi teologiMustad’afi >n tersebut, dilanjutkan dengan dimensi-dimensinya,divisualisasikan kedalam dua gambar di bawah ini.

    Gambar 1. Bagan Pilar-Pilar Epistemologi Teologi Mustad }’afi >n}} }} >> >>

    Signifikansi Adaptasi

    Teologi Mustad’afi >> >>n (Wajah Baru Teologi

    al-Ma >> >>’u >> >>n)

    Ideologi Wahhabi-Salafi dari Rashi>d Rid}a> (Mesir)

    Pemikiran Pembaruan Pendidikan Islam dari

    Muhammad ‘Abduh (Mesir)

    Teologi al-Ma>’u >n dari K.H. Ahmad Dahlan

    Paham Kebangsaan Indonesia

    Perkembangan Budaya

    Kritik Realitas dan Keilmuan

    Kritik Keilmuan Modern dan Kontemporer

    Dinamika Politik

    Faktor Ekonomi Organisasi

    Image Peradaban Modern

    Tradisi Lokal Proses Penyadaran

    Diri

    Background Inspirasi Historis 1. Dialektika gagasan dengan tradisi keberagamaan

    masyarakat 2. Respons terhadap usaha-usaha kristenisasi di

    Indonesia 3. Rrespons terhadap kecenderungan anti-keagamaan

    perilaku di kalangan para pemikir Indonesia 4. Signifikansi historis masa-masa penting

    pembentukan identitas bangsa Indonesia

  • Teologi Mustad’afin di Indonesia 361

    Vol. 7, No. 2, Oktober 2011

    Gambar 2. Bagan Dimensi, Spirit, dan Karakteristik (Sifat)Teologi Mustad }’afi >n

    }} }} >> >>

    Teologi Mustad’afi >> >>n

    Ideologi Wahhabi-Salafi dari Rashi>d Rid}a>

    (Mesir)

    Pemikiran Pembaruan Pendidikan Islam dari

    Muhammad ‘Abduh (Mesir

    Teologi al-Ma>’u >n dari K.H. Ahmad

    Dahlan

    Dimensi Keyakinan (Kredo) Ekslusif

    Dimensi Modernisme Pendidikan

    Dimensi Tauhid Sosial

    Spirit Ideologis Spirit Metodis/Strategis Spirit Pembebasan

    Sifat Salafi Eksklusif Sifat Rasional Sifat Praksis

    Pada masa awal kelahiran dan pengembangan Muhammad-iyah, teologi al-Ma>’u >n memainkan peran sepenuhnya untuk mengisiwilayah praksis yang mengendalikan ketiga dimensi tersebut. Padamasa tersebut teologi al-Ma >’u >n mengedepankan puritanisme bagisarana ibadah serta tradisi lokal dan keberagamaan yang ditujukankepada aliran Islam lainnya. Akibatnya, tradisi takfi>r, yang diberikanoleh teologi Wahhabi-Salafi, sering mewarnai aktivitas dakwah teo-logi al-Ma>’u>n. Akan tetapi mulai tahun 1927 (15 tahun sejak pendirianMuhammadiyah), pada saat K.H. Mas Mansoer mengusulkan pen-dirian Majelis Tarjih, ia mengusulkan agar konsentrasi Majelis inidiarahkan untuk menyelesaikan problem-problem kesempitan piki-ran dan tradisi takfi >r itu yang marak di berbagai daerah.34 Di sinisesungguhnya mulai dapat ditemui adanya indikasi koreksi diriterhadap hegemoni teologi Wahhabi-Salafi yang dipandang kontra-produktif bagi gerakan pembebas Muhammadiyah di Indonesia.Dengan demikian, cikal bakal teologi Mustad}’afi>n sebagai corak baruteologi al-Ma>’u >n sudah mulai tampak dari usulan K.H. Mas Mansoertersebut.

    Implikasi Konseptual Teologi Mustad}’afi>n

    Tidak dapat dipungkiri, bahwa aspek hukum merupakanwajah terdepan dalam keberagamaan karena bersentuhan langsung

    34Jurdi (Eds.), 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan, h. xv.

