TBC Radiologi

64
TUGAS UJIAN RADIOLOGI PLEURITIS TUBERKULOSIS Disusun oleh : AAN MUTHMAINNAH 1102010001 JULIA 1102010137 Kepaniteraan Klinik Radiologi RSUD Subang Pembimbing : dr. Dikdik Irawan Sp.Rad dr Eva Permatasari Sp.Rad SMF RADIOLOGI RSUD SUBANG FAKULTAS KEDOKTERAN 0

description

radiologi

Transcript of TBC Radiologi

TUGAS UJIAN RADIOLOGI

PLEURITIS TUBERKULOSIS

Disusun oleh :

AAN MUTHMAINNAH 1102010001

JULIA 1102010137

Kepaniteraan Klinik Radiologi RSUD Subang

Pembimbing :

dr. Dikdik Irawan Sp.Rad

dr Eva Permatasari Sp.Rad

SMF RADIOLOGI

RSUD SUBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

Mei 2015

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT serta shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul Pleuritis Tuberkulosis.

Penulis menyadari sepenuhnya, dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, tetapi penulis mencoba untuk memberikan yang terbaik dengan segala keterbatasan yang penulis miliki. Terselesaikannya makalah ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan banyak pihak. Untuk itu dalam kesempatan kali ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. dr. Dikdik Irawan Sp.Rad dan dr Eva Permatasari Sp.Rad selaku Pembimbing Medik yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan saran, nasehat, dan semangat untuk menyelesaikan makalah ini. Terima kasih penulis sampaikan, dengan segala kerendahan hati, saya doakan semoga kebaikan dan bimbingan selama ini diterima oleh Allah SWT dan semoga selalu dilimpahkan berkah, rahmat, dan hidayah-Nya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini, kesalahan dan kekurangan tidak dapat dihindari, baik dari segi materi maupun bahasa yang disajikan. Oleh karena hal tersebut penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan yang tidak disengaja. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan pembaca, dalam memberikan sumbangan dan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia kedokteran. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna memperoleh hasil yang lebih baik di dalam penyempurnaan makalah ini dari cara penulisan hingga isi dan pembahasannya.

Subang, Mei 2015

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR1DAFTAR ISI2BAB I41.1 Pendahuluan4BAB II Anatomi dan Fisiologi Paru-Paru52.1. Anatomi Paru-Paru52.2. Fungsi Paru-Paru62.3. Fisiologi Paru-Paru7BAB III TUBERKULOSIS103.1. Definisi103.2. Morfologi dan Struktur Bakteri103.3. Tuberkulosis Primer113.4. Patologi Tuberkulosis143.5. Klasifikasi Tuberkulosis153.5.1. Tuberkulosis Paru153.5.2. Berdasarkan Tipe Penderita163.5.3. Tuberkulosis Ekstra Paru173.6. Gambaran Klinik183.7. Pemeriksaan Fisik19BAB IV Pleuritis Tuberkulosis204.1 Definisi Peluritis Tuberkulosis204.2. Etiologi204.3 Epidemiologi214.4 Patogenesis214.5 Gejala Klinis234.6 Pemeriksaan Fisik244.7. Pemeriksaan Bakteriologik244.8 Pemeriksaan Radiologis274.9. Pemeriksaan Laboratorium324.9.1. Torakosentesis324.9.2. Biopsi Pleura334.9.3. Polymerase chain reaction (PCR)1334.9.4. Pemeriksaan darah334.9.5. Uji tuberkulin344.10. Pengobatan Tuberkulosis344.10.1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)344.10.2. Dosis OAT354.10.3. Kombinasi dosis tetap354.10.4. Paduan Obat Anti Tuberkulosis37BAB V Kesimpulan40DAFTAR PUSTAKA41

BAB I Pendahuluan1.1 Pendahuluan

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai (Global Emergency). Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah pendduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk.Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk.1

Pleuritis TB merupakan suatu penyakit TB dengan manifestasi menumpuknya cairan di rongga paru, tepatnya di antara lapisan luar dan lapisan dalam paru.4Efusi pleura tuberkulosis sering ditemukan di negara berkembang termasuk di Indonesia. Efusi pleura timbul sebagai akibat dari suatu penyakit, sebab itu hendaknya dicari penyebabnya. Dengan sarana yang ada, sangat sulit untuk menegakkan diagnosis efusi pleura tuberkulosis sehingga sering timbul anggapan bahwa penderita tuberkulosis paru yang disertai dengan efusi pleura, efusi pleuranya dianggap efusi pleura tuberkulosis, sebaliknya penderita bukan tuberkulosis paru yang menderita efusi pleura, efusi pleuranya dianggap bukan disebabkan tuberkulosis2.

Gambaran klinik dan radiologik antara transudat dan eksudat bahkan antara efusi pleura tuberkulosis dan non tuberkulosis hampir tidak dapat dibedakan, sebab itu pemeriksaan laboratorium menjadi sangat penting. Setelah adanya efusi pleura dapat dibuktikan melalui pungsi percobaan, kemudian diteruskan dengan membedakan eksudat dan transudat dan akhirnya dicari etiologinya. Apabila diagnosis efusi pleura tuberkulosis sudah ditegakkan maka pengelolaannya tidak menjadi masalah, efusinya ditangani seperti efusi pada umumnya, sedangkan tuberkulosisnya diterapi seperti tuberkulosis pada umumnya2.

