IMPLEMENTASI PROGRAM PENCEGAHAN DINI DAN …repository.ub.ac.id/9591/1/ALYEF REPSI DANANJAYA...
Transcript of IMPLEMENTASI PROGRAM PENCEGAHAN DINI DAN …repository.ub.ac.id/9591/1/ALYEF REPSI DANANJAYA...
IMPLEMENTASI PROGRAM PENCEGAHAN DINI DAN PENANGGULANGAN BENCANA ALAM DALAM UPAYA MITIGASI BENCANA TANAH LONGSOR
DI KECAMATAN TULAKAN (Studi di BPBD Kabupaten Pacitan)
SKRIPSI Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana
Pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
ALYEF REPSI DANANJAYA
NIM. 125030600111047
UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK
MINAT PERENCANAAN PEMBANGUNAN MALANG
2018
i
MOTTO
If the only tool you have is a hammer, you tend to see
every problem as a nail
ii
iii
iv
v
RINGKASAN
Alyef Repsi Dananjaya, 2017, Implementasi Program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Benacan Alam dalam Upaya Mitigasi Tanah Longsor di Kecamatan Tulakan (Studi di BPBD Kabupaten Pacitan), pebimbing : Drs. Sukanto, MS. anggota pembimbing: Mochamad Chazienul Ulum S. Sos, MPA. 131 Hal. + xvii
Penelitian ini dilakukan dengan latarbelakang tingginya angka kejadian dan ancaman tanah longsor di Kabupaten Pacitan menunjukan adanya kerentanan di daerah tersebut. Bencana muncul ketika bahaya bertemu dengan kerentanan (Ulum, 2014). Kerentanan akan menciptakan risiko, dimana menjadikan kerentanan tersebut sangat penting untuk diminimalisir sehingga risiko bencana berkurang. BPBD sebagai instansi pemerintah daerah mewujudkan pelayananya dengan menyusun program-program. Tingginya angka kejadian dan ancaman tanah longsor membawa peneliti pada pertanyaan tentang bagaimana wujud perhatian yang diberikan oleh BPBD Kabupaten Pacitan melalui programnya dalam mengurangi resiko jenis bencana tersebut. Perhatian tersebut selayaknya dapat dirasakan terlebih oleh masyarakat di Kecamatan Tulakan, menjadi kawasan yang mempunyai tingkat kerawanan terhadap longsor yang tinggi.
Metode penelitian menggunakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Fokus penelitian meliputi (1) Implementasi program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana Alam dalam Upaya mitigasi longsor yang mengacu pada teori Charles Jones (1994) (2) Faktor pendukung dan faktor penghambat. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisis data menggunakan teknik Qualitative Data Analysis oleh Seidel (1998).
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa upaya pengurangan risiko yang juga dikenal dengan istilah mitigasi telah banyak diwujudkan BPBD melalui upaya pemetaan, pemantauan, penyelidikan gerakan tanah, peringatan dini & penyebarluasan informasi, penguatan ketahanan masyarakat, serta relokasi pemukiman. Meskipun begitu, dengan mengacu pada teori mitigasi tanah longsor dari KESDM (2015) telah didapatkan beberapa upaya yang belum diterapkan oleh BPBD.
Mengingat kondisi Kabupaten Pacitan yang rentan terhadap tanah longsor, maka saran dari penelitian ini adalah perlu adanya perhatian lebih dari BPBD mengenai upaya mitigasi tanah longsor. Perhatian lebih tersebut dapat diwujudkan dengan meningkatkan kualitas maupun kuantitas upaya-upaya mitigasi tanah longsor dalam kegiatan-kegiatan BPBD, sehingga upaya mitigasi longsor dapat dilaksanakan secara optimal.
Kata kunci : pencegahan dini, penanggulangan bencana, mitigasi, tanah longsor
vi
SUMMARY
Alyef Repsi Dananjaya, 2017, Implementation of Early Prevention and Natiral Disaster Management Program in Landslide Mitigation Efforts in Tulakan Subdistrict (Study in BPBD of Pacitan Regency), conselor: Drs. Sukanto, MS. counselor member: Mochamad Chazienul Ulum S. Sos, MPA. 131 Pg. + xvii
This research is conducted with the background of the high number of incidents and the threat of landslide in Pacitan Regency indicate the existence of vulnerability in the area. Disaster arises when danger encounters vulnerability (Ulum, 2014). Vulnerability creates a risk, which makes the vulnerability very important to minimize so that disaster risk is reduced. BPBD as a local government agency to realize its service by preparing programs. The high number of incidents and the threat of landslides brought researchers to the question of how the form of attention provided by BPBD of Pacitan Regency through its program in reducing the risk of this type of disaster. Such attention should be felt by the people of Tulakan Subdistrict, to be an area of high vulnerability to landslide.
The research method used descriptive research with qualitative approach. Research focus includes (1) Implementation of Early Prevention and Natural Disaster Mitigation Program in Avalanche mitigation measures based on Charles Jones theory (1994) (2) Supporting factors and inhibiting factors. Techniques of collecting data using interviews, observation, and documentation. Data analysis using Qualitative Data Analysis technique by Seidel (1998).
The results of the research indicate that risk reduction efforts also known as mitigation have been realized by BPBD through mapping, monitoring, ground movement investigation, early warning & dissemination of information, strengthening community resilience, and resettlement relocation. Nevertheless, with reference to the landslide mitigation theory of KESDM (2015) several attempts have not been implemented by BPBD.
Based on the condition of Pacitan Regency that is susceptible to landslides, the suggestion of this research is the need for more attention from BPBD regarding mit landslide mitigation efforts. More attention can be realized by improving the quality and quantity of landslide mitigation efforts in BPBD activities, so that landslide mitigation efforts can be implemented optimally.
Keywords : early prevention, disaster management, mitigation, landslide
vii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
anugerah serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul Implementasi Program Pencegahan Dini dan Penanggulangan
Bencana Alam dalam Upaya Mitigasi Bencana Tanah Longsor di Kecamatan
Tulakan (Studi di BPBD Kabupaten Pacitan). Skripsi ini merupakan tugas akhir
yang diajukan untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana
Administrasi Publik (SAP) pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Brawijaya Malang.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya
bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Bambang Supriyono, MS selaku Dekan Fakultas
Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya;
2. Bapak Dr. Choirul Saleh, M.Si selaku Ketua Jurusan Administrasi
Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya;
3. Bapak Dr. Hermawan S.IP., M.Si selaku koordinator minat
perencanaan Pembangunan;
4. Drs. Sukanto, MS. selaku Ketua Dosen Pembimbing yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan ilmu dan dorongan moril serta
saran selama mengajar dan membimbing saya;
viii
5. Mochamad Chazienul Ulum S. Sos, MPA selaku Anggota Dosen
Pembimbing yang telah memberikan banyak arahan, banyak
dorongan semangat dalam penulisan ini serta selalu sabar
menghadapi saya;
6. Bapak dan Ibu dosen Minat Perencanaan Pembangunan Fakultas
Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya yang telah memberikan
ilmu yang bermanfaat bagi penulis;
7. Ibu Diannitta Agustinawati, selaku Kepala Seksi bidang Pencegahan
dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Kabupaten Pacitan yang telah memberikan saya kesempatan untuk
melakukan penelitian;
8. Bapak Gunarto selaku Seksi Pemberdayaan Masyarakat Kantor
Kecamatan Tulakan yang telah memberikan saya kesempatan dan
waktu melakukan penelitian.
9. Bapak Kadiman sebagai warga terdampak tanah longsor di Kecmatan
Tulakan batik yang telah mengizinkan saya untuk melakukan
penelitian dan meluangkan waktu untuk memberikan informasi.
10. Ayahanda tercinta yang telah memberikan berbagai dukungan, baik
doa maupun materiil.
11. Keluarga di Pacitan, yang telah membantu dan memberikan saran
untuk kelancaran penelitian.
ix
12. Teman-teman Pacitan, Agni, Bagus, Briyan, Azam, Tyo, Fahmi,
Tonggeng, Puput, Lutfi, Wita, Ulik yang telah memberikan berbagai
dukungan.
13. Teman-teman kost lama Kertoasri 120, Argha, Happy, Farid, Gio,
Adri, Fauzi dan lainya yang telah memberikan dukungan.
14. Teman-teman seperjuangan PP 2012, yang telah menemani
pengerjaan tugas akhir ini dan memberikan dukungan serta,
13. Teman-teman lainya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang
telah memberikan dukungan.
Demi kesempurnaan skripsi ini, saran dan kritik yang sifatnya
membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya skripsi ini bermanfaat dan
dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi pihak yang membutuhkan.
Malang, September 2017
Penulis
x
DAFTAR ISI
MOTTO ......................................................................................................... i TANDA PENGESAHAN .............................................................................. ii PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI .............................................. iii RINGKASAN ................................................................................................ iv SUMMARY ................................................................................................... v KATA PENGANTAR ................................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xi DAFTAR TABEL ......................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................. 1 B. Perumusan Masalah .......................................................... 6 C. Tujuan Penelitian .............................................................. 6 D. Kontribusi Penelitian ......................................................... 7 E. Sistematika Penulisan ....................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembangunan Berkelanjutan
1. Pengertian Pembangunan Berkelanjutan ..................... 11 2. Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan .............. 13
B. Kebencanaan 1. Pengertian Bencana ..................................................... 17 2. Jenis-jenis Bencana ..................................................... 18 3. Bencana Tanah Longsor .............................................. 23
C. Manajemen Bencana 1. Pengertian Manajemen Bencana ................................. 34 2. Kegiatan Manajemen Bencana .................................... 35
D. Mitigasi Bencana 1. Pengertian Mitigasi Bencana ...................................... 39 2. Kegiatan Mitigasi Bencana ......................................... 39 3. Mitigasi Tanah Longsor .............................................. 41
E. Peran Pemerintah Daerah dalam Manajemen Bencana ............................................................................. 45
F. Implementasi Program 1. Pengertian Program ..................................................... 48 2. Implementasi Program ................................................ 49
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian .................................................................. 52 B. Fokus Penelitian ................................................................ 53 C. Lokasi dan Situs Penelitian ............................................... 55 D. Jenis dan Sumber Data ...................................................... 56 E. Teknik Pengumpulan Data ................................................ 57
xi
F. Instrumen Penelitian .......................................................... 59 G. Analisis Data ..................................................................... 60
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Gambaran Kabupaten Pacitan ...................................... 66 2. Gambaran Umum BPBD ............................................ 79 3. Gambaran Umum Kecamatan Tulakan ....................... 82
B. Penyajian Data 1. Implementasi Program Pencegahan Dini dan
Penanggulangan Bencana dalam .................................. 89 2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi
Program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana dalam ............................................................ 106
C. Pembahasan 1. Implementasi Program Pencegahan Dini dan
Penanggulangan Bencana dalam .................................. 110 2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi
Program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana dalam ............................................................ 123
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................... 125 B. Saran .................................................................................. 129
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xii
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman 1 Jenis Bencana di Indonesia pada Tahun 2011-2016 ................................ 3 2 Kejadian Tanah Longsor di Indonesia pada Tahun 1998-2016 ............... 4 3 Longsoran Translasi ................................................................................. 26 4 Longsoran Rotasi ..................................................................................... 26 5 Pergerakan Blok ....................................................................................... 27 6 Runtuhan Batu ......................................................................................... 27 7 Rayapan Tanah ......................................................................................... 28 8 Aliran Bahan Rombakan .......................................................................... 28 9 Siklus Manajemen bencana ...................................................................... 36 10 Model Analisis Data Kualitatif Seidel ..................................................... 60 11 Lambang Kabupaten Pacitan .................................................................... 66 12 Peta Wilayah Kabupaten Pacitan ............................................................. 71 13 Kantor BPBD ........................................................................................... 80 14 Bagan Struktur Organisasi BPBD Kabupaten Pacitan ............................. 82 15 Piramida Penduduk Kecamatan Tulakan 2015 ........................................ 84 16 Jumlah Kelahiran dan Kematian Kecamatan Tulakan 2015 .................... 85 17 Banyaknya Hari Hujan dan Curah Hujan per Bulan Tahun 2015 ........... 86 18 Kantor Kecamatan Tulakan ..................................................................... 87 19 Struktur Organisasi Kantor Kecamatan Tulakan ..................................... 88 20 Kajian Lapangan oleh PVMBG ............................................................... 92 21 Pelaksanaan Kegiatan Sosialisasi Edukasi Penanggulangan Bencana di
Kantor Kecamatan Tulakan ...................................................................... 103
xiii
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman 22 Kemiringan Lahan Kabupaten Pacitan Berdasarkan kecamatan ................... 72 23 Curah Hujan per Bulan Tahun 2015 Menurut Stasiun Pengamatan ............. 76 24 Jumlah Penduduk, Rasio Jenis Kelamin dan Kepadatan Penduduk Berdasarkan
Kecamatan di Kabupaten Pacitan Tahun 2015 .............................................. 77 25 Indikator Kependudukan Kecamatan Tulakan Tahun 2013-2015 ................ 84 26 Anggaran Program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana Alam .. 95 27 Daftar Sarana dan Prasarana Penanggulangan Bencana BPBD .................... 96
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada
pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia,
lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Di bagian selatan dan timur
Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau
Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, sampai Sulawesi (BNPB, 2016). Kondisi
tersebut serta posisinya yang berada pada wilayah tropis, selain memberikan
keindahan dan kekayaan alam, juga membawa berbagai risiko bencana alam.
Risiko bencana alam dapat meningkat akibat pembangunan secara konvensional
yang dilakukan oleh manusia (Weisman, 2009). Risiko bencana tersebut apabila
tidak dikelola/diminimalisasi dengan baik dapat mengakibatkan terjadinya
kemunduran dari pembangunan itu sendiri.
Bencana menurut UU No 24 Tahun 2007 didefinisikan sebagai suatu
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam, non alam ataupun
manusia. Bencana mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana dapat
menyebabkan kerugian yang meluas bagi kehidupan manusia, baik dari segi
ekonomi, tatanan masyarakat maupun lingkungan. Indonesia termasuk negara
yang mempunyai potensi bencana alam yang cukup tinggi. Berdasarkan data
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2016 telah terjadi 2.406
2
kejadian bencana mengakibatkan 712 jiwa korban meninggal dan hilang,
3.164.247 jiwa korban menderita dan mengungsi (termasuk luka-luka), 48.363
unit kerusakan rumah, serta 2.323 kerusakan fasilitas umum.
Berbagai macam jenis bencana telah banyak terjadi di Indonesia. Berikut ini
adalah prosentase jenis bencana pada tahun 2011-2016 berdasar pada data yang
dihimpun BNPB :
Gambar 1. Jenis Bencana di Indonesia pada Tahun 2011-2016
Sumber : BNPB, 2016
Berdasarkan gambar di atas, terdapat tiga jenis bencana yang mendominasi, yakni
banjir, puting beliung, dan tanah longsor. Dominasi ketiga bencana tersebut
terlihat sangat signifikan dibanding 12 jenis bencana lainya. Mengacu pada data
dari BNPB (2016), apabila dilihat dari peningkatan kejadian bencana, tanah
longsor merupakan jenis bencana yang memiliki kecenderungan peningkatan
jumlah kejadian yang cukup pesat dibandingkan dua bencana dominan lainya. Hal
ini menjadikan tanah longsor sebagai jenis bencana yang juga patut untuk
diwaspadai. Peningkatan itu terlihat drastis pada tahun 2014, yaitu naik dari 296
kejadian menjadi 600 kejadian. Pada tahun 2015 angka tersebut menurun menjadi
3
515, dan kembali naik di tahun berikutnya menjadi 626. Peningkatan jumlah
kejadian tersebut dapat dilihat melalui gambar berikut :
Gambar 2. Kejadian Tanah Longsor di Indonesia pada Tahun 1998-2016
Sumber : BNPB, 2016
Berdasarkan data dari International Landslide Centre, Durham University,
Indonesia merupakan negara kedua terbanyak kejadian tanah longsor yang
menyebabkan kematian pada tahun 2007 dengan 465 korban (Petley, 2008).
BNPB (2014) mendefinisikan tanah longsor sebagai suatu jenis gerakan massa
tanah atau batuan, maupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng
akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng. Data dari
BNPB (2017) sampai pada bulan Juli menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang
terpapar langsung oleh bahaya longsor sedang hingga tinggi sebanyak 40,9 juta
jiwa, diantaranya terdapat 4,28 juta jiwa balita, sebanyak 3,2 juta jiwa lansia juga
terancam keselamatannya oleh bencana longsor, 386 ribu jiwa diantaranya dalam
bahaya tinggi dan 2,8 juta jiwa lansia dalam bahaya sedang. Sekian banyak
kejadian tanah longsor telah menyerang kehidupan manusia di berbagai daerah di
Indonesia.
4
Peta persebaran tanah longsor yang disusun oleh BNPB (2016) menunjukan
bahwa Jawa adalah pulau yang paling kerap mengalami bencana tanah longsor.
Hadmoko dkk. (2010) juga menjelaskan bahwa korban jiwa yang disebabkan oleh
tanah longsor di Pulau Jawa saja sudah sangatlah tinggi. Tatanan geologi,
karakteristik topografi, dan karakteristik iklim mengakibatkan Pulau Jawa
merupakan wilayah yang paling terekspos terhadap bahaya tanah longsor
(Christanto dkk, 2009). Menurut Cristanto dkk (2009) terdapat faktor-faktor yang
berkaitan erat dengan penyebab tanah longsor di Pulau Jawa, faktor-faktor
tersebut yakni :
1. Lokasi di atas zona subduksi, 60% wilayah Pulau Jawa berupa
pegunungan, dengan rantai gunung volkano-tektonik dan terdapat 36
gunungapi aktif dari 129 gunungapi di Indonesia, dan material volkanik ini
telah terlapukkan secara intensif
2. Pulau Jawa terpengaruh iklim tropis lembab yang berasosiasi dengan
tingginya intensitas curah hujan pada musim penghujan antara Oktober
hingga April. Pada puncak dari kondisi “natural” ini, aktivitas manusia
yang mengurangi kestabilan lereng seperti pemotongan lereng merupakan
faktor tambahan terjadinya tanah longsor. Aktivitas manusia tersebut
diketahui melalui tingginya kepadatan demografi.
Buku III RPJMN 2015-2019 menyebutkan bahwa tujuan pengembangan di
Wilayah Jawa-Bali adalah mengurangi indeks risiko bencana pada 36
kabupaten/kota sasaran yang memiliki indeks risiko bencana tinggi, baik yang
berfungsi sebagai PKN, PKSN, PKW, Kawasan Industri maupun pusat
5
pertumbuhan lainnya. Adapun Kabupaten Pacitan sebagai Pusat Kegiatan
Wilayah (PKW) menjadi salah satu daerah sasaran dengan ancaman bencana
banjir dan longsor. Namun begitu, longsor lebih menjadi bencana yang
diwaspadai di Kabupaten Pacitan, sebab lebih kerapnya terjadi dibandingkan
bencana banjir. Kejadian longsor di Kabupaten Pacitan cukup terbilang tinggi,
dengan menempati peringkat kedua se-Jawa Timur pada tahun 2016 (BNPB,
2016). BPBD Kabupaten Pacitan (2017) juga telah mencatat sejumlah kejadian
longsor terhitung 667 kali pada tahun 2016 di Kabupaten Pacitan.
Di lingkup Kabupaten Pacitan sendiri persebaran kejadian tanah longsor di
dominasi oleh Kecamatan Tulakan dengan 186 kali kejadian (BNPB, 2016).
Kondisi fisik lahan di Tulakan mempunyai potensi yang tinggi untuk terjadinya
proses erosi dan tanah longsor, maka sedikit saja kesalahan dalam penggunaan
lahan akan memicu terjadinya proses tanah longsor atau erosi tersebut
(Avridianto, 2016). Salah satu peristiwa longsor akibat salah guna lahan terjadi di
Desa Gasang pada bulan Mei 2017 mana menyebabkan 5 rumah warga rusak
berat, 2 rumah rusak ringan sehingga diharuskan untuk relokasi, serta badan jalan
menuju desa ambles (BPBD, 2017). Oleh sebab itu, untuk menghindari jatuhnya
korban dan berbagai bahaya akibat tanah longsor, maka diperlukan upaya-upaya
yang mengarah pada tindakan untuk meminimalisir risiko. Dalam peraturan
perundang-undangan tindakan untuk meminimalisir risiko tersebut dikenal dengan
istilah mitigasi.
World Conference on Disaster Reduction dalam ISDR (2007) menekankan
bahwa mitigasi bencana merupakan isu sentral kebijakan pembangunan, selain
6
juga menjadi perhatian berbagai bidang ilmu, kemanusiaan, dan lingkungan.
Bencana merusak hasil-hasil pembangunan, memelaratkan rakyat dan negara.
Tanpa usaha yang serius untuk mengatasi kerugian akibat bencana, bencana akan
terus menjadi penghalang besar dalam pencapaian sasaran pembangunan
milenium. Oleh sebab itu, mitigasi menjadi penting karena dapat diartikan sebagai
wujud investasi dalam pembangunan. Mitigasi dalam manajemen bencana longsor
menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dalam
KESDM (2005) terdiri dari enam macam upaya, yakni pemetaan, pemantauan,
peringatan dini & penyebaran informasi, penyelidikan gerakan tanah, penguatan
ketahanan masyarakat, serta mitigasi struktural.
Minimnya upaya peningkatan mitigasi bencana menjadi salah satu isu
strategis Pemerintah Kabupaten Pacitan yang terdapat dalam RPJMD 2017-2021.
Isu strategis tersebut mendasari tersusunya arah kebijakan, yakni pengembangan
sistem penanggulangan bencana yang responsif. Arah kebijakan ini diwujudkan
melalui program prioritas “Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana Alam”
yang mana menjadi tanggung jawab Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD). Berdasarkan Undang-Undang No 24 tahun 2007 BPBD memiliki fungsi
merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana, penanganan
pengungsi, serta pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana.
BPBD Kabupaten Pacitan merupakan instansi pemerintah tingkat daerah yang
mengemban tugas-tugas berkaitan dengan bencana, khususnya bencana lokal.
Mengingat rentannya kondisi alam Kabupaten Pacitan terhadap bencana
tanah longsor, khususnya pada Kecamatan Tulakan menjadikan penerapan upaya
7
mitigasi bencana longsor perlu mendapatkan perhatian yang serius dari BPBD.
BPBD Kabupaten Pacitan melalui Renstra 2017-2021 telah mengeluarkan
program “Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana Alam” sebagai program
yang sekaligus mencakup upaya-upaya mitigasi tanah longsor. Oleh sebab itu,
maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Implementasi Program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana
Alam dalam Upaya Mitigasi Bencana Tanah Longsor di Kecamatan Tulakan
(Studi di BPBD Kabupaten Pacitan)”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah implementasi Program Pencegahan Dini dan
Penanggulangan Bencana Alam dalam upaya mitigasi bencana tanah
longsor di Kecamatan Tulakan?
2. Apa sajakah faktor pendukung dan penghambat implementasi Program
Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana Alam dalam upaya
mitigasi bencana tanah longsor di Kecamatan Tulakan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui, mendiskripsikan dan menganalisis implementasi
Program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana Alam dalam
upaya mitigasi bencana tanah longsor di Kecamatan Tulakan.
2. Untuk mengetahui, mendiskripsikan dan menganalisis faktor pendukung
dan penghambat implementasi Program Pencegahan Dini dan
Penanggulangan Bencana Alam dalam upaya mitigasi bencana tanah
longsor di Kecamatan Tulakan.
8
D. Kontribusi Penelitian
Peneliti mengharapkan penelitian yang dilakukan dapat memberikan
manfaat, diantaranya :
1. Kontribusi Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan studi
perbandingan untuk penelitian selanjutnya demi menambah
pengetahuan pembaca mengenai manajemen bencana terkait mitigasi
tanah longsor.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Sebagai sarana memperdalam pengetahuan penulis dalam menerapkan
ilmu yang diperoleh selama masa perkuliahan terutama yang
berhubungan dengan judul penelitian ini yaitu mengenai implementasi
Program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana Alam dalam
upaya mitigasi bencana tanah longsor di Kecamatan Tulakan.
b. Bagi Akademis
Sebagai sarana peningkatan dan pengembangan ilmu pengetahuan,
khususnya dibidang manajemen bencana.
c. Bagi Organisasi
Sebagai bahan kajian sehingga penelitian ini diharapkan dapat
menjadi masukan ataupun informasi bagi Badan Penanggulangan
9
Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pacitan mengenai mitigasi
bencana longsor.
E. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Pada bab pendahuluan ini, penulis menguraikan garis besar
mengenai latar belakang pengambilan judul penelitian,
perumusan masalah, tujuan penelitian, kontribusi
penelitian, serta sistematika penulisan yang terkait dengan
implementasi Program Pencegahan Dini dan
Penanggulangan Bencana Alam dalam upaya mitigasi
bencana tanah longsor di Kecamatan Tulakan.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Pada bab ini penulis menguraikan secara lebih dalam teori-
teori yang melandasi penelitian dan pembahasan yang
berkaitan dengan pokok-pokok bahasan yakni mengenai
pembangunan berkelanjutan, kebencanaan, manajemen
bencana, mitigasi bencana, peran pemerintah daerah dalam
manajemen bencana, serta implementasi program.
BAB III : Metode Penelitian
Dalam bab ini menjelaskan tentang metode penelitian yang
penulis gunakan dalam proses penelitian yang terkait
dengan implementasi Program Pencegahan Dini dan
10
Penanggulangan Bencana Alam dalam upaya mitigasi
bencana tanah longsor di Kecamatan Tulakan.