  • Sokhi Huda362

    Jurnal TSAQAFAH

    dengan pengaturan perilaku ibadah pokok dan sederet perilaku non-pokok lainnya baik bagi konteks individu maupun sosial. Hal inilahyang pada realitasnya dialami oleh teologi Mustad}’afi >n. Oleh karenaitu ia memandang dirinya memerlukan fikih yang disebut fikihMustad}’afi >n. Ungkapan lain yang menjelaskan fikih Mustad}’afi>n inidapat ditemui dari penjelasan Abdul Munir Mulkhan tentang “EtikaWelas Asih”35 dan “Etos Pembaharuan Kiai Ahmad Dahlan.”36

    Mulkhan menjelaskan bahwa gerakan kemanusiaan KiaiAhmad Dahlan yang berbasis ke-welas asih-an merupakan nilai dasardari spirit profetik. Spirit ini merupakan kekuatan yang meng-gerakkan seseorang melakukan tindakan sosial membela sesamayang dapat menandingi tesis Darwinisme yang mengandalkan ke-kuatan persaingan (struggle of the fittest). Dalam hemat Mulkhan,nilai fungsional-pragmatis welas asih (spirit profetik) memperolehruang dalam kritik surat al-Ma >’u >n pada praktik ibadah yangmengabaikan kepedulian terhadap anak yatim dan fakir miskin.37

    Selanjutnya fikih al-Ma>’u>n dijelaskan oleh Syahruddin El-Fikridengan menghadirkan pandangan dari para ahli.38 MenurutMuhadjir Effendy (rektor Unmuh Malang), di dalam sistematikafikih al-Ma>’u >n yang disepakati Munas Tarjih, ada kerangka amal al-Ma >’u >n, berupa penguatan dan pemberdayaan kekayaan fisik, moral,spiritual, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sementara itu pilar amalal-Ma >’u >n terdiri atas rangkaian berkhidmat kepada yang yatim,miskin, mewujudkan nilai-nilai ibadah (shalat), memurnikan niat,menjauhi riya, dan membangun kemitraan yang berdayaguna.

    Pada bagian lain, Muhadjir Effendy, mengatakan, bahwa yatimdalam al-Qur’an seharusnya tidak lagi dimaknai sebagai orang yang

    35Abdul Munir Mulkhan, Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan(Jakarta: PT Kompas Media Nusatara, 2010), h. 1-9.

    36Mulkan, “Etos Pembaharuan Kiai Ahmad Dahlan,” Majalah Suara Muhammadiyah,Edisi Khusus, Nomor 01/Th. Ke-95, 1-15 Januari 2010, 40-42. Kaitannya dengan etospembaruan ini, Haedar Nashir mengungkapkan bahwa dalam Muhammadiyah terdapat duaetos, yakni (1) etos keilmuan (kemajuan) dan (2) etos pembaruan (tajdid). Etos keilmuandimiliki oleh Muhammadiyah yang menjadi gerakannya dalam usaha mengatasi persolanumat dengan pemanfaatan teknlogi dan pengembangan sumber daya manusia. Sedang etostajdid merupakan sikap setelah mengetahui dan cara merespons realitas. Lihat http://profetik.wordpress.com/2007/09/07/etos-profetis-upaya-mewujudkan-kebudayaan-ilmu-dalam-ikatan, upload: 7 September 2007, akses: 27 Juli 2011.

    37Mulkhan, Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan, h. 2.38El-Fikri, “Fikih al-Maun; Sebuah Konsep Pembebas bagi Kaum Tertindas,” Republika,

    Minggu, 04 Juli 2010.

  • Teologi Mustad’afin di Indonesia 363

    Vol. 7, No. 2, Oktober 2011

    kehilangan ayah atau kedua orang tuanya, namun orang yang tidakmampu lagi dalam memaksimalkan potensi dirinya untuk berdaya.Mereka dapat saja masih memiliki kedua orang tua namun tidakmampu mengembangkan kreativitas untuk maju.39 Di sini terjaditransformasi pemaknaan “yatim” dari “status deterministik” ke “kon-disi’ sebagai mustad}’af.

    Pada ranah konseptual, fikih Mustad}’afi>n itu, menurut penulis,itu bagus, tetapi pada ranah praksis tidak seindah itu. Hal ini tampakpada kritik Sufyanto sebagai berikut:

    Kenyataan bahwa bersekolah dan berobat di Muhammadiyah mahal,tentu akan terjadi pengingkaran pada teologi gerakan yang diamanat-kan KH Ahmad Dahlan. Lalu di mana keberpihakan Muhammadiyahterhadap janda-janda miskin dan anak-anak yatim? Terlebih lagidari kalangan aktivis Muhammadiyah sendiri. Bila ini dibiarkan,implikasi lain tentu Muhammadiyah akan kehilangan generasikarena putusnya kaderisasi dari dalam.