BAB II Anatomi dan Fisiologi Paru-Paru

2.1. Anatomi Paru-Paru

Paru-paru terletak di dalam rongga dada (mediastinum), dilindungi oleh struktur tulang selangka. Rongga dada dan perut dibatasi oleh suatu sekat disebut diafragma. Berat paru-paru kanan sekitar 620 gram, sedangkan paru-paru kiri sekitar 560 gram. Masing-masing paru-paru dipisahkan satu sama lain oleh jantung dan pembuluh-pembuluh besar serta struktur-struktur lain di dalam rongga dada. Selaput yang membungkus paru-paru disebut pleura. Paru-paru terbenam bebas dalam rongga pleuranya sendiri. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura.1 Pleura dibagi menjadi dua yaitu2:

1. Pleura visceral (selaput dada pembungkus), yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru.

2. Pleura parietal, yaitu selaput yang melapisi rongga dada luar.

Antara kedua pleura ini terdapat ronggga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini hampa udara, sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaan pleura, menghindari gesekan antara paru-paru dan dinding dada sewaktu ada gerakan bernafas.2

Paru-paru kanan sedikit lebih besar dari paru-paru kiri dan terdiri atas tiga gelambir (lobus) yaitu gelambir atas (lobus superior), gelambir tengah (lobus medius), dan gelambir bawah (lobus inferior). Sedangkan paru-paru kiri terdiri atas dua gelambir yaitu gelambir atas (lobus superior) dan gelambir bawah (lobus inferior). Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang lebih kecil bernama segmen. Paru-paru kiri mempunyai sepuluh segmen, yaitu lima buah segmen pada lobus superior, dan lima buah segmen pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai sepuluh segmen, yaitu lima buah segmen pada lobus superior, dua buah segmen pada lobus medial, dan tiga buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus. Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang berisi pembuluh darah getah bening dan saraf, dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkeolus. Di dalam lobulus, bronkeolus ini bercabang-cabang yang disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2 0,3 mm.2.3

Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung (gelembung hawa, alveoli, atau alveolus). Pada gelembung inilah terjadi pertukaran udara di dalam darah, O2 masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan dari darah. Gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya 90m2. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700juta buah. Ukurannya bervariasi, tergantung lokasi anatomisnya, semakin negatif tekanan intrapleura di apeks, ukuran alveolus akan semakin besar. Ada dua tipe sel epitel alveolus. Tipe I berukuran besar, datar dan berbentuk skuamosa, bertanggungjawab untuk pertukaran udara. Sedangkan tipe II, yaitu pneumosit granular, tidak ikut serta dalam pertukaran udara. Sel-sel tipe II inilah yang memproduksi surfaktan, yang melapisi alveolus dan mencegah kolapnya alveolus. 2.3

Gambar 1. Anatomi paru-paru

2.2. Fungsi Paru-Paru

Fungsi utama paru-paru adalah untuk pertukaran gas antara udara atmosfer dan darah. Dalam menjalankan fungsinya, paru-paru ibarat sebuah pompa mekanik yang berfungsi ganda, yakni menghisap udara atmosfer ke dalam paru (inspirasi) dan mengeluarkan udara alveolus dari dalam tubuh (ekspirasi). Untuk melakukan fungsi ventilasi, paru-paru mempunyai beberapa komponen penting, antara lain2:

a. Dinding dada yang terdiri dari tulang, otot, saraf perifer.

b. Parenkim paru yang terdiri dari saluran napas, alveoli, dan pembuluh darah.

c. Dua lapisan pleura, yakni pleura viseralis yang membungkus erat jaringan parenkim paru, dan pleura parietalis yang menempel erat ke dinding toraks bagian dalam. Di antara kedua lapisan pleura terdapat rongga tipis yang normalnya tidak berisi apapun.

d. Beberapa reseptor yang berada di pembuluh darah arteri utama.

2.3. Fisiologi Paru-Paru

Fungsi utama paru-paru adalah pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Pada pernapasan melalui paru-paru, oksigen dipungut melalui hidung dan mulut. Pada waktu bernapas, oksigen masuk melalui trakea dan pipa bronkhial ke alveoli, dan dapat erat dengan darah di dalam kapiler pulmonaris. Hanya satu lapisan membran , yaitu membran alveoli-kapiler, memisahkan oksigen dari darah. Oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh hemoglobin sel darah merah dan dibawa ke jantung. Dari sini, dipompa di dalam arteri ke semua bagian tubuh. Darah meninggalkan paru-paru pada tekanan oksigen 100 mmHg dan pada tingkat ini hemoglobinnya 95 persen jenuh oksigen. Di dalam paru-paru, karbon dioksida adalah salah satu hasil buangan metabolisme, menembus membran alveoler-kapiler dari kapiler darah ke alveoli dan setelah melalui pipa bronkhial dan trakhea, dinapaskan keluar melalui hidung dan mulut.2.3

Oksigen dalam tubuh dapat diatur menurut keperluan. Manusia sangat membutuhkan oksigen dalam hidupnya, kalau tidak mendapatkan oksigen selama 4 menit akan mengakibatkan kerusakan pada otak yang tak dapat diperbaiki dan bias menimbulkan kematian. Kalau penyediaan oksigen berkurang akan menimbulkan kacau pikiran dan anoksia serebralis, misalnya orang bekerja pada ruangan yang sempit, tertutup, ruang kapal, ketel uap, dll. bila oksigen tidak mencukupi maka warna darah merahnya hilang berganti menjadi kebiru-biruan misalnya di bibir, telinga, lengan, dan kaki (sianosis).2

Pengambilan udara pernapasan dikenal dengan inspirasi dan pengeluaran udara pernapasan disebut dengan ekspirasi. Mekanisme pertukaran udara pernapasan berlangsung di alveolus disebut pernapasan eksternal. Udara pernapasan selanjutnya diangkut oleh hemoglobin dalam eritrosit untuk dipertukarkan ke dalam sel. Peristiwa pertukaran udara pernapasan dari darah menuju sel disebut pernapasan internal. Aktivitas inspirasi dan ekspirasi pada saat bernapas selain melibatkan alat-alat pernapasan juga melibatkan beberapa otot yang ada pada tulang rusuk dan otot diafragma (selaput pembatas rongga dada dengan rongga perut). Masuk keluarnya udara dalam paru-paru dipengaruhi oleh perbedaan tekanan udara dalam rongga dada dengan tekanan udara di luar tubuh. Jika tekanan di luar rongga dada lebih besar maka udara akan masuk. Sebaliknya, apabila tekanan dalam rongga dada lebih besar maka udara akan keluar. Sehubungan dengan organ yang terlibat dalam pemasukkan udara (inspirasi) dan pengeluaran udara (ekspirasi) maka mekanisme pernapasan dibedakan atas dua macam, yaitu pernapasan dada dan pernapasan perut. Pernapasan dada dan perut terjadi secara bersamaan.2.3