BAB IV : Hasil dan Pembahasan
Pada bab ini penulis menguraikan hasil penelitian penulis
dan menganalisa hasil penelitian tersebut dengan teori-teori
yang melandasi penelitian dan pembahasan yang berkain
dengan pokok-pokok bahasan mengenai implementasi
Program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana
Alam dalam upaya mitigasi bencana tanah longsor di
Kecamatan Tulakan.
BAB V : Penutup
Pada penelitian ini penulis akan menguraikan kesimpulan
yang didapat dari penelitian yang telah dilakukan dan
pembahasan yang telah di paparkan di bab sebelumnya.
Selain itu pada bab ini penulis juga akan memberikan saran
terhadap Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Kabupaten Pacitan dalam mitigasi bencana longsor supaya
dapat dilaksanakan dengan baik.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembangunan Berkelanjutan
1. Pengertian Pembangunan Berkelanjutan
Pada awal pemikiran, pembangunan sering diidentikan dengan
perkembangan, modernisasi dan industrialisasi, bahkan dengan westernisasi.
Seluruh pemikiran tersebut didasarkan pada aspek perubahan. Namun begitu,
keempat hal tersebut mempunyai perbedaan yang cukup prinsipil, karena masing-
masing mempunyai latar belakang, azas dan hakikat yang berbeda serta prinsip
kontinuitas yang berbeda pula, meskipun semuanya merupakan bentuk yang
merefleksikan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Pembangunan adalah proses perubahan yang mencakup seluruh sistem sosial,
seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi,
kelembagaan, dan budaya (Alexander, 1994). Pembangunan adalah proses
perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Kemudian menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan
nasional dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya
secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan.
Menurut Sriyanto (2007) keberhasilan pembangunan tidak hanya diukur dari
besarnya pertumbuhan ekonomi dan tercapainya pemerataan tetapi juga
kelestariannya lingkungan di mana pembangunan itu berlangsung. Jika
lingkungan rusak maka resources untuk pembangunan itu sendiri akan semakin
menipis dan langka. Lingkungan sebagai tempat hidup akan terasa sesak dan tidak
12
nyaman. Dengan demikian maka kerusakan lingkungan akan mengancam tidak
saja terhadap keberlanjutan pembangunan itu sendiri tetapi juga akan mengancam
berbagai aspek kehidupan manusia.
Pada abad 20 yang lalu pembangunan dilakukan dengan pola konvensional
yang memprioritaskan kemajuan ekonomi semata-mata, subyek pembangunan
adalah manusia dan orientasi pembangunan tertuju hanya pada manusia (Emil,
2010). Sementara itu pembangunan sosial dan lingkungan yang berjangka panjang
diabaikan. Jika pembangunan konvensional terus dilanjutkan, maka kerusakan
lingkungan hidup akan semakin parah (Weisman, 2009). Oleh karena itu, tahun
1992 lalu konsep pembangunan berkelanjutan diwujudkan melalui KTT Bumi di
Rio de Jeniro. Di dalamnya terkandung dua gagasan penting, yaitu:
1. Gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan pokok manusia untuk
mendukung hidup.
2. Gagasan keterbatasan, yaitu keterbatasan kemampuan lingkungan untuk
memenuhi kebutuhan baik masa sekarang maupun masa yang akan
datang.
Dalam UU No.32 tahun 2009 disebutkan bahwa Pembangunan berkelanjutan
adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup,
sosial, dan ekonomi kedalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan
lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup
generasi masa kini dan generasi masa depan. Emil (2010) mendefinisikan
pembangunan berwawasan lingkungan merupakan upaya sadar dan berencana
dalam menggunakan dan mengelola sumber daya alam secara bijaksana dalam
13
pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Mengacu pada definisi di atas dapat ditarik ide bahwa pembangunan berwawasan
lingkungan berarti menserasikan segala aktivitas manusia yang disebut sebagai
pembangunan dengan keseimbangan alam. Secara sederhana dapat pula diartikan,
pembangunan boleh dilaksanakan tetapi pembangunan tidak boleh merusak
lingkungan hidup.
Weisman (2009) juga mengatakan bahwa, bukan hanya berbagai bencana
akan melanda bumi ini, tetapi juga generasi yang akan datang tidak akan mewarisi
bumi ini. Bencana-bencana yang terjadi kemudian pada akhirnya dapat berpotensi
melumpuhkan pembangunan berbasis pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Berbagai
polusi baik udara, air, tanah dan lain-lain telah dihasilkan oleh pembangunan
konvensional, yang akhirnya bumi ini menjadi tidak nyaman untuk dihuni.
Akhirnya yang diperoleh kerugian ganda, yaitu rusaknya sumber daya
pembangunan sekaligus rusaknya lingkungan hidup.
2. Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan
Berdasarkan KTT di Rio Dejainero pada tahun 1992 dideklarasikan 5 prinsip
utama yang terkandung dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan (ecologically sustainable development) yaitu :
1. Prinsip keadilan antar generasi (intergenerational equity)
Menurut Edith (1992) makna yang terkandung dalam prinsip ini adalah
setiap generasi umat manusia di dunia mempunyai hak untuk menerima dan
menempati bumi bukan dalam kondisi yang buruk akibat perbuatan generasi
14
sebelumnya. Ada tiga dasar yang terkandung dalam prinsip keadilan antar
generasi yaitu :
a. Setiap generasi harus melakukan konservasi keragaman sumber
daya lingkungan, agar generasi mendatang memiliki pilihan yang
sama banyaknya dengan generasi sekarang dalam pemanfaatan
sumber daya lingkungan
b. Setiap generasi harus menjaga atau memelihara kualitas
lingkungan agar generasi mendatang dapat menikmati lingkungan
dengan kualitas yang sama, sebagaimana yang dinikmati generasi
sebelumnya.
c. Setiap generasi yang menjamin hak akses yang sama terhadap
segala warisan kekayaan alam dari generasi sebelumnya dan
harus melindungi akses ini untuk generasi mendatang.
2. Prinsip keadilan dalam satu generasi (intragenerational equity)
Prinsip ini menekankan pada keadilan dalam sebuah generasi umat
manusia, termasuk di dalamnya ketidakberhasilan dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar lingkungan dan sosial, atau tepatnya kesenjangan
antara individu dengan kelompok-kelompok dalam masyarakat tentang
pemenuhan kualitas hidup. Menurut Mas (2001) prinsip ini sangat berkaitan
erat dengan isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan karena:
a. Beban dan permasalahan lingkungan dipikul oleh masyarakat
yang lemah secara sosial dan ekonomi
15
b. Kemiskinan menimbulkan akibat degradasi lingkungan, karena
masyarakat yang masih dalam taraf pemenuhan basic need pada
umumnya tidak memiliki kepedulian lingkugan
c. Upaya-upaya perlindungan dapat berakibat pada sektor-sektor
tertentu yang lain
d. Tidak seluruh anggota masyarakat memiliki akses yang sama
dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak pada
lingkungan pengetahuan, ketrampilan, keberdayaan serta struktur
pengambilan keputusan dapat menguntungkan anggota
masyarakat tertentu dan merugikan kelompok lain.
3. Prinsip pencegahan dini (precautionary principle)
Prinsip ini mengandung pengertian bahwa apabila terdapat ancaman
berarti atau adanya acaman kerusakan lingkungan yang tidak dapat
dipulihkan, ketiadaan temuan alasan untuk pembuktian ilmiah yang
konkluksif dan pasti, tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-
upaya untuk mencegah terjadinya kerusakan tersebut. Menurut Mas (2001),
dalam menerapkan prinsip ini, pengambilan keputusan harus dilandasi oleh :
a. Evaluasi yang sungguh-sungguh untuk mencegah seoptimal
mungkin kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan
b. Penilaian dengan melakukan analisis risiko dengan menggunakan
berbagai opsi (pilihan).
16
4. Prinsip perlindungan keragaman hayati (conservation of biological diversity)
Potensi keragaman hayati memberikan arti penting bagi kesinambungan
kehidupan umat manusia. Apalagi laju kerusakan dan kepunahan keragaman
hayati semakin besar maka akan berakibat fatal bagi kelangsungan kehidupan
umat manusia. Prinsip perlindungan keragamanan hayati merupakan
prasyarat bagi berhasilnya pelaksanaan prinsip keadilan antar generasi.
Sebagai contoh dalam keadaan masyarakat lokal (indigienus people)
mengalami kehilangan atau keterputusan dari ekosistemnya akibat kepunahan
keragaman hayati, maka tertutup akses terhadap tingkat kehidupan dan
kesejahteraan yang layak. Perlindungan keragaman hayati juga terkait dengan
masalah pencegahan, sebab mencegah kepunahan spesies dari keragaman
hayati diperlukan demi pencegahan dini.
5. Internalisasi biaya lingkungan (internalisation of environmental cost and
incentive mechanism).
Rasio pentingnya diberlakukan prinsip ini berangkat dari suatu keadaan
di mana penggunaan sumber daya alam kini merupakan kencenderungan atau
reaksi dari dorongan pasar. Sebagai akibatnya kepentingan yang selama itu
tidak terwakili dalam komponen pengambilan keputusan untuk penentuan
harga pasar tersebut menjadi terabaikan dan menimbulkan kerugian bagi
mereka.
Kelima prinsip tersebut kemudian dikenal sebagai prinsip pokok atau utama
dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Konsep ini
17
kemudian dapat dijadikan pedoman bagi kegiatan pembangunan, agar dapat
tercipta pembangunan yang selaras dengan ekologi.
B. Kebencanaan
1. Pengertian Bencana
Bencana menurut UU No. 24 tahun 2007 didefinisikan sebagai peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana,
kerentanan, dan kemampuan yang di picu oleh suatu kejadian. Kemudian
berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana ialah sesuatu yang
menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau penderitaan. Heru Sri
Haryanto dalam Zalukhu (2013) mengemukakan bahwa bencana adalah terjadinya
kerusakan pada pola pola kehidupan normal, bersipat merugikan kehidupan
manusia, struktur sosial serta munculnya kebutuhan masyarakat.
Bencana digolongkan ke dalam bencana alam, bencana buatan
tangan/manusia, dan bencana sosial. Bencana alam adalah bencana yang
ditimbulkan oleh alam. Bencana buatan tangan/manusia dapat digolongkan ke
dalam bencana teknologi, kecelakaan transportasi, kegagalan tempat publik, dan
kegagalan produksi. Bencana buatan tangan/manusia secara alami kadang-kadang
mendorong kearah bencana berikutnya. Dari semua hal diatas, dapat diasumsikan
bahwa bencana yang muncul merupakan peristiwa histeris. Dalam artian, bencana
18
adalah suatu kejadian yang dapat dialami bagi sebagian orang pada umumnya.
Perlu diketahui bersama, sifat bencana tak selalu dapat di prediksi kedatangannya
maupun dianalisa secara konkrit.
2. Jenis-Jenis Bencana
Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam,
non alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
menyebutkan mengenai jenis bencana alam berdasar faktor penyebabnya yakni :
a. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor.
b. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
c. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
Menurut UU 24 tahun 2007 kejadian bencana adalah peristiwa bencana yang
terjadi dan dicatat berdasarkan tanggal kejadian, lokasi, jenis bencana, korban
dan/ataupun kerusakan. Jika terjadi bencana pada tanggal yang sama dan melanda
lebih dari satu wilayah, maka dihitung sebagai satu kejadian. UU tersebut juga
menyebutkan definisi masing-masing contoh kejadian bencana di atas :
19
a. Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan
bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan
aktif, akitivitas gunung api atau runtuhan batuan.
b. Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang
dikenal dengan istilah "erupsi". Bahaya letusan gunung api dapat
berupa awan panas, lontaran material (pijar), hujan abu lebat, lava, gas
racun, tsunami dan banjir lahar.
c. Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang ombak
lautan ("tsu" berarti lautan, "nami" berarti gelombang ombak). Tsunami
adalah serangkaian gelombang ombak laut raksasa yang timbul karena
adanya pergeseran di dasar laut akibat gempa bumi.
d. Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau
batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng
akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng.
e. Banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah
atau daratan karena volume air yang meningkat.
f. Banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit
air yang besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur
sungai.
g. Kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air
untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan.
Adapun yang dimaksud kekeringan di bidang pertanian adalah
20
kekeringan yang terjadi di lahan pertanian yang ada tanaman (padi,
jagung, kedelai dan lain-lain) yang sedang dibudidayakan .
h. Kebakaran adalah situasi dimana bangunan pada suatu tempat seperti
rumah/pemukiman, pabrik, pasar, gedung dan lain-lain dilanda api yang
menimbulkan korban dan/atau kerugian.
i. Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan di mana hutan dan
lahan dilanda api, sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan lahan
yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan.
Kebakaran hutan dan lahan seringkali menyebabkan bencana asap yang
dapat mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat sekitar.
j. Angin puting beliung adalah angin kencang yang datang secara tiba-
tiba, mempunyai pusat, bergerak melingkar menyerupai spiral dengan
kecepatan 40-50 km/jam hingga menyentuh permukaan bumi dan akan
hilang dalam waktu singkat (3-5 menit).
k. Gelombang pasang atau badai adalah gelombang tinggi yang
ditimbulkan karena efek terjadinya siklon tropis di sekitar wilayah
Indonesia dan berpotensi kuat menimbulkan bencana alam. Indonesia
bukan daerah lintasan siklon tropis tetapi keberadaan siklon tropis akan
memberikan pengaruh kuat terjadinya angin kencang, gelombang tinggi
disertai hujan deras.
l. Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan
arus laut yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut juga erosi
pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipicu oleh
21
terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut. Walaupun
abrasi bisa disebabkan oleh gejala alami, namun manusia sering disebut
sebagai penyebab utama abrasi.
m. Kecelakaan transportasi adalah kecelakaan moda transportasi yang
terjadi di darat, laut dan udara.
n. Kecelakaan industri adalah kecelakaan yang disebabkan oleh dua
faktor, yaitu perilaku kerja yang berbahaya (unsafe human act) dan
kondisi yang berbahaya (unsafe conditions). Adapun jenis kecelakaan
yang terjadi sangat bergantung pada macam industrinya, misalnya
bahan dan peralatan kerja yang dipergunakan, proses kerja, kondisi
tempat kerja, bahkan pekerja yang terlibat di dalamnya.
o. Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya
kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis
pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Status Kejadian Luar
Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
949/MENKES/SK/VII/2004.
p. Konflik sosial atau kerusuhan sosial atau huru hara adalah suatu
gerakan massal yang bersifat merusak tatanan dan tata tertib sosial yang
ada, yang dipicu oleh kecemburuan sosial, budaya dan ekonomi yang
biasanya dikemas sebagai pertentangan antar suku, agama, ras (SARA).
q. Aksi teror adalah aksi yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan
sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
22
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat masal, dengan cara
merampas kemerdekaan sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa dan
harta benda, mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap
obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas
publik internasional.
r. Sabotase adalah tindakan yang dilakukan untuk melemahkan musuh
melalui subversi, penghambatan, pengacauan dan/ atau penghancuran.
Dalam perang, istilah ini digunakan untuk mendiskripsikan aktivitas
individu atau grup yang tidak berhubungan dengan militer, tetapi
dengan spionase. Sabotase dapat dilakukan terhadap beberapa sruktur
penting, seperti infrastruktur, struktur ekonomi, dan lain-lain.
Menurut United Nation - International Strategy for Disaster Reduction (UN-
ISDR, 2002) bencana dibagi menjadi dua jenis utama yaitu bencana alam dan
bencana teknologi.
1. Bencana alam terdiri dari tiga :
a. Bencana hydro-meteorological berupa banjir, topan, banjir bandang,
kekeringan dan tanah longsor.
b. Bencana geophysical berupa gempa, tsunami, dan aktifitas vulkanik
c. Bencana biological berupa epidemi, penyakit tanaman dan hewan.
2. Bencana teknologi terbagi menjadi tiga grup yaitu:
1. Kecelakaan industri berupa kebocoran zat kimia, kerusakan infrastruktur
industri, kebocoran gas, keracunan dan radiasi.
23
2. Kecelakaan transportasi berupa kecelakaan udara, rail, jalan dan
transportasi air.
3. Kecelakaan miscellaneous berupa struktur domestik atau struktur
nonindustrial, ledakan dan kebakaran.
3. Bencana Tanah Longsor
Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan,
ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya
kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng (UU No 24 Tahun 2007). Tanah
longsor merupakan bentuk erosi dimana pengangkutan atau gerakan masa tanah
terjadi pada suatu saat dalam volume yang relatif besar (Suripin, 2002).
Kementrian ESDM (2005) menyatakan dalam booklet yang dirilisnya bahwa
tanah longsor boleh disebut juga dengan gerakan tanah. Didefinisikan sebagai
massa tanah atau material campuran lempung, kerikil, pasir, dan kerakal serta
bongkah dan lumpur, yang bergerak sepanjang lereng atau keluar lereng karena
faktor gravitasi bumi.
Mengacu pada definisi di atas, dapat diuraikan bahwa tanah longsor
merupakan gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada
lereng-lereng alam atau buatan dan sebenarnya merupakan fenomena alam. Alam
mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang
mempengaruhinya. Gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut
dipengaruhi oleh sifat fisik tanah dan sudut dalam tahanan geser tanah yang
bekerja di sepanjang lereng. Perubahan gaya-gaya tersebut ditimbulkan oleh
pengaruh perubahan alam maupun tindakan manusia.
24
Perubahan kondisi alam dapat diakibatkan oleh gempa bumi, erosi,
kelembaban lereng akibat penyerapan air hujan, dan perubahan aliran permukaan.
Pengaruh manusia terhadap perubahan gaya-gaya antara lain ialah penambahan
beban pada lereng dan tepi lereng, penggalian tanah di tepi lereng, dan penajaman
sudut lereng. Tekanan jumlah penduduk yang kerap mengalihfungsikan tanah-
tanah berlereng menjadi pemukiman atau lahan budidaya sangat berpengaruh
terhadap peningkatan risiko longsor.
Longsor merupakan suatu bentuk erosi yang pengangkutan atau pemindahan
tanahnya terjadi pada suatu saat yang relatif pendek dalam volume (jumlah) yang
sangat besar. Sitorus dalam Effendi (2008) mengatakan, berbeda halnya dengan
bentuk-bentuk erosi lainnya (erosi lembar, erosi alur, erosi parit) pada longsor
pengangkutan tanah terjadi sekaligus dalam periode yang sangat pendek.
Sedangkan menurut Dwiyanto dalam Effendi (2008), tanah longsor merupakan
suatu jenis gerakan tanah, umumnya gerakan tanah yang terjadi adalah longsor
bahan rombakan (debris avalanches) dan nendatan (slumps/rotational slides).
Gaya-gaya gravitasi dan rembesan (seepage) merupakan penyebab utama
ketidakstabilan (instability) pada lereng alami maupun lereng yang di bentuk
dengan cara penggalian atau penimbunan.
Adapun faktor kemiringan lereng dan air juga memegang peranan penting
terhadap peristiwa gerakan massa. Apabila pori-pori sedimen terisi oleh air, gaya
kohesi antarmineral akan semakin lemah, sehingga memungkinkan partikel-
partikel tersebut dengan mudah untuk bergeser. Selain itu air juga akan
25
menambah berat massa material, sehingga kemungkinan cukup untuk
menyebabkan material untuk meluncur ke bawah (Efendi, 2008).
Naryanto dalam Effendi (2008) menyebutkan ada 5 jenis tanah longsor
berdasarkan kecepatan gerakannya, yakni :
1. Aliran; longsoran bergerak serentak/mendadak dengan kecepatan tinggi.
2. Longsoran; material longsoran bergerak lamban dengan bekas longsoran
berbentuk tapal kuda.
3. Runtuhan; umumnya material longsoran baik berupa batu maupun tanah
bergerak cepat sampai sangat cepat pada suatu tebing.
4. Majemuk; longsoran yang berkembang dari runtuhan atau longsoran dan
berkembang lebih lanjut menjadi aliran.
5. Amblesan (penurunan tanah); terjadi pada penambangan bawah tanah,
penyedotan air tanah yang berlebihan, proses pengikisan tanah serta pada
daerah yang dilakukan proses pemadatan tanah
Jenis longsor menurut booklet yang dirilis oleh Kementrian ESDM
digolongkan sebagai berikut :
1. Longsoran Translasi
Gambar 3. Longsoran Translasi
Sumber : Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2015
26
Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada
bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.
2. Longsoran Rotasi
Gambar 4. Longsoran Rotasi
Sumber : Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2015
Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang
gelincir berbentuk cekung.
3. Pergerakan Blok
Gambar 5. Pergerakan Blok
Sumber : Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2015
27
Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang
gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok
batu.
4. Runtuhan Batu
Gambar 6. Runtuhan Batu
Sumber : Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2015
Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain
bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng
yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu
besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.
5. Rayapan Tanah
Gambar 7. Rayapan Tanah
Sumber : Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2015
28
Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis
tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir
tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan
ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke
bawah.
6. Aliran Bahan Rombakan
Gambar 8. Aliran Bahan Rombakan
Sumber : Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2015
Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh
air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan
tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah
dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa
sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api.
Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak.
Ditinjau dari kenampakan jenis gerakan menurut Ahmad Efendi (2008) tanah
longsor dapat dibedakan menjadi beberapa macam/tipe antara lain :
29
a. Jenis jatuhan; material batu atau tanah dalam longsor jenis ini jatuh bebas
dari atas tebing. Material yang jatuh umumnya tidak banyak dan terjadi
pada lereng terjal.
b. Longsoran; yaitu massa tanah yang bergerak sepanjang lereng dengan
bidang longsoran melengkung (memutar) dan mendatar. Longsoran
dengan bidang longsoran melengkung, biasanya gerakannya cepat dan
mematikan karena tertimbun material longsoran. Sedangkan longsoran
dengan bidang longsoran mendatar gerakannya perlahan-lahan, merayap
tetapi dapat merusakkan dan meruntuhkan bangunan di atasnya.
c. Jenis aliran; yaitu massa tanah bergerak yang didorong oleh air.
Kecepatan aliran bergantung pada sudut lereng, tekanan air, dan jenis
materialnya. Umumnya gerakannya di sepanjang lembah dan biasanya
panjang gerakannya sampai ratusan meter, di beberapa tempat bahkan
sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai daerah gunung api.
Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak.
d. Gerakan tanah gabungan; yaitu gerakan tanah gabungan antara longsoran
dengan aliran atau jatuhan dengan aliran. Gerakan tanah jenis gabungan
ini yang banyak terjadi di beberapa tempat akhir-akhir ini dengan
menelan korban cukup tinggi.
Penyebab terjadinya gerakan pada lereng secara garis besar dapat dibedakan
sebagai faktor alami dan manusia. Menurut Kementrian ESDM (2005) tanah
longsor dapat terjadi karena faktor alam dan faktor manusia sebagai pemicunya,
berikut contoh dari dua faktor tersebut :
30
1. Faktor alam
a. Kondisi geologi: batuan lapuk, kemiringan lapisan, sisipan lapisan batu
lempung, lereng yang terjal yang diakibatkan oleh struktur sesar dan kekar
(patahan dan lipatan), gempa bumi, stratigrafi dan gunung api, lapisan
batuan yang kedap air miring ke lereng yang berfungsi sebagai bidang
longsoran, adanya retakan karena proses alam (gempa bumi, tektonik).
b. Keadaan tanah : erosi dan pengikisan, adanya daerah longsoran lama,
ketebalan tanah pelapukan bersifat lembek, butiran halus, tanah jenuh
karena air hujan.
c. Iklim: curah hujan yang tinggi, air (hujan di atas normal)
d. Keadaan topografi: lereng yang curam.
e. Keadaan tata air: kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa air,
erosi dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatika, susut air cepat, banjir,
aliran bawah tanah pada sungai lama).
f. Tutupan lahan yang mengurangi tahan geser, misal lahan kosong, semak
belukar di tanah kritis.
2. Faktor manusia
a. Pemotongan tebing pada penambangan batu di lereng yang terjal.
b. Penimbunan tanah urugan di daerah lereng.
c. Kegagalan struktur dinding penahan tanah.
d. Perubahan tata lahan seperti penggundulan hutan menjadi lahan basah
yang menyebabkan terjadinya pengikisan oleh air permukaan dan
menyebabkan tanah menjadi lembek
31
e. Adanya budidaya kolam ikan dan genangan air di atas lereng.
f. Sistem pertanian yang tidak memperhatikan irigasi yang aman.
g. Pengembangan wilayah yang tidak diimbangi dengan kesadaran
masyarakat, sehingga Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) tidak ditaati
yang akhirnya merugikan sendiri.
h. Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik yang menyebabkan lereng
semakin terjal akibat penggerusan oleh air saluran di tebing
i. Adanya retakan akibat getaran mesin, ledakan, beban massa yang
bertambah dipicu beban kendaraan, bangunan dekat tebing, tanah kurang
padat karena material urugan atau material longsoran lama pada tebing
j. Terjadinya bocoran air saluran dan luapan air saluran
Arsyad dalam Effendi (2008) mengemukakan bahwa tanah longsor ditandai
dengan bergeraknya sejumlah massa tanah secara bersama-sama dan terjadi
sebagai akibat meluncurnya suatu volume tanah di atas suatu lapisan agak kedap
air yang jenuh air. Lapisan yang terdiri dari tanah liat atau mengandung kadar
tanah liat tinggi setelah jenuh air akan bertindak sebagai peluncur. Longsoran
akan terjadi jika terpenuhi tiga keadaan sebagai berikut :
a. Adanya lereng yang cukup curam sehingga massa tanah dapat bergerak
atau meluncur ke bawah,
b. Adanya lapisan di bawah permukaan massa tanah yang agak kedap air dan
lunak, yang akan menjadi bidang luncur, dan
c. Adanya cukup air dalam tanah sehingga lapisan massa tanah yang tepat di
atas lapisan kedap air tersebut menjadi jenuh.