    Potret bopeng persyarekatan ini tentu bertolak belakang dengantujuan KH Ahmad Dahlan saat mendirikan Muhammadiyah, yangberporos pada teologi al-Ma >’u >n. Sebuah gerakan yang berpihak padaanak yatim dan orang miskin, yang selalu tertindas oleh zaman arusbesar sistem sosial. Teologi al-Ma >’u >n tak berpihak pada kapital danpasar yang mendewakan akumulasi modal yang menempatkan labamenjadi pertimbangan utama.40

    Kritik lain diberikan oleh Zuly Qodir terhadap praktik teologial-Ma>’u >n terkait dengan kasus “Lumpur Lapindo Porong” sebagaiberikut:

    Sesungguhnya Muhammadiyah belum terlihat jelas bedanya denganormas-ormas lainnya, yang masih menunggu untuk kemudian ber-suara, bahkan dalam konteks lumpur Lapindo, NU Jatim lebih dahulumemberikan sikap kerasnya atas lambannya negara merespons pen-deritaan masyarakat Porong dan sekitarnya. Mungkin karena NUJatim merasa lebih dekat secara emosional dengan masyarakat Po-rong, tetapi bagaimana pun Muhammadiyah juga bukan ormas yangseharusnya merasa jauh dengan masyarakat Porong, yang pen-duduknya mayoritas berafiliasi ormasnya adalah NU. Disinilah pen-tingnya pembongkaran sekat teologi yang eksklusif-menjadi teologiinklusif-transformatif, sehingga memihak masyarakat tidak didasar-

    39Ibid.40Sufyanto, “Menyegarkan (Nalar) Muhammadiyah,” Harian Surya, 8 Oktober 2010.

  • Sokhi Huda364

    Jurnal TSAQAFAH

    kan karena dia NU, Muhammadiyah, Persis, SI atau yang lainnya,tetapi didasarkan karena masyarakat membutuhkan pemihakan danpembelaan.41

    Kritik Qodir tersebut mengisyaratkan pentingnya pembong-karan sekat “teologi yang eksklusif” menjadi “teologi inklusif-transformatif”. Kritik ini menarik kaitannya dengan pertumbuhanidentitas teologi Mustad}’afi >n yang bersifat “inklusif-transformatif”,karena Qodir memaparkannya pada kajian tentang “Islam,Muhammadiyah, dan Advokasi Kemiskinan,” khususnya subbahas-an tentang “Teologi al-Maun: Peran Muhammadiyah.”

    Fikih Mustad}’afi>n pada awalnya memperoleh landasan konsepdari teologi dan fikih al-Ma >’u >n. Hal ini dijelaskan oleh Burhanisebagai berikut:

    Teologi al-Ma’un memberikan kesadaran kepada umat Islam,terutama warga Muhammadiyah, bahwa ibadah ritual kepada Allahitu tidak ada artinya bila ternyata kita tidak bisa merefleksikan dalamwujud kesadaran kemanusiaan, seperti menolong fakir-miskin dananak yatim. Hanya saja, teologi ini tak bisa menghalangi umat Islamdari berasyik-masyuk dalam ibadah ritual. Baru dengan fiqh TBC,seperti larangan untuk menciptakan ritual-ritual baru, maka umatIslam mengalihkan minat ibadah ritualnya ke aksi sosial. Hukumselamatan adalah contoh lain bagaimana fiqh TBC mampu meng-ubah bantuan sosial karikatif dalam selamatan menuju bantuan yanglebih konkrit kepada orang-orang yang membutuhkan.42

    Burhani melanjutkan penjelasannya dengan ajuan problematiktentang kehandalan teologi jika tidak diterjemahkan kedalam fikih.Pada ajuan ini ia mempersoalkan “tauhid sosial” Amin Rais dan“gerakan anti-korupsi” A. Syafii Maarif. Meskipun kedua gagasanini sempat memperoleh dukungan positif dari masyarakat luas diIndonesia, tetapi hal ini tidak banyak melahirkan perubahan bagimasyarakat Indonesia. Mengapa ini semua terjadi? Salah satujawabanya adalah karena semua gagasan itu hanya berhenti padatataran teologi, pada tataran diskursus, tidak diejawantahkan dalambentuk fikih.43 Demikianlah ajuan problematik dan tawaran alter-natif pemecahan Burhani.

    41Zuly Qodir, “Islam, Muhammadiyah dan Advokasi Kemiskinan,” dalam La Riba:Jurnal Ekonomi Islam, Vo. II, No.1, Juli 2008, h. 133-144.

    42Burhani, “Dari Teologi Mustad’afin Menuju Fiqh Mustad’afin,” Muhammadiyah Studies.43Ibid.

  • Teologi Mustad’afin di Indonesia 365

    Vol. 7, No. 2, Oktober 2011

    Lebih jauh, Burhani berikhtiar memberikan rekomendasi. Se-bagaimana penerapan fikh TBC yang diresmikan oleh Muhammad-iyah dan dipelopori oleh tokoh-tokoh organsiasi ini, transformasidari teologi Mustad}’afi >n44 menuju fikih Mustad }’afi >n itu hanya akanefektif terjadi jika dilakukan di dalam struktur resmi organisasi,melalui jalur Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam.