Sebagian udara yang dihirup oleh seseorang tidak pernah sampai pada daerah pertukaran gas, tetapi tetap berada dalam saluran napas di mana pada tempat ini tidak terjadi pertukaran gas, seperti pada hidung, faring dan trakea. Udara ini disebut udara ruang rugi, sebab tidak berguna dalam proses pertukaran gas. Pada waktu ekspirasi, yang pertama kali dikeluarkan adalah udara ruang rugi, sebelum udara di alveoli sampai ke udara luar. Oleh karena itu, ruang rugi merupakan kerugian dari gas ekspirasi paru-paru. Ruang rugi dibedakan lagi menjadi ruang rugi anatomik dan ruang rugi fisiologik. Ruang rugi anatomik meliputi volume seluruh ruang sistem pernapasan selain alveoli dan daerah pertukaran gas lain yang berkaitan erat. Kadang-kadang, sebagian alveoli sendiri tidak berungsi atau hanya sebagian berfungsi karena tidak adanya atau buruknya aliran darah yang melewati kapiler paru-paru yang berdekatan. Oleh karena itu, dari segi fungsional, alveoli ini harus juga dianggap sebagai ruang rugi dan disebut sebagai ruang rugi fisiologis.2.3

Gambar 2. Fisiologi Paru-paru.

Bagian paru-paru :2

1. Trachea atau batang tenggorokan berupa pipa tempat lalunya udara. Udara yang dihirup dari hidung dan mulut akan ditarik ke trachea menuju paru-paru.

2. Bronchi merupakan batang yang menghubungkan paru-paru kanan dan kiri dengan trachea. Udara dari trachea akan di bawa keparu-paru lewat batang ini.

3. Bronchioles merupakan cabang-cabang dari bronchi berupa tabung-tabung kecil yang jumlahnya sekitar 30.000 buah untuk satu paru-paru. Bronchioles ini akan membawa oksigen lebih jauh ke dalam paru-paru.

4. Alveoli merupakan ujung dari bronchioles yang jumlahnya sekitar 600 juta pada paru-paru manusia dewasa. Pada aveoli ini oksigen akan didifusi menjadi karbondioksida yang diambil dari dalam darah.

BAB III TUBERKULOSIS

3.1. Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis compleks. 1

3.2. Morfologi dan Struktur Bakteri

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 m dan panjang 1 4 m. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada diniding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebebkan bakteri M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai, tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam alkohol.1

Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M.tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan spesifisiti yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 , protein MTP 40 dan lain lain. 1

Gambar 3. Morfologi Kuman M.tuberculosis

3.3. Tuberkulosis Primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut1 :

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

3. Menyebar dengan cara1 :

a. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya

Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.

b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus.

c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau meninggal.

Tuberkulosis Post-Primer

Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut 1:

1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat

2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.

3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini :

a. Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas

b. Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi

c. Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

Gambar 4. Skema perkembangan sarang tuberculosis post primer dan perjalanan penyembuhannya

3.4. Patologi Tuberkulosis

Untuk lebih memahami berbagai aspek tuberkulosis, perlu diketahui proses patologik yang terjadi. Batuk yang merupakan salah satu gejala tuberkulosis paru, terjadi karena kelainan patologik pada saluran pernapasan akibat kuman M.tuberculosis. Kuman tersebut bersifat sangat aerobik, sehingga mudah tumbuh di dalam paru, terlebih di daerah apeks karena pO2 alveolus paling tinggi. 1

Kelainan jaringan terjadi sebagai respons tubuh terhadap kuman. Reaksi jaringan yang karakteristik ialah terbentuknya granuloma, kumpulan padat sel makrofag. Respons awal pada jaringan yang belum pernah terinfeksi ialah berupa sebukan sel radang, baik sel leukosit polimorfonukleus (PMN) maupun sel fagosit mononukleus. Kuman berproliferasi dalam sel, dan akhirnya mematikan sel fagosit. Sementara itu sel mononukleus bertambah banyak dan membentuk agregat. Kuman berproliferasi terus, dan sementara makrofag (yang berisi kuman) mati, sel fagosit mononukleus masuk dalam jaringan dan menelan kuman yang baru terlepas. Jadi terdapat pertukaran sel fagosit mononukleus yang intensif dan berkesinambungan. Sel monosit semakin membesar, intinya menjadi eksentrik, sitoplasmanya bertambah banyak dan tampak pucat, disebut sel epiteloid. Sel-sel tersebut berkelompok padat mirip sel epitel tanpa jaringan diantaranya, namun tidak ada ikatan interseluler dan bentuknya pun tidak sama dengan sel epitel.1

Sebagian sel epiteloid ini membentuk sel datia berinti banyak, dan sebagian sel datia ini berbentuk sel datia Langhans (inti terletak melingkar di tepi) dan sebagian berupa sel datia benda asing (inti tersebar dalam sitoplasma). Lama kelamaan granuloma ini dikelilingi oleh sel limfosit, sel plasma, kapiler dan fibroblas. Di bagian tengah mulai terjadi nekrosis yang disebut perkijuan, dan jaringan di sekitarnya menjadi sembab dan jumlah mikroba berkurang. Granuloma dapat mengalami beberapa perkembangan , bila jumlah mikroba terus berkurang akan terbentuk simpai jaringan ikat mengelilingi reaksi peradangan. Lama kelamaan terjadi penimbunan garam kalsium pada bahan perkijuan. Bila garam kalsium berbentuk konsentrik maka disebut cincin Liesegang . Bila mikroba virulen atau resistensi jaringan rendah, granuloma membesar sentrifugal, terbentuk pula granuloma satelit yang dapat berpadu sehingga granuloma membesar. Sel epiteloid dan makrofag menghasilkan protease dan hidrolase yang dapat mencairkan bahan kaseosa. Pada saat isi granuloma mencair, kuman tumbuh cepat ekstrasel dan terjadi perluasan penyakit. 1