32
Mengacu pada pendapat Barus dalam Effendi (2008) gerakan tanah berkaitan
langsung dengan berbagai sifat fisik alami seperti struktur geologi, bahan induk,
tanah, pola drainase, lereng/bentuk lahan, hujan, maupun sifat-sifat non-alami
yang bersifat dinamis seperti penggunaan lahan dan infrastruktur. Berbagai tipe
dan jenis luncuran dan longsoran tanah umumnya dapat terjadi bersamaan dengan
terjadinya gempa.
Karnawati dalam dalam Effendi (2008) menjelaskan bahwa terjadinya
longsor karena adanya faktor-faktor pengontrol gerakan di antaranya
geomorfologi, tanah, geologi, geohidrologi, dan tata guna lahan, serta adanya
proses-proses pemicu gerakan seperti : infiltrasi air ke dalam lereng, getaran,
aktivitas manusia/ perubahan dan gangguan lahan.
Terdapat beberapa ciri-ciri daerah rawan longsor menurut Darsoatmodjo dan
Soedrajat (2002), yaitu :
a. Adanya gunung api yang menghasilkan endapan batu vulkanik yang
umumnya belum padu dan dengan proses fisik dan kimiawi maka batuan
akan melapuk, berupa lempung pasiran atau pasir lempungan yang bersifat
sarang, gembur, dan mudah meresapkan air.
b. Adanya bidang luncur (diskontinuitas) antara batuan dasar dengan tanah
pelapukan, bidang luncuran tersebut merupakan bidang lemah yang licin
dapat berupa batuan lempung yang kedap air atau batuan breksi yang
kompak dan bidang luncuran tersebut miring kea rah lereng yang terjal.
c. Pada daerah pegunungan dan perbukitan terdapat lereng yang terjal, pada
daerah jalur patahan/sesar juga dapat membuat lereng menjadi terjal dan
33
dengan adanya pengaruh struktur geologi dapat menimbulkan zona retakan
sehingga dapat memperlemah kekuatan batuan setempat.
d. Pada daerah aliran sungai tua yang bermeander dapat mengakibatkan
lereng menjadi terjal akibat pengikisan air sungai ke arah lateral, bila
daerah tersebut disusun oleh batuan yang kurang kuat dan tanah pelapukan
yang bersifat lembek dan tebal maka mudah untuk longsor.
e. Faktor air juga berpengaruh terhadap terjadinya tanah longsor, yaitu bila di
lereng bagian atas terdapat adanya saluran air tanpa bertembok,
persawahan, kolam ikan (genangan air), bila saluran tersebut jebol atau
bila turun hujan air permukaan tersebut meresap ke dalam tanah akan
mengakibatkan kandungan air dalam massa tanah akan lewat jenuh, berat
massa tanah bertambah dan tahanan geser tanah menurun serta daya ikat
tanah menurun sehingga gaya pendorong pada lereng bertambah yang
dapat mengakibatkan lereng tersebut goyah dan bergerak menjadi longsor.
Menurut Direktorat Geologi Tata Lingkungan (1981) faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya tanah longsor antara lain adalah sebagai berikut :
a. Topografi atau lereng
b. Keadaan tanah/ batuan
c. Curah hujan atau keairan
d. Gempa /gempa bumi
e. Keadaan vegetasi/hutan dan penggunaan lahan.
Faktor-faktor penyebab tersebut satu sama lain saling mempengaruhi dan
menentukan besar dan luasnya bencana tanah longsor. Kepekaan suatu daerah
34
terhadap bencana tanah longsor ditentukan pula oleh pengaruh dan kaitan faktor-
faktor ini satu sama lainnya.
C. Manajemen Bencana
1. Pengertian Manajemen Bencana
Definisi manajemen bencana mengacu pada pendapat Ramli dalam Agus
Haryanto (2012) adalah upaya sistematis dan komprehensif untuk menanggulangi
semua kejadian bencana secara cepat, tepat, dan akurat untuk menekan korban dan
kerugian yang ditimbulkannya. Berdasarkan UU No 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas
tiga tahap meliputi; prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana.
Meskipun setiap bencana mempunyai karakteristik yang berbeda-beda namun
pada hakikatnya pola pengelolaan secara subtansi hampir sama oleh karena itu,
dari konsep manajemen bencana maka dapat dibuat suatu siklus pengelolaan
bencana yang terpadu. Siklus ini secara umum menggambarkan proses-proses
pengelolaan bencana pada intinya merupakan tindakan-tindakan nyata dari jauh
sebelum bencana akan terjadi, pra-bencana, saat menjelang bencana, saat bencana
dan pasca bencana.
Sebagai ilmu pengetahuan, manajemen juga bersifat universal, dan
mempergunakan kerangka ilmu pengetahuan yang sistematis mencakup kaidah-
kaidah, prinsip, dan konsep yang tepat dalam seluruh kondisi pengorganisasian.
Sehingga ilmu pengetahuan tentang manajemen dapat diterapkan dalam
pengorganisasian penanggulangan bencana baik dalam tingkat pemerintah,
lembaga sosial, dan koordinasi di lapangan. Bila manajemen dalam
35
penanggulangan tidak terkoordinasi baik maka akan menimbulkan lebih banyak
korban yang terlantar dan bisa mengakibatkan kematian bagi jiwa yang
seharusnya dapat tertolong dengan penanganan yang cepat, terjadi kekisruhan
akibat saling memperebutkan bantuan sandang dan pangan yang diberikan, dan
akan terjadi kondisi yang kumuh serta tidak teratur di tempat-tempat pengungsian.
2. Kegiatan Manajemen Bencana
Manajemen bencana merupakan hal yang penting dilakukan dalam menyikapi
bencana. Dalam manajemen bencana ini, Nick Carter dalam Agus (2012)
menyebutkan ada enam tahapan dalam manajemen bencana yaitu prevention,
mitigation, preparedness, disaster impact, response, recovery, dan development.
Gambar 9. Siklus Manajemen Bencana
Sumber : Nick W. Carter, 1991
Manajemen Bencana merupakan suatu proses terencana yang dilakukan untuk
mengelola bencana dengan baik dan aman yang dibagi menjadi tahap pra bencana,
36
saat bencana dan pasca bencana (Agus, 2012); tahapan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Pra Bencana
a. Kesiagaan
Kesiagaan yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah
yang tepat guna dan berdaya guna. Membangun kesiagaan adalah unsur
penting, namun tidak mudah dilakukan karena menyangkut sikap mental
dan budaya serta disiplin di tengah masyarakat. Kesiagaan adalah tahapan
yang paling strategis karena sangat menentukan ketahanan anggota
masyarakat dalam menghadapi datangnya suatu bencana.
b. Peringatan Dini
Peringatan dini disampaikan dengan segera kepada semua pihak,
khususnya mereka yang berpotensi terkena bencana di tempat masing-
masing. Peringatan didasarkan berbagai informasi teknis dan ilmiah yang
dimiliki, diolah atau diterima dari pihak berwenang mengenai
kemungkinan akan datangnya suatu bencana.
c. Mitigasi Bencana
Mitigasi bencana adalah upaya untuk mencegah atau mengurangi
dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana. Dari batasan ini sangat
jelas bahwa mitigasi bersifat pencegahan sebelum kejadian. Mitigasi
bencana harus dilakukan secara terencana dan komprehensif melalui
berbagai upaya dan pendekatan.
37
2. Saat Bencana Terjadi
a. Tanggap Darurat
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk
yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi
korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan,
pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan
sarana. Tanggap darurat yang dilakukan untuk mengatasi kejadian bencana
misalnya dalam suatu proses kebakaran atau peledakan di lingkungan
industri :
1. Memadamkan kebakaran atau ledakan.
2. Menyelamatkan manusia dan korban (resque).
3. Menyelamatkan harta benda dan dokumen penting (salvage).
4. Perlindungan masyarakat umum.
b. Penanggulangan Bencana
Selama kegiatan tanggap darurat, upaya yang dilakukan adalah
menanggulangi bencana yang terjadi sesuai dengan sifat dan jenisnya.
Penanggulangan bencana memerlukan keahlian dan pendekatan khusus
menurut kondisi dan skala kejadian. Tim tanggap darurat diharapkan
mampu menangani segala bentuk bencana. Oleh karena itu tim tanggap
darurat harus diorganisir dan dirancang untuk dapat menangani berbagai
jenis bencana.
38
3. Pasca Bencana
a. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca
bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara
wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pasca bencana.
Di tingkat industri atau perusahaan, fase rehabilitasi dilakukan untuk
mengembalikan jalannya operasi perusahaan seperti sebelum bencana
terjadi. Upaya rehabilitasi misalnya memperbaiki peralatan yang rusak dan
memulihkan jalannya perusahaan seperti semula.
b. Rekonstruksi
Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan
sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat
pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya
hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam
segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana.
D. Mitigasi Bencana
1. Pengertian Mitigasi Bencana
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi bencana (UU No. 24, 2007). Menurut Ulum (2014) mitigasi dapat
39
didefinisikan berbagai macam tindakan yang diambil untuk mengurangi
kerentanan. Mitigasi merupakan tahap awal upaya penanggulangan bencana.
Mitigasi merupakan langkah-langkah yang disengaja, dilaksanakan, baik
sebelum terjadi bencana untuk menghindari atau mengurangi dampak dari bahaya
dan bencana yang akan datang
Ulum (2014) menyebutkan bahwa mitigasi merupakan salah satu cara terbaik
untuk rencana adaptasi perubahan iklim dan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Mitigasi adalah kegiatan yang dilakukan sebelum terjadi bencana, seperti
membuat peta wilayah rawan bencana, pembuatan bangunan tahan gempa,
penanaman pohon bakau, penghijauan hutan, atau memberikan penyuluhan dan
meningkatkan kesadaran masyarakat yang tinggal di wilayah rawan gempa.
2. Kegiatan Mitigasi Bencana
ISDR melalui World Conference on Disaster Reduction telah menghasilkan
konsep terkait penanganan pra bencana yang disebut sebagai Hyogo Framework
for Action (HFA) atau Kerangka Kerja Aksi Hyogo, dimana mengidentifikasi lima
prioritas yang dijadikan pedoman untuk menyusun kegiatan dalam membangun
ketahanan terhadap bencana. Lima prioritas tersebut yakni (ISDR, 2007) :
1. Menjadikan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas.
2. Memperbaiki informasi risiko dan peringatan dini.
3. Membangun budaya keamanan dan ketahanan.
4. Melakukan pengurangan risiko pada sektor-sektor utama.
5. Memperkuat kesiapan untuk bereaksi.
40
Ada berbagai macam kegiatan mitigasi yang bisa dilaksanakan untuk
mengurangi risiko dampak bencana. Secara garis besar Rahman dalam Theresia
dkk (2015) menyebutkan kegiatan mitigasi digolongkan ke dalam dua bentuk,
yaitu struktural dan non struktural. Sedangkan menurut Pedoman Penyusunan
Rencana Penanggulangan yang dikeluarkan melalui Peraturan Kepala BNPB
Nomor 4 Tahun 2008, dua bentuk mitigasi tersebut disebutkan dengan istilah
mitigasi aktif dan mitigasi pasif. Dua bentuk tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1. Mitigasi struktural atau aktif, berupa pembuatan infrastruktur sebagai
pendorong minimalisasi dampak dan penggunaan pendekatan teknologi.
Kegiatan yang tergolong mitigasi aktif meliputi :
a. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan bahaya (early
warning system), larangan memasuki daerah rawan bencana dan lain
sebagainya. Terkait early warning system, Paripurno dalam Ulum
(2014) menjelaskan sistem peringatan tersebut harus memiliki empat
kriteria; yaitu accesible, immediate, coherent dan official.
b. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang
penataan ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain
yang berkaitan dengan pencegahan bencana.
c. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.
d. Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah
yang lebih aman.
e. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.
41
f. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur evakuasi jika
terjadi bencana.
g. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah,
mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh
bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan tahan
gempa dan lain sejenisnya.
2. Mitigasi non struktural atau pasif, berupa pengelolaan tata ruang dan
pelatihan guna meningkatkan kapasitas masyarakat. Seperti
peningkatan kapasitas masyarakat, melalui pengetahuan dan sikap,
perencanaan kedaruratan dan mobilisasi sumberdaya. Kegiatan yang
tergolong mitigasi pasif meliputi :
a. Penyusunan peraturan perundang-undangan.
b. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.
c. Pembuatan pedoman atau standar atau prosedur.
d. Pembuatan brosur atau leafletg atau poster.
e. Penelitian atau pengkajian karakteristik bencana.
f. Pengkajian atau analisis risiko bencana.
g. Internasionalisasi penanggulangan bencana dalam muatan lokal
pendidikan.
h. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana.
i. Penguatan unit-unit sosial dalam masyarakat seperti forum.
j. Pengarusutamaan penanggulangan bencana dalam perencanaan
pembangunan.
42
Mitigasi bencana yang efektif memiliki tiga unsur utama, yaitu penilaian
bahaya, peringatan dan persiapan (Riny, 2011). Riny selanjutnya menjelaskan
ketiga unsur utama tersebut sebagai berikut :
1. Penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk mengidentifikasi
populasi dan aset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini
memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana,
probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu.
Tahapan ini menghasilkan peta potensi bencana yang sangat penting untuk
merancang kedua unsur mitigasi lainnya
2. Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan kepada
masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya
tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan
gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang
terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran
komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang
maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam
harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya.
3. Persiapan (preparedness). kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur
mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang
membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena
bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui
kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi
telah aman.
43
Menuju pada upaya yang bersifat normatif, UU No 24 Tahun 2007 mengatur
secara umum upaya tersebut diwujudkan melalui :
1. Pelaksanaan penataan ruang
2. Pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan
3. Penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara
konvensional maupun modern
3. Mitigasi Tanah Longsor
Mitigasi bencana dilakukan dalam kondisi sebelum terjadi bencana dan
dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana di suatu daerah. Hal tersebut
dilakukan untuk memperkecil atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui
pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.
Kementrian ESDM menyebutkan kegiatan mitigasi longsor antara lain adalah
sebagai berikut :
1. Pemetaan
a. Pemetaan zona kerentanan gerakan tanah
Pemetaan kerentanan gerakan tanah menyajikan secara visual tingkat
kerentanan/kerawanan terhadap potensi bahaya gerakan tanah,
kemungkinan dampaknya terhadap lingkungan sekitarnya, seperti
manusia, pemukiman, sarana prasarana, harta benda. Pemetaan kerentanan
gerakan tanah merupakan data dasar dalam melakukan antisipasi bencana
dan sebagai pertimbangan dalam penyusunan analisis risiko bencana
gerakan tanah.
b. Pemetaan zona risiko bencana gerakan tanah
44
Pemetaan risiko gerakan tanah dilakukan untuk mengetahui tingkat risiko
suatu objek bencana di dalam zona kerentanan tanah. Peta ini digunakan
sebagai acuan dalam pengaturan tata ruang wilayah yang berbasis risiko
bencana dan dapat direvisi sesuai dengan potensi dan perkembangan
daerah tersebut.
2. Pemantauan
Pemantauan gerakan tanah dilakukan melalui pemantauan gerakan tanah
yang berkesinambungan maupun temporer, untuk mengetahui tingkat
perkembangan gerakan tanah, laju pergerakan, faktor penyebab bencana dan
tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh gerakan tanah serta antisipasi
kemungkinan bencana gerakan tanah serupa yang mungkin terjadi di waktu
yang akan datang. Pemantauan gerakan tanah dilakukan pada pemukiman
padat dan daerah vital dan strategis.
3. Peringatan dini dan penyebaran informasi
Peringatan dini adalah serangkaian pemberian peringatan sesegara
mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya becana pada
suatu tempat oleh lembaga yang berwenang. Metodologi peringatan dini yang
dilakukan Badan Geologi antara lain :
1. Membuat peta tumpang susun antara peta curah hujan dan zona kerentanan
gerakan tanah (Peta prakiraan wilayah potensi terjadi gerakan tanah) yang
disebarluaskan setiap bulan kepada pemerintah daerah.
2. Penyebarluasan informasi daerah rawan gerakan tanah.
45
3. Penyebaran leaflet dan poster tentang tata cara mitigasi dan
penanggulangan bencana gerakan tanah.
4. Tanda-tanda peringatan dini sebagai upaya peningkatan kewaspadaan
masyarakat terhadap ancaman bahaya gerakan tanah dibuat pemerintah
daerah.
4. Penyelidikan gerakan tanah
Penyelidikan gerakan tanah bertujuan untuk mendapatkan data dan
informasi mengenai potensi bencana gerakan tanah, faktor pengontrol dan
pemicu gerakan tanah, sebaran zona kerentanan gerakan tanah dan
rekomendasi teknis langkah-langkah penanggulangannya.
5. Penguatan ketahanan masyarakat
Peningkatan dan penyebarluasan informasi kebencanaan untuk membentuk
masyarakat siaga bencana. Kegiatan peningkatan kapasitas untuk penguatan
ketahanan masyarakat meliputi :
a. Pemanfaatan sumberdaya masyarakat
Meningkatkan, kemampuan dan budaya masyarakat untuk membentuk
masyarakat siaga bencana dengan melakukan pelatihan untuk pelaksana
penanggulangan bencana dan masyarakat.
b. Penyebaran informasi kebencanaan
Penyebarluasan informasi kebencanaan bertujuan untuk meningkatakan
kewaspandaan masyarakat yang tinggal di zona rentan bencana menengah
dan tinggi.
c. Sosialisasi dan penyuluhan
46
Sosialisasi dan penyeluluhan adalah penyampaian informasi tentang
gerakan tanah, penyelidikan, pengetahuan, pemeriksaan, pemantauan dan
pemetaan gerakan tanah oleh lembaga yang berwenang kepada pelaksana
penanggulangan bencana masyarakat.
d. Pendidikan dan pelatihan kebencanaan
Pendidikan dan pelatihan kebencanaan dilaksanakan terutama terhadap
masyarakat yang tinggal di zona kerentanan gerakan tanah tinggi.
Pendidikan dan pelatihan ini mencakup manajemen kedaruratan,
membangun koordinasi, komunikasi dan kerjasama, pemahaman daerah
rawan bencana dan prosedur tetap evakuasi.
e. Rencana kontijensi
Penyiapan dan penyusunan rencana kontijensi dilakukan pada daerah yang
berpotensi terkena bencana gerakan tanah. Tujuannya apabila terjadi
bencana pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan masyarakat
mampu menyiapkan diri dan mengoperasikan dokumen kontijensi menjadi
rencana operasional pada saat tanggap darurat.
6. Mitigasi gerakan tanah struktural
Mitigasi gerakan tanah secara struktural dan rekayasa untuk mengurangi
atau menghindari kemungkinan dampak bahaya antara lain memindahkan
permukiman dari daerah rentan gerakan tanah dan atau melakukan rekayasa
teknologi. Mitigasi struktural untuk mengurangi dampak bahaya merupakan
wewenang pemerintah daerah atau instansi terkait.
47
E. Peran Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah mempunyai tanggungjawab utama untuk melindungi
masyarakatnya dari setiap bahaya yang berpotensi mengganggu kehidupan normal
masyarakat (Kusumasari, 2014). Dalam manajemen bencana atau yang disebut
dalam UU sebagai penanggulangan bencana, pemerintah daerah mempunyai
tanggung jawab untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka
memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak
bencana.
Pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana di tingkat daerah. Dalam melaksanakan tanggung jawab
tersebut, dilaksanakan oleh BPBD sebagai SKPD pelaksana penanggulangan
bencana yang berwenang di bidang penanggulangan bencana di tingkat daerah.
BPBD dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dapat melibatkan unsur-unsur
antara lain SKPD lain, instansi/lembaga terkait, masyarakat, organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha dan lembaga internasional. Dalam UU 24 Tahun
2007 juga mengatur mengenai tanggung jawab pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana, yakni meliputi :
a. Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena
bencana sesuai dengan standar pelayanan minimal
b. Perlindungan masyarakat dari dampak bencana
c. Pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana
dengan program pembangunan
48
d. Pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam APBD yang
memadai
Kemudian diatur dalam undang-undang yang sama, pemerintah daerah
mempunyai wewenang yakni :
a. Penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada wilayahnya selaras
dengan kebijakan pembangunan daerah.
b. Pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur
kebijakan penanggulangan bencana.
c. Pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana
dengan provinsi dan/atau kabupaten/kota lain.
d. Pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber
ancaman atau bahaya bencana pada wilayahnya.
e. Perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan
sumberdaya alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya.
f. Pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang
berskala daerah.
Dalam pelaksanaan kewenangan tersebut, pemerintah daerah bisa
mengembangkan bentuk-bentuk kerja sama dan kemitraan dengan
lembaga/intansi terkait, lembaga pendidikan tinggi, organisasi kemasyarakatan
dan dunia usaha, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun dalam
rangka monitoring dan evaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana
di daerah, seperti yang dikutip dari website resmi BPBD Karanganyar (2015)
pemerintah daerah dapat melaksanakan kegiatan berupa :
49
a. Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan serta
eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan
b. Menghentikan usaha dan/atau kegiatan sementara waktu sampai dengan
ditaatinya perintah dalam rangka penaatan terhadap peraturan di bidang
lingkungan hidup dan peraturan di bidang penanggulangan bencana
c. Mencabut izin atau merekomendasikan untuk dicabut izin usaha dan/atau
kegiatan yang telah melanggar peraturan di bidang lingkungan hidup dan
di bidang penanggulangan bencana
d. Melaksanakan penegakan hukum terhadap pelanggaran atas pemanfaatan
ruang
e. Memerintahkan penanggung jawab usaha atau kegiatan yang berpotensi
dan/atau menimbulkan bencana untuk melakukan upaya-upaya
pencegahan, penanggulangan dan pemulihan lingkungan.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah dilaksanakan oleh
BPBD, yang dibentuk berdasarkan peraturan daerah. BPBD merupakan unsur
pendukung tugas Bupati dalam penyelenggaran pemerintahan di daerah di bidang
penanggulangan bencana, yang dipimpin oleh seorang Kepala Badan yang berada
di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati. BPBD terdiri dari unsur
pelaksana dan unsur pengarah. Unsur pengarah terdiri dari pejabat pemerintah
daerah terkait, anggota masyarakat profesional dan ahli. Sedangkan unsur
pelaksana mempunyai tugas secara terintegrasi yang meliputi prabencana, darurat
bencana, dan pascabencana.
50
Berdasar pada uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa peran pemerintah
daerah adalah sangat krusial dan penting dalam pengelolaan atau manajemen
bencana di suatu daerah. Dalam penanggulangan suatu bencana di daerah,
dibanding pemerintah pusat pemerintah daerah lebih mengenali kondisi daerah
dan kondisi masyarakatnya untuk ditarik kebijakan apa yang harus diambil untuk
pengelolaan bencana tersebut. Pemerintah daerah mempunyai peran sebagai
pelaksana atau implementator dan sebagai pembuat kebijakan atau policy maker,
guna mengontrol jatuhnya kerugian yang lebih besar akibat bencana.
F. IMPLEMENTASI PPROGRAM
1. Pengertian Program
Program di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan
sebagai rancangan mengenai asas-asas serta usaha-usaha yang akan dijalankan.
Program juga bisa disebut sebagai upaya yang bersifat formal untuk mencapai
tujuan. Charles Jones (1994) menyebutkan program merupakan salah satu
komponen dalam suatu kebijakan. Berdasar dari pengertian di atas program dapat
didefinisikan sebagai rancangan mengenai asas-asas serta usaha-usaha yang
bersifat formal dan sudah terkonsep untuk kemudian dijalankan untuk mencapai
tujuan.
Dalam lingkup pemerintah, program merupakan bentuk implementasi dari
kebijakan pemerintah sebagai wujud intervensi nyata pemerintah terhadap
permasalahan publik. Selain itu, definisi program juga termuat dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional, yang menyatakan bahwa program adalah instrumen kebijakan yang
51
berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi
pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi
anggaran atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi
masyarakat.
Dalam proses pelaksanaan suatu program sesungguhnya dapat berhasil,
kurang berhasil, ataupun gagal sama sekali apabila ditinjau dari wujud hasil yang
dicapai atau outcomes. Karena dalam proses tersebut turut bermain dan terlihat
berbagai unsur yang pengaruhnya bersifat mendukung maupun menghambat
pencapaian sasaran suatu program.
2. Implementasi Program
Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak
dan tujuan yang diinginkan. Menurut Patton dan Sawicki dalam Tangkilisan
(2003) implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk
merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk
mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah
diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur
secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat
mendukung pelaksanaan program, serta melakukan interpretasi terhadap
perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah
bagi realisasi program yang dilaksanakan.
Tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa
yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan memberikan
otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas dan dapat
52
diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai suatu
penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui
aktivitas atau kegiatan dan program pemerintah (Tangkilisan, 2003).
Jones (1993) menganalisis masalah implementasi program dengan
mendasarkan pada konsepsi kegiatan-kegiatan fungsional. Jones mengemukakan
beberapa dimensi dan implementasi pemerintahan mengenai program-program
yang sudah disahkan, kemudian menentukan implementasi, juga membahas aktor-
aktor yang terlibat, dengan memfokuskan pada birokrasi yang merupakan
lembaga eksekutor. Jadi Implementasi merupakan suatu proses yang dinamis yang
melibatkan secara terus menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan
dan dapat di lakukan.