    Aksi-aksi Kontemporer Teologi Mustad }’afi>n

    Dimensi eksklusif teologi al-Ma >’u >n mulai berubah inklusif-strategis pada teologi Mustad }’afi>n. Hal ini terbukti pada ketertun-tutannya untuk melakukan upaya-upaya pemecahan problem-pro-blem kontemporer yang dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia.Sebagian problem ini adalah “korupsi” dan “ancaman kelompokIslam radikal”. Dua problem ini merupakan problem serius bagiidentitas teologi-ideologi dan eksistensi Indonesia.

    Untuk aksi pemberantasan korupsi, Muhammadiyah bergan-dengtangan dengan NU melalui dua momen penting, yakni penan-datanganan kesepakatan45 dan peluncuran buku.46 Kedua momen

    44Ibid. Teologi Mustad}’afi>n dalam konteks ini bersamaan dengan penjelasan Burhanitentang konsep “the New Mustad}’afi >n” JIMM. Pada bagian terkait, Zuly Qodir menjelaskanbahwa perhatian terhadap konsep ini diberikan oleh JIMM pada workshop dengan tema“Tadarus Pemikiran Islam: Kembali ke al-Qur’an Menafsir Makna Zaman”, di Malang pada18-20 Nopember 2003. Workshop ini menarik ketika mayoritas energi tersedot untukmengurusi hingar bingar politik dalam negeri menuju Pemilu 2004. Pada Pemilu ini, tidakterkecuali Muhammadiyah, sebagai gerakan Islam terbesar kedua setelah NU, juga terseretke arus politik praktis meskipun dengan bersembunyi di balik jargon “high politics”. Sedangkonteks lain yang terkait dengan workshop tersebut adalah sebelumnya generasi muda NUmengadakan “Muktamar Pemikiran Islam” yang diselenggarakan pada 3-5 Oktober 2003 diSitubondo. Pada bagian lain, sebagaimana penjelasan Qodir, kaum muda Muhammadiyahmemilih gerakan kultural (pemberdayaan intelektual, bukan politik praktis) karena dipengaruhioleh responsnya terhadap segmentasi yang terjadi di tubuh Muhammadiyah yang semakintajam antara kubu Muhammadiyah politik dan kubu Muhammadiyah non-politik. Lihat ZulyQodir, “Eksperimentasi Pemikiran Islam Kaum Muda Muhammadiyah” dalam SuaraMuhammadiyah, Edisi 2 2004. Kapasitas Qodir sebagai penulis adalah presedium JIMM. Inipenting kaitannya dengan kredibilitas informasi dan referensi.

    45Dua ormas Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, berkomitmenbersama untuk memberantas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Pernyataan kesepakatanini ditandatangani oleh Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dan Ketua PP MuhammadiyahAhmad Syafii Maarif pada Rabu, 15 Oktober 2003 di Gedung Museum Nasional, Jakarta.Implikasi peristiwa ini dapat meluas ke segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa,dan bernegara, karena NU dan Muhammadiyah memiliki legitimasi sangat kuat untuk mewakiliseluruh elemen masyarakat. Oleh karenanya, keresahan kedua ormas ini terhadap maraknyapraktik KKN tidak boleh dianggap enteng oleh pemerintah dan parlemen. Lihat “NU danMuhammadiyah Sepakat Berantas Korupsi,” dalam Tempo Interaktif, Jakarta, 14 Oktober

  • Sokhi Huda366

    Jurnal TSAQAFAH

    penting ini mempertegas keseriusan kedua organisasi Islam terbesarini untuk memberantas korupsi sebagai penyakit sosial yang akutdi Indonesia.

    Selanjutnya terkait dengan dengan problem solving dalamteologi Mustad}’afi >n, pandangan Haedar Nashir dapat dipertimbang-kan sebagai materi penting. Nashir, dalam kapasitas sebagai KetuaPP Muhammadiyah, menjelaskan bahwa “Muhammadiyah sebagaigerakan Islam yang menuntut kehadiran Islam dalam memecahkanmasalah kehidupan dituntut untuk memiliki sensitivitas, kepedulian,dan tawaran jawaban atas persoalan-persoalan kemanusiaan uni-versal seperti kemiskinan, kekerasan, kerusakan alam, dan masalah-masalah aktual lainnya.” Pandangan Nashir ini berada dalam settinggagasan utama “Muhammadiyah Abad ke-2: Agenda Strategis danTransformasi Ideologi Gerakan” dengan fokus “Dakwah untuk Per-adaban Utama: Dakwah tanpa Kebencian”. Fokus ini didukung olehpara tokoh yang berkompeten di lingkungan Muhammadiyah,dengan perspektif keahlianya masing-masing.47