Reaksi jaringan yang terjadi berbeda antara individu yang belum pernah terinfeksi dan yang sudah pernah terinfeksi. Pada individu yang telah terinfeksi sebelumnya reaksi jaringan terjadi lebih cepat dan keras dengan disertai nekrosis jaringan. Akan tetapi pertumbuhan kuman tretahan dan penyebaran infeksi terhalang. Ini merupakan manifestasi reaksi hipersensitiviti dan sekaligus imuniti.1

3.5. Klasifikasi Tuberkulosis 3.5.1. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru).1 Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi dalam :

3.5.1.1. Tuberkulosis Paru BTA (+) 1

1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif

2. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

3. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif

3.5.1.2. Tuberkulosis Paru BTA (-) 1

1. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas

2. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.tuberculosis positif

3. Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa

Gambar 5. Klasifikasi Tuberkulosis

3.5.2. Berdasarkan Tipe Penderita

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu 1:

3.5.2.1. Kasus baru

Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).1

3.5.2.2. Kasus kambuh (relaps)

Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan1 :

a. Infeksi sekunder

b. Infeksi jamur

c. TB paru kambuh

3.5.2.3. Kasus pindahan (Transfer In)

Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.1

3.5.2.4. Kasus lalai berobat

Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.1

3.5.2.5. Kasus Gagal

a. Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).1

b. Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan.1

3.5.2.6. Kasus kronik

Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.1

3.5.2.7. Kasus bekas TB

Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran radiologic.1

3.5.3. Tuberkulosis Ekstra Paru

Batasan : Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur spesimen positif, atau histologi, atau bukti klinis kuat konsisten dengan TB ekstraparu aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan oleh klinisi untuk diberikan obat anti tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit, yaitu1 :

3.5.3.1. TB di luar paru ringan

Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal. 1

3.5.3.2.TB diluar paru berat

Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.

3.6. Gambaran Klinik

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.1

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.1

1. Gejala respiratorik

a. batuk 3 minggu

b. batuk darah

c. sesak napas

d. nyeri dada

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. 1

Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.1

a. Gejala sistemik Demam Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun

3.7. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. 1

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.1

Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess.1

BAB IVPleuritis Tuberkulosis

4.1 Definisi Peluritis Tuberkulosis

Pleuritis TB merupakan suatu penyakit TB dengan manifestasi menumpuknya cairan di rongga paru, tepatnya di antara lapisan luar dan lapisan dalam paru.4Efusi pleura tuberkulosis sering ditemukan di negara berkembang termasuk di Indonesia. Efusi pleura timbul sebagai akibat dari suatu penyakit, sebab itu hendaknya dicari penyebabnya. Dengan sarana yang ada, sangat sulit untuk menegakkan diagnosis efusi pleura tuberkulosis sehingga sering timbul anggapan bahwa penderita tuberkulosis paru yang disertai dengan efusi pleura, efusi pleuranya dianggap efusi pleura tuberkulosis, sebaliknya penderita bukan tuberkulosis paru yang menderita efusi pleura, efusi pleuranya dianggap bukan disebabkan tuberkulosis1.

4.2. Etiologi

Penyebab Tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4 m. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lipid cukup tinggi (60%). Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam (alkohol) dan tahan terhadap trauma kimia dan fisik2.

Mycobacterium tuberculosis ini dapat hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberculosis aktif lagi2.Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Magrofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi daripada bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit Tuberculosis2.

4.3 Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002. 3,9 juta adalah kasus BTA positif. Hampir sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. TB ekstra paru berkisar antara 9,7 sampai 46% dari semua kasus TB. Organ yang sering terlibat yaitu limfonodi, pleura, hepar dan organ gastro intestinal lainnya, organ genitourinarius, peritoneum, dan perikardium. Pleuritis TB merupakan TB ekstraparu kedua terbanyak setelah limfadenitis TB. Angka kejadian pleuritis TB dilaporkan bervariasi antara 4% di USA sampai 23% di Spanyol3.

4.4 Patogenesis

Pleuritis TB merupakan suatu penyakit TB dengan manifestasi menumpuknya cairan di rongga paru, tepatnya di antara lapisan luar dan lapisan dalam paru.Dikenal dua macam pleuritis, yaitu yang kering dan basah. Di Indonesia paling sering dijumpai radang selaput paru yang basah. Di dunia kedokteran dinamakan Pleuritis eksudatifa atau Efusi Pleura4.

Pada orang normal, cairan di rongga pleura sebanyak 1-20 ml. Cairan di dalam rongga pleura jumlahnya tetap karena ada keseimbangan antara produksi oleh pleura viseralis dan absorpsi oleh pleura parietalis. Keadaan ini dapat dipertahankan karena adanya keseimbangan tekanan hidrostatik pleura parietalis sebesar 9 cmH20 dan tekanan koloid osmotik pleura viseralis sebesar 10 cm H204.

Efusi pleura terbentuk sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat antigen kuman TB dalam rongga pleura. Antigen ini masuk ke dalam rongga pleura akibat pecahnya fokus subpleura. Permulaan penyakit ini terlihat sebagai efusi sero-santokrom dan bersifat eksudat yang kebanyakan terjadi sebagai komplikasi tuberkulosis paru melalui fokus subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Rangsangan pembentukan cairan oleh pleura yang terkait dengan infeksi kuman TB.6 Pleuritis TB dapat merupakan manifestasi dari tuberkulosis primer atau tuberkulosis post primer (reaktivasi). Sebab lain juga dapat dari robeknya perkijuan ke arah saluran getah bening yang menuju ke rongga pleura, iga atau kolumna vertebralis (menimbulkankan Penyakit Pott). Dapat juga secara hematogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Cairan efusi yang biasanya serous bisa juga jadi hemoragik4.

Gambar 5. Efusi Pleura karena terinfeksi tuberkulosis4.