Jones (1993) mengemukakan teori bahwa dalam suatu implementasi harus
memperhatikan tiga dimensi implementasi, yakni :
1. Organisasi, yaitu sebagai aktor yang membentuk ataupun menata kembali
sumber daya, unit-unit dan metode untuk menunjang agar program
berjalan. Organisasi merupakan unit atau wadah untuk menempatkan
program ke dalam tujuan kebijakan.
2. Interpretasi, yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna
program kedalam pengaturan sehingga dapat diterima dan dapat
dijalankan. Hal ini karena keberhasilan sebuah program tidak lepas dari
kepemahaman atau pengarahan yang tepat dan dapat diterima oleh
masyarakat atau kelompok sasaran sehingga program tersebut dapat
terlaksana dengan baik.
53
3. Penerapan, yang berhubungan dengan pelaksanaan yakni meliputi
perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain-lain sehingga program
tersebut dapat terlaksana.
Adapun BPBD Kabupaten Pacitan melalui Renstra tahun 2017-2021
mengeluarkan program yang berkaitan dengan penanganan bencana yaitu program
“Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana Alam”. Berdasarkan renstra
tersebut, program diimplementasikan melalui kegiatan yang meliputi :
1. Pemantauan dan penyebarluasan informasi potensi bencana
2. Sosialisasi edukasi penanggulaangan bencana
3. Peralatan perlengkapan penanggulangan bencana
4. Fasilitasi relawan penanggulangan bencana
5. Peningkatan kapasitas desa tangguh bencana
6. Fasilitasi posko penanggulangan bencana
7. Penyusunan rencana kontijensi penanggulangan becana
8. Fasilitasi forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB)
9. Peningkatan SDM dan operasional Tim Reaksi Cepat (TRC)
10. Pelatihan Pengkajian Kebutuhan Pasca Bencana (Jitu Pasna)
11. Pendataan, verifikasi dan penyaluran bantuan pasca bencana
12. Penanganan maslaah pasca bencana
13. Penanganan masalah bencana alam
14. Fasilitasi Tim reaksi Cepat (TRC)
54
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini menggunakan jenis penelitian
deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pemilihan metode ini
didasari anggapan bahwasannya metode ilmiah yang dianggap paling tepat untuk
menjangkau, menjelaskan dan menggambarkan segala permasalahan dan data
yang ada dengan lebih mendalam yang sesuai dengan masalah dan tujuan
penelitian. Menurut Zuriah (2009) menjelaskan penelitian deskriptif adalah
penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gekala, fakta-fakta, atau
kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat, mengenai sifat-sifat populasi atau
daerah tertentu. Sedangkan menurut Usman dan Akbar (2009) menjelaskan
penelitian deskriptif bermaksud membuat tujuan pemeriaan (penyandaran) secara
sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi
tertentu.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yang
bersifat kualitatif karena dalam penelitian ini melakukan penyusunan kata-kata
untuk menjelaskan dan memperoleh gambaran atas hasil yang akan diteliti.
Penelitian kualitatif menurut Moleong (2011) adalah penelitian yang bermaksud
untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian,
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain sebagainya. Secara
holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu
55
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah.
Melalui metode kualitatif peneliti pada tahap awal melakukan penjelajahan,
selanjutnya melakukan pengumpulan data yang mendalam sehingga dapat
ditemukan hipotesis yang berupa hubungan antar gejala dalam hal ini dengan
memberikan gambaran dan analisis secara mendalam terkait upaya mitigasi
longsor dalam pelaksanaan penanggulangan bencana. Menurut Moleong (2011)
mengatakan bahwa “Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motivasi,tindakan, dll secara holistik, dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah”.
Maka dari itu, dalam penelitian ini peneliti menyampaikan data dari kutipan
orang lain, wacana, atau teks lainnya. Dengan menggunakan jenis ini peneliti
bermaksud mendapatkan data dan gambaran yang mendalam tentang
implementasi BPBD dalam mitigasi longsor di Kabupaten Pacitan.
B. Fokus Penelitian
Seorang peneliti harus menetapkan fokus penelitian, agar penelitian yang
dilakukan fokus terhadap masalah yang akan diteliti. Menurut Usman dan Akbar
(2009) menjelaskan fokus penelitian atau pembatasan masalah ialah usaha untuk
menetapkan batasan dari masalah penelitian yang akan diteliti. Batasan masalah
ini berguna untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang termasuk dalam ruang
56
lingkup masalah penelitian, dan faktor mana yang tidak termasuk dalam ruang
lingkup masalah penelitian.
Peneliti menentukan fokus penelitian untuk membatasi studi sehingga
penelitian yang dilakukan lebih terarah dan juga dapat menyaring informasi yang
lebih relevan. Selain itu dalam penelitian kualitatif juga menghendaki batas dalam
penelitiannya atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian.
Seperti yang diungkapkan oleh Moleong (2011) sebelumnya, dengan adanya
fokus penelitian yang tepat dan jelas maka akan memudahkan peneliti untuk
memilah data yang sekiranya perlu ataupun tidak untuk digunakan. Dengan
penjelasan tersebutlah, maka peneliti merasa penting untuk menentukan fokus
penelitian.
Berdasarkan judul dari penelitian yang akan dilakukan peneliti yaitu,
Implementasi Program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana Alam
dalam Upaya Mitigasi Longsor di Kecamatan Tulakan, maka yang menjadi fokus
dalam penelitian ini adalah:
1. Implementasi program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana Alam
dalam Upaya mitigasi longsor yang mengacu pada teori Charles Jones (1994)
dimana dengan memperhatikan tiga dimensi implementasi, yakni :
a. Organisasi, dalam hal ini adalah BPBD Kabupaten Pacitan dan instansi
terkait lainya.
b. Interpretasi, dalam hal ini adalah terkait penjabaran dari program sampai
pada pelaksanaan kegiatan.
57
c. Aplikasi, dalam hal ini berkaitan dengan pelaksanaan program yang
meliputi kegiatan yang berkaitan dengan mitigasi bencana longsor.
2. Faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi mitigasi longsor di
Kecamatan Tulakan :
a. Faktor pendukung implementasi Program Pencegahan Dini dan
Penanggulangan Bencana Alam dalam upaya mitigasi longsor di
Kecamatan Tulakan
b. Faktor penghambat implementasi Program Pencegahan Dini dan
Penanggulangan Bencana Alam dalam upaya mitigasi longsor di
Kecamatan Tulakan
C. Lokasi dan Situs Penelitian
Moleong (2011) menjelaskan bahwa lokasi penelitian ialah tempat dimana
peneliti melakukan penelitian terutama dalam menangkap fenomena atau
peristiwa yang sebenarnya terjadi dari objek yang diteliti dalam rangka
mendapatkan data-data penelitian yang akurat. Penentuan lokasi penelitian, cara
terbaik yang ditempuh dengan jalan mempertimbangkan teori substantif dan
menjajaki dengan menjajaki lapangan untuk mencari kesesuaian dengan
kenyataan.
Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2011) mengemukakan bahwa lokasi
yang layak dipilih untuk diteliti adalah lokasi yang didalamnya terdapat persoalan
substantif dan teoritik. Dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian lokasi
penelitian adalah tempat dimana peneliti melakukan penelitian terhadap obyek
yang akan diteliti. Berdasarkan pemaparan di atas maka lokasi penelitian ini
58
dilakukan di Kecamatan Tulakan, Kabupaten Pacitan. Hal ini dikarenakan
Kabupaten Pacitan mempunyai kerentanan longsor yang cukup tinggi dan
Kecamatan Tulakan mengalami kejadian longsor terbanyak.
Sedangkan yang dimaksud dengan situs penelitian ialah menunjukkan
dimana sebenarnya peneliti dapat menangkap keadaan dari obyek yang akan
diteliti, sehingga keakuratan data yang diperlukan untuk menjawab permasalahan
sesuai dengan fokus penelitian dapat diperoleh (Moleong, 2011). Maka yang
menjadi situs dalam penelitian ini adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kabupaten Pacitan.
Alasan pemilihan lokasi dan situs penelitian di atas juga didasari atas
pertimbangan-pertimbangan pribadi peneliti dan juga masukan dari berbagai
pihak. BPBD dipilih karena merupakan organisasi pemerintah yang mempunyai
tanggungjawab terhadap penanggulangan bencana serta dinilai mempunyai
informasi yang dibutuhkan sebagai bahan penelitian ini. Kemudian Kecamatan
Tulakan dipilih karena memiliki kejadian longsor yang paling banyak di
Kabupaten Pacitan (BNPB, 2016).
D. Jenis dan Sumber Data
Sumber data merupakan tahapan dalam proses penelitian yang penting,
karena hanya dengan mendapatkan data yang tepat maka proses penelitian akan
berlangsung sampai peneliti mendapatkan jawaban dari perumusan masalah yang
sudah ditetapkan (Sarwono, 2006).
59
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sumber data sebagai berikut :
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber pertama atau secara
langsung diperoleh ditempat penelitian di Kabupaten Pacitan. Menurut Sarwono
(2006) Data Primer diperoleh melalui pertanyaan tertulis dengan menggunakan
kuesioner atau lisan dengan menggunakan metode wawancara narasumber. Data
primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan narasumber sebagai
berikut :
a. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten
Pacitan.
b. Kasi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Kabupaten Pacitan
c. Camat Tulakan, sebagai kecamatan yang tercatat paling banyak terkena
longsor di Kabupaten Pacitan
d. Masyarakat di Kecamatan Tulakan, sebagai kecamatan yang tercatat
paling banyak terkena longsor di Kabupaten Pacitan
2. Data Sekunder
Data sekunder berupa data-data yang sudah tersedia dan dapat diperoleh
oleh peneliti dengan cara membaca, melihat, atau mendengarkan (Sarwono,
2006). Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung
biasanya data itu dikumpulkan dan dilaporkan oleh orang lain diluar penelitian.
Dalam penelitian ini data sekundernya adalah :
60
a. Literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, serta arsip-
arsip Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pacitan.
b. Peristiwa, yaitu kejadian, kegiatan, dan keadaan di tempat penelitian.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam
penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa
mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data
yang memenuhi stpenelitir data yang ditetapkan (Sugiyono, 2008). Menurut
Sugiyono membedakan teknik pengumpulan data menjadi empat bagian yaitu
observasi, interview, dokumentasi, dan gabungan ketiganya (triangulasi). Oleh
karena itu, untuk memperoleh data yang valid, relevan, tepat dan akurat dalam
penelitian ini, maka peneliti menggunakan metode pengumpulan data sebagai
berikut sebagai berikut :
1. Wawancara
Wawancara ialah tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara
langsung. Teknik wawancara ini berguna untuk mendapatkan data dari tangan
pertama (primer), pelengkap teknik pengumpulan lainnya, menguji hasil
pengumpulan data lainnya. Pada tahap ini peneliti berhadapan langsung dengan
narasumber untuk mengadakan tanya jawab secara lebih lanjut dan memperjelas
data dan informasi yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti dengan bantuan
panduan wawancara (Usman dan Akbar, 2009).
61
2. Observasi
Observasi sebagai suatu proses melihat, mengamati, dan mencermati serta
merekam perilaku secara sistematis untuk suatu tujuan tertentu Cartwright dan
Cartwright dalam Herdiansyah (2010). Menurut Herdiansyah inti dari observasi
adalah adanya perilaku yang tampak dan adanya tujuan yang ingin dicapai.
Perilaku yang tampak dapat berupa perilaku yang dapat dilihat langsung oleh
mata, dapat didengar, dapat dihitung, dan dapat diukur.
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan
melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri
atau oleh orang lain tentang subjek. Dokumentasi merupakan salah satu cara yang
dapat dilakukan peneliti kualitatif untuk mendapatkan gambaran dari sudut
ppeneliting subjek melalui suatu media tertulis dan dokumen lainnya yang ditulis
atau dibuat langsung oleh subjek yang bersangkutan (Herdiansyah, 2010).
F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian menurut Arikunto dalam Hasan (2002) adalah alat atau
fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar
pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat,
lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Dalam penelitian kualitatif,
yang menjadi instrument atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri (Sugiyono,
2008). Sedangkan menurut Arikunto, Instrumen penelitian adalah alat fasilitas
yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih
62
mudah dan hasilnya lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah
diolah.
Dalam penelitian ini instrumen atau alat yang digunakan adalah :
1. Peneliti, dalam penelitian kualitatif instrumen utamanya adalah peneliti
sendiri, namun selanjutnya setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka
kemungkinan akan dikembangkan instrumen penelitian sederhana, yang
diharapkan dapat melengkapi data dan membandingkan dengan data yang
telah ditemukan melalui observasi dan wawancara. Data yang dimaksud
adalah terkait dengan implementasi program Pencegahan Dini dan
Penanggulangan Bencana Alam dalam upaya mitigasi longsor di Kabupaten
Pacitan.
2. Pedoman wawancara (interview guide), hal ini berguna untuk membatasi
dan mengarahkan peneliti dalam mencari data-data yang diperlukan guna
kegiatan penelitian. Sebelum melakukan wawancara peneliti membuat
pedoman wawancara untuk mengetahui data apa yang diinginkan baik untuk
memulai pencarian data, maupun memperdalam data yang sudah didapatkan
sebelumnya. Pedoman wawancara dalam hal ini mencakup peran BPBD,
implementasi BPBD serta faktor pendukung dan penghambat implementasi
program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana Alam dalam upaya
mitigasi longsor di Kabupaten Pacitan.
3. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa peralatan
penunjang, diantaranya yaitu alat rekaman dan foto melalui HP peneliti,
serta buku catatan.
63
G. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik
Qualitative Data Analysis (QDA) oleh Seidel (1998). Seidel menyatakan bahwa
QDA terdiri atas tiga proses utama yaitu : memperhatikan (noticing),
mengumpulkan (collecting) dan berpikir (thinking) tentang suatu hal yang
menarik. Ketiga proses tersebut dapat digambarkan dalam skema berikut ini:
Gambar 10. Model Analisis Data Kualitatif Seidel
Sumber : John Seidel (1998)
Melalui gambar di atas menunjukan bahwa proses QDA dari Seidel
memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut :
1. Iterative and Progressive; proses tersebut memiliki sifat berulang dan
progresif karena menyerupai siklus yang berulang. Ketika peneliti
berpikir tentang sesuatu, di saat bersamaan juga mulai memperhatikan
hal baru dalam data. Peneliti kemudian mengumpulkan dan berpikir
tentang sesuatu yang baru tersebut. Prinsipnya, proses tersebut
merupakan infinite spiral.
2. Recursive; proses tersebut bersifat recursive karena satu bagian dapat
membuat peneliti kembali ke bagian sebelumnya. Ketika peneliti sibuk
64
mengumpulkan sesuatu, mungkin peneliti secara bersamaan mulai
memperhatikan sesuatu yang baru untuk dikumpulkan.
3. Holographic; proses bersifat tersebut holographic karena setiap langkah
dalam proses mengandung keseluruhan proses. Ketika peneliti pertama
kali memperhatikan sesuatu, peneliti telah secara mental
mengumpulkan dan berpikir tentang sesuatu tersebut.
Penjelasan dari ketiga proses dasar pada gambar di atas dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. Notice things / Memperhatikan sesuatu (dan memberi kode)
Dalam level yang umum, memperhatikan berarti melakukan observasi,
menulis catatan lapangan / field notes, merekam wawancara,
mengumpulkan dokumen, dan sebagainya. Ketika peneliti melakukan
ini, peneliti sedang memproduksi rekaman / record atas sesutau yang
telah peneliti perhatikan. Sekali peneliti telah memproduksi rekaman,
peneliti memfokuskan perhatian kepada rekaman tersebut, dan
memperhatikan hal yang menarik dalam rekaman tersebut. Peneliti
melakukan ini dengan membaca rekaman. Pada kenyataannya, peneliti
akan membaca rekaman berulang kali. Kemudian catatan lapangan
dan/atau rekaman, diberi kode agar sumber datanya tetap dapat
ditelusuri. Dalam hal ini, pengumpulan data dilakukan melalui proses
wawancara kepada BPBD Kabupaten Pacitan. Kemudian adapun
dokumentasi dilakukan dengan hasil berupa gambar, dimana hal
tersebut berguna untuk mendukung kebutuhan data penelitian dan
65
sebagai bukti validitas dari peneliti. Sedangkan data yang berupa
dokumen dikumpulkan sesuai dengan kebutuhan data penelitian yang
bersumber dokumen resmi dari BPBD Kabupaten Pacitan.
2. Collect things / Mengumpulkan sesuatu
Proses selanjutnya adalah mengumpulkan dan memilah data. Proses ini
dapat dianalogikan seperti menyusun sebuah puzzle. Ketika peneliti
mengidentifikasi tiap bagian, peneliti sedang memperhatikan dan
“memberi kode”. Ketika peneliti memilih bagian-bagian, peneliti
“mengumpulkan” data. Dalam hal ini, dapat diartikan dengan
mengumpulkan data, memilah-milah, mengklasifikasikan,
mensintesiskan, membuat ikhtisar dan membuat indeksnya.
3. Think about things / Berpikir tentang sesuatu
Dalam proses ini, peneliti meneliti / think sesuatu yang telah
dikumpulkan itu sehingga mempunyai makna. Tujuan peneliti adalah:
1) memberikan tipe-tipe kepada masing-masing data 2) mencari pola
dan hubungan di antara data 3) untuk membuat penemuan yang umum /
general tentang fenomena yang diteliti.
66
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Gambaran Umum Kabupaten Pacitan
a. Arti Lambang Daerah
Gambar 11. Lambang Kabupaten Pacitan
Sumber : pacitankab.go.id
Makna lambang daerah Kabupaten Pacitan adalah sebagai berikut :
1) Perisai bersudut lima.
Melambangkan dasar negara Negara Kesatuan Republik Indonesia,
“Pancasila” yang harus kita pertahankan sampai akhir zaman. Karena
Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia selaras dengan tuntutan budi
nurani umat manusia di dunia ini.
2) Garis merah dan putih yang melingkari separo perisai
Lambang Bendera Negara kita. Merah berarti berani dan Putih berarti
suci, sebagai jiwa bangsa Indonesia, berani karena kesucian,
67
didalamnya terkandung makna kebenaran, kebijaksanaan dan keadilan
serta tidak meninggalkan dasar Dasar Negara Indonesia, Pancasila.
Garis hitam melingkar dibagian bawah separo perisai (sebagai
kelanjutan garis merah), berarti kebenaran.
3) Tulisan “TATA PRAMANA HARGENG PRAJA”.
Makna dari tekad Pemerintah dan masyarakat Pacitan untuk
menciptakan pemerintahan yang arif bijaksana serta mampu
mengayomi dan mewujudkan masyarakat yang adil makmur, tata
tentrem kerto raharjo di dalam wilayah yang dipenuhi bukit-bukit.
4) Bintang
Ketuhanan Yang Maha Esa, Sila Pertama dari Pancasila.
5) Gunung Lima
Menunjukkan bahwa geografi Pacitan. Dimana terletak Gunung Lima
yang terkenal sebagai tempat bertapa/ bersemedi.
6) Pintu gerbang dan Tugu Pahlawan Pacitan.
Mengingatkan kepada kita sebagai masyarakat Pacitan, kepada para
pahlawan/patriot Pacitan yang telah gugur sebagai kusuma bangsa
yang dulu telah gigih melawan kaum kolonial demi menegakkan
kemerdekaan Nusa dan Bangsa Indonesia serta menjunjung tinggi
Sapta Marga yang dituliskan sebagai pohon kelapa berdaun tujuh di
atas Tugu Taman Pahlawan.
68
7) Laut berombak empat
Digambar melengkung (berbatas gambar rantai) yang menunjukkan
letak geografi Pacitan ditepi teluk yang melengkung dan menjorok
kedaratan. Ombak digambar 4, gunung digambar 5 buah, padi
berjumlah 17, dan kapas berjumlah 8, bila dirangkai menjadi 17-8-“45
adalah tahun Kemerdekaan Republik Indonesia.
8) Rantai (Membatasi laut).
Persatuan dan kesatuan masyarakat Pacitan khususnya dan Indonesia
pada umumnya yang harus digalang.
9) Ketela pohon dan bambu
Sebagai tanaman rakyat Pacitan, yang merupakan sumber
penghidupan selama berabad-abad telah menghidupkan semangat
juang dan kerja keras masyarakat dalam meningkatkan
kesejahteraannya.
10) Padi dan kapas
Padi adalah bahan makanan pokok, sedangkan kapas bahan sandang.
Ini diartikan sebagai pengharapan seluruh rakyat Indonesia
terwujudnya murah pangan dan sandang.
b. Visi dan Misi
Visi merupakan rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan
pada akhir periode perencanaan, yang mencerminkan harapan yang ingin
dicapai. dilandasi oleh kondisi dan potensi serta prediksi tantangan dan
peluang pada masa yang akan datang. Visi dan misi Kabupaten Pacitan
69
menurut RPJMD 2017-2021 yakni “Maju Dan Sejahtera Bersama Rakyat”.
Dari visi tersebut maka melahirkan misi yang terbagi menjadi 4 point,
yakni:
1) Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif dan
akuntabel
2) Meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan sosial masyarakat
3) Membangun perekonomian masyarakat dengan menggerakkan
potensi daerah didukung ketersediaan infrastruktur yang memadai
4) Meningkatkan kesalehan sosial dan harmonisasi antar seluruh
lapisan masyarakat
c. Luas dan Batas Wilayah Administrasi
Kabupaten Pacitan merupakan kabupaten yang terletak di pantai selatan
jawa dan memiliki karakteristik wilayah yang sebagian besar (85% dari luas
wilayah) berupa perbukitan serta merupakan kawasan ekokarst. Adapun
setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, wilayah Kabupaten Pacitan
mengalami pengembangan wilayah yang menyebabkan bertambahnya
jumlah desa. Hal ini mengakibatkan perubahan wilayah administrasi
Kabupaten Pacitan dari sebelumnya 12 Kecamatan, 5 kelurahan dan 159
desa menjadi 12 kecamatan, 5 kelurahan dan 166 desa. Letak geografis
Kabupatan Pacitan berada antara 110º 55’ - 111º 25’ Bujur timur dan 7º 55’
- 8º 17’ Lintang Selatan. Secara adminstratif Kabupaten Pacitan berbatasan
70
dengan Kabupaten Trenggalek untuk sebelah timur, Samudera Indonesia
sebelah selatan, Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah) sebelah barat, dan
Kabupaten Ponorogo sebelah utara.
Menurut data yang dihimpun oleh BPS Kabupaten Pacitan (2016)
wilayah administrasi Kabupaten Pacitan terdiri dari 12 wilayah kecamatan
yaitu:
1) Kecamatan Donorojo, dengan luas 109,09 km2
2) Kecamatan Punung, dengan luas 108,81 km2
3) Kecamatan Pringkuku, dengan luas 132,93 km2
4) Kecamatan Pacitan, dengan luas 77,11 km2
5) Kecamatan Kebonagung, dengan luas 124,85 km2
6) Kecamatan Arjosari, dengan luas 117,06 km2
7) Kecamatan Nawangan, dengan luas 124,06 km2
8) Kecamatan Bandar, dengan luas 117,34 km2
9) Kecamatan Tegalombo, dengan luas 149,26 km2
10) Kecamatan Tulakan, dengan luas 161,62 km2
11) Kecamatan Ngadirojo, dengan luas 95,91 km2
12) Kecamatan Sudimoro, dengan luas 71,86 km2
71
Wilayah Kabupaten Pacitan yang terdiri dari 12 kecamatan tersebut digambarkan
melalui peta sebagai berikut :
Gambar 12. Peta Wilayah Kabupaten Pacitan
Sumber : BPS 2016
72
d. Kondisi Geografis
Kabupaten Pacitan sebagian besar (49%) merupakan wilayah agak
bergunung sampai bergunung dengan kemiringan lahan >40, dan lainnya
berupa lahan dengan bentuk wilayah datar-berombak (lereng 0-8%) yang
menempati wilayah 17%, lahan bergelombang (8-15%) menempati wilayah ±
2,5%, lahan agak berbukit (lereng 26-40%) yang menempati wilayah ± 28%.
Dataran datar hingga berombak dapat dijumpai di beberapa wilayah, yakni di
dataran aluvium Sungai Grindulu di Pacitan dan dataran aluvium muara Sungai
lorog. Lahan bergelombang dapat dijumpai di daerah Kebonagung, Ngadirojo,
dan Pringkuku, serta di berbagai kecamatan lain dalam luasan sempit (spot-
spot).
Lahan agak berbukit hingga berbukit menyebar merata di tiap kecamatan.
Namun yang paling luas adalah di Pringkuku, Tegalombo, dan Tulakan.