    Atas dasar kenyataan tersebut, teologi Mustad }’afi >n, melaluiMuhammadiyah sebagai kendaraannya, mulai menyadari bahwa iamemerlukan mitra untuk memecahkan sejumlah problem, khusus-nya “korupsi” dan “ancaman kelompok Islam radikal”. Oleh karenaorganisasi yang memiliki daya besar adalah NU, maka NU diper-hitungkan secara sungguh-sungguh sebagai mitra yang tepat.Penggandengan terhadap NU sebagai mitra ini, nyatanya, dilengkapijuga dengan adopsi terhadap prinsip akomodatif NU terhadap tradisilokal dan pinsip inklusifnya terhadap kelompok-kelompok lainsesama Muslim maupun non-Muslim.

    2003. Lihat juga Slamet Hariyanto, “NU dan Muhammadiyah Sepakat Berantas Korupsi,”dalam Analisa Politik (Surabaya: Slamet Hariyanto & Rekan; Advokat, Konsultan Hukumdan Politik, 9 Oktober 2003).

    46Bambang Widjojanto (Ed.), Koruptor itu Kafir, Telaah Fiqih Korupsi dalamMuhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) (Jakarta: Mizan, 2010). Buku ini diluncurkan direstoran Bumbu Desa, Jl Cikini Raya, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 18 Agustus 2010,menjelang buka puasa. Editor, yang juga salah satu kandidat ketua Komisi PemberantasanKorupsi (KPK), Bambang Widjojanto, hadir sebagai pemapar berdampingan dengan SekjenSuriyah PBNU Malik Madani. Informasi tentang peluncuran ini dapat dilihat selengkapnyapada detiknews.com.

    47"Dakwah untuk Peradaban Utama: Dakwah tanpa Kebencian,” dalam SuaraMuhammadiyah Edisi Khusus Muktamar Satu Abad, No.13/Th. ke-95, 19 Rajab-3 Syakban 1431 H/1-15 Juli 2010, 11. Pndapat para ahli (M. Amien Rais, M. Din Syamsuddin, Sosiolog Abdul MunirMulkhan, A. Syafii Maarif, dan Haedar Nashir), h. 8-11.

  • Teologi Mustad’afin di Indonesia 367

    Vol. 7, No. 2, Oktober 2011

    Problem korupsi dan Islam radikal, sebagai sasaran proyekteologi Mustad’afin yang melibatkan kemitraan Muhammadiyah-NU, tersebut sesungguhnya merupakan sebagian dari sejumlahproblem krusial di Indonesia di tengah harapan baru reformasi dantumbuhnya demokrasi yang dihargai oleh dunia. Pertama, di bidangpolitik terdapat problem kerancuan dalam sistem ketatanegaraanantara sistem presidensial dan parlementer yang menimbulkanbanyak problem, kelembagaan negara yang tidak efektif antarlem-baga-lembaga negara yang permanen dan ad-hoc, sistem kepartaianyang bercorak multipartai yang tidak produktif dan rawan problem,dan berkembangnya pragmatisme politik yang dilakukan oleh elitmaupun partai politik.

    Kedua, di bidang hukum terdapat krisis kepercayaan masya-rakat terhadap lembaga-lembaga penegakan hukum, lemahnyapemberantasan korupsi, mekarnya mafia hukum, dan erosi moralpara penegak hukum. Ketiga, di bidang ekonomi berkisar pada para-digma ekonomi yang tidak konsisten, struktur ekonomi yang dualis-tis, kebijakan fiskal yang tidak mandiri, sistem keuangan dan per-bankan yang tidak berpihak kepada rakyat, kebijakan perdagangandan industri yang liberal, dan cengkeraman ekonomi neoliberal yangmelahirkan banyak dilema dalam membangun perekenomian kons-titusional dan memihak rakyat. Sedang keempat, dalam aspek sosial-budaya tumbuh problem memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan,disorientasi nilai keagamaan, memudarnya kohesi dan integrasisosial, dan melemahnya karakter dan mentalitas positif bangsa.

    Kekuatan dan Kelemahan Teologi Mustad}’afi>n

    A. Kekuatan Teologi Mustad}’afi>n

    Menurut hemat penulis, kekuatan teologi Mustad }’afi>n dapatdilihat pada dua aspek, yakni: (1) landasan dan (2) spiritnya. Pertama,teologi Mustad}’afi>n memperoleh landasan yang kokoh dari teologial-Ma>’u >n yang bersumber dari spirit Q.S. al-Ma’un. Bahkan istilahMustad}’afi >n, disamping istilah-istilah lain semisal “tauhid sosial”,pemberdayaan, dan lainnya, digunakan secara meyakinkan untukmengekspresikan substansi teologi al-Ma>’u>n dalam berbagai keperlu-an topikal oleh para pemerhati, tokoh, dan cedekiawan, bahkandalam tanfidz-tanfidz keputusan Muhammadiyah.