Pleuritis TB dianggap sebagai manifestasi TB primer yang banyak terjadi pada anak-anak. Pada tahun-tahun terakhir ini, umur rata-rata pasien dengan pleuritis TB primer telah meningkat. Hipotesis terbaru mengenai pleuritis TB primer menyatakan bahwa pada 6-12 minggu setelah infeksi primer terjadi pecahnya fokus kaseosa subpleura ke kavitas pleura. Antigen mikobakterium TB memasuki kavitas pleura dan berinteraksi dengan sel T yang sebelumnya telah tersensitisasi mikobakteria, hal ini berakibat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang menyebabkan terjadinya eksudasi oleh karena meningkatnya permeabilitas dan menurunnya klirens sehingga terjadi akumulasi cairan di kavitas pleura.Cairan efusi ini secara umum adalah eksudat tapi dapat juga berupa serosanguineous dan biasanya mengandung sedikit basil TB. Beberapa kriteria yang mengarah ke pleuritis TB primer:4

1. Adanya tes PPD positif baru

2. Rontgen thorax dalam satu tahun terakhir tidak menunjukkan adanya kejadian tuberkulosis parenkim paru

3. Adenopati hilus dengan atau tanpa penyakit parenkim.

Umumnya, efusi yang terjadi pada pleuritis TB primer berlangsung tanpa diketahui dan proses penyembuhan spontan terjadi pada 90% kasus. Pleuritis TB dapat berasal dari reaktivasi atau TB post primer. Reaktivasi dapat terjadi jika stasus imunitas pasien turun. Pada kasus Pleuritis TB rekativasi, dapat dideteksi TB parenkim paru secara radiografi dengan CT scan pada kebanyakan pasien. Infiltrasi dapat terlihat pada lobus superior atau segmen superior dari lobus inferior. Bekas lesi parenkim dapat ditemukan pada lobus superior, hal inilah yang khas pada TB reaktivasi. Efusi yang terjadi hampir umumnya ipsilateral dari infiltrat dan merupakan tanda adanya TB parenkim yang aktif. Efusi pada pleuritis TB dapat juga terjadi sebagai akibat penyebaran basil TB secara langsung dari lesi kavitas paru, dari aliran darah dan sistem limfatik pada TB post primer (reaktivasi). Penyebaran hematogen terjadi pada TB milier. Efusi pleura terjadi 10-30% dari kasus TB miler. Pada TB miler, efusi yang terjadi dapat masif dan bilateral. PPD test dapat negatif dan hasil pemerikasaan sputum biasanya jadi negatif4.

4.5 Gejala Klinis

Pleuritis TB biasanya bermanifestasi sebagai penyakit demam akut disertai batuk nonproduktif (94%) dan nyeri dada (78%) tanpa peningkatan lekosit darah tepi. Penurunan berat badan dan malaise bisa dijumpai, demikian juga menggigil. Sebagian besar efusi pleura TB bersifat unilateral (95%), lebih sering di sisi kanan. Jumlah cairan efusi bervariasi dari sedikit hingga banyak, meliputi setengah dari hemitoraks. Jumlah maupun lokasi terjadinya efusi tidak mempengaruhi prognosis4.

Pleuritis TB dapat merupakan manifestasi dari tuberkulosis primer atau tuberkulosis post primer. Secara tradisional, pleuritis TB dianggap sebagai manifestasi TB primer yang banyak terjadi pada anak-anak. Pada tahun-tahun terakhir ini, umur rata-rata pasien dengan Pleuritis TB primer telah meningkat. Hipotesis terbaru mengenai Pleuritis TB primer menyatakan bahwa pada 6-12 minggu setelah infeksi primer terjadi pecahnya fokus kaseosa subpleura ke kavitas pleura. Antigen mikobakterium TB memasuki kavitas pleura dan berinteraksi dengan Sel T yang sebelumnya telah tersensitisasi mikobakteria, hal ini berakibat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang menyebabkan terjadinya eksudasi oleh karena meningkatnya permeabilitas dan menurunnya klirens sehingga terjadi akumulasi cairan di kavitas pleura. Cairan efusi ini secara umum adalah eksudat tapi dapat juga berupa serosanguineous dan biasanya mengandung sedikit basil TB. Beberapa kriteria yang mengarah ke Pleuritis TB primer :

1. Adanya data tes PPD positif baru,

2. Rontgen thorax dalam satu tahun terakhir tidak menunjukkan adanya kejadian tuberkolosis parenkim paru,

3. Adenopati Hilus dengan atau tanpa penyakit parenkim.

Umumnya, efusi yang terjadi pada Pleuritis TB primer berlangsung tanpa diketahui dan proses penyembuhan spontan terjadi pada 90% kasus. Pleuritis TB dapat berasal dari reaktivasi atau TB post primer. Reaktivasi dapat terjadi jika stasus imunitas pasien turun. Pada kasus Pleuritis TB reaktivasi, dapat dideteksi TB parenkim paru secara radiografi dengan CT scan pada kebanyakan pasien. Infiltrasi dapat terlihat pada lobus superior atau segmen superior dari lobus inferior. Bekas lesi parenkim dapat ditemukan pada lobus superior, hal inilah yang khas pada TB reaktivasi. Efusi yang terjadi hampir umumnya ipsilateral dari infiltrat dan merupakan tanda adanya TB parenkim yang aktif.

Efusi pada pleuritis TB dapat juga terjadi sebagai akibat penyebaran basil TB secara langsung dari lesi kavitas paru, dari aliran darah dan sistem limfatik pada TB post primer (reaktivasi). Penyebaran hematogen terjadi pada TB milier. Efusi pleura terjadi 10-30% dari kasus TB miler. Pada TB miler, efusi yang terjadi dapat masif dan bilateral. PPD test dapat negatif dan hasil pemerikasaan sputum biasanya juga negatif.

4.6 Pemeriksaan Fisik

Adanya efusi pleura memberikan kelainan pada hemitoraks yang sakit dengan pergerakan pernapasan yang tertinggal, cembung, ruang antar iga yang melebar dan mendatar, getaran nafas (vocal fremitus) pada perabaan menurun, trakea yang terdorong, suara ketuk yang redup dan menghilangnya suara pernapasan pada pemeriksaan auskultasi4.

4.7. Pemeriksaan Bakteriologik

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).1

Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturutturut atau dengan cara:

1. Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

2. Dahak Pagi ( keesokan harinya )

3. Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)

Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.1 Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.1

Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas penderita yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasiliti laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan penderita, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.