Sedangkan lahan agak bergelombang hingga bergunung (>40%) banyak
dijumpai di Arjosari, Nawangan, Tegalombo, dan Tulakan luasan masing-
masing bentuk wilayah dapat dilihat pada tabel 1 :
Tabel 1. Kemiringan Lahan Kabupaten Pacitan berdasarkan Kecamatan
Kecamatan Kemiringan Luas Total
Kawasan dengan
Kemiringan > 40%
% E (41-60) F (>60)
Arjosari 2.948 6.223 9.171 78,34
Bandar 2.996 2.217 5.213 44,42
Donorojo 1.543 2.342 3.885 35,61
Kebonagung 3.602 1.331 4.933 39,51
Nawangan 4.150 3.360 7.510 60,54
Ngadirojo 2.471 3.555 6.026 62,83
Pacitan 1.318 1.264 2.582 33,49
73
Kecamatan Kemiringan Luas Total
Kawasan dengan
Kemiringan > 40%
% E (41-60) F (>60)
Pringkuku 2.166 1.168 3.334 25,08
Punung 1.114 2.786 3.900 35,84
Sudimoro 2.384 1.576 3.960 55,11
Tegalombo 3.971 6.597 10.568 70,80
Tulakan 4.965 2.486 7.451 46,10
TOTAL 33.628 34.905 68.533 49,31
Sumber: RTRW Kabupaten Pacitan 2009-2028
Keterangan :
E(41-60) = Daerah agak bergunung dengan kemiringan 41-60%
F (>60) = Daerah bergunung dengan kemiringan lebih dari 60%
e. Geologi
Kondisi geologi wilayah Pacitan umumnya berupa vulkanik dan kars.
Sejumlah besar erupsi serta bentuk kerucut, dengan material-material hasil
letusannya berbentuk padat batu gamping serta lain-lain bahan vulkanik lepas.
Semua bahan vulkanik itu membentuk pegunungan (otogenesa) menghasilkan
morfologi yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung dengan perbedaan relief
topografik yang cukup besar. Di bagian selatan sepanjang pantai kondisi
geologinya berupa satuan karst dengan bahan penyusun batu gamping (Pemkab
Pacitan, 2008).
Berdasar deskripsi yang ada di web resmi Pemerintah Kabupaten Pacitan,
Pacitan Online (2008) terkait struktur dan jenis tanah, tanah pacitan terdiri dari
assosiasi litosol mediteran merah, aluvial kelabu endapan liat, litosol campuran
tuf dengan vulkan serta komplek litosol kemerahan yang ternyata di dalamnya
banyak mengandung potensi bahan galian mineral. Pacitan disamping
74
merupakan daerah pegunungan yang terletak pada ujung timur Pegunungan
Seribu, juga berada pada bagian selatan Pulau Jawa dengan rentangan sekitar
80 km dan lebar 25 km. Tanah Pegunungan Seribu memiliki ciri khas yang
tanahnya didominasi oleh endapan gamping bercampur koral dari kala Milosen
(dimulai sekitar 21.000.000 – 10.000.000 tahun silam). Endapan itu kemudian
mengalami pengangkatan pada kala Holosen, yaitu lapisan geologi yang paling
muda dan paling singkat (sekitar 500.000 tahun silam – sekarang) (Pemkab
Pacitan, 2008).
f. Morfologi
Menurut buku putih sanitasi yang disusun oleh Pokja Sanitasi Pacitan
(2012) secara garis besar wilayah Kabupaten Pacitan dapat dikelompokkan ke
dalam 3 satuan wilayah morfologi, yaitu:
1) Morfologi perbukitan
Morfologi perbukitan merupakan wilayah terluas, mencakup 80% luas
daerah. Satuan morfologi ini menempati daerah dengan kemiringan terjal,
dengan bukit-bukit dan gunung-gunung kecil menjulang hingga 800 meter
di atas muka air laut. Satuan ini disusun oleh batuan gunungapi dan batuan
sedimen. Morfologi berbentuk tonjolan yang terdapat di beberapa tempat
merupakan batuan terobosan yang bersusunan andesit, basal, diorit dan
dasit. Sungai-sungai besar yang mengalir di daerah ini antara lain S.
Grindulu, S. Lanang, S. Pagutan, S. Lorog, dan S. Panggul. Kelurusannya
lebih banyak dipengaruhi oleh sesar dan kekar daripada kedudukan lapisan
75
batuan. Derajat pelapukan pada satuan ini cukup tinggi, ditunjukkan oleh
tanah pelapukan yang setempat mencapai tebal lebih dari 10 meter.
2) Morfologi karst
Satuan karst menyebar di sepanjang pantai selatan, terutama disusun
oleh batu gamping, yang setempat bersifat tufan. Gejala karst di daerah ini
ditunjukkan oleh adanya gua batu gamping, aliran sungai bawah tanah,
dolina, dan uvala. Bukit-bukit kecil berjulang antara 20-50 meter di atas
muka air laut merupakan bentukan hasil erosi, yang umumnya disusun
oleh batu gamping terumbu. Bentuk bukitnya yang beragam seperti
kerucut, kerucut terpancung, meja, tabung, dan sebagainya dipengaruhi
oleh ragam batugamping penyusunnya. Sungai besar yang memotong
satuan ini adalah S. Basoko yang kelurusannya dipengaruhi oleh sistem
retakan.
3) Morfologi Dataran
Satuan dataran berupa aluvium, sebarannya sangat terbatas, yakni di
sepanjang aliran sungai-sungai besar. Setempat satuan ini menempati
daerah pinggirannya pantai yang sempit. Dataran aluvial yang cukup luas
diantaranya dijumpai di dataran Pacitan di daerah hilir Sungai Grindulu
dan dataran Lorog di sekitar Sugai Lorog.
g. Iklim
Wilayah Pulau Jawa merupakan wilayah yang sebagian besar dipengaruhi
oleh iklim tropika basah. Kabupaten Pacitan termasuk salah satu daerah di jawa
yang memiliki iklim tropika basah dengan dua musim yaitu musim hujan dan
76
musim kemarau atau musim kering. Selama tahun 2015, musim penghujan di
Kabupaten Pacitan terjadi pada bulan Januari-Mei dan bulan November-
Desember. Data mengenai banyaknya rata-rata curah hujan perbulan pada
tahun 2015 secara terperinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Curah Hujan per Bulan Tahun 2015 Menurut Stasiun Pengamatan
(mm3)
Stasiun
Pegamatan
Bulan ke (per Januari) Rata-
rata 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nawangan 371 293 379 355 179 17 0 0 0 0 204 267 172
Kebonagung 408 282 460 305 113 17 0 3 0 0 98 305 166
Arjosari 389 246 412 414 85 27 0 2 0 0 86 310 164
Pringkuku 347 310 384 466 29 0 0 0 0 0 97 281 160
Tegalombo 308 449 312 230 66 18 0 0 0 0 165 298 154
Bandar 157 341 387 278 100 1 0 0 0 0 181 338 149
Tulakan 252 248 288 372 175 5 0 0 0 0 114 274 144
Pacitan 354 239 355 311 59 6 0 12 0 0 152 232 143
Punung 341 310 384 466 29 0 0 0 0 0 108 81 143
Sudimoro 244 233 257 383 156 64 0 4 0 0 85 277 142
Donorojo 268 307 338 373 53 10 0 0 0 0 44 299 141
Ngadirojo 167 255 317 319 116 25 0 1 0 0 64 301 130
Rata-rata 301 293 356 356 97 16 0 2 0 0 117 272
Sumber : BPS, 2016
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2015 curah
hujan yang digolongkan tinggi menurut klasifikasi BMKG terjadi pada bulan
Januari, Maret dan April, dimana curah hujan terjadi kisaran antara 301-400
mm3/bulan. Pada bulan Mei hingga Oktober curah hujan tergolong relatif
kecil, karena kurang 100 mm3/bulan. Bulan Februari, November dan Desember
mendapati curah hujan dengan klasifikasi sedang, yakni diantara 101-300
mm3/bulan.
77
h. Demografi
Penduduk Kabupaten Pacitan berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2015
sebanyak 550.986 jiwa yang terdiri atas 268.896 jiwa penduduk laki-laki dan
282.090 jiwa penduduk perempuan. Dibandingkan dengan proyeksi jumlah
penduduk tahun 2014, penduduk Pacitan mengalami pertumbuhan sebesar 0,27
persen (BPS, 2016). Sementara itu besarnya angka rasio jenis kelamin tahun
2015 penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan sebesar 95,32.
Kepadatan penduduk di Kabupaten Pacitan tahun 2015 mencapai 396
jiwa/km2. Kepadatan Penduduk di 12 kecamatan cukup beragam dengan
kepadatan penduduk tertinggi terletak di Kecamatan Pacitan dengan kepadatan
sebesar 1.019 jiwa/km2 dan terendah di Kecamatan Pringkuku sebesar 225
jiwa/km2 (BPS, 2016).
Tabel 3. Jumlah Penduduk, Rasio Jenis Kelamin dan Kepadatan Penduduk
Berdasar Kecamatan di Kabupaten Pacitan Tahun 2015
Kecamatan
Jenis Kelamin (Jiwa) Rasio
Jenis
Kelamin
Persentase
Penduduk
Kepadatan
Penduduk
(km2) L P Jumlah
Donorojo 16.485 18.255 34.740 90,30 6,31 318
Punung 16.026 17.620 33.646 90,95 6,11 309
Pringkuku 14.260 15.712 29.972 90,76 5,44 225
Pacitan 38.257 40.328 78.585 94,86 14,26 1 019
Kebonagung 20.511 21.773 42.284 94,20 7,67 339
Arjosari 19.079 20.131 39.210 94,77 7,12 335
Nawangan 22.389 23.384 45.773 95,74 8,31 369
Bandar 21.249 21.558 42.807 98,57 7,77 365
Tegalombo 24.223 25.044 49.267 96,72 8,94 330
Tulakan 38.554 39.377 77.931 97,91 14,14 482
Ngadirojo 22.587 23.469 46.051 96,22 8,36 480
Sudimoro 15.281 15.439 30.720 98,98 5,58 428
Kab. Pacitan 268 896 282 090 550 986 95,32 100,00 396
Sumber : BPS, 2016
78
i. Jenis Bencana yang Dominan atau Sering Terjadi
Luasan wilayah Kabupaten Pacitan sebagian besar berupa bukit, gunung dan
jurang terjal dan termasuk jajaran pegunungan seribu (ring of fire). Kabupaten
Pacitan juga berada pada wilayah perairan selatan pulau jawa. Hal tersebut
berarti bahwa Pacitan terletak di atas lempeng Indo-Australia, dimana lempeng
tersebut kerap mengalami pergeseran dan juga tumbukan dengan lempeng
Eurasia. Kondisi alam seperti itu menjadikan Kabupaten Pacitan memiliki
beragam ancaman bencana. Jenis bencana yang rawan terjadi menurut BPBD
(2016) adalah sebagai berikut :
1) Gempa bumi
Daerah Kabupaten Pacitan yang berada di atas lempeng India-Australia
kondisinya saat ini sangat rapat karena mendapat tekanan dari lempeng
Eropa-Asia. Berdasarkan hal tersebut maka seluruh wilayah Kabupaten
Pacitan termasuk kedalam kawasan rawan gempa bumi.
2) Kawasan rawan tanah longsor/gerakan tanah
Adapun kawasan rawan tanah longsor/gerakan tanah di Kabupaten
Pacitan merupakan daerah yang memiliki kemiringan lahan lebih dari
40% dan kawasan yang memiliki jenis tanah redzina dan litosol. Pada
kawasan yang memiliki kriteria tersebut penggunaan lahan sedapat
mungkin berupa hutan lindung/hutan rakyat.
3) Kawasan rawan gelombang pasang tsunami
Adapun kecamatan yang merupakan kawasan rawan bencana tsunami
dan perlu diatur penggunaan lahannya adalah seluruh wilayah pantai di
79
bagian selatan Kabupaten Pacitan yang memiliki kemiringan landai dan
juga wilayah-wilayah yang dilalui oleh sungai-sungai yang dipengaruhi
oleh pasang surut air laut.
4) Kawasan Rawan Banjir
Titik-titik rawan kejadian banjir di wilayah Kabupaten Pacitan sangat
erat kaitannya dengan keberadaan sungai - sungai utama yang ada yaitu
Sungai Baksoko, Sungai Lorog, Sungai Pagotan, Sungai Bawur dan
terutama Sungai Grindulu. Daerah yang masuk kedalam kawasan rawan
banjir adalah sebagian wilayah Kecamatan Arjosari, Pacitan dan
Kebonagung.
2. Gambaran Umum Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Kabupaten Pacitan
a. Riwayat Singkat dan Profil BPBD
Dari luasan wilayah sebagian besar berupa bukit, gunung dan jurang
terjal yang termasuk jajaran pegunungan seribu (Ring of Fire) serta
posisinya yang berada pada lempeng samudra hindia (BPBD, 2017). Hal
ini menyebabkan beragam ancaman bencana di Kabupaten Pacitan mulai
dari tanah longsor, banjir, sampai ancaman tsunami. Dengan kondisi
tersebut dan adanya paradigma baru terkait penanggulangan bencana
yang mengedepankan pengurangan risiko bencana, Pemerintah
Kabupaten Pacitan membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah
dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pacitan Nomor 7 Tahun 2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana
80
Daerah Kabupaten Pacitan (Lembaran Daerah Kabupaten Pacitan Nomor
7 Tahun 2010).
Gambar 13. Kantor BPBD Kabupaten Pacitan
Sumber : Data Primer, 2017
b. Visi dan Misi
Visi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Pacitan
yaitu “Terwujudnya penanggulangan bencana secara cepat, tepat,
terencana, terkoordinasi dan terpadu”. Dengan terumuskannya visi
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Pacitan tersebut,
maka misi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Pacitan
adalah sebagai berikut :
1) Melaksanakan perencanaan, pembinaan, pengendalian terhadap
program, Administrasi, sumber daya manusia dan sarana
prasarana aparatur.
2) Melaksanakan peningkatan kapasitas lembaga dan masyarakat
dalam kesiapsiagaan serta pengurangan resiko bencana.
3) Melaksanakan sistem penanggulangan bencana yang efektif dan
efisien secara terencana,terkoordinasi dan menyuluruh.
81
4) Melaksanakan peningkatan kapasitas perencanaan dalam
pemulihan.
c. Fungsi
Fungsi Badan Penanggulangan Bencana Daerah diatur dalam
Peraturan Bupati Pacitan Nomor 05 tahun 2011 tentang Uraian Tugas
Fungsi dan Tata Kerja; fungsi tersebut yakni :
1) Perumusan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan
pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien;
2) Pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu dan menyeluruh
3) Pembinaan dan pelaksanaan tugas dalam penanggulangan bencana;
4) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan
tugas dan fungsinya.
d. Struktur Organisasi
BPBD Kabupaten Pacitan termasuk kedalam instansi pemerintah
dengan tipe B, dimana Kepala BPBD dijabat rangkap (ex officio) oleh
Sekretaris Daerah. Berdasarkan Peraturan Bupati Pacitan Nomor 05
tahun 2011 tentang Uraian Tugas Fungsi dan Tata Kerja Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Pacitan, struktur
organisasi BPBD terdiri dari kepala badan, kepala pelaksana, sekretaris,
seksi kesiapsiagaan & pencegahan, seksi kedaruratan & logistik, seksi
rehabilitasi & rekonstruksi, kelompok jabatan fungsional, serta tim
82
pengarah. Bagan struktur organisasi BPBD Kabupaten Pacitan tersebut
adalah seperti di bawah ini :
Gambar 14. Bagan Struktur Organisassi BPBD Kabupaten Pacitan
Sumber : Renstra 2017-2021
3. Gambaran Umum Kecamatan Tulakan Kabupaten Pacitan
a. Kondisi Geografi dan Geologi
Kecamatan Tulakan merupakan salah satu bagain dari 12 Kecamatan
yang berada di Kabupaten Pacitan dengan jarak 25 km arah ketimur
Kabupaten Pacitan. Kecamatan Tulakan berada pada ketinggian antara
200 sampai dengan 700 meter di atas permukaan laut. dan terletak pada
koordinat lat 8°10′13″ S dan long 111°16′39″ E, dengan struktur tanah
merupakan dataran tinggi yang merupakan daerah pegunungan kapur
(Pemkab Pacitan, 2017). Kecamatan Tulakan merupakan daerah
Kepala BPBD
Kelompok Jabatan
Fungsional
Sekretariat
Seksi Rehabilitasi
dan Rekonstruksi
Seksi Pencegahan
dan Kesiapsiagaan
Seksi Kedaruratan
dan Logistik
Unsur Pelaksana
Kepala Pelaksana
BPBD
Unsur Pengarah
Instansi
Profesional
83
perbukitan bergelombang dengan kemiringan lereng agak terjal hingga
terjal, dengan tingkat elevasi berkisar antara 475-500 meter dari
permukaan laut (KESDM, 2016).
Secara administratif wilayah Kecamatan Tulakan mempunyai batas-
batas wilayah, yaitu sebelah utara adalah Kecamatan Tegalombo dan
Kabupaten Ponorogo, sebelah timur adalah Kecamatan Ngadirojo,
sebelah barat adalah Kecamatan Kebonagung dan sebelah selatan adalah
Samudra Indonesia. Kecamatan Tulakan memiliki luas 16.161,48 Ha,
dimana merupakan Kecamatan terluas dari 12 Kecamatan yang ada di
Kabupaten. Kecamatan Tulakan dibagi menjadi 16 desa, 97 Dusun, 202
Rukun Warga (RW) dan 537 Rukun Tetangga (RT). 16 Desa di
Kecamatan Tulakan diantaranya Desa Jetak, Desa Nglaran, Desa
Wonoanti, Desa Padi, Desa Kluwih, Desa Bungur, Desa Tulakan, Desa
Jatigunung, Desa Gasang, Desa Kalikuning, Desa Ngile, Desa Bubakan,
Desa Losari, Desa Ngumbul, Desa Wonosidi dan Desa Ketro.
b. Demografi
Tahun 2015 jumlah penduduk Kecamatan Tulakan hasil Registrasi
Penduduk Tahun 2015 sebesar 86.343 jiwa. Dengan luas wilayah 161,61
Km2, maka setiap Km2 ditempati penduduk sebanyak 534 orang, dengan
rata-rata anggota rumah tangga 4 yang berarti dalam satu rumah tangga
dihuni oleh 4 jiwa. Pada tahun yang sama terhitung Rasio Jenis Kelamin
(RJK) sebesar 100,23 hal ini dapat diartikan diantara 100 penduduk
84
perempuan terdapat 100-101 penduduk laki-laki. Data kependudukan
tersebut adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Indikator Kependudukan Kecamatan Tulakan Tahun 2013-2015
Uraian 2013 2014 2015
Penduduk (Jiwa) 87.032 86.994 86.343
Rumah Tangga (Kepala Keluarga) 22.856 22.876 22.886
Kepadatan Penduduk(km2/jiwa) 539 539 534
Rasio Jenis Kelamin 100,64 100,64 100,23
Sumber : BPS, 2016
Pada tahun 2015 piramida penduduk Kecamatan Tulakan
menunjukkan piramida ekspansif atau piramida penduduk muda. Jenis
piramida ini mempunyai kecenderungan berbentuk mengerucut ke atas.
Hal tersebut menggambarkan bahwa kelompok usia penduduk di
Kecamatan Tulakan sebagian besar didominasi kelompok usia muda.
Kelompok usia dengan terbesar terdapat pada penduduk usia muda
yakni kisaran usia 5-19 tahun. Piramida tersebut digambarkan
sebagaimana grafik dibawah ini :
Gambar 15. Piramida Penduduk Kecamatan Tulakan 2015
Sumber : BPS, 2016
85
Pada tahun 2015 kelahiran yang terjadi di Kecamatan Tulakan
cukup tinggi yaitu sebanyak 126 bayi laki-laki dan 127 bayi perempuan.
Sedangkan kematiannya cukup rendah yaitu sebanyak 183 orang terdiri
dari 78 orang laki-laki dan 105 orang perempuan. Tingkat kelahiran
terbesar terjadi di desa Wonoanti sebanyak 21 bayi di tahun 2015,
sedangkan tingkat kematian tertinggi terjadi di desa Jetak yaitu 40
orang. Jumlah kelahiran dan kematian tersebut sebagaimana yang
terdapat dalam gambar berikut :
Gambar 16. Jumlah Kelahiran dan Kematian Kecamatan Tulakan
Tahun 2015
Sumber : BPS, 2016
c. Iklim
Pada tahun 2015, curah hujan yang terjadi di Kecamatan Tulakan
bervariasi. Curah hujan per bulan yang tertinggi terjadi pada bulan
Desember yakni sebesar 595 mm3 dan terendah pada bulan Agustus
dan September dimana pada bulan tersebut hampir tidak terjadi hujan
karena curah hujannya hanya 0 mm3. Hari hujan terbanyak terjadi di
86
bulan Januari yaitu sebanyak 25 hari hujan. Hari hujan terkecil terjadi
pada bulan Agustus dan September karena pada bulan tersebut tidak
terjadi hujan. Pada bulan April terjadi curah hujan terbesar hingga
mencapai 24,79 mm3. Pada bulan Agustus dan September rata-rata
hujan per hari hujannya hanya 0 mm3 atau bisa diartikan di bulan-bulan
tersebut cuaca panas sangat mendominasi.
Gambar 17. Banyaknya Hari Hujan dan Curah Hujan per
Bulan Tahun 2015 (mm3)
Sumber : BPS, 2016
d. Potensi Sumber Daya Alam
Kecamatan Tulakan mempunyai potensi dibidang pertanian,
perkebunan khususnya cengkeh, kakao, kelapa, melinjo dan hasil hutan
yang berupa kayu-kayuan serta pariwisatanya khususnya wisata bahari
dan wisata alam dengan curah hujan mencapai 2.549 mm per tahun dan
suhu rata-rata 260 C (Pemkab Pacitan, 2017). Di Kecamatan Tulakan
terdapat beberapa obyek wisata antara lain goa Somopuro, goa
87
Penthung, goa Jeblokan, dan goa Surupan serta wisata bahari berupa
pantai Pidakan di Desa Jetak. Sedangkan produk unggulan berupa
durian, cengkeh, kelapa dan gula merah.
e. Pemerintahan Kecamatan Tulakan
Gambar 18. Kantor Kecamatan Tulakan
Sumber : Data Primer, 2017
1) Visi dan Misi
Visi Kantor Camat Tulakan yaitu, “Terwujudnya pelayanan
masyarakat yang prima dan pengembangan potensi wilayah secara
optimal”. Berdasarkan visi Kantor Camat Tulakan maka kemudian
terwujudlah 10 misi, yaitu sebagai berikut :
a) Meningkatkan SDM aparatur kecamatan yang mampu dan
profesional
b) Meningkatkan citra keberadaan Kantor Kecamatan ditengah-
tengah masyarakat
c) Meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat
d) Menciptakan kondisi wilayah yang aman dan tenteram
88
e) Mendorong masyarakat dalam upaya pengelolaan potensi
sumber daya yang ada di wilayah
f) Meningkatkan koordinasi teknis fungsional dan operasional
g) Memfasilitasi penyelenggaraan pemerintahan desa
h) Mendorong masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam
yang efisien dan efektif
i) Meningkatkan kesadaran masyarakat di bidang hukum
j) Mewujudkan pemerintahan Good Governance sesuai dengan
tuntutan masyarakat
2) Struktur Organisasi Kantor Kecamatan Tulakan
Gambar 19. Struktur Organisasi Kantor Kecamatan Tulakan
Sumber : Data Primer, 2017
Sekretaris
Kecamatan
Seksi
Pemberdayaan
Masyarakat
Kepala BPBD
Seksi Pemerintahan
Seksi Ketentraman
& Ketertiban
Jabatan Fungsional
Seksi Ekonomi dan
Pembangunan
Seksi Kesejahteraan
Sosial
Kasubag
Tata Usaha
Kasubag
Program
Evaluasi
89
B. Penyajian Data
1. Implementasi Program Pencegahan Dini dan Penanggulangan
Bencana Alam dalam Upaya Mitigasi Bencana Tanah Longsor di
Kecamatan Tulakan
Berdasar pada salah satu isu yang terdapat dalam RPJMD 2017-2019
yakni “minimnya upaya peningkatan mitigasi bencana” Pemerintah
Kabupaten Pacitan menyusun arah kebijakan, yakni pengembangan sistem
penanggulangan bencana yang responsif. Program “Pencegahan Dini dan
Penanggulangan Bencana Alam” yang mana dirancang BPBD melalui
Restra 2017-2021 menjadi salah satu program prioritas Pemerintah
Kabupaten Pacitan yang tertulis dalam RPJMD 2017-2021. Di bawah
program tersebut terdapat 14 kegiatan, yakni sebagai berikut :
a. Pemantauan dan penyebarluasan informasi potensi bencana
b. Sosialisasi edukasi penanggulaangan bencana
c. Peralatan perlengkapan penanggulangan bencana
d. Fasilitasi relawan penanggulangan bencana
e. Peningkatan kapasitas desa tangguh bencana
f. Fasilitasi posko penanggulangan bencana
g. Penyusunan rencana kontijensi penanggulangan becana
h. Fasilitasi forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB)
i. Peningkatan SDM dan operasional Tim Reaksi Cepat (TRC)
j. Pelatihan Pengkajian Kebutuhan Pasca Bencana (Jitu Pasna)
k. Pendataan, verifikasi dan penyaluran bantuan pasca bencana
90
l. Penanganan maslaah pasca bencana
m. Penanganan masalah bencana alam
n. Fasilitasi Tim reaksi Cepat (TRC)
Program tersebut juga mencakup upaya-upaya mitigasi tanah longsor.
Jenis upaya mitigasi longsor dalam program tersebut dipilah oleh peniliti
dengan mengacu pada Kementrian ESDM (2005), yang mana terdapat
enam macam upaya. Enam macam upaya tersebut yakni, pemetaan,
pemantauan, peringatan dini & penyebaran informasi, penyelidikan
gerakan tanah, penguatan ketahanan masyarakat, serta mitigasi struktural.
Terdapat tiga dimensi yang saling bertumpu menentukan terwujudnya
kegiatan-kegiatan tersebut. Tiga dimensi tersebut yakni :
a. Organisasi
Suatu program tidak akan terlaksana tanpa adanya elemen yang
menggerakanya. Elemen tersebut terangkum dalam dimensi organisasi.