  • Sokhi Huda368

    Jurnal TSAQAFAH

    Kedua, teologi Mustad }’afi >n digali dari spirit profetik yangbertugas melakukan pembebasan umat manusia dari ketertindasanstruktural, ekonomi, dan budaya. Spirit profetik ini memberikanlandasan yang kokoh dan bernilai universal. Bahkan spirit ini melahir-kan nomenklatur “teologi Pembebasan” sebagaimana dapat ditemuidalam konsep dan praksis Hassan Hanafi (Mesir) dan Asghar AliEngineer (Pakistan).

    B. Kelemahan Teologi Mustad }’afi>n

    Sedangkan hemat penulis, kelemahan teologi Mustad }’afi >ndapat dilihat dari tiga aspek: (1) status popularitas, (2) akumulasivarian istilah teologis, dan (3) persoalan diskursus, fikih, dan pember-dayaan. Pertama, identitas teologi Mustad}’afi >n masih belum populerseperti teologi al-Ma >’u >n. Hal ini dapat dipahami dari posisi teologial-Ma>’u>n yang menjadi sumber utama teologi al-Ma>’u>n, dan teologiini cenderung senantiasa dipagang teguh sebagai spirit pokok dalamsemua aktivitas konseptual dan praksis Muhammadiyah.

    Kedua, di kalangan pemerhati dan cendekiawan Muhammad-iyah, tardapat sejumlah varian istilah teologis yang digunakan untukmenerjemahkan teologi al-Ma >’u >n. Varian-varian ini diantaranya ada-lah: (1) “tauhid sosial” gagasan M. Amin Rais, (2) “teologi transfor-matif” gagasan Moeslim Abdurrahman, (3) “ilmu sosial Profetik”gagasan Kuntowijoyo, sebagai alternatif atas kritiknya terhadap ’teo-logi Transformatif”. Varian-varian ini, bagi teologi Mustad }’afi >n,merupakan fakta-fakta yang saling tarik menarik, meskipun padasisi lain, segala bentuk dan identitas penerjemahan tersebut adalahsah-sah saja. Semua varian itu mengarah pada substansi pokokteologi al-Ma >’u >n yang bermaksud membela dan selanjutnyamemberdayakan kaum Mustad }’afi >n.

    Ketiga, teologi Mustad }’afi >n tidak akan efektif jika hanyaberhenti pada wilayah diskursus, tanpa pengejawantahan kedalambentuk fikih Mustad}’afi>n dan pemberdayaan. Oleh karena itu teologiMustad }’afi >n memerlukan fikih Mustad }’afi >n untuk memperjelaskerangka dan metode kerjanya. Sedang pemberdayaan diperlukanagar efek dari teologi Mustad }’afi >n dapat mengangkat statuskeagamaan dan sosial.

  • Teologi Mustad’afin di Indonesia 369

    Vol. 7, No. 2, Oktober 2011

    Sosok Akseptabel Teologi Kontemporer

    Pada temuan ini penulis berikhtiar untuk merumuskan sosokakseptabel teologi kontemporer, yang secara ringkas divisualisasikanpada dua bagan di bawah ini.

    Sosok pada bagan di atas merupakan hasil transformasi darisosok konsep teologi Mustad }’afi >n ke wilayah makro-konseptualdengan pertimbangan metodologis “transferability”.

  • Sokhi Huda370

    Jurnal TSAQAFAH

    Gambar 4. Bagan Konstruksi Filosofis Teologi Mustad }} }} }’afi >> >> >n

  • Teologi Mustad’afin di Indonesia 371

    Vol. 7, No. 2, Oktober 2011

    Penutup

    Pada dataran konsep, teologi Mustad}’afi>n di Indonesia meru-pakan istilah baru, bukan konsep baru, yang dikembangkan dariteologi al-Ma >’u >n (identitas yang diambil dari spirit Q.S. al-Ma>’u>n[107]) yang digagas oleh K.H.A. Dahlan, pendiri Muhammadiyah.Sedang pada dataran praksis, teologi Mustad}’afi>n merupakan wajahbaru yang telah berakumulasi dengan persoalan-persoalan yang lebihluas dan melibatkan kemitraan dengan pihak lain, yakni NU, untukkeperluan strategi praksisnya.