Gambar 6. Alur Diagnosis Tuberkulosis

4.8 Pemeriksaan Radiologis

Dari gambaran radiologis bisa dijumpai kelainan parenkim paru. Bila kelainan paru terjadi di lobus bawah maka efusi pleura terkait dengan proses infeksi TB primer. Dan bila kelainan paru di lobus atas, maka kemungkinan besar merupakan TB pasca primer dengan reaktivasi fokus lama. Efusi pleura hampir selalu terjadi di sisi yang sama dengan kelainan parenkim parunya4.

Gambaran radiologik : posterior anterior (PA) terdapat kesuraman pada hemithorax yang terkena efusi, dari foto thorax lateral dapat diketahui efusi pleura di depan atau di belakang, sedang dengan pemeriksaan lateral dekubitus dapat dilihat gambaran permukaan datar cairan terutama untuk efusi pleura dengan cairan yang minimal4.

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).

Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif 1:

1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah

2. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular

3. Bayangan bercak milier

4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif1

1. Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas

2. Kalsifikasi atau fibrotik

3. Kompleks ranke

4. Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

Luluh Paru (Destroyed Lung ) 1:

1. Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.

2. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) :

1. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti

2. Lesi luas : Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

Gambar 8. Gambaran Radiologi Tuberkulosis

Gambaran radiologi pada tuberkulosis

a. Tuberkulosis aktif

Bercak-bercak halus atau kasar (masih terlihat banyak jaringan paru yang masih sehat)

Gambaran berawan tipis atau padat, sebagian lapangan paru atas tertutup dengan infiltrat, tetapi masih terlihat lapangan paru atas yang masih sehat

Berselubung bisa homogen atau inhomogen, karena hampir seluruh bagian atas paru terlihat infiltrat

Kavitas dengan dinding yang agak menebal

b. Tuberkulosis tenang

Bintik kalsifikasi (noda keras), densitas tinggi seperti perkapuran dengan macam-macam bentuk dan ukuran

Garis-garis fibrosis (garis keras), garis agak lurus dengan kaliber yang sama, tidak bercabang-cabang. Proses fibrosis dapat menyebabkan retraksi dari hilus atau trachea ke sisi proses tersebut

Klasifikasi berdasarkan lesi radiologi

a. Minimal lesions

Lesi terbatas sampai kosta II depan ke atas atau prosesus vertebrae thorakal IV atau corpus vertebrae thoracal V

Tidak ada kavitas

Pada sebagian kecil dari salah satu atau kedua jaringan paru

b. Moderately advanced lesions

Lesi pada satu atau kedua paru

Lesi tidak melebihi satu lobus atau salah satu hemithoraks bila densitas tidak merata

Boleh ada kavitas dengan diameter kurang dari 4 cm

c. Far advanced lesions / chronic fibroid

Lesi lebih hebat dari lesi moderately advanced lesions

Kavitas lebih dari 4 cm

Penarikan paru, volume paru mengecil

Intercostal space menyempit, trachea dan hilus tertarik

Gambar 9. Gambaran Efusi pada Peluritis Tuberkulosis

Gambar 10. Gambaran Efusi pada Peluritis Tuberkulosis

Gambar 11. Pleuritis Tuberkulosis

4.9. Pemeriksaan Laboratorium

Spesimen diagnostik utama efusi pleura TB adalah cairan pleura dan jaringan pleura. Biakan TB dari cairan pleura positif pada sekitar 42% kasus, dan dari biopsi positif sekitar 54%. Beberapa uji khusus seperti kadar adenosine deaminase (ADA) dalam cairan pleura, interferon , dan konsentrasi lisosim telah diteliti pada diagnostik efusi pleura TB namun belum digunakan secara rutin5.

Pleuritis TB tidak selalu mudah didiagnosis, karena tidak selalu ada gambaran khas seperti adanya eksudat yang kaya limfosit pada cairan efusi, granuloma nekrotik kaseosa pada biopsi pleura, hasil positif dari pewarnaan Ziehl Neelsen atau kultur Lowenstein dari cairan efusi atau jaringan sampel dan sensitivitas kulit terhadap PPD. Diagnosis dari pleuritis TB secara umum ditegakkan dengan analisis cairan pleura dan biopsi pleura. Pada tahun-tahun terakhir ini, beberapa penelitian meneliti adanya penanda biokimia dan limfokin lain seperti ADA, ADA isoenzim, Lisozim, INF- dan limfokin lainnya untuk meningkatkan efisiensi diagnosis5.

4.9.1. Torakosentesis

Hasil torakosentesis efusi pleura dari pleuritis TB primer mempunyai karakteristik cairan eksudat dengan total kandungan protein pada cairan pleura >30g/dL, rasio LDH cairan pleura dibanding serum > 0,5 dan LDH total cairan pleura >200U. Cairan pleura mengandung dominan limfosit (sering lebih dari 75% dari semua materi seluler), sering dikiuti dengan kadar glukosa yang rendah. Sayangnya, dari karakteristik diatas tidak ada yang spesifik untuk tuberkulosis, keadaan lain juga menunjukkan karakteristik yang hampir mirip seperti efusi parapnemonia, keganasan, dan penyakit rheumatoid yang menyerang pleura5.

Hasil pemeriksaan BTA cairan pleura jarang menunjukkan hasil positif (0- 1%). Isolasi M. tuberkulosis dari kultur cairan pleura hanya didapatkan pada 20- 40% pasien pleuritis TB. Hasil pemeriksaan BTA dan kultur yang negatif dari cairan pleura tidak mengekslusi kemungkinan pleuritis TB. Hasil pemeriksaan BTA pada sputum jarang positif pada kasus primer dan kultur menunjukkan hasil positif hanya pada 25-33% pasien. Sebaliknya, pada kasus reaktivasi pemeriksaan BTA sputum positif pada 50% pasien dan kultur positif pada 60% pasien5.