Dalam hal ini organisasi merupakan subyek dalam menjalankan
perencanaan yang telah disusun. Adapun keberhasilan suatu organisasi
dalam menjalankan program dapat ditunjang dari faktor sumber daya
manusia, sarana prasarana, dan anggaran. Hasil penelitian terkait faktor-
faktor tersebut disajikan peneliti sebagai berikut :
1) Sumber Daya Manusia
Organisasi dapat dimaknai sebagai kesatuan orang-orang yang
melakukan pekerjaan, dimana dalam hal ini terjadi pada lingkup
kelembagaan pemerintah. BPBD merupakan lembaga pemerintah
91
daerah yang menjalankan Program Pencegahan Dini dan
Penanggulangan Bencana Alam. Program tersebut dilaksanakan
melalui koordinasi dan otoritas Kepala Pelaksana. Di bawah
koordinasi Kepala Pelaksana, program dijalankan dengan dibagi
menjadi tiga bagian pelaksana atau seksi, seksi yakni pencegahan &
kesiapsiagaan, seksi kedaruratan & logistik serta seksi rehabilitasi &
rekonstruksi. Berdasarkan Renstra 2017-2021 ketiga seksi tersebut
mempunyai tugas merumuskan kebijakan, pengkoordinasian dan
pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan hubungan kerja serta pemantauan,
evaluasi & analisis pelaporan tentang pelaksanaan kebijakan dibidang
penanggulangan bencana. Seksi pencegahan dan kesiapsiagaan
bertugas menangani permasalahan dibidang pencegahan, mitigasi &
kesiapsiagaan serta pemberdayaan masyarakat. Seksi kedaruratan &
logistik bertugas pada bidang tanggap darurat, penanganan pengungsi
dan logistik. Seksi rehabilitasi & rekonstruksi bertugas menangani
permasalahan pada pasca bencana.
Bencana longsor merupakan bencana yang identik dengan
geologi. Oleh sebab itu penanganan bencana longsor di Pacitan
banyak bekerjasama dengan PVMBG. Hal tersebut ditunjukan melalui
wawancara dengan DA selaku Kasi Pencegahan dan Kesiapsiagan,
yakni sebagai berikut :
“untuk pembuatan peta atau zonasi rawan longsor pihak BPBD
juga membuat sendiri tetapi yang resmi itu nanti keluaran dari
PVMBG. Dari pembuatan peta, terus pemantauan dan
penyelidikan gerakan tanah kita bekerjasama dengan PVMBG.
92
Kan kasaranya kita nggak mudeng seluk beluknya tanah itu kaya
apa mas. Oh iya, dulu dari pusat (BNPB) juga pernah ada bantuan
kerjasama terkait longsor.” wawancara pada Hari Rabu, 5 Juli
2017 pukul 09.00 WIB, di kantor BPBD Kabupaten Pacitan)
Gambar 20. Kajian Lapangan oleh PVMBG di Desa Gasang,
Kecamatan Tulakan
Sumber : BPBD, 2017
Kontribusi PVMBG juga berlangsung dalam kaitan upaya mitigasi
struktural, yakni berupa rekomendasi relokasi serta rekomendasi
mengenai penggunaan teknologi. Keterangan terkait relokasi tersebut
sebagaimana disampaikan oleh DA :
“jadi relokasi iki, seperti di Desa Gasang itu yang berani
merekomendasikan yaitu cuma PVMBG, tapi PVMBG itu pun
nanti tetep dikembalikan lagi ke pemerintah daerah setempat.
Soale kan disitu banyak sekali komponen sing terlibat, ya
masyarakat, ya desa, kecamatan dan kepala daerah” (wawancara
pada Hari Rabu, 5 Juli 2017 pukul 09.00 WIB, di kantor BPBD
Kabupaten Pacitan)
Kemudian keterangan singkat terkait rekomendasi teknologi, yakni :
“soal penempatan alat deteksi dini itu yang menentukan juga
PVMBG, sebagai pihak yang berkompeten” (wawancara pada
Hari Rabu, 5 Juli 2017 pukul 09.00 WIB, di kantor BPBD
Kabupaten Pacitan)
93
Penguatan ketahanan masyarakat diwujudkan BPBD melalui
kegiatan Sosialisasi dan Edukasi Penanggulangan Bencana. Sosialisasi
tersebut dilakukan perkecamatan.. Kecamatan Tulakan merupakan
daerah yang mempunyai jumlah kejadian longsor terbanyak di
Kabupaten Pacitan, oleh sebab itu pada tahun 2016 sosialisasi
diadakan di daerah tersebut. BPBD menyediakan tim penyuluh untuk
melaksanakan kegiatan sosialisasi dan edukasi tersebut.
Terlaksananya kegiatan tersebut dibuktikan melalui pernyataan oleh
GN yang menjabat Seksi Pemberdayaan Masyarakat di Kantor
Kecamatan Tulakan, yakni sebagai berikut :
“iya ada mas, belum lama kemarin ada sosialisasi dari BPBD di
kecamtan sini. Sampai desa kayaknya nggak ada mas, kalau yang
dari BPBD lho ya. Sosialisasinya cuma sampai pada kecamatan
thok” (wawancara pada Hari Rabu, 5 Juli 2017 pukul 13.00 WIB,
di Kantor Kecamtan Tulakan)
RK selaku Staf Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan juga
menambahkan keterangan terkait aktor yang melaksanakan sosialisasi
tersebut, yakni :
“...pelaksananya kita ada tim penyuluh yang melakukan
sosialisasi. Ada juga pernah kerjasama dengan Bapemas kalo di
Tulakan itu. Dalam sosialisasi itu kita mengundang masing-
masing perwakilan desa, kemudian diharapkan informasi itu dapat
diteruskan sampai pada masyarakat yang dikoordinasikan melalui
kepala desa masing-masing” (wawancara pada Hari Rabu, 5 Juli
2017 pukul 09.00 WIB, di Kantor BPBD Kabupaten Pacitan)
Tahun 2017 bulan April BPBD meresmikan dibentuknya forum
Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Forum PRB merupakan wadah
tempat berkumpulnya para pihak pemangku kepentingan, baik
94
individu maupun lembaga yang mempunyai perhatian dan kepedulian
yang sama terhadap agenda pengurangan resiko bencana. Salah satu
tujuan pembentukan Forum PRB ini adalah mewujudkan suatu forum
yang mewadahi para pihak yang berkepentingan dalam melakukan
advokasi pengurangan risiko bencana. Forum PRB diharapkan dapat
meningkatkan pemahaman berbagai pemangku kepentingan dalam
membangun kerjasama para pihak serta meningkatkan partisipasi para
pihak dalam upaya pengurangan risiko bencana. Hal ini dibuktikan
melalui keterangan yang disampaikan oleh DA selaku pihak dari
BPBD, yakni :
“..iya, itu kalo nggak salah april kemarin. April kemarin BPBD
Pacitan mengadakan Pembentukan Forum PRB di hotel srikandi.
Fungsi dari forum itu untuk memudahkan komunikasi pihak-
pihak yang berkepentingan dalam rangka pengurangan risiko
bencana..” (wawancara pada Hari Rabu, 5 Juli 2017 pukul 09.00
WIB, di Kantor BPBD Kabupaten Pacitan)
Keterangan tersebut sejalan dengan yang terlampir pada situs resmi
BPBD Pacitan, yakni sebagai berikut :
“Dalam rangka kegiatan program Pencegahan Dini dan
Penanggulangan Bencana Alam tahun 2017, BPBD Pacitan
menyelenggarakan kegiatan Pembentukan Forum Pengurangan
Risiko Bencana (PRB) di ruang pertemuan hotel srikandi pada
Selasa, 25 April 2017.
Kegiatan Pembentukan Forum PRB yang dibuka secara resmi
oleh Kepala Pelaksana BPBD Pacitan, Tri Mudjiharto,
S.Sos.,MM ini menghadirkan empat narasumber sebagai pemateri
yaitu Ratna Budiono, A.Md, Tri Mudjiharto, S.Sos.,MM, Diana
Rendrarini, SE.,ST.,MT., dan Arifin, SE. Selain itu, kegiatan ini
diikuti sebanyak 100 peserta dari berbagai instansi pemerintah,
organisasi masyarakat, perguruan tinggi, sektor swasta dan
berbagai komunitas di Kabupaten Pacitan.” (sumber :
bpbd.pacitankab.go.id, diakses pada Hari Kamis, 6 Juli 2017
pukul 22.00 WIB)
95
2) Anggaran
Anggaran merupakan faktor penting dalam penentuan realisasi
suatu program. Anggaran menjadi hal yang sangat berpengaruh
sebagai dimensi pendorong optimalisasi kualitas suatu program.
Anggaran didapatkan dari APBN dan APBD. Anggaran terkait
program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana Alam
diperoleh melalui APBD. Data anggaran yang sajikan oleh peneliti
melalui rekomendasi dari BPBD terbatas pada anggaran program
secara umum, sebagaimana disampaikan melalui wawancara dengan
DA yakni :
“..rincian dana yang bisa kami berikan dan ada di BPBD adanya
cuma yang di Renstra itu mas..” (wawancara pada Hari Rabu, 5 Juli
2017 pukul 09.00 WIB, di Kantor BPBD Kabupaten Pacitan)
Berdasarkan hasil wawancara tersebut data mengenai anggaran
didapatakan melalui Renstra 2017-2021. Berikut adalah pendanaan
program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana Alam per
tahun :
Tabel 5. Anggaran Program Pencegahan Dini dan Penanggulangan
Bencana Alam Tahun 2017-2021
Sumber : Renstra BPBD 2017-2021
Periode Anggaran
Tahun ke - 1 760.000.000
Tahun ke - 2 823.000.000
Tahun ke – 3 875.000.000
Tahun ke – 4 929.000.000
Tahun ke – 5 990.000.000
96
Pendananaan terkait upaya mitigasi longsor termasuk kedalam
penganggaran program di atas.
3) Sarana Prasarana
Secara umum sarana prasarana merupakan sesuatu yang
digunakan untuk mempermudah pekerjaan. Sarana prasarana dalam
arti sempit dipandang sebagai alat, yang mana dalam hal ini bertujuan
untuk mewujudkan program yang dirancang oleh BPBD. Sarana
prasarana yang dimiliki BPBD dalam penerapan ataupun penunjang
kegiatan mitigasi longsor termasuk di dalam daftar sarana prasarana
program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana Alam. Daftar
sarana prasarana yang dapat dimanfaatkan BPBD untuk memberikan
pelayanan tersebut adalah sebagai berikut :
Tabel 6. Daftar Sarana dan Prasarana Penanggulangan Bencana BPBD
No. Nama Barang Tahun Jumlah
1 Mesin Water Treatment 2003 1
2 Stationary Generating Set 2011 1
3 Mesin Jenset 1
4 Mesin Jenset 2
5 Mobil Station Wagon 2011 1
6 Kendaraan Dinas 2017 1
7 Angkutan Barang Truck + Attachment 2017 1
8 Angkutan Barang Truck + Attachment 2017 1
9 Angkutan Barang Pick Up 2017 2
10 Mobil Tangki 1999 1
11 Sepeda Motor 2017 2
12 Sepeda Motor 1
13 Sepeda Motor 2012 1
14 Sepeda Motor 2012 1
15 Mesin Tempel Kapal 2014 2
16 Jet Sky 2006 2
17 Perahu Karet 1
18 Perahu Karet 2014 1
97
19 Mesin Kompresor 2016 1
20 Betel, Senter, Drip, Drag, Sneper (peralatan tukang besi) 1
21 Global Postioning System (alat ukur universal) 1
22 Global Postioning System (alat ukur universal) 2012 1
23 Chain Saw (alat pengolah tanah dan tanaman) 2
24 Tenda 1
25 Tenda 2014 2
26 Tenda 3
27 Tenda 2014 5
28 Handy Talky (HT) (alat komunikasi telephone) 2013 3
29 Handy Talky (HT) (alat komunikasi telephone) 2015 3
30 Handy Talky (HT) (alat komunikasi telephone) 2014 1
31 Handy Talky (HT) (alat komunikasi telephone) 2012 6
32 Handy Talky (HT) (alat komunikasi telephone) 2014 2
33 Handy Talky (HT) (alat komunikasi telephone) 2012 6
34 Radio SSB 2014 1
35 REFITER 2012 1
36 REFITER 2011 1
37
Unit Transceivier VHF Stationery (alat komunikasi radio
VHF) 2012 1
38
Unit Transceivier VHF Stationery (alat komunikasi radio
VHF) 2012 1
39
Unit Transceivier VHF Stationery (alat komunikasi radio
VHF) 1
40 Wirelless Amplifier (alat komunikasi sosial) 1
41 Jaringan Alat Pemancar 2014 1
42 Antena VHF/FM Stationery 2015 2
43 Alat Khusus SAR (Search and Resque) 2012 1
44 Alat Khusus SAR (Search and Resque) 2015 3
45 Alat Khusus SAR (Search and Resque) 2016 2
46 Alat Khusus SAR (Search and Resque) 2016 2
47 Alat Khusus SAR (Search and Resque) 2016 3
48 Alat Khusus SAR (Search and Resque) 2016 2
49 Alat Khusus SAR (Search and Resque) 2016 2
50 Alat Khusus SAR (Search and Resque) 2016 2
51 Alat Khusus SAR (Search and Resque) 2016 2
52 Alat keamanan lainnya (carmantel, tali jiwa, snepling dll) 2017 2
53 Alat keamanan lainnya (carmantel, tali jiwa, snepling dll) 2017 2
54 Alat keamanan lainnya (carmantel, tali jiwa, snepling dll) 2017 2
55 Alat keamanan lainnya (carmantel, tali jiwa, snepling dll) 2012 14
56 Alat keamanan lainnya (carmantel, tali jiwa, snepling dll) 2012 10
57 Alat keamanan lainnya (carmantel, tali jiwa, snepling dll) 2012 14
58 Alat keamanan lainnya (carmantel, tali jiwa, snepling dll) 2012 14
98
59 Alat keamanan lainnya (carmantel, tali jiwa, snepling dll) 2012 14
60 Alat keamanan lainnya (carmantel, tali jiwa, snepling dll) 2012 1
61 Alat keamanan lainnya (carmantel, tali jiwa, snepling dll) 2012 1
62 Alat keamanan lainnya (carmantel, tali jiwa, snepling dll) 2012 2
63 Alarm / Sirine Pengadaan 2013 1
64 Alarm / Sirine Pengadaan 2014 1
65 Alarm / Sirine Pengadaan 2014 1
66 Peralatan Deteksi Bencana Alam / Radar 2015 2
67 Velbed 10
68 Rambu Jalan 28
69 Rambu Papan Tambahan 26
70 Rambu Papan Tambahan 24
71 Menara (Bangunan Monumen) 1
72 Menara (Bangunan Monumen) 1
Sumber : Renstra BPBD 2017-2021
Beberapa sarana prasarana yang dimanfaatkan dalam konteks
mitigasi longsor dengan mengacu pada Kementrian ESDM (2015) yakni
rencana kontijensi, sarana prasarana yang bersifat informatif serta data,
yang mana data tersebut diantaranya berupa peta dan dokumen hasil
kajian. Upaya penyediaan sarana prasarana yang telah dilakukan BPBD
sampai pada bulan juli 2017 yakni penyediaan data sebagai acuan dalam
menjalankan kegiatan-kegiatan serta penyebaran informasi. Berdasarkan
hasil keterangan dari DA, penyusunan rencana kontijensi belum
dirancang sampai pada bulan juli. Upaya penyebaran informasi dilakukan
BPBD melalui pemasangan rambu-rambu serta penyebaran leaflet &
poster.
Pemasangan rambu-rambu longsor merupakan salah satu upaya
peringatan dini yang dilakukan oleh BPBD. Tahun 2016 BPBD
melaksanakan pemasangan rambu peringatan di berbagai area yang
dinilai berpotensi terjadi longsor, salah satunya yaitu di area Kecamatan
99
Tulakan. Tahun 2017 BPBD kembali berperan dalam pemasangan
rambu-rambu peringatan longsor, yang mana diagendakan melalui
kegiatan dari Dinas ESDM Jawa Timur. Penyebarluasan informasi terkait
longsor diwujudkan BPBD melalui penyebaran leaflet dan poster.
Berdasarkan hasil wawancara dapat disimpulakan bahwa penyebaran
leaflet yang berisi seputar pengetahuan tentang kebencanaan dibagikan
kepada masyarakat melalui kegiatan sosialisasi. Hal tersebut
sebagaimana yang telah diumgkapkan oleh RK selaku Staf Pencegahan
dan Kesiapsiagaan, yakni :
“...rambu-rambu tahun kemarin kita juga memasang diantaranya
dipasang di jalur pacitan-ponorogo, Desa Ngreco Kecamatan
Tegalombo, kemudian di Tulakan juga ada. Tahun ini juga
memasang, tapi yang mengagendakan dinas ESDM Jawa Timur.
Penyebarluasan informasi, yakni penyebaran leaflet dan poster kita
juga melaksanakan. Salah satunya leaflet itu dibagikan lewat
sosialisasi yang dilaksanakan kemarin itu” (wawancara pada Hari
Rabu, 5 Juli 2017 pukul 09.00 WIB, di Kantor BPBD Kabupaten
Pacitan)
Tahun 2014 BPBD mendapatkan bantuan sarana prasarana dari
BNPB berupa satu unit ekstensometer. Ekstensometer dapat mendeteksi
pergerakan tanah yang kemudian jika pergerakan tersebut berpotensi
membahayakan maka alat tersebut akan memberikan peringatan berupa
sirine. Upaya peringatan diharapkan dapat dijadikan pedoman bagi
masyarakat sekitar dalam kesiapsiagaan terhadap longsor. Masyarakat di
Kecamatan Arjosari merupakan masyarakat yang mendapat manfaat dari
alat deteksi dini, dikarenakan melalui rekomendasi dari PVMBG
100
ekstensometer dipasang di area tersebut. Hal ini sebagaimana yang
dijelaskan oleh DA, yakni sebagai berikut :
“..sistem peringatan dini longsor dulu pacitan pernah dapat dari
pemerintah pusat (BNPB) yang bekerjasama dengan UGM, itu juga
dipasang di Arjosari mas bukan Tulakan. Karena yang dapat
merekomendasikan hanya PVMBG. Lagian sejak tahun 2014 dulu
tidak pernah terpakai lagi mas, soalnya sudah rusak. Perawatanya
mahal. Alat-alat canggih kaya gitu harganya mahal to, perawatanya
juga mahal. Anggaran dari APBD nggak cukup buat ngurusin alat
itu” (wawancara pada Hari Rabu, 5 Juli 2017 pukul 09.00 WIB, di
Kantor BPBD Kabupaten Pacitan)
b. Interpretasi
Interpretasi merupakan penjabaran dari hal yang masih bersifat
abstrak kedalam wujud yang lebih bersifat teknis, sehingga suatu
kebijakan ataupun program lebih memungkinkan untuk terlaksana karena
telah dijabarkan menjadi upaya-upaya yang bersifat lebih nyata. Dalam
hal ini terkait program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana
Alam, mengacu pada Renstra BPBD 2017-2021 dijabarkan menjadi 13
kegiatan. Ke-13 jenis kegiatan tersebut dijabarkan lagi kedalam
pekerjaan-pekerjaan yang lebih bersifat teknis, dimana akan
menghasilkan output sebagaimana yang sudah dicantumkan dalam
Renstra.
Unsur-unsur yang digolongkan sebagai mitigasi longsor dengan
mengacu pada booklet keluaran Kementrian ESDM (2016) telah terdapat
dan masuk kedalam kegiatan-kegiatan pada program. Hal ini disimpulkan
berdasar pernyataan yang disampaikan oleh DA, yakni :
“..Semua itu sudah terangkum dalam satu paket mas, yaitu di dalam
program ini, yang dijabarkan menjadi 13 kegiatan. Itu mencakup
101
semua jenis bencana, ada tsunami, kekeringan, dan termasuk
longsor. Buat intrepetasi, kalau dikategorikan yang mana yang
termasuk mitigasi longsor kayak yang sampean (peneliti) sebutkan
tadi kan, nanti sampean golongkan sendiri berdasar wawancara
tadi...” (wawancara pada Hari Rabu, 5 Juli 2017 pukul 09.00 WIB, di
Kantor BPBD Kabupaten Pacitan)
Berdasarkan pernyataan di atas peneliti menyimpulkan intrepetasi
program dalam upaya mitigasi longsor yang didapatkan melalui
konfirmasi dari DA terhadap ringkasan peneliti dari hasil wawancara.
Ringkasan yang disampaikan kepada DA yakni sebagai berikut :
1) Upaya pemetaan, pemantauan, penyelidikan gerakan tanah serta
peringatan dini & penyebarluasan informasi dilaksanakan BPBD
dalam kegiatan Pemantauan dan Penyebarluasan Informasi
Potensi Bencana.
2) Upaya penguatan ketahanan masyarakat diwujudkan BPBD
melalui kegiatan Sosialisasi Edukasi Penanggulangan Bencana,
Peningkatan Kapasitas Desa Tangguh Bencana, Penyusunan
Rencana Kontijensi Penanggulangan Bencana serta Fasilitasi
Forum PRB.
3) Upaya mitigasi struktural yang berupa relokasi pemukiman
diwujudkan BPBD melalui intregasi berbagai kegiatan dalam
program. Upaya yang memiliki kaitan dengan relokasi
diantaranya adalah upaya pemantauan dan penyelidikan gerakan
tanah yang terdapat dalam kegiatan Pemantauan dan
Penyebarluasan Informasi Potensi Bencana, serta termasuk
102
dukungan fasilitas yang terdapat dalam kegiatan Peralatan dan
Perlengkapan Penanggulangan Bencana.
c. Aplikasi
Aplikasi merupakan dimensi yang berkaitan tentang cara
mengimplementasikan suatu program. Dimensi aplikasi juga sering
diistilahkan dengan dimensi penerapan, yang mana dalam hal ini adalah
mengenai penerapan Program Pencegahan Dini dan Penanggulangan
Bencana Alam dalam upaya mitigasi longsor. Upaya-upaya BPBD dalam
konteks mitigasi longsor sebagaimana disebutkan sebelumnya banyak
bekerjasama dengan PVMB. Kerjasama ini diantaranya terkait
pemetaan/zonasi kerentanan, pemantauan, penyelidikan gerakan tanah,
rekomendasi teknis langkah-langkah penanganan, rekomendasi relokasi
serta rekomendasi yang berkaitan dengan permasalahan teknis lainya.
Langkah yang dilaksanakan BPBD yakni mengajukan surat kepada
kepala daerah untuk kemudian kepala daerah mengirimkan surat guna
mendapatkan bantuan kerjasama dari PVMBG.
Sosialisasi merupakan salah satu upaya dalam penguatan ketahanan
masyarakat. Kegiatan terkait sosialisasi dan edukasi penanggulangan
longsor dilaksanakan di tiap kecamatan yang memiliki potensi akan
terjadinya bencana tersebut. Di Kecamatan Tulakan, sosialisasi
diselenggarakan di kantor kecamatan dengan mengundang masing-
masing perwakilan desa. Keterangan terkait pelaksanaan kegiatan
103
tersebut disimpulkan berdasarkan penjelasan dari DA selaku pihak dari
BPBD, sebagai berikut :
“Dalam sosialisasi itu kita mengundang masing-masing perwakilan
desa, kemudian diharapkan informasi itu dapat diteruskan sampai
pada masyarakat yang dikoordinasikan melalui kepala desa masing-
masing. Kalo misalnya sosialisasi dilakukan sampai pada desa ya
karena keterbatasan dana itu tadi”. (wawancara pada Hari Rabu, 5
Juli 2017 pukul 09.00 WIB, di Kantor BPBD Kabupaten Pacitan)
Gambar 21. Pelaksanaan Kegiatan Sosialisasi Edukasi Penanggulangan
Bencana di Kantor Kecamatan Tulakan
Sumber : BPBD, 2017
Hasil dari sosialisasi edukasi tersebut didapatkan berupa kesadaran akan
pengurangan risiko longsor oleh salah satu warga Desa Wonoanti yakni
WD (70). Beliau mengungkapkan terkait kontribusi masyarakat dalam
upaya mitigasi tanah longsor yakni sebagai berikut :
“dulu di belakang (rumah) itu diberitahu suruh membuat
plengsengan sama pamongnya (pemerintah) mas, itu baru mas,
belum ada satu tahun. terus ya itu sudah dibuatkan mas dibantu juga
sama orang-orang desa sama pak bupati juga memberi bantuan
(uang)”. (wawancara pada Hari Rabu, 5 Juli 2017 pukul 14.00 WIB,
di kediaman WD, Desa Wonoanti, Kecamatan Tulakan)
104
Hal yang berbeda disampaikan oleh SP (80) sebagai salah satu warga
terdampak di Desa Ketro, yakni :
“waduh saya kurang tau eh mas kaya gitu itu. Kalo dari (desa) sini
saya kurang tau juga, tapi saya kira sepertinya tidak ada arahan
tentang longsor kaya gitu mas. Ya berharapnya jangan sampai
longsor lagi mas, pokoknya tidak mengeruk tanah asal-asalan”.