    Asumsi dasar yang dibangun oleh teologi Mustad }’afi >n, atasdasar asumsi dasar teologi al-Ma>’u>n, adalah bahwa praktik ibadahharus terkait secara langsung dengan kepedulian sosial, denganlandasan tauhid yang mewujud ke ranah praksis dalam bentuk ritualsosial. Asumsi dasar ini melahirkan kata-kata kunci “tauhid sosial”dan “ritual sosial.” Asumsi dasar ini dikembangkan pada wilayahkontemporer oleh teologi Mustad }’afi >n dalam konteks kebangsaandan kenegaraan di Indonesia.

    Background inspirasi historis utama teologi Mustad}’afi >n –yangdiberikan oleh teologi al-Ma >’u >n—adalah: (1) dialektika gagasan de-ngan tradisi keberagamaan masyarakat, (2) respons terhadap usaha-usaha kristenisasi di Indonesia, (3) rrespons terhadap kecenderungananti-keagamaan perilaku di kalangan para pemikir Indonesia, dan(4) signifikansi historis masa-masa penting pembentukan identitasbangsa Indonesia. Sedang background inspirasi historis tambahanbagi teologi Mustad }’afi >n adalah munculnya sejumlah persoalankontemporer yang terjadi di Indonesia, yakni problem-problemkrusial di bidang moral (khususnya korupsi) dan maraknya gerakan-gerakan Islam radikal yang dipandang berpotensi mengancamteologi-ideologi dan eksistensi Indonesia sebagai negara yang ber-falsafah Pancasila.

    Epistemologi pokok teologi Mustad}’afi>n berasal dari: (1) teologiWahhabi-Salafi Rashi >d Rid }a >, (2) teologi pembaruan pendidikanMuhammad ‘Abduh, dan (3) teologi al-Ma >’u >n K. Dahlan. Ketigapokok epistemologi ini dilengkapi dengan signifikansi adaptasiterhadap tujuh faktor, agar teologi Mustad}’afi>n dapat diterima secarasignifikan sebagai gerakan pembebas di Indonesia. Tujuh faktor iniadalah: (1) paham kebangsaan Indonesia, (2) tradisi lokal, (3) per-kembangan budaya, (4) image peradaban modern, (5) ekonomiorganisasi, (6) dinamika politik, dan (7) kritik keilmuan modern dan

  • Sokhi Huda372

    Jurnal TSAQAFAH

    kontemporer. Signifikansi adaptasi ini merupakan hasil prosespenyadaran diri secara teologis, yang diambil sebagai strategi praksisatas dasar kritik realitas dan keilmuan serta semangat kontemporer.[]

    Daftar Pustaka

    A’la, Abd, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal. (Jakarta: Dian Rakyat,2009).

    Abdurrahman, Moeslim, “Dakwah Pemberdayaan,” dalam SuaraMuhammadiyah Edisi Khusus Muktamar Satu Abad, No.13/Th.ke-95, 19 Rajab-3 Syakban 1431 H/1-15 Juli 2010.

    Alfian, M. Alfan, “NU, Muhammadiyah, dan “Civil Islam,”Muhammadiyah . Studies (http://muhammadiyahstudiesblogspot.com), Jumat, 31 Agustus 2001.

    As}baha >ni, Abu Na’i>m. Ma’rifat al-S }ah }a >bah li Abi > Na’i>m al-As }baha >ni,Juz II. Maktabah Shamilah.

    Bruinessen, Martin van and Howell, Julia Day (Eds.), Sufism and the‘Modern’ in Islam (London-New York: I.B. Tauris, 2007).

    Drewes, B.F. dan Mojau, Julianus, Apa itu Teologi? Pengantar ke IlmuTeologi. (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2007).

    Engineer, Asghar Ali, Islam and Liberation Theology: Essays onLiberative Elements in Islam. (Michigan: Sterling Publishers,1990).

    Esack, Farid, Qur’an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspec-tive of Interreligious Solidarity against Oppression. (Oxford:Oneworld, 1997).

    _____, “Contemporary Religious Thought in South Africa and theEmergence of Qur’anic Hermeneutical Notion,” dalam JurnalIslam and Christian-Muslim Relations 2:2. (Birmingham: TheDepartment of Theology and Religion, Birmingham University,1991).

    Hadjid, K.R.H, Ajaran KHA. Dahlan dengan 17 Kelompok Ayat-Ayatal-Qur’an. (Semarang: PWM. Jawa Tengah, tt.).

    Hanafi, Hassan, Min al-‘Aqi>dah ila > al-Thawrah. (Beirut: Da>r al-Tanwi >rli al-T }iba >’ah wa al-Nashr, 1988).

    _________, Kiri Islam, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam AntaraModernisme dan Posmodernisme, Telaah Kritis atas Pemikiran

  • Teologi Mustad’afin di Indonesia 373

    Vol. 7, No. 2, Oktober 2011

    Hassan Hanafi, terj. Imam Aziz dan Jadul Maula. (Yogyakarta:LKiS, 2007).