4.9.2. Biopsi Pleura

Biopsi pleura parietal telah menjadi tes diagnositik yang paling sensitif untuk pleuritis TB. Pemeriksaan histopatologis jaringan pleura menunjukkan peradangan granulomatosa, nekrosis kaseosa, dan BTA positif. Hasil biopsi perlu diperiksa secara PA, pewarnaan BTA dan kultur. Beberapa penelitian meneliti aktivitas ADA (adenosin deaminase) untuk mendiagnosis pleuritis TB. Disebutkan bahwa kadar ADA > 70 IU/L dalam cairan pleura sangat menyokong ke arah TB, sedangkan kadar < 40 IU/L mengekslusi diagnosis. Sebuah meta analisis dari 40 penelitian yang diterbitkan sejak tahun 1966 sampai 1999 menyimpulkan bahwa tes aktivitas ADA (sensitivitas berkisar antara 47,1 sampai 100% dan spesifitas berkisar antara 0-100%) dalam mendiagnosis pleuritis TB sangat baik (cukup baik untuk menghindari dilakukannya biopsi pleura pada pasien muda dari daerah dengan prevalensi TB yang tinggi), sebuah sitokin yang mempunyai hubungan dengan terapi, terbukti INF- mempunyai hubungan yang erat dengan efusi pleura yang disebabkan oleh karena TB (menggunakan cut off point 140 pg/ml dalam cairan pleura) mempunyai sensitivitas 85,7% dan spesifitas 97,1% pada pasien dengan pleuritis TB5.

4.9.3. Polymerase chain reaction (PCR)1

Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.

Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB. Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun luar paru sesuai dengan organ yang terlibat.

4.9.4. Pemeriksaan darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.1

4.9.5. Uji tuberkulin

Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau bula.1

Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian.

Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang analog dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang berada pada target organ yang terkena infeksi atau b) status respon imun individu yang tersedia bila menghadapi agent dari basil tahan asam yang bersangkutan (M.tuberculosis)1.

4.10. Pengobatan Tuberkulosis4.10.1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah1:

a. Rifampisin

b. INH

c. Pirazinamid

d. Streptomisin

e. Etambutol

2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari1 :

a. Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan

b. Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg dan pirazinamid 400 mg

3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)1

a. Kanamisin

b. Kuinolon

c. Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat

d. Derivat rifampisin dan INH

4.10.2. Dosis OAT

Rifampisin .

a. 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu

b. BB > 60 kg : 600 mg

c. BB 40-60 kg : 450 mg

d. BB < 40 kg : 300 mg

e. Dosis intermiten 600 mg / kali

INH

a. 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X seminggu, 15 mg/kg BB 2 X semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa.

b. lntermiten : 600 mg / kali

c. Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X semingggu, 50 mg /kg BB 2 X semingggu

d. BB > 60 kg : 1500 mg

e. BB 40-60 kg : 1 000 mg

f. BB < 40 kg : 750 mg

Etambutol

a. fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB, 30mg/kg BB 3X seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau : BB >60kg : 1500 mg

b. 40 -60 kg : 1000 mg

c. BB < 40 kg : 750 mg

d. Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali

Streptomisin

a. 15mg/kgBB atau

b. BB >60kg : 1000mg

c. BB 40 - 60 kg : 750 mg

d. BB < 40 kg : sesuai BB

4.10.3. Kombinasi dosis tetap

Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya minum obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan kombinasi dosis 2 obat antituberkulosis seperti yang selama ini telah digunakan sesuai dengan pedoman pengobatan. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / fasiliti yang mampu menanganinya.1

Tabel 1. Efek samping ringan dari OAT

Efek samping

Penyebab

Penanganan

Tidak nafsu makan, mual,

sakit perut

Rifampisin

Obat diminum malam sebelum tidur

Nyeri sendi

Pyrazinamid

Beri aspirin /allopurinol

Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki

INH

Beri vitamin B6

(piridoksin) 100 mg

perhari

Warna kemerahan pada air seni

Rifampisin

Beri penjelasan,tidak perlu diberi apa-apa

Tabel 2. Efek samping berat dari OAT

Efek samping

Penyebab

Penanganan

Gatal dan kemerahan

pada kulit

Semua jenis OAT

Beri antihistamin & dievaluasi ketat

Tuli

Streptomisin

Streptomisin dihentikan

Gangguan keseimbangan

Streptomisin

Streptomisin dihentikan

Ikterik

Hampir semua OAT

Hentikan semua OAT sampai ikterik

menghilang

Bingung dan muntah 2

Hampir semua

obat

Hentikan semua OAT & lakukan uji fungsi

hati

Gangguan penglihatan

Ethambutol

Hentikan ethambutol

Purpura dan renjatan

(syok)

Rifampisin

Hentikan Rifampisin

4.10.4. Paduan Obat Anti Tuberkulosis

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:

1 TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas Paduan obat yang diberikan 2 RHZE / 4 RH

2 Alternatf 2 RHZE / 4R3H3 atau (program P2TB)

3 RHZE/ 6HE

Paduan ini dianjurkan untuk

1 TB paru BTA (+), kasus baru

2 TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)

3 TB di luar paru kasus berat

Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan, dengan paduan 2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3, seperti pada keadaan:

1 TB dengan lesi luas

2 Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus,Pemakaian obat imunosupresi / kortikosteroid)

3 TB kasus berat (milier, dll)

Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi

TB Paru (kasus baru)

a. BTA negatif Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH

b. Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE

c. Paduan ini dianjurkan untuk :

i. TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal

ii. TB di luar paru kasus ringan

TB paru kasus kambuh

Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya, sehingga paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program P2TB).1

TB Paru kasus gagal pengobatan

Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan minimal menggunakan 4 -5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih sensitif ( seandainya H resisten, tetap diberikan). Dengan lama pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun . Menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan dahulu 2 RHZES , untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi.1

a. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat :

2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (Program P2TB)

b. Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal

c. Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

TB Paru kasus lalai berobat

Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan

1. Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu,engobatan OAT dilanjutkan sesuai jadual

2. Penderita menghentikan pengobatannya 2 minggu

a. Berobat 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik negatif, pengobatan OAT STOP

b. Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama

c. Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama

d. Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif, akan tetapi klinik dan atau radiologik positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama

e. Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu pengobatan diteruskan kembali sesuai jadual.