(wawancara pada Hari Rabu, 5 Juli 2017 pukul 15.00 WIB, di
kediaman SP, Desa Ketro, Kecamatan Tulakan)
Relokasi atau pemindahan pemukiman termasuk ke dalam upaya
mitigasi struktural. Upaya tersebut, khususnya di Kecamatan Tulakan
dilaksanakan pada tahun 2017 dengan latarbelakang kejadian longsor di
Desa Gasang. Kejadian itu mengakibatkan 5 rumah rusak berat serta
badan jalan desa menuju perkampungan ambles, sehingga tidak bisa
dilewati kendaraan roda 4. Dalam hal ini BPBD berperan sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas. Hasil pengkajian dari PVMB berupa
rekomendasi menunjukan bahwa pemukiman yang berada di area
tersebut disarankan untuk merelokasi rumahnya. Rekomendasi tersebut
secara resmi dikeluarkan oleh PVMBG pada 13 Juni 2017 dalam
Laporan Singkat Bencana Gerakan Tanah Kecamatan Tulakan yang
tertulis sebagai berikut :
1) Daerah ini masih berpotensi terjdai gerakan tanah tipe lambat,
namun tidak secepat gerakan sebelumnya, sehingga masyarakat
di lokasi beencana perlu meningkatkan kewaspadaan, terutama
pada saat dan setelah hujan lebat berlangsung lama
105
2) Pemukiman di sekitar lokasi bencana 5 rumah yang rusak berat
telah melakukan reloksasi mandiri, namun masih ada 1 rumah
yang di tengah lereng harap waspada jika hujan deras
3) Tipe pergerakan di daerah ini lambat, dan tidak secepat gerakan
sebelumnya, jika lokasi tersebut mau ditempati lagi sebaiknya
bukan rumah permanen (rumah tembok) dan lebih cocok rumah
panggung (rumah kayu)
4) Mengendalikan air permukaan pada lereng, agar air tidak masuk
kedalam retakan tanah dengan membuat saluran kedap air dan air
dibuang (dialirkan) menjauhi lereng yang retak
5) Untuk meningkatkan stabilitas lereng, maka daerah tersebut tidak
dijadikan lahan pertanian sayuran, sawah, dan agar ditanami
dengan pepohonan yang berakar kuat dan dalam; seperti akasia,
sengon, lamtoro dan sejenisnya
6) Meningkatkan sosialisasi kepada masyaraka untuk lebih
mengenal dan memahami gerakan tanah dan gejala-gejala yang
mengawalinya sebagai upaya mitigasi bencana akibat gerakan
tanah
Relokasi dikoordinasikan dengan melibatkan tiga komponen, yakni
kepala daerah, masyarakat desa terkait dan kecamatan. Hal ini
sebagaimana disampaikan oleh DA, yakni :
“...relokasi ada. Seperti belum lama kemarin yang terjadi di desa
gasang, pada bulan mei. Nah, karena kejadian tersebut 5 rumah
yang hancur itu mas. Sehingga oleh PVMBG direkomendasikan
untuk relokasi. Karena kondisi tanahnya disana itu juga
106
mengkhawatirkan untuk kembali longsor” (wawancara pada Hari
Rabu, 5 Juli 2017 pukul 09.00 WIB, di Kantor BPBD Kabupaten
Pacitan)
RK yang juga selaku pihak dari BPBD menambahkan lagi keterangan
terkait relokasi tersebut sebagai berikut :
“jadi relokasi, khususnya di desa gasang itu yang berani
merekomendasikan yaitu cuma PVMBG, tapi PVMBG itu pun
nanti tetep mengembalikan ke pemerintah daerah setempat.
Soalnya di situ itu nanti kan banyak komponen yang terlibat
diantaranya yakni kepala daerah, masyarakat desa dan kecamatan.”
(wawancara pada Hari Rabu, 5 Juli 2017 pukul 09.00 WIB, di
Kantor BPBD Kabupaten Pacitan)
Keterangan tersebut menunjukan bahwa tugas BPBD yang mengacu
pada hasil kajian PVMBG hanya menganjurkan dan tidak secara
langsung mengatur warga untuk merelokasi tempat tinggalnya. Pilihan
untuk relokasi diputuskan berdasar hasil dari pertemuan komponen-
komponen tersebut.
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Program
Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana Alam dalam Upaya
Mitigasi Tanah longsor di Kecamaatan Tulakan
Dalam memaksimalkan upaya mitigasi longsor tentu dipengaruhi
oleh berbagai macam hal. Pengaruh dapat menjadikan suatu program
terlaksana dengan maksimal ataupun sebaliknya. Pengaruh atau faktor-
faktor tersebut dibagi menjadi dua jenis, yakni faktor pendukung dan
penghambat. Faktor pendukung dan penghambat terkait upaya mitigasi
longsor dalam Program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana
Alam ditentukan peneliti dengan mengacu pada Renstra BPBD 2017-2021
107
serta keterangan hasil wawancara oleh peniliti. Kedua faktor tersebut
dijelaskan sebagai berikut Faktor pendukung dan penghambat terkait
upaya mitigasi longsor dalam Program Pencegahan Dini dan
Penanggulangan Bencana Alam ditentukan peneliti dengan mengacu pada
Renstra BPBD 2017-2021 serta keterangan hasil wawancara oleh peniliti.
Kedua faktor tersebut dijelaskan sebagai berikut :
a. Faktor Pendukung
1) Dukungan Regulasi
Faktor pendukung merupakan faktor yang dapat berpengaruh
positif terhadap pelaksanaan program. Dukungan regulasi menjadi
faktor pendukung utama dalam suatu pelaksanaan program yang
dilakukukan oleh instansi pemerintah. Hasil penelitian melalui data
sekunder yakni Renstra BPBD menjelaskan bahwa manajemen
bencana dan tugas pokok serta fungsi BPBD telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang diterjemahkan oleh pemerintah
daerah. Perhatian oleh pemerintah daerah tersebut ditunjukan melalui
diwujudkanya Perda No 12 tahun 2013 tentang Penanggulangan
Bencana yang mana kemudian mengalami perubahan melalui Perda
No 8 tahun 2014.
2) Pengalaman SDM dalam Menjalankan Program
Pengalaman sumber daya manusia yang dimiliki BPBD dalam
penanggulangan bencana juga dapat digolongkan sebagai faktor
pendukung. Adanya pengalaman yang dimiliki BPBD tersebut dapat
108
disimpulkan melalui pernyataan Kasi Pencegahan dan Kesiapsiagaan,
yakni :
“Program kita ini kan sudah lama mas, kita sudah menjalankan
berkali-kali, meskipun ada tambahan dikit-dikit. Termasuk
kegiatan-kegiatan mitigasi longsor juga di dalamnya. Jadi kita
punya pengalaman” (wawancara pada Hari Rabu, 5 Juli 2017
pukul 09.00 WIB, di Kantor BPBD Kabupaten Pacitan)
Pernyataan tersebut menunjukan bahwa BPBD mempunyai daya
dukung berupa pengalaman melaksanakan program terkait.
3) Dukungan Pemimpin Setempat
Dukungan oleh pimpinan setempat tentu juga menjadi faktor
pendukung bagi terlaksananya program. Hasil wawancara peneliti
kepada DA mendapati keterangan terkait dukungan pemimpin sebagai
berikut :
“sejauh ini alhmadulillah nggak ada hambatan dari pimpinan-
pimpinan daerah setempat mas. Karena ya kegiatan-kegiatan ini
dilakukan demi kebaikan bersama to mas. Pak camat juga
menyediakan tempat untuk sosialisasi kemarin, membantu
memfasilitasi kegiatan-kegiatan yang lain juga. Ya sejauh ini
secara umum program kita mendapatkan dukungan dari para
pemimpin daerah setempat mas.” (wawancara pada Hari Rabu, 5
Juli 2017 pukul 09.00 WIB, di Kantor BPBD Kabupaten Pacitan)
Pernyataan mengenai dukungan tersebut diperkuat dengan keterangan
dari GN selaku pihak dari Kantor Kecamatan Tulakan :
“Pihak kecamatan ya tentunya senang BPBD mengadakan
sosialisasi. Kecamatan Tulakan ini kan salah satu daerah yang
sering longsor. Masyarakat tulakan terutama yang tinggal di
daerah-daerah yang rawan longsor tentunya membutuhkan
wawasan dalam menghadapi longsor” (wawancara pada Hari
Rabu, 5 Juli 2017 pukul 13.00 WIB, di Kantor Kecamatan
Tulakan)
109
Mengacu pada hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan program mendapatkan pengaruh positif berupa dukungan
dari pemimpin Kecamatan Tulakan.
b. Faktor Penghambat
1) Kondisi Geografis
Faktor penghambat merukapan faktor yang dapat dinilai
menganggu ataupun menjadi tantangan dalam pelaksanaan program.
Beberapa faktor yang bisa menjadi kendala, diantaranya kondisi alam.
Hal tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh Kasi Pencegahan
dan kesiapsiagaan BPBD :
“secara umum, sejauh ini kegiatan-kegiatan tersebut lancar-lancar
saja. Tetapi kalo dibilang ada kesulitan, ya tetep ada mas,
diantaranya kalau di Tulakan itu ada beberapa daerah yang
aksesnya sulit dijangkau kendaraan nanti kalau sewaktu-waktu,
karena banyak juga masyarakat yang tinggal di daerah pelosok
dan nekat juga kadang dengan kondisi kemiringan tanahnya
lumayan tinggi. Pacitan ini ibaratnya kondisi geografisnya
memang rentan sama longsor terutama di daerah perbukitan,
seperti di Tulakan.” (wawancara pada Hari Rabu, 5 Juli 2017
pukul 09.00 WIB, di Kantor BPBD Kabupaten Pacitan)
Penjelasan dari pihak BPBD tersebut menunjukan kondisi geografis
pacitan yang sedemikian rupa serta masih banyaknya masyarakat yang
tinggal di daerah pelosok menjadikan kesulitan bagi BPBD dalam
menjalankan kegiatan-kegiatanya.
2) Kurang Optimalnya Anggaran yang Tersedia
Anggaran merupakan faktor penting dalam implementasi
program. Ketersediaan anggaran menjadi hal yang sangat berpengaruh
bagi optimalisasi kualitas suatu program. Anggaran terkait program
110
Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana Alam didanai melalui
APBD. Kurang optimalnya anggaran dapat berpengaruh terhadap
terbatasnya upaya-upaya yang dapat dilaksanakan BPBD. Hasil
wawancara dengan DA selaku Kasi Pencegahan dan Kesiapsiagaan,
menunjukan bahwa dana merupakan salah satu dimensi yang
menjadikan hambatan BPBD untuk bertindak lebih banyak. Hal ini
disimpulkan berdasarkan pernyataan DA yang menyebutkan bahwa
dalam konteks longsor, penyebaran informasi melalui sosialisasi serta
mitigasi struktural yang berupa pemanfaatan teknologi tidak bisa
dilaksanakan secara maksimal karena kurang optimalnya anggaran
yang tersedia.
3) Keterbatasan Sarana Prasarana
Keterbatasan sarana prasarana khususnya berupa teknologi
modern menjadi kekurangan bagi BPBD. Penggunaan teknologi
dalam mitigasi struktural, menurut hasil wawancara dengan Kasi
Pencegahan dan Kesiapsiagaan hanya berupa pemanfaatan satu set
alat deteksi dini pergerakan tanah, dimana alat tersebut pun tidak
berfungsi dalam rentang waktu yang lama. Satu set alat deteksi dini
hanya dapat dirasakan manfaatnya bagi warga yang berada di area
dipasangnya alat tersebut, yang berarti bahwa masyarakat Kecamatan
Tulakan yang dapat dikatakan sangat jauh dengan area dipasangnya
alat tersebut tidak dapat merasakan manfaatnya
111
C. Pembahasan
1. Implementasi Program Pencegahan Dini dan Penanggulangan
Bencana Alam dalam Upaya Mitigasi Bencana Tanah Longsor di
Kecamatan Tulakan
BPBD menjalankan programnya berdasarkan RENSTRA yang telah
dirancang. Adapun dalam programnya, yakni program Pencegahan Dini
dan Penanggulangan Bencana Alam. Dalam program tersebut dibagi
menjadi 13 kegiatan, yang mana di dalamnya terdapat unsur-unsur mitigasi
bencana longsor. Berdasarkan Kementrian ESDM (2016) upaya mitigasi
bencana longsor tersebut yakni pemetaan/zonasi kerentanan, pemantauan
gerakan tanah, peringatan dini & penyebaran informasi, penyelidikan
gerakan tanah, penguatan ketahanan masyarakat serta mitigasi gerakan
tanah struktural. Terdapat tiga dimensi yang saling bertumpu menentukan
terwujudnya kegiatan-kegiatan tersebut. Tiga dimensi tersebut yakni :
a. Organisasi
1) Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia dalam implementasi program Pencegahan
Dini dan Penanggulangan Bencana Alam diartikan sebagai semua
sumber daya yang dimanfaatkan oleh BPBD dalam menjalankan
programnya. Bencana longsor merupakan bencana yang identik dengan
ilmu kebumian, oleh sebab itu pelaksanaan penanganan bencana
longsor banyak bekerjasama dengan PVMBG. Hal ini dilakukan karena
sangat berkaitan dengan perihal teknis. Pihak BPBD bekoordinasi
112
dengan PVMBG terkait kegiatan pembuatan peta/zonasi rawan longsor,
pemantauan, penyelidikan gerakan tanah. Penyelidikan tersebut
bertujuan untuk mendapatkan informasi potensi bencana pergerakan
tanah dan rekomendasi teknis langkah-langkah penanggulangan.
Mitigasi struktural, seperti relokasi tahun 2017 terjadi di Desa Gasang,
Kecamatan Tulakan juga kembali bekerjasama dengan PVMBG. BPBD
dalam kasus tersebut berperan sebagai koordinator antara PVMBG,
masyarakat terkait serta pemerintah. Bulan April 2017 BPBD
membentuk Forum PRB, dimana didalamnya terdapat para pemangku
kepentingan yang berhubungan dengan mitigasi longsor. Pembentukan
forum tersebut diharapkan oleh BPBD dapat mewujudkan koordinasi
yang baik dalam mengurangi risiko bencana. Kerjasama-kerjasama
tersebut diwujudkan supaya BPBD dapat mengambil tindakan terkait
longsor secara tepat dan terukur.
Penguatan ketahanan masyarakat diwujudkan BPBD salah satunya
melalui kegiatan sosialisasi dan penyebaran informasi kebencanaan.
BPBD menyediakan tim penyuluh untuk melakukan sosialisasi ke
daerah yang dikategorikan sebagai daerah yang rawan bencana,
termasuk daerah rawan longsor. Di kecamatan tulakan, untuk program
tahun anggaran 2017 dalam renja tidak ada sosialisasi atau penguatan
ketahanan masyarakat yang secara khusus terjadwal untuk tiap-tiap desa
yang memiliki potensi longsor. Kegiatan penguatan ketahanan
masyarakat berupa sosialisasi dilaksanakan sampai pada tingkat
113
kecamatan. Berdasarkan pernyataan dari pihak BPBD sosialisasi di
Kecamatan Tulakan bekerjasama dengan Bappemas. Hal ini dinilai
tepat, karena upaya penguatan ketahanan masyarakat mempunyai
kesinambungan dengan pemberdayaan masyarakat.
2) Anggaran
Anggaran merupakan faktor penting dalam suatu perencanaan yang
disusun oleh instansi pemerintah daerah. Anggaran program
Pencegahan Dini dan Penaggulangan Korban Bencana Alam
berdasarkan Renstra didapatkan melalui APBD. Anggaran tersebut
dinilai terlalu efisien untuk mendapatkan pelayanan mitigasi longsor
yang maksimal. Hal tersebut disimpulkan berdasar hasil wawancara
dengan pihak BPBD serta dari data sekunder yakni Renstra BPBD,
yang mana dituliskan didalamnya bahwa kurang optimalnya anggaran
yang tersedia merupakan salah satu faktor penghambat peningkatan
pelayanan.
Kurang optimalnya ketersediaan dana berpengaruh pada kegiatan
penguatan ketahanan masyarakat yang berupa sosialisasi edukasi dan
penyebarluasan informasi. Hal ini menjadikan tidak adanya jaminan
bagi masyarakat pelosok untuk dapat mendapatkan edukasi mengenai
kebencanaan. Wujud dari efisiensi tersebut disimpulkan dengan
mengacu pada keterangan dari kecamatan dan BPBD, yang mana untuk
masyarakat kecamatan Tulakan mendapatkan bentuk implementasi
penguatan ketahanan masyarakat berupa sosialisasi dan penyebaran
114
pamflet yang diselenggarakan pada tingkat kecamatan. Berdasarkan
keterangan pihak BPBD, edukasi pada tingkat desa diharapkan
dikoordinasikan oleh perwakilan desa yang hadir pada sosialisasi,
karena efisiensi anggaran. Adapun pemanfaatan teknologi modern
dalam mitigasi struktural longsor juga dinilai kurang, karena kurang
optimalnya anggaran yang tersedia.
3) Sarana Prasarana
BPBD mempunyai berbagai sarana prasarana yang umum
digunakan dalam penanggulangan bencana sebagaimana yang telah
disebutkan dalam tabel. Beberapa sarana prasarana yang dimanfaatkan
khusus dalam konteks mitigasi longsor dengan mengacu pada
Kementrian ESDM (2015) yakni rencana kontijensi, sarana prasarana
yang bersifat informatif serta data, yang mana data tersebut diantaranya
berupa peta dan dokumen hasil kajian. Rencana kontijensi merupakan
suatu perencanaan yang berupa dokumen dan disusun untuk
menghadapi kondisi tertentu yang bersifat darurat. Penyusunan rencana
kontijensi belum dirancang sampai pada bulan juli oleh BPBD. Suatu
rencana kontinjensi mungkin saja tidak pernah diwujudkan jika keadaan
yang diperkirakan tidak pernah terjadi. Dalam perencanaan kontijensi
melibatkan beberapa lembaga yang akan menangani kondisi yang
darurat tersebut. Dalam konteks mitigasi longsor, dengan mengacu pada
sumber dari Kementrian ESDM rencana kontijensi termasuk kedalam
upaya penguatan ketahanan masyarakat.
115
Upaya penyebaran informasi dilakukan BPBD melalui pemasangan
rambu-rambu serta penyebaran leaflet & poster. Pada tahun 2017
rambu-rambu peringatan longsor diagendakan oleh Dinas ESDM Jawa
Timur dipasang di berbagai daerah di Kabupaten Pacitan. Hal ini
membawa pengaruh positif terhadap upaya mitigasi longsor. Beberapa
area yang dipasang rambu-rambu tersebut diantaranya terdapat di
Kecamatan Tulakan. Dalam hal tersebut tugas BPBD yakni adalah
membantu dan berperan sebagai fasilitator. Pemasangan rambu-rambu
longsor yang diagendakan dalam program BPBD sendiri telah
dilakukan pada tahun sebelumnya, sehingga untuk tahun ini
pemasangan rambu-rambu longsor tidak ada dalam program.
Penyebaran informasi, selain pemasangan rambu-rambu BPBD juga
melakukan penyebaran leaflet dan poster. Dalam konteks mitigasi
longsor, mengacu pada sumber dari Kementrian SDM (2015)
penyebaran informasi termasuk kedalam upaya peringatan dini dan
penguatan ketahanan masyarakat. Penyebaran informasi dipandang
sebagai benuk peringatan dini dan ketahanan masyarakat karena
informasi tersebut diharapkan memberikan wawasan bagi masyarakat
untuk mempersiapkan diri serta pedoman dalam melakukan tindakan
agar terhindar dari risiko longsor.
Sarana prasarana BPBD dalam mitigasi longsor berupa
pemanfaatan teknologi modern dinilai kurang optimal, karena
berhubungan dengan anggaran yang tersedia. Kecamatan Tulakan
116
sebagai daerah yang paling banyak mengalami kejadian longsor tidak
merasakan manfaat dari sarana prasarana teknologi tersebut. Sebagian
besar sarana prasarana dalam mitigasi longsor yang dimiliki oleh BPBD
ialah berupa peralatan-peralatan yang secara umum digunakan dalam
penanggulangan bencana. Hal ini berpengaruh pada kualitas pelayanan
dalam mitigasi strktural longsor yang berupa pemanfaatan rekayasa
teknologi.
b. Interpretasi
Interpretasi merupakan penjabaran dari wujud yang masih bersifat
abstrak atau umum kedalam wujud yang lebih bersifat teknis, sehingga
suatu kebijakan memungkinakan untuk dilaksanakan karena telah
dijabarkan menjadi pekerjaan-pekerjaan yang bersifat nyata. Dalam hal
ini terkait program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana
Alam, menurut RENJA BPBD 2016 dijabarkan kedalam 13 jenis
kegiatan. Unsur-unsur upaya mitigasi longsor terkandung dalam 13
kegiatan tersebut. Pemetaan, pemantauan, peringatan dini &
penyebarluasan informasi, penyelidikan gerakan tanah, penguatan
ketahanan masyarakat serta mitigasi struktural mitigasi adalah upaya-
upaya dalam mitigasi longsor berdasarkan Kementrian ESDM (2015).
Kegiatan-kegiatan dalam program Pencegahan Dini dan
Penanggulangan Bencana dirancang untuk saling terintregasi satu
dengan yang lainya. Di dalam program tersebut disusun kegiatan
tersendiri mengenai pengadaan atau penyediaan sarana prasarana.
117
Kegiatan ini disusun dengan nama kegiatan Peralatan Perlengkapan
Penanggulangan Bencana guna mendukung kegiatan-kegiatan lainya.
Penyediaan sarana prasarana tentu sangat berhubungan dengan
berjalanya kegiatan-kegiatan yang lainya. Hal ini menyebabkan
penyediaan sarana prasarana dianggap krusial, sehingga disusunkanya
kegiatan tersendiri terkait penyediaan tersebut.
Pemetaan terdiri dari pemetaan zona kerentanan gerakan tanah dan
zona risiko bencana gerakan tanah merupakan bentuk pendataan pra
bencana, yang mana menjadi langkah awal untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang ada dalam program. Upaya pemetaan,
pemantauan, penyelidikan gerakan tanah serta peringatan dini &
penyebarluasan informasi dilaksanakan BPBD dalam kegiatan
Pemantauan dan Penyebarluasan Informasi Potensi Bencana, dimana
mempunyai kelompok sasaran seluruh lapisan masyarakat. Kegiatan
tersebut menghasilkan informasi yang diolah untuk disampaikan kepada
masyarakat, diantaranya berupa leaflet dan poster.
Upaya penguatan ketahanan masyarakat diwujudkan BPBD melalui
kegiatan Sosialisasi Edukasi Penanggulangan Bencana, Peningkatan
Kapasitas Desa Tangguh Bencana, Penyusunan Rencana Kontijensi
Penanggulangan Bencana serta Fasilitasi Forum PRB, yang mana
unsur-unsur mitigasi longsor terdapat juga di dalamnya. Sosialisasi
Edukasi Penanggulangan Bencana diselenggarakan pada tiap
kecamatan, termasuk Kecamatan Tulakan. Peningkatan Kapasitas Desa
118
Tangguh Bencana dilaksanakan BPBD dengan menggelar pertemuan
kelompok-kelompok desa yang telah ditentukan oleh BPBD, dimana
pertemuan tersebut difokuskan pada mitigasi bencana tsunami.
Perencanaan Kontijensi menghasilkan dokumen yang mana dijadikan
landasan untuk kemudian diambil tindakan dalam suatu kondisi
tertentu. Rencana kontijensi dapat menjadi rencana operasional pada
saat tahap tanggap darurat. BPBD juga menjalankan kegiatan Fasilitasi
Forum PRB untuk mewujudkan koordinasi antar pemangku
kepentingan guna mengintregasikan pengurangan resiko bencana.
Upaya mitigasi struktural terdiri dari relokasi pemukiman dan
rekayasa teknologi. Rekomendasi relokasi pemukiman seperti yang
terjadi di Desa Gasang, Kecamatan Tulakan merupakan suatu bentuk
kelanjutan tindakan hasil intregasi dari kegiatan-kegiatan yang terdapat
dalam program. Relokasi ini dihasilkan melalui keputusan dari
pertemuan yang melibatkan kepala daerah, masyarakat desa dan
kecamatan, yang mana berpedoman dari hasil kajian oleh PVMBG.
Bentuk mitigasi struktural yang berkaitan mengenai tanah longsor
berupa pemanfaatan ekstensometer sudah tidak termasuk lagi dalam
daftar sarana prasarana BPBD. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan
bahwa latarbelakang berhentinya pemanfaatan tersebut terkait faktor
anggaran.
119
c. Aplikasi
Penerapan merupakan dimensi yang berkaitan dengan tahap
eksekusi, dimana dalam hal ini berkaitan tentang bagaimana penerapan
Program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana Alam yang
terjadi di lapangan. Pemetaan/zonasi kerentanan merupakan langkah
awal dalam tahap mitigasi bencana. Peta zonasi kerentanan yang
kemudian menjadi acuan BPBD mengambil keputusan untuk bertindak
dalam penanggulangan bencana dan mitigasi bencana, diantaranya
mengenai prioritas lokasi yang akan menjadi objek dari kegiatan-
kegiatan mitigasi. Kegiatan Pemantauan dan Penyebarluasan Informasi
Potensi Bencana, BPBD bekerjasama dengan PVMBG. Peran BPBD
dalam hal ini adalah memberikan saran berupa surat rekomendasi
kepada bupati untuk kemudian bupati meneruskan kepada PVMBG
untuk meminta bantuan menjalankan pekerjaan-pekerjaan tersebut.
PVMBG dibutuhkan, karena dalam hal ini berkaitan mengenai
pengetahuan ilmu tanah yang mendetail. Rekomendasi langkah-langkah
teknis kemudian diberikan oleh PVMBG untuk dipelajari dan diproses
oleh BPBD. Dalam proses pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh
PVMBG, BPBD berperan mengantarkan ke lokasi serta membantu
terkait fasilitasi.