    Haryanto, Muhsin. “Perkembangan Pemikiran Teologis dalamMuhammadiyah,” Suara Muhammadiyah, Jumat, 20 Mei 2005.

    Jainuri, Achmad, Muhammadiyah; Gerakan Reformasi Islam di Jawapada Awal Abad Keduapuluh. (Surabaya: Bina Ilmu, 1990).

    ____, Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan KeagamaanMuhammadiyah Periode Awal. (Surabaya: LPAM, 2002).

    Jurdi, Syarifuddin (Eds.), 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pem-baruan Sosial Keagamaan. ( Jakarta: PT Kompas MediaNusantara, 2010).

    Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid. (Bandung: Mizan, 2001).

    ____, Metodologi Sejarah. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003).

    ____, Islam Sebagai Ilmu. (Jakarta: Teraju-Mizan, 2004).

    Maarif, A. Syafii, “Muhammadiyah is like a big tent” (Interview),AsiaViews, Edition: 28/II/July/2005; Muhammadiyah Studies,“Research & Conference,” Ahad, 27 Juni 2011.

    ____, “Muhammadiyah dan Kemerdekaan Berpikir” (KataPengantar) dalam Mulkhan, Jejak Pembaruan Sosial danKemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan. (Jakarta: PT Kompas MediaNusatara, 2010).

    Meijer, Roel, Global Salafism: Islam’s New Religious Movement.(London: C. Hurst Company, 2009).

    Muhammadiyah, Pengurus Pusat, Badan Pembinaan Kader,Tuntunan Praktis Pelaksanaan Gerakan Jama’ah. (Yogyakarta:PP Muhammadiyah, 1977).

    Muhammadiyah, Pimpinan Pusat, Tanfidz Keputusan Muktamar SatuAbad Muhammadiyah (Muktamar Muhammadiyah Ke-46), diYogyakarta, 20-25 Rajab 1431 H/3-8 Juli 2010 M. Jakarta: PPMuhammadiyah, September 2010.

    Mulkhan, Abdul Munir, Jejak Pembaruan Sosial dan KemanusiaanKiai Ahmad Dahlan. (Jakarta: PT Kompas Media Nusatara,2010).

    ____, “Etos Pembaharuan Kiai Ahmad Dahlan,” Suara Muham-madiyah, Edisi Khusus, Nomor 01/Th. Ke-95, 1-15 Januari 2010.

  • Sokhi Huda374

    Jurnal TSAQAFAH

    Nashir, Haedar, Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan. (Yogyakarta:Suara Muhammadiyah, 2010).

    Noer, Deliar, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942:East Asian Historical Monographs. (Oxford: Oxford UniversityPress, 1973).

    Notoprawiro, Francis Wahono, Teologi Pembebasan; Sejarah, Metode,Praksis, dan Isinya. (Yogyakarta: LKiS, 2008).

    Qodir, Zuly, “Eksperimentasi Pemikiran Islam Kaum MudaMuhammadiyah,” Suara Muhammadiyah, edisi 2, 2004.

    ____, “Islam, Muhammadiyah dan Advokasi Kemiskinan,” dalamLa Riba: Jurnal Ekonomi Islam, Vo. II, No.1, Juli 2008.

    Rahardjo, M. Dawam, Satu Abad Muhammadiyah: Mengkaji UlangArah Pembaruan, ed. Taufik Hidayat dan Iqbal Hasanuddin.(Jakarta: Paramadina & LSAF, 2010).

    Saleh, Fauzan, Modern Trend in Islamic Theological Discourse in 20th

    Century Indonesia: A Critical Survey. (Leiden-Boston-Koln: Brill,2001).

    Serambi, Tim Penerjemah, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008).

    Sookhdeo, Patrick, The Challenge of Islam to The Church and ItsMission. (Three Rivers: Isaac Publishing Inc, 2008).

    Sufyanto, “Menyegarkan (Nalar) Muhammadiyah,” Harian Surya,8 Oktober 2010).

    Syamsuddin, M. Din. “Muhammadiyah dan Dialog Pemikiran”,dalam http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=92 (22/04/2008), diakses 29-4-2011.

    Tempo Interaktif, “NU dan Muhammadiyah Sepakat BerantasKorupsi.” (Jakarta: Tempo, 14 Oktober 2003).

    Wensink, Arent Jan, The Muslim Creed: Its Genesis and HistoricalDevel-opment. (Cambridge: Cambridge University Press, 1932).

    Widjojanto, Bambang (Ed.), Koruptor itu Kafir, Telaah Fiqih Korupsidalam Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). ( Jakarta:Mizan, 2010).