TB Paru kasus kronik

1. Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 2 macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lain seperti kuinolon, betalaktam, makrolid

2. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup

3. Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan

4. Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru

Tabel 3. Jenis dan Dosis Obat Anti Tuberkulosis Primer. 14

Obat

Dosis (Mg/Kg BB/Hari)

Dosis yg dianjurkan

DosisMaks (mg)

Dosis (mg) / berat badan (kg)

Harian (mg/ kgBB / hari)

Intermitten

(mg/Kg/ BB/kali)

< 40

40-60

>60

R

8-12

10

10

600

300

450

600

H

4-6

5

10

300

150

300

450

Z

20-30

25

35

750

1000

1500

E

15-20

15

30

750

1000

1500

S

15-18

15

15

1000

Sesuai BB

750

1000

Tabel 4. Dosis Obat Anti Tuberkulosis kombinasi dosis tetap.

BB

Fase Intensif

Fase Lanjutan

2 bulan

4 bulan

Atau 6 bulan

Harian

Harian

3x/minggu

Harian

3x/minggu

Harian

RHZE

150/75/400/275

RHZ

150/75/400

RHZ

150/150/500

RH

150/75

RH

150/150

EH

400/150

30-37

2

2

2

2

2

1,5

38-54

3

3

3

3

3

2

55-70

4

4

4

4

4

3

>71

5

5

5

5

5

3

BAB V Kesimpulan

Pleuritis TB dapat merupakan manifestasi dari tuberkulosis primer atau tuberkulosis post primer. Secara tradisional, pleuritis TB dianggap sebagai manifestasi TB primer yang banyak terjadi pada anak-anak. Pada tahun-tahun terakhir ini, umur rata-rata pasien dengan Pleuritis TB primer telah meningkat. Hipotesis terbaru mengenai Pleuritis TB primer menyatakan bahwa pada 6-12 minggu setelah infeksi primer terjadi pecahnya fokus kaseosa subpleura ke kavitas pleura. Antigen mikobakterium TB memasuki kavitas pleura dan berinteraksi dengan Sel T yang sebelumnya telah tersensitisasi mikobakteria, hal ini berakibat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang menyebabkan terjadinya eksudasi oleh karena meningkatnya permeabilitas dan menurunnya klirens sehingga terjadi akumulasi cairan di kavitas pleura. Cairan efusi ini secara umum adalah eksudat tapi dapat juga berupa serosanguineous dan biasanya mengandung sedikit basil TB.

Gambaran radiologis bisa dijumpai kelainan parenkim paru. Bila kelainan paru terjadi di lobus bawah maka efusi pleura terkait dengan proses infeksi TB primer. Dan bila kelainan paru di lobus atas, maka kemungkinan besar merupakan TB pasca primer dengan reaktivasi fokus lama. Efusi pleura hampir selalu terjadi di sisi yang sama dengan kelainan parenkim parunya4.

Gambaran radiologik : posterior anterior (PA) terdapat kesuraman pada hemithorax yang terkena efusi, dari foto thorax lateral dapat diketahui efusi pleura di depan atau di belakang, sedang dengan pemeriksaan lateral dekubitus dapat dilihat gambaran permukaan datar cairan terutama untuk efusi pleura dengan cairan yang minimal

DAFTAR PUSTAKA

1. PDPI , 2006. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia: 1-55

2. Guyton Arthur C dan Hall John E. Textbook of medical physiology, W B Saunders Co, Eleventh edition, 2006:478-80.

3. Ganong William F. Review of Medical Physiology, Twenty first edition, McGraw-Hill, 2003: 468-80

4. Sherwood, Lauralee, Fisiologi Manusia : dari Sel ke Sistem, Edisi 6, Jakarta : EGC,2011 : 19 :661- 7.

5. Netter Anatomy http://www.netterimages.com/

6. Zain LH. Tuberkulosis peritoneal. Dalam : Noer S ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2009. h.403-6

7. Lazarus, AA., Thilagar,B. 2007. Abdominal Tuberculosis. United States Government. Dis Mon ;53:32-8.

8. Vogel.,et.al. 2008. Tuberculous Peritonitis in a German patient with Primary Billiary Cirrhosis. Journal of Medical Case Reports, 2:32. BioMed Central Ltd. Available at http://www.jmedicalcasereports.com/content/2/1/32.

9. Akin,Tarim.,et.al.2000. Diagnostic Tools For Tuberculous Peritonitis. The Turkish Journal of Gastroenterology ; 11(2) p 162-65.

10. Chow,MK.,et.al 2001. Tuberculous Peritonitis-Associated Mortality is High among Patients Waiting for the Results of Mycobacterial Cultures of Ascitic Fluid Sampels. Oxford Journals of Clinical Infectious ; 35 (4) p 409-13. Available at http://cid.oxfordjournals.org/content/35/4/409.full.

11. Hu Leun-Ming.,et.al. 2009. Abdominal Tuberculosis : Analysis of Clinical Features and Outcome of Adult Patients in Southern Taiwan. Journal of Medical Chang Gung ; 32 (5) p 509-15.

12. Akpolat,Tekin. 2009. Tuberculosis Peritonitis. Peritoneal Dyalisis International Istanbul,Turkey ;29 (2) p 166-69.

13. Manaf,Abdul.,et.al. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen Kesehatan Republik Indonesia ; 2 (1) p. 13.

14. Anonym.2007. Tuberculosis : A Radiologic Review. Radiographics The Journal of Continuing Medical Education in Radiology ; 27 (5) p.1255-73 .Available at http://radiographics.rsna.org/content/27/5/1255/F32.expansion.html.

15. Anonym.2007.Greater and Lesser Omenta :Normal Anatomy and Pathologic

16. Processes. Radiographics The Journal of Continuing Medical Education in Radiology ; 27 (3) p.3707-720.Available at

http://radiographics.rsna.org/content/27/3/707/F8.expansion.html.

17. Anonym.2009. TB Peritonitis on Laparascopy. Naugatuck Valley Gastroenterology Consultans. Available at :

http://planetgi.com/worxcms_published/atlas_abnormal_gallery_page309.html

29