Sosialisasi Edukasi Penanggulangan Bencana diselenggarakan per
kecamatan, termasuk Kecamatan Tulakan. Kegiatan ini diharapkan
dapat menghasilkan indikator keluaran (output) berupa jumlah desa
120
yang mendapat pengetahuan tentang penanggulangan bencana. Output
tersebut diharapkan terwujud berdasar tersampaikanya informasi yang
diperoleh perwakilan desa yang hadir pada kegiatan sosialisasi. Hal ini
menunjukan bahwa tidak adanya jaminan informasi tersebut akan
sampai pada masyarakat desa. Kurang optimalnya anggaran yang
tersedia menjadikan hambatan bagi BPBD untuk bergerak lebih dalam
memaksimalkan upaya untuk mencapai pelayanan yang prima.
Peningkatan Kapasitas Desa Tangguh Bencana dilaksanakan BPBD
dengan menggelar pertemuan kelompok-kelompok desa yang telah
ditentukan oleh BPBD, dimana pada Renja tahun 2017 Desa
Sidomulyo, Kecamatan Tulakan ada di dalamnya. Tahun 2017
pertemuan digelar dengan mengundang masyarakat Desa Watukarung,
Desa Sidomulyo, Desa Sirnoboyo dan Desa Kembang. Pertemuan
tersebut mengundang masyarakat desa yang tergolong desa pesisir,
yang man mendapati ancaman potensi bencana tsunami. Hal ini
menunjukan bahwa, teruntuk tahun ini tidak ada pembinaan terkait desa
tangguh bencana dalam konteks tanah longsor. Desa tangguh bencana
dalam konteks tanah longsor juga dinilai perlu diperhatikan, mengingat
data menunjukan peningkatan jumlah kejadian tanah longsor pada tiga
tahun belakangan.
Renstra BPBD 2017-2021 secara keseluruhan selesai dirancang
pada bulan Mei 2017, yang mana menunjukan bahwa kegiatan
Penyusunan Rencana Kontijensi juga mulai diadakan pada waktu
121
tersebut. Perencanaan Kontijensi menghasilkan dokumen yang mana
dijadikan landasan untuk kemudian diambil tindakan dalam suatu
kondisi tertentu. Rencana kontijensi dapat menjadi rencana operasional
pada saat tahap tanggap darurat. Penyusunan rencana kontijensi terkait
longsor sampai pada bulan juli 2017 belum dilakukan oleh BPBD. Hal
ini disebabkan karena BPBD belum mendapati suatu kondisi darurat
yang menjadikan rencana tersebut perlu untuk disusun.
Kegiatan Fasilitasi Forum PRB dilaksanakan untuk mewujudkan
koordinasi antar pemangku kepentingan guna mengintregasikan upaya
pengurangan resiko bencana. Sasaran yang dituju dalam kegiatan dari
Forum PRB adalah meningkatkan pemahaman berbagai pemangku
kepentingan dalam membangun kerjasama berbagai pihak serta
meningkatkan partisipasi dalam upaya pengurangan risiko bencana.
Dalam kegiatan Forum PRB mengenai upaya mitigasi longsor sampai
pada bulan Juli 2017 belum disusun. BPBD Pacitan sebagai perwakilan
anggota dari Forum PRB menjalankan kegiatan Fasilitasi Forum PRB
dengan memberikan papan edukasi kepada salah satu anggota
komunitas yang berada di wilayah Pantai Pancer Door. Pemberian
papan edukasi di area pantai tersebut menunjukan bahwa BPBD secara
umum lebih fokus terhadap kegiatan dalam kaitan tentang bencana
tsunami.
Upaya mitigasi struktural terdiri dari relokasi pemukiman dan
rekayasa teknologi. Rekomendasi relokasi pemukiman seperti yang
122
terjadi di Desa Gasang, Kecamatan Tulakan merupakan suatu bentuk
kelanjutan tindakan hasil intregasi dari kegiatan-kegiatan yang terdapat
dalam program. BPBD meminta bantuan pengkajian kepada PVMBG
supaya memberikan rekomendasi agar segera dapat diambil tindakan.
Relokasi ini dihasilkan melalui keputusan dari pertemuan yang
melibatkan kepala daerah, masyarakat desa dan kecamatan, yang mana
berpedoman dari hasil kajian oleh PVMBG. Hasil dari kajian tersebut
yakni warga terdampak direkomendasikan untuk relokasi, dimana
lokasi tujuan dan dana sementara diserahkan kembali kepada korban
yang berkaitan dengan syarat jauh dari titik pergerakan tanah. Hal ini
dikarenakan kurang optimalnya anggaran yang tersedia jika harus
dialokasikan untuk penyediaan rumah huni guna persiapan relokasi
sebelum bencana, serta perlu pengkajian terlebih dahulu terkait
pemberian bantuan berupa rumah huni. Sementara waktu pemerintah
daerah hanya dapat memberikan bantuan berupa uang yang diharapkan
dapat meringankan beban korban terdampak.
Bentuk mitigasi struktural yang berkaitan mengenai tanah longsor
selain relokasi yakni berupa pemanfaatan teknologi. Teknologi modern
yang pernah dimanfaatkan BPBD yaitu ekstensometer. Alat tersebut
sudah tidak termasuk lagi dalam daftar sarana prasarana BPBD. Hal ini
sebagaimana telah dijelaskan bahwa latarbelakang berhentinya
pemanfaatan tersebut terkait faktor anggaran. Kurang optimalnya
anggaran yang tersedia tentu juga membawa pengaruh terhadap
123
ketersediaan sarana prasana. Upaya pemanfaatan teknologi modern
dalam mitigasi longsor menjadi salah satu kekurangan BPBD.
Pemanfaatan teknologi yang modern tentunya akan berpengaruh
terhadap efektifitas pekerjaan-pekerjaan yang dilaksanakan oleh BPBD.
Progam Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana terdiri dari
kegiatan-kegiatan, yang mana terdapat kegiatan tersendiri mengenai
pengadaan atau penyediaan sarana prasarana. Penyediaan sarana
prasarana yang diberi nama kegiatan Peralatan Perlengkapan
Penanggulangan Bencana tentu sangat berhubungan dengan berjalanya
kegiatan-kegiatan yang lainya. Sarana prasarana yang dipergunakan
dalam penanggulangan bencana secara umum telah di daftar pada tabel.
Dalam konteks mitigasi longsor adapun penyediaan sarana prasarana
diwujudkan melalui pemasangan rambu-rambu peringatan longsor.
Pemasangan rambu-rambu longsor telah diadakan pada tahun 2016 oleh
BPBD dan 2017 oleh Dinas ESDM Jawa Timur melalui kerjasama
dengan BPBD. Hal ini menjadikan BPBD tidak mengagendakan
pemasangan rambu-rambu longsor dalam waktu dekat, yang dibuktikan
melalui Renja 2017.
Sosialisasi Edukasi Penangulangan Bencana diselenggarakan oleh
BPBD di tiap-tiap kecamatan. Hal ini berarti sosialisasi tidak
diselenggarakan dengan menjangkau sampai pada tingkat desa.
Jangkauan BPBD dalam penyelengaraan sosialisasi tersebut
dilatarbelakangi efisiensi dana. Kegiatan Sosialisasi Edukasi
124
Penanggulangan Bencana pada tahun 2017 salah satunya dilaksanakan
di Kecamatan Tulakan. Dalam kegiatan ini, tidak semua dari
perwakilan desa yang hadir. Sosialisasi ini diharapkan BPBD dapat
diteruskan oleh perwakilan desa melalui koordinasi kepala desa yang
disampaikan kepada masyarakat desa. Salah satu warga di Desa
Wonoanti, Pak Kadiman tidak sampai mendapati informasi dan edukasi
yang berasal dari BPBD tersebut. Hal ini terjadi, dikarenakan memang
tidak ada jaminan agar informasi akan sampai pada masyarakat desa.
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Program
Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana Alam dalam Upaya
Mitigasi Tanah longsor di Kecamaatan Tulakan
a. Faktor Pendukung
1) Dukungan Regulasi
Dukungan regulasi menjadi faktor yang penting dalam suatu
pelaksanaan program yang dilakukukan oleh instansi pemerintah.
Pemerintah Daerah Kabupaten Pacitan mendukung dan memperhatikan
penyelenggaraan penanggulangan bencana, hal ini ditunjukan dengan
disusunnya regulasi-regulasi tentang kebencanaan. Regulasi-regulasi
tersebut diantaranya Perda Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Penanggulangan Bencana, Perda Nomor 8 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Perda Nomor 12 Tahun 2014, serta Peraturan Bupati
Nomor 5 Tahun 2011 tentang Fungsi dan Tata Kerja BPBD. Regulasi
dari daerah membuktikan adanya perhatian pemerintah terhadap
125
penanggulangan bencana. Regulasi-regulasi dinilai sebagai bentuk
dukungan dikarenakan hal tersebut merupakan perwujudan keikutsertan
pemerintah dalam menangani permasalahan kebencanaan.
2) Pengalaman SDM dalam Menjalankan Program
Pengalaman melaksanakan program penanggulangan bencana
termasuk kedalam faktor pendukung dalam optimalisasi berjalannya
suatu program. Program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Bencana
Alam periode 2011-2016 dapat dinilai berjalan dengan baik, yang
ditunjukan melalui tercapainya sasaran berdasarkan hasil wawancara
dengan pihak BPBD. Hal ini salah satunya dikarenakan program tersebut
termasuk kedalam kategori program yang wajib dilaksanakan oleh
BPBD. Oleh sebab itu, program tersebut sudah sangat lama dijadikan
salah satu program dalam Renstra, sehingga sebagian besar sumber daya
manusia yang mana sudah lama bekerja sebagai aparatur BPBD memiliki
pengalaman dalam menjalankan program tersebut.
3) Dukungan Pemimpin Setempat
Dukungan kepala desa dan camat sebagai pimpinan dari daerah
yang menjadi obyek dalam program merupakan faktor penting bagi
terlaksananya suatu program. Pimpinan-pimpinan daerah yang terkait
tersebut dinilai mendukung berjalanya program Pencegahan Dini dan
Penanggulangan Bencana Alam. Hal ini disimpulkan karena keterbukaan
dari pimpinan-pimpinan daerah setempat serta penyediaan fasilitas
126
terhadap kegiatan-kegiatan yang berlangsung, khususnya di Kecamatan
Tulakan.
b. Faktor Penghambat
1) Dukungan Regulasi
Pelaksanaan program Pencegahan Dini dan Penanggulangan
Bencana Alam secara umum dapat dikatakan berhasil, akan tetapi ada
beberapa faktor yang digolongkan sebagai hambatan bagi optimalisasi
kegiatan-kegiatan mitigasi longsor. Hambatan tersebut salah satunya
adalah kondisi geografis pacitan yang berbukit-bukit sehingga beberapa
daerah aksesnya sulit untuk dijangkau. Akses yang sulit dijangkau
menyebabkan sukarnya pelaksanaan kegiatan-kegiatan mitigasi longsor.
Di daerah Kecamatan Tulakan masih banyak masyarakat yang tinggal di
daerah pelosok dan diantaranya ada yang berpemukiman di area dengan
kondisi kemiringan tanahnya yang terbilang tinggi.
2) Kurang Optimalnya Anggaran yang Tersedia
Anggaran merupakan faktor yang krusial bagi keberlangsungan
suatu program. Kurang optimalnya anggaran yang tersedia dapat
berpengaruh terhadap terbatasnya upaya-upaya yang dapat dilaksanakan
BPBD. Kedua premis tersebut merupakan hal yang tentunya berbanding
lurus. Bentuk keterbatasan upaya mitigasi longsor disampaikan melalui
wawancara dengan DA, yang mana dalam wawancara tersebut
menjelaskan bahwa salah satu latabelakang kegiatan sosialisasi dan
penyebaran informasi dilaksanakan sampai pada tingkat Kecamatan
127
adalah terkait alasan anggaran. Terbatasnya dana yang tersedia juga
mempengaruhi tersedianya sarana prasarana yang canggih. Pertimbangan
untuk penyediaan sarana prasarana tersebut ditambah dengan biaya
perawatan yang membutuhkan anggaran lebih. Tidak adanya jaminan
tersampaikanya informasi-informasi menjangkau sampai pada
masyarakat desa juga dilatarbelakangi oleh kurangnya anggaran yang
tersedia, terutama dalam kegiatan sosialisasi yang mana sasaran dari
kegiatan tersebut adalah pengetahuan yang didapatkan oleh seluruh
masyarakat desa.
3) Keterbatasan Sarana Prasarana
Ketersediaan sarana dan prasarana merupakan hal yang identik
dengan tersedianya anggaran. Keterbatasan sarana prasarana dinilai
menjadi hambatan bagi BPBD, khususnya dalam penggunaan teknologi
modern untuk mitigasi longsor. Pemanfaatan teknologi yang modern
tentunya akan berpengaruh terhadap efektifitas pekerjaan-pekerjaan yang
dilakukan oleh BPBD. Teknologi dapat dipandang sarana prasarana,
yang mana digunakan untuk mempermudah pekerjaan manusia.
Pengaruh pemanfaatan teknologi tentu akan berdampak besar bagi
optimalnya upaya mitigasi longsor. Dalam kegiatan Peralatan
Perlengkapan Penanggulangan Bencana, BPBD belum menyediakan
sarana prasarana tersebut dikarenakan efisiensi terhadap dana yang dnilai
terbatas.
128
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Implementasi Program Pencegahan Dini dan Penanggulangan Korban
Bencana Alam dalam Upaya Mitigasi Bencana Tanah Longsor di
Kecamatan Tulakan
a. Organisasi
1) Sumber Daya Manusia yang dimanfaatkan oleh BPBD dalam program
yakni BPBD sendiri dan kerjasama dari berbagai instansi yang
mempunyai keterkaitan dengan kegiatan yang dijalankan. Instansi-
instansi tersebut diantara PVMBG, Dinas Bina Marga, Bappemas
Tulakan dan lain-lain.
2) Anggaran program Pencegahan Dini dan Penaggulangan Bencana Alam
berdasarkan Renstra didapatkan melalui APBD. Dana yang tersedia
dinilai kurang optimal jika dilihat dari segi upaya mitigasi longsor.
3) Sarana Prasarana yang dimanfaatkan khusus dalam konteks mitigasi
longsor diantaranya berupa peta-peta, dokumen hasil kajian, rencana
kontijensi, rambu-rambu serta leaflet dan poster. Rencana kontijensi
belum dirancang sampai pada bulan juli oleh BPBD.
b. Interpretasi
1) Upaya pemetaan, pemantauan, penyelidikan gerakan tanah serta
peringatan dini & penyebarluasan informasi dilaksanakan BPBD dalam
kegiatan Pemantauan dan Penyebarluasan Informasi Potensi Bencana.
129
2) Upaya penguatan ketahanan masyarakat diwujudkan BPBD melalui
kegiatan Sosialisasi Edukasi Penanggulangan Bencana, Peningkatan
Kapasitas Desa Tangguh Bencana, Penyusunan Rencana Kontijensi
Penanggulangan Bencana serta Fasilitasi Forum PRB.
3) Upaya mitigasi struktural yang terdiri dari relokasi pemukiman dan
rekayasa teknologi diwujudkan BPBD melalui intregasi berbagai
kegiatan dalam program.
c. Aplikasi
1) Kegiatan Pemantauan dan Penyebarluasan Informasi Potensi Bencana
diterapkan melalui kerjasama dengan PVMBG.
2) Sosialisasi Edukasi Penanggulangan Bencana, khususnya di Kecamatan
Tulakan dinilai kurang efektif, dikarenakan tidak ada jaminan dari
BPBD agar informasi sampai pada masyarakat desa. Mitigasi longsor
belum terlaksana dalam kegiatan Peningkatan Kapasitas Desa Tangguh
Bencana dilaksanakan BPBD untuk tahun 2017. Perencanaan
Kontijensi, sampai pada bulan Juli 2017 belum disusun oleh BPBD.
Mitigasi longsor juga belum terlaksana sampai pada bulan Agustus
2017 dalam kegiatan Fasilitasi Forum PRB.
3) Rekomendasi relokasi pemukiman seperti yang terjadi di Desa Gasang,
Kecamatan Tulakan merupakan suatu bentuk kelanjutan tindakan hasil
intregasi dari kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam program. Mitigasi
longsor berupa rekayasa teknologi belum diterapkan kembali oleh
BPBD.
130
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi
a. Faktor Pendukung :
1) Dukungan Regulasi, yang ditunjukan dengan tersusunnya Perda Nomor
12 Tahun 2013 tentang Penanggulangan Bencana, Perda Nomor 8
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Perda Nomor 12 Tahun 2014, serta
Peraturan Bupati Nomor 5 Tahun 2011 tentang Fungsi dan Tata Kerja
BPBD.
2) Pengalaman SDM dalam Menjalankan Program, menjadi salah satu
modal bagi BPBD untuk mecapai target-target dalam program lebih
optimal dari sebelumnya.
3) Dukungan Pemimpin Setempat, yang ditunjukan oleh kepala desa dan
camat melalui keterbukaan serta sedia menyiapkan fasilitas terhadap
kegiatan-kegiatan yang berlangsung, khususnya di Kecamatan Tulakan.
b. Faktor Penghambat
1) Kondisi geografis, yang mana menyebabkan beberapa daerah
mendapati akses yang sulit.
2) Kurang optimalnya anggaran yang tersedia berpengaruh terhadap
upaya-upaya mitigasi longsor yang dapat dilaksanakan BPBD.
3) Keterbatasan sarana prasarana menjadi hambatan karena hal tersebut
mengakibatkan salah satu wujud mitigasi struktural tidak terterapkan,
yakni tersedianya sarana prasarana berupa rekayasa teknologi.
131
B. Saran
1. Mengingat Kabupaten Pacitan termasuk daerah yang rentan terhadap
bencana tanah longsor disarankan supaya dalam kegiatan Penguatan
Kapasitas Desa Tangguh Bencana membentuk kelompok-kelompok desa
tangguh bencana yang khusus berbasis ketahanan terhadap tanah longsor
juga, tidak hanya satu jenis bencana tertentu saja.
2. BPBD perlu membahas kembali terkait konsep penerapan kegiatan
Sosialisasi Edukasi Penanggulangan Bencana, sebab konsep dari kegiatan
tersebut dinilai kurang efektif dalam menyampaikan informasi kepada
masyarakat desa. Hal ini dikarenakan tanggungjawab BPBD berhenti
sampai pada tingkat kecamatan tanpa adanya kelanjutan upaya, sehingga
tidak ada jaminan informasi akan sampai pada masyarakat desa. Pentingnya
hal tersebut, sebab pengetahuan yang didapatkan masyarakat akan dapat
membawa pada kondisi masyarakat yang sadar bencana, sehingga
masyarakat juga dapat berperan aktif dalam upaya penanggulangan bencana.
3. Forum PRB yang telah dibentuk oleh BPBD perlu juga merencanakan
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan mitigasi longsor, tidak hanya
berkaitan dengan satu jenis bencana tertentu saja.
4. BPBD melalui kerjasama dengan instansi terkait perlu menyelidiki kawasan
yang dinilai rawan longsor walaupun belum terjadi bencana, sehingga
rekomendasi-rekomendasi dan informasi dapat didapatkan masyarakat desa
lebih awal, serta apabila gejala telah diketahui rencana kontijensi tanah
longsor dapat segera disusun.
132
5. BPBD perlu berkoordinasi dengan Dinas Sosial guna mendorong Taruna
Siaga Bencana (TAGANA) agar kembali aktif sesuai dengan fungsinya dan
dilibatkan dalam kegiatan BPBD, minimal BPBD menyusun kegiatan
pelatihan bagi anggota TAGANA.
DAFTAR PUSTAKA
Abe, Alexander. 1994. Perencanaan Daerah Partisipatif. Yogyakarta: Pustaka
Jogja Mandiri
Alhazanah, Fauziah. Mubekti. 2008. Mitigasi Daerah Rawan Tanah Longsor
Menggunakan Teknik Pemodelan Sistem Informasi Geografis, Vol. 9. Nomor
2, 121, http://ejurnal.bppt.go.id, 27 November 2016
Avridianto, Davit. 2016. Tingkat Resiko Bencana Tanah Longsor di Desa Ketro
Kecamatan Tulakan Kabupaten Pacitan, 20, http://ejournal.unesa.ac.id, 27
November 2016
Bevaola, Kusumasari. 2014, Manajemen bencana dan kapabilitas Pemerintah
Lokal, Yogyakarta : Penerbit Gava Media.
“BPBD Pacitan Siaga Banjir dan Longsor”. 2016, September 20.
http://kominfo.jatimprov.go.id/read (diakses pada tanggal 28 November
2016)
Carter, Nick. 1991. Disaster Management : A Disaster Manager’s Handbook,
Manila: Asian Development Bank.
Darsoatmojo, A. dan Soedradjat. 2002. Bencana Tanah Longsor Tahun 2001.
Year Book Mitigasi Bencana Tahun 2001.
Deddy, Tikson, 2005, Administrasi Pembangunan, Alfabeta : Bandung
“Data dan Informasi Bencana Indonesia”. 2016, November. http://dibi.bnpb.go.id
(diakses pada tanggal 18 Januari 2017)
“Definisi dan Jenis Bencana”, 2016. http://bnpb.go.id (diakses pada tanggal 27
November 2016)
Direktorat Geologi Tata Lingkungan. 1981. Gerakan Tanah di Indonesia.
Direktorat Jenderal Pertambangan Umum. Departemen Pertambangan dan
Energi. Jakarta.
Effendi, Ahmad. 2008. Identifikasi Kejadian Longsor dan Penentuan Faktor-
Faktor Utama Penyebabnya di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten
Bogor, http://repository.ipb.ac.id, 30 November 2016
Emil, Salim. 2010. Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil
Salim, PT. Gramedia: Jakarta
Handayani, Riny. 2011. Analisis Partisipasi Masyarakat dan Peran Pemerintah
Daerah dalam Pelaksanaan Manajemen Bencana di Kabupaten Serang
Provinsi Banten, http://download.portalgaruda.org, 2 Desember 2016
Haryanto, Agus. 2012. Manajemen Bencan dalam Menghadapi Ebencana Industri
di PT. Lautan Otsuka Chemical Cilegon, http://lib.ui.ac.id, 1 Desember 2016
Hasan, Iqbal. 2002. Pokok – Pokok Materi Metodologi Penelitian dan
Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Hasil KTT Bumi di Rio de Jeniro tahun 1992
Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu
Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Isa, Muzakir. 2016. Bencana alam: Berdampak Positif atau Negatif terhadap
Pertumbuhan Ekonomi?, 147, http://publikasiilmiah.ums.ac.id, 26 November
2016
Jonathan, Sarwono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Jones, Charles. 1994. Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy), Jakarta:
Manajemen PR Raja Grafindo Persada.
Kementrian ESDM. 2015. Gerakan Tanah. Bandung: ESDM
Lexi, Moleong. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung :PT.
Remaja Rosdakarya.
“Pembentukan BPBD”, 2015, Oktober 29. http:// http://bpbd.karanganyarkab.go.id (diakses pada tanggal 3 Desember 2016)
“Potensi Ancaman Bencana”, 2016. http://bnpb.go.id (diakses pada tanggal 26
November 2016)
Putra, Taranggana. 2015. Peran Pemerintah Daerah Dan Partisipasi Pelaku
Usaha Dalam Pengembangan UMKM Manik-Manik Kaca di Kabupaten
Jombang, Vol. 3 Nomor 1. http://repository.uin-suska.ac.id, 3 Desember 2016
Renstra BPBD Kabupaten Pacitan Tahun 2011-2016
Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah. 2005. Perencanaan Pembangunan
Daerah. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Santosa, Mas. 2001. Good Governance & Hukum Lingkungan. Jakarta: ICEL.
Seidel, John. 1998. Qualitative Data Analysis.
ftp://ftp.qualisresearch.com/pub/qda.pdf, 29 Januari 2017
Sriyanto. 2007. Kondisi Lingkungan Hidup di Jawa Tengah dan Prospek
Pembangunan ke Depan, Vol. 4. Nomor 2, http://journal.unnes.ac.id, 30
November 2016
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kunatitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Yogyakarta : Andi.
Tangkilisan, Hessel. 2003. Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: Lukman
Offset.
Ulum, Mochamad. 2014. Manajemen Bencana: Suatu Pengantar Pendekatan
Proaktif. Malang: UB Press.
UN International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR, 2002)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
UN-ISDR. 2007. Perkataan Menjadi Tindakan : Panduan untuk
Mengimplementasikan Kerangka Kerja Hyogo, Jenewa: UN-ISDR
Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. 2009. Metodologi Penelitian Sosial.
Jakarta : Bumi Aksara.
Weisman, Alan. 2009. Dunia Tanpa Manusia, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Weiss, Edith. 1992. In Fairness To Future Generations and Sustainable
Development. http://digitalcommons.wcl.american.edu, 18 Januari 2017
Wulan, Theresia. dkk. 2015. Mitigasi Bencana Berbasis Potensi Wisata : Studi
Kasus Pantai Pandawa, Desa kutuh, Kecamatan Kutu Selatan, Kabupaten
Badung, Provinsi Bali, http://ilmukelautan.trunojoyo.ac.id, 1 Desember 2016
Zalukhu, Steady. 2013. Efektivitas Pelaksanaan Program Penguatan Kapasitas
Kesiapsiagaan dan Tanggap Darurat Bencana (Learn II) oleh Heks dan
Yayasan Holi Ana’a, Vol. 2. Nomor 4, http://jurnal.usu.ac.id, 30 November
2016
Zuriah, Nurul. 2009. Